BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Fenomena gepeng di Indonesia bukan merupakan fenomena yang baru dalam kajian ilmu sosial. Di setiap daerah-daerah atau kota besar di Indonesia fenomena gepeng ini kerap kali menjadi sebuah permasalahan sosial yang tidak henti-hentinya dicoba untuk diselesaikan atau dihapus keberadaannya. Namun, bukan hal yang mudah bagi banyak pihak untuk menyelesaikan permasalahan gepeng ini.
Perlu waktu yang lama untuk membuat fenomena gepeng yang
dianggap sebagai masalah sosial agar dapat teratasi. Berbagai program yang dilakukan pemerintah daerah mungkin tidak akan langsung mendapatakan hasil yang signifikan dalam mengurangi jumlah gepeng di daerah atau kota masingmasing. Dalam memandang suatu hal, didalam masyarakat kerap kali terjadi banyak perbedaan paham atau persepsi. Begitu pula dalam memandang fenomena gepeng ini. Sebagian masyarakat menganggap bahwa menjadi gepeng merupakan sebuah perbuatan yang yang patologis dan pihak yang berpikir seperti ini akan mendukung setiap upaya dalam menolong mereka agar tidak hidup di jalan. Tidak dipungkiri juga bahwa ada pula sebagian masyarakat yang menganggap bahwa fenomena gepeng sah-sah saja terjadi atau normal terjadi. Bagian masyarakat yang memiliki anggapan seperti ini yang kemudian menghambat upaya pemerintah atau pihak yang ingin menolong mereka agar tidak hidup di jalan.
181
Namun, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang menganggap bahwa menjadi gepeng adalah hal yang normal. Seperti halnya aliansi Perda gepeng yang bernama kaukus Perda gepeng yang merupakan kumpulan NGO yang ada di DIY. Mereka merupakan aliansi yang bergerak untuk menolak Perda gepeng dan segala proses didalamnya, termasuk pengadaan Camp Assessment. Mereka mengatakan bahwa hidup di jalan adalah hak. Padahal jika kita analisis lebih jauh, jika menjadi gepeng adalah hak, hak mereka adalah hak yang telah merebut hak orang lain. Hak orang lain untuk mendapatkan kenyamanan saat makan ditempat umum misalnya, dan hak untuk nyaman saat berkendara di jalan tanpa ada gepeng yang mengetuk pintu untuk menjajakan tangannya. Dalam hal ini, sesuatu dapat dikatakan hak jika tidak mengganggu atau merebut hak orang lain. Selain itu, pengakuan mereka bahwa di Camp Assessment telah terjadi banyak kasus pelanggaran HAM dan kekerasan tidak terbukti. Seluruh narasumber baik gepeng yang ada di Camp Assessment, gepeng ex. Camp Assessment, ataupun gepeng yang sama sekali belum terlibat dalam rehabilitasi di Camp Assessment dan mengetahui cerita didalamnya memiliki pengakuan yang sama. Pengakuan bahwa pihak Camp Assessment amat memperlakukan mereka dengan manusiawi, tidak ada kasus atau pengalaman kekerasan yang pernah terjadi atau dialami. Dalam hal ini, fenomena gepeng telah mendapat sebuah persepsi yang sama dari banyak pihak. Setiap pemerintah daerah atau kota di Indonesia menganggap
bahwa
gepeng
adalah
bagian
dari
Penyandang
Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang merupakan tanggung jawab negara untuk melindunginya. Sudah banyak provinsi yang membentuk Perda untuk melindungi
182
dan memenuhi hak-hak mereka. Selain itu, ilmuan sosial dan pemerintah DIY baik DPRD, Dinsos, Satpol PP, dan sebagian masyarakat DIY menganggap fenomena gepeng dengan perspektif yang sama bahwa mereka adalah PMKS yang patologis. Patologis adalah keadaan dimana mereka ada pada keadaan tidak normal (abnormal) dan abnormal berarti jika setiap sikap mereka membawa kerugian yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan sosial, fisik, ataupun mental dirinya sendiri atau bahkan kelompok dibandingkan manfaatnya. Selain itu Negara Republik Indonesia lewat Undang-Undangnya telah menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dari beberapa pandangan diatas kemudian pemerintah DIY memutuskan untuk membentuk peraturan daerah no. 1 tahun 2014 tentang proses penanganan gelandangan dan pengemis. Tujuannya adalah untuk memenuhi hak-hak gepeng yang hidup di jalan dan mengembalikan mereka menjadi manusia yang terhormat dan bermartabat ke tengah-tengah keluarga maupun masyarakat. Salah satu upaya dari penanganan gepeng tersebut adalah dengan menjadikan sebuah unit khusus yang bernama Camp Assessment sebagai tempat penampungan sementara bagi gepeng. Camp Assessment tersebut menjadi tempat penampungan bagi gepeng dari lima kabupaten atau kota. Dalam Camp Assessment gepeng yang terjaring razia dibina dan dilakukan upaya rehablilitatif untuk mengembalikan mereka ke keadaan yang dianggap normal atau tidak lagi hidup di jalan. Pada awal dibentuknya Camp Assessment pada November 2013 sebelum diberlakukannya Perda no. 1 tahun 2014, upaya yang dilakukan oleh Camp Assessment bersifat koersif atau memaksa. Namun, memaksa dalam konteks ini
183
bukan memaksa dalam hal tidak manusiawi seperti dengan cara kekerasan atau merenggut hak-hak asasi mereka. Koersif dalam hal ini menuju ke sebuah perubahan kearah kebaikan dengan asas penghormatan atas martabat dan harga diri mereka. Dengan diberlakukannya Perda no. 1 tahun 2014 Camp Assessment dituntut untuk melakukan upaya rehabilitatif. Selain itu, lama tinggal gepeng yang ada di Camp Assessmentpun terhitung cukup lama. Hal tersebut mendukung pula untuk Camp Assessment melakukan upaya rehabilitatif. Rehabilitasi yang dilakukan oleh Camp Assessment bersifat awalan saja. Selanjutnya rehabilitasi sosial yang mendalam akan dilakukan oleh panti-panti lanjutan yang sudah bekerjasama dengan Camp Assessment. Rangkaian atau proses rehabilitasi sosial sudah dijelaskan secara rinci dalam Perda tersebut. Saat ini camp assesssment dapat dikatakan melakukan upaya yang bersifat koersif dan rehabilitatif bagi para gepeng. Gepeng yang ada di Camp Assessment diwajibkan mengikuti serangkaian bimbingan yang telah dipersiapkan oleh camp sesuai waktu yang telah ditentukan. Serangkaian kegiatan dibuat oleh camp berdasarkan pada pedoman Perda no. 1 tahun 2014. Mengacu pada tinjauan pustaka bahwa dalam merubah sesuatu yang patologis, dibutuhkan suatu perubahan human natur edari orang yang bersangkutan. Human nature terbentuk oleh pengalaman unik. Gepeng sendiri memiliki human nature yang sudah terbentuk oleh pengalaman-pengalam uniknya saat mereka hidup di jalan. Pengalaman yang mereka rasakan membentuk sebuah zona nyaman bahwa menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain adalah pekerjaan yang “ajaib”. Tidak butuh usaha yang sulit, mereka dapat dengan
184
mudah mendapatkan uang dengan cepat. Akhirnya, zona nyaman tersebut menjadikan kehidupan di jalan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman unik tersebutlah yang dinamakan human nature. Human nature gepeng yang terbentuk di jalan inilah yang berusaha untuk Camp Assessment rubah. Caranya adalah melalui pembentukan pengalaman unik yang baru lewat bimbingan yang wajib diikuti oleh gepeng dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Keberhasilan camp assessmnet dalam melakukan upaya yang bersifat koersif atau rehabilitatif awalnya dilihat dari berhasil atau tidaknya pihak Camp Assessment dalam merubah human nature para gepeng yang terbiasa hidup di jalan. Jika gepeng yang telah melalui serangkaian bimbingan atau upaya rehabilitasi sosial awal saat habis masa bimbingan di Camp Assessment kembali lagi hidup mengemis atau menggelandang di jalan, itu berarti upaya yang telah Camp Assessment lakukan belum berhasil. Namun, jika gepeng yang telah keluar dari Camp Assessment dapat berubah human nature-nya dengan tidak kembali lagi ke jalan dan mencari penghidupan dengan pekerjaan yang bermartabat, itu berarti bahwa Camp Assessment telah berhasil melakukan upayanya dalam membentu human nature yang baru. Human nature yang baru yang diharapkan oleh pihak Camp Assessment adalah human nature sebelum client memutuskan hidup di jalan, yaitu bekerja dengan pekerjaan yang lebih bermartabat walaupun penghasilan yang didapatkan tidak sebesar penghasilan mereka saat bekerja di jalan.
185
Kemudian dapat ditarik sebuah benang merah bahwa keberhasilan atau kegagalan upaya yang bersifat rehabilitatif dalam merubah human nature seseorang agar kembali menjadi normal dengan pola pemberian pengalaman baru dalam jangka waktu tertentu seperti yang dilakukan oleh camp assessement bergantung pada individu masing-masing gepeng. Jika human nature gepeng yang terbentuk di jalan sangat kuat dan tidak ada keinginan untuk merubah kebiasannya hidup di jalan, atau dalam hal ini adalah gepeng dalam golongan yang menganggap bahwa menjadi gepeng adalah perilaku yang normal, segala macam upaya yang dilakukan akan “memantul”. Tidak akan tercapai sebuah kata keberhasilan dalam merubah pola pikir gepeng tersebut. Pada akhirnya, gepeng tersebut walaupun sudah melalui rangkaian upaya rehabilitasi, pasti akan kembali lagi hidup di jalan. Sebaliknya, merubah human nature gepeng telah mengalami keberhasilan ketika dari dalam diri gepeng yang bersangkutan ada keinginan untuk berubah, atau dalam hal ini adalah golongan gepeng yang sadar bahwa dirinya berada dalam kondisi yang abnormal. Segala kegiatan rehabilitasi yang dilakukan diserapnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dijadikan dan dihayati sebagai sebuah pengalaman baru bagi mereka. Pada akhirnya, terbentuklah human nature yang baru sesuai dengan yang dipolakan oleh pihak Camp Assessment. Setelah keluar dari camp, gepeng yang benar-benar memiliki keinginan untuk berubah tidak akan kembali lagi ke jalan walaupun banyak peluang yang mereka dapatkan. Kemudian dalam melakuakn prosedur atau tahapan rehabilitasi sosial awal di Camp Assessment berdasarkan Perda no. 1 tahun 2014, Camp Assessment
186
sudah mencapai tahapan cukup baik. Dari sebelas proses yang harus dilaksanakan, hampir sebagian besar sudah dilaksanakan oleh Camp Assessment. Tujuh program terlaksana dengan baik sesuai dengan prosedur dan tujuan yang ada pada Perda. Tiga program terlaksana, tetapi belum sesuai dengan apa yang seharusnya dilaksanakan atau sesuai dengan tujuan yang ada pada Perda. Kemudian satu program tidak terlaksana atau tidak dilakukan oleh Camp Assessment dan itu merupakan program yang dirasakan cukup penting bagi gelandangan non psikotik untuk mengisi waktu yang amat luang bagi mereka selama dibina di asrama dan bekal setelah keluar dari Camp Assessment. Kegiatan yang tidak dilakukan tersebut adalah kegiatan pelatihan keterampilan dan pelatihan kewirausahaan. Menurut keterangan dari pihak dinsos dan Camp Assessment, hal tersebut sedang dalam proses pembentukan karena harus mengikuti anggaran baru yang akan diajukan kepada pihak pemerintahan yang lebih tinggi. B. Rekomendasi Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program rehabilitasi sosial awal
gelandangan
dan
pengemis
di
camp
asessment
sebagai
wujud
diberlakukannya Perda no. 1 tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan adanya evaluasi yang dilakukan terhadap Camp Assessment diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyusun perubahan ke arah yang lebih baik lagi demi mencapai sebuah tujuan yang diinginkan bersama. Dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pihak Camp Assessment melibatkan banyak pihak didalamnya. Masing-
187
masing pihak memiliki kepentingan dan manfaat tersendiri demi mencapai tujuan dari dilakukannya upaya koersif dan rehabilitatif di camp assessemnt. Dalam melakukan upaya untuk menolong gepeng di jalan, tentu banyak sekali lika-liku bagi pihak Camp Assessment dalam proses pelaksanaan kegiatannya. Mulai dari berira-berita miring yang dicantumkan di media sosial atau media cetak mengenai Camp Assessment tanpa konfirmasi kebenarannya kepada pihak Camp Assessment, terbatasnya kegiatan yang dapat dilakukan di Camp Assessment karena terhambat oleh anggaran dana, ataupun dalam merubah human naturegepeng yang begitu sulit. Oleh karena itu, berdasarkan temuan peneliti, terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan oleh pihak Camp Assessment
dalam
melakukan
upaya
koersif
dan
rehabilitatif
untuk
mengembalikan mereka menjadikan gepeng menjadi manusia yang terhormat dan bermartabat, diantaranya adalah : 1. Jikalau menambah jumlah pendamping di Camp Assessment memungkinkan, sebaiknya hal tersebut adalah hal yang paling utama untuk dilakukan. Mengingat jumlah gepeng baik psikotik, non psikotik, dan gepeng yang bedrest lebih dari 150 orang dan jumlah pendamping hanya ada 12 orang. Dalam prosedurnya, setiap gepeng (client) wajib memiliki pendamping untuk mempermudah upaya pelaksanaan kegiatan yang dilakukan selama berada di Camp Assessment. Dilapangan banyak pula ditemukan gepeng yang tidak mengetahui siapa pendamping mereka, sehingga menyulitkan mereka dalam mencari bantuan atau keperluan selama berproses di dalam camp assessmnt.
188
2. Pendamping yang berada di Camp Assessment alangkah lebih baik jika mendampingi client secara intensif. Bimbingan motivasi ataupun asistensi sosial yang dilakukan di Camp Assessment sebaiknya dilakukan langsung dari hati ke hati antara client dengan pendamping. Dengan waktu yang intensif dalam melakukan bimbingan di Camp Assessment dan dilakukannya dengan cara yang lebih intim, hal tersebut memiliki kemungkinan besar tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam merubah human natureclient. Dalam hal ini, segala bimbingan yang dilakukan secara bersama-sama dan oleh unit khusus. Hal tersebut kurang efektif karena tidak mengenai langsung kepada masing-masing individu gepeng yang ada di Camp Assessment. 3. Proses resosialisasi yang dilakukan oleh Camp Assessment dalam hal ini masih bersifat satu arah. Camp Assessment saat ini sangat berfokus terhadap perubahan pola pikir gepeng agar tidak kembali hidup di jalan. Sedangkan pihak Camp Assessment sendiri tidak melakukan upaya yang cukup matang untuk mempersiapkan pihak keluarga ataupun masyarakat agar mampu menolong gepeng yang ada di Camp Assessment kembali menjadi manusia yang dipandang lebih terhormat dan bermartabat, dan menjadi pengganti Camp Assessment saat gepeng dilimpahkan untuk kembali ke keluarga dan masyarakat. Dalam prosedur yang ada didalam Perda no. 1 tahun 2014 dan study literatur yang ada, memang sebaiknya dan seharusnya proses resosialisasi dilakukan dua arah agar tercapai kesamaan persepsi dan kesamaan tujuan dalam melakukan pendampingan lanjutan bagi gepeng ex. Camp Assessment. Jadi, alangkah lebih baik jika camp assessment
189
dalam melakukan upaya resosialisasinya menggunakan pendekatan personal blame approach dan system blame approach secara bersama. 4. Camp Assessment memang telah melakukan kegiatan “home visit” pada saat akan mengembalikan gepeng ke keluarga yang diakui. Kemudian pihak Camp Assessment pun melakukan upaya pengantaran atau pengembalian gepeng pulang sampai ke rumah mereka masing-masing. Namun, setelah kegiatan tersebut dilakukan tidak ada lagi proses pendampingan ataupun proses pengawasan lebih lanjut yang dilakukan oleh pihak Camp Assessment terhadap client yang bersangkutan. Akibatnya, banyak sekali gepeng yang akan kembali hidup di jalan karena memang dampingan dari pihak keluarga dan masyarakat sekitar rendah. Masyarakat sekitar dan keluarga tidak diberikan kekuatan yang besar dalam mengawasi dan melakukan dampingan bagi client agar mampu mencari penghidupan yang lain selain dengan hidup di jalan. Jadi, sebaiknya pihak Camp Assessment melakukan dampingan atau pengawasan lanjutan untuk memastikan gepeng yang dikembalikan kepada kelaurga dan masyarakat berhasil mendapatkan penghidupan yang baru dan tidak kembali lagi ke jalan. 5. Camp Assessment harus segera melakukan kegiatan pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan untuk membantu para gepeng dalam mengetahui, mendalami dan menguasai suatu bidang ketrampilan kerja tertentu yang memungkinkan mereka memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak. Dalam penemuan dilapang ditemukan bahwa waktu gepeng selama berada di Camp Assessment cukup longgar dan mereka kekurangan kegiatan, sehingga kegiatan mereka lebih banyak melamun dan mengerjakan hal-hal yang kurang bermanfaat
190
untuk mencari kesibukan. Dengan segera diadakannya kegiatan tersebut, gepeng yang berada di Camp Assessment akan mendapatkan kegiatan yang baru untuk mengisi kekosongan selama berada di Camp Assessment dan pada saat mereka keluar dari Camp Assessment mereka telah memiliki bekal keterampilan dan bekal wirausaha untuk mencari penghidupan lain selain kembali hidup di jalan. Secara umum, Camp Assessment sudah sangat baik dalam memberikan upaya pemenuhan hak-hak dasar bagi gelandangan dan pengemis yang terjaring razia di lima kabupaten/kota. Kehdiupan di Camp Assessment jauh lebih baik dibandingkan dengan kehdiupan di jalan yang penuh dengan ketidak pastian. Camp Assessment mampu memberikan perlindungan yang pasti bagi gepeng. Camp Assessment yang ada di DIY yang merupakan Camp Assessment kedua dan hanya ada dua Camp Assessment di Indonesia dapat dijadikan acuan bagi provindi lain dalam upayanya melindungi gepeng yang ada di jalan. Selain itu, demi tercapainya tujuan dari dibentuknya Camp Assessment perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama masyarakat di DIY. Secara logika, gepeng tidak akan kembali lagi ke jalan dan tidak akan ada lagi di jalan jika di jalan tidak ada masyarakat yang mau meberikan uang maupun bantuan lainnya kepada mereka di jalan. Pemerintah mulai dari gubernur sampai pada dinsos agar memberikan perhatian lebih bagi Camp Assessment dalam memenuhi segala kebutuhan yang diperlukan dalam upaya menolong dan memenuhi hak-hak dasar gepeng yang ada. Pada akhirnya, dengan adanya kerjasama yang baik dari berbagai pihak, gepeng yang ada di DIY dapat tertolong
191
dan mereka dapat kembali hidup terhormat dan bermartabat ditengah keluarga ataupun masyarakat dengan mendapatkan penghidupan yang baru.
192