175
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan pada bab dua sampai empat, didapat suatu
kesimpulan tentang adanya akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia. Kesimpulan ini dapat diuraikan sebagai berikut. Akronim merupakan hasil dari proses akronimi, yaitu suatu proses pemendekan satuan-satuan lingual tertentu dimana hasil dari kependekan itu dapat dilafalkan seperti kata. Dalam pembentukan akronim, terdapat suatu input atau masukan, proses, dan output atau hasil. Hasil yang dimaksud di sini tentu adalah akronim, sedangkan prosesnya adalah akronimi. Sementara itu, masukannya adalah komponen-komponen pembentuk akronim. Dengan kata lain, dapat dikatakan pula bahwa dalam pembentukan akronim terdapat bentuk dasar, proses pembentukan, dan bentuk jadian. Akronimi dilakukan dengan pengambilan fonem-fonem pada input. Proses pengambilan fonem-fonem pada pembentukan akronim dilakukan dengan berbagai macam pola-pola. Tidak ada pola yang khusus dan baku dalam pembentukan akronim. Namun demikian, terdapat pola-pola yang cenderung banyak digunakan. Hal ini sebagaimana yang terlihat pada pola-pola pembentukan akronim dalam bab II naskah ini. Tidak adanya pola khusus dan baku dalam pembentukan akronim dikarenakan sifat bahasa yang arbitrer. Selain itu, pembentukan akronim juga memperhatikan keserasian bunyinya.
175
176
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akronim merupakan salah satu proses morfologis dalam bahasa Indonesia, walaupun pola-pola pembentukan akronim bersifat arbitrer.
Hal ini dikarenakan dalam pembentukan akronim
terjadi proses perubahan bentuk pada bentuk dasar. Bentuk dasar berubah menjadi bentuk jadian. Proses perubahan bentuk pada bentuk dasar menjadi bentuk jadian dilakukan secara arbitrer, yaitu bersifat mana suka. Akronim yang diidentifikasi menjadi leksikon dalam penelitian ini sedikitnya berjumlah delapan puluh dua buah. Kedelapan puluh dua akronim ini adalah angkot, balita, bandara, bata, bemo, berdikari, biduk, bolam, burjo, cagub, caleg, capres, cawapres, cekal, cerpen, diklat, distro, dubes, gakin, genset, gerpol, golput, hansip, humas, iptek, jagabaya, kloter, kotipa, lapas, lansia, lanud, litsus, manipol, manula, migas, moko, motel, munas, muntaber, narkoba, nopol, ormas, ospek, patas, pemilu, pepera, ponsel, posel, poskamling, posko, posyandu, pramuka, pungli, puskesmas, raskin, rubanah, rudal, ruko, rusun, rutan, satpam, sembako, semiloka, sendratari, sidak, sinetron, siskamling, stagflasi, surel, tarling, tilang, togel, toserba, turba, valas,
wadam, wagub,
wapres, waria, warnet, warteg, dan wartel. Kedelapan puluh dua akronim tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan pola-pola pembentukannya. Pola-pola pembentukan akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia dapat diuraikan berdasarkan jumlah silabel akronim dan komponen pembentuk akronim. Tidak setiap komponen pembentuk akronim mengalami pengambilan fonem dalam pembentukan akronim. Dalam proses pengambilan fonem pada setiap komponen pembentukan akronim ini,
177
dapat dibuat pola-pola yang lebih khusus, yaitu berdasarkan jumlah fonem yang diambil pada setiap komponen. Pada pola pembentukan akronim berdasarkan jumlah fonem yang diambil pada setiap komponen pembentuk akronim ini, pola pembentukan akronim dengan cara pengambilan dua fonem pertama komponen pertama dan tiga fonem pertama komponen kedua adalah pola yang paling banyak ditemukan. Sementara itu, dilihat dari jumlah silabel, akronim bersilabel dua adalah akronim yang paling banyak ditemukan. Hal ini sesuai dengan leksikon bahasa Indonesia yang kebanyakan juga bersilabel dua. Karakteristik akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia dapat dilihat berdasarkan kaidah fonotaktik silabel, proses morfologis yang dapat dikenai pada akronim, kelas kata, posisi yang dapat diduduki dalam kalimat, dan makna akronim. Proses morfologis yang dapat dikenai pada akronim dapat dibedakan menjadi proses afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Berdasarkan kaidah fonotaktik silabel, ditemukan enam pola, yaitu V, VK, KV, KVK, KKV, dan KKVK. Dari keenam pola ini, ada beberapa silabel yang jarang dan tidak ditemui dalam leksikon bahasa Indonesia. Silabel yang jarang ditemui adalah silabel /ip/, yaitu pada akronim iptek, sedangkan silabel yang tidak ditemukan adalah silabel /gub/, /nud/, dan /tǝg/. Ketiga silabel ini merupakan silabel pada akronim gubernur, lanud, dan warteg. Sementara itu, berdasarkan jumlah silabel pada akronim dapat dibedakan akronim bersilabel dua berpola VKKVK, KV-KV, KV-KVK, KV-KKVK, KVK- KV, KVK-KVK, KVK-KKV, dan KKV-KVK; akronim bersilabel tiga berpola KV-KV-V, KV-KV-KV, KV-KVKVK, KV-KV-KKVK, KV-KVK-KV, KVK-KV-V, KVK-KV-KV, KVK-KV-
178
KVK, KVK-KVK-KV, KVK-KVK-KVK, KKV-KV-KV, dan KKVK-KKV-KV; dan akronim bersilabel empat berpola KV-KV-KV-KV, KVK-KV-KV-KV, dan KVK-KKV-KV-KV. Dari berbagai macam pola fonotaktik pada akronim ini, akronim bersilabel tiga dan berpola KKVK-KKV-KV merupakan akronim yang tidak sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya padanan kata bersilabel dan berpola sama dalam bahasa Indonesia. Selain itu, berdasarkan kaidah fonotaktik berdasarkan jumlah silabel dalam akronim ditemukan juga deret konsonan yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, yaitu tp dan sy, seperti pada kata satpam dan posyandu. Dengan demikian, adanya akronim bersilabel tiga dan berpola KKVK-KKV-KV dan deret konsonan st dan sy dapat menambah variasi kaidah fonotaktik dalam bahasa Indonesia. Proses morfologis yang dapat dikenai pada akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia adalah afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Namun, tidak setiap akronim dapat dikenai ketiga proses morfologis ini. Hal ini dikarenakan ada filter dalam proses morfologis, yaitu makna yang dihasilkan. Pada proses afiksasi, afiks yang dapat melekat pada akronim ada dua belas. Kedua belas afiks ini dapat dibagi menjadi prefiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks yang dapat melekat pada akronim meliputi meN-, ber-, ter-, di, peN-, dan pe-. Sufiks yang dapat melekat pada akronim adalah -is. Sementara itu, konfiks yang dapat melekat pada akronim adalah meN-kan, per-an, peN-an, ke-an, dan di-kan. Berdasarkan proses reduplikasi, ada dua macam proses reduplikasi yang dapat dilakukan pada akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia. Kedua macam reduplikasi ini adalah reduplikasi penuh dan reduplikasi disertai proses
179
afiksasi. Sementara itu, pada proses pemajemukan, ditemukan akronim-akronim yang dapat berkonstruksi menjadi kata majemuk. Selanjutnya, dilihat dari kelas kata, ada dua macam kelas kata pada akronim yang menajdi leksikon dalam bahasa Indonesia, yaitu nomina dan verba. Kedua jenis akronim ini dapat menduduki posisi tertentu dalam kalimat. Kalimat yang dimaksud berupa kalimat tunggal dan kalimat berita. Ada lima posisi yang dapat diduduki, yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Selanjutnya, dilihat dari makna akronim, pada hubungan antara bentuk dan makna, akronim dapat menimbulkan homonimi dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, makna akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia dapat lebih kompleks daripada makna kepanjangan komponen-komponen pembentuknya.
5.2
Saran Saran yang dapat dikemukakan oleh penulis setelah melakukan penelitian
ini adalah sebagai berikut. Bagi pembaca, penelitian ini dapat membantu pemahaman terhadap penggunaan dan pembentukan akronim. Oleh karena itu, pembaca dapat menggunakan akronim seperlunya dan sewajarnya. Sementara itu, bagi para peneliti, penelitian tentang akronim yang menjadi leksikon dalam bahasa Indonesia ini masih sangat sederhana karena masih banyak persoalanpersoalan yang belum diteliti. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya dari sumber data yang lebih banyak dan pola-pola kalimat yang lebih kompleks.