114
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Alasan Terjadinya Perkawinan Poligami Di Bawah Tangan pada Suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung a. Isteri pertama tidak atau belum berhasil melahirkan anak setelah beberapa lama perkawinan mereka. Dalam hal ini, laki-laki suku Batak beragama Kristen hanya dapat menikah satu kali seumur hidup dan tidak dapat menikah lagi kecuali istrinya telah meninggal dunia atau bercerai dikarenakan si istri terbukti berbuat zinah dengan laki-laki lain. Jadi alasan tersebut diatas tidak dapat dijadikan pembenaran untuk seorang laki-laki untuk menikah lagi.
b. Isteri pertama melahirkan anak-anak perempuan tapi tidak dikaruniai anak laki-laki. Di dalam hukum Gereja dan iman Kekristenan, patrilineal juga adalah suatu hal yang bertentangan dengan iman Kekristenan dikarenakan di hadapan
115
Tuhan semua manusia sama saja, laki-laki dan perempuan tidak ada beda. Alasan menginginkan anak laki-laki tentu saja bertentangan dengan iman Kekristenan apalagi menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk melakukan perkawinan poligami dan pasu-pasu raja.
c. Suami melakukan hubungan zina dengan perempuan lain yang menyebabkan
si
perempuan
tersebut
hamil
sehingga
harus
bertanggungjawab dengan menikahinya. Perbuatan diatas disebut sebagai ”marlangka pilit” yang tertuang dalam 10 hukum Taurat. Hal ini bertentangan dengan kekudusan pernikahan yaitu ”jangan berzinah” karena tidak melibatkan Tuhan dan Gereja dalam pernikahan itu dan hanya melakukan kehendak sendiri
d. Suami menikah dengan perempuan berbeda suku dan tidak disetujui oleh orangtuanya sehingga si suami diharuskan oleh orangtuanya untuk menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya yang berasal dari suku Batak. Perkawinan endogami seperti yang dimaksud di atas juga dapat dikatakan tidak sesuai dengan iman Kekristenan karena di dalam Tuhan semua manusia itu sama derajatnya apapun sukunya. Semua berhak untuk mencintai dan dicintai dan tidak ada perkawinan yang dapat dipaksakan walaupun dengan tujuan untuk mempertahankan adat Batak itu sendiri.
116
e. Suami berpacaran, saling mencintai dan berzinah dengan cara hidup bersama dengan wanita lain yang menuntut untuk dinikahi. Gereja sangat menentang perbuatan kumpul kebo seperti hal tersebut di atas. Perbuatan diatas disebut sebagai ”marlangka pilit” yang tertuang dalam 10 hukum Taurat. Hal ini bertentangan dengan kekudusan pernikahan yaitu ”jangan berzinah” karena tidak melibatkan Tuhan dan Gereja dalam pernikahan itu dan hanya melakukan kehendak sendiri.
Secara umum dapat disaksikan dalam masyarakat adat Batak bahwa poligami selalu menuai masalah, baik saat berhadapan dengan hukum negara, hukum Gereja, maupun hukum adat itu sendiri, serta hubungan-hubungan kekerabatan. Dilihat dari segi hukum, masalah yang paling banyak dihadapi dalam kasus perkawinan poligami adalah menentukan status atau posisi istriistri sehubungan dengan hak-haknya sesuai dengan hukum adat serta posisi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami tersebut. Begitu juga halnya dengan perkawinan poligami pada suku Batak. Laki-laki suku Batak yang beragama Kristen hanya diperbolehkan menikah satu kali seumur hidup dan dapat menikah lagi apabila istri pertama sudah meninggal atau bercerai dikarenakan istri berbuat zinah. Gereja HKBP sebagai Gereja suku, tidak dapat melakukan pembenaran terhadap hal-hal yang sesuai dengan hukum adat Batak namun tidak sesuai dengan iman Kekristenan dan Hukum Gereja. Seperti halnya
117
perkawinan poligami pada jaman dahulu sah secara adat, namun bertentangan dengan Hukum Gereja, maka hal tersebut tidak sesuai dan dinyatakan dilarang oleh Gereja. Begitu juga pernikahan secara adat saja atau pasu-pasu raja dikarenakan hanya Tuhan saja yang dapat memberikan berkat pada suatu pernikahan melalu Pendeta sebagai utusan Tuhan, maka pernikahan pasu-pasu raja tersebut juga dilarang dan bertentangan dengan Hukum Gereja.
2.
Proses Perkawinan Poligami Di Bawah Tangan pada Suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung a. Sebelum Terjadinya Perkawinan Pada prisipnya, sebelum terjadinya perkawinan, tahapannya hampir sama dengan proses perkenalan yaitu dimana saling menjalin hubungan dengan berbagai alasan tersebut diatas. Dari hubungan tersebut kemudian laki-laki dan perempuan tersebut menghadap kepada orang tua kemudian keluarga laki-laki mengutus orang tertentu untuk menemui keluarga perempuan untuk melakukan pelamaran , penetapan sinamot (mahar), serta pelaksanaan pernikahannya. Setelah ada kesesuaian dan kesamaan konsep kemudian langsung menuju pelaksanaan pernikahan yang pada umumnya dilaksanakan di keluarga pihak laki-laki (paranak) yang dikenal dengan istilah adat Batak yaitu taruhon jual.
118
b. Saat Terjadinya Perkawinan Pada prinsipnya pernikahan poligami pasu-pasu raja hampir sama dengan proses perkawinan adat Batak secara penuh namun ada beberapa bagian yang ditiadakan, yaitu pernikahan secara agama Kristen yaitu pernikahan di Gereja kecuali beberapa responden yang melakukan pembohongan sehingga tetap dilakukan pemberkata pernikahan di Gereja. Proses pernikahan dilakukan ditempat pihak laki-laki dan dihadiri oleh tua-tua dan raja adat, dilakukan dihadapan kerabat pihak laki-laki dan pihak perempuan.
c. Sesudah Terjadinya Perkawinan Sesudah terjadinya perkawinan, maka pihak isteri masuk ke dalam kekerabatan pihak suami seperti pernikahan pada umumnya namun dalam hal ini perkawinan mereka tidak diakui secara agama Kristen dan bertentangan dengan Undang-undang.
Undang-Undang
Perkawinan
Nomor
1
Tahun
1974
yang
menyatakan bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehingga sesudah perkawinan, mereka tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor Catatan Sipil dikarenakan Kantor Catatan Sipil hanya mau membuat akta catatan sipil perkawinan berdasarkan Surat Nikah dari
119
Gereja. Namun dalam beberapa responden yang telah melakukan pembohongan, maka si isteri dapat melakukan Pembatalan Perkawinan (Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) ke Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
B.
Saran Secara umum dapat disaksikan dalam masyarakat kita bahwa perkawinan Poligami baik ditinjau dari segi hukum Gereja, hukum Adat, perundang-undangan, serta hubungan kekerabatan, selalu menuai masalah. Hal tersebut bukanlah hal yang dapat dipandang sebagai hal yang baik dan dapat diterima bagi isteri dan anak-anak dari perkawinan terdahulu. Perkawinan poligami tentu saja sangat merugikan baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Dari segi hukum Gereja secara tegas menyatakan hal tersebut adalah terlarang seperti yang ada dalam Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon (RPP). Dari segi hukum adat Batak sendiri, setelah masuknya agama Kristen ke tanah Batak, maka hal tersebut sudah tidak dipandang baik karena bertentangan dengan iman Kekristenan yang menganut asas monogami tertutup. Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 dikatakan bahwa seorang laki-laki dapat melakukan poligami apabila si laki-
120
laki memastikan bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka, namun dalam realitanya hal tersebut terkadang tidak terjadi, si suami tidak mampu bersikap adil dan menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya sehingga tentu saja sangat merugikan dan lebih baik hal tersebut tidak dilakukan. Dilihat dari segi hukum, masalah yang paling banyak dialami dalam kasus poligami adalah menentukan status atau posisi isteriisteri sehubungan dengan hak-haknya sesuai dengan hukum adat serta posisi anak-anak yang dilahirkan. Penulis dalam hal ini menyarankan kepada seluruh tua-tua adat dan raja adat Batak untuk menempatkan diri sesuai dengan aturan yang benar dan berlandaskan kepada hukum Gereja. Tua-tua dan Raja adat harus mengutamakan lembaga pernikahan Gereja dibanding lembaga pernikahan adat pasu-pasu raja sehingga mereka harus melakukan penolakan terhadap orang-orang yang ingin melakukan pernikahan pasu-pasu raja tanpa melalui pemberkatan pernikahan di Gereja. Dan kiranya juga pernikahan poligami harus dihindari dan tidak dilakukan oleh laki-laki dari suku Batak yang beragama Kristen dikarenakan tidak ada hal yang berdampak positif dari adanya perkawinan poligami tersebut.