perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya, Kidung Tantri Kĕdiri terjemaan Soekatno dan menemukan rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri sebagai pengarang novel dalam menulis ulang karya hipogramnya. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Melalui proses integrasi dengan menghubungkan kedua teks, maka dapat diketahui hubungan intertekstual antara teks Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno sebagai berikut. a. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita diambil langsung dari cerita lisan di dalam masyarakat Bali yang memiliki banyak versi salah satunya adalah Tantri Kĕdiri. Kepopuleran kisah Tantri di masyarakat pemeluk agama Hindu dan masyarakat Bali pada khususnya menginspirasi Cok Sawitri untuk menulis kembali, bahkan merekonstruksi ulang cerita Tantri ke dalam cerita yang lebih modern berbentuk novel. Secara garis besar, kedua teks memiliki persamaan struktur cerita. Terdapat seorang tokoh perempuan bernama Tantri yang mendongengkan cerita binatang berbingkai
kepada
commit to user seorang raja bernama
121
Eswaryadala
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
menghentikan kelalimannya dengan menikahi gadis cantik dan perawan setiap harinya. Dilihat dari struktur cerita yang sama tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa teks Tantri Perempuan yang Bercerita diambil langsung atau ditulis berdasarkan cerita rakyat yang ada di masyarakat Bali yang memiliki banyak versi, salah satunya adalah Tantri Kĕdiri yang menjadi karya hipogramnya. b. Teks Tantri mengikuti konvensi dan tunduk dengan tradisi dan kultural masyarakat Hindu Bali. Karya sastra mewakili sosial-budaya kehidupan masyarakat yang memilikinya. Termasuk dengan teks Tantri Perempuan yang Bercerita dan Tantri Kĕdiri yang dimiliki oleh masyarakat Hindu Bali. Secara langsung atau tidak isi kandungan kedua teks memuat ajaran atau tradisi kultural masyarakt Hindu Bali. Tradisi kultural masyarakat Hindu Bali tercermin dalam cerita binatang yang termuat dalam kedua teks. Dari kisah binatang berbingkai tersebut dapat diketahui nilai-nilai agama Hindu tentang adanya hukum karma pahala atau sebab-akibat dalam segala tindakan seperti, mutlaknya karma bagi orang loba, karma bagi orang yang tidak bisa balas budi, tipu daya (baik itu tipu daya dalam hal baik atau tidak baik), dan balasan bagi orang yang berbuat baik, yakni surga. c. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai bentuk transformasi dari Kidung Tantri Kĕdiri mengikuti konvensi genre dari Kidung Tantri Kĕdiri, yaitu cerita berbingkai. Secara keseluruhan teks Tantri Perempuan yang Bercerita menyerap cerita bingkai binatang dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri. Dari 29 bagian cerita dalam daftar isi teks Tantri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
Perempuan yang Bercerita, terdapat 30 cerita binatang. Sama halnya dengan teks Kidung Tantri Kĕdiri, terdapat 30 potongan cerita binatang. Kedua teks memiliki 27 cerita yang sama dari total 30 cerita yang ada dari masing-masing teks dengan urutan cerita binatang yang berbeda. Ada beberapa bagian cerita binatang yang dihilangkan dan ditambahkan dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal tersebut tidak terlepas dari rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam menyusun cerita Tantri. d. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip secara implisit maupun eksplisit dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Secara implisit novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita, kalimat, alur, bunyi dialog yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita, melakukan pengutipan secara eksplisit terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali, yakni mengangkat isu ketidakadilan gender yang ada di masyarakat Bali. Dengan merekonstruksi tokoh utamnya Ni Diah Tantri, Cok Sawitri memperlihatkan semangat perlawanan terhadap penindasan perempuan di masyarakat Bali. 2.
Bentuk rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya secara langsung dapat dilihat pada awal cerita. Cok Sawitri mengawali dengan cerita ‘Bagian 1: Sang Setia’ dan ‘Bagian 2: Pemburu Gadis’, yang tidak terdapat di dalam teks hipogramnya. Secara keseluruhan struktur cerita kedua teks memiliki persamaan, bahkan Cok Sawitri pun melakukan tiruan (mimesis) terhadap karya hipogramnya pada bagian bingkai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
fabel, seloka dan puisi, dan struktur cerita. Namun setelah dianalisis lebih detail Cok Sawitri tidak hanya sekedar meniru hipogramnya, melainkan Cok Sawitri melakukan kreativitas (creatio) pada bagian struktur cerita, yakni alur cerita, latar cerita dan utamanya penokohan. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, Eswaryadala digambarkan sebagai raja yang otoriter, raja yang sempurna dan tidak memiliki kelemahan. Namun, dalam karya Cok Sawitri Eswaryadala digambarkan sebagai seorang raja yang memiliki kelemahan, yakni mudah cemas dan mudah dihasut oleh Punggawa Istana. Adapun Tantri dalam teks Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai perempuan yang pandai, namun hanya menguasai ranah domestik tidak berani berbicara di bidang politik. Sebaliknya, Cok Sawitri dalam karyanya menggambarkan Tantri sebagai seorang perempuan bangsawan yang pandai bercerita, namun juga berani berpendapat di ranah politik dan berani menanyakan nasib perempuan yang menjadi korban persembahan. Sesuatu hal yang tidak digambarkan pada tokoh Tantri dalam teks Tantri Kĕdiri. Dengan daya kreativitas dan imajinasi yang tinggi, Cok Sawitri menggabungkan cerita bingkai utama kehidupan Tantri dan Eswaryadala dengan bingkai cerita fabel dalam urutan kronologi cerita untuk memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai simbol ‘feminisme’ Cok Sawitri. Tokohtokoh binatang yang terdapat di dalam cerita berbingkai bisa membantu memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai seorang perempuan yang cerdas dan berani berpendapat di ranah politik. Pada akhirnya Eswaryadala mengakui keunggulan Ni Diah Tantri dan membebaskan Tantri untuk memilih, bahkan meminta maaf atas segala kesalahannya kepada semua commit to user
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perempuan. Kebebasan yang didapatkan perempuan merupakan sebuah simbol kemenangan kaum feminis, baik itu kebebasan berpendapat terutama di ranah politik maupun kebebasan untuk memilih. Hal ini dikarenakan masyarakat Bali mengenal sistem patriarkal yang lebih mementingkan kaum laki-laki dalam kehidupan sosial budaya mereka dan memarginalkan (mengesampingkan) kedudukan perempuan, sehingga terjadi ketidakadilan gender pada perempuan Bali. Oleh karenanya, banyak sastrawan perempuan Bali yang menyuarakan semangat perlawan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Bali termasuk juga Cok Sawitri. Bedanya, jika sastrawan perempuan di Indonesia menggunakan tematema seksual dalam melakukan perlawanan tersebut, Cok Sawitri memilih cerita klasik yang memiliki tokoh utama perempuan untuk direkonstruksi menjadi tokoh perempuan yang cerdas dan membela perempuan dari kacamata lain yang lebih damai tidak radikal. Seperti pada cerita Tantri, tokoh Ni Diah Tantri di rekonstruksi Cok Sawitri dengan semangat perjuangan mempertanyakan kaum tertindas, yakni perempuan yang menjadi korban penculikan Punggawa Istana dan menjadi simbol pembebas bagi kaumnya sendiri. Hal tersebut sebagai bukti bahwa, dalam melakukan transformasi Cok Sawitri tidak sekadar meniru karya hipogramnya, namun Cok Sawitri juga menggunakan otoritasnya sendiri dengan memasukan ideologi feminis ke dalam novelnya, sehingga karyanya terlihat baru seperti baru dilihat untuk pertama kalinya.
commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran Selain
hubungan
intertekstual
yang
dapat
dimaknai
dengan
mengintegralkan kedua teks sastra, kajian terhadap rekonstruksi Cok Sawitri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tersebut mengungkapkan bahwa terdapat rekonstruksi struktur cerita dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita, khususnya alur cerita, latar cerita dan utamanya penokohan pada tokoh utamanya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Selain itu, juga diungkapkan bahwa novel Tantri Perempuan yang Bercerita ditulis berdasarkan cerita klasik yang pernah ada, sehingga Cok Sawitri melakukan tiruan dari karya hipogramnya. Namun, Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri dengan mencampurkan ideologinya sebagai penggiat feminisme untuk menghasilkan karya sastra baru dari perspektif sastrawan beraliran feminisme. Sejalan dengan titik tolak yang diangkat, penulis menyadari bahwa masih belum tuntas dalam menelaah hubungan intertekstual dan rekonstruksi yang dilakukan pengarang dalam karya barunya berupa novel, yaitu Tantri Perempuan yang Bercerita dengan karya hipogramya yang berupa kidung, yakni Kidung Tantri Kĕdiri. Oleh sebab itu, sebagai sebuah novel dan karya sastra modern yang bisa mandiri untuk dianalisis menggunakan kajian lain, novel Tantri Perempuan yang Bercerita menarik untuk diteliti menggunakan kajian feminisme atau maskulinitas untuk mengetahui lebih jauh rekonstruksi Cok Sawitri dalam hubungan teks novel dengan konteks sosial budaya masyarakat Bali dalam memperlakukan perempuan dan menempatkan kedudukan laki-laki. Selain itu, commit to user dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terdapat cerita binatang yang
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki berbagai simbol dan makna serta nilai pendidikan yang dapat dipetik, sehingga novel ini juga menarik jika dianalisis menggunakan ilmu semiotika ataupun ilmu kebudayaan untuk menggali lebih dalam unsur kebudayaan dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam teks. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat membuka khasanah keilmuan yang lebih luas dan mengangkat nilai-nilai tradisi lokal Indonesia.
commit to user