perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS
A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Revo Arka Giri Soekatno Analisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah hubungan intertekstual dari kedua objek penelitian. Untuk menghubungkan kedua objek sastra digunakan prinsip vraisemblable milik Jonathan Culler, yakni prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau genre yang lain. Dengan mengintegrasikan (menghubungkan) kedua teks dapat diketahui makna teks semaksimal mungkin. Untuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat. Adapun tingkat kelima tidak diterapkan dalam analisis ini dikarenakan pada tingkat kelima berhubungan dengan proses kreatif pengarang, yakni Cok Sawitri. Jadi, tingkat kelima dalam lima tingkat atau langkah kerja vraisemblable tidak diterapkan, sehingga tingkat pertama hingga keempat yang akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini. 1. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Diambil Langsung dari Cerita Lisan di dalam Masyarakat Bali Teks Tantri Perempuan yang Bercerita mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Ni Diah Tantri mendongeng untuk menyadarkan commityang to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
perilaku buruk seorang raja bernama Eswaryadala. Dikisahkan seorang raja bernama Eswaryadala dari negeri Patali Nagantun, ia sedang mengalami kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, sehingga membuatnya menderita penyakit susah tidur. Untuk menghibur diri, sang raja diberi persembahan gadis cantik dan perawan setiap malamnya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan. Persembahan gadis perawan dan cantik setiap malamnya kepada sang raja menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Melalui para prajurit yang disebut sebagai Sang Setia, mereka menculik para gadis cantik dan perawan setiap harinya untuk dipersembahkan kepada raja. Hal tersebut tergambar dalam dialog Bandeswarya dan putrinya, Ni Diah Tantri. ...“Berbulan-bulan rupanya, beberapa prajurit pilihan diperintahkan mengambil gadis-gadis dari berbagai pelosok. Setiap malam dipersembahkan kepada Baginda, awalnya bertujuan menghibur, lalu candu asmara ini lama-kelamaan menjadi kegelisahan baru,” (Sawitri, 2011: 13). Sang Setia yang disumpah hanya untuk mengabdi kepada raja tersebut tidak benar-benar tahu apa yang dilakukannya benar atau salah. Yang mereka tahu hanyalah menempatkan raja sebagai segalanya. Sebagai prajurit, Sang Setia dalam pikiran mereka selalu ditanamkan kalimat bahwa “apapun yang terjadi di dalam istana, harus diterima dengan tulus bahwa tak semua keagungan dicapai dengan jalan yang agung!” (Sawitri, 2011: 2). Mahapatih Bandeswarya menyadari keanehan yang terjadi di dalam istana dan menganggap, bahwa tindakan seperti itu adalah salah. Apalagi banyak gadisgadis yang dijadikan selir tanpa dipublikasikan ke hadapan rakyat, mereka adalah commit to user korban penculikan dan penyekapan. Banyak pula di antara mereka adalah anak
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
dari pejabat dan abdi kerajaan sendiri. Ni Diah Tantri yang mendengar permasalahan yang terjadi di istana tersebut merelakan diri untuk dipersembahkan kepada Eswaryadala. Sebagai ayah, Mahapatih Bandeswarya pun awalnya sulit menerima permintaan anaknya tersebut, namun pada akhirnya Bandeswarya rela mempersembahkan putrinya demi keselamatan negeri Patali Nagantun. Eswaryadala yang menerima persembahan putri Bandeswarya pun awalnya ragu, tapi pada akhirnya ia menerima dengan senang hati karena sebenarnya ia sudah menyukai Ni Diah Tantri sejak dahulu. Namun, hasratnya tersebut tidak pernah ia utarakan kepada Mahapatih Bandeswarya karena ia sudah menganggap Mahapatih sebagai ayahnya dan Ni Diah Tantri sebagai adiknya sendiri. Ni Diah Tantri memiliki misi untuk mengembalikan ketenangan hati dan kewibawaan sang raja serta menyadarkan raja dari kelalimannya. Ni Diah Tantri menceritakan cerita fabel berbingkai dari kitab sastra agama Hindu untuk memberikan sebuah nasihat secara tidak langsung kepada sang raja. Dari setiap cerita binatang yang diceritakan oleh Ni Diah Tantri memiliki pesan moral tersendiri. Cerita berbingkai tersebut berkisah tentang persahabatan sapi dari dewata bernama Nandaka dengan seekor singa yang juga raja hutan bernama Candapinggala. Mereka berdua pada akhirnya mati karena diadu domba oleh Sambada, seekor anjing pemburu (patih Candapinggala). Ni Diah Tantri mencoba menyadarkan raja agar lebih cermat dan tidak terpengaruh oleh pejabat-pejabat dengan berbagai hasutannya yang bisa merusak diri sang raja beserta seluruh negeri Patali Nagantun. Hingga sang raja pun sadar akan kesalahan yang telah ia commit to user lakukan berkat kecerdasan Ni Diah Tantri dalam mendongeng dan mengajarkan
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kitab sastra agama Hindu kepadanya. Pada akhirnya, raja Eswaryadala pun mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada semua perempuan yang menjadi korban penculikan dan penyekapan. Eswaryadala juga membebaskan semua gadis yang ia tahan dan membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan (Sawitri, 2011). Novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut jika dibaca oleh masyarakat Bali atau masyarakat penganut agama Hindu – Budha, sebagian besar dari mereka tidak akan merasa asing dengan kisah dalam novel tersebut. Hal ini dikarenakan teks sastra yang diciptakan Cok Sawitri tersebut berasal dari cerita lisan masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Cerita Tantri sudah dikenal lama oleh masyarakat Bali, menurut I Nyoman Dharma Putra (2012: 189) kisah Tantri sudah beredar lama di Bali, paling tidak sejak 1728, ketika Ida Pedanda Ketut Pidada menggubah Kidung Tantri Nandhaka-harana. Di Jawa dan daerah lain di Indonesia, Tantri juga populer dalam dunia cerita rakyat. Fragmen Tantri muncul dalam ukiran-ukiran candi. I Made Pasek, seorang guru dari Singaraja, menerbitkan buku Ni Dyah Tantri, tahun 1915. Buku ini diterbitkan penerbit Belanda di Batavia dalam huruf Bali, digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dasar di Bali waktu itu. Cerita Tantri dalam masyarakat Bali sudah sangat dikenal dan populer. Seperti pendapat Putra tersebut, bahwa kepopuleran cerita Tantri bahkan dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah. Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Soekatno (2013: 1) yang mengatakan bahwa popularitas cerita Tantri di antara masyarakat Bali membuat nama “Tantri” menjadi sinonim dengan dongeng hewan atau fabel. Bahkan dongeng hewan yang tidak ada hubungannya dengan “Tantri” misalnya cerita “Kancil” yang ternama, bisa juga disebut cerita “Tantri”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
Cerita Tantri sudah dikenal sebagai cerita rakyat yang menjadi ciri khas dari masyarakat Bali. Bahkan tidak hanya masyarakat Bali, namun juga masyarakat Jawa penganut agama Hindu. Hal tersebut terbukti dengan adanya ukiran candi yang menggambarkan beberapa adegan di dalam cerita Tantri seperti, Candi Mendut (Magelang, Jawa Tengah) yang memperlihatkan salah satu adegan di dalam cerita Kidung Tantri Kĕdiri, yakni seorang raja dan seorang abdi dalem bertubuh cebol yang menunggui lampu. Kemudian di dalam ukiran Candi Sojiwan (Prambanan, Jawa Tengah) menggambarkan adegan seorang wanita dan seorang raja serta adegan lembu dan singa yang bertarung mirip dengan salah satu bagian cerita di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri, yakni pertarungan antara Nandaka dan Candapinggala (Soekatno, 2013: 26 – 27). Inspirasi dari novel Tantri Permpuan yang Bercerita karya Cok Sawitri berasal dari sastra klasik, yakni cerita Tantri. Cerita Tantri merupakan turunan atau gubahan dari sebuah naskah dari India, yakni naskah Pañcatantra. Pañcatantra ditulis menggunakan huruf Sanskerta pada awal abad Masehi. Pada dasarnya, naskah tersebut merupakan kumpulan cerita yang disebut sebagai nitisastra (ilmu akhlak) atau arthasastra (ilmu dunia) (Fang, 2011: 339). Artinya, naskah tersebut pada awalnya mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebaikan dengan cara yang menyenangkan, yakni dengan mendongeng. Fang menyebutkan (2011: 339) bahwa, Pañcatantra mengisahkan tentang seorang raja bernama Amarsaki dari kota Mahilaropya, India Selatan. Ia memiliki tiga orang putra yang tidak mau menuntut ilmu sehingga mereka menjadi dungu dan bodoh. Kemudian datanglah seorang Brahmana, Visnusarman namanya. Brahmana tersebut commit to userselama enam bulan kepada ketiga kemudian berjanji akan mengajarkan dharma
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
putra raja tersebut. Ia memberi sebuah pengajaran dengan menceritakan lima cerita binatang yang di dalamnya disisipkan cerita pula. Oleh karenanya, naskah ini berjudul Pañcatantra yang secara harafiah bisa diartikan sebagai “lima ajaran” (Soekatno, 2013: 21). Naskah Pañcatantra, dalam proses penurunanya mengalami banyak penyalinan, penyaduran dan penerjemahan ke dalam banyak bahasa lainnya, sehingga muncul banyak versi dan variasi dari cerita Pañcatantra.
Menurut
seorang sarjana Jerman, versi asli Pañcatantra telah hilang (Fang, 2011: 338). Meskipun versi aslinya telah hilang, namun naskah Pañcatantra sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, sehingga karya sastra ini banyak mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ke dalam banyak genre. Menurut Soekatno (2013: 21 – 22), Pañcatantra yang bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah salah satu karya sastra kuna yang paling luas penyebarannya dan paling banyak diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia selain Alkitab. Ada kurang lebih 200 versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung Timur sampai Islandia di ujung Barat Dunia Lama. Dari banyak versi Pañcatantra, di Indonesia cerita tersebut dikenal dengan sebutan cerita Tantri. Di Indonesia cerita Tantri ini mirip dengan Kisah 1001 Malam yang mengisahkan seorang raja yang menikahi gadis cantik setiap malamnya (Soekatno, 2013: 23). Tapi yang jelas, dalam penelitian ini tidak akan mencari asal usul naskah cerita Tantri bahkan lebih lanjut mencari keaslian dari cerita Tantri. Karena konteks interteks dalam ilmu sastra hanya menghubungkan commit to user teks dengan teks lain atau genre lain untuk menemukan kreativitas pengarang
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
dalam menulis karya sastra dari imajinasi hipogramnya. Termasuk dalam penelitian ini, penulis tidak akan menjelaskan lebih lanjut dari mana asal cerita Tantri ini hingga turunan versi yang mana yang digunakan dalam menulis cerita Tantri yang berada di Indonesia. Secara jelas, di Indonesia naskah Pañcatantra tersebar dan ditulis menggunakan beberapa bahasa seperti, bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Bali (Soekatno, 2013: 21). Dengan beberapa versi judul seperti, Tantri Kāmandaka, Tantri Dĕmung, Tantri Kĕdiri, Kidung Tantri Nandhaka-harana, Ni Dyah Tantri, dan lain sebagainya. Namun secara garis besar, ciri khas cerita Tantri sama dengan yang lainnya, yakni ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita berbingkai. Tokoh utamanya sama, yakni Tantri dan Eswaryadala (Eswaryapala pada versi Tantri Kĕdiri) di negri Patali Nagantun (Pataliputra pada versi Tantri Kĕdiri) dengan garis cerita utama Tantri mendongeng kepada Eswaryadala tentang cerita berbingkai dunia fabel untuk menyadarkan perilaku buruk Eswaryadala yang menginginkan gadis perawan dan cantik setiap harinya. Salah satu keistimewaan lainnya adalah bahwa cerita-cerita ini berhubungan dengan binatang-binatang, seperti sapi, singa, burung, kera, anjing dan lain sebagainya. Ciri khas lainnya dalam cerita Tantri di Indonesia adalah cerita berbingkai yang terdapat di dalam naskah pada dasarnya sama, hanya saja urutan ceritanya berbeda-beda. Putra menambahkan (2012: 191) bahwa, tiap-tiap cerita memiliki hubungan naratif, dengan moral cerita yang kurang lebih sama, yakni mutlaknya karma bagi orang loba, karma buat orang yang tidak bisa balas budi, dan penipudaya. Walaupun dalam banyak cerita terbukti bahwa „pengetahuan penting dalam commit to user memecahkan masalah, menyelamatkan jiwa‟, pada akhirnya kalau pengetahuan
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digunakan secara licik, orang yang bersangkutan akan ditimpa kemalangan juga setimpal dengan kelicikan yang diperbuat. Dari banyaknya versi cerita Tantri yang ada di Indonesia terdapat satu naskah klasik dari Bali yang menggunakan aksara Jawa Kuna dalam penulisannya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri. Kidung Tantri Kĕdiri adalah gubahan dari teks prosa Jawa Kuna Tantri Kāmandaka. Naskah Kidung Tantri Kĕdiri ini lah yang menjadi teks hipogram novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Kepopuleran cerita Tantri di dalam masyarakat penganut agama Hindu, khususnya masyarakat Bali yang begitu inspiratif membuat Cok Sawitri merekonstruksi cerita tersebut ke dalam bentuk yang lebih modern, yakni ke dalam sebuah novel. Sebelumnya, cerita Tantri muncul dalam bentuk kidung, kakawin, dan prosa (gancaran), seperti halnya Kidung Tantri Kĕdiri yang menjadi hipogram karya Cok Sawitri. Dengan kreativitas dan inovasi baru, Cok Sawitri menciptakan sebuah karya yang diambil dari cerita lisan yang ada di dalam masyarakat. Cerita lisan yang kemudian ditulis ke dalam bentuk sastra klasik tersebut memiliki banyak variasi, salah satunya adalah Kidung Tantri Kĕdiri. Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan transformasi dari bentuk kidung dari cerita Tantri Kĕdiri. Karya Cok Sawitri tampil dalam bentuk novel berbahasa Indonesia yang diterbitkan tahun 2011. Menurut Putra, karya ini menjadi media baru bagi kisah klasik Tantri untuk beredar di ruang baru, yang target pembacanya adalah pembaca novel sastra Indonesia (Putra, 2012: 190).
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Teks Tantri Mengikuti Konvensi dan Tunduk Dengan Tradisi serta Kultural Masyarakat Hindu Bali Novel Tantri Perempuan yang Bercerita diciptakan oleh Cok Sawitri yang merupakan bagian dari masyarakat Bali. Cok Sawitri sebagai wakil masyarakat Bali menciptakan sebuah teks sastra yang diambil dari cerita rakyat yang terdapat di masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Begitu juga Kidung Tantri Kĕdiri yang merupakan naskah dari Bali, tapi ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna. Kedua teks sastra tercipta di lingkungan masyarakat pemeluk agama Hindu, sehingga apa yang terdapat di dalam teks mewakili masyarakat penganut agama tersebut. Kedua teks secara sadar mengikuti konvensi dan tunduk oleh kebudayaan dan tradisi masyarakat penganut agama Hindu, khususnya masyarakat Bali. Keseluruhan cerita dari kedua teks secara sekilas dapat dipahami bahwa kedua teks mengikuti tradisi dan kultural masyarakat Bali. Kebudayaan dari masyarakat Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama yang mereka percayai, yakni agama Hindu. Meskipun secara keseluruhan kedua teks sama-sama tunduk kepada kebudayaan agama Hindu, namun secara lebih jelas letak dari „ketundukan‟ kedua teks terhadap kultural masyarakat Bali terlihat pada cerita binatang yang ada di dalam cerita. Cerita binatang atau di Indonesia juga dikenal dengan fabel tersebut disisipkan ke dalam teks sastra Tantri bertujuan untuk mengajarkan kebaikan yang terdapat di dalam ajaran dharma. Disitulah letak dari ketundukan kedua teks oleh tradisi dan kultural masyarakat Bali. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
a) Penyebaran kebudayaan Hindu di masyarakat Jawa dan Bali Secara singkat kita perlu mengetahui dari mana asal dan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Hal ini dirasa penting, karena menyangkut kebudayaan yang termuat di dalam teks Tantri sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Menurut Bosch dalam penelitiannya (1974: 21) menyatakan, bahwa pengaruh agama Hindu dibawa oleh „sarjana agama‟ seperti, golongan alim ulama, golongan sastra dan filsafat, serta ahli-ahli kitab suci dari India yang menyebarkan ajaran tersebut di kepulauan Indonesia, yakni Jawa, Bali, Sumatera dan Malaka. Masih menurut Bosch (1974: 27), bahwa awal abad Masehi memang Hindu sudah dikenal di Indonesia, namun kekuasaan agama Hindu menjadi surut akibat berjayanya ajaran Budhaisme. Pada abad ke – 4 hingga abad ke – 6 agama Hindu kembali mengalami perkembangan berkat kekuasaan yang dipegang oleh tokohtokoh besar selama dinasti Gupta berkuasa. Maka, rakyat dari atas sampai bawah telah masuk ke dalam cengkeramannya dan telah direbutnya kembali daerahdaerah yang dahulu diduduki oleh Budhisme. Agama Hindu yang masuk ke Indonesia terpecah menjadi golongangolongan atau sekte-sekte tertentu. Di Jawa dan Bali khususnya, menganut sekte yang disebut Ҫaiva-Siddānta (Bosch, 1974: 28). Ajaran Ҫaiva-Siddānta merupakan bentuk Hinduisme yang bukan menjadi sebuah agama rakyat. ҪaivaSiddānta sejak dari dulu merupakan suatu ajaran rahasia yang hanya diturunkan lisan dengan tiada putus-putusnya dari guru ke murid. Mereka yang mengatahuinya biasanya termasuk golongan Brahmana dan barulah setalah bertahun-tahun mempelajari kitab-kitab suci dan mempunyai pengetahuan teoritis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
yang mendalam, si calon dapat menerima sakramen pentasbihan pendeta dari tangan ayah rohaniyahnya, yaitu pendeta Brahmana (Bosch, 1974: 28 – 29). Meskipun dalam penelitian Bosch (1974) tersebut tidak menyebutkan perbedaan ajaran Hindu antara masyarakat Jawa dan Bali. Bagaimana penyebaran lebih detail ajaran Hindu di masyarakat Jawa dan Bali, lebih dahulu manakah Jawa atau Bali atau keterkaitan ajaran agma Hindu di antara dua wilayah tersebut. Hal ini dikarena dalam penelitian Bosch (1974) tersebut selalu menyebut kedua wilayah, Jawa dan Bali dalam satu kalimat untuk menjelaskan masuknya agama Hindu dalam kedua wilayah tersebut. Namun, melalui penelitian terdahulu oleh Fitria Pratiwi3 (2012) yang telah meneliti Tantri Perempuan yang Bercerita menulisan tentang awal mula masuknya agama Hindu di Bali yang dipengaruhi oleh budaya Jawa. Fitria Pratiwi (2012: 52 – 53) mengatakan dalam tesisnya, bahwa setelah kerajaan Bali Kuno dikalahkan di bawah pasukan Majapahit oleh komando Gajah Mada (1265 Saka atau 1343 M) mulailah masuk agama Hindu Jawa. Saat Majapahit mengalami keruntuhan, datanglah Dang hyang Nirartha, seorang pendeta Hindu dari Majapahit yang meneguhkan kembali nilai-nilai Hindu Jawa di Bali, yaitu dengan mengakulturasikan nilai-nilai animisme dan dinamisme Bali dengan Hindu Jawa di Bali, salah satu cirinya yaitu dengan bentuk sesajian (banten) saat upacara keagamaan digelar. Seperti yang dikatakan oleh Soekatno, bahwa cerita Tantri bisa membantu kita memahami agama Hindu – Budha, terutama manifestasi agama Hindu –
3
Fitria Pratiwi adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Tesisnya yang berjudul “Rekonstruksi Maskulinitas Dalam Tantri: to userpeneliti gunakan sebagai data sekunder Perempuan yang Bercerita Karya Cok commit Sawitri”(2012), dalam penelitian ini, sehingga dapat membantu dan memperkuat hasil penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
Budha di Jawa pada masa lampau dan agama Hindu pada masa sekarang (Soekatno, 2013: 2). Naskah Kidung Tantri Kĕdiri memang ditulis menggunakan huruf Jawa Pertengahan, namun naskah tersebut berasal dari Bali dan mengikuti ajaran dan kebudayaan Hindu. Sama halnya dengan novel karya Cok Sawitri, Tantri Perempuan yang Bercerita yang diambil dari kisah klasik cerita Tantri juga mengikuti ajaran dan kebudayaan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali. b) Sistem kasta dalam masyarakat Bali Masyarakat di Bali sebagai penganut agama Hindu mengenal adanya sistem kasta. Sebuah sistem dalam kehidupan sosial yang membedakan antar golongan keluarga berdasarkan keturunan. Menurut Bosch (1974: 26), bahwa seorang adalah orang Hindu karena kelahiran, sebagaimana seseorang adalah orang Yahudi karena lahir dari orang tua Yahudi. Mengapa peneliti perlu membahas atau menyangkutkan sistem kasta di masyarakat Bali dalam penelitian ini? Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dalam penulisannya kedua teks Tantri mengikuti tradisi kasta seperti masyarakat Bali saat ini. Karena bagaimanapun secara realita kekayaan kebudayaan masyarakat Bali yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia lainnya, salah satunya adalah sistem kasta tersebut. Berbicara tentang kasta dalam masyarakat Bali, dikenal istilah triwangsa atau tiga tingkatan kasta yang berlaku di Bali diadaptasi dari sistem kasta Hindu. Menurut Fitria Pratiwi (2012: 45). Ketiga tingkatan itu adalah Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Brahmana merupakan kasta tertinggi yang dimiliki oleh keturunan pedanda (orang commit to user yang bertaggung jawab atas agama). Ksatria merupakan kasta bagi para
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak4 yang mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Wesia, yaitu keturunan para pedagang dan orang yang terlibat dalam kegiatan kesejahteraan rakyat. Adapun kasta terendah, atau dapat dikatakan tidak memiliki kasta, adalah kasta untuk keturunan pendatang, yakni kasta sudra. Para sudra adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan klan di daerah tempat mereka tinggal, sehingga harus bekerja menjadi buruh tani. Adapun dalam kedua teks Tantri dalam penelitian ini Kidung Tantri Kĕdiri tetap mengikuti sistem sosial dari ajaran Hindu ini. Adapun novel Tantri Perempuan yang Bercerita, „memberontaki‟ konvensi sistem sosial kasta dalam masyarakat Hindu Bali. Pada awal cerita teks Kidung Tantri Kĕdiri misalnya, ada penyebutan tentang kasta ksatria dan sudra, seperti yang tergambar dalam dialog berikut. ...Seolah-olah heranlah Sri Eswaryapala melihat sifat ksatrianya pada saat itu. Beliau memerintah dengan berkuasa. Sebab terlihat sebagai satusatunya penguasa dunia di istana. Segala perintahnya dilaksanakan. Begitulah beliau dikenal sebagai Eswaryapala oleh seluruh dunia... . (Pupuh I baris 4 b – 5 a, 2009: 79) Dari dialog di atas dapat dilihat bahwa Eswaryapala disebut sebagai seorang ksatria, kasta dari keturunan raja yang memimpin sebuah negara. Seperti halnya sistem sosial kasta yang telah dijelaskan sebelumnya dalam agama Hindu yang menyatakan bahwa kasta ksatria merupakan kasta bagi para keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak yang mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Lalu penyebutan kaum sudra, seperti tergambar dalam dialog berikut. ... Maka sekarang beliau melihat perkawinan antar sudra. Sungguh ramai dan indah segala perhiasannya. Mereka diiringkan oleh keluarga dan sanak saudara, yang sangat bergembira. Sungguh sesak, sedangkan yang menonton sama-sama gembira dan girang memuji-muji perhiasan mereka. commitdan to user Subak merupakan institusi pertanian, ekonomi, keagamaan yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu di Bali (Pratiwi, 2012: 48). 4
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mereka saling bermain*, bernafsu dan tidak sabar melihat. Semua orang laki dan perempuan yang melihat para mempelai yang sedang bercubitan, jatuh cinta. (Pupuh I baris 5 b – 6 b, 2009: 79) Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Eswaryapala melihat perkawinan antar kasta sudra yang sepertinya sangat membahagiakan, sehingga membuatnya ingin menikah setiap harinya. Kata pernikahan „antar kasta sudra‟ di sini mengisyaratkan tentang hukum pernikahan di masyarakat Hindu Bali, bahwa apabila ingin menikah harus dengan orang yang memiliki kasta yang sama atau setara. Hal ini perlu disinggung sedikit mengingat masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, yakni sosok laki-laki dalam sebuah keluarga sangat penting dan diagungkan. Sistem patriarkal tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan dalam sosial-budaya masyarakat Hindu Bali, terutama kaitannya dengan pandangan masyarakat Bali terhadap wanita. Yang kemudian akan memunculkan isu ketidakadilan gender yang kini sering digaungkan oleh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Bali. Permasalahan tersebut kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita dalam merekonstruksi cerita klasik Tantri. Selain kasta ksatria dan sudra yang muncul dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, kasta brahmana juga disertakan, seperti yang tergambar dalam dialog. Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia
mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia. Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang berkualitas sempurna. (Pupuh I baris 103 b – 104 a, 2009: 128 – 129) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Cerita berbingkai dalam teks Tantri Kĕdiri memiliki banyak cerita tentang seorang pendeta beserta kebaikan perilakunya. Dalam penyebutan pendeta tersebut kebanyakan menggunakan kata brahmana, seperti dalam sistem kasta Hindu, bahwa brahmana merupakan orang yang bertanggung jawab atas agama. Contohnya seperti dialog di atas. Adapun di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita tidak menyebutkan kaum sudra dan brahmana seperti dalam teks Tantri Kĕdiri. Adapun menyertakan kaum brahmana, yakni kisah tentang pendeta seperti brahmana Dharmaswami sama halnya dengan teks Tantri Kĕdiri. Tetapi, penyebutan pendeta di novel Cok Sawitri bukan menggunakan brahmana melainkan bhagawan. Enggannya Cok Sawitri menggunakan istilah-istilah kasta dalam karyanya tentu memiliki alasan tersendiri. Misalnya dari penjelasan sebelumnya, bahwa masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, sehingga kehadiran sosok laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Mengingat Cok Sawitri merupakan sastrawan Bali yang gemar mengangkat isu feminis, sehingga hal ini mempengaruhi penulisan setiap karyanya termasuk dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Adanya sistem kasta di Bali mengakibatkan adanya ketidakadilan gender bagi kaum perempuan di Bali, sehingga Cok Sawitri ingin menghilangkan sistem kasta tersebut di dalam karyanya. c) Nilai-nilai agama Hindu yang terdapat di dalam cerita Tantri Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Menurut Putri, bahwa kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Masyarakat Hindu Bali juga percaya dengan ajaran hukum karma phala, dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan (Putri, 2012). Cerita binatang dalam Tantri memuat nilai-nilai agama Hindu tentang adanya hukum karma pahala atau sebab-akibat dalam segala tindakan seperti, mutlaknya karma bagi orang loba, karma bagi orang yang tidak bisa balas budi, tipu daya (baik itu tipu daya dalam hal baik atau tidak baik), dan balasan bagi orang yang berbuat baik, yakni surga. Salah satu contoh yang mengajarkan hukum karma karena sikap loba terdapat pada bagian kisah tentang matinya seekor burung Baka (bangau) karena sifat lobanya dalam cerita fabel kedua teks tantri, berikut ringkasan ceritanya. Dikisahkan di sebuah kolam terdapat berbagai macam ikan dan makhluk hidup air lainnya. Seekor burung bangau, Baka namanya tergoda untuk menyantap semua ikan yang ada di dalam kolam tersebut. Kemudian ia memiliki siasat, ia berpura-pura menjadi seekor burung pertapa yang menjadi pendeta dan mendekati penghuni kolam tersebut. Akhirnya, seluruh ikan yang ada di kolam tersebut telah percaya dengan kemuliaan dan sikap baik burung Baka yang setiap commit to user hari mengajarkan ilmu dharma kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
sebenarnya hal itu hanyalah sandiwara burung Baka. Untuk mengakhiri kesandiwaraan, si burung Baka tiba-tiba mengatakan kepada seluruh penghuni kolam bahwa ia mendengar ada kelompok manusia (nelayan) yang akan menjaring ikan-ikan di dalam kolam tersebut. Kemudian timbul kepanikan dan kesedihan di antara penghuni kolam tersebut. Dengan penuh kelicikan Baka menawarkan diri sebagai transportasi untuk memindahkan seluruh ikan-ikan tersebut ke sebuah telaga yang pernah ia lihat sebelumnya. Akhirnya, seluruh ikan telah ia terbangkan menggunakan mulut dan kedua cakarnya. Terakhir, ada tiga ekor ikan yang tersisa dan seekor kepiting. Kepiting itu meminta diangkut juga karena merasa tidak bisa hidup tanpa saudara-saudaranya yang lain, yakni ikan-ikan tersebut. Pada akhirnya, kepiting itu bergelantung di leher si burung Baka meggunakan kedua capitnya. Dari kejauhan si kepiting melihat seperti tumpukan tulang ikan di atas batu. Si kepiting curiga, bahwa burung Baka ini memakan teman-temannya. Ternyata dugaannya benar tulang-tulang yang dilihatnya adalah tulang dari teman-temannya. Tanpa ampun, si kepiting mencapit leher burung Baka itu hingga putus dan akhirnya tewas (Sawitri, 2011: 112 – 121). Kisah kelobaan burung Baka ini dijadikan sebagai ilustrasi sampul depan dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Melalui cerita tentang kelobaan burung Baka hingga menemui ajalnya dalam teks sastra Tantri tersebut, mengajarkan pembaca agar tidak berlebihan dan menjaga keseimbangan. Hakikatnya seperti penjelasan di atas, bahwa dalam ajaran Hindu menjaga keseimbangan dan harmonisasi itu sangat penting untuk mencapai kehidupan commit tosifat user loba atau ingin memiliki lebih yang bahagia. Jika, seseorang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
menggunakan cara licik maka, hukum karma pala atau sebab akibat akan berlaku. Si burung Baka berbuat tidak baik, sehingga ia mendapat ganjaran yang tidak baik pula. 3. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Mengikuti Konvensi Genre Teks Kidung Tantri Kĕdiri Teks Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai bentuk transformasi dari Kidung Tantri Kĕdiri mengikuti konvensi genre dari Kidung Tantri Kĕdiri, yaitu cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya disisipkan cerita-cerita lain (Fang, 1993: 1). Menurut Liaw Yock Fang (1993: 1) cerita berbingkai memiliki ciri-ciri: a) Biasanya seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. b) Dalam cerita sisipan mungkin ada cerita sisipan lagi, sehingga pada akhirnya cerita berbingkai biasanya menjadi panjang dan luas sekali. c) Dalam cerita berbingkai, binatang-binatang selalu diberi sifat manusia. Meskipun, Cok Sawitri mengikuti genre Kidung Tantri Kĕdiri dalam menyusun teks Tantri Perempuan yang Bercerita, yakni dengan genre cerita berbingkai. Namun, urutan cerita berbingkai karya Cok Sawitri berbeda dengan urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno, terlebih urutan cerita fabel yang ada di dalam cerita. Walaupun, urutan cerita berbingkai kedua teks berbeda dan ada beberapa cerita fabel yang ditambahi atau dikurangi, namun secara esensi cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks hampir sama. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terdapat 30 potongan cerita binatang. Adapun dalam Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
Sawitri terdiri dari 29 bagian cerita dalam daftar isi yang di dalamnya terdapat 30 cerita binatang. Kedua teks memiliki 27 cerita yang sama dari total 30 cerita yang ada dari masing-masing teks. Tentu perbedaan dalam menyusun cerita berbingkai dari kedua teks memiliki tujuan dan maksud sendiri dari sang penulis atau sang penyadur. Namun yang terpenting adalah esensi utama dari cerita berbingkai terutama cerita fabel di dalam kedua teks sastra tidak berbeda jauh. Perbedaan dan persamaan cerita berbingkai dari kedua teks dapat dilihat sebagai berikut. 1) Bingkai utama Dari bingkai utama kedua teks sama-sama menceritakan kehidupan tokoh utama, yakni Tantri dan Eswaryapala. Eswaryapala adalah seorang raja yang meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Kemudian Tantri bersedia dipersembahkan kepada Eswaryapala melalui ayahnya sendiri, Mahapatih Bandeswarya dengan tujuan untuk mengajarkan nitisastra agama Hindu kepada Eswaryapala, agar Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Untuk menghentikan kelaliman Eswaryapala Tantri mendongeng cerita fabel berbingkai yang tidak habis diceritakan dalam satu malam kepada raja Eswaryapala. Cerita fabel berbingkai tersebut berasal dari kitab sastra agama Hindu. Melalui dongeng Tantri tersebut Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik setiap hari. Yang membedakan dari kedua teks mengenai bingkai utama ini adalah jika di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri bagian bingkai utama langsung mengisahkan to user untuk dinikahkan dengan gadis tentang raja Eswaryapala yang commit menginginkan
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cantik setiap harinya agar ia memperoleh kebahagiaan. Setelah itu dikisahkan karena wanita cantik di lingkungan istana telah habis, maka Bandeswarya mempersembahkan anaknya Dyah Tantri untuk dijadikan isteri oleh raja. Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bingkai utama awalnya menceritakan tentang prajurit Sang Setia yang selalu tunduk dan patuh kepada atasan. Prajurit Sang Setia inilah yang menculik dan membawa gadis cantik dan perawan setiap malamnya ke hadapan sang raja. Sang raja memiliki penyakit susah tidur karena dia selalu merasa khawatir dan cemas memikirkan negaranya. Oleh karena itulah, Punggawa Istana mempersembahkan gadis cantik dan perawan setiap harinya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan, sehingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan. Ni Diah Tantri yang mengetahui berita itu dari ayahnya Bandeswarya, dengan suka rela merelakan dirinya dipersembahkan kepada raja Eswaryadala untuk dijadikan isteri. Tantri mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan negara Patali Nagantun dari hukum karma Sang Hyang Widi karena memiliki raja yang suka menikah. Selain itu, Tantri juga ingin menyadarkan kelaliman Eswaryadala dan menyelamatkan para gadis korban persembahan para Punggawa Istana. Awalnya Eswaryadala ragu menerima persembahan Bandeswarya, karena Bandeswarya sudah dianggap ayah dan Tantri dianggapnya sebagai adik sendiri. Namun, rasa sayang dan ketertarikannya kepada Tantri yang selama ini dipendamnya tak mudah dibendung. Eswaryadala pun menerima persembahan Tantri untuk dijadikan isterinya. commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berbeda dari kaya hiogramnya yang memiliki kesamaan cerita „Kisah 1001 malam‟ yang mengisahkan seorang gadis yang mendongeng kepada seorang raja agar berhenti meminta dinikahkan setiap harinya. Karya Cok Sawitri lebih menekankan cerita seorang perempuan yang menyadarkan raja dari sikap lalimnya, hingga akhirnya sang raja mengakui kesalahannya. Hal tersebut tidak terlepas dari daya kreativitas Cok Sawitri dalam merekonstruksi novelnya dari karya hipogramnya. Perbedaan lainnya dalam bingkai utama kedua teks ini adalah dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri Eswaryapala langsung menggelar pesta pernikahannya dengan Tantri. Adapun di dalam novel karya Cok Sawitri tersebut Eswaryadala belum menikahi Tantri karena janjinya untuk mendengarkan dongeng dari Tantri hingga selesai. 2) Skema perbedaan naratologi dalam cerita berbingkai kedua teks Bagan 2 Skema naratologi dalam Kidung Tantri Kĕdiri Bingkai Utama Cerita Binatang
Nandakaprakarana 1. Srigala dan genderangnya (Tertipu Tipuan Suara-suara) 2. Dua Burung Betet Meniru Pengasuhnya 3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura 4. Dua Ekor Kutu I 5. Kelobaan Burung Baka (Bangau)
6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah
commit to user
7. Sewanggara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8. Singa dan Kawan-Kkawannya 9. Burung Kedidi Mengalahkan Dewa Samudera 10. Kisah Kera dan Pemburu 11. Sang Brahmana, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan 12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa 13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera 14. Macan yang Dihidupkan Pendita 15. Kepiting Baik dan Sang Pendita 16. Kera dan Burung-Burung Manyar 17. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran 18. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah 19. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya 20. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan 21. Kisah
Seorang
Pemburu
yang
Menginginkan
Susu
tanpa
Memerahnya 22. Burung Pelatuk dan Harimau 23. Singa dan Hutan 24. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran 25. Hewan Lima Sekawan yang Saling Menolong 26. Ular dan Tikus 27. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya 28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda 29. Kambing yang Menakuti Harimau commit to user 30. Sang Raja Aridarma yang Mengenal Bahasa Hewan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 3 Skema naratologi dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
Bingkai Utama Sang Setia Pemburu Gadis Kasmaran Bingkai Cerita Fabel (Nandaka, Candapinggala dan Sambada)
S
1. Tertipu Tipuan Suara-suara 2. Burung Atat Meniru Pengasuhnya 3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura 4. Dua Ekor Kutu 5. Kelobaan Burung Bangau 6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah 7. I Cewagara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut
8. Kejelekan Tingkah Laku Singa 9. Burung Tinil Mengalahkan Dewa Samudera 10. Kisah Pemburu Kejam I Papaka dan Kera 11. Sang Pendita, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan 12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa 13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera
14. Macan yang Dihidupkan Pendita commit to user 15. Kepiting Baik dan Sang Pendita
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
16. Kera dan Burung Sangsiah 17. Kisah Keburukan Kera 18. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran 19. Kera Nakal yang Menipu Ayam Jantan 20. I Lutung, Kera Hitam yang Tak Tahu Balas Budi 21. Kambing yang Menakuti Harimau 22. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah 23. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya 24. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan 25. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa Memerahnya 26. Burung Gagak dan Pohon Kepuh 27. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran 28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda 29. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya 30. Sang Raja Arya Dharma yang Mengenal Bahasa Hewan
Dari kedua skema di atas dapat dilihat perbedaan dan juga persamaan urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks. Judul-judul cerita di atas tidak sama dengan judul yang disusun oleh pengarang novel dan penerjemah Kidung Tantri Kĕdiri. Namun, peneliti sesuaikan dengan kondisi yang ada untuk mengetahui hubungan intertekstual di antara kedua teks. Selain itu agar pembaca lebih mengerti dimana letak perbedaan dan persamaan urutan cerita di antara kedua teks. Banyak persamaan urutan dan jumlah cerita yang terdapat dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
kedua teks. Ada pun perbedaannya tidak banyak, perbedaan urutan cerita berbingkai antara kedua teks seperti berikut. a. Dari urutan cerita 1 – 16 kedua teks memiliki urutan yang sama. Adapun urutan cerita 17 – selesai mengalami sedikit perbedaan dengan pengurangan dan penambahan cerita. Dari urutan 1 – 16 tersebut memang sama, namun hanya mengalami sedikit perbedaan pada nama tokoh yang terdapat di dalam cerita, seperti: 1) Jika di dalam teks Tantri Kĕdiri bagian 3 menceritakan kisah burung betet, maka di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita disebutkan burung atat. 2) Kemudian jika di dalam cerita Tantri Kĕdiri bagian 5 menceritakan seekor kutu dan kepinding, si kutu bernama Syasa Adapun si kepinding bernama Candila. Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di bagian 5 mengisahkan dua ekor kutu yang disebut I Titih dan I Tuma, si I Tuma bernama I Sadaka dan I Titih bernama Candila. 3) Ada juga beberapa sosok manusia yang memiliki kisah sama, namun nama tokohnya berbeda, seperti jika di dalam Tantri Kĕdiri tentara yang melihat seekor kera menari di tengah laut bernama Sewanggara, maka di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dinamai I Cewagara. Lalu dua orang penyadap tuak dalam Tantri Kĕdiri bernama Surada dan Walacit Adapun di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bernama I Welacit dan I Surada. b. Pada urutan cerita ke – 17 dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita diceritakan mengenai keburukan sifat kera yang di dalamnya memiliki tiga kisah keburukan sifat kera, yakni 1. Kera dungu yang membunuh commit to user pangeran, 2. Kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan, 3. I Lutung,
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kera hitam yang tak tahu balas budi. Adapun di dalam teks Tantri Kĕdiri keburukan sifat kera itu hanya diceritakan dalam satu bagian saja, yakni kera dungu yang membunuh pangeran. Jadi, kisah kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan dan I Lutung, kera hitam yang tak tahu balas budi merupakan tambahan sendiri oleh Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita. c. Penambahan dan penghilangan cerita fabel dalam kedua teks terjadi pada beberapa bagian cerita, seperti: 1) Di atas sudah dijelaskan sedikit penambahan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengenai kisah keburukan sifat kera yang mengalami dua penambahan bagian cerita. Kemudian penambahan cerita dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang lainnya adalah kisah kasiapa kepuh, yakni cerita pohon kepuh dan burung gagak. 2) Yang dihilangkan oleh Cok Sawitri terkait teks Tantri Kĕdiri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita adalah „singa dan hutan‟ serta „hewan lima sekawan yang saling menolong‟, kisah ini berkaitan dengan cerita gajah yang sok berkuasa, sehingga dikalahkan lima hewan lemah. Lalu cerita ular dan tikus yang menceritakan kisah si ular yang tak tahu balas budi. d. Selain penambahan dan pengurangan cerita binatang dalam cerita berbingkai antara kedua teks juga terdapat perbedaan dalam urutan cerita. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pada urutan cerita 17 – selesai kedua teks memiliki urutan cerita yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat di dalam skema yang telah digambarkan di atas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Meskipun skema persamaan dan perbedaan urutan cerita berbingkai di atas memiliki kekurangan, yakni sisipan cerita-cerita fabel di dalam cerita berbingkai terlihat kurang jelas. Namun, setidaknya kedua skema di atas memberikan gambaran awal kepada pembaca bahwa Cok Sawitri memang mengikuti konvensi genre teks Tantri Kĕdiri menggunakan cerita berbingkai dalam menulis novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita, tapi Cok Sawitri tidak melakukan imitasi secara serta merta. Maksudnya, Cok Sawitri tidak melakukan peniruan struktur teks secara keseluruhan, melainkan ia memasukkan ideologi dan otoritasnya pribadi dalam membuat novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang disesuaikan dengan perkembangan zaman di dalam masyarakat saat karya itu ditulis. Cok Sawitri menempatkan beberapa cerita di tempat yang berbeda dengan cerita binatang yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Selain itu, Cok Sawitri juga melakukan penambahan dan pengurangan dalam menyusun cerita fabel yang ditulisnya. Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan daya kreativitas Cok Sawitri dalam mengubah sebuah karya sastra yang telah ada. 4. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Mengutip Secara Implisit Maupun Eksplisit dari Teks Kidung Tantri Kĕdiri Teori intertekstual menjelaskan tentang hubungan antar teks, bahwa tidak ada teks sastra yang benar-benar mandiri. Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Begitu pula novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya sastra yang ditulis oleh Cok Sawitri tersebut merupakan bentuk transformasi dari kutipan dan penyerapan dari teks-teks lain. Kutipan-kutipan itu dilakukan baik secara implisit maupun commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
eksplisit, baik dikutip langsung dari teks yang telah ada maupun dari konteks sosial budaya yang berada di luar teks yang melingkupinya. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita, kalimat, alur, bunyi dialog dan lainnya yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri secara implisit maupun eksplisit dengan menyesuaikan konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Bali saat ini. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita menyerap kutipan-kutipan teks Tantri Kĕdiri secara implisit seperti pada cerita berbingkai, baik pada bingkai utama pada tokoh utamanya, yakni kehidupan Ni Diah Tantri dan Eswaryadala maupun cerita berbingkai pada cerita fabel yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengikuti konvensi genre dalam teks Tantri Kĕdiri dengan konsep cerita berbingkai. Hal tersebut juga merupakan salah satu kutipan, dan penyerapan teks-teks lain. Karena isi cerita berbingkai dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut sama dengan isi cerita berbingkai yang terdapat di dalam naskah Tantri Kĕdiri. Contohnya pada bagian awal cerita berbingkai pada cerita fabel, pertemuan antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada, yang membuat Sambada mengadu domba Nandaka dan Candapinggala hingga mengakibatkan keduanya mati. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dikisahkan awal dongeng Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala menceritakan tentang seorang Bhagawan Dharmaswami yang melakukan tapa brata kemudiaan dianugrai seekor sapi jantan bernama Nandaka oleh Sang Hyang Widi. Seperti pada cuplikan adegan di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Dahulu kala, ada seorang pandita miskin bernama Bhagawan Dharmaswami. Walaupun miskin, pandita itu sungguh teguh melakuakan tapa brata (pengendalian perilaku). Setiap pagi tak pernah ia luput melakukan Surya Sevana (memuja matahari di pagi hari). Oh, Dewa Surya yang pemurah, selalu mencatat dengan seksama keteguhan hati sang pandita. Hingga suatu hari dari langit terdengar suara... . (Sawitri, 2011: 29). “Hai pandita yang teguh hati, kuberi engkau seekor lembu... .” Bhagawan Dhawmaswami dengan semangat memberi lembu itu nama Nandaka (Sawitri, 2011: 30 – 31). ...Hari ke hari hingga memasuki hitungan yang kelima belas, Bhagawan Dharmaswami mulai berpikir-pikir, mulai meras kerepotan mengurus Nandaka, “Dahulu, guruku, Dhang Guru Wasista dianugerahi seekor lembu putih lembu betina, yang diberi nama Nandini. Lembu itu pemurah, sebab dari susunya, Dhang Guru Wasista bisa meminta apa saja! Bukan air susu saja yang dapat diperah dari susu Nandini, segala keperluan Dhang Guru terpenuhi oleh perahan susu itu. Sebaliknya, aku sekarang dianugerahi lembu jantan. Ah, pejantan macam ini, apa gunanya?... .” (Sawitri, 2011: 32). ...Diceritakan kini di pagi hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka ke hutan, memondonginya kayu-kayu bakar, hingga gelap tiba barulah kembali ke Pasraman. Keesokan harinya Nandaka memondong kayu-kayu bakar itu ke pasar terdekat. Begitu seterusnya setiap hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka berjualan kayu bakar ke pasar. ... Begitulah ceritanya dalam sekejap mata, tak terpikirkan oleh akal sehat, Bhagawan Dharmaswami menjadi pandita yang sangat kaya raya (Sawitri, 2011: 33 – 34). Kutipan-kutipan pada novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut merupakan penyerapan dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Seperti yang tergambar dalam naskah berikut. Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia (Pupuh I baris 103 b, 2009: 127). Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang berkualitas sempurna (Pupuh I baris 104 a, 2009: 129). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Ialah bernama Nandaka yang sempurna, warnanya hitam indah. Betulbetul anugerah Sang Hyang Widi (Pupuh I baris 104 b, 2009: 129). “Lho apakah alasannya saya dibebani seperti ini?” Begitu pikirnya dalam hati akan anugerah Sang Hyang Widi. “Ini mustahil, sebab dulu orangorang bijaksana semua dianugerahiNya sapi betina. Seperti bagawan Wasista yang dianugerahi* lembu sang Nandini. Keistimewaannya adalah susunya (Pupuh I baris 105 a, 2009: 129). Nah yang ini apa maksudnya?” Begitu katanya dalam hati. Lalu kemudian si Nandaka dimuati dengan kayu-kayu dibawa ke hutan Andakawana. Sekembalinya mendapatkan kayu, dijual dan menjadi beras. Beras yang bertambah dijual lagi menjadi emas. Emas dipakainya membeli barang dagangan (Pupuh I baris 105 b, 2009: 129). Begitulah cara ia berdagang. Berputar-putar sehari-harinya membuat bertambah hartanya (Pupuh I baris 106 a, 2009: 129). Setelah beberapa waktu lamanya maka semakin bertambahlah para hamba pelayan dan pedatinya. Apalagi sapi-sapinya beribu-ribu jumlahnya (Pupuh I baris 106 b, 2009: 129). Maka rezeki daripada sang brahmana ada di mana-mana. Ia menemukan keberuntungan. Semakin bertambahlah harta benda serta sapi-sapinya, menjadi banyak. Maka ia pun sungguh telah mencapai tujuannya (Pupuh II baris 1 a, 2009: 131). Begitulah awal cerita asal mula keberadaan Nandaka. Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah sang bangsawan dan rombongannya yang ingin berdagang di ibu kota, sehingga ia mempersiapkan semua dagangan dan rombongan yang dibawanya. Ia harus melewati hutan Malawa yang dikenal menyeramkan dengan banyak binatang buas dan perampok, sehingga ia harus bergegas. Setelah melewati hutan Malawa rombongan Bhagawan Dharmaswami itu pun beristirahat dan membangun tenda. Namun, Bhagawan Dharmaswami menyadari bahwa sapi Nandaka dan dua orang pelayannya belum sampai di tempat peristirahatan, sehingga ia kembali ke hutan Malawa untuk mencari Nandaka. Setelah itu sang Bhagawan Dharmaswami pun kebingungan melihat Nandaka yang sedang sekarat di tengah hutan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita berisi seperti gambaran berikut. Dengan kesal Nandaka menggerutu di hati. “Duh, beginikah sikap seorang brahmana yang bergelar Bhagawan Dharmaswami? Puah! Ah, sungguh tak layak gelar itu. Sebab tak sedikit pun sikap Bhagawan Dharmaswami menunjukkan sikap pejalan dharma! Namanya saja Dharmaswami! Tetapi sifat dan perilakunya sungguh jauh dari kedharmaan! Bhagawan itu terlalu loba, moha, murka, mada, tidak sedikit pun ingat nasibnya di masa lalu. Sifat-sifat serakah, kebingungan, pemarah, dan mabuk kekayaan sudah menguasai dirinya... .” (Sawitri, 2011: 40). Adapun isi cerita dalam teks hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri seperti berikut. “Ia dianggap Dharmaswami* di dunia, <padahal> sungguh papa perbuatannya. Tidak tahu berterima kasih. Dulu waktu ia masih miskin, kasihan sekali dia. Lalu aku ditaruhi barang dagangan, ia pergi berniaga, aku memuat kayu-kayu (Pupuh II baris 13 a, 2009: 139). Ia dulu berjualan kayu, lalu terlihat menjadi beras dibawa ke daerah tengah. Berasnya terlihat bertambah menjadi emas yang tak bisa dihitung adanya. Dan lagi lembu-lembunya dua, tiga. <Sekarang> genapnya ada seratus, duaratus (Pupuh II baris 13 b, 2009: 139). Bahkan sekarang ini hampir seribu, penuh dengan harta bendanya. Tetapi aku tidak diberinya sedikitpun , berjalan-jalan, bersantaisantai sedikitlah supaya agak terang hatiku. Malah aku sendiri dimuati dagangan, dipegangnya erat-erat dan dikatakan bahwa aku sudah terlatih dan kuat untuk membawa barang dagangan besar! (Pupuh II baris 14 a, 2009: 139). Apa itu Dharmaswami? Kalau perbuatannya begitu Papaswami* namanya!” Maka begitulah pikiran Nandaka (Pupuh II baris 14 b, 2009: 139). Kemudian cerita dalam kedua teks sastra ini menceritakan bahwa Nandaka tetap berpura-pura seakan sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Ia sudah tak sudi mengikuti Bhagawan Dharmaswami yang memperlakukannya dengan tidak baik dan tidak tahu budi tersebut. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita commit to user kemudian gambaran cerita selanjutnya seperti pada dialog berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
Lalu Bhagawan Dharmaswami memangil dua pelayannya, “Hei, Palet dan kau Wipe, si kusir akan menggendong sebagian isi pedati, sebagian lagi akan kutarik dengan kudaku, kalian berdua jagalah Nandaka di sini. Andai nanti dia sadar, kembali membaik segera pondongi punggungnya kayu bakar sekuat-kuat yang mampu dia gendong, jika dia mati, siapa tahu ada pemburu ataukah peladang yang melewati jalan ini, siapa saja mereka, tawarkan daging Nandaka. Jangan ragu, jual saja! Kalau ternyata mereka tidak mau beli, kalian berikan saja dagingnya kepada siapa saja yang lewat. Kalau tidak ada yang lewat, nasib si Nandaka untuk dibakar! Bakar dia, biarkan menjadi abu... .” (Sawitri, 2011: 43). Kutipan tersebut dalam Kidung Tantri Kĕdiri tergambar dalam dialog berikut. Adalah hambanya dua orang cebol namanya Sinet dan Teka. Maka berkatalah sang brahmana: “Wahai dua hambaku orang cebol, berbaik hatilah dan tungguilah sang Nandaka. Apabila* ia hidup, bawalah ke Udyani Malawa dan muatlah* semua barang dagangan yang kalian lihat (Pupuh II baris 16 a, 2009: 141). Jika ia mati, bakarlah oleh kalian. Memang sudah sengsara*. Sedangkan barangbarangnya masing-masing berikanlah kepada orang yang lewat di hutan. Akan berbahagia aku jika diberikan kepada seorang pandita atau orang-orang yang mewakilinya* dengan tujuan supaya berhasillah perjalananku (Pupuh II baris 16 b, 2009: 141). , usahakan barang-barang dagangan yang mulia, terutama emas, supaya dibawa ke tempatku. Tetapi apabila dimuat di pedati dan barangnya tidak muat, tunggulah dan jagalah barangku oleh kalian berdua (Pupuh II baris 17 a, 2009: 141). Cerita kedua teks berlanjut, kedua pelayan itupun memutuskan untuk meninggalkan Nandaka di hutan karena tidak mungkin ia bisa bertahan hidup. Lagipula kedua pelayan tersebut takut akan ancaman yang mungkin terjadi di tengah hutan Malawa tersebut. Oleh karenanya, mereka membuat sebuah siasat. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di ceritakan oleh Cok Sawitri sebagai berikut. “Ayolah, kita kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuktumpuk kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-tumpuk kayu bakar ini commit to user memanjang, lalu melingkari tubuh Nandaka, jejerkan seukuran tubuhnya,
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tumpukan yang paling ujung letakkan di dekat tubuh Nandaka. Nanti, kita bakar dari ujung yang lain, yang terjauh dari Nandaka, sebab tidaklah dibenarkan membakar makhluk yang masih hidup, itu dosa yang sungguh tak terampunkan, disebut upadarwa. Nah, jika dari ujung kita bakar, api akan menjalar perlahan menuju Nandaka. Pastilah saat api tiba ditumpukan kayu terakhir, Nandaka sudah meregang nyawa. Ayo sekarang kita kumpulkan kayu kering... .” (Sawitri, 2011: 44). Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut. ... “Coba kamu menimbun kayu dan menyulut api sampai berkobar meletup-letup dan asapnya kelihatan dari jauh. Maka itulah akan menjadi buktimu kalau kamu sudah membakar bangkai si lembu.” (Pupuh II baris 20 b, 2009: 143). Begitulah ujar si Teka. Segeralah ki Sinet menimbun kayu dan berkata: “Ditaruh di mana kayu ini? Si Nandaka kubakar.” Si Teka lalu menjawab: “Jangan begitu. Itu dilarang oleh tradisi. Itu namanya gohatyā* bung (Pupuh II baris 21 a, 2009: 143). Sama dengan membunuh seorang brahmana artinya. Nah kalau mau menumpuk kayu, tempatnya agak jauhan ya. Lalu sulutlah apinya. Jika sudah membara, tinggalkan. Maka siasat kita sudah mulai.” (Pupuh II baris 21 b, 2009: 143). Maka ki Teka berkata: “Sinet, coba datangi tempat Nandaka dan lepas talitalinya semua. Jangan ada yang tertinggal, termasuk penopangnya*.” Maka segeralah semua dilepas (Pupuh II baris 22 a, 2009: 143). Jadi, begitulah siasat yang dilakukan kedua pelayan Bhagawan Dharmaswami meninggalkan Nandaka dan membuatnya seolah-olah Nandaka telah meninggal. Kemudian mereka menemui sang Bhagawan Dharmaswami dan melaporkan bahwa Nandaka telah dibakar. Setelah Nandaka ditinggalkan oleh kedua pelayan tersebut larilah ia ke tengah hutan mencari makan dan tempat tinggal. Hingga akhirnya Nandaka bertemu segerombolan anjing yang menyerangnya. Mereka adalah pasukan raja hutan, seekor singa yang bernama Candapinggala. Grombolan anjing itu dipimpin oleh seekor patih bernama Sambada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Suatu hari mereka diperintahkan oleh Candapingala untuk berburu hewan lainnya di dalam hutan. Hingga akhirnya mereka menemukan Nandaka binatang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di dalam hutan Malawa. Mereka pun segera menyerang Nandaka sebagai hewan buruan mereka. Nandaka dengan gusar melawan pasukan anjing itu dan mereka pun terluka karena srudukan dan tendangan Nandaka. Pasukan anjing itu kemudian melaporkan kejadian itu kepada Candapinggala dan Sambada, sehingga Sambada pun marah melihat keadaan pasukannya. Setelah itu Candapinggala ditemani oleh Sambada melihat langsung makhluk seperti apa yang telah melukai pasukannya, maka bertemulah Candapinggala dan Sambada dengan Nandaka. Potongan adegan itu tergambarkan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai berikut. ... raja hutan Malawa itu menyapa Sang Nandaka, “Wahai, Tuan, Siapakah Anda? Binatang jenis apakah Anda? Dari manakah asal Anda? Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda? Sungguh, saya kagum dengan penampilan Anda, demikian berwibawa, gemuk hitam dan gagah perkasa! Sulit bagi saya mencari perumpamaan untuk memuji penampilan Anda... .” (Sawitri, 2011: 70). ... “oh ho! Baiklah, seperti yang Anda tanyakan, sekarang dengaranlah dengan baik-baik apa yang akan hamba sampaikan sebagai jawaban. Nama hamba Nandaka, putra dari Sang Arjuna dan Dewi Surabi. Hamba ini, cucu jauh dari Ida Bhagawan Sahasra Walikia. Masa kanak hamba digembalakan oleh Batara Guru. Lama hamba diberi kesempatan menjadi abdi beliau... .” (Sawitri, 2011: 72). Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut. ... Kemudian ia disapa oleh sang Raja Margasatwa: “Aduh hewan apakah anda ini? Dan siapa sebutan nama anda, serta dari manakah anda asalnya dan mau ke mana? Apakah maksud anda datang ke sini? Apakah rencana anda sahabatku?* (Pupuh III baris 11 b, 2009: 167). “Sungguh terpencil ini commit Udyani to user Malawa, tempat saya. Sungguh heran saya melihat keadaan anda baru saja datang mengembara di hutan
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
ini untuk pertama kalinya sepertinya tidak ada yang sama. Apakah anda tak tahu bahwa saya adalah sang Candapinggala yang dianggap sebagai raja, Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 a, 2009: 167). “Tidak lain sayalah yang menguasai kehidupan semua margasatwa yang berada di hutan ini. Makanya sungguh-sungguh berilah saya tahu, mohon maaf.” Maka jawab sang Nandaka: “Ah artinya Tuan sungguh-sungguh Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 b, 2009: 167). “Maka dengan izin anda, yang termashyur wahai Tuan Candapinggala yang memiliki bala tentara serigala semuanya, ketahuilah saya adalah putra sang Aruna dari Surabi sebagai istrinya. Maka mereka ini ayah dan ibu saya.” (Pupuh III baris 13 a, 2009: 167). “Saya dianggap cucu Bagawan Sasra Walikilya. Saya Nandaka, wahana Batara Parameswara (Pupuh III baris 13 b, 2009: 167). Begitulah kisah awal mula pertemuan Nandaka, Candapinggala dan Sambada yang membawa Candapinggala ingin berteman dengan Nandaka, sehingga membuat Sambada mengadu domba keduanya hingga menyebabkan kematian bagi keduanya. Cerita antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini merupakan tonggak terpenting dalam cerita Tantri karena cerita ini merupakan bagian nitisastra dari kitab sastra agama Hindu yang mengajarkan dharma. Selain itu dari cerita ketiga tokoh binatang inilah kemudian muncul beberapa cerita sisipan lainnya, sehingga menyebabkan cerita Tantri ini sebagai cerita berbingkai. Jadi, kehadiran dari cerita Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini sangatlah penting dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, Cok Sawitri dalam menulis novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip isi cerita berbingkai kisah binatang yang terdapat di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri. Dari penggambaran adegan dan dialog dari kedua teks tersebut, maka dapat dilihat bahwa memang Cok Sawitri mengutip dan menyerap teks Kidung Tantri Kĕdiri ke dalam karya transformasinya, yakni Tantri Permpuan yang commit to user Bercerita secara implisit, meskipun kata-kata dan bahasanya tidak sama. Namun
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara signifikasi (pemaknaan), dapat dilihat bahwa memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagaian cerita yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Bahkan alur cerita yang digunakan dalam Tantri Kĕdiri diikuti oleh Tantri Perempuan yang Bercerita. Sedikit perbedaan bahasa maupun gaya penceritaan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan Cok Sawitri tidak hanya mengutip teks secara implisit saja melainkan juga secara eksplisit. Pengutipan teks secara eksplisit maksudnya mengutip teks tidak hanya apa yang ada di dalam teks lain, baik itu dari segi bahasa, cerita, alur dan lain sebagainya. Namun juga mengutip apa yang ada di luar teks, seperti konteks sosial budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik dari cerita tersebut. Mengingat bahwa jangkauan dari kajian interteks yang sangat luas, sehingga hubungan intertekstual tidak hanya bisa dihubungkan antara teks dengan teks saja, melainkan juga bisa antara teks dengan hal yang lainnya seperti, karya seni, drama, sejarah, budaya dan lain sebagainya. Begitu juga dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita, isi ceritanya tidak hanya mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri secara imlisit. Namun, novel Tantri Perempuan yang Bercerita ini juga melakukan pengutipan secara eksplisit terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali. Salah satu contohnya adalah mengangkat isu yang sedang berkembang di masyarakat Bali, seperti masalah ketidakadilan gender. Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang isu ketidakadilan gender terkait adanya sistem sosial dalam masyarakat Hindu Bali, commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yakni sistem kasta dan patriarkal. Adanya kedua prinsip tersebut membuat posisi wanita di masyarakat Hindu Bali dianggap kurang penting. Dengan adanya sistem kasta di masyarakat Hindu Bali membuat wanita Bali tidak bisa bebas menentukan pilihan, salah satu contohnya dalam hal pernikahan. Di Bali wanita diharuskan menikah dengan kasta yang sama. Jika dia menikah dengan kasta yang lebih rendah dari kasta keluarganya, maka ia harus rela meninggalkan keluarganya selamanya. Berbeda dengan laki-laki, apabila lakilaki menikah dengan wanita berbeda kasta, ia tidak diharuskan meninggalkan keluarga atau kastanya. Wanita Bali selalu harus hidup dalam kungkungan para laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2012: 51), bahwa saat perempuan masih kecil dan hidup bersama orang tuanya ia harus menuruti perintah ayahnya. Saat perempuan Bali menikah, ia harus menuruti perintah dan mengabdi kepada suaminya, dan saat suaminya meninggal perempuan Bali harus menuruti perintah anak laki-lakinya. Ketidakadilan gender tersebut membuat wanita Bali tidak memiliki kebebasaan dan seakan dibungkam untuk tidak mengeluarkan pendapat. Hal itu kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri dalam merekonstruki novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tersebut salah satunya ia lakukan kepada kedua tokoh utamnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan berani dalam berpendapat melalui dongengnya kepada raja Eswaryadala. Pada akhir cerita, Eswaryadala pun dibuat sebagai sosok laki-laki yang jantan dengan mengakui kesalahannya dan commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meminta maaf serta membebaskan tokoh Tantri untuk menentukan pilihannya sendiri. Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita beserta tokoh utama wanitanya, yakni Ni Diah Tantri direkonstruksi dengan mengikuti ideologi Cok Sawitri sebagai salah satu sastrawan Bali yang giat mengangkat isu feminisme dalam karyanya. Jadi, secara otomatis novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang ia hasilkan memiliki prespektif berbeda dari cerita Tantri klasik yang pernah ada. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita secara implisit mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri dan secara eksplisit menggunakan isu feminisme untuk diselipkan ke dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal ini membuktikan bahwa Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri sebagai pengarang yang merekonstruksi sebuah cerita klasik ke dalam novel modern disesuaikan dengan pemaknaan dan prespektif dari pengetahuan dirinya pribadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
B. Rekonstruksi Tokoh Utama, Ni Diah Tantri dan Eswaryadala oleh Cok Sawitri dalam Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Terhadap Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Soekatno Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno terletak pada struktur cerita novel. Struktur tersebut meliputi alur cerita, latar cerita dan terutama penokohan. Melalui ketiga unsur tersebut, maka dapat dilihat bentuk rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya. Namun untuk melihat rekonstruksi tersebut, perlu diperlihatkan terlebih dahulu mimesis atau peniruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam karyanya terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogramnya. Cok Sawitri melakukan tiruan atau lebih tepatnya tetap mempertahankan struktur utama cerita Tantri Kĕdiri karena dianggap masih relevan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali saat ini. Mimesis yang dilakukan Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya antara lain adalah cerita fabel, seloka atau puisi, dan struktur cerita. Pada akhirnya, struktur cerita Tantri Kĕdiri yang ditiru oleh Cok Sawitri melahirkan creatio atau kreativitas. Alur cerita Tantri Kĕdiri memiliki kronologi yang runtut dan kisah antara manusia dengan cerita bingkai binatang terpisah, sedangkan Cok Sawitri mencampurkan cerita manusia dengan cerita binatang untuk mendukung karakter tokoh utamnya. Kemudian Cok Sawitri lebih detail dalam menggambarkan latar cerita. Karakter tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri commit to user dan Eswaryadala di Tantri Perempuan yang Bercerita digambarkan berbeda oleh
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
Cok Sawitri bila dibandingkan dengan penggambaran tokoh utama dalam karya hipogramnya Tantri Kĕdiri. Hal ini tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang ingin menyuarakan kaum powerless (kaum lemah), yakni perempuan, sehingga tokoh Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang cerdas dan berani bersuara terutama di ranah publik tidak hanya mengurusi ranah domestik saja. Sebagai seorang penulis, Cok Sawitri bebas melakukan „pemberontakan‟ (dalam batas tertentu), baik itu pemberontakan antara konvensi sastra maupun konvensi sosial budaya. Melalui mimesis yang dilakukan oleh Cok Sawitri dapat dilihat creatio atau kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan maupun rekonstruksi dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri. Rekonstruksi yang dilakukannya, terutama melalui tokoh utamanya, yakni Ni Diah Tantri merupakan wujud nyata „pemberontakan‟ yang dilakukan Cok Sawitri. Bukan pemberontakan dalam bentuk seksualitas yang sering dilakukan oleh penulis sastra perempuan lainnya, Cok Sawitri melalui Ni Diah Tantri menampilkan sosok perempuan yang cerdas, pemberani dan bahkan mendapat pengakuan dari laki-laki. Untuk melihat rekonstruksi ataupun pemberontakan apa saja yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri perlu dijelaskan terlebih dahulu tiruan (mimesis) yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Dengan demikian dapat dilihat pula creatio atau kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan maupun rekonstruksi dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri commit to user terjemahan Soekatno.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Mimesis Cok
Sawitri
melakukan
mimesis
atau
mungkin
lebih
tepatnya
mempertahankan beberapa bagian cerita dari bentuk asli cerita Kidung Tantri Kĕdiri. Beberapa bagian itu adalah 1) Cerita fabel Cerita fabel atau cerita binatang di Indonesia dikenal sebagai cerita dengan tokoh para binatang dan biasanya tokoh binatang tersebut berperilaku atau memiliki sifat yang sama dengan manusia. Cerita Tantri identik dengan cerita binatang yang bekisar tentang kisah sapi keturunan dewata bernama Nandaka. Nandaka berteman dengan seekor singa yang juga raja hutan Malawa, yakni Candapinggala. Keduanya tewas setelah diadu domba oleh Sambada patih Candapinggala yang diwujudkan sebagai seekor anjing hutan (Serigala pada versi Tantri Kĕdiri). Dari ketiga tokoh utama cerita binatang yang ada di dalam cerita Tantri ini kemudian muncul beberapa cerita binatang lain yang menyusun struktur cerita hingga membentuk rangkain cerita berbingkai yang menjadi panjang dan luas. Dari rangkaian cerita binatang inilah yang membuat cerita Tantri menjadi istimewa. Ditambah lagi isi kandungan cerita binatang yang masing-masing memiliki nilai moral dan ajaran kebaikan tersendiri. Sebelumnya telah dijelaskan ciri khas dari cerita berbingkai, bahwa seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. Sama halnya dalam cerita Tantri, tokoh binatang utama Nandaka dan Sambada sering bercerita satu sama commit to user lain kemudian disambung dengan cerita lain untuk membuktikan kebenaran
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
ceritanya. Misalnya dalam kasus Sambada, ia digambarkan sebagai tokoh yang licik pengadu domba antara Nandaka dan Candapinggala. Sambada sering bercerita kepada Nandaka untuk tidak berteman dengan Candapinggala karena di antara mereka memiliki perbedaan yang besar. Candapinggala adalah hewan pemangsa sedangkan Nandaka merupakan hewan yang biasanya dimangsa. Jika mereka berteman tidak akan berjalan dengan baik, oleh karenanya Sambada menceritakan beberapa cerita yang membuktikan perkataannya benar, di antaranya cerita „Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah‟. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa ada sekelompok burung pemakan daging yang tinggal jauh di atas pohon yang tinggi. Suatu hari ketua kelompok tersebut mengizinkan sepasang burung pemakan buah untuk tinggal bersama mereka. Namun tanpa diduga, kotoran yang berisi biji buah-buahan yang dimakan oleh sepasang burung pemakan buah tersebut jatuh ke tanah dan sebagian menempel di batang pohon, sehingga saat hujan turun menumbuhkan akar baru. Hal tersebut menumbuhkan sulur yang menjalar di pohon utama. Akibatnya manusia bisa meraih sarang-sarang burung yang awalnya tak terlihat oleh manusia sebelumnya karena pohon itu sangat tinggi (Sawitri, 2011: 124 – 141). Pada akhirnya, sepasang burung pemakan buah itupun membawa celaka bagi kelompok burung pemangsa daging. Secara tidak langsung, Sambada ingin memperingatkan Nandaka bahwa jika berteman dengan seseorang yang memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda, maka akan berakhir dengan kehancuran. Selain itu, dari cerita Sambada tersebut commit to user tersirat makna bahwa jika menolong sesorang yang memiliki prinsip yang berbeda
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan kita, maka hal itu hanya akan membawa malapetaka. Sama halnya jika Nandaka ingin berteman dengan Candapinggala, maka itu hanya akan membawa malapetaka bagi keduanya. Sebenarnya sekelompok burung pemangsa daging itu memiliki niat menolong sepasang burung pemakan buah. Namun, pada akhirnya biji yang dimakan oleh sepasang burung tersebut membawa kecelakaan bagi seluruh kelompok burung yang tinggal di pohon itu. Tidak hanya cerita tentang burung pemangsa dan burung pemakan buah itu saja yang diceritakan oleh Sambada guna mengadu domba Nandaka dengan Candapinggala, namun masih banyak yang lainnya. Nandaka dengan bijak membalas cerita Sambada tersebut dengan kisah tentang seorang prajurit yang dipenggal kepalanya oleh sang raja karena berbohong. Nandaka menceritakan ada seorang prajurit yang tengah ikut berburu dalam rombongan seorang raja. Di tengah perburuannya sang raja mengutus prajurit itu untuk mencari air karena sang raja kehausan. Saat prajurit itu berusaha mencari kebutuhan rajanya, ia melihat ada seekor kera yang menari di tengah lautan. Peristiwa itupun dilaporkannya kepada sang raja. Sang raja tidak percaya akan cerita prajurit itu, kemudian si prajurit bersedia dipenggal mati jika ia berbohong. Sang raja dan lainnya pun mengikuti langkah si prajurit untuk melihat kebenaran peristiwa tersebut. Setibanya di tempat, sang raja tidak melihat ada kera yang menari di tengah laut. Sang raja pun murka, ia pun bertanya kepada prajurit itu, “Pada saat kamu melihat kera itu, apakah ada saksi lain yang melihat selain kamu?” Prajurit itu menjawab tidak, sehingga semakin marahlah sang raja dan menjatuhi hukuman mati pada prajurit itu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Kisah tersebut diceritakan oleh Nandaka untuk memperingatkan Sambada agar jangan berkata sembarangan jika tidak memiliki saksi. Karena sebelumnya Sambada selalu menceritakan bahwa Candapinggala selalu menjelekkan Nandaka. Nandaka pun menanyakan apakah saat Candapinggala berkata seperti itu ada orang lain selain Sambada yang mendengarkan. Setelah mendengar cerita Nandaka tersebut merasa malulah si Sambada. Namun ia tetap mencoba mengadu domba antara Nandaka dan Candapinggala dengan bercerita banyak hal. Hingga pada akhirnya Nandaka dan Candapinggala pun mati karena termakan kebohongan Sambada. Dari banyaknya cerita binatang dalam Kidung Tantri Kĕdiri, yakni kurang lebih 30 cerita binatang, Cok Sawitri mempertahankan bentuk cerita binatang tersebut tanpa menghilangkannya. Adapun dari seluruh cerita binatang tersebut Cok Sawitri menambah atau mengurangi sekitar 3 – 4 cerita binatang. Secara keseluruhan esensi cerita binatang yang terdapat dalam Kidung Tantri Kĕdiri tetap dipertahankan oleh Cok Sawitri, meskipun dalam penyusunan cerita binatang tersebut berbeda. Dalam analisis rumusan pertama telah dijelaskan lebih detail mengenai perbedaan urutan cerita binatang dari kedua objek penelitian, sehingga dalam subbab ini peneliti tidak akan membahas kembali dalam pembahasan kedua. Cok Sawitri tetap mempertahankan kehadiran cerita fabel berbingkai ini bukan tanpa alasan. Cok Sawitri menganggap bahwa cerita binatang ini penuh dengan ajaran-ajaran dharma Hindu dan secara luas ajaran moral serta nilai-nilai kebaikan dalam hidup manusia. Cok Sawitri mempertahankan nilai-nilai kebaikan commit to user tersebut karena dianggap masih relevan dengan ajaran agama Hindu ataupun nilai-
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nilai moral di kehidupan saat ini. Oleh karenanya, Cok Sawitri mempertahankan cerita berbingkai binatang untuk diajarkan atau dibagikan kepada para pembacanya. Terutama untuk menunjukkan ajaran-ajaran dharma Hindu dan nilainilai kebaikan lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai kebaikan tersebut seperti ajaran tolong-menolong, jangan bersikap loba atau berlebihan agar tetap terjaga keseimbangan alam, semua perbuatan memiliki hukum sebab akibat, sehingga kita (pembaca) ditunjukkan beberapa cerita yang menggambarkan hukum karma pala, yakni jika berbuat baik akan mendapatkan kebaikan sebaliknya jika berbuat jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal pula. Dari beberapa cerita binatang tersebut juga mengajarkan tentang sebuah strategi untuk mengatasi sebuah masalah dengan bekerjasama saling membantu dan gotong-royong. Contohnya seperti dalam cerita „Si Empas dan Burung Garuda‟ yang mengisahkan kecerdikan para kura-kura yang bekerjasama mengalahkan burung garuda dalam perlombaan lari di dalam air. 2) Seloka dan puisi Terdapat banyak unsur yang ada di dalam cerita Tantri, baik itu dari segi ajaran agama Hindu dan nilai-nilai kebaikan ataupun cerita berbingkai yang turut menyusun struktur cerita. Di antara banyak unsur yang memenuhi isi cerita Tantri salah satunya adalah penggalan seloka dan puisi. Seloka terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri sedangkan puisi terdapat di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Seloka yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri ini biasanya diletakkan diakhir sebuah cerita binatang untuk memberi semacam wejangan atau sindiran. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Kata „seloka‟ diambil dari bahasa Sanskerta, sloka (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008). Teks Kidung Tantri Kĕdiri memuat beberapa seloka, bahkan hampir disetiap akhir kisah binatang selalu diselipkan potongan seloka sebagai cerminan ajaran moral. Contohnya dalam cerita sekelompok burung pemangsa daging dan sepasang burung pemakan buah yang telah dijabarkan di atas. Di akhir cerita dalam teks, diceritakan ada seorang pendeta yang melihat kemudian membuat seloka dari cerita burung pemangsa daging dan burung pemakan buah tersebut. Hal itu tergambar dalam penggalan cerita berikut. Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan yang membuat seloka dari maksud cerita: “Artinya dua orang yang sama tujuan dan makanannya berkumpul, maka ini berakhir dengan baik pula. Sedangkan lagi kalau tidak selaras tujuan dan makanannya, jelas akan berakhir dengan percekcokan”. (Pupuh IV baris 91 a, 2009: 223). Sayangnya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri seloka yang dimaksudkan, baik itu dalam teks asli berbahasa Jawa Pertengahan maupun dalam aksara Latin berbahasa Indonesia tidak ditulis bak puisi yang terdiri dari empat baris dan berbahasa diksi yang indah. Melainkan dituliskan merujuk langsung pada arti dari seloka tersebut, seperti yang tergambar dalam penggalan cerita di atas. Walaupun demikian, hal tersebut tidak mengubah maksud dan tujuan penyadur teks dengan meyertakan sebuah seloka hampir di setiap akhir cerita binatang dalam Kidung Tantri Kĕdiri. Maksud dan tujuan dari penyadur tersebut jelas untuk memberikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca, agar pembaca mengambil pembelajaran commit to user disetiap kisah binatang yang diceritakan dalam teks. Karena setiap kisah yang
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digambarkan oleh para binatang tersebut juga mencerminkan sikap manusia yang hidup di dunia. Si penyadur berharap dengan membaca setiap kisah binatang yang berbingkai, panjang, dan luas tersebut, pembaca dapat memetik hikmah dan memetik pembelajaran yang berguna untuk hidup bermasyarakat. Misalnya dalam Kidung Tantri Kĕdiri terdapat cerita bingkai fabel yang menceritakan tentang lima ekor hewan lemah yang saling bekerjasama untuk lepas dari jeratan pemburu. Pendeta yang menyaksikannya membuat seloka yang tergambar dalam uraian berikut. ... Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan lagi. Dibuat olehnya seloka artinya: “Yang tidak serupa dan tidak sama asal-usulnya berkumpul dan berteman, maka mereka akan menemukan kasih sayang.” (Pupuh IV baris 246 a – 246 b, 2009: 301). Pentingnya pemaknaan dalam seloka Tantri Kĕdiri membuat Cok Sawitri mempertahankan
penyelipan
„pesan
tidak
langsung‟
tersebut
dengan
mengkreasikannya menjadi bait-bait puisi yang indah dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Cok Sawitri tetap mempertahankan beberapa bagian cerita untuk ditulis kembali dalam karyanya karena bagian tersebut dianggap masih penting dan relevan dengan kondisi sosial-budaya saat ini. Termasuk dalam peniruan pesan tidak langsung dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, dengan tujuan agar pembaca dapat memetik hikmah dari setiap cerita. Estetika penulisan bait puisi yang dilakukan oleh Cok Sawitri menambah daya kreativitasnya dalam merekonstruksi karya klasik ke level lebih tinggi. Meskipun, Cok Sawitri menggunakan potongan seloka sebagai inspirasinnya dalam menuliskan potongan puisi-puisi di Tantri Perempuan yang Bercerita. Namun, estetika penulisan Cok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
Sawitri perlu diberikan perhatian lebih karena sedikit banyak mempengaruhi daya kreativitas jalannya cerita novel Tantri Permpuan yang Bercerita. I Nyoman Darma Putra turut mengapresiasi „keberanian estetis‟ Cok Sawitri dengan menghadirkan potongan puisi di setiap akhir cerita, untuk mengangkat esensi cerita tersebut. Menurutnya puisi-puisi itu mengukuhkan kekuatan olah bahasa Cok Sawitri sebagai penyair yang hebat. Puisi itu berfungsi sebagai inti cerita atau bagian cerita untuk menegaskan pesan moral, atau merenungi kompleksitas kehidupan. Lewat potongan puisi-puisi itu perenungan ditawarkan (Putra, 2012: 195). Dari penegasan I Nyoman Darma Putra tersebut dapat diinterpretasikan bahwa melalui bait-bait puisi tersebut Cok Sawitri menawarkan sebuah perenungan bagi pembaca yang menyadari akan kebenaran makna cerita yang disajikan. Misalnya dalam “Bagian 26: Kisah Batur Taskara”, yang mengisahkan tentang seorang penjahat yang bertaubat dan menjadi seorang pendeta. Ia ingin menghindari ramalan atas kematiannya, namun pada akhirnya ia tetap meninggal karena sebuah takdir tidak bisa diubah. Kemudian Cok Sawitri memberikan pesan moral yang ia tulis melalui potongan puisi yang berbunyi. Ke gua yang dalam ke jurang yang curam berganti busana karma tidak tertipu (Sawitri, 2011: 332). Berbeda dari teks Kidung Tantri Kĕdiri yang selalu menyelipkan pesan moral di setiap akhir cerita binatang, Cok Sawitri selalu menyelipkan bait puisi di setiap kisah yang patut untuk dimaknai, terutama pada bingkai utamanya, yakni kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Misalnya dalam bagian cerita Eswaryadala commit to user tidak bisa tidur atau lebih tepatnya kantuk enggan datang kepada Eswaryadala
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
padahal malam telah larut, sehingga ia meminta Ni Diah Tantri untuk bercerita. Kemudian Cok Sawitri menyelipkan beberapa bait puisi. Ah, raja yang agung kehilangan kantuknya Malamkah yang mencuri Atau tidur telah pergi Sebab lelap disembunyikan kelam hati (Sawitri, 2011: 30) Beberapa bait puisi tersebut menggambarkan kondisi psikis Eswaryadala di mata pengarang, yakni Cok Sawitri. Esawaryadala diilustrasikan sebagai raja yang memiliki kegelisahan hingga membuatnya menderita penyakit susah tidur. Padahal ia telah diberikan persembahan gadis cantik dan perawan setiap malamnya. Tampaknya hal tersebut tidak membawa kedamaian kepada Ewaryadala, justru hal itu menambah kekhawatiran baru bagi Eswaryadala hingga ia tidak bisa tidur setiap malamnya karena merasa bersalah. Maksud Cok Sawitri menuliskan beberapa penggalan puisi disetiap kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala merupakan bentuk campuran antara mimesis dan ideologi, sehingga menghasilkan creatio/kreativitas. 3) Struktur cerita Sebuah karya sastra memiliki beberapa unsur yang membangun struktur teks, sehingga karya tersebut dapat dimaknai secara maksimal. Unsur tersebut diantaranya adalah tema, alur, penokohan, setting, amanat, konteks sosial budaya dan lain sebagainya. Sama halnya dalam cerita Tantri ini, cerita Tantri tersusun dari beberapa unsur intrinsik maupun eksrinsik yang tidak bisa diabaikan begitu saja untuk dianalisis. Bukan berarti jika peneliti membahas tentang struktur cerita akan melenceng dari teori intertekstual karena sebenarnya intertekstual merupakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
teori pascastruktural, bahkan Jonathan Culler pun merupakan tokoh struktural. Namun peneliti tidak akan membahas tentang sejarah teori struktural dan pascastruktural hingga melahirkan kajian intertekstual. Pada dasarnya peneliti turut menganalisis struktur cerita Kidung Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang Bercerita guna melihat persamaan dan perbedaan kedua teks yang akhirnya akan mengalir pada rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Struktur intrinsik yang akan dianalisis pun tidak semua unsur, melainkan hanya beberapa yang bersangkutan dengan tema penelitian ini, yakni alur cerita, latar cerita dan terutama penokohan. Jika dilihat secara sekilas, Cok Sawitri memang melakukan mimesis terhadap teks Kidung Tantri Kĕdiri secara struktur cerita. Hal tersebut dapat dilihat dari nama tokoh utama yang sama, yakni Tantri dan Eswaryadala. Kemudian jalan cerita secara keseluruhan juga sama, yakni Tantri mendongeng untuk menyadarkan sang raja dari tingkah laku buruknya. Lalu secara latar cerita juga sama karena berlatar kehidupan istana dan bahkan cerita berbingkai fabel juga sama. Hal tersebut dilakukan oleh Cok Sawitri untuk mempertahankan struktur utama cerita Kidung Tantri Kĕdiri terkait dengan alur cerita, latar cerita dan penokohan yang masih dianggap penting dan tidak bisa diubah. Namun, jika dianalisis secara lebih mendetail terdapat beberapa perbedaan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal tersebut tidak terlepas dari otoritas Cok Sawitri sebagai pengarang yang memasukkan ideologinya ke dalam karyanya tersebut. Misalnya saja dalam penggambaran tokoh utama novelnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala selalu dimunculkan dalam cerita commit to user berbingkai fabel. Berbeda dengan cerita Kidung Tantri Kĕdiri, bingkai utama
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
cerita Dyah Tantri dan Eswaryapala terpisah dengan bingkai cerita fabel. Hal itu merupakan inovasi Cok Sawitri guna mendukung ideologinya sebagai sastrawan beraliran feminisme. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbedaan struktur cerita dari kedua teks, lebih baik jika dibahas dalam creatio atau kreativitas Cok Sawitri karena hal ini menyangkut rekonstruksinya terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. 2. Creatio Peniruan yang dilakukan Cok Sawitri terhadap cerita klasik Tantri bukan merupakan sebuah plagiat dalam konteks teori kontemporer, melainkan merupakan sebuah kreativitas. Meskipun melakukan sebuah tiruan, Cok Sawitri tidak melukiskan cerita Tantri klasik dengan cara yang persis sama. Cok Sawitri menggunakan ideologinya sebagai penggiat feminis untuk merekonstruksi cerita, terutama melalui tokoh utamanya yang juga seorang perempuan, yakni Ni Diah Tantri. Cok Sawitri bergerak ke level yang lebih tinggi dalam menghasilkan karya dari cerita yang pernah ada, sehingga karya yang dihasilkannya benar-benar baru seakan baru dilihat pertama kali. Senjata bagi seorang pengarang dalam menulis sebuah karya sastra adalah bahasa. Cok Sawitri menggunakan bahasa yang indah dan sedemikian rupa untuk merekonstruksi novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap karya hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Hal tersebut menghasilkan sebuah inovasi baru dari Cok Sawitri. Pandangan baru dari perspektif pengarang perempuan yang berasal dari Bali dalam menggambarkan kembali karya sastra klasik yang telah dikenal oleh masyarakat Bali khususnya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
sehingga menghasilkan karya sastra dengan nafas baru dengan mengangkat semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan melalui tokoh utamanya Ni Diah Tantri. Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno terdapat di dalam beberapa bagian, sebagai berikut. a) Alur cerita Sebagai sastrawan yang memiliki daya imajinatif yang tinggi, kreativitas Cok Sawitri dalam menyusun struktur cerita sudah tampak pada „Bagian 1: Sang Setia‟ dan juga „Bagian 2: Pemburu Gadis‟ yang tidak dimiliki oleh cerita klasik lainnya khususnya dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. I Nyoman Darma Putra pun juga menyebut bahwa, kedua bagian ini merupakan awal dari alur cerita, awal dari sebab akibat, yang kelak akan „bertemu‟ dengan „Bagian 29‟. Bagian 29 merupakan bagian penutup novel Tantri Perempuan yang Bercerita, sehingga membuat cerita novel menjadi utuh; „bertautnya awal dan akhir‟ (2012: 8). Alur cerita dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno merupakan alur maju. Alur cerita dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri memiliki kronologi yang runtut, dari perkenalan, konflik, klimaks, anti klimaks hingga akhir cerita. Diceritakan awal cerita Eswaryapala menginginkan dipersembahkan gadis cantik setiap harinya hingga menikah dengan Dyah Tantri. Kemudian Dyah Tantri mendongeng dan mengajarkan ajaran dharma Hindu dalam kitab nitisastra tentang cerita Nandakaprakarana kepada Eswaryapala. Hal tersebut dikisahkan dalam Pupuh I – II, sedangkan Pupuh III – IV menceritakan tentang cerita commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
berbingkai fabel Nandakaprakarana. Pada akhir cerita, Soekatno menambahkan keterangan dari akhir cerita Pupuh Tantri Dĕmung, bahwa raja Eswaryapala menjadi sadar tidak meminta persembahan gadis setiap malamnya lagi. Raja Eswaryapala juga menjadi semakin cinta dengan Dyah Tantri dan akhirnya mereka pun memiliki hidup yang bahagia (2013: 10 – 20). Berbeda dengan Kidung Tantri Kĕdiri yang memiliki alur maju dan memiliki kronologi cerita yang runtut, Cok Sawitri memiliki daya kreativitas tersendiri. Memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki alur maju, diawali dengan proses pelatihan pasukan khusus yang menyebut dirinya Sang Setia, namun sebenarnya mereka penculik gadis perawan untuk dipersembahkan kepada sang raja Eswaryadala. Kemudian diikuti kegelisahan sang raja memikirkan negaranya hingga membuat raja Eswaryadala menderita penyakit susah tidur. Akhirnya Ni Diah Tantri merelakan diri untuk dipersembahkan kepada Eswaryadala dan menyadarkan raja dari tingkah laku buruknya. Perbedaan dari kedua teks adalah urutan kronologi kedua cerita, Cok Sawitri membuat sebuah inovasi dengan mencampurkan kronologi cerita bingkai utama Ni Diah Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita binatang. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan cerita berbingkai yang tersusun atas beberapa cerita hingga membentuk bingkai-bingkai cerita lain, hingga akhirnya cerita tersebut menjadi panjang dan luas. Jika Kidung Tantri Kĕdiri memiliki urutan kronologi dari bingkai utama, kemudian meloncat ke bingkai cerita fabel yang di dalamnya terdapat bingkai-bingkai lain, hingga pada akhir cerita dikembalikan kepada bingkai utama. Berbeda dengan novel Tantri commit to user Perempuan yang Bercerita yang memiliki kronologi campuran, bingkai utama
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala bercampur dengan bingkai cerita fabel. Pada akhirnya, membuat arus bolak-balik dan campuran dari cerita utama ke cerita fabel begitu seterusnya hingga akhir cerita kembali ke bingkai utama. Kidung Tantri Kĕdiri memiliki alur cerita menggunakan istilah „Pupuh‟ dengan jumlah empat pupuh dalam teks. Adapun novel Tantri Perempuan yang Bercerita menggunakan istilah „Bagian‟ yang memiliki 29 jumlah cerita dan Cok Sawitri memilih mencampurkan bingkai utama kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala dengan cerita bingkai fabel. Tujuan dari Cok Sawitri mencampur kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita fabel untuk mendukung bahkan memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai pendongeng sekaligus tokoh utama yang menjadi sumber dari rekonstruksi yang dilakukan olehnya. Melalui tokoh-tokoh binatang tersebut Ni Diah Tantri ingin „mempengaruhi‟ pemikiran Eswaryadala dan menyadarkannya untuk selalu waspada dan bersikap bijak terhadap
saran
ataupun
hasutan-hasutan
punggawa
istana
yang
bisa
mencelakakannya dan negeri Patali Nagantun. Salah satu contoh cerita fabel berbingkai yang mempengaruhi tokoh Eswaryadala terdapat dalam „Bagian 6: Burung Atat Meniru Pengasuhnya‟. Dalam cerita ini dikisahkan tentang sebuah negeri bernama Usinara yang memiliki tingkat keamanan yang luar biasa rapat dari penjuru Timur, Barat, Selatan dan Utara. Hal ini dikarenakan di setiap perbatasan negeri itu memiliki Catur Tanda Menteri yang memimpin di setiap wilayah, sehingga tak ada musuh dari negeri lain yang berhasil menembus tembok perbatasan istana. Hingga akhirnya sang raja terdahulu telah tiada, ia pun digantikan oleh anak tunggalnya, commit to user yang sejak muda putra mahkota tersebut sudah mengangkat Catur Punggawa
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Muda. Sang raja muda terkena hasutan Catur Punggawa Muda yang ingin menggantikan Catur Tanda Menteri. Setelah keempat Catur Tanda Menteri meninggal dengan cara memenggal kepala mereka sendiri sebagai bukti kesetian kepada raja terdahulu yang berjanji tidak akan meninggalkan perbatasan, mereka pun digantikan oleh Catur Punggawa Muda. Pada akhirnya, negeri Usinara pun hancur karena perilaku Catur Punggawa Muda yang hanya berpesta pora, sehingga musuh dapat menyerang negeri tersebut. Sang raja muda pun melarikan diri ke hutan, ia bertemu dengan seekor burung Atat miliki seorang pemburu. Ketika sang raja muda tiba si burung Atat berselorok akan menangkap dan membunuhnya. Si raja muda pun lari ketakutan. Hingga ia melihat burung Atat lagi yang diasuh oleh pendeta, burung tersebut memiliki perilaku berbeda dari burung Atat pertama yang ia temui. Si burung Atat menasihati dan menyalahkan si raja muda karena tidak berhati-hati, sehingga terhasut oleh Catur Punggawa Muda. Si raja muda mendapat nasihat bahwa seseorang dapat memiliki perilaku yang sama dengan siapa ia bergaul (Sawitri, 2011: 83 – 96) . Ternyata dari cerita tersebut Eswaryadala merasa tersindir. Hal tersebut tergambar dalam dialog sebagai berikut. Eswaryadala tersenyum lebar, “Tantri, apakah para punggawa istana yang sering menemaniku itu akan mudah mempengaruhiku?” (Sawitri, 2011: 96) Dari penggalan teks tersebut membuktikan bahwa cerita binatang yang didongengkan oleh tokoh Ni Diah Tantri mempengaruhi pemikiran Eswaryadala. Hal tersebut tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang tetap mempertahankan cerita fabel berbingkai dalam novelnya untuk menunjukkan kreativitasnya. commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara tersirat dapat dimaknai bahwa Cok Sawitri membawa ideologi feminisnya melalui tokoh Ni Diah Tantri. Cerita fabel berbingkai yang diceritakan Ni Diah Tantri mendukung karekternya sebagai tokoh utama wanita Bali yang berani mengungkapkan pendapatnya, cerdas karena memilih cara mendongeng untuk menyadarkan Eswaryadala, dan penuh kebijakan dalam menghadapi permasalahan serta sikap Eswaryadala. Dengan mempertahankan cerita binatang ini, Cok Sawitri ingin menunjukkan bahwa wanita Bali pun mampu berpendapat dalam ranah politik. Wanita Bali tidak hanya bisa dijadikan objek pemuas hawa nafsu seperti para gadis perawan yang diculik. Wanita Bali juga bisa bersikap cerdas dalam menyikapi masalah serta mampu menunjukkan kepandaiannya hingga diakui sendiri oleh kaum laki-laki, yakni Eswaryadala. Cok Sawitri menggunakan otoritasnya dalam menulis novel Tantri Perempuan yang Bercerita dengan memasukkan ideologinya sebagai penggiat feminisme ke dalam karyanya. Oleh karenanya, Cok Sawitri menggunakan teknik penceritaan dengan mencampurkan kronologi cerita binatang dan bingkai utama kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala untuk mendukung ideologinya. Hal tersebut merupakan bentuk kreativitas Cok Sawitri, bahwa menggunakan sosok atau tokoh binatang bisa memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai tokoh utamanya. Karakter Ni Diah Tantri bisa dimaknai lebih maksimal dan dapat diinterpretasikan lebih jauh melalui percampuran alur cerita dengan kisah binatang. Cok Sawitri memberikan pandangan lebih detail mengenai karakter Ni Diah Tantri dan Eswaryadala
yang
didukung
oleh
cerita
binatang
untuk
menunjukkan
kreativitasnya yang dipengaruhi nafas feminisme. Berbeda dengan Kidung Tantri commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kĕdiri terjemahan Soekatno yang terkesan lebih menonjolkan cerita binatangnya sebagai muatan lokal untuk memberikan pendidikan moral kepada pembaca. b) Latar cerita Latar cerita dari kedua teks sama-sama berlatar belakang sebuah kehidupan di kerajaan (istana centris). Kidung Tantri Kĕdiri memiliki latar cerita di dalam istana Pataliputra, dalam cerita dipaparkan mengenai singgasana, tempat tidur sang raja dan selebihnya latar cerita binatang. Berbeda dengan hal tersebut, Cok Sawitri lebih detail dan kompleks dalam menceritakan latar tempat dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Contohnya dalam penggambaran Ni Diah Tantri saat berkeliling untuk melihat isi istana permaisuri, istana yang saat itu ia tempati sebagai calon permaisuri Eswaryadala. Cok Sawitri menggambarkan lebih detail latar istana dalam permaisuri. Selain itu, Cok Sawitri menambahkan sebuah latar tentang adanya sebuah jalan rahasia yang dilewati oleh seorang kerabat istana, yakni Putri Matarum yang mencoba merayu Eswaryadala. Putri Matarum merupakan kerabat istana yang diusung para punggawa untuk dijodohkan dengan Eswaryadala. Hal tersebut terlihat dari penggalan cerita sebagai berikut. Ni Diah Tantri terkagum-kagum dengan penataan bangunan istana permaisuri. Betapa cermat yang merancang bangunan ini, siapa saja yang menghadap permaisuri, tidak akan melihat kegiatan di peraduan, sebaliknya dari dalam pelayan akan melihat apa saja kegiatan di luar. Di balik dinding ada jalan kecil yang menyelang dinding peraduan dengan kamar-kamar yang memiliki pintu-pintu berukir. Pantaslah, pelayan denga tenang hilir mudik di dalam ruangan sebab tidak akan mengganggu penghadapan di amben (beranda) luar. Setelah puas memeriksa seluruh sudut istana permaisuri, Ni Diah Tantri mengunjungi dapur istana... . (Sawitri, 2011: 125) commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ni Diah Tantri berkeliling, melihat-lihat berbagai bahan masakan yang telah diracik, lalu melangkah ke pintu belakang. Diambang pintu, ia melepaskan pandangan. Ia tersenyum melihat barisan kandang berjejer; dari kandang ayam, kandang bebek, mentok, kemudian di sebelah yang lain ada kandang babi juga beberapa ekor kijang, kambing... . (Sawitri, 2011: 126) ... kali ini ia memilih jalan belakang, jalan yang tidak akan terlihat dari halaman depan, jalan sembunyi, yang menghubungkan istana permaisuri dan istana utama. Saat ia menaiki undakan untuk masuk ke dalam istana permaisuri, sekelebat ia melihat seorang perempuan yang tengah berjalan memutar, ke jalan kecil yang lain. (Sawitri, 2011: 126) ... Taman palipuran, taman yang luas, taman raja yang kadang dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu negara (Sawitri, 2011: 280) ... sementara Ni Buangit mengikuti langkah Ni Diah Tantri, yang dengan tenang menuju kolam ikan yang dinaungi dua pohon mangga. (Sawitri, 2011: 280) Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, Cok Sawitri menggambarkan kondisi istana permaisuri secara detail seakan Cok Sawitri mengetahui dengan baik kondisi istana Patali Nagantun. Uraian tersebut juga memperlihatkan kondisi jalan rahasia yang seharusnya hanya orang tertentu yang dapat melewatinya karena setiap sudut istana dijaga oleh Sang Setia. Namun, Putri Matarum yang merupakan salah seorang kerabat istana dengan bebas melewatinya karena semua prajurit mengenalnya. Dari penggambaran tersebut dapat kita interpretasikan bahwa kerabat istana pun berniat memikat hati sang raja, agar tujuan pribadi sebuah kelompok tercapai. Selain
penggambaran
di
atas,
secara
detail
Cok
Sawitri
juga
menggambarkan lingkungan taman dan ingin mencari tahu apa yang tengah terjadi di istana keputrian. Istana keputrian merupakan tempat yang menampung para selir tidak resmi sang raja. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung ideologinya dengan mempertanyakan keberadaan commit to user selir-selir tidak resmi sang raja
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau wanita-wanita Bali yang menjadi korban penculikan untuk dipersembahkan kepada raja Eswaryadala. Mempertanyakan nasib atau keberadaan wanita yang tertindas merupakan salah satu ciri ideologi feminis. Hal tersebut tergambar dalam adegan. Ni Diah Tantri menelan ludahnya, dadanya bergetar. Ada apakah dengan istana keputian?... . (Sawitri, 2011: 279). Ah, kemanakah aku harus mencari tahu... . (Sawitri, 2011: 279). Usai melakukan surya sevana Ni Diah Tantri meminta di antar berjalanjalan ke Taman Palipuran. Dua pelayan juga Ni Buangit mengantarkannya. Eswaryadala masih berada di istana utama, seperti yang dikatakannya, ia tengah mengurus istana keputrian”. (Sawitri, 2011: 280)
c) Penokohan Menganalisis sebuah karya sastra tentu tidak bisa melepaskan peran serta karakter tokoh di dalamnya. Karena sosok tokoh beserta watak dan karakternya mencerminkan
pemikiran
pengarang
dalam
membangun
sebuah
cerita.
Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam mengubah karakter tokoh utamanya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala dapat mencerminkan gagasan dan pemikirannya dalam menceritakan kembali cerita klasik Tantri sesuai dengan perspektifnya. Meskipun kedua teks memiliki tokoh utama yang sama, yakni Tantri dan Eswaryadala, namun karakter yang diperankan tokoh utama ini terlihat berbeda. Perbedaan tersebut merupakan bentuk rekonstruki Cok Sawitri dalam merekonstruksi karakter seorang tokoh yang disesuaikan dengan ideologi dan situasi sosial budaya di masyarakat saat ini, sehingga menimbulkan kreativitas serta inovasi dari Cok Sawitri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
I Nyoman Darma Putra mengatakan bahwa, Cok Sawitri adalah salah satu sastrawan Bali terkemuka yang prolific dan multi-talenta. Selain menulis novel, dia juga menulis sejumlah puisi, cerpen, dan menyutradarai beberapa drama tari modern atau tradisional Bali. Paham feminis yang menolak penindasan terhadap wanita, baik secara diskursif ideologis (wacana ideologi) maupun sosial-praktis, merupakan salah satu ciri utama sebagian karya-karya Cok Sawitri. Berbeda dengan sastrawan wangi atau sastrawan perempuan Indonesia kebanyakan yang mengangkat tema-tema seksualitas dalam melawan ketidakadilan gender seperti, Ayu Utami, Oka Rusmini yang juga sastrawan dari Bali, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan lain sebagainya. Cok Sawitri memilih tokoh-tokoh sastra atau legenda untuk menawarkan pandangan alternatif dalam menegakkan dan menjaga keadilan dan kesetaraan gender. Bukan masalah seks yang digunakan Cok Sawitri tetapi penampilan sosok wanita yang cerdas, berani, dan memiliki modal sosial dan budaya yang kuat (2012: 4). Hal tersebut jelas tergambar ke dalam sosok atau karakter Ni Diah Tantri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tokoh utama yang dilakukan olah Cok Sawitri adalah sebagai berikut. 1. Ni Diah Tantri (Dyah Tantri) a. Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno Di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno, tokoh Dyah Tantri digambarkan sebagai perempuan yang cantik, menguasai ilmu agama, pintar, sopan, berbakti kepada kedua orang tua dan memiliki budi pekerti yang luhur. Hal tersebut tergambar dari ilustrasi berikut. Lalu dipanggillah anaknya yang sangat sopan, cantik, pertama-tama memberikan tempat kecantikan utama, dewi kecantikan seluruh bumi. Dewi Saci*, Dewi Saraswati, Dewi Uma tidak sama paras kecantikannya, kalah dengan keelokan Dewa Lautan Madu. Ia tiada lain dipuji-puji parasnya, sifatnya, dan juga kebijaksanaannya, memang sungguh tinggi kepandaiannya. Tidak ada kekurangannya dalam ilmu agama, sastra, commit to user dharma dan kitab suci. Inilah hasil usaha tingkah laku yang sopan,
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
mengusahakan kecantikan dan keelokan, senantiasa membuat nyaman hati orang lain. Maka oleh karena ini seluruh dunia menyebutnya Tantri*. (Pupuh I baris 22 a – 23 a, 2009: 87) Penggambaran karakter Dyah Tantri yang masih memiliki ibu kemudian dinikahi Eswaryapala mempengaruhi watak dan pemikirannya. Melalui fakta cerita tersebut dapat dilihat bahwa karakter Dyah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan Bali yang masih tradisional, yakni hanya menguasai ranah domestik. Wanita Bali cenderung sebagai kaum domestik, mereka hanya diperbolehkan mengurus urusan rumah tangga saja tanpa diperbolehkan dan memiliki hak untuk bicara diranah politik. Memang karakter Dyah Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas menguasai ilmu agama, namun secara keseluruhan Dyah Tantri digambarkan sebagai wanita Hindu yang tradisional. Dyah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengurus urusan rumah tangga, menuruti permintaan ayah dan ibunya yang juga wanita Hindu tradisional, mengabdikan diri kepada suami, dan tidak ikut campur dengan perpolitikan negeri Pataliputra. Meskipun ia berniat ingin menghentikan perilaku buruk Eswaryapala untuk menyelamatkan negerinya, namun ia tidak memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai perpolitikan. Digamabarkan sebagai seorang puteri yang masih memiliki sosok ibu, Dyah Tantri memiliki karakter yang sama dengan sang ibu yang merupakan wanita Hindu tradisional. Saat ibunya menasihatinya tentang kewajiban seorang wanita untuk mengabdi secara keseluruhan kepada suami, Dyah Tantri pun hanya menurut dan menyetujuinya. Begitu pula saat sang ayah menasihatinya untuk selalu menuruti keinginan Eswaryapala, Dyah Tantri pun tak membantah dan menurut. Hal tersebut menunjukkan commitbahwa to userpemikirannya masih dipengaruhi
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ajaran tradisional yang diajarkan kepadanya, yakni untuk selalu taat dan tunduk kepada laki-laki. Hal itu seperti tergambar dalam dialog Dyah Tantri dengan ibundanya sebagai berikut. “... Itulah istri, wanita namanya. Bisa berumah tangga, mampu berbicara menyenangkan hati sang suami serta melindungi hidup suami. Itulah kesetiaan unggul yang dianggap sebagai istri utama. Bagaimana ia bisa dikasihi dan dicintai dengan khusus. membalas kasihnya serta menyayanginya, membalas cintanya. Memang seyogyanyalah berbakti. Itu tiada lain dharma seorang istri. Adalah seorang istri yang selalu cemburu, tidak berguna, berwujud suram, menjemukan. Perbuatannya berkelahi bercekcok. Seyogyanya ia ditinggalkan oleh seseorang yang berpengetahuan akan wanita. Begitulah ia tidak mampu membalas cinta suaminya. Inilah seorang wanita candala*, yang diajari kitab suci. Itulah yang membuatku takut jika dilihat oleh bapakmu. Sebab sifat seorang suami itu, ia bisa pergi dan memilih tempat di mana ia dicintai. Tujuan seorang istri ialah mengambil risiko dan mengabdi <sang suami>, berbeda dengan seorang anak yang baik. Sebab tak ada cinta yang sama dengan cinta terhadap seorang anak dan tak ada musuh seperti penyakit* dalam tubuh. Tak ada yang sesakti Dewa. Maksudnya kaulah anakku yang datang ke ayahmu, menanyakan kesedihannya, mudah-mudahan* menghibur amarahnya. Laksanakanlah dengan perasaan, janganlah secara enggan. sebab benar-benar sedihlah bapakmu. <Jika tidak>, maka ini akan berakhir dengan sakit. Anggaplah ini sebagai pembalasan hutang budimu. Jika api, sebagai musuh datang, masuk ke dalam atap meskipun sedikit. Sebaiknya tidak bisa dibiarkan. Sakit yang baru saja terasa seperti ayahmu, jangan dibiarkan. Bisa benar-benar menjadi penyakit*. Datang dan tanyalah kepada ayahmu dan apalah obatnya. Carilah tahu penyakitnya.” Begitulah kata sang ibu Dyah Ari Rupini. Jawab Tantri benar-benar sopan: “Sungguh, tidak usah khawatir ibunda akan keadaan putri ibu, sebab saya bisa melaksanakan segala perintah orang tua.” Kemudian ia pergi, setelah ia bersujud kepada ibunya lagi.” (Pupuh I baris 25 a – 29 b, 2009: 90 – 91) Nasihat ayahnya, Bandeswarya agar selalu menuruti perintah dan keinginan Eswaryadala pun Dyah Tantri turuti. Hal itu memperlihatkan, bahwa Dyah Tantri masih tunduk pada kekuasaan laki-laki. Meskipun Dyah Tantri menguasai ilmu agama dan memiliki sifat yang cerdas, namun kecerdasannya tersebut murni digunakan untuk berbakti kepada orang tua, negara dan suaminya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
Sikap penurut Dyah Tantri terhadap suami juga terlihat dalam dialognya dengan Eswaryadala (setelah mereka menikah) sebagai berikut. “Begitu pula penampilanmu bagaikan langit terang yang tanpa diminta membuat hati berbahagia secara teratur. Engkau senantiasa membuat hati mereka yang membutuhkan pertolongan menjadi terang. Laksanakan tugasmu dengan baik dan setialah terhadap suamimu dengan sangat, sayang.” (Pupuh II baris 47 b, 2009: 158) “Maka Dyah Tantri tahu akan keinginan sang raja dan berkata dengan lembut: “Aduh, mengapa <Sri Paduka> berkata demikian mengenai keadaan patik Tuanku.” (Pupuh II baris 48 b, 2009: 158) “Alasan patik duli Tuanku menghadap Sri Baginda adalah untuk menjadi kebahagiaan Sri Paduka.” (Pupuh II baris 49 a, 2009: 159) Saat merelakan diri sebagai persembahan Eswaryapala pun, Dyah Tantri memiliki tujuan untuk “menghibur” Eswaryapala tanpa berniat untuk membuat Eswaryapala mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Hal tersebut tergambar dari dialognya bersama sang ayah ketika ia mengutarakan niat agar dipersembahkan kepada raja, sebagai berikut. “Tampaknya saya bisa menekan hati Sri Baginda yang ingin dinikahkan. Beliau akan saya hibur dengan cerita Tantra* yang diambil dari kitab Nitisastra.” Begitulah kata Dyah Tantri. Menjawablah sang orang tua: “Aduh benar-benar gembira aku anakku, budimu seperti itu. Berusaha menghentikan hasrat Sri Baginda. Pahala hidup saya mempunyai seorang putri pasti karena sastra dan agamalah.” (Pupuh I baris 37 b – 38 a, 2009: 95) Dari penggalan dialog tersebut menegaskan, bahwa misi Dyah Tantri untuk mempersembahkan dirinya kepada sang raja hanya untuk menghibur dan menghentikan perilakunya yang gemar menikahi wanita-wanita cantik. Secara tidak langsung hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa karakter Dyah Tantri dari awal ingin menjadi istri Eswaryapala, mengabdi kepadanya, menghiburnya dan menghentikan perilaku buruknya dengan bercerita atau mendongeng. Tidak digambarkan mengenai kepeduliannya dengan wanita lain atau selir-selir raja lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
yang menjadi korban persembahan. Berbeda dengan karakter Ni Diah Tantri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita yang selalu menanyakan nasib dan keberadaan gadis yang diculik oleh Sang Setia. Tantri memang memiliki satu nama yang sama dalam dua karya, Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang Bercerita. Namun tokoh yang sama ini memiliki karakter dan watak yang berbeda bila dilihat dari perspektif feminitas. b. Rekonstruksi tokoh Tantri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita Yang membedakan tokoh Dyah Tantri dalam Kidung Tantri Kĕdiri dengan Ni Diah Tantri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter yang dimiliki keduanya dari perspektif feminitas. Kaitannya dengan isu yang masih terus dan tidak akan pernah habis dibicarakan. Salah satu isu yang selalu ada di dalam masyarakat Bali dan diangkat ke dalam karya sastra oleh Cok Sawitri, yakni ketidakadilan gender yang kerap dialami oleh perempuan Bali. I Nyoman Darma Putra (2007: 84) menyebutkan bahwa, masyarakat Bali adalah masyarakat feodal yang membatasi kebebasan perempuan. Paternalistik adalah salah satu ciri masyarakat feodal, dimana laki-laki dianggap menduduki posisi lebih tinggi dalam hirarki sosial, atau dianggap
lebih superior dibandingkan wanita. Hal
tersebut membuat wanita tidak memiliki kesempatan berkarir maupun bersuara dalam bidang politik dan pemerintahan. Dunia rumah tangga dianggap arena perempuan Bali. Oleh karenanya, Cok Sawitri merekonstruksi karakter Ni Diah Tantri menjadi sosok perempuan Bali yang berani bersuara terutama di ranah politik melalui cara yang cerdas dengan mendongeng. Dari judul novel Cok Sawitri dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
dari isi ceritanya dapat diinterpretasikan bahwa “Bercerita” merupakan kekuatan utama Ni Diah Tantri untuk menyadarkan Eswaryadala. Ni Diah Tantri digambarkan sebagai seorang putri bangsawan yang dibesarkan dengan tata krama dan hidup para bangsawan. Selain itu ia digambarkan sebagai perempuan Bali yang memiliki sifat cerdas, berani mengeluarkan pendapat, cerdik, bijaksana, bahkan dapat mengalahkan kebijaksanaan dan kecerdasan Prabu Eswaryadala sebagai sorang raja di negeri Patali Nagantun. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita, Cok Sawitri memperkenalkan tokoh Ni Diah Tantri dan asal usulnya melalui percakapan bersama sang ayah, Mahapatih Bandewarya sebagai berikut. Bandeswarya kini tersenyum, matanya berkerjap menahan keharuan. Ni Diah Tantri adalah putri satu-satunya, yang lahir ketika ia sudah diangkat menjadi Mahapatih. Ia kawin diusia paruh baya. Tugasnya sebagai prajurit istana, telah membuatnya tak memiliki waktu membangun rumah tangga. Raja Dewatalah, ayahanda Eswaryadala yang memintanya untuk mengawini salah satu kerabat istana, keponakan raja, yang malangnya meninggal ketika melahirkan putri pertamanya. Kesedian dan rasa kehilangan itu membuat Bandeswarya sangat melindungi putrinya, yang dididiknya dengan sangat hati-hati. Ni Diah Tantri, putri seorang prajurit istana, penyandang Sang Setia, apalagi kini menjadi Mahapatih. Ia telah terdidik untuk berhati-hati dalam bertutur kata. (Sawitri, 2011: 11) Dari penggalan dialog di atas dapat diketahui pula asal usul Ni Diah Tantri, bahwa dia merupakan anak dari keponakan raja Dewata (ayah Eswaryadala), sehingga bisa dikatakan Ni Diah Tantri termasuk kerabat istana pula. Pengenalan tokoh Ni Diah Tantri tersebut juga menjelaskan, bahwa ia sudah tidak memiliki ibu dan memiliki kedekatan dengan sang ayah, Bandeswarya. Berbeda dengan tokoh Dyah Tantri di teks Kidung Tantri Kĕdiri, sosok ibu sebagai panutan masih digambarkan oleh penyadur. Penghilangan sosok atau figur ibu dari tokoh utama perempuan dalam novel Cok Sawitri ini tentu mempengaruhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
keseluruhan jalan cerita. Hal inilah yang membuat sosok Ni Diah Tantri terkesan memiliki jiwa maskulin karena sudah terbiasa mandiri. Ia juga memiliki sifat berani dan cerdas, terbukti dengan pengetahuannya tentang keadaan istana beserta peraturannya. Hal tersebut tergambar dalam dialognya bersama sang ayah ketika Bandeswarya terlihat bingung memikirkan nasib negeri Patali Nagantun dan perilaku Eswaryadala. “Bapa.... bukankah Sang Setia selalu terikat persaudaraan dengan yang dipercaya jaga tidur di bawah peraduan sang raja?” Bandeswarya kali ini menarik dagu putrinya, menatap dalam-dalam, “Kau, dari mana tahu semua hal, anakku? Tahukah engkau, pengetahuanmu itu bisa membahayakanmu?” (Sawitri, 2011: 16) Pengetahuannya tersebut tidak terlepas dari peran sang ayah Bandeswarya. Hal ini dikarenakan Bandeswarya selalu mengajak Ni Diah Tantri untuk berdiskusi. Karakter Bandeswarya dalam Tantri Perempuan yang Bercerita sedikit banyak memperkuat sosok Ni Diah Tantri sebagai karakter perempuan yang berani, demokratis dan cerdas. Dengan tidak memiliki seorang istri dan pendamping hidup, Bandeswarya di novel Tantri Perempuan yang Bercerita digambarkan sebagai sosok ayah yang mencintai anaknya dan membiarkan anaknya untuk menyampaikan pendapat dan pemikirannya sendiri. Sebuah karakter yang diciptakan oleh Cok Sawitri untuk mendukung ideologinya. Bandeswarya tidak digambarkan sebagai sosok ayah yang umumnya terdapat di masyarakat Bali, yang lebih memaksakan kehendak kepada anak perempuannya serta tidak memberi kesempatan sang anak untuk berpendapat. Bandeswarya justru bersikap demokratis dengan membiarkan putrinya berpendapat terutama dalam ranah politik serta mempercayai putrinya dengan mengajaknya bertukar pikiran mengenai keadaan istana pada saattoitu. commit user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perlakuan yang diberikan Bandeswarya kepada Ni Diah Tantri membuat sosok Tantri menjadi berani berpendapat dan memiliki pengetahuan tentang dunia politik di istana. Kecerdasan Tantri tersebut telah disadari oleh Prabu Eswaryadala, sehingga dalam mengambil keputusan politik di negaranya, Prabu Eswaryadala pun selalu menanyakan pendapat Ni Diah Tantri. Hal ini membuktikan bahwa sosok Ni Diah Tantri digambarkan sebagai seorang perempuan yang tidak hanya mengurusi urusan domestik saja. Melainkan ia juga bisa mengurusi urusan publik, yakni mengenai kepentingan negara. Peristiwa ini tergambar dalam dialog. “Tantri apa pendapatmu jika ada kejadian seperti?” Ni Diah Tantri tersenyum, “Baginda di negara sebesar Patali Nagantun tidaklah mungkin tidak terjadi kejahatan. Kejahatan menculik gadisgadis memanglah kejahatan luar biasa. Lalu jika orang yang semula ditahan ada yang meloloskannya, itu mengundang tanda tanya, namun benarkah ada yang membantu meloloskan diri? Bukankah rumah tahanan di benteng pasukan adalah rumah tahanan yang dijaga ketat. Ada dua kemungkinan, pemuda itu memang pandai dan tangkas, cerdik dan memiliki ketrampilan yang luar biasa. Kedua, tentulah menyedihkan bila rumah tahanan di benteng yang dijaga pasukan ada yang berani menyusup untuk membantu meloloskan pemuda itu, di situ pertanyaannya, siapa pemuda itu hingga demikian pentingnya diloloskan dari rumah tahanan?” Eswaryadala tertawa kecil, matanya berbinar, “Kau dengar Kumbaputra. Kedua pertanyaan itu harus dijawab. ... . (Sawitri, 2011: 218 – 219). Korpus di atas menunjukkan bahwa Ni Diah Tantri memiliki kecerdasan dan ia pun dipercaya Eswaryadala sebagai penasihat atas laporan yang diberikan oleh Patih Kumbaputra. Dari data di atas juga dapat diinterpretasikan bahwa pendapat Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi keputusan Eswaryadala. Hal tersebut membuktikan bahwa karakter Ni Diah Tantri dibuat oleh Cok Sawitri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
sebagai perempuan Bali yang tidak hanya mengurusi ranah domestik. Namun, ia juga bisa mengurusi ranah politik. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, tokoh Tantri digambarkan sebagai perempuan yang sopan, santun, baik. Namun tidak digambarkan bahwa ia mempertanyakan nasib para gadis yang menjadi korban dari ikatan persembahan kepada raja Eswaryadala. Nasib gadis-gadis tersebut seakan dianggap tidak penting di teks Tantri Kĕdiri. Berbeda dengan itu, Cok Sawitri merekonstruksi tokoh Tantri menjadi sosok perempuan yang selalu mempertanyakan nasib dan keberadaan gadis-gadis sebagai simbol korban penindasan tersebut. Keberanian untuk menyuarakan nasib kaum perempuan yang tertindas merupakan sebuah bentuk pemberontakan konvensi Cok Sawitri. Baik itu pemberontakan konvensi sastra antar teks maupun pemberontakan dengan konvensi sosial-budaya masyarakat Bali. Bentuk dari kepedulian tokoh Ni Diah Tantri terhadap gadisgadis yang tertindas tersebut tergambar dalam dialog berikut. ... Ni Diah Tantri menghela nafas panjang..... sungguh sulit untuk mengetahui banyak hal walau sudah ada di dalam istana, pikirannya sedikit gundah. Dimana gadis-gadis itu? Di mana para selir tak resmi itu disembunyikan oleh Eswaryadala? Di istana keputrian? ... . (Sawitri, 2011: 127). Rekonstruki Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri sebagai sosok perempuan yang menyuarakan ketertindasan terhadap kaumnya sendiri sudah terlihat pada awal penceritaan. Pada saat, pembicaraan mendalam antara Bandeswarya dan Ni Diah Tantri yang membicarakan kebiasaan baru Eswaryadala yang sering berpesta dan meminta persembahan gadis perawan setiap harinya. Dari beberapa dialog terlihat bahwa Ni Diah Tantri menanyakan commit to user bagaimana nasib gadis-gadis itu dan nasib negara jika memiliki seorang raja
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
seperti itu. Tentulah Sang Pencipta akan memberikan hukuman kepada raja yang memperlakukan perempuan dengan tidak baik. Dari inilah sudah dapat dilihat awal rekonstruksi Cok Sawitri, secara tersirat melalui tokoh utamanya tersebut ia ingin menyelamatkan para gadis yang menjadi korban penculikian. Hal tersebut tergambar dalam dialog berikut. “Petaka apa yang akan ditimpakan kepada negeri yang tidak menghormati perempuan?” Desis Bandeswarya begitu getir... .(Sawitri, 2011: 14). “Hamba bertekad, Bapa mesti menghaturkan hamba kepada Baginda, hamba mesti menghentikan perilaku tidak patut seorang raja....” Sawitri, 2011: 21). Hanya yang berani berpihak kepada kebenaran, Bapa, yang tidak takut melakukan pengorbanan, ini kesetiaan hamba yang sejati, menyelamatkan negara dari kutuk Jagatpati. Bapa, izinkan hamba melakukan tugas setia hamba, agar perburuan gadis-gadis itu dihentikan.” (Sawitri, 2011: 21 – 22) Jika dibandingkan dengan karakter Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri yang hanya bertujuan menghibur Eswaryapala agar berhenti menikahi gadis cantik setiap harinya tanpa memperdulikan dan mempertanyakan nasib perempuan lain yang dijadikan selir Eswaryapala. Ni Diah Tantri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki keberanian dan cita-citanya sendiri untuk membebaskan korban penculikan dan menyadarkan raja dari kesalahannya. Dari point tersebut dapat dilihat secara jelas perbedaan karakter Tantri dari kedua teks, selain itu bisa dilihat juga kreativitas dan bentuk reonstruksi yang dilakukan Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri. Dalam ideologi feminis perempuan adalah korban, perempuan jugalah yang membebaskan penindasan tersebut. Perempuan bagi kaum feminis adalah simbol penindasan dan simbol pembebasan. Gadis-gadis perawan yang diculik commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh prajurit muda Sang Setia adalah simbol penindasan terhadap kaum perempuan Bali. Ni Diah Tantri adalah perempuan cerdas dan berani, simbol pembebasan terhadap perempuan Bali. Tidak hanya sebagai simbol pembebas para gadis, namun Ni Diah Tantri juga sebagai pembebas kecemasan dan kegundahan hati sang raja Eswaryadala. Kemenangan ideologi feminis tampak tergambar dalam akhir cerita. Pada akhirnya, Eswaryadala mengakui kemenangan Ni Diah Tantri. Eswaryadala mengakui keunggulan Ni Diah Tantri dan berkat kecerdasan serta kepintaran Ni Diah Tantri, Eswaryadala menjadi sadar atas kesalahannya. “Ni Diah Tantri menghela napas, Eswaryadala tampak memejamkan matanya. Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan Patih Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah menjadi Sambada, Andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri, pastilah aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah Negeri Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala disaksikan dua pelayan dan Ni Diah Tantri yang matanya berkaca-kaca pula.” (Sawitri, 2011: 356) Korpus tersebut membuktikan bahwa Eswaryadala mengakui kepandaian Ni Diah Tantri dalam bercerita, sehingga membuatnya menyadari keadaan di istana yang sebenarnya. Melalui cerita yang didongengkan oleh Ni Diah Tantri, Eswaryadala menjadi sadar bahwa banyak pihak yang mencoba mengadu dombanya dengan Bandeswarya. Pada akhirnya Eswaryadala menyadari kesalahannya, ia tak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan termasuk kepada korban penculikan. Eswaryadala juga membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan, sehingga Ni Diah Tantri dibebaskan untuk tetap mau menikahi Eswaryadala atau tidak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
2. Eswaryadala (Eswaryapala) a. Sri Prabu Eswaryapala dalam Kidung Tantri Kĕdiri Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok raja di negeri Pataliputra yang agung dan selalu ingin dituruti perintahnya. Eswaryapala mengartikan sebuah kebahagian jika ia bisa menikah setiap hari, sehingga meminta dipersembahkan gadis cantik setiap harinya. Karakter Eswaryapala sebagai sosok raja yang tidak ingin dibantah perintahnya serta dimabuk asmara dan memperlihatkan sikap tidak bisa menahan hawa nafsunya sangat terlihat di awal cerita Kidung Tantri Kĕdiri. Hal tersebut terlihat dari penggalan cerita berikut. ... Begitulah kata sang Rakryan Patih Niti Bandeswarya dengan lemah lembut dan bijaksana. Jawab beliau Sri Eswaryapala: “Sungguh, saya tahu akan kecemasan anda dan juga intisari kitab-kitab Agama. Tetapi diajarkan oleh kitab Itihāsa Purana* bahwa apa yang memberikan sukacita di dunia ialah. Batara Paramesti beserta Batari Umadewi dan Batara Wisnu serta Batari Sri yang dipuja di tempat tidur pernikahan. Begitulah pahala daripada sebuah perkawinan, senantiasa membuat kesejahteraan seru sekalian alam dari awal sampai akhir, yang membuat kebahagiaan sedunia.” Itulah alasannya <mengapa> saya ingin menikah terus-menerus. Maka dengarkanlah hai kalian para tanda dan para mantri! Seluruh perintah saya, wajiblah dilaksanakan. Nikahkan saya dengan seorang wanita jelita setiap hari <mulai> sekarang ini.” (Pupuh I baris 15 a – 16 b, 2009: 83 – 84) Eswaryapala digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri. Segala perintah yang keluar dari ucapannya harus segera terlaksana. Begitu pun jika perintahnya tidak dijalankan, maka Eswaryapala akan murka. Hal tersebut terlihat dari penggalan dialog antara Bandeswarya dan putrinya Dyah Tantri dalam (Pupuh I baris 35 a, 2009: 93). “Itulah yang menjadi kekhawatiranku, kemurkaan Sri Baginda. Bagaikan commit tomengalir, user sungai deras tidak habis-habisnya apa yang tersisa dari musuh
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
yang memegang pedang tajam, hewan yang tanduknya tajam, semua orang* tunasusila. memang sebaiknya ditakuti oleh <seseorang> yang bijaksana. Seperti pula amarah Sri Baginda yang besar!” Eswaryapala tidak menolak atau ragu sekalipun saat diberi persembahan anak Mahapatih Bandeswarya, yakni Dyah Tantri. Hal itu menegaskan karakternya sebagai raja yang tidak pandang bulu terhadap orang lain, bahkan terhadap keluarga prajurit setianya sekalipun. Eswaryapala yang tidak mempedulikan siapa gadis yang akan dipersembahkan kepadanya, bahkan merasa senang karena ia mendengar Dyah Tantri adalah gadis cantik dan pintar tanpa memandang Bandeswarya serta perasaan Dyah Tantri membuat karakternya sebagai raja yang otoriter semakin terlihat. b. Rekonstruksi tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita Sama halnya dalam Kidung Tantri Kĕdiri, Eswaryadala merupakan tokoh yang digambarkan sebagai seorang raja di negeri Patali Nagantun (Pataliputra dalam Kidung Tantri Kĕdiri), yang memiliki ketampanan fisik dan pengetahuan agama. Namun, yang membedakan tokoh Eswaryadala dalam Kidung Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter atau sifat yang digambarkan oleh penulisnya masing-masing. Eswaryapala (Eswaryadala) di Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dan tidak bisa menahan hawa nafsunya kepada wanita. Ia juga digambarkan sebagai sosok suami yang sangat terbuai oleh kecantikan Dyah Tantri, suami yang selalu ingin dilayani oleh isterinya. Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok laki-laki yang patriarkal. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang raja yang commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ingin dituruti semua perintahnya oleh seluruh Punggawa Istana dan sebagai suami yang ingin dilayani dengan baik oleh isterinya. Memperlakukan istrinya sebagai seorang kekasih yang bisa menghibur hatinya, sehingga ia berhenti meminta persembahan gadis cantik setiap malamnya. Penggambaran tokoh Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri berbeda dengan Eswaryadala yang digambarkan oleh Cok Sawitri dalam novelnya. Tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita direkonstruksi oleh Cok Sawitri sesuai dengan ideologinya. Eswaryadala oleh Cok Sawitri digambarkan sebagai sosok raja tampan yang memiliki kelebihan fisik dan pengetahuan. Namun selalu merasa cemas terhadap negaranya, meski sudah dinasihati bahwa negeri Patali Nagantun dalam keadaan baik-baik saja ia masih saja
merasa
khawatir.
Awal
penggambaran
raja
Eswaryadala
tersebut
digambarkan oleh Cok Sawitri sebagai berikut. Sejak lahir, Eswaryadala telah memberi tanda-tanda akan menjadi lelaki gagah dan tampan. Berani bertaruh di seluruh benua Jambu Dwipa, andaikan semua raja-raja berkumpul, duduk berjejer, pastilah yang tertampan raja Patala Nagantun. Tak ada yang tidak gandrung kepada Eswaryadala, yang juga sadar dirinya tampan. Di samping tampan, ia tahu pula seni sastra dan sangat menggemari kuda serta permainan pedang. (Sawitri, 2011: 7) ... “Terus kupikirkan, terus kupikirkan nyanyian itu! Nyanyian yang kudengar saat naik kuda ke batas ibu kota, terus menerus nyanyian itu mengganggu hatiku, mengganggu pikiranku! Apa bedanya raja dengan rakyatnya? Tak ada bedanya, ternyata.” (Sawitri, 2011: 7 – 8) Korpus di atas menunjukkan penggambaran awal Cok Sawitri mengenai sosok Eswaryadala sebagai raja tampan, namun memiliki sifat yang mudah cemas. Hal tersebut mempengaruhi kepribadian dan karakter Eswaryadala yang dibuat oleh Cok Sawitri. Dengan kata lain, Cok Sawitri memperlihatkan titik mula commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
112 digilib.uns.ac.id
kelemahan seorang raja. Meskipun di lain sisi Eswaryadala digambarkan memiliki banyak kelebihan, namun Cok Sawitri menggambarkan sosok laki-laki sekaligus raja ini juga memiliki banyak kelemahan. Salah satunya adalah sifat kecemasan yang berlebihan yang dimiliki oleh Eswaryadala. Ini merupakan bentuk keadilan yang dilakukan oleh Cok Sawitri, bahwa dilain sisi tokoh laki-laki ini digambarkan sempurna sebagai seseorang yang tampan, memiliki pengetahuan luas, pintar dalam berpedang dan berkuda. Namun dilain sisi sebagai laki-laki, Eswaryadala digambarkan sebagai seorang raja yang memiliki mental yang lemah. Hanya dengan hal-hal kecil dan sepele saja bisa membuatnya memiliki kekhawatiran berlebihan, hingga membuat Eswaryadala menderita penyakit susah tidur. Hal tersebut tergambar dalam penggalan dialog. ... Sudah berbagai cara diupayakan agar sifat-sifat pengkhawatir dan pencemas itu mereda. Negeri Patali Nagantun adalah negeri teramat tertib dan serba teratur. Kehidupan rakyatnya serba berkecukupan. Tak ada yang patut dicemaskan sesungguhnya. Namun, Eswaryadala selalu dilanda kekhawatiran, selalu mengalami kegelisahan terutama di waktu malam hari. Selalu sulit memejamkan mata. Setiap malam di dekat peraduannya, para penyanyi istana menyanyikan lagu-lagu indah agar Sang Raja lelap segera, setiap malam tubuh Sang Raja dipijati dan diharumi berbagai wewanginan, namun tak juga membuat kantuk datang. Ah, tak elok bila itu disebut penyakit. Sebab Eswaryadala tetap bugar, tetap raja yang pandai memimpin negara. Raja pemurah dan belas kasih kepada rakyatnya. Namun, bila sudah memasuki malam hari, saat waktunya beristirahat, Eswaryadala berubah sikap, menjadi gelisah dan tidak tenang. Bandeswarya tahu, semua cara telah ditempuh agar raja dapat tidur nyenyak. (Sawitri, 2011: 10) Mudahnya Eswaryadala sebagai seorang laki-laki untuk menerima hasutan adalah kelemahan selanjutnya yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Berbeda dari karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri yang digambarkan sebagai sosok laki-laki gagah dan berkuasa tanpa ada yang berani mengusik. Sebaliknya, commit to user Cok Sawitri menggambarkan Eswaryadala sebagai seorang raja, utamanya
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
seorang laki-laki yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Rendahnya mentalitas Eswaryadala yang memiliki sifat kecemasan dan kekhawatiran berlebihan dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mempengaruhi pemikiran Eswaryadala. Para Punggawa Istana yang memiliki tujuan politik tertentu memanfaatkan momentum tersebut untuk menghasut Eswaryadala. Memanfaatkan ajaran pawiwahan mengenai hukum pernikahan yang mengatakan raja dibolehkan menikah lebih dari sekali membuat para Punggawa Istana menghasut Eswaryadala untuk menikahi gadis perawan setiap harinya. “Anakku, para penjilat mengitari Baginda, semua menyemangati Baginda untuk terus mendapatkan selir baru. Ketika Bapa menunjukkan jalan keluar dari masalah-masalah itu, Baginda dengan suka cita menjawab, bagaimana jika secara resmi seluruh gadis-gadis itu aku lamar menjadi istriku?” Bandeswarya melenguh menirukan Eswaryadala, “Para penjilat yang mengitari Baginda terus membisikkan dalih. Salah satunya, Baginda seringkali menghindari pertemuan dengan Bapa. Urusan kerajaan pun seringkali diwakilkan kepada Bapa... .” (Sawitri, 2011: 20 – 21) Korpus di atas menjelaskan bahwa secara tidak langsung para Punggawa Istanalah yang menghasut raja Eswaryadala untuk menikahi gadis perawan setiap harinya. Berbeda dengan karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri karena Eswaryapala sendiri yang meminta persembahan gadis cantik setiap harinya karena hawa nafsunya dan keinginannya untuk memperoleh kebahagiaan. Dalam „Bagian 1: Sang Setia‟, Cok Sawitri menggambarkan seolah Eswaryadala sendirilah yang menginginkan gadis perawan setiap harinya. Melalui dialog yang dikatakan oleh Patih Andaru kepada prajutit muda Kumaraditya. “Baginda menginginkan, setiap hari ada seorang gadis yang masih perawan. Namun, baginda tidak ingin ada yang tahu, bila itu kehendak Baginda! Tidak boleh ada keresahan akibat tindakanmu, sebab rakyat Patali Nagantun tak boleh resah! Apalagi sampai membuat Mahapatih Bandeswarya terusik oleh perintah ini, jangan sampai.... Ini tanggung commit to user jawabmu!” (Sawitri, 2011: 6).
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
Jika dilihat secara lebih dalam memang tidak ada sebuah pernyataan langsung dari Eswaryadala untuk meminta dipersembahkan perawan setiap harinya. Karena dari awal cerita novel Tantri Perempuan yang Bercerita sudah disuguhkan dengan dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya seperti di atas, sehingga pembaca awam akan menganggap tokoh Eswaryadala memiliki karakter yang tidak berbeda dari Eswaryapala dalam teks Tantri Kĕdiri. Namun pada akhirnya, melalui tokoh Bandeswarya didapati sebuah fakta, bahwa raja Eswaryadala mendapat banyak hasutan dari para Punggawa Istana. Para Punggawa Istana memanfaatkan keadaan raja yang memiliki rasa kecemasaan yang berlebihan, agar sang raja Eswaryadala mengambil selir setiap hari sebagai penghibur hati. Hal itu membuat Eswaryadala menjadi seorang raja yang memiliki kebiasaan bercinta dengan para gadis perawan setiap malamnya untuk menghibur diri dari rasa cemasnya. Melalui tokoh Bandeswarya yang menjelaskan keadaan istana dan kondisi Eswaryadala kepada Ni Diah Tantri secara tidak langsung juga menjelaskan keadaan sebenarnya dari situasi kerajaan Patali Nagantun kepada pembaca. Ini merupakan inovasi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Jika, di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri tokoh Bandeswarya digambarkan terlibat langsung dengan konspirasi persembahan gadis cantik setiap harinya kepada raja. Berbeda dengan karakter Bandeswarya dalam novel, tokoh Bandeswarya digambarkan tidak terlibat bahkan tidak tahu-menahu perbuatan rahasia para punggawa kerajaan. Hal itu dilihat dari dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya di atas yang menyebut bahwa “Jangan sampai Mahapatih Bandeswarya terusik oleh perintah ini!”. Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa memang Bandeswarya tidak terlibat commit Istana. to user dalam konspirasi rahasia para Punggawa
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
Tokoh Bandeswarya menjadi semacam pembanding jika membahas mengenai sifat maskulin terhadap tokoh Eswaryadala dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Bandeswarya oleh Cok Sawitri digambarkan sebagai laki-laki dewasa Bali yang peduli dengan nasib para perempuan yang tertindas, yakni mereka yang dijadikan selir tidak resmi oleh Eswaryadala. Adapun, Eswaryadala digambarkan sebagai sosok laki-laki yang kurang peduli kepada nasib perempuan. Hal tersebut terlihat melalui dialognya bersama Ni Diah Tantri di atas, ketika Bandeswarya menawarkan solusi atas nasib para selir tidak resmi tersebut. Namun, Eswaryadala justru ingin membuat status selir tidak resmi tersebut menjadi selir-selir resminya. Karakter Bandeswarya dengan jelas digambarkan sebagai sosok laki-laki yang peduli dan ingin menyelamatkan para gadis yang menjadi korban penculikan serta selir tidak resmi Eswaryadala. Rekonstruksi laki-laki lain selain Eswaryadala, yakni Bandeswarya tersebut patut dibahas. Karena pada dasarnya seorang laki-laki, terlebih seorang ayah dalam keluarga di masyarakat Bali biasanya memperlakukan putrinya dan mendidiknya agar selalu menurut kepadanya. Sama halnya pada penggambaran Bandeswarya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, yang menggambarkan Bandeswarya sebagai sosok ayah dari seorang putri yang selalu menasihati dan meminta agar sang putri menuruti nasihatnya. Namun, Bandeswarya dalam novel Cok Sawitri berbeda, ia digambarkan sebagai seorang ayah yang demokratis dan sangat peduli dengan putrinya. Ia bahkan sempat tidak setuju saat putrinya berniat ingin dipersembahkan kepada sang raja. “Apa?” Bandeswarya terkejut mendengar ucapan putrinya. Memucat wajahnya seketika, Bandeswarya menggelengkan kepala... . commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Anakku, raja tetaplah lelaki. Lelaki yang ini seorang raja yang kamu tahu seperti apa keadaannya. Hanya ayah yang gila saja akan menyerahkan anaknya kepada lelaki seperti... .” (Sawitri, 2011: 20) Data di atas menegaskan bahwa Bandeswarya adalah sosok ayah yang sangat menjaga putrinya, berbeda dengan sosok Bandeswarya dalam Kidung Tantri Kĕdiri yang justru merasa bersyukur memiliki anak Dyah Tantri karena keinginanya untuk dipersembahkan kepada sang raja itu. Bandeswarya dalam karya Cok Sawitri digambarkan sebagai sosok ayah yang lebih memilih kesejahteraan dan kebahagiaan anak gadisnya. Dia adalah sosok ayah yang jarang ditemui dalam lingkup masyarakat Bali. Hal ini juga merupakan bentuk inovasi Cok Sawitri sebagai pengarang novel ia ingin masyarakat Bali lebih membuka mata, terutama seorang ayah dalam mendidik putrinya. Tokoh
Bandeswarya
diibaratkan
sebagai
Nandaka,
sedangkan
Eswaryadala diibaratkan sebagai Candapinggala dan Punggawa Istana yang menghasut raja dianggap sebagai Sambada. Penulisan alur dan tokoh oleh Cok Sawitri tersebut membuat rekonstruki yang dilakukannya terbilang sukses. Karena para tokoh di dalam cerita binatang memperkuat alur cerita dalam kehidupan manusia yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Terutama Ni Diah Tantri sebagai pendongeng, cerita binatang yang dicampurkan dalam kronologi kehidupannya bersama Eswaryadala memperkuat karakternya sebagai seorang wanita yang dapat mempengaruhi pemikiran seorang raja. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa Esawaryadala adalah seorang raja yang mudah cemas hingga dapat dipengaruhi oleh Punggawa Istana. Begitupun Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi Eswaryadala. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Berbeda dari pengaruh yang ditebarkan oleh para Punggawa Istana, Ni Diah Tantri menebarkan pengaruh kebaikan kepada Eswaryadala. Melalui cerita binatangnya, Ni Diah Tantri berhasil menyadarkan raja dari segala hal yang awalnya tidak dapat ia lihat. Salah satunya adalah sadarnya Eswaryadala terhadap sosok Sambada sebagai penghasut raja dan pengadu domba. Eswaryadala menjadi sadar setelah mendengarkan cerita Ni Diah Tantri. Hal ini pun diakui sendiri oleh Eswaryadala dalam dialognya. “Tahukah kamu Tantri, kini di istana ini telah ada Sambada... .” (Sawitri, 2011: 296) ... Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan Patih Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah menjadi Sambada, andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri, pastilah aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah Negeri Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala... . (Sawitri, 2011: 356). Kesadaraan akan keadaan sebenarnya yang terjadi di istana ini pun membawa kesadaran pada diri pribadi Eswaryadala. Eswaryadala pada akhirnya mengakui segala kesalahan dan menanggung kesalahan para prajuritnya pula. Selain itu, Eswaryadala tidak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan dan juga membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan. Hal itu tercermin dari dialog. ... Aku janjikan itu dengan kesungguhan hati! Kubebaskan engkau dari ikatan persembahan! Demikian pula tata krama wiwaha agar mentaati sastra utama, yang dilarang harusnya dipatuhi, yang dibenarkan harusnya dijalankan. Kunyatakan dengan sumpah suci, aku tak ragu untuk menanggung semua kesalahan yang telah dilakukan prajurit istana, apa pun itu alasannya. Aku tak ragu untuk meminta maaf kepada semua perempuan. Hai, Tantri, engkaulah yang memberiku cahaya, hingga terbebas dari kerisauan dan kegundahan. (Sawitri, 2011: 359). Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri kepada watak dan karakter commit to user Eswaryadala tersebut membawa sebuah pemikiran bahwa raja pun dapat
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengakui kecerdasan seorang perempuan. Bahkan Cok Sawitri membuat sosok Eswaryadala, seorang raja dan seorang laki-laki mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Hal ini merupakan bentuk kemenangan sendiri bagi kaum perempuan, terutama kaum perempuan Bali. Eswaryadala mengakui keunggulan Ni Diah Tantri, sehingga membuat pandangannya terhadap perempuan berubah. Awalnya ia hanya menganggap wanita sebagai objek pemuas hawa nafsu saja, namun kehadiran Ni Diah Tantri telah mengubah pemikirannya. Ni Diah Tantri sebagai sosok perempuan Bali cerdas yang direkonstruksi oleh Cok Sawitri, memberikan sebuah pemikiran bahwa perempuan pun dapat melakukan sesuatu jika ia diberi sebuah kesempatan. Jika diberi kesempatan untuk membuktikan diri dan berbicara, pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan kedudukan yang sama. Rekonstruksi Cok Sawitri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap hipogramnya secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1 Persamaan dan perbedaan struktur cerita dalam rekonstruksi yang dilakukan Cok Sawitri NO
1.
UNSUR
Alur Cerita
KIDUNG TANTRI
TANTRI PEREMPUAN
KEDIRI
YANG BERCERITA
Alur cerita maju dan Alur
cerita
memiliki kronologi yang memiliki
maju
dan
kronologi
runtut dari awal cerita campuran antara kronologi hingga
akhir cerita. kehidupan manusia dengan commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kronologi
yang kronologi cerita binatang
menceritakan kehidupan berbingkai. manusia dipisah dengan kronologi cerita binatang berbingkai. 2.
Latar Cerita
Latar cerita tidak terlalu Latar cerita digambarkan detail.
3.
lebih detail dan modern.
Penokohan: a. Tantri
Sopan, santun, berbakti Cerdas, berani, melakukan kepada kedua orang tua, semangat namun
masih
perempuan
perlawanan
sebagai dengan kepandaian, berani
tradisional berbicara menganai ranah
yang mengurusi urusan publik dan politik. Simbol domestik. Tidak berani pembebas kaum perempuan menanyakan
tentang yang
menjadi
nasib perempuan yang penculikan
untuk
menjadi
korban dipersembahkan kepada raja
persembahan
kepada dan pembebas raja dari sifat
raja.
b. Eswaryadala
korban
cemasnya.
Raja yang otoriter yang Raja yang baik, namun selalu
ingin
dituruti memiliki
perintahnya. commit to user
kelemahan.
banyak Salah
satu
kelemahannya adalah sifat
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mudah cemas dan mudah terhasut.
Laki-laki
berani
yang
mengakui
kesalahannya.
c. Bandeswarya Pemimpin keluarga dan Ayah
yang
baik
sosok ayah yang ingin bersikap demokratis. dituruti permintaannya.
commit to user
dan