BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan endometriosis dengan infertilitas. Sampel merupakan pasien rawat inap yang telah menjalani perawatan pada Januari 2012-Juli 2013. Data sampel diambil dari rekam medik pasien yang telah menjalani perawatan di Poliklinik Obstetri Ginekologi dan Klinik Fertilitas Sekar RSUD Dr Moewardi. Selanjutnya peneliti mendatangi rumah sampel tersebut untuk melakukan wawancara dengan kuesioner. Penelitian ini mengambil jumlah sampel minimal sebanyak 30 orang. Hal ini sesuai dengan “rule of thumb”, di mana setiap penelitian yang datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2010). Dari hasil penelitian diperoleh total 44 sampel yang terdiri dari 22 sampel kasus dan 22 sampel kontrol yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Dari 44 sampel tersebut, sebanyak 16 pasien infertil mengalami endometriosis (72,7%), 6 pasien infertil dengan kelainan ginekologi selain endometriosis (27,3%), 2 pasien fertile dengan endometriosis (9,1%), dan 20 pasien fertile lainnya terdiagnosis penyakit ginekologi selain endometriosis (90,9%). Distribusi sampel berdasarkan kelompok umur (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa responden infertilitas menempati jumlah terbesar pada rentang usia 29,49 40,69 tahun. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Caroline (2007) yang mengungkapkan bahwa endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis
yang paling sering ditemukan. Insiden tertinggi ditemukan pada wanita usia reproduktif (dekade ketiga dan keempat kehidupan). Dari 22 responden infertil tercatat bahwa 16 orang belum pernah mengalami kehamilan, sedangkan 5 orang lainnya pernah mengalami kegagalan kehamilan sedangkan 1 orang pernah mengalami kehamilan namun tidak terjadi kehamilan lagi sehingga dikategorikan sebagai infertilitas sekunder (Lampiran 4). Infertilitas endometriosis kebanyakan ditemukan pada stadium sedang sampai berat. Endometriosis stadium berat di mana terjadi perubahan anatomi tulang panggul atau penyumbatan tuba memiliki penjelasan yang sangat logis menyebabkan infertilitas tetapi pada endometriosis stadium ringan mekanisme yang bertanggung jawab menyebabkan infertilitas masih kurang jelas. Sebenarnya, apakah stadium ringan dan minimal dari penyakit tersebut dapat dipandang sebagai penyebab infertilitas masih banyak diperdepatkan (Jacoeb, 2009). Infertilitas endometriosis tidak tergantung stadium endometriosis, stadium minimal bisa menyebabkan infertilitas dan pada stadium berat bisa terjadi kehamilan atau infertilitas endometriosis tidak seiring dengan berat ringannya derajat endometriosis (Nugroho, 2004). Pada pasien endometriosis disimpulkan baik reseptivitas endometrium, kualitas oosit maupun kualitas embrio berpengaruh terhadap menurunnya angka kehamilan (Barnhart et al., 2002). Dari 22 responden yang infertil ditemukan sebanyak 16 wanita (72,7%) mengalami endometriosis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, di mana ditemukan bahwa sekitar 50% wanita
dengan infertilitas ditemukan endometriosis dan bila disertai nyeri pelvik atau nyeri haid, temuan endometriosis mencapai 80% (Kao et al, 2003). Eutopik endometrium wanita endometriosis berbeda dengan endometrium wanita tanpa endometriosis, di mana endometrium endometriosis dapat mengekspresikan aromatase, enzim yang mengkatalisa produksi estradiol. Estradiol yang meninggi pada endometrium dapat mengganggu proses implantasi (Bulun, 2000; 2009; Huhtinen, 2010). Hal inilah yang menurunkan angka kehamilan pada wanita dengan endometriosis. Abnormalitas endometrium menyebabkan kegagalan dalam implantasi embrio dan merupakan penyebab rendahnya angka kehamilan pada penderita endometriosis (Kao et al., 2003). Penyebab infertilitas endometriosis adalah: 1) kegagalan folikulogenesis (menurunkan ovarian reserve, esterogen dan Luteinizing Hormon (LH), meningkatkan panjang fase folikuler dan apoptosis sel granulosa); 2) kegagalan fertilisasi (mengganggu proses fertilisasi dan mengganggu proses sperm and zona pelussida binding); 3) faktor-faktor inflamasi cairan peritoneum (meningkatkan fagositosis sperma dan toksikosis embrio, menurunkan motilitas sperma); dan 4) kegagalan implantasi endometrium (sub endometrial expansion), perubahan ekspresi gen pada endometrium endometriosis menyebabkan implantasi blastokis terganggu (Kim et al., 2007; Matsuzaki et al., 2009; Zanatta et al., 2010; Lu et al., 2012). Berdasarkan tabel hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square (Lampiran 3) menunjukkan hasil pengamatan pada studi case-control terhadap hubungan endometriosis dengan infertilitas, didapatkan nilai p = 0,000 yang
berarti terdapat hubungan bermakna antara endometriosis dengan infertilitas. Meskipun demikian endometriosis yang ditemukan ini belum tentu merupakan satu-satunya penyebab infertilitas. Fertilitas seorang wanita bergantung pada keseimbangan faktor intrinsik dari organ tubuhnya; mulai dari faktor sentral di supra hipotalamus, hipotalamus, hipofisis, faktor ovarium, dan tak kalah penting adalah faktor peritoneum dan endometrium. Gangguan pada salah satu atau beberapa faktor tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya infertilitas (Sperof dan Fritzs, 2005; Overton et al., 2007). Kapoor dan Davilla (2002), menyatakan bahwa ketika terdapat jaringan parut yang luas, infertilitas dapat menjadi efek dari endometriosis dalam analog bahwa infertilitas berhubungan dengan adhesi yang terjadi akibat pelvic inflammatory disease. Jika endometriosis minimal tanpa adanya adhesi menyebabkan infertilitas, hal ini dipastikan adanya penurunan kesuburan pada wanita. Banyak mekanisme diajukan untuk menerangkan hubungan tersebut, tetapi semuanya harus dipertimbangkan secara teoritis tanpa adanya bukti pasti tentang efek anti infertilitas. Tidak ada satu mekanisme yang berperan sendiri, semua mekanisme berhubungan satu sama lain. Hubungan endometriosis dengan infertilitas dapat berupa adanya kelainan pada kadar gonadotropin, gangguan folikulogenesis, gangguan fertilisasi dan kualitas embrio, cacat fungsi fase luteal, gangguan transportasi ovum, embrio, atau gangguan implantasi (Nugroho, 2004). Terapi endometriosis pada kasus noninfertilitas bersifat simptomatis dan dipilih penggunaan terapi hormonal. Tindakan bedah hanya dilakukan ketika terapi hormonal tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan atau pada kasus endometriosis stadium lanjut (III dan IV). Tindakan inseminasi intra uterin dan in vitro fertilization dapat dikerjakan untuk terapi infertilitas endometriosis (Neal, 2002). Pasien dengan endometriosis mempunyai kemungkinan 26,67 kali untuk mengalami infertilitas dibandingkan dengan pasien yang tidak endometriosis, dengan probabilitas pasien endometriosis untuk mengalami infertilitas sebesar 96,38%. Menurut Neal dalam Nugroho (2004), wanita dengan endometriosis mempunyai resiko infertilitas 20 kali lebih besar dibanding yang tanpa endometriosis. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan efek (disebut sebagai kasus) dan kelompok tanpa efek (disebut kontrol) melalui rekam medik. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala dalam melakukan penelitan berupa ketidakcocokan alamat yang tertulis dalam rekam medik dengan alamat sesungguhnya sehingga terdapat beberapa sampel yang tidak dapat diambil data secara langsung melalui kuesioner. Namun, jumlah sampel dalam penelitian ini dianggap telah mewakili populasi yang ada. Menurut Sackett dalam Sastroasmoro dan Ismael (2011), ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya bias dalam studi case-control, di antaranya adalah informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu mungkin terlupakan oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam rekam medik dan subyek yang mengalami efek (kasus) lebih mengingat-ingat pajanan faktor risiko dibandingkan subyek yang tidak terkena efek (kontrol).
Pada penelitian ini, untuk meminimalkan bias yang terjadi, dilakukan pemilihan kriteria restriksi yang sesuai, memberikan pertanyaan dengan kuesioner secara jelas untuk mendapat informasi yang tepat, dan melakukan pengambilan data subyek penelitian dengan objektif. Penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi case-control ini dapat mengetahui mengenai hubungan antara endometriosis dengan infertilitas. Desain penelitian case-control dapat dipergunakan untuk menilai besar pengaruh endometriosis dalam kejadian infertilitas. Namun dalam kekuatan hubungan sebab-akibat, studi case-control berada di bawah desain eksperimental dan studi cohort. Desain penelitian case-control mempunyai kelemahan khususnya akibat recall bias, namun dengan perencanaan yang baik, pelaksanaan yang cermat, dan analisis serta interpretasi yang tepat, studi case-control dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam penelitian kedokteran klinis pada kasus-kasus keganasan (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).