BAB V PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (51 orang) adalah perempuan. Perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan gangguan lambung seperti gastritis daripada laki-laki. Selain itu, apabila dilihat dari unsur hormonal perempuan lebih reaktif daripada laki-laki. Mekanisme hormonal dapat mempengaruhi sekresi asam lambung. Hormon gastrin yang bekerja pada kelenjar gastric ketika mendapatkan rangsangan akan menyebabkan adanya aliran tambahan getah lambung yang sangat asam. Kenaikan asam lambung inilah yang menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012). 2. Usia Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa responden paling banyak berada pada usia 13 tahun yang termasuk pada usia remaja awal yaitu 10-14 tahun sebanyak 34 orang. Remaja awal merupakan masa dimulai perubahan pada fisik, mental dan lingkungan sosial (Soetjiningsih, 2004). Pada masa ini terjadi perubahan secara cepat (growth sprut) pada remaja. Pola makan yang tidak teratur menjadi salah satu masalah yang timbul pada remaja. Selain itu, terdapat pengaruh dari lingkungan, perubahan gaya hidup, dan adanya stress. Gaya hidup dan kebiasaan makan
41
42
yang salah secara langsung mempengaruhi organ-organ pencernaan dan menjadi pencetus penyakit pencernaan. Salah satu penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung termasuk dispepsia (Susilawati, 2013). B. Hubungan antara Sarapan Pagi dengan Sindrom Dispepsia Setelah dilakukan analisis menggunakan uji korelasi Lambda didapatkan bahwa terdapat hubungan antara sarapan pagi dengan sindrom dispepsia pada remaja sekolah dengan p-value 0,01. Hasil penelitian ini sejalan dengan Susanti (2011) yang menyebutkan kejadian dispepsia dipengaruhi oleh keteraturan dan frekuensi makan yaitu makan tiga kali sehari dengan jadwal dan jeda makan yang baik antara sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Sarapan adalah kebutuhan manusia yang seharusnya dilakukan secara teratur setiap pagi (Waryono, 2010). Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Sarapan pagi memiliki fungsi untuk memenuhi kecukupan energi yang diperlukan untuk jam pertama dalam melakukan aktivitas, pertumbuhan, dan pemeliharaan jaringan tubuh serta mengatur proses tubuh (Almatsier, 2009). Bagi orang dewasa, sarapan pagi dapat memelihara ketahanan fisik, mempertahankan daya tahan saat bekerja dan meningkatkan produktivitas kerja. Bagi remaja sekolah, sarapan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran, sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Selain itu, sarapan pagi juga berperan melindungi tubuh terhadap dampak negatif kondisi perut kosong selama berjam-jam (Irianto, 2007).
43
Kondisi perut yang kosong berarti terjadi pengosongan pada lambung. Faktor yang berhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung ialah jeda waktu makan dan frekuensi makan. Makan teratur berkaitan dengan frekuensi makan, pola makan, dan jadwal makan. Jadwal makan dapat diinterpretasikan dengan frekuensi makan sehari-hari. Makan yang tidak teratur termasuk meniadakan sarapan pagi menyebabkan pemasukan makanan dalam perut menjadi berkurang sehingga lambung akan kosong. Kekosongan pada lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung. Kondisi ini dapat mengakibatkan peningkatan produksi asam lambung (HCl) yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung (Susanti, 2011). Penyebab asam lambung tinggi diantaranya adalah aktivitas padat sehingga terlambat makan. Secara alami lambung akan memproduksi asam lambung setiap saat dalam jumlah kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan kadar glukosa dalam darah telah banyak diserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan saat itu jumlah asam akan meningkat (Ganong, 2008). Keluarnya asam lambung disebabkan karena kondisi perut yang kosong. Selain keluarnya asam lambung pada proses kontraksi, kontraksi lambung akan meningkat apabila timbul rasa lapar. Kontraksi ini sering terjadi apabila lambung dalam kondisi kosong dalam waktu yang lama. Kontraksi ini biasanya merupakan kontraksi peristaltik ritmik yang mungkin merupakan gelombang pencampuran tambahan pada korpus lambung. Gelombang ini akan menjadi sangat kuat sekali. Dinding lambung satu sama lain saling bergabung dan
44
menimbulkan kontraksi tetani yang berlangsung terus menerus selama dua sampai tiga menit. Kontraksi lapar biasanya paling kuat pada orang muda sehat dan akan bertambah kuat pada keadaan kadar gula darah rendah. Kontraksi yang terus menerus inilah yang dapat mengiritasi mukosa lambung dan menyebabkan gangguan pada lambung (Guyton, 2014). Salah satu gangguan lambung pada seseorang yang memiliki pola makan yang tidak teratur ialah dispepsia. Frekuensi makan merupakan faktor yang berhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung. Perut yang kosong atau ditunda pengisiannya menyebabkan asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung dan berakibat rasa nyeri (Oktaviani, 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian Ade (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keteraturan makan dengan dispepsia pada siswa. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa siswa yang makan dengan teratur memiliki risiko untuk mengalami dispepsia 0,31 kali lebih rendah daripada siswa yang makan tidak teratur. Hasil penelitian oleh Annisa (2009) menyatakan bahwa jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan sindroma dispepsia. Akan tetapi pada penelitian ini didapatkan sebanyak 6 orang responden yang tidak melakukan sarapan pagi tidak mengalami sindrom dispepsia. Hal ini disebabkan karena frekuensi makan seseorang yang tidak sama akibat pengosongan lambung setiap individu berbeda bergantung dengan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi (Anggita, 2012).
45
Dispepsia adalah kondisi seseorang yang mengalami kesulitan dalam mencerna makanan yang disertai berbagai gejala seperti nyeri ulu hati, mual, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa. Sindrom dispepsia dapat menyerang siapa saja termasuk remaja. Individu yang memiliki pola makan teratur kemungkinan kecil mengalami dispepsia sedangkan siswa yang memiliki dispepsia tinggi atas pola makannya yang tidak teratur akan mengalami kejadian yang memicu rasa sakit. Selanjutnya hal ini dapat berpengaruh pada konsentrasi belajar dan nilai siswa (Ade, 2014). Pada penelitian ini didapatkan 4 orang responden yang melakukan sarapan pagi memiliki sindrom dispepsia ringan. Sindrom dispepsia selain akibat kebiasaan buruk tidak melakukan sarapan pagi juga dapat disebabkan jenis makanan tertentu dan kebiasaan tidak menyehatkan lainnya. Terdapat beberapa jenis makanan dan minuman yang menjadi faktor risiko munculnya dispepsia. Makanan dan minuman tersebut ialah makanan berminyak atau berlemak, makanan pedas dan berbumbu tajam, minuman berkafein seperti kopi dan teh, minuman beralkohol, peppermint, bawang putih, dan coklat (Przybys, 2011). Dispepsia juga dapat muncul karena faktor psikologi yaitu pengaruh stress. Stress mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat salah satunya dispepsia. Hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan dan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral (Djojoningrat, 2006b). Sindrom dispepsia yang terjadi pada remaja dapat dicegah dan diatasi dengan berbagai cara. Remaja dengan segala aktivitas yang padat hendaknya
46
tetap dapat makan dengan teratur. Makan teratur dengan frekuensi makan yang teratur pula yaitu dengan tidak meniadakan sarapan pagi, makan siang ataupun makan malam. Sarapan pagi terutama diperlukan oleh remaja sekolah untuk cadangan energi yang berperan dalam konsentrasi belajar di sekolah. Selain frekuensi makanan jeda waktu makan juga diperhatikan. Makan dengan jeda watu makan yang tidak terlalu panjang antara sarapan pagi, makan siang, dan makan malam (Annisa, 2009).