BAB V PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Sosio-Historis 5.1.1. Arkeologi Kebudayaan Masyarakat Sunda Masyarakat asli nusantara memiliki kepercayaan dan keyakinan (sistem nilai) yang khas dan dapat ditelusuri secara arkeologis maupun hermeneutis-historis. Jakob Sumardjo (2002) adalah salah satu ilmuwan yang mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan asli masyarakat Nusantara tersebut dan melahirkan tulisan tentang sejarah ringkas kerohanian Indonesia (2007:3-84). Di dalam salah satu bab penelitiannya, Jakob Sumardjo mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli Indonesia dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu (hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran. Berbagai tipe masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir primordial yang khas dan menjadi akar kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam konteks penelitian modal sosial Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa Barat) ini, akan sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih memahami akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya melanggengkan kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan sosialnya saat ini. Dalam sistem kepercayaan asli masyarakat Nusantara ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk pemahaman ruang yang disebut dengan (1) pembagian dua (dualisme-antagonistik) (2) pembagian tiga atau kesatuan tiga dan (3) kesatuan lima atau sembilan. Pembagian dua merupakan pemahaman ruang yang berkembang dalam masyarakat pemburu-peramu, peladang, dan maritim (Sumardjo, 2007:18). Prinsip pembagian dua ini tidak hanya digunakan untuk memaknai ruang dan waktu, melainkan juga untuk memaknai sistem kekerabatan, sistem pekerjaan, alam binatang, alam tumbuhan dan lain sebagainya. Pembagian
dua itu selanjutnya diklasifikasikan dalam dua oposisi dasar “laki-laki” (luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan “perempuan” (dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan, bulan). Wujud lain filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di dalam pola kain tenun dan sarung tradisionalnya yang bermotif “kotak-kotak”, dimana garis vertikal menggambarkan pasangan-pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal menggambarkan harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut. Selain ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-Grantang, Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon. Selanjutnya, pembagian tiga atau kesatuan tiga banyak dijumpai di masyaraka
perladangan.
Pembagian
tiga
ini
lebih
menekankan
independensi ruang dan egaliterianisme yang masih dapat disaksikan dalam masyarakat Baduy (Kanekes, Banten) melalui kesatuan tiga kampung sucinya (Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana) (Adimihardja, 2008:127), atau di Minangkabau dengan pembagian tiga luhaknya (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota), prinisp triangtu (Sunda), tigo sejarangan (Minang) dan dalian na tolu (Batak). (Sumardjo, 2007:21). Dalam kesatuan tiga ini dikenal hubungan “dalam” (kebebasan) dan “luar” (persamaan). Orang dalam adalah orang sekampung yang mandiri dan orang luar adalah orang dari kampung lain yang memiliki kemandirian yang sama. Biasanya mereka menganut prinsip perkawinan eksogami (lain darah). Kesatuan tiga juga nampak menonjol dalam tenunan kain ulos Batak maupun Baduy yang selalu ada bidang “dalam” (bagian terluas bidang hias) dan bidang “luar” (sisi kiri dan kanan bidang utama). Pembagian ruang masyarakat Indonesia purba yang terakhir adalah prinsip pembagian lima atau sembilan yang banyak berkembang dalam masyarakat sawah. Sebagai masyarakat yang memproduksi makanan, maka mereka tinggal menetap dan hidup bersama-sama dalam satu ruang.
Konsentrasi manusia pada satu wilayah ini membutuhkan pengaturanpengaturan kolektif (membuka lahan, mengolah lahan, irigasi dan pengairan, pengerjaan lahan, dan lain-lain) yang memungkinkan lahirnya “pusat” pengaturan (papat keblat, kalimo pancer-jawa). Kesatuan lima ini berorientasi pada lokalitas, dimana manusia itu terikat dengan tanah dimana ia berada (Sumardjo, 2007:23). Masyarakat sawah adalah masyarakat kerja, sehingga ia tidak mengenal “ruang/orang dalam” atau “ruang/orang luar”. Semua akan diakui menjadi orang dalam sepanjang menunjukkan fungsinya di dalam masyarakat dan setia kepada pusat. Etika moral tertingginya adalah solidaritas kerja. Ekspresi keterbukaan ini juga dominan dalam batik Jawa, misalnya, yang memiliki pola terbuka dan tanpa pembatas. Tabel 8. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis Masyarakat berburuMeramu/Nelayan-Laut Konsumtif (food gathering people) Keasatuan dua Unsur waktu dan kerohanian Dinamistik Berjiwa merdeka, konsumtif, egaliter, mobilitas tinggi, humoristik (menyadari kelemahan diri), “manja”, etos kerja dan profesionalitas rendah karena terdidik dalam kemurahan alam yang terberi, kuat koletivitasnya, fanatik pada lingkungan “orang dalam”nya sendiri
Masyarakat Peladang
Masyarakat Sawah
Setengah produktif dan konsumtif (peramu) Kesatuan tiga Unsur waktu dan kerohanian Animistik Mentalitas ganda, konsumtif-produktif, dependen-independen, kolektivisme berdasarkan pertalian darah sangat kuat, kedudukan keluarga inti amat penting, solidaritas hanya terbatas pada lingkungan keluarga inti, kategori “orang dalam” dan “orang luar” ditonjolkan, mudah “iri hati” dengan kesuksesan orang lain (sebab dalam masyarakat peladang yang serba terbatas, kelebihan satu orang berarti merampas milik bersama)
Produktif (food producing people) Kesatuan lima Unsur waktu dan kerohanian Animistik Komunal (dependenkolektif), solidaritas yang kuat, produktif dan lokalitas yang kuat (tanah pertanian adalah segalanya), konvensional, sulit menerima perubahan, semua yang dari “luar” diintegrasikan dengan pihak “dalam”
Raja tetap sebagai manusia, dewa adalah sesembahannya Kurang agresif
Raja tetap sebagai Raja dianggap memiliki manusia, dewa adalah kekuasaan adikodrati sesembahannya (paham dewaraja) Kurang agresif Agresif Sumber : Sumardjo, 2007:22-26
Masyarakat Sunda (Jawa Barat) sebenarnya masuk dalam kategori masyarakat peladang. Namun demikian, sejak jaman Hindu-Budha, masyarakat Sunda juga sudah mengenal dunia persawahan dan kelautan. Peradaban Sunda pada masa itu lebih mirip dengan peradaban melayu (Sriwijaya) yang juga dekat dengan perladangan dan kelautan. Dengan ciri kesatuan tiga yang dimiliki masyarakat peladang dan perbukitan ini, maka kita menjadi mengerti mengapa di Sunda tidak muncul kerajaan besar yang menguasai seluruh Sunda.
Kerajaan-kerajaan di Sunda (Taruma,
Padjajaran, Galuh, Saunggalah) merupakan kerajaan Hindu-Budha yang relatif mandiri satu sama lain dan tidak agresif (Sumardjo, 2007:36). Sekalipun pusat-pusat kerajaan Sunda ini berada di peradaban Sawah, namun sebagain besar kampung-kampung Sunda berada di perbukitan dan diberikan otonomi penuh dari kerajaan (elit). Akibatnya, peradaban HinduBudha cenderung hanya menjadi milik para elit, sementara rakyat jelata memegang keyakinannya sendiri-sendiri sampai pada akhirnya Islam masuk ke pelosok-pelosok kampung ini. Maka tidak heran, meskipun peradaban Hindu-Budha pernah bercokol hingga 1100 tahun di tatar Sunda, tetapi sisa-sisa cara berpikir dan kepercayaan Hinduisme justru tidak terlalu dominan pada masyarakatnya sebagaimana di Jawa Tengah dan Timur. Sunda justru identik dengan Islam. Pada masa peradaban Hindu, wilayah Kabupaten Subang (dulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta) menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang
diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda 12. Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan 12
Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Subang (2011:14-17)
Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah
ini,
pemerintah
Belanda
membentuk
distrik-distrik
yang
membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan
seorang
kontrilor
BB
(bienenlandsch
bestuur)
yang
berkedudukan di Subang. Berbagai pengalaman sejarah diatas menunjukkan bahwasanya masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat peladang-sawah telah bersentuhan dengan berbagai kebudayaan luar, seperti Hindu-Budha, Islam, Eropa (Belanda) dan kebudayaan dari Jawa. Modernisasi di segala bidang yang hadir belakangan juga menambah warna akulturasi kebudayaan Sunda-Subang itu sendiri. Meskipun demikian, akar kebudayaan asli masyarakatnya (egaliter-independen) tidak lantas hilang sama sekali, tetapi juga sudah tidak ada yang utuh sama sekali. Semua gejala akulturasi tersebut masih dapat kita amati dalam simbol-simbol yang hadir di perayaan pesta hajatan masyarakat pedesaan Subang hari ini. Misalnya peninggalan Hindu yang masih tersisa seperti hadirnya sesajen, pawang hujan, wayang kulit, lalu upacara dan doa-doa yang dilakukan merupakan sinkretisme antara ritualisme Hindu-Budha tetapi dengan isi Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan dari kolonialisme dimana menunggangi replika singa merupakan simbol pengusiran kepada penjajah (Inggris dan Belanda), hingga hiburan-hiburan kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan jaipong tampil mewakili modernitas yang diadopsi.
5.1.2. Sistem Nilai Sosial dan Budaya Masyarakat Pedesaan Subang
Masyarakat Subang, secara sosio-historis maupun ekologis adalah suatu bentuk masyarakat yang sangat lekat dengan kehidupan agraris. Berbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun. Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-aktivitas yang sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat berpengaruh kepada aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang khas dimiliki petani. Wujud ketergantungan kepada kebaikan alam itu, misalnya, terwujud dalam bentuk-bentuk pola perilaku13 yang lebih kongkrit seperti dalam upacara-upacara adat atau norma-norma kehidupan bermasyarakat. Misalnya upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya. Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini dilakukan dalam semangat kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih dikenal dalam konsep Gotong Royong 14.
Upacara-upacara ataupun
seremonial di dunia pertanian itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus disokong sebagian besar komunitas karena memiliki rasa ketergantungan dan nilai-nilai penghormatan terhadap alam yang relatif sama. 13
Menurut Koentjaraningrat (1982:5-6)., kebudayaan manusia itu terbangun dan terwujud ke dalam tiga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsbnya) (2) wujud perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan (3) wujud fisik (artefak, benda-benda hasil karya manusia) 14 Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang berbunyi “Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program pembangunan pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”.
Gambar 16. Gotong royong di Pedesaan Subang
Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial dan sistem sosial seharihari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentukbentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti jaipong, sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu meriah dan melibatkan banyak orang, baik di atas panggung maupun dibawah (penonton dan pengiring). Kolektivitas paling utama dahulu tercermin di dalam dunia pertanian, dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan hingga pemanenan dilakukan dengan gotong royong (sebelum mengenal sistem upah), baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat. Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka dan dunia pertanian mengalami komersialisasi ekonomi akibat keberhasilan revolusi hijau, kolektivitas masyarakat pedesaan Subang ini juga mengalami kemunduran. Sistem upah (monetisasi) yang dibawa masuk oleh sistem ekonomi pasar telah mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas
masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan norma-norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosokpelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu melekat (redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolongmenolong, silih genten) kini telah mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh komersialisasi atau ekonomi pasar/kapitalis tersebut. Namun, kolektivitas sosial dan sistem ekonomi pra-kapitalis khas pedesaan tradisional itu tidak sepenuhnya hilang atau sepenuhnya bertahan, melainkan terjadi perpaduan antara nilai-nilai lama (tradisionalkolektif) dan nilai-nilai baru (modern-individualistik) yang menghasilkan sebuah sistem sosial baru yang unik. Contohnya, kolektivitas yang merupakan
modal
sosial
masyarakat
tradisional kemudian
harus
berkompromi (comformity) dengan kepentingan-kepentingan individu yang berorientasi pada kemakmuran pribadi (homo economicus). Akibatnya, kita akan melihat bagaimana muncul transaksi-transaksi ekonomi di dalam sebuah hubungan yang seharusnya bersifat sosial. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial ini ekuivalen (sama) dengan tindakan ekonomi. Salah satu bentuk sistem sosial baru ini tercermin dalam gotong royong dan tolong menolong itu sendiri, yakni ketika resiprositas umum (generalized reciprocity) bergeser menjadi resiprositas yang sebanding (balanced reciprocity) dan bahkan menjadi sistem pertukaran sosial dan ekonomi yang baru. Sistem pertukaran sosial dan ekonomi baru inilah yang akan didalami dalam penelitian ini. Salah satu topik yang dapat diangkat dan diharapkan
mampu
memberikan
gambaran
secara
komprehensif
bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat berjalan adalah dengan mencari bentuk aktivitas yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Banyak peneliti sosial dan ekonom di masa lalu yang menera
persoalan ini dari kegiatan di dunia pertanian. Akan tetapi, dengan perubahan struktur masyarakat dan diferensiasi pekerjaan yang semakin luas, nampaknya menggali hanya dari aktivitas di dunia pertanian belum menggambarkan kondisi seluruh lapisan masyarakat (karena semakin banyak orang desa yang meninggalkan dunia pertanian). Oleh karena itu, peneliti mencoba mengangkat fenomena atau bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga ditemukan pesta hajatan sebagai medan penelitian. Sebab, hampir seluruh anggota masyarakat di pedesaan (apapun latar belakang pekerjaannya) masih memegang teguh tradisi mengadakan perayaan pada momen atau siklus hidup tertentu. Dari fenomena pesta hajatan inilah kita akan menemukan bagaimana sosok homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini muncul bersamaan dalam modal sosial gantangan yang mereka bangun dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan Subang. 5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan Pesta hajatan15 di pedesaan adalah sebuah kesibukan massal yang unik dan khas. Di dalamnya terdapat perpaduan antara aktivitas sosial, religius, ekonomi, kesenian dan bahkan politik. Pesta hajatan itu sendiri memiliki berbagai sebutan, istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bukan hanya antar daerah, bahkan antar dusun dan desa yang berdekatan pun bisa sangat berbeda. Ibarat peribahasa “lain ladang, lain belalang. Lain tempat, lain pula tradisinya”. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif sosiologi, pesta hajatan ini bukan hanya sekedar “upacara seremonial” yang ajeg dan rutin saja, melainkan juga merupakan sebuah sistem 15
Hajatan = berasal dari kata “hajat” yang berarti “keinginan atau harapan”. Maknanya adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut dapat diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak yang biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan disesuaikan dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar keinginan tersebut terkabul sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dan secara simbolik menjadi penanda status sosial seseorang/keluarga.
tindakan dan perilaku yang kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan banyak orang (massal) sehingga memungkinkan lahirnya banyak motif serta hubungan sosial, melainkan juga berbagai elemen dan faktor pembentuk sistem itu sendiri yang beragam, mulai dari struktur sosial masyarakat, kondisi agro-ekologis, religi dan alam pemikiran yang berkembang serta keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh dari luar, seperti teknologi dan sistem ekonomi pasar.
Gambar 17. Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana (kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai ratusan karung (kanan)
Kompleksitas sebuah pesta hajatan di pedesaan ini paling tidak dapat ditandai dalam pola pertukaran sosial yang terbentuk, misalnya dalam gotong royong dan kebiasaan nyumbang antar warga. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, solidaritas dalam bentuk gotong royong dan nyumbang/nyambungan ini terindikasi mengalami evolusi atau perubahan, dari semula yang bersifat altruis (murni tolong menolong) menjadi cenderung selfish dan materialis. Sebagai Indikator adalah munculnya standarisasi, monetisasi dan bahkan komersialisasi hajatan itu sendiri. Lahirnya sistem pencatatan sumbangan menandai berakhirnya sumbangan sukarela menjadi suatu kewajiban (hutang-piutang). Kewajiban sosial inilah yang seringkali bersifat in-elastis terhadap kondisi ekonomi rumah tangga dan pada akhirnya menimbulkan gesekan horizontal maupun vertikal. Meskipun, jika dilihat dari sisi lain, kewajiban resiprokal tersebut dapat pula bermakna sebagai investasi, tabungan atau arisan sosial yang
dimiliki oleh rumah tangga pedesaan dan berfungsi sebagai pengikat satu sama lain (modal sosial dan jaminan sosial informal). Dengan pemahaman bahwa tradisi sosial seperti pesta hajatan di pedesaan ini sebagai suatu sistem tindakan dan perilaku yang kompleks, penelitian ini mencoba untuk melihat lebih dalam dan mengangkat ke permukaan berbagai kompleksitas yang dimaksud. Mulai dari aktor-aktor yang terlibat, simbol-simbol dan barang-barang yang dipertukarkan, jejaring yang terbentuk, norma-norma yang terbangun, nilai-nilai kolektif dan subjektif yang diakui, pola-pola pengelompokan secara sosiologis, frekuensi dan ukuran ekonomis, serta faktor-faktor signifikan lainnya yang menyebabkan tradisi sosial di pedesaan ini dapat tetap adaptif. Sebagai arena untuk membedah itu semua, penelitian ini akan mengangkat fenomena tradisi pesta hajatan dan pertukaran sosial Gantangan di pedesaan Subang yang diindikasikan telah mengalami komodifikasi dan komersialisasi secara sosial dan ekonomi, yakni menjadikan hajatan adalah ajang untuk mencari untung (usaha). Tabel 9. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan Aktor-Aktor Bapak Hajat Pengantin hajat
Kebayan
Panitia Gantangan
Tamu Undangan
Keterangan Pemilik hajat atau penarik simpanan Gantangan Misalnya anak yang dikhitan, perawan yang dinikahkan, cucu yang dilahirkan dan lain sebagainya Panitia atau penyelenggara hajatan, ditunjuk oleh keluarga bapak hajat terdiri dari : Tukang nyangu (masak) Juru tulis gantangan Tukang cuci piring Tukang parkir Pembawa dan penimbang beras Penerima tamu wakil Bapak hajat dalam mengundang, mencatat, dan menagih simpanan atau hutang Gantangan Orang-orang yang menerima undangan, baik Gantangan maupun
Pola Relasi Pengundang komoditas hajat
Disewa/dikontrak Resiprokal Disewa/dikrontrak Jatah desa (karang taruna) Disewa Keluarga Dibayar & Diongkosi Resiprokal
Bandar hajatan
Perlengkapan hajatan Tatanggapan
Pawang hajat
Individu atau Perusahaan Jasa
Penikmat hiburan (penyawer)
Penyedia minuman keras
Kondangan/surat undangan penyedia kebutuhan hajatan, seperti beras, daging, sayuran, dan sembako lainnya yang bersedia meminjamkan bahan-bahan tersebut kepada bapak Hajat sesuai dengan kesepakatan dan biasanya dibayar setelah hajatan selesai. Bandar Beras (pembeli beras hasil Gantangan, dengan selisih harga Rp. 500-Rp.1000/kg lebih murah dari harga pasar. Biasanya ia juga berperan sebagai bandar Hajatan) tenda, kursi, panggung, soundsystem, dekorasi, baju pengantin dan tata rias, piring dan gelas, dan lain sebagainya Sinden, gamelan, kelompok kesenian jaipong, sisingaan, tardug, tarling, organ tunggal, qosidahan, ceramah, kuda renggong, degung, wayang golek, wayang kulit, layar tancap Dukun atau “orang pinter” untuk pemilihan “hari baik”, pawang hujan, orang yang menyusun dan menjaga peperen (tempat sesajen) Percetakan undangan Video shooting Tukang listrik/genset Penyedia mobil pick up (sarana transportasi massal untuk menghadiri hajatan yang jauh jaraknya) Biasanya saudara atau keluarga bapak hajat yang ingin ikut memeriahkan acara hiburan atau para tamu undangan yang ingin menikmati hiburan dengan sambil berjoged dan menyawer kepada penyanyi/penari diatas panggung. Biasanya ada pembawa acara yang bertugas mengundang orang untuk nyawer, karena dari saweran inilah tambahan pendapatan bagi kelompok hiburan ini diperoleh. Minuman keras disediakan untuk anakanak muda atau kaum pria yang bertugas menggotong singa atau mereka yang ingin meramaikan acara hiburan dengan berjoged. Minuman keras ini berfungsi untuk menghilangkan rasa malu untuk berjoged dan konon menambah
Dibayar selesai hajat
Disewa
Disewa/dikontrak
Dibayar
Resiprokal
Hanya meramaikan acara
Lebe
Pedagang Kaki Lima
Aparat Keamanan
stamina dan percaya diri, meskipun seringkali minuman keras ini jugalah yang memicu keributan-keributan kecil dalam pesta hajatan. Biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi (di belakang panggung) tetapi juga seringkali terbuka dan dianggap wajar. Naib atau penghulu dan juru khitan, yaitu orang-orang tertentu yang memiliki keahlian dan atau dipercaya oleh bapak hajat untuk melakukan tugas-tugas ritualnya. Penghulu biasanya petugas resmi dari KUA. Penjual mainan anak-anak, penjual makanan dan minuman yang biasa memadati area hajatan. Semakin besar pesta hajatan maka akan semakin ramai para PKL yang datang. Aparat desa, satgas/hansip, kepolisian, tentara
Dibayar dan diongkosi
Hanya meramaikan acara
Dibayar lewat biaya perijinan
5.2.1. Seremonial Hajatan Untuk membuktikan bahwa sebuah pergelaran pesta hajatan di pedesaan ini merupakan sebuah kompleksitas sosial dan “kesibukan massal” adalah dengan mangamati sejak seseorang atau suatu keluarga merencanakan hajatan, melaksanakan, hingga memanfaatkan hasil hajatannya. Betapa sebuah pesta hajatan – sekecil dan sesederhana apapun – tetap melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Bahkan, secara langsung maupun tidak langsung, lingkungan alam (musim) dan lingkungan sosial saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
adanya
hajatan ini. Berikut beberapa detail tahapan yang dijalankan oleh seseorang atau keluarga yang akan mengadakan hajatan
Persiapan Hajatan
Ketika seseorang atau rumah tangga terbesit niat untuk hajatan, biasanya mereka akan melakukan beberapa tindakan, antara lain : a. Berunding dengan keluarga. Berunding dengan orang tua atau keluarga besar biasanya dilakukan untuk memberi kabar sekaligus meminta persetujuan dan menagih “komitmen” keluarga untuk turut membantu secara material maupun tenaga. b. Mencari “hari baik”. Jika sudah mendapat persetujuan, mereka akan mendatangi “orang pintar” seperti kokolot16, dukun atau kyai untuk meminta hari baik (tanggal pelaksanaan hajatan). Termasuk juga ke tukang nyarang hujan (menangkal hujan/pawang hujan). Tarif pawang hujan Rp. 200.000,- biasanya H-10. c. Mengumpulkan modal. Jika hari baik atau tanggal sudah diperoleh, maka bapak hajat akan mengumpulkan modal, baik dari dompet sendiri, keluarga, maupun meminta “panjer17” dari Bandar. Biasanya, Bandar akan melihat status ekonomi bapak hajat, jika dianggap mampu mengembalikan, maka ia bisa memberi modal hingga Rp. 5.000.000,-, jika dianggap kurang mampu/tidak meyakinkan, biasanya maksimal hanya diberi panjer Rp. 3.500.000,d. Membentuk panitia. Bapak hajat akan membentuk pemangku hajat/panitia hajat dengan cara mengumpulkan keluarga dan beberapa tetangga dekat untuk melakukan musyawarah dan pembagian tugas. Misalkan siapa yang menjadi juru tulis. Panitia hajat ini paling sedikit 15 orang. e. Menyewa perlengkapan. Bapak hajat dibantu panitia yang telah dipercaya akan mempersiapkan berbagai perlengkapan hajat, seperti sewa tenda, sewa panggung, sewa kursi, sewa sound system, sewa 16
Kokolot = orang yang dituakan, sesepuh Panjer = modal awal yang dipinjam bapak hajat dari orang tertentu (Bandar), biasanya orang kaya. Bandar itu kemudian akan meminjami sejumlah uang tertentu dengan jaminan beras hasil hajatannya tidak akan dijual kepada orang lain, melainkan hanya kepada Bandar yang meminjami modal tersebut. Harga jual beras hajat itu pun disepakati bersama ketika transaksi peminjaman panjer ini berlangsung.
17
hiburan, dan sewa berbagai kebutuha lain yang disesuaika dengan modal dan kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi, sekalipun tidak memiliki modal cukup, semua perlengkapan tersebut biasanya juga melayani pinjaman dengan sistem “dibayar setelah hajat”.
Tabel 10. Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Subang Utara No
Hiburan
Tarif Murah
Tarif Mahal
1
Wayang Kulit
Rp. 5.000.000,-
Rp. 7.000.000,-
2 3
Sandiwara Organ Tunggal
4
Karedok (Karaoke Dodok/Tanpa Panggung) Odog-Odong (Pengantin Singa)
5
6
Qosidahan
7
Film (Layar Tancap)
8 9
Tarling Jaipong
Jumlah Orang
Asal Grup Indramayu
Meskipun di daerah Sunda, namun wayang kulit disini tetap berbahasa Jawa. Mengingat warga Pantura banyak keturunan Pantura Jawa (Indramayu, Cirebon, Tegal, dll) Rp. 9.000.000,- Rp. 12.000.000,Indramayu Rp. 3.500.000,- Rp. 14.000.000,- Lokal = 5 Lokal dan orang Luar Luar Kota = Blanakan 30 orang Rp. 1.500.000,2 orang Lokal penyanyi
Rp. 5.500.000,-
Rp. 9.000.000,-
8 Singa – 20 Singa
Lokal
Setiap saudara atau tetangga yang anaknya ingin ikut membayar Rp. 300.000/gotongan kepada bapak hajat. Pertunjukan berlangsung selama 4 jam, dengan berkeliling di jalan raya, missal 500 m ke barat dan 500 meter ke timur, plus atraksi. 10 sak semen Lokal Para penyanyi dan penabuh rebana tidak dibayar dan semen tersebut akan disumbangkan/digunakan untuk pembangunan masjid dusun tegaltangkil Rp. 2.500.000,Sukamandi, Cilamaya Saat ini boleh dibilang sudah punah. Rp. 6.000.000,40-50 orang Indramayu Rp. 3.500.000,- Rp. 5.000.000,Lokal dan luar kota
f. Mengurus Perijinan. Jika berencana mengadakan hiburan besar seperti diatas, Bapak hajat akan mengajukan perijinan “rame-rame” kepada aparat dan instansi terkait sejak 2 minggu sebelum hari H. Proses ini biasanya dibantu dan dilakukan oleh Satgas Desa. Berikut ini adalah alur perijinan rame-rame yang biasa dilakukan di Kabupaten Subang : Bapak Hajat
Kepala Desa
Satgas Desa
Kepala Dusun Ketua RT
Kapolsek
Danramil
Gambar 18. Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab. Subang Biaya perijinan diatas menurut Peraturan Desa seharusnya adalah Rp. 500.000,-/hajatan. Pada kenyataannya, kebanyakan membayar kurang dari itu. Menurut penuturan Satgas18, rata-rata pembagian biaya Perijinan adalah sebagai berikut :
Satgas dan anak buah : 3 orang @Rp. 20.000,Ketua RT : Rp. 30.000,Kepala Dusun : Rp. 30.000,Kepala Desa : Rp. 30.000,Kapolsek : Rp. 85.000,Danramil : Rp. 80.000,-
g. Memilih hiburan. Jenis hiburan yang akan diundang akan sangat dipertimbangkan oleh Bapak Hajat. Sebab, hiburan ini tidak hanya berfungsi untuk memeriahkan acara saja, melainkan juga sebagai “magnet” untuk mengundang lebih banyak orang datang. Semakin 18
Hasil wawancara tanggal 25/04/2012
banyak orang datang, harapannya semakin besar pula hasil telitian yang diperoleh. Selain itu, mewah tidaknya hiburan juga aka dibaca masyarakat sebagai perlambang status sosial ekonomi seseorang di tengah masyarakat. Jika sudah dipaggil “pak haji” maka semacam ada tuntutan bahwa kepantasan seorang haji (orang kaya) adalah menyelenggarakan hiburan yang mewah dan meriah. Jika sebaliknya yang terjadi maka akan dianggap turun status sosialnya oleh masyarakat sekitar.
Gambar 19. Hiburan Sisingaan untuk hajat khitanan (kiri) dan Jaipong untuk Perkawinan (kanan)
h. Mencetak undangan. Biasanya, undangan telitian untuk satu kampung hanya menggunakan sabun colek, permen atau vetcin. Namun demikian, banyak juga bapak hajat yang mencetak undangan resmi untuk kenalan-kenalan mereka di luar kampung atau untuk orang-orang yang dianggap penting. Order pencetakan biasanya ditangani oleh tetangga atau kenalan bapak hajat yang sudah dikenal sebagai tukang cetak undangan.
Gambar 20. Contoh undangan narik Gantangan
i. Membagi undangan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh wakil bapak hajat dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah sambil membagikan undangan sejak H-7. Bentuk-bentuk undangan ini mengalami perubahan dengan mengikuti perkembangan ekonomi (harga-harga barang). Dahulu, pada tahun 1970-1987an, undangan telitian awalnya adalah Rokok (misal, Gudang Garam Filter Rp.500//batang artinya penerima undangan harus membayar telitian minimal Rp. 5.000, Djinggo Rp. 250/atang artinya penerima undangan harus membayar telitian minimal Rp. 2.500. Pada tahun-tahun 1990an sampai krisis moneter, harga rokok terus naik. Akhirnya, undangan menggunakan rokok hilang setelah krisis moneter (1998) akibat dari kenaikan harga rokok. Sejak saat itu undangan berganti menjadi vetcin
(penyedap rasa), permen atau sabun colek. Misalnya, vetcin 1 sashet = ½ gantang beras.
Gambar 21. Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk membagikan undangan Gantangan
j. Melekan semalam suntuk. H-1, biasanya akan ada acara melekan (bergadang semalam suntuk). Bersaman dengan acara melekan itu biasanya bapak hajat juga menyiapkan sesajen untuk mesin lampu penerangan/diesel, dengan harapan agar malam itu dan besok ketika hari H tidak ada masalah dengan lampu penerangan (tidak ada halangan).
Pelaksanaan Hajatan a. Menyiapkan sesajen. Sesajen tidak hanya dibuat sebelum hari H, tetapi juga ketika hari H. Sesajen untuk kelancaran seluruh acara tersebut diletakkan diatas Goah/Padaringan (tempat menyimpan beras). Isi sesajen antara lain : rujak kelapa, kopi hitam/pait, kopi manis, cauk, rokok upet/tambang, rokok srutu/cerutu, daun hanjuang, bubur merah/beureum, bubur putih/bodas, sisir, cermin, kembang 7 rupa, parupuyan, kemenyan, beras, uang koin, menyak kolonyet/putri duyung, boeh/kain kafan, nyiru/tampah, telur ayam mentah, minuman orson/limun, dan kendi.
Gambar 22. Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan)
b. Jamuan makan/Prasmanan. Ketika pelaksanaan hajatan, salah satu panitia hajatan yang paling sibuk adalah “Peperen piring”, yaitu panitia yang bertugas mengambil piring-piring yang telah selesai digunakan oleh tamu hidangan. Konsep jamuan makan yang diterapkan biasanya di pedesaan adalah prasmanan, sehingga para pengambil piring ini harus sigap agar tamu yang datang belakang tidak kehabisan piring untuk makan. Selain peperen piring, yang juga terlihat sibuk adalah tukang angkut/jemput karung beras. Mereka adalah panitia yang bertugas membawakan karung beras dari sepeda motor tamu undangan untuk ditimbang dan dicatat di meja telitian.
c. Mencatat Gantangan/Telitian. Mereka yang harus selalu siap sedia dalam hajatan di Subang adalah Juru tulis, yaitu panitia pencatat telitian. Juru tulis laki-laki bersiap-siap di meja penerima amplop dan juru tulis perempuan bersiap-siap di meja beras. Tugas mereka adalah membuka mencatat nama tamu penyimpan, jumlah simpanannya, dan asal desa/dusunnya ke dalam buku catatan telitian.
Gambar 23. Catatan Juru Tulis Gantangan
d. Menyiapkan pulangan. Memberikan berkat ke dalam karung beras yang baru saja dibawa oleh para penyimpan/tamu undangan.
Gambar 24. Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan kembali oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan
e. Mengelola parkir. Biasanya dilakukan oleh karang taruna. Selain parkir, bersama dengan satgas mereka mengatur pedagang kaki lima di sepanjang jalan masuk lokasi hajatan. f. Dokumentasi menggunakan audio visual (Video shooting) yang disewa dari usaha video shooting yang ada disekitar desa maupun dari kota. g. Sesajen untuk penerangan. Sesajen ini dimaksudkan agar tidak mengalami gangguan penerangan/listri sepanjang acara dilangsungkan. Biasanya berupa ayam hurip yang diikat ke diesel dan bekakak (ayam panggang). h. Beberes Hutang tahap I. Artinya, begitu hajatan selesai (sekitar jam 21.00 s.d. 24.00) maka tuan rumah akan segera membayar hutanghutang yang harus segera dilunasi, seperti membayar grup hiburan, membayar tukang masak, atau membayar bandar yang memberikan modal. Sehingga dengan cekatan bapak hajat dibantu juru tulis dan keluarga akan langsung menghitung hasil narik telitian malam itu juga. i. Menjaga keamanan. Seperti, mengatur hiburan agar berjalan tertib dan meredam keributan yang disebabkan oleh tamu yang mabuk minuman keras. Untuk masalah keamanan ini biasanya diserahkan kepada hansip atau satgas desa.
Pasca Hajatan a. Menghitung dan menjual beras hajat. Beras hajat bisanya dijual kepada bandar (tempat meminjam panjer sebelumnya) atau kepada yang mau membeli dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Biasanya bapak hajat tidak menjual semua tetapi menyisihkan 1-5 karung untuk cadangan telitian berikutnya.
Gambar 25. Beras Hasil Gantangan
b. Beberes Hutang tahap II. Artinya, hutang-hutang yang tidak terlalu mendesak juga akan segera dilunasi oleh bapak hajat dengan menggunakan uang dan hasil penjualan beras hajat. c. Memanfaatkan hasil/sesa. Setelah seluruh hutang dan modal pinjaman dilunasi, sisanya akan digunakan untuk keperluan bapak hajat, semisal modal usaha, membeli motor, gadai empang, dan sebagainya. 5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan Sudah menjadi suatu hukum sosial bahwasanya suatu tradisi atau adat-istiadat akan ditinggalkan jika ia tidak lagi memiliki fungsi bagi anggota masyarakatnya. Banyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya. Berbagai tradisi yang hilang tersebut selain disebabkan oleh datangnya pengetahuan yang baru (modern), juga karena ia telah kehilangan fungsi sosial dan ekonominya. Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-lahan semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di pedesaan Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga dasawarsa terakhir (1980an-2010-an) justru semakin menguat dan meluas ke berbagai wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini secara substansi masih eksis disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, ciri kolektivitas masyarakat
pedesaan di Subang ini belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong menolong dan “selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam komunitasnya menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar anggota masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan ini masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial lainnya, yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini masih disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya (resepsi), maka gantangan
ini
masih
mendapatkan
medan
atau
arena
untuk
mempraktekkannya. Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh pertanian padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan, produktivitas padi/beras menjadi faktor utama keberlanjutan tradisi ini. Sepanjang lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan tidak terjadi penurunan produksi yang drastis (kerawanan pangan), ditambah daya beli masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka pertukaran gantangan ini masih akan terus eksis. Keempat, untuk menjalankan pertukaran gantangan ini dibutuhkan satu modal yang semakin hari sebenarnya semakin
mahal,
yaitu
rasa
saling
percaya
(trust).
Dalam
perkembangannya pertukaran gantangan ini telah diwarnai oleh berbagai tindakan dan perilaku tidak jujur dari anggota maupun panitianya. Di beberapa desa, akibat dari ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah orang yang terlibat dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah tangga yang masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain, mereka menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain (lebih perhitungan). Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh calon penyimpan.
Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah satu wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan kata lain, raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata pencaharian atau sumber penghidupan bagi para seniman atau grup-grup kesenian di daerah. Bayangkan jika masyarakat pedesaan tidak lagi “meniscayakan” adanya hiburan kesenian ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin banyak kelompok-kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan lahan usahanya (gulung tikar).
Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010 Gambar 26. perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (20052009)
Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman, pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan (khitanan, perkawinan,
kelahiran, dll) ini sekarang juga menjadi pasar bagi para pedagang beras, daging, dan sembako lainnya. Mereka memanfaatkan momen pesta hajatan ini untuk meraih untung dengan cara menawarkan modal hajat (panjer), baik secara langsung maupun melalui para perantara. Selain modal yang kembali, para pedagang (atau lebih dikenal sebagai bandar hajatan) ini juga mengikat beras hasil hajatan (beas hajat) untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagang/bandar ini semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan hajatan, sekalipun tidak memiliki cukup modal. Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan dan pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara individual tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran gantangan ini antara lain :
a) Hayang kapuji (ingin dipuji) Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri tamu undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang besar pada akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat pada posisi sosial yang terhormat ditengah komunitas masyarakat desa. Kondisi seperti diatas akan mengundang decak kagum dan selanjutnya akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy, hajatan tiasa menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu kemudian akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut dan
semakin
dipercaya
oleh
masyarakatnya.
Di
sisi
lain,
menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan gengsi bagi keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset (misalnya hajatan orang/keluarga kaya) dari perkiraan bahwa yang terjadi hajatannya tiis (dingin, sepi) dan hasil gantangannya sedikit (rugi), maka harga diri
orang/keluarga tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut pengaruh dan posisi sosialnya juga ikut merosot.
b) Hayang Kasohor (ingin terkenal) Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu hajatan menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya status dan posisi sosial seseorang/keluarga, maka ada juga yang mencoba menaikkan status keluarganya dengan mengadakan pesta semeriah mungkin dengan modal besar (diluar kemampuan sebenarnya). Spekulasi semacam ini (mengadakan hiburan mewah, misalnya) dilakukan dengan harapan agar menarik perhatian warga masyarakat lainnya sehingga dapat menjadi buah bibir bahwa keluarga A itu mampu dan kaya/sukses. Namun, seringkali warga masyarakat juga mempertimbangkan aspek lainnya, seperti apakah orang itu punya posisi tertentu dalam pemerintahan/pejabat, apakah punya pengaruh/disegani, pendatang atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil keputusan untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatan/gantangan tersebut. Ada juga beberapa kasus dimana pesta yang sangat meriah, tetapi hasil gantangannya sangat kecil (rugi), sehingga lahir istilah “budak Bogor” (Biar Tekor yang penting Kesohor) sebagai sindiran.
c) Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial) Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif pribadi dan tanpa adanya paksaan dari orang lain (keluarga atau panitia). Namun ketika ditanya lebih lanjut, seringkali mereka mengungkapkan bahwa gantangan itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi maksud tanpa paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan” daripada inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa “tidak enak”
jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri tidak ikut. Perasaan ingin “sama dengan yang lain (orang dekat)” menjadi motivasi untuk bergabung. Sejauh peneliti mendalami, memang untuk terlibat atau tidak ini tidaklah mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa tokoh masyarakat (kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang) pun tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan warganya.
d) Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan) Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi vertikal (mengikuti pemimpin/orang besar) masih belum sepenuhnya hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta hajatan dengan hiburan dan gantangan ini menjadi ajang bagi bapak hajat maupun tamu undangan untuk sama-sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya. Misalnya, melalui saweran19 orang bisa menunjukkan “identitas sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan status orang tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok kesenian maupun dimata tamu undangan lainnya. Biasanya, tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat yang kebetulan datang menjadi tamu undangan, akan dengan sengaja dipanggil oleh MC dan diundang untuk menyawer. Tamu pejabat itu pun sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang untuk
disawerkan.
Seperti
sudah
menjadi
tuntutan.
Selain
pejabat/tokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat meriah di mata tamu undangan.
19
Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan dengan cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.
e) Loba babaturan (banyak teman) Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya bersifat terbuka, artinya orang luar desa pun boleh ikut “menyimpan”. Semakin banyak orang menyimpan kepada orang lain, maka semakin banyak pula hasil yang akan dia peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya, sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta hajatannya pun kemungkinan juga bisa semakin banyak. Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan, seseorang juga perlu memperbesar volume (jumlah uang dan beras) yang disimpannya kepada orang lain agar hasil gantangannya bisa besar.
f) Silih bantu (resiprositas) Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”. Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam gantangan ini juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat mereka juga membutuhkan bantuan dari warga masyarakat lainnya. Dengan adanya pertukaran gantangan ini, timbal balik itu menjadi semakin kontraktual, karena jelas besar pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan. Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang sama, namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-nya memang lebih kentara dalam pertukaran gantangan ini.
g) Raramean & Ngabring
Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring (berjalan bersama-sama, beriringan) sambil membawa/menjinjing beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat (pasampeur-sampeur). Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya, sehingga apabila disampeur tidak ikut/datang akan muncul rasa malu. Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpan/dibayarkan sudah tidak lagi 1-2 gantang (10-20 liter), melainkan sudah sampai 50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka akan menyewa mobil bak terbuka (pick up) untuk kemudian ramairamai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit (biaya transportasi) juga bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.
5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan a) Ngarep leuwihna (untung) Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan untuk mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan – (modal hajat + biaya hajat) = untung”. Kebanyakan warga tidak melihat bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari “hutang” atau “kewajiban yang tertunda” saja, sebab di lain waktu ia
harus mengembalikan “kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika ada selisih diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut “rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara efisiensi hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya (tidak perlu mewah) dan pulangan/anteran yang murah meriah (misalnya kerupuk atau pisang). Sebaliknya, mereka akan mempertahankan hiburan yang meriah karena dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar datang berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan beras yang lebih banyak.
b) Nyimpen (nabung) Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta dalam gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan” kepada masyarakat yang dapat ditarik sewaktu-waktu membutuhkan. Dengan adanya dua skema “nyimpen” dan mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang ia tetap bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya. Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya ini, biasanya informan akan mempertimbangan kredibilitas calon bapak hajat, apakah
ia
bisa
dipercaya
dan
dianggap
mampu
mengembalikan/membayarkan simpanannya kelak atau tidak?
c) Itung-itung Arisan Ada juga informan yang menganggap pertukaran gantangan ini sebagai layaknya arisan, dimana kita akan menerima dan mengembalikan sejumlah uang dari anggota masyarakat lainnya dalam satu periode tertentu. Dengan menganalogikan dengan arisan, maka pertukaran gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung, “plus-plas” bahasa lokalnya (impas).
d) Neangan modal (mencari pinjaman modal)
Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak. Misalnya ketika rumah tangga membutuhkan biaya untuk membangun rumah, merehab rumah, membangun kamar mandi atau untuk membuka usaha baru (menggadai sawah, membeli angkot, dll) mereka dapat mengadakan hajatan “narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan inilah yang kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut.
e) Ngagolangkeun simpenan (memutar simpanan) Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak perlu pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab, selain memiliki hutang yang harus dibayar, mereka juga terus menyimpan kepada anggota masyarakat lain setiap ada hajatan. Ada istilah “membayar hutang lama plus menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya A memiliki hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10 liter beras itu ditambah simpanan baru 10 liter (total yang dibawa ketika hajatan oleh nyonya A menjadi 20 liter). Demikian seterusnya, sehingga pertukaran gantangan ini dapat terus-menerus dilakukan.
f) Teu sampai potol (tekor) Salah satu gagasan/pemikiran dari warga masyarakat tetap melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah untuk “menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman” beras dan uang dalam gantangan ini memungkinkan bapak hajat untuk dapat menyelenggarakan hajatan tanpa kekurangan bahan maupun modal. Sekalipun tidak untung, setidaknya tidak rugi, demikian prinsip sebagian besar informan pelaku gantangan dalam penelitian ini.
g) Sumber penghasilan tambahan
Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya, merupakan aktivitas
ekonomi
yang
bagi
sebagian
orang
dianggap
menghasilkan/menguntungkan. Mulai dari petugas keamanan (satgas desa, hansip, polisi, TNI), aparat desa, kelompok kesenian (hiburan), persewaan tenda, tukang masak, pemuda karang taruna (tukang parkir dan tukang angkat beras), dan pedagang kaki lima turut menikmati keuntungan (setoran, upah, hasil berjualan) dari diadakannya pesta hajatan rame-rame. Sekalipun tidak besar rupiah yang dapat mereka peroleh, namun dengan frekuensi pesta hajatan yang semakin sering dan pertukaran gantangan yang semakin besar, mampu menjadi sumber penghasilan tambahan yang menguntungkan.
h) Pasar kaget (pasar bagi pedagang kaki lima) Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai oleh deretan pedagang kaki lima (penjual bakso, siomay, bakso tahu, mainan anak-anak, penjual minuman, pedagang kelontong, mie ayam, dan lain sebagainya) yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan masuk maupun keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan, atau semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan panjang pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang sudah dianggap sebagai bagian dari penyemarak hajatan dan penarik bagi anak-anak maupun tetangga sekitar untuk terus berkumpul di sekitar lokasi hajatan/hiburan. Sehingga kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga.
Gambar 27. Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan
5.3. Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang 5.3.1. Gantangan di Subang Utara a. Telitian Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di wilayah Subang Utara (Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan) ternyata menerapkan beberapa sistem pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar warga dusun/desa yang dilakukan sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah nama lain dari Gantangan. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti
“saling
bergantian”. Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda dengan masyarakat Subang pedalaman (tengah dan selatan) yang lebih lebih kental corak Sunda-nya.
Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa setiap rumah tangga masing-masing diperbolehkan menyimpan minimum ½ Gantang (5 liter beras) dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan (istri) dan uang minimum Rp. 15.000,- untuk laki-laki (suami) yang kemudian akan dicatat oleh Bapak Hajat20 melalui bantuan juru tulis telitian. Biasanya, sebelum
menyelenggarakan
pesta
hajatan,
Bapak
hajat
akan
membentuk panitia kecil yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat untuk membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia kecil ini ada yang ditugaskan untuk menjadi penerima tamu, tukang masak, pencuci piring, perlengkapan hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi dua, yaitu pencatat telitian perempuan (meja beras) dan pencatat telitian laki-laki (meja amplop/uang). Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa saja nama-nama penyimpan beras dan uang (serta sembako lainnya) di dalam buku catatan telitian yang sudah disediakan di masing-masing meja. Kedua meja tersebut adalah tempat yang pertama kali akan dituju oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang terlibat dalam sistem telitian ini.
Gambar 28. Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di Subang Utara (Kanan)
Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda dengan tradisi nyumbang atau kondangan di tempat lain adalah bahwa beras dan uang serta bahan kebutuhan pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai 20
Bapak hajat atau Shohibul hajat adalah orang/keluarga yang menyelenggarakan pesta hajatan (tuan rumah).
sumbangan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang oleh masyarakat Subang Utara. Hutang piutang tersebut nampak dalam istilah lokal yang digunakan ketika menyumbang telitian, yaitu istilah “nyimpen” dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan (kerabat, tetangga, dan kenalan) itu menitipkan beras atau uang kepada bapak hajat, sedangkan Mayar berarti kelak ketika tamu undangan tersebut menyelenggarakan hajat maka bapak hajat harus membayarnya kembali sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam buku catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan telitian (buku beas dan buku artos) tersebut adalah pedoman dan panduan baku dalam pertukaran telitian ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang rumah tangga. Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun ke tahun semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat tidak lagi berpatok kepada pernikahan atau khitanan untuk menarik simpanan telitian, melainkan
lebih
kepada
kebutuhan
yang
mendesak,
seperti
membangun rumah, merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian semakin sering digelar, sehingga muncul keluhan dari warga lainnya perihal “kerepotan” dan “beratnya” beban hajatan telitian ini. Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab disisi lain pendapatan mereka dari bertani atau yang lainnya tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, bagi golongan buruh tani justru semakin terancam eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai maraknya mekanisasi pertanian khususnya penggunaan mesin pemisah jerami dan gabah (Combine) yang menghilangkan gabah-gabah sisa panen yang biasanya dikeprik (dipungut) oleh keluarga buruh tani ini. Hasil ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang bisa mendapat sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik, maka keluarga itu bisa
mengumpulkan 40 kg per hari. Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk cadangan telitian sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin oleh para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang pada akhirnya membuat malas dan berat ketika harus membayar hutang telitian di masa lalu. Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian Sudut Pandang Buruh Tani Sudut Pandang Pemilik Sawah Ketimpangan pemilikan lahan Banyak kebiasaan gadai dan sawah. Sebagian kecil warga berhutang membuat warga dengan memiliki sebagian besar besar lahan mudah menjual/menggadai sawah dan sebagian besar warga sawahnya. Hal ini menguntungkan menjadi buruh taninya. bagi mereka yang memiliki modal untuk lembat laun memiliki dan menguasai sawah di desa tersebut. Selama ini, ketika sudah tidak Banyak buruh tani yang tidak jujur punya lahan, mengandalkan hidup sehingga menyebabkan hasil panen dari menjadi buruh tani dengan tidak optimal. Timbul pemikiran mengerjakan berbagai kegiatan untuk menggunakan mesin agar pertanian seperti mengolah lahan, lebih efisien dan hasilnya 21 nandur, nyabit, nggebot , dan panennya lebih banyak. Biaya ngeprik22. sewa mesin Combine dan tenaganya untuk setiap 500 bata (1 are) adalah Rp. 500.000,Begitu mekanisasi diterapkan, Ketika mesin pemisah gabah dan otomatis pemilik sawah tidak jerami digunakan, hasil produksi membutuhkan banyak tenaga kerja meningkat pesat dan waktu sehingga buruh tani (terutama pemanenan cukup 1 hari. Padahal perempuan) kehilangan sisa-sisa sebelumnya dengan menggunakan panen yang biasanya diandalkan buruh membutuhkan waktu 2 hari untuk cadangan telitian dan pangan dan hasil produksi tidak maksimal keluarga. Pemilik sawah dianggap (banyak sisa yang jatuh/tidak 21
Nggebot / ngegebuk : teknik panen manual, menggunakan salome/alat tradisional untuk menggebot. Dalam sistem ini, bagi hasil antara buruh tani dan pemilik adalah 1:5. Upah buruh gebot Rp. 30.000/bedug (5 jam). Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan waktu 2 hari (nyabit dulu, ngengebot) untuk memanen, jika memakai mesin Combine hanya 1 hari saja sudah beres. 22 Ngeprik / ngajaplin : Memungut sisa-sisa hasil panen
tidak manusiawi dan egois.
terkumpul). Sumber : Hasil Wawancara Mendalam
Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani demonstrasi ke desa dan ke sawah untuk melakukan protes dan menolak kehadiran mesin comben tersebut. Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk turun tangan menghadapi warga. Konon, warga hampir melakukan perusakan dan pembakaran terhadap mesin Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah. Tahun-tahun ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam tradisi telitian, yang notabene merupakan pertukaran beras dan uang yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan menengah ke atas lainnya yang mengikuti golongan, justru semakin eksis dan mapan dengan sistem golongannya (telitian khusus) tersebut.
Gambar 29. frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat.
Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya sosial” dan “kewajiban
sosial” yang harus dibayarkan, seperti telitian dalam pesta hajatan yang justru semakin lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame” (dengan hiburan) di desa Jayamukti dapat dilihat dari buku catatan satgas desa (tahun 2005-2012) pada gambar 11 diatas. Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas, kita juga dapat melihat seberapa besar hasil telitian suatu rumah tangga dengan melihat buku catatan telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga memiliki buku catatan telitian tersebut, namun terkadang kita akan menemui buku catatan telitian yang sudah kusut, penuh coretan, dan beberapa bagian yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan oleh usia buku yang memang sudah lama (hajatan lebih dari 10 tahun yang lalu) dan disimpan di tempat yang lembab atau sembarangan. Walaupun demikian, buku catatan telitian ini akan tetap dijaga dan disimpan oleh pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutanghutangnya lunas.
Sumber : diolah dari buku catatan telitian/gantangan Gambar 30. Hasil Telitian
Selain beras dan uang, telitian di Subang utara ini umumnya juga menerima pertukaran timbal balik dalam berbagai bentuk barang atau
kebutuhan lainnya, seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak Goreng, Gula Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu (Kue Basah), Gula Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan dan juga kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang bapak hajat juga bisa menolak jika dianggap barang yang disimpan kurang diperlukan atau terlalu banyak. Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih. Sebab, menjadi bapak hajat sama yang dititipi simpanan tersebut sama artinya sebagai “orang yang dipercaya” oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima kepercayaan itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya kelak.
b. Golongan Sistem pertukaran sosial yang kedua adalah golongan, yaitu bentuk telitian yang lebih khusus dan eksklusif. Letak perbedaannya dengan model telitian pertama adalah pada cara pengelolaan, jumlah anggota dan jumlah simpanan yang lebih terstandarisasi. Golongan di Subang Utara ini dikelola oleh seorang ketua panitia golongan yang biasanya adalah inisiator dan pencetus sistem golongan ini. Dalam pembentukannya, ketua panitia golongan mengumpulkan orang-orang atau rumah tangga yang dinilai akan tertarik dan sanggup berkomitmen dalam golongan ini. Dalam musyawarah tersebut, ketua panitia golongan menawarkan aturan main yang akan dijalankan, misalnya berapa jumlah minimum untuk beras, uang, gula pasir, daging sapi, daging ayam dan barang-barang lainnya yang akan dipertukarkan dalam golongan? Mereka yang tertarik kemudian mendaftar menjadi anggota golongan dan menjalankan aturan main yang telah disepakati bersama-sama. Boleh dikatakan, secara administratif Golongan ini
memiliki kemiripan dengan arisan, hanya saja pola dan sistem pertukarannya menggunakan telitian. Dari hasil penelitian, Golongan di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan misalnya, diketuai oleh Haji Abdul yang dibantu oleh seorang petugas lapangan. Kelompok Golongan Haji Abdul didirikan 3 tahun lalu (2009) dan sampai saat ini memiliki jumlah anggota 45 orang. Ide mengadakan golongan ini diperoleh H. Abdul dari sistem serupa yang sukses diterapkan di Karawang, tempat keluarga istrinya berasal. H. Abdul dan keluarga sudah sejak tahun 1998 mengikuti sistem golongan ini di Desa Bayur, Karawang. Pada tahun 2000, H Abdul melaksanakan hajatan dan menganggap sistem golongan yang ada di Karawang ini bermanfaat dan menguntungkan bagi ekonomi rumah tangga. Di sisi lain, sebagai warga Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti, ia malah melihat berbagai bentuk kecurangan dalam telitian di kampungnya. Semisal banyak yang tidak jujur dan melebihkan jumlah timbangan simpanannya (8 liter mengaku 10 liter). Kecurangan semacam itu dapat terjadi pada saat-saat jam tamu undangan yang membludak, yaitu pada pukul 18.00 s.d. 19.30 WIB, dimana panitia dan tuan rumah sudah kewalahan mencatat dan tidak sempat menimbang satu persatu simpanan warga. Kegelisahannya yang lain adalah terkait waktu pelaksanaan hajatan yang tidak teratur, kadang sering kadang jarang. Pada waktu sering, banyak warga tidak mampu membayar hutang-hutangnya karena panen sedang buruk atau pendapatan sedang menurun. Dengan berbekal pengalaman di Karawang itulah, kemudian H. Abdul memberanikan diri untuk membentuk golongan di dusun tegaltangkil,
desa
Jayamukti,
yakni
agar
warga
yang
ingin
menyelenggarakan hajatan tidak “keduman blesake doang” (mendapat ruginya saja) dan “orang hajat biar nggak potol” (tidak bangkrut). Beberapa aturan main dalam kelompok Golongan ini antara lain : Jumlah simpanan minimum untuk :
Beras = 50 kg, Gula pasir = 5 kg, Daging sapi = 1-3 kg, Daging ayam potong = 3 kg. Uang = Rp. 50.000/orang Dengan mengelola golongan ini, panitia mendapatkan Rp. 300.000/hajatan. Melihat aturan main yang disepakati diatas, tentu saja mereka
yang dapat ikut serta dalam Golongan H. Abdul ini adalah rumah tangga menengah ke atas. Hampir tidak mungkin rumah tangga miskin dapat menjadi anggota (karena akan kurang dipercaya kemampuannya) atau melibatkan diri (karena merasa dirinya tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut). Kehadiran golongan sebagai bentuk telitian yang lebih eksklusif ini sekaligus menjadi penanda pelapisan sosial dalam hajatan. Mereka yang menjadi anggota Golongan H. Abdul, ketika hajatan akan menerima beras beras minimum 2,250 Ton dari hasil simpanan 45 anggotanya (belum ditambah uang dan sembako lainnya serta telitian biasa dari warga non-anggota golongan). Sementara beras atau uang yang diterima oleh warga biasa yang bukan anggota golongan akan sangat ditentukan oleh jumlah tamu undangan yang datang. Ketimpangan dan kesenjangan sosial itu pada akhirnya akan nampak jelas dengan membandingkan proses dan hasil pesta hajatan antara satu orang dengan orang lainnya di desa tersebut.
Gambar 31. Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara Menurut warga yang menjadi anggota golongan H. Abdul, sistem golongan ini dinilai sangat menguntungkan. Sebab, selain hasilnya lebih signifikan, lebih pasti dan lebih terjamin jumlahnya, golongan ini juga lebih menghemat biaya bapak hajat. Penghematannya terletak pada konsumsi yang harus dikeluarkan. Sebab, dalam sistem golongan ini, pihak yang mengumpulkan beras, uang, dan sembako lainnya adalah ketua golongan (H. Abdul). Baik dengan cara diambil atau diantar oleh anggota. Setelah semua tertagih dan terkumpul, lalu ketua panitia dengan dibantu beberapa orang mengantarkannya ke bapak hajat (anggota yang hajatan). Dengan demikian, bapak hajat hanya memberikan makan/jamuan kepada ketua golongan dan yang membantunya saja. Ia tidak harus menyiapkan makanan untuk 45 anggota seluruhnya, karena sebagian besar mereka sudah diwakili kehadirannya oleh ketua golongan. Sampai dengan wawancara dilakukan (April 2012), Golongan H. Abdul ini telah sebanyak 12 kali anggota yang melaksanakan hajatan dan menarik telitian dari seluruh anggota golongan lainnya. Sepanjang 12 kali hajatan tersebut, belum ada kasus kecurangan yang terjadi. Dengan kata lain setiap anggota berkomitmen dengan pembayaran yang harus dilakukan. Strategi yang dilakukan oleh H. Abdul dalam meringankan beban anggota adalah dengan melakukan pembatasan jumlah
hajatan
setiap
musimnya23,
yaitu
maksimal
2
kali
hajatan/musim. Dengan pengaturan semacam ini, maka anggota golongan dapat menyiapkan cadangan untuk tiap musimnya dan tidak
23
Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim panen padi di desa tersebut.
terbebani oleh frekuensi hajatan yang seringkali tidak pasti. Pembatasan jumlah hajatan inilah yang tidak diberlakukan dalam tradisi telitian yang pertama (umum), sehingga meskipun jumlahnya hanya sekitar 5 liter dan uang Rp. 15.000,- s.d. Rp. 20.000,-, tetap saja bagi kebanyakan masyarakat yang kurang mampu (mayoritas buruh tani), telitian bisa jadi memberatkan tatkala jumlah panggung24 dalam satu musimnya terlalu sering. 5.3.2. Gantangan di Subang Tengah a. Talitihan Gantangan di Subang Tengah (Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum) baru berkembang dan meluas sekitar tahun 1999. Tahun– tahun sebelumnya sudah ada sistem pencatatan tetapi tidak semuanya. Masih ada warga yang menyumbang murni (memberikan beras < 5 liter) dengan tanpa kewajiban untuk mengembalikannya dalam jumlah yang sama. Baru sejak krisis moneter melanda Indonesia, sumbangan murni tersebut mulai hilang dan digantikan dengan sistem pencatatan (minimal sumbangan/simpanan 5 liter) dengan kewajiban untuk mengembalikan dalam jumlah yang sama. Sistem pencatatan simpanan dan pembayaran gantangan tersebut diadopsi oleh warga Pasirmuncang dari desa-desa tetangga, seperti desa Belendung, Waladin, dan Pasirbungur (Kec. Purwadadi). Adopsi sistem pencatatan ini berlangsung melalui hubungan-hubungan sosial yang terbangun antara warga desa dengan penduduk atau keluarga di desa sekitarnya itu. Ketika warga desa Pasirmuncang mendapat undangan hajatan dari desa lain, mereka melihat dan berpikir bahwasanya hajatan seperti pernikahan dan khitanan ternyata bisa dijadikan lahan usaha, atau minimal tidak perlu rugi. Akhirnya, sistem
24
Masyarakat lokal menyebut hajatan dengan panggung, sebagai asosiasi terhadap hiburan yang diselenggarakan.
pencatatan dan hutang piutang gantangan ini pun mereka terapkan sampai sekarang. Desa Pasirmuncang ini, sebagaimana desa Jayamukti di Blanakan (Subang Utara), juga termasuk dalam kategori desa tertinggal atau miskin. Penyebab utama kemiskinan di desa ini disebabkan karena sebagain besar wilayah dan lahan yang mereka tempati merupakan lahan perkebunan tebu yang dikelola oleh PT. Pabrik Gula Rajawali II. Sebelum kehadiran pabrik gula dan hamparan tebu pada tahun 1982 (kontrak selama 20 tahun, saat ini kontrak sudah diperpanjang sampai dengan tahun 2022), wilayah tersebut merupakan perkebunan karet yang luas. Alhasil, mayoritas penduduk di desa Pasirmuncang ini berprofesi sebagai buruh tani di perkebunan tebu tersebut. Mereka tidak mampu berkembang karena memang potensi alamnya terbatas dan dibatasi oleh kehadiran perkebunan tebu tersebut. Meskipun demikian, kemiskinan tidak lantas menyurutkan minat mereka terhadap Gantangan. Bagi mereka, saling menyimpan dan membayar beras atau uang ketika warga memiliki hajat adalah cukup meringankan beban bagi tuan rumah. Besar simpanan gantangan di desa Pasirmuncang ini minimum adalah 5 liter beras (1/2 gantang) dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan, sedangkan laki-laki memberikan amplop (kondangan) minimum Rp. 15.000 s.d. Rp. 25.000,-. Meskipun hasilnya kecil – jika dibandingkan desa-desa lain yang berbasis tanaman padi – tetapi cukup lumayan untuk menutupi kebutuhan saat itu. Minimal mereka tidak rugi ketika melangsungkan hajatan.
A
r+m
B
r+m
r+m
C
Gambar 32. Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian Subang Utara
Selain sistem gantangan yang sudah umum, tiga hari sebelum hari H hajatan, biasanya saudara dan tetangga dekat (ibu-ibu) akan datang kepada bapak hajat untuk menyimpan berbagai bumbu dapur, sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya. Simpanan ini disebut dengan Talitihan. Berbagai bahan makanan dan bumbu dapur seperti garam, minuman dalam kemasan, gula, penyedap rasa, minyak goreng, opak dan lain sebagainya itu juga akan dicatat oleh bapak hajat di dalam buku gantangan (dengan halaman dan kolom tersendiri). Pada saat nanti si penyimpan melakukan hajatan, maka bapak hajat berkewajiban membayar kembali simpanan tersebut dalam bentuk yang sama. Demikian pula dengan mereka yang membantu memasak (nyangu) di dapur, hampir tidak ada lagi yang sukarela, semuanya mengharapkan diupah, baik dengan uang maupun beras.
b. Rombol Jika di Desa Jayamukti, Blanakan, terdapat golongan, maka di desa Pasirmuncang, Cikaum terdapat rombol. Mirip dengan golongan, rombol ini dikelola oleh seorang ketua rombol (panitia), dengan jumlah anggota dan sumbangan tertentu yang telah disepakati bersama (disatandarkan). Sebagai contoh, di Dusun Awilarangan, desa
Pasirmuncang, rombol ini dikelola dan diketuai oleh ibu Warsih. Menurut penuturan bu Warsih, kelompok rombol ini ia dirikan tahun 2005 bersama kelompok ibu-ibu yang sering bertemu dalam arisan, pengajian maupun kegiatan dusun lainnya. Awal berdiri, anggota rombol ini berjumlah 21 orang ibu-ibu dengan jumlah simpanan minimal beras 5 liter (1/2 gantang) dan uang Rp. 20.000,-. Simpanan ini sedikit lebih besar daripada simpanan gantangan (tahun tersebut rata-rata Rp. 10.000,-). Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya rombol ini adalah kebutuhan ekonomi yang semakin banyak. Jika hanya mengandalkan gantangan sebagai dana tambahan/cadangan keluarga, para ibu-ibu itu merasa tidak cukup. Diperlukan sistem yang sama tetapi lebih fleksibel dalam penarikannya. Misalnya, tidak perlu harus menunggu hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan ketika mereka butuh untuk membangun rumah, merehab rumah, atau membangun WC, mereka bisa menarik simpanan rombol tersebut. Meskipun, sebagian besar rombol ini pada akhirnya tetap ditarik ketika ada anggotanya yang hajat, untuk menghindari panitia bekerja dua kali (sekalian menyebar undangan hajatan, sekaligus menarik rombolan). Perbedaan sistem rombol dengan gantangan biasa adalah jejaringnya. Sistem rombol yang dijalankan bu Warsih ini contohnya, ia tidak hanya mengelola rombolan di satu dusunnya, melainkan juga menghubungkan kelompok di dusunnya itu dengan dusun lainnya, yaitu dusun Waladin (Kec. Purwadadi) yang berjarak sekitar 4 km dari dusunnya. Hubungan pertukaran dua kelompok rombol ini terjadi karena ketua rombolnya saling bersaudara (ketua rombol dusun Waladin/ibu manih kadira, adalah sepupu ketua rombol dusun Awilarangan/ibu warsih). Dengan demikian, anggota rombol di
masing-masing dusun saling menyimpan dan membayar dengan difasilitasi oleh ketua rombol masing-masing. Tidak saling kenal tapi saling bertukar Bapak Hajat
Panitia Rombol
Dusun/Desa X
Panitia Rombol
Bapak Hajat
Dusun/Desa Y
Gambar 33. Pola Rombol dalam Pertukaran Sosial Gantangan
Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya. Tugas dan kewenangan panitia rombol, antara lain : 1. Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun) 2. Menarik dan mencatat simpanan setiap anggota 3. Menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar 4. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang 5. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota lainnya. 6. Mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat, biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Menurut Bu Warsih, menjadi panitia rombol atau hajatan itu “sudah capek, dapetnya sedikit”. Tetapi ia anggap hal itu sebagai
kewajiban sosial yang harus dijalankan, karena ia telah terlanjur dipercaya oleh anggota lainnya. Di mata ketua Rombol seperti bu Warsih, ke depan ia berharap gantangan/undangan umum itu berhenti saja (rugi, banyak modal keluar, untung sedikit), sedangkan Rombol kalau bisa diperbanyak jumlah anggotanya biar hasil dan manfaat yang diperoleh juga lebih banyak. Nyatanya, dari anggota awal yang berjumlah 21 orang, kini (2012) anggota rombol sudah bertambah menjadi 39 orang di dusun Awilarangan dan sekitar 60 orang di dusun Waladin (sebagai jaringan pertukaran).
Sumber : diolah dari catatan rombol Gambar 34. Hasil Rombol
Warga yang menjadi anggota kelompok rombol, selain mendapatkan simpanan rombol juga mendapat simpanan dari gantangan biasa warga lainnya. Bedanya, hasil dari rombol ini meskipun terlihat kecil, tetapi relatif utuh dan tidak menghabiskan modal yang besar. Misalnya, bapak hajat hanya memberikan jamuan makan kepada panitia rombol yang datang menyerahkan hasil rombolan dari anggota di kelompoknya. Sementara itu, para penyimpan dari kelompok rombol lain tidak wajib untuk datang di hajatan, hanya cukup menyerahkan/menitipkan simpanan beras dan uangnya kepada ketua panitia rombol. Meskipun demikian, beberapa
tuan
rumah/bapak
hajat
seringkali
menitipkan
pula
nyambungan/pulangan (berkat/bingkisan) kepada ketua rombol untuk diberikan kepada anggota yang telah ikut menyimpan.
5.3.3. Gantangan di Subang Selatan a. Gintingan Salah satu pengaruh dari luar tonggoh yang saat ini eksis di tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan, yang tidak lain adalah sebutan untuk tradisi Gantangan. Gintingan ini diakui warga Cimenteng sebagai pengaruh dari luar sebab dulunya tidak pernah ada. Dahulu, gotong royong masyarakat dalam saling membantu satu-sama lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Misalnya jika ada salah satu warga yang sedang membangun rumah, maka warga desa lainnya akan berduyun-duyun dan bergantian membantu mendirikan rumah tersebut. Tradisi ini mereka sebut sebagai liliuran. Bahkan sampai hari ini beberapa dusun masih melakukan hal yang sama, meskipun tidak sebanyak dan seramai dahulu. Tetapi hari ini, dirasakan oleh masyarakat (diwakili partisipan wawancara kelompok terfokus) bahwa setiap orang semakin perhitungan dalam segala hal, termasuk dalam tradisi nyumbang (Gintingan) ini. Gintingan di desa Cimenteng (dan mungkin Subang Selatan pada umumnya) sudah serupa dengan Gantangan di Subang Utara dan Tengah, yaitu menggunakan sistem pencatatan terbuka dan menjadikan sumbangan
sebagai
hutang-piutang
(kewajiban).
Warga
desa
Cimenteng menyebut Gintingan sebagai pertukaran beras dan uang antar warga satu kampung dan luar kampung yang dibayarkan ketika dilangsungkan pesta hajatan. Di luar gintingan tersebut, mereka juga melakukan pertukaran beras dan uang serta iuran lain-lain antar warga satu kampung yang disebut sebagai persatuan atau satuan. Adanya bermacam-macam kegiatan kolektif semacam itu selain menunjukkan
kentalnya kehidupan komunal, juga menunjukkan bahwasanya setiap rumah tangga sangat menggantungkan kehidupannya kepada rumah tangga lainnya (interdependensi). Secara historis, menurut penuturan beberapa informan, sampai dengan tahun 1960-an, belum ada sistem pencatatan sumbangan hajatan itu. “masing-masing ge emut, dicatet di hate” (setiap orang ingat dan dicatat didalam hati). Barangkali karena jumlah penduduk yang masih belum sebanyak sekarang dan hubungan yang masih sangat dekat. Pada tahun 1964, mulai banyak orang yang lupa, “seeur nu hilap”, sehingga masing-masing rumah tangga mulai mencatat sumbangan yang diterimanya, agar ketika mengembalikan tidak lupa. Akan tetapi pencatatan ini dilakukan diam-diam, tidak secara kolektif, catatan pribadi. Akhirnya pada tahun 1985-an, mulai muncul penggunaan sabun colek dan rokok sebagai undangan hajatan. Konon ini pengaruh dari utara, “pengaruh ti kaler”, yaitu saudara-saudara atau kenalan mereka yang tinggal di desa-desa utara (Kec. Pagaden) mengundang mereka dengan cara seperti itu. Dinilai praktis, pada akhirnya cara tersebut mulai ditiru dan meluas penggunannya. Ingatan warga merujuk pada Ceu Rohimah, sebagai orang yang pertama kali mengajak dan mengenalkan hajatan gintingan secara utuh pada saat hajatannya di tahun 1995. Mulai dari situ, kemudian pola pesta hajatan dan tradisi nyumbang di Cimenteng ini serupa dengan desa di utara, yaitu ada juru tulis Gintingan, ada batas minimal gintingan, dan kewajiban-kewajiban dalam pengembalian gintingan. Hingga hari ini, minimal gintingan untuk beras adalah 5 liter (1/2 gantang) dan maksimal 50 kg (1/2 Kw). Pembatasan jumlah gintingan inilah yang unik dan membedakan daerah tonggoh dengan di utara. Nampaknya, mereka tahu benar terhadap kemampuan mereka, baik secara ekonomi atau ekologi, bahwa hasil panen padi mereka tidaklah sebagus dan sebanyak di dataran rendah (banyak hama). Sehingga
mereka merasa perlu membatasi gintingan agar tetap pada batas kemampuan mereka untuk membayar.
Sumber : diolah dari buku catatan Gantangan Gambar 35. Hasil Gintingan
Untung rugi dalam pesta hajatan, nampaknya juga bukan hal yang tabu menjadi bahan perbincangan masyarakat. Menurut warga, “hajatan teh kumaha perbuatan. Saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, saha nu kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (untung/ruginya hajatan itu tergantung pada perbuatan seseorang, barang siapa rajin datang dan menyimpan ke orang lain maka akan banyak menuai hasil gintingan, sebaliknya yang malas menyimpan yang mungkin tidak akan terbayar modalnya/rugi, tidak akan mendapat kelebihan uang). Perbedaan lain di daerah tonggoh ini adalah
frekuensi
hajatan
setiap
musim
yang
tidak
terlalu
memberatkan/sering. Rata-rata hanya 6-7 kali panggung dalam setiap musimnya (6 bulan). Biasanya hajatan ramai di bulan Raya Agung, di Musim kemarau, dan di Bulan haji.
A
r+m
B
r+m
r+m
C
r = beras, m = uang Gambar 36. Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)
Keterlibatan dalam pertukaran gintingan ini adalah sukarela, tidak ada paksaan. Banyak juga warga yang tidak mengikuti sistem ini, artinya dia hanya menyumbang seikhlasnya dan tidak dicatat dalam buku gintingan (tidak wajib dikembalikan). Toleransi terhadap mereka yang belum bisa membayar hutang (mengembalikan gintingan) juga masih cukup besar, yaitu ditunggu sampai mampu membayar. Bahkan mereka yang pindah domisili pun tidak menjadi masalah berarti, sepanjang di domisilinya yang baru masih terjangkau dan bersedia datang jika diundang. Contohnya adalah Bu Nane, seorang Bidan yang pernah bertugas di Cimenteng. Suatu ketika ia pindah dinas ke Indramayu, warga pun tetap mengantarkan undangannya ke ibu Nane, sebaliknya, Bidan tersebut juga tetap berkomitmen dengan membayar hutang/simpanan warga ketika ia hajatan dahulu.
Tabel 12. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan TIPE A TIPE B TIPE CIRI-CIRI (Nyambungan) (Gintingan) Norma resiprositas
TIPE C (Golongan)
Mengikat Memaksa Sanksi tegas Volume pertukaran pasti Waktu pengembalian terjadwal Jaringan Antar keluarga dan Tetangga dekat Satu desa Luar desa Ikatan antar aktor yang kuat Kepercayaan (trust) Ditagih Dicatat Sendiri Dicatat Juru Tulis (panitia hajat) Dicatat oleh Ketua kelompok
V
v v
v v v v v
V V
v v v
v v v v
v v v
v v v v
Karakteristik Komunitas Istilah Modal Sosial Sejarah Mulainya Gantangan Penyebaran Pola resiprositas dan pertukaran
Bandar Hajatan Waktu hajatan
Kesan terhadap gantangan
Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012) Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu, Masyarakat sekitar hutan, petani, tani, nelayan, jasa dan perdagangan buruh tebas, petani dan buruh pabrik peladang, dan peternak. Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan Terbuka, miskin = sumberdaya minim Terisolir, miskin = minim akses Telitian Talitihan atau Gantangan Gintingan Pengaruh/meniru dari Karawang dan Pengaruh/meniru dari Subang Utara Pengaruh/meniru dari Subang Tengah Indramayu dan Utara Melalui perkawinan, perpindahan penduduk Melalui perkawinan, perpindahan penduduk Melalui jaringan pertemanan, dan jaringan pertemanan dan jaringan pertemanan perpindahan penduduk dan perkawinan Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang. menghilang. menghilang. Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Pola B. Menyimpan beras minimum 5 Rp. 15.000, dan sembako lainnya, dicatat, Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp. wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, menurun karena ketidakjujuran dan frekuensi menurun karena frekuensi hajatan yang tidak wajib dikembalikan, masih eksis dengan hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun diatur (19 kali setahun) dan kesulitan ekonomi frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah setahun) hiburan yang tidak tercatat) kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter, Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah uang Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang kelompok mirip arisan sebanyak @50 kg, uang dikelola oleh Ketua Rombol, dicatat, wajib Rp. 50.000, daging sapi, daging ayam, dan dibayarkan, jumlah anggota 40 sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua orang/kelompok, waktu pengembalian/hajatan Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah tidak/belum dibatasi/diatur. anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan dibatasi 4 kali setahun Memiliki power sentral dalam pertukaran Memiliki pengaruh kuat dalam pertukaran Belum terlalu memiliki pengaruh/power Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan, naik haji, membangun/merehab rumah, dan naik haji, membangun/merehab rumah, dan kelahiran kebutuhan mendesak lainnya kebutuhan mendesak lainnya Perempuan : (1) Bayar (2) Makan (3) Beras Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras P: (1) Simpanan (2) Usaha (3) Hutang Laki-laki : (1) Bayar (2) Utang (3) Pusing Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar L : (1) Hutang (2) Simpanan (3) Pusing
5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial Dalam Sosiologi Ekonomi (ekonomi distribusi), hubungan timbal balik antar warga masyarakat seperti dalam tradisi nyumbang, gantangan, gotong royong dan lain sebagainya itu disebut sebagai resiprositas. Hubungan timbal balik atau resiprositas tersebut dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang memiliki posisi dan peran sosial relatif sama serta saling bergantian. Misalnya peran sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang diundang (tamu undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas, yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas sebanding (balanced reciprocity) (Damsar, 2009:105). Resiprositas umum artinya kewajiban memberi atau membantu orang atau kelompok lain dengan tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran atau balasan yang setara dan langsung. Sekalipun terdapat pamrih dalam melakukan pemberian, namun tidak ada batasan waktu dan jumlahnya serta tidak ada mekanisme untuk menagih pengembaliannya. Resiprositas umum ini biasanya didorong oleh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat bahwasanya menolong dan memberi kepada orang lain itu adalah suatu perbuatan yang dianjurkan dan bernilai sosial. Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah kewajiban memberi atau membayar apa yang orang dan kelompok lain berikan kepada kita, dan biasanya jumlah dan waktu pengembaliannya setara, terjadwal dan langsung. Resiprositas sebanding inilah potret yang terjadi dalam tradisi pesta hajatan dan gantangan di pedesaan Subang, dimana kewajiban timbal balik dilakukan dalam sebuah kesepakatan yang terbuka, setara dan tercatat secara jelas segala sesuatunya di dalam buku gantangan. Setiap orang dalam jaringan resiprositas sebanding ini telah mengkalkulasikan pengorbanan dan keuntungan yang akan mereka peroleh masing-masing (pertukaran sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding ini masih menekankan pada “kesetaraan” antara apa yang pernah diberikan dengan apa yang akan diterima (balasan). Namun, secara praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini bisa menjadi pintu masuk bagi komersialisasi sosial dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan ekonomi.
Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Resiprositas Produksi
Resiprositas
Konsumsi
Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Pertukaran Konsumsi Produksi
Distribusi Keuntungan
Sumber : Swedberg (2003) dalam Damsar (2009:112) 5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-Kontraktual Transformasi tradisi Nyumbang yang bersifat sukarela menjadi tradisi Gantangan yang bersifat kontraktual pada mulanya ditandai dengan adanya sistem pencatatan. Hadirnya pencatatan ini dimulai pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Berbagai informasi yang dikumpulkan oleh penulis di ketiga lokasi penelitian menunjukkan kemiripan satu sama lain terkait kapan dimulainya pencatatan Gantangan ini? Tetapi, masayarakat di Subang Utara memang lebih dulu memulai model pencatatan Gantangan yang mereka adopsi dari tradisi di wilayah Karawang (Barat) dan Indramayu (Timur) daripada masyarakat di Subang Selatan. Tujuan pencatatan jumlah sumbangan oleh bapak hajat, baik yang berupa uang dalam amplop, beras, maupun sumbangan-sumbangan lain ini pada mulanya adalah bertujuan untuk menghindari lupa (seeur nu hilap / banyak yang lupa). Beberapa informan yang sudah sepuh (tua) mengatakan bahwa dimulainya pencatatan tersebut disebabkan oleh makin banyaknya orang yang mampu untuk menyelenggarakan pesta hajatan, sehingga setiap orang atau rumah tangga juga semakin sering menerima undangan. Barangkali ini terkait pula dengan laju pertambahan penduduk di pedesaan dan mulai
membaiknya perekonomian mereka. Ditambah, sudah mulai banyak warga desa yang mulai mengenal baca tulis dan anak-anak mereka mulai mampu untuk melakukannya. Pencatatan sederhana pun mereka lakukan, agar ketika membalas undangan dari saudara atau tetangga, sumbangan mereka minimal sama atau tidak kurang dari yang pernah diberikan oleh si pengundang. Mereka akan sangat malu jika sumbangan yang mereka berikan ternyata lebih kecil dari yang pernah diterimanya. Pada perkembangan selanjutnya, pencatatan yang dilakukan untuk tujuan menghindari lupa (informal) itu kemudian menyebar dan berkembang menjadi salah satu instrumen dalam penyelenggaraan hajat. Meja khusus untuk pencatatan pun disediakan oleh bapak hajat di depan pintu masuk sebelum tamu undangan bersalaman dengan bapak hajat atau memasuki pelataran rumah. Saudara atau orang yang dipercaya kemudian diminta tolong untuk mencatat setiap tamu undangan yang datang beserta barang bawaannya. Dengan demikian, tidak ada satu pun tamu undangan yang terlewat untuk dicatat nama dan barang bawaannya atau jumlah sumbangannya. Namun, pada masa awal mengenal sistem pencatatan ini, belum muncul standar jumlah sumbangan. Setiap tamu undangan yang merupakan saudara, tetangga, kenalan di dalam kampung maupun diluar desanya itu memberikan jumlah sumbangan yang sangat bervariasi sesuai dengan kemampuannya. Ada yang hanya ½ gantang (5 liter) beras, 1 gantang, 10 gantang dan seterusnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada tuntutan dari tuan rumah terkait besar sumbangan tersebut. Namun, kehadiran meja juru tulis tersebut tentu saja membawa konsekuensi lain, yaitu orang menjadi tahu berapa jumlah sumbangan tamu undangan lainnya. Setiap orang yang datang pun mulai memperhitungkan jumlah sumbangannya dengan status sosial yang disandangnya. Tentu saja akan ada tamu yang malu jika ternyata orang yang lebih miskin darinya ternyata menyumbang lebih besar daripada yang Ia berikan. Apalagi juru tulis mencatat dan akan tersebar dengan cepat melalui mulut ke mulut tentang
“kedermawanan” atau “kekikiran” seseorang dilihat dari besar sumbangannya. Menyadari konsekuensi sosial semacam itu, hadirnya pencatatan di meja juru tulis kemudian melahirkan stratifikasi jumlah undangan yang mengerucut pada tiga besaran sumbangan, yaitu sumbangan orang kaya, kelas menengah dan sumbangan warga kelas tidak mampu. Penulis menyebut fenomena ini sebagai “standarisasi alamiah” yang terjadi ketika jumlah sumbangan menjadi “rahasia umum” (mirip dengan penentuan iuran dalam konteks yang lebih modern). Ketika semakin banyak hajatan di desa yang mengadopsi sistem pencatatan dan meja juru tulis di depan, maka semakin banyak rumah tangga yang memiliki dan menyimpan buku catatan gantangan itu, baik yang sudah melakukan hajat maupun yang belum menyelenggarakan pesat hajatan. Mereka yang belum menyelenggarakan hajatan mulai berpikir soal “menabung” melalui pesta hajatan ini. Hadirnya buku catatan yang dimiliki oleh bapak hajat melahirkan anggapan bahwa “setiap bapak hajat pasti akan mengembalikan sumbangan yang diberikan oleh para tamu undangan”. Anggapan tersebut kemudian terbukti dalam kenyataan, dimana ternyata setiap orang yang pernah menjadi bapak hajat sebagian besar “mengembalikan” atau “membalas” sumbangan sama besarnya dengan yang pernah diterimanya dahulu. Pola perilaku semacam ini kemudian ditangkap oleh mereka yang belum menjadi bapak hajat untuk juga mencatat semua sumbangan yang telah maupun akan mereka berikan kepada tetangganya. Disinilah mulai luntur unsur kesukarelaan dan diganti dengan pamrih baru, yaitu sumbangan gantangan sebagai “simpanan” atau “tabungan” yang nanti dapat ditarik ketika ia melakukan hajat.
Gambar 37. Buku Catatan Gantangan
Pada saat pencatatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, pengundang dan yang diundang, serta pergeseran persepsi dari sumbangan yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan” berlangsung, maka lahirlah aturan main baru yang dijalankan dan disepakati bersama terkait pertukaran gantangan
ini.
Berbagai
bentuk
sanksi
mulai
diawacanakan
untuk
memperingatkan mereka yang menganggap remeh buku catatan gantangan yang mereka pegang. Dengan kata lain, mereka yang sebelumnya tidak mencatat pun menjadi ikut dalam sistem pencatatan ini karena merasa tidak enak jika tidak mengembalikan apa yang pernah diberikan orang lain ketika hajatan dalam jumlah yang sama. Bahkan, bukan hanya jumlah yang sama, pada akhirnya mereka pun berbondong-bondong “melebihkan” jumlah sumbangan dari yang dulu pernah diberikannya. Kelebihan itu pun kemudain akan dicatat oleh bapak hajat menjadi simpanannya (nyimpen bari mayar). Demikianlah hubungan sosial dalam pesta hajatan berubah menjadi hubungan kontraktual (hutang-piutang) dalam pertukaran Gantangan.
5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang Transformasi sumbangan sukarela menjadi hutang-piutang dalam pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna dan penilaian terhadap komponen dalam pesta hajatan maupun pertukaran Gantangan ini. Pertamatama yang kemudian berubah adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian? Sebab, salah satu alasan utama suatu keluarga atau rumah tangga dapat
menyelenggarakan hajat yang “wajar” secara tradisi adalah anak. Ketika lakilaki dan perempuan di desa menikah, maka pesta pernikahan itu bukanlah “milik”-nya atau menjadi kewajibannya, melainkan menjadi pestanya orang tua. Orang tua yang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk keseluruhan biaya dan pengaturan-pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi simbol status sosial orang tuanya, misalnya apakah orang tuanya berhasil mendapatkan menantu yang dianggap baik, pesta yang dianggap meriah, dan kepantasan-kepantasan sosial lainnya. Baru kemudian ketika pengantin baru di desa itu menjalani kehidupan rumah tangganya sendiri, maka segala hal terkait dengan kewajiban sosial menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mula-mula ketika mereka istrinya hamil, kemudian melahirkan anak, lalu mengkhitan anak (jika anaknya laki-laki) saat memasuki usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut. segala pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa itu kemudian menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua. Semakin banyak anak yang dimiliki, maka akan semakin banyak “tuntutan” untuk menjalankan berbagai upacara sosial-keagamaan seperti diatas. Pada keluarga tertentu yang kurang mapan secara ekonomi, banyaknya kewajiban sosial seperti menyelenggarakan hajat ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun, bagi sebagian petani atau orang desa lainnya, banyaknya anak ini sangat disyukuri karena memberikan kesempatan untuk menunjukkan status, gengsi dan nama besar keluarganya. Pada kondisi terakhir, anak dapat dianggap sebagai komoditas untuk menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya. Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai berbeda? tentu saja. Di pedesaan Subang pada umumnya dan di lokasi penelitian pada khususnya, makna anak laki-laki dan perempuan berbeda dimata sebagian besar orang tua. Anak perempuan atau perawan, dianggap sebagai aset utama hajatan. Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan perkawinan, maka adat Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh pihak keluarga perempuan. Pesta hajat di keluarga perempuan adalah yang diutamakan,
sedangkan pesta di keluarga laki-laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini, ketika pertukaran gantangan telah mengakar, maka orang tua yang memiliki anak perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “narik” gantangan dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak laki-laki. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui gantangan menjadi lebih besar. Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak laki-laki justru harus “membayar”, baik berupa uang, mahar, maupun seserahan lainnya kepada pihak perempuan. Dalam kasus pra-pernikahan seperti tunangan, berkembang juga pola pembayaran yang nampak menguntungkan bagi pihak perempuan. Yaitu jika dalam tunangan pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat 10 gram, maka ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat (100 gr) yang harus dibayarkan. Dengan demikian, nilai anak perempuan dalam masyarakat di pedesaan Subang termasuk dianggap tinggi dan bernilai bagi orang tuanya. Dalam istilah sehari-hari masyarakat lokal, anak perempuan bahkan dianalogikan sebagai “barang dagangan” dalam konteks perkawinan. Nilai ekonomi seorang anak perempuan juga tidak hanya dalam lapangan hajat, dasawarsa terakhir anak perempuan makin bernilai secara ekonomi karena dianggap mudah untuk mendapatkan pekerjaan diluar usaha pertanian. Dua lapangan pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan menjadi buruh migran (TKW) ke Malaysia atau Arab Saudi. Dalam konteks ini, perempuan desa memang diandalkan sebagai katup penyelamat ekonomi rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin dan kurang mampu. Bukan hanya sebagai komoditas hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai komoditas ekonomi rumah tangga, sehingga lahir banyak kasus-kasus pemaksaan, perdagangan perempuan, prostitusi, perceraian yang bermuasal dari nilai ekonomi perempuan ini. Bagaimana dengan anak laki-laki? Dalam konteks hajatan dan pertukaran gantangan, memiliki anak laki-laki sebenarnya lebih cepat untuk “dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir dan memasuki usia balita hingga
remaja, maka orang tuanya dapat mengadakan hajat “khitanan” sebagai arena untuk “narik gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan pun biasa disebut sebagai “pengantin khitan” dan pesta hajatan yang diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas pesta khitanan ini adalah dengan mengundang grup sisingaan. Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga memiliki nilai yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras juga bukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. uang dan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol yang mengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan beras tidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagai sebuah “komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satu sama lain di pedesaan. Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras itu menunjukkan tingkat kepercayaan (trust) seseorang kepada orang lainnya. Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang pernah diterimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga lainnya. Melupakan salah satunya, berarti keluar dari sistem dan berarti pula merusak hubungan sosial satu sama lain. Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga bermakna secara psikologis sebagai jaminan rasa aman warga masyarakat di pedesaan, khususnya yang terlibat dalam pola pertukaran gantangan. Dengan terlibat dalam pertukaran gantangan, rumah tangga tersebut merasa aman ketika sewaktu-waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar. Sebab, ia yakin bahwa warga desa lainnya akan berkenan “meminjamkan” beras dan uang mereka melalui pertukaran gantangan ini. sebagian besar dari mereka tidak melihat pinjaman tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat ekonomi. Bagi orang kaya, banyaknya beras dan uang yang diberikan semakin memberikan penegasan atas kekuasaan dan pengaruh mereka ditengah masyarakat.
Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan dengan “uang perempuan”, karena dibawa oleh perempuan. Sedangkan uang diasosiasikan dengan “uang laki-laki” karena dibawa dalam amplop oleh laki-laki. Ketika anak, uang dan beras menyatu dalam sebuah pesta hajatan, maka dalam alam berpikir orang desa ketiganya menjadi sesuatu yang dianggap dapat menghasilkan secara ekonomi. Mengatur dan memainkan irama antara anak, beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam kehidupan rumah tangga orang desa. Mereka harus pandai-pandai berhitung, mulai dari sisi bagaimana memperlakukan anak? Bagaimana mengatur produktivitas di lahan pertanian? hingga bagaimana mendapatkan pekerjaan-pekerjaan alternatif lainnya untuk mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi berbagai kewajiban sosial sekaligus mendapatkan untung untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Terlihat sederhana, namun pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut sangatlah kompleks. Komodifikasi hajatan, sebagai bentuk komersialisasi sosial tahap awal ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang mungkin tidak terjadi di daerah lain, termasuk pada komunitas Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola pesta hajatan yang khas dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain : 1.
Orang dapat melaksanakan hajatan khitan tanpa harus mengkhitan anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya atau nanti setelah pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih mengedepankan perhitungan kebutuhan ekonomi untuk narik gantangan daripada perhitungan melaksanakan ritual tradisinya.
2.
Pihak keluarga laki-laki dalam sebuah pernikahan dapat melakukan hajat “narik gantangan” sebelum pesta hajatan pernikahan (resepsi) di pihak perempuan. Bahkan pesta itu dilakukan sebelum akad nikah terjadi. Mengapa demikian? karena pihak keluarga laki-laki membutuhkan sejumlah modal untuk dibayarkan kepada pihak perempuan, sehingga mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu.
3.
Orang atau keluarga tidak perlu menunggu memiliki kelebihan rejeki untuk mengadakan pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena ia dapat menyelenggarakan pesta hajatan dengan seluruh modalnya berasal dari pinjaman/hutang, baik dari bandar maupun saudara. Konsekuensinya adalah ia harus membayar seluruh pinjaman tersebut langsung setelah hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan menjadi sebuah aib (hal buruk).
5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan Akhir-akhir ini, kehadiran bandar menjadi suatu entitas yang sulit dilepaskan dari hajatan maupun pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Bandar atau pemodal hajatan ini mulai marak muncul sekitar dua dasawarsa terakhir. Kehadiran bandar semakin akrab setelah krisis ekonomi 1998, dimana dampak dari krisis ekonomi tersebut sangat terasa hingga ke pedesaan. Bandar hajatan ini merupakan tokoh protagonis sekaligus antagonis di dalam masyarakat pedesaan Subang. Dalam dunia pertanian – sebagai mata pencaharian pokok warga – kehadiran bandar sudah mendarah daging sejak lama. Kehadiran mereka juga kerap dianggap sebagai penolong sekaligus penghisap dalam tata niaga pertanian tersebut. Mengapa peran bandar demikian penting? Dalam sistem pertukaran sosial gantangan, bandar ini berperan sebagai alternatif pemberi modal. Ketika bapak hajat terdesak kebutuhan ekonomi maupun kewajiban sosial (seperti harus menikahkan anak) dan tidak memiliki uang untuk menyelenggarakan hajatan, maka ia bisa datang kepada bandar untuk meminjam uang sebagai modal awal hajatannya (panjer). Tetapi tidak selalu bapak hajat yang datang ke bandar, saat ini justru seringkali bandar – melalui kaki-tangan atau orang-orang kepercayaannya – yang door to door menawarkan jasanya kepada para calon bapak hajat. Sebelum “kontrak”nya dengan bandar dijalankan, terjadi negosiasi antara bapak hajat dengan bandar, terutama soal bagaimana mekanisme pengembalian pinjaman tersebut.
Biasanya, bandar akan meminta pengembalian pinjaman dengan disertai bunga yang disepakati ketika perjanjian awal. Selain tambahan bunga, bandar juga biasanya mendapatkan akses tunggal terhadap beras hasil hajatan tersebut. Artinya, beras yang diperoleh bapak hajat tidak boleh dijual kepada orang lain, akan tetapi hanya kepada bandar tersebut. Itu pun dengan harga jual yang lebih rendah dari harga beras di pasar. Rasionalisasinya adalah karena beras hajat tersebut merupakan beras campuran dari berbagai jenis, bahkan banyak mengandung raskin (beras miskin) atau beras dengan kualitas kurang bagus. Hal ini menjadi legitimasi bagi bandar untuk menurunkan harganya. Setelah dapat membeli beras hajatan, bandar pun akan menjual kembali pada para tengkulak yang masuk dalam jaringan bisnis mereka. Seiring dengan makin seringnya masyarakat menggunakan jasa bandar ini, maka lama-kelamaan bandar menempati posisi yang penting pula dalam jaringan pertukaran gantangan ini. Ada bandar-bandar yang memang orang lokal setempat, namun banyak pula bandar yang berada jauh di luar desa tersebut. Bandar-bandar yang berada jauh ini – terkadang di kota – biasanya menempatkan orang-orang kepercayaannya (perantara) di pelosok-pelosok desa. Sebagai contoh orang kaya pemilik pemotongan hewan besar, biasanya ia memiliki orang-orang khusus untuk menawarkan jasanya kepada calon bapak hajat. Jika berhasil mendapat kesepakatan, maka si perantara akan mendapatkan komisi dari si bandar daging. Demikian pula yang dilakukan oleh bandar beras maupun bandar-bandar lainnya. Bagi bandar lokal,. Semakin sering dan banyak warga yang meminjam kepadanya, maka ia akan menjadi orang yang semakin memiliki pengaruh di tengah masyarakatnya. Orang menjadi segan dan menghormati si bandar karena banyak orang yang berhutang kepadanya. Dalam benak warga, suatu saat bukan tidak mungkin dialah yang akan menjadi peminjam berikutnya kepada si bandar.
5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Gantangan Konsep komersialisasi sosial disini bermakna “menjadikan hubunganhubungan sosial itu seperti pasar (hubungan kontraktual), dimana terdapat mekanisme pembentukan harga dan berorientasi pada keuntungan”. Dalam konteks pesta hajatan dan modal sosial Gantangan di pedesaan Subang ini, komersialisasi sosial berarti sebuah penggambaran bahwasanya pesta hajatan di pedesaan Subang ini telah menjadi komoditas bagi rumah tangga untuk mencari untung, baik dalam bentuk materi (uang, beras, dan sembako lainnya) maupun non-materi (status, gengsi, kehormatan). Mekanisme komersialisasi itu adalah dengan pengesahan norma hutang-piutang dalam berhajatan secara terstuktur dan kolektif, sehingga memungkinkan rumah tangga yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan materi dan non-materi ketika ia melaksanakan pesta hajatan dengan sistem gantangan.
Komersialisasi Ekonomi
Nilai-nilai Individualisme
Komersialisasi Sosial
Perilaku mengejar untung
Gambar 38. Relasi mikro-makro dalam komersialisasi sosial Gantangan
Beberapa istilah dalam bahasa lokal yang menunjukkan bahwasanya pesta hajatan di pedesaan ini tidak lagi menjadi media berbagi dan bersifat sosial (syukuran) tetapi telah berubah menjadi media yang lebih bersifat ekonomi, antara lain : “orang hajat jangan sampai potol” (orang hajat jangan sampai rugi), “urang hajat mah neangan leuwihna” (kita mengadakan pesat
hajatan ya untuk mencari lebihnya = total sumbangan dikurangi modal), “di wilayah urang mah can aya hajatan nu rugi” (di desa kami sampai sekarang belum ada orang hajatan sampai rugi), “itung-itung dapet pinjeman” (hajatan itu anggap saja seperti kita dapat pinjaman dari tetangga), “hajatan mah kumaha perbuatan, saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (berhajatan itu sesuai dengan perbuatan, kalau dulunya rajin menyimpan ya akan mendapatkan hasil banyak, kalau malas menyimpan ya bisa tidak terbayar modalnya, tidak akan mendapat uang banyak), dan lain sebagainya.
Liberalisasi Revolusi hijau Swasembada beras ekonomi
Belum muncul muncul sistem istilah/sistem pencatatan oleh masing-masing gantangan bapak hajat Gotong royong dan tolong undangan hajatan menolong berupa rokok murni
1970 Pemberian
Resiprositas umum
Sistem pancatatan mulai dilakukan oleh juru tulis hajatan (gantangan) Hajat = komoditas Anak = komoditas hajat
1980
1990
Resiprositas sebanding
Krisis moneter Sistem gantangan makin meluas Undangan diturunkan menjadi vetcin & sabun colek Bandar hajat bermunculan
Muncul kelompokkelompok yang menerapkan sistem gantangan (rombol, golongan, rombongan) Bandar hajat makin eksis
2000 Komersialisasi tahap I
2010 Komersialisasi tahap II
Gambar 39. Proses Transformasi Pertukaran Sosial Gantangan
Bersamaan dengan semakin memudarnya gotong royong, ternyata tradisi nyumbang hajatan di pedesaan ini pun berubah haluan dari yang semula bersifat sukarela dan tanpa pamrih, menjadi bersifat kewajiban dan mengharapkan timbal-baliknya secara terbuka. Hampir semua perlengkapan dan sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menyelenggarakan pesta hajatan kini harus disewa atau dibayar oleh bapak hajat. Tidak peduli apakah ia tetangga dekat atau jauh, hubungan transaksional lebih dikedepankan daripada hubungan kedekatan. Orang tidak akan tergerak atau kapok (jera) membantu
tetangganya yang hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu sebagai timbal baliknya (upah), seperti uang, beras atau makanan. Bahkan dalam aspek kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan pun akan menjadi pertimbangan bagi bapak hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada tetangga atau kenalan tidak datang memenuhi undangan, maka ketika mereka hajatan, bisa jadi bapak hajat akan membalas untuk tidak datang. Catatan kehadiran dan jumlah sumbangan (dalam buku catatan gantangan) itulah kemudian pedoman bagi ada tidaknya tolong-menolong atau hubungan timbal balik antar warga di pedesaan Subang ini. Komersialisasi dalam bentuk komodifikasi hajat barangkali masih bersifat halus, bentuk komersialisasi sosial yang lebih kentara adalah masuknya Bandar hajatan, yakni orang-orang yang memiliki modal atau memiliki koneksi dengan pemodal yang menjadikan hajatan seseorang sebagai pasar untuk mencari untung. Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman (panjer) modal kepada calon bapak hajat, baik modal dalam bentuk uang, beras, daging, hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer itulah kemudian Bandar atau pemodal tersebut akan mengikat hasil hajatan, khususnya beras dan uang, untuk nanti dibeli olehnya (tidak dijual kepada orang lain). Sebagian hasil hajatan sebagai pembayaran hutang (panjer modal), sebagian besar lainnya adalah untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar (sesuai hasil kesepakatan sebelumnya/saat meminta panjer). Perilaku seperti inilah
yang disebut
Kunio
sebagai perilaku
“menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan hati monopolistik (monopolistic favours) (Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar hajatan, hadirnya kelompok-kelompok gantangan (Golongan, Rombol, Rombongan) yang diketuai oleh elit terkaya di desa ini telah melahirkan struktur jaringan pertukaran yang baru dan memberi peluang pertukaran yang semakin besar (volume dan jaringannya) bagi lapisan atas hingga pada akhirnya makin memperkuat pengaruh dan kekuasaan mereka (Ritzer, 2010:387)
5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan 5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan) Pak Sholeh (48) dan Istrinya, bu Ida (45) adalah salah satu profil keluarga keturunan pendatang dari Jawa yang menetap di Subang Utara. Dalam Jejaring pertukaran sosial Gantangan, posisi keluarga Sholeh ini berada di dalam namun tidak mengikatkan diri dalam jejaring tersebut. sebagai salah satu generasi awal yang berpendidikan hingga level sarjana (S1), pak sholeh memang memiliki cara pandang yang seringkali berbeda dengan kebanyakan masyarakat di sekitarnya. Misalnya dalam melihat tradisi Gantangan atau Telitian yang berkembang di desanya, ia melihat bahwa tradisi ini telah “melenceng” dari niat atau tujuan sebenarnya, yaitu tolong menolong atau gotong royong. Telitian yang bermakna “silih genteng” (saling bergantian) ini dimata pak Sholeh tidak lagi simpatik dan kehilangan nilai-nilai sosialnya. Oleh karena itu, sejak telitian pertama kali masuk ke Subang utara dan semakin meluas perkembangannya, keluarga Pak Sholeh memutuskan untuk tidak mengikuti pola pertukaran Telitian ini. Ia lebih memilih untuk tetap pada tradisi nyumbang/nyambungan biasa, dimana setiap datang ke kondangan Ia hanya memberikan amplop tanpa mencatatkan jumlahnya kepada juru tulis Gantangan. Sebaliknya, ketika pak Sholeh hajatan, Ia juga tidak mengharapkan semua orang memberikan sejumlah uang atau beras dalam jumlah tertentu. Seikhlasnya.
“Telitian di sini ramai dari tahun 90-an ke atas sampai dengan bubarnya panitia tahun 2000-an. Tradisi ini berasal dari karawang. Bahkan di karawang masih menggunakan sistem panitia sampai sekarang. Sebaliknya di desa Jayamukti semakin hari semakin menurun jumlah orang yang datang memenuhi undangan hajatan. Jika dipersentase, dari undangan untuk 1 desa (di undang semua) hanya 30% yang datang. Hal ini menunjukan rasa sosial antar warga semakin menurun. Dulu orang khan datang hajat karena ada perasaan dekat dan malu. Sekarang “ada unsur dendam”, jika pernah tidak datang dibalas juga tidak datang oleh yang pernah mengundang…”
Ketidakikutsertaan Pak Sholeh dalam sistem Telitian ini menjadi unik disebabkan oleh posisinya sebagai tokoh masyarakat (Sekretaris Desa). Jabatan sekretaris desa tersebut tidak lantas memaksanya untuk mengikuti seluruh norma dan kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakatnya. Pak Sholeh menegaskan posisinya bahwa meski dia tidak ikut serta dalam telitian, bukan berarti dia melarang telitian tersebut. Padahal, jika dia mampu memanfaatkan status sosialnya sebagai sekretaris desa, kemungkinan besar ia bisa mendapatkan keuntungan dari sistem telitian tersebut. Pak Sholeh lebih didorong oleh pertimbangan rasional dan mencoba belajar dari pengalaman. Ia sangat memahami seperti apa karakter masyarakat di desanya. Karena paham tersebut, akhirnya ia memilih untuk tidak mengikuti telitian.
“…Perhitungan mereka (masyarakat-pen) itu kalau ikut undangan hajatan ada 3 yang menonjol, (satu) “kalau gak akrab ya gak datang”, (dua) “undangan hanya ngasih dua puluh ribu, itung-itung ajang makan-makan sepuasnya” dan (tiga) “kalau bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung dipinjami…”
Sebagai seorang PNS, tokoh masyarakat, dan orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, Pak Sholeh dan Istri juga sangat memahami bagaimana perhitungan ekonomi dari Telitian di desanya. Ia sama sekali tidak menampik bahwa sistem Telitian ini jika diterapkan dengan benar akan membawa keuntungan bagi bapak hajat, atau setidaknya tidak akan mengalami kerugian. Sebaliknya, orang-orang seperti dirinya yang tidak menerapkan Telitian ini memang selalu “rugi” secara material. Tetapi “untung” dan “rugi” itu dilihat dengan cara berbeda oleh Pak Sholeh. Menurutnya, konsep “untung” dan “rugi” yang dipahami oleh kebanyakan anggota masyarakatnya itu adalah pemahaman yang sempit dan bersifat materi belaka. Mereka tidak terlalu memperhitungkan masalah tanggung jawab dalam mengembalikan, beban hutang, kepercayaan, pendapatan dan beban-beban seremonial lainnya.
Meskipun Ia tidak untung ketika hajatan (jumlah sumbangan warga selalu lebih kecil dari modal dan biaya hajat), namun ia terbebas dari berbagai kewajiban/hutang kepada tetangganya (orang lain). Hal inilah justru yang disebut keuntungan bagi pak Sholeh.
“..Iya, manfaat telitian ini ya mendapatkan untung misalnya, biaya dan modal hajatan 20 jt (pinjaman dari warung, toko, bandar dll) lalu dapat sumbangan talitian sampai 50 jt. Selisih itulah yang kemudian akan digunakan untuk menggadai sawah, empang, meningkatkan perekonomian keluarga dan cadangan pembayaran ke depan. Meski kelihatannya menguntungkan, sebagian besar warga Jaya Mukti khan tergolong miskin dan kurang berpendidikan….Pendidikan yang minim menyebabkan sering terjadi cek-cok akibat nama penyumbang yang tidak tercatat, banyak yang tidak bisa membaca, curang dalam pencatatan (misal 8 ltr di tulis 10 ltr), bahkan buku catatan telitiannya ilang, gimana coba?”
Pak Sholeh memang selalu menggarisbawahi soal nilai kejujuran di tengah masyarakat. Pengalaman menunjukkan sulit sekali mengharapkan seluruh orang bersikap jujur. Pak Sholeh hafal sekali beberapa kasus penyelewengan Telitian di desanya ini. Dirinya pula yang beberapa kali harus menjadi penengah dari pihak-pihak yang berselisih paham. Menurut penuturannya, menjelang tahun 2000-an, muncul kasus penipuan yang dilakukan oleh beberapa panitia telitian. Empat orang dari delapan panitia telitian di desanya telah bertindak tidak jujur, yaitu tidak mencatatkan seluruh sumbangan dari tamu undangan (korupsi). Akibatnya, ketika tamu tersebut mengadakan hajatan dan menarik kembali simpanannya, banyak tamu yang tidak datang karena merasa tidak ada nama si pengundang dalam buku catatan telitiannya. Ketika bapak hajat menagih kepada tamu tersebut, si tamu bersikukuh bahwa tidak ada nama bapak hajat itu dalam buku catatannya. Sementara bapak hajat yakin dia sudah menyetor simpanan kepada panitia. Kemudian perdebatan ini berujung cek-cok dan berakhir pada kecurigaan terhadap panitia. Sejak saat itu, panitia telitian dibubarkan dan tidak dipakai
lagi oleh masyarakat. Beberapa insiden semacam itu menjadi salah satu pertimbangan utama kenapa pak Sholeh dan istri memutuskan untuk tidak mengikuti Telitian. Selain masalah kepercayaan (trust), rendahnya tingkat ekonomi warga juga menyebabkan pak Sholeh ragu terhadap kemampuan dan keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan bahwa jumlah keluarga yang miskin di wilayahnya semakin meningkat. Banyak orang yang dulunya petani kini hanya menjadi buruh tani. Pengangguran juga semakin banyak, khususnya kaum perempuan dan anak muda. Jika kondisi ekonomi masyarakat tidak berubah atau beranjak naik, Ia pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi rumah tangga yang semakin berat masih harus ditambah dengan beban sosial (hutan dan kewajiban sosial) yang juga semakin berat.
“…Pada waktu panen seharusnya suami mendapat dukungan penuh (ngeprik atau memungut sisa-sisa panen) tapi sekarang nggak ada. Padahal, ini terkait dengan telitian, pendapatan berkurang tapi hutang jalan terus. Faktor pendukung dari kaum ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak berkurang, tapi telitian masih jalan. Tapi kalau begini terus, mungkin ke depan hanya tinggal dibawah 50% saja yang ikut telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…”
5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan) Menurut penuturan Pak Rusdi (50 tahun), salah seorang Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari telitian ini, yaitu ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah dari bilik bambu diatasnya. Keluarga pak Rusdi adalah contoh profil rumah tangga ekonomi lemah (bawah) di Desa Jayamukti, Subang Utara. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil (kepala dusun). Sehingga
dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan administrasi untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga hingga terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya.
“…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya dapet hasil telitian Rp. 9.000.000. Keuntungannya ini (sambil menginjakkan kaki ke lantai tanah rumahnya), Saya belikan tanah dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini hasil telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah bawah, dengan modal hajat Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 70.000.000,…”
Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing 20 kursi plastik yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun.
“…Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya ada 6-7 panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…”
Menurut Pak Rusdi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah terbiasa dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh pak RT untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan
perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam kemasan. Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan sejak terbentuk panitia pembangunan masjid. Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi “swadaya” lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau yang disebut dengan Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara meminta sumbangan dari warga yang kebetulan melintas di jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan biasanya digunakan untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan. Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut. Peralatan untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring ikan, tong bekas/batang pisang (untuk pembatas/pembagi jalan), tenda/ terpal, pengeras suara (untuk orasi), bendera merah (untuk tanda pelan-pelan). Terkadang panitia dan petugas kencrengan juga memiliki seragam, memakai topi dan masker untuk menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut pak Rusdi, bisanya mereka bisa mendapat Rp. 200.000/hari untuk jalan desa. Untuk jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih dari Rp. 400.000/hari. Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun Tegaltangkil itu, keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong oleh norma sosial dan kebutuhan ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak Wakil menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman warga desa di Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, pak Rusdi berniat untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai (40 tahun) yang sering bergaul dan mengikuti kumpulan dan arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai kumpulan tersebut informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik
untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika mereka membutuhkan uang sewaktu-waktu. Senada dengan keluarga Pak Rusdi, keluarga Pak Adul juga profil rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam pertukaran sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak Adul (52 tahun) dan bu Asmi (50 tahun) termasuk dalam kelompok menengah ke bawah, namun secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat oleh posisinya sebagai Satgas (kepala hansip) di desa Jayamukti. Posisi yang dijabatnya sejak enam tahun yang lalu (2006) ini memungkinkan pak Adul untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya di desa Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis karena fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga yang akan melakukan hajatan rame-rame. Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari pertukaran sosial Gantangan di desa Jayamukti. Bapak dua anak yang beristrikan seorang buruh tani ini adalah salah satu warga yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan, khususnya setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada waktu itu pak Adul belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan keluarga dekat dan kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang.
“…yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatan/kondangan ini sepertinya telitihan. Jika kita ada keperluan, boleh kita
menanyakan. Misalnya, mereka kondangan 1 gantang (10 liter), uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu mereka tidak membayar bisa ditanyakan…”
Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru, kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip “jangan sampai rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini semakin menguat. Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk melakukan berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan semakin banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang meriah, sehingga menarik orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan.
“…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan seterusnya. Tidak semua hajatan dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya “karedok” (karaokean bari dodok/karaoke sambil duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang, jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas, lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan ijin Kapolsek…”
Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa dari desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak memiliki sawah ataupun empang (tambak) untuk digarap, kehidupan ekonomi keluarga Adul memang lebih banyak bertumpu pada kelincahan pak Adul
dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya. Oleh karena itu, jaringan dan pelayanan pak Adul kepada warga desa lainnya juga akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat menerapkan toleransi dan fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran perijinan atau hajatan dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul.
“…Menurut APPKD, (hiburan dengan) organ tunggal itu biayanya 500 ribu. Tapi namanya kita manusia, nggak semua membayar segitu, kebanyakan kurang. Bahkan ada yang membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan kelurahan lain, daerah saya ini yang paling murah. Jadi, kalau kurang, kita nunggu yang lain lalu kita gabungkan. Daerah lain organ tunggal 700rb-1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita harus melayani masyarakat…Kadang-kadang ada hajatan bareng tiga atau empat, jadi agar tidak bolak-balik saya mengurusnya sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…”
Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini, sebagian warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa hiburan atau dengan hiburan bernuansa agamis dan lebih sederhana. Biasanya mereka yang memilih model hajatan ini, menurut Pak Adul, adalah keluarga yang menengah ke bawah atau keluarga santri (Haji) yang lebih suka hiburan bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat dipastikan sumber-sumber keributan seperti minuman keras, musik keras dan kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan.
“…lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan atau yang berbau agama seperti marawisan, ketimplingan, itu hanya
mengetahui/tidak perlu ijin, kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya. Yang punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga yang mahal…”
Pemahaman pak Adul tentang seluk beluk hiburan yang disukai oleh warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan ia hafal diluar kepala tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa hingga asal hiburan dan berapa jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut.
“…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta (paling mahal) 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling murah 11 juta, ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ tunggal, klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12 juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup itu ada 30 orang lebih, bagian peralatan, sound system dan sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau organ tunggal jumlah penyanyinya 4-5 orang, biayanya 3,5 juta. Karedok itu sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta, penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus arakarakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya hanya berisi 8 singa/gotongan. Kalau ada 10, 15, 25 bisa mencapai 9 juta. Terkadang begini, saya pesen untuk keluarga sendiri satu set, maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribu/gotongan. Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa. Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan sebagainya. Kalau qosidah itu ada rombongan khusus desa jayamukti (al badar), itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang memakai orang yang haji atau islam yang tekun. Nanti membayarnya dengan semen 10 sak/500 ribuan, nanti itu untuk membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena
disini tidak ada (40an orang). Dangdut atau orkes melayu disini nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.
Selain gambaran umum tentang peran dan posisi pak Adul dalam dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang menarik untuk kita dalami adalah sejauh mana keterlibatan pak Adul dan keluarganya dalam pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk selalu mendapatkan hasil Gantangan yang besar karena jumlah tamu undangan yang banyak, namun disisi lain ia juga terbatas dalam segi ekonomi. “Saya bulan 3 tahun kemarin hajat (rasulan), habis (modal) 17,8 juta, mendapat uang 34 juta, masih ada lebihannya. Jika ratarata 20.000, itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan, ada kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka seolah melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20 ribu aja sudah malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30%. Tapi ya itu, kalau mereka hajat kita harus mengembalikannya hahaha…nah itu beratnya…Hari ini saja saya telitian pada pak haji di Blanakan sana habis 100 ribu, berasnya 1 gantang, itungannya 60 ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum keponakan (yang hari itu juga sedang hajatan-pen)…”
Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Adul diatas, menunjukkan bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan termasuk golongan ekonomi atas, tetapi memiliki jejaring dan status sosial yang berpengaruh ditengah masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan simbol bahwa pak Adul dipercaya mampu mengembalikan simpanan
Gantangan itu. Banyaknya jumlah tamu undangan yang datang menandakan luasnya pergaulan pak Adul khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang berbanding lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada keluarga pak Adul. Sebab, ada juga hajatan yang dihadiri banyak tamu, namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua tamu berniat menyimpan atau menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil.
“…Kemaren setelah hajat saya bereskan hutang-hutang semuanya. Sekarang ini semua orang di dapur dibayar, tukang cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang masak 250 ribu/orang, cuci piring 100 ribu/orang, tukang pendaringan (tukang nunggu beras, kue, dsbnya) dibayar 200 ribu, ditotal-total bisa lebih dari 1 juta itu. Kalau kebayan (panitia-pen) tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan dekorasinya aja sampai 7 juta itu…”
Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang Gantangan tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang harus dibayar oleh bapak hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau tidak mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau upah. Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat desa Jayamukti. Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju pada standarisasi, bukan sekedar sukarela atau semampu dari bapak hajatnya. Intinya, semua harus dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa? Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya.
“Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya. Kalau hiburannya mahal ya modal lebih gedhe. Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan penarinya paling banyak 15 orang…”
Pengalaman pak Adul dan keluarga dalam menyelenggarakan hajat Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam setiap hajatan tidak sama (fluktuatif), yaitu tergantung pada jarak antara satu hajatan dengan hajatan lainnya dan jumlah simpanan Gantangan sebelum hajat. Hal ini ditunjukkan dengan 3 kali hajatan keluarga Pak Adul mengusung “judul” yang sama, yaitu khitanan (baik anak maupun cucu), menyewa hiburan yang sama, yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya (selisih antara modal dan hasil) berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak pernah sekalipun rugi. “… Hajat pertama (khitanan) saya dapet 9,4 juta dengan modal 5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua (khitanan cucu) habis 17,5 juta dapetnya 28 juta (tahun 1985, ini padi juga masih 80 ribu), karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama makin menurun….Saya enggak pernah mengalami rugi, bahkan, saya sendiri setiap hajat itu yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya, dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4 kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk makan semua…”
Kunci kesuksesan hajat menurut pak Adul adalah rajin tidaknya seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak Adul meyakini, semakin sering kita menyimpan atau menghadiri undangan hajat orang lain, maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak rugi. Solidaritas dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam kontrak tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika kita
semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan orang lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita. “Seperti saya (ketika) hajat ke 2, saya naruh ke 1400 orang, bayar-naruh, hasilnya khan jadi kena. Jadi, makin banyak kita naruh ke orang, hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu catatannya semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada yang datang. Ada tetangga saya hajatan, cuman dapat beras 3 karung, uang Cuma 8 juta…padahal (sewa) organ berapa? Itu katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia berlebihan, padahal enggak gaul”.
Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif dengan membentuk kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya terbatas (hanya bagi yang mampu) dan mengandalkan rasa saling percaya pada komitmen serta kemampuan para anggotanya. Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan tidak menentu seperti pak Adul pun memberanikan diri untuk terikat di dalamnya.
“Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya 10%, orangnya memang tidak datang, tapi berkatnya tetep dikasih dan diantar oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini namanya “golongan” itu”
Bagaimana Pak Adul menyiasatinya?
“Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya dapet laporan/perijinan itu jadi bisa saya gunakan untuk 2-3 orang
yang hajat. Saya mah blank tidak punya apa-apa, tapi ya gitu kadang (dapat) dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya pak…”
Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan di desa Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip arisan yang disebut Golongan juga mengundang masuknya para Bandar, yaitu mereka yang menawarkan
pinjaman
modal
hajatan
kepada
warga
yang
ingin
menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut “panjer”. Uang panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan antara Bandar dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan sejumlah uang panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat agar beras hasil hajatan nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi hanya kepada si Bandar tersebut. kemudian disepakati berapa harga beras hajat itu per kilogram atau per karungnya. Menurut penuturan dan pengalaman pak Adul, biasanya harga yang ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500/kg dari harga pasar pada umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena kualitas beras yang tidak rata (campuran).
“…Jadi terkadang gini, sebelum hajatan saya minta panjer karena butuh uang khan, 4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3 juta) atau menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini kita sudah ada perjanjian…”
Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran sangat penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai “penolong” oleh
sebagian masyarakat, khususnya mereka yang ingin menyelenggarakan hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal. Bandar juga dianggap solusi paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya.
Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung dihitung dapet nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka harus memberikan untuk nanti orang hajatan yang baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai harus jual sawah atau empang.
Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis atau kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar akan memiliki orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang dianggap sebagai “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta hajatan dari tradisi menjadi komoditas ekonomi ini benar-benar dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang kepercayaan inilah yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan “panjer” kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar langsung yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa orang kaya di desa Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar lokal ini biasanya lebih selektif dalam memberikan bantuan, sebab dia lebih tau seluk beluk atau riwayat hidup tetangganya, sehingga dapat mengukur dengan lebih teliti kemampuan calon bapak hajat ini dalam mengundang tamu atau mendapatkan keuntungan dari Gantangan.
“…Bandar ini bisa siapa saja. Anak saya juga kalau ada yang hajat dia suka jadi bandar. Kadang rebutan dengan yang lain, jadi nggak harus satu bandarnya. Orang pasar biasanya punya “tangan kanan”. Seperti anak saya, kalau ada yang hajat dia datangi “berasnya untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian, panjer sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang dia oper juga kepada temannya yang lain…ya, mencari keuntungan sedikit lah…”
Kasus keluarga pak Adul ini merupakan sebuah potret keterhubungan antara status sosial, jejaring sosial, kewajiban sosial dan pilihan-pilihan rasional beserta strategi ekonomi sebuah rumah tangga menengah ke bawah dalam sebuah jaring pertukaran sosial Gantangan. Bagi keluarga Adul, pertukaran sosial Gantangan merupakan kesempatan untuk mendapatkan sekedar kelebihan untuk menutup kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise sebagai tokoh masyarakat yang meskipun secara ekonomi terbatas namun secara pengaruh masih cukup mendapat tempat di tengah masyarakatnya.
5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan) Bu Warsih (44 tahun) tinggal di dusun Awilarangan, Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah). Ia merupakan pendatang dari Kadipaten, Majalengka dan masuk ke Subang sejak tahun 1983. perempuan lulusan SD ini adalah ketua rombol di Awilarangan sejak tahun 2005. Ia dan sepupunya (Ibu Manih Kadira) dari Dusun Waladin adalah inisiator sekaligus orang yang mengkoordinir para anggota kelompok rombol di dusunnya masing-masing dan melakukan pertukaran antara kedua dusun tersebut. Selain kelompok rombol bu Warsih, kemungkinan juga ada kelompok rombol lainnya. Menurut Bu Warsih, di dusun Awilarangan ini terdapat beberapa “sistem pertukaran” barang dan uang yang mirip dalam penerapannya, tetapi
berbeda dalam sifat keanggotaan dan besar atau volume pertukarannya. Beberapa sistem pertukaran sosial tersebut antara lain gantangan, rombol dan talitihan.
Pertama,
Gantangan
dalam terminologi dan pemahaman
masyarakat setempat dipahami sebagai pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar tetangga dan warga satu desa maupun luar desa ketika hajatan dan dilakukan pencatatan, baik oleh penyimpan (kaondang) maupun penerima (kahutangan). Gantangan ini mulai ramai sejak tahun 2000-an. Minimum simpanan gantangan adalah Rp. 10.000,- untuk uang dan 5 liter untuk beras. Jumlah warga yang terlibat dalam gantangan ini kurang lebih 300-an orang (satu dusun), karena memang spiritnya adalah gotong royong dan saling menolong. Gantangan ini biasanya dilakukan ketika hajatan pernikahan dan khitanan. Kedua, Talitihan, yaitu pertukaran beras dan uang serta barang-barang lainnya seperti bumbu dapur, minyak, minuman dalam kemasan, rokok, dan lain-lain sebelum hari hajatan (H-3). Biasanya dilakukan oleh para saudara dan tetangga dekat. Terhadap berbagai barang yang disimpan juga dilakukan pencatatan oleh penerima/bapak hajat (yaitu menjadi hutang bagi mereka). Jumlah atau besar talitihan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Ketiga, Rombol, yaitu pertukaran beras dan uang yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu dengan diketuai oleh seorang ketua panitia. Rombol ini “mirip” dengan arisan tetapi menggunakan sistem “gantangan”, sebab penarikan dan penyimpanan uang/beras dilakukan ketika hajatan. Namun, untuk rombol tidak terbatas pada hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan juga dapat dilakukan ketika kebutuhan mendesak, seperti pembangunan rumah, menggali sumur, dan lain sebagainya. Menurut penuturan Bu Warsih, kelompok rombol ini dimulai tahun 2005 dengan anggota awal 21 orang Ibu-Ibu. Saat ini, anggota rombol bertambah mencapai 50-an orang. Meskipun anggota dan hasilnya terlihat
“lebih kecil” dari gantangan, tetapi modal anggota rombol juga lebih sedikit, sebab ia tidak perlu memberi makan anggota lainnya, karena yang melakukan penarikan uang dan datang ke rumah cukup ketua panitia saja. Anggota rombol yang menyelenggarakan hajat cukup memberikan “uang sabun” seikhlasnya kepada ketua panitia. Sehingga hasil narik rombol tersebut relatif “utuh” dan menguntungkan. Minimum simpanan Rombol adalah Rp. 20.000 untuk uang dan 5 liter untuk beras. Dengan adanya ketiga sistem pertukaran tersebut, maka setiap warga boleh ikut menyimpan di ketiga sistem itu dan bahkan boleh untuk tidak ikut sama sekali dalam tiga sistem pertukaran sosial tersebut. tidak ada paksaan untuk masuk, tetapi jika sudah masuk semua dipaksa untuk mematuhi aturan mainnya (membayar tepat waktu). Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya. Tugas yang biasa dikerjakan oleh Bu Warsih ketika ada tetangganya yang hajatan antara lain : Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun), menarik dan mencatat simpanan setiap anggota, menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota lainnya. Sebagai kompensasi, Bu Warsih mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat. Besarnya bervariatif. Biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Bu Warsih memiliki penilaian sendiri terhadap Gantangan dan Rombol ini, yakni :
“…mendingan gantangan (undangan) itu berhenti saja. Rugi, banyak modal kaluar, untungna saeutik. Tapi lamun Rombol, bagusnya diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya juga lebih banyak…”
Tentu saja Bu Warsih memberikan penilaian yang lebih positif terhadap rombol, sebab ia adalah ketua sekaligus pelopor dari rombol ini. bersama saudaranya dari dusun lain ia membuka jejaring pertukaran. Ia berperan sebagai perwakilan anggota kelompoknya jika diperlukan hadir pada hajatan warga dusun Awilarangan. Secara tidak langsung ia juga berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan anggota kelompoknya. Terlebih di dusun dan desa tempat ia tinggal, ada beberapa kelompok rombol lain yang menerapkan pola yang sama. Jika saja ia tidak jujur atau bertanggungjawab terhadap kelompoknya, besar kemungkinan anggotanya akan keluar atau beralih kepada kelompok lainnya. Namun, dengan terus meningkatnya jumlah anggota kelompoknya, dari 21 menjadi 50 orang, menunjukkan Bu Warsih cukup dipercaya untuk mengelola rombol. Menariknya lagi, rombol ini murni dikelola oleh kelompok perempuan (ibu-ibu), dimana selain rombol ini mereka juga memiliki berbagai perkumpulan lainnya seperti pengajian (majlis taklim), arisan, dan posyandu balita. Pola pertukaran sosial Gantangan yang dikelola dalam kelompok mirip arisan yang lebih besar muncul dalam Golongan di Subang Utara. Salah seorang pelopornya adalah H. Abdul, yang membawa masuk pola Golongan (Gantangan khusus) ke dusunnya pada tahun 2009 lalu. Pada saat dimulai, anggota kelompok Golongan ini berjumlah 45 orang dan sampai saat ini (pertengahan 2012), sudah terdapat 13 Anggota yang narik golongan. Menurutnya, pola golongan ini sangat menguntungkan karena semuanya diatur sedemikian rupa tidak memberatkan anggota, terutama soal waktu hajat (frekuensi) tiap musim dan jumlah simpanannya.
“..Sampai sekarang ini yang keluar (hajat) sudah 12 orang. Anggotanya 45 orang. Iya ini kayak arisan. Cuma jangan sampai terbebani masyarakat ini, misalnya dikeluarkan 4-5 hajat pasti berat, makanya dibatasin satu musim 2 orang saja. Sementara ini masih bisa diatur. Masih sesuai dengan musyawarah pertama. Peraturannya disepakati, misalnya harus beras murni bukan beras dolog, lalu ada fee-nya buat panitia, agar bertanggung jawab. Saya juga nggak sendiri, dibantu satu orang…”
Lahirnya pola Golongan ini semula bertujuan untuk mengatasi berbagai kecurangan yang terjadi dalam telitian umumnya, misalnya terkait jumlah simpanan yang tidak sesuai dengan catatan, jenis beras yang dibawah standar, dan waktu pengembalian yang sering tertunda. Selain itu, H. Abdul sendiri sebagai pelopor juga sudah merasakan keuntungan dari menjadi anggota Golongan ini sebelumnya, yaitu di daerah Bayur, Karawang, tempat keluarga istrinya berada. “..Sistem golongan ini pertamanya tahun 1998-an saya ikut orang Bayur, Karawang, tahun 2000 saya hajat. Nah baru tiga tahunan ini kita mencoba mengadakan sendiri. Maksudnya jangan sampai orang “dikibuli”. Misalnya ngasih beras bagus, kembalinya beras raskin. Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak diterima sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu bisa terbantu. Soalnya pengembaliannya khan diatur. . Dengan menjadi ketua kelompok Golongan ini, kedudukan H.Abdul di tengah masyarakat di desanya memang semakin tinggi. Kesuksesan sistem golongan ini membuat banyak warga lainnya ingin menjadi anggota, bahkan jika semua diikutkan bisa mencapai 100 orang. Akan tetapi, dengan pertimbangan kesepakatan yang telah dibuat di awal, H. Abdul justru menyarankan agar orang lain saja yang membuat kelompok baru, tapi dengan pola yang sama dan dengan jumlah beras atau barang yang dipertukarkan lebih kecil, agar lebih banyak orang yang merasakan manfaatnya.
Orang lain mah sukses, bahkan ada yang mengadakan gula pasir, daging, dan lainnya sesuai kemampuan lah. Kalau dikatakan orang sini hajatan itu nggak potol-lah (rugi-pen). Ya ada kelebihan, hiburan jangan mewah-mewah, hanya asal merayakan saja. Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia dapat beras 2 ton 2 kw, udah berapa itu? Belum dari yang lain-lain.
Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan (Contoh Kasus RT dari 3 Desa) No
Nama
Pekerjaan
Status Ekonomi RT
Status Sosial RT
Keikutsertaan dalam Pertukaran Gantangan Ya Tidak (8) (9) X
Alasan Ikut/Tidak ikut Gantangan
(1) 1
Suami (2) Sholeh
Istri (3) Ida
Suami (4) PNS
Istri (5) (6) Pedagang Menengah
2
Rusdi
Ai
Kadus
IRT
Bawah
Berpengaruh, jaringan luas
X
Bentuk tolong menolong dan saling mendukung sesama warga masyarakat, hitung-hitung dipinjami modal hajatan
3
Adul
Asmi
Hansip
Buruh Tani
Bawah
X
Bentuk lain dari gotong royong, untuk menghindari kerugian, untuk bergaul dengan masyarakat lain (mengikuti tradisi)
4
Abdul
Lilis
Petani
IRT
Atas
Berpengaruh, jaringan luas, memiliki anak yang berperan sebagai Bandar hajat Bepengaruh, jaringan luas, ketua Golongan
X
Mendirikan Golongan untuk menghindari kecurangan dalam telitian (gantangan), meniru sistem dari Karawang yang dianggap menguntungkan
(7) Cukup Berpengaruh
(10) Memberatkan, gantangan dianggap tidak lagi murni gotong royong, tidak ingin memiliki beban hutang.
Sikap terhadap Gantangan
(11) Tidak ikut tetapi tidak melarang. Jika ekonomi masyarakat tidak beranjak tumbuh, maka hutang gantangan akan semakin memberatkan Sangat menerima karena dianggap membantu golongan miskin, khususnya untuk mendapatkan pinjaman/modal. Mendukung, masyarakat harus rajin bergaul dan menyimpan, sehingga hasil gantangannya menguntungkan.
Gantangan biasa (tanpa berkelompok) dianggap merugikan karena banyak kecurangan, lebih baik dengan sistem golongan yang dapat diatur frekuensi hajat dan jumlah simpanan
5
Nuridi
Wacih
Pedagang Pedagang Menegah atas
Kurang berpengaruh
X
Untuk investasi, hitunghitung tabungan untuk keperluan dimasa mendatang Untuk memenuhi kebutuhan mendesak, bertanggung jawab sebagai Pelopor Rombol (gantangan dengan sistem mirip arisan)
6
Darman
Warsih
Buruh Tani
Buruh Tani
Menengah bawah
Jaringan luas, ketua Rombol
X
7
Askim
Nur
Sekdes (belum PNS)
IRT
Menengah
Berpengaruh, calon Kades
X
8
Sarna
Mimih
Kadus
Kantin Pabrik
Menengah
Bepengaruh
X
9
Barjuk
Eti
Sekdes
IRT
Menengah
Berpengaruh
X
10
Jujun
Karyati
Pedagang Menengah
Kurang berpengaruh
X
Memberatkan, tidak mau terlibat hutang piutang, melenceng dari asas sukarela Menghitung kemampuan ekonomi diri sendiri yang tidak pasti (merasa tidak mampu) Mengikuti tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat
Untuk simpanan, ajang bergaul dan menolong sesama warga desa
anggotanya (lebih pasti) Mendukung, sepanjang saling jujur dan konsekuen Leih baik pola Gantangan atau kondangan yang tidak pasti kedatangan dan jumlah simpanannya itu dihilangkan saja, diganti sistem rombol (arisan) yang lebih terjadwal Kurang cocok untuk orang yang pekerjaan/pendapatannya tidak pasti Tidak menolak atau melarang, hanya saja kasihan pada warga yang tidak bisa bayar hutang Sepanjang tidak memberatkan bisa tetap dilanjutkan/dipelihara agar masyarakat tetap guyub dan bersatu Asalkan tidak terlalu sering, gantangan ini menguntungkan
Sumber : Diolah dari hasil wawancara mendalam, 2012
5.6. Permodelan Komputasional Pertukaran Sosial Gantangan Kita semua hidup dalam dua bidang sekaligus, ekonomi dan sosial. Kehidupan modern kapitalisme telah melahirkan kita ke dalam kondisi yang tidak memiliki batas yang jelas diantara kedua bidang itu. Bidang ekonomi sering dikaitkan dengan aset lingkungan, yang dianggap sebagai modal alami yang memiliki kedua kecenderungan yaitu terbatas dan rapuh. Sedangkan bidang sosial sering dikaitkan dengan setiap bentuk budaya dan kewajiban simbolis dalam bermasyarakat, yang disebut juga sebagai modal sosial dimana didalamnya ekonomi bekerja (ElMaraghy, 2011). Terjalinnya hubungan dari kedua bidang ini ternyata sering berhubungan dengan perilaku "irasionalitas" sebagaimana dibahas dalam beberapa karya populer dari kehidupan sosial manusia modern (Ariely, 2008) Ketika budaya tradisional Indonesia, seperti “nyumbang” dan “gantangan” ini mempraktekkan kecenderungan dan nilai-nilai yang sangat kuat untuk berbagi (O'Connor, 2006:285-92), terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, maka nilai ekspektasi ekonomi, sebagai konsekuensi dari hidup di era kapitalisme modern, kadang-kadang bertentangan satu sama lain (Situngkir, 2010). Nilai-nilai sosial untuk berbagi dalam masyarakat pedesaan Indonesia secara konvensional muncul dalam kehidupan sosial yang relatif homogen. Berbagi harta secara tradisional adalah hal yang umum, misalnya untuk mencapai kepemilikan barang ekonomi yang sama. Bahkan, ketika semua orang dalam desa itu berada dalam kemiskinan, sebuah fakta yang diperkenalkan oleh Geertz, C. (1963) sebagai "berbagi kemiskinan". Tradisi Gantangan itu sendiri merupakan praktek memberikan sebagian kekayaan dan harta untuk orang lain sebagai tindakan membantu orang lain. Biasanya datang dari mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Dalam prakteknya, gantangan ini dilakukan pada momen-momen tertentu, misalnya ketika ada perayaan atau pesta hajatan dalam pernikahan, khitanan, kelahiran, dan masih banyak lagi. Orang menyumbang dalam Gantangan memiliki harapan bahwa orang lain akan membalas melakukan hal yang sama ketika mereka akan menggelar hajatan yang sama. Meskipun awalnya harapan sosial-ekonomi
dalam tradisi gantangan ini cenderung kurang, namun interaksi dari praktek-praktek tradisional kedalam kehidupan modern akan meningkatkan ekspektasi ekonomi dalam praktek nyumbang ini (Situngkir, 2009). Gantangan ini memiliki sebutan berbeda di setiap desa di Kabupaten Subang, ada yang menyebutnya gintingan, narik, rombongan, golongan, rombol dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatur sebuah pesta, orang lain, baik itu kerabat atau tetangga datang dengan membawa sejumlah "setoran" beras atau uang. Jumlah beras atau uang dipandang sebagai "pinjaman" dan kemudian menjadi semacam "utang" dalam perspektif penyelenggara. Suatu hari, ketika orang yang menyetorkan beras atau uang itu menyelenggarakan pesta hajatan, maka yang lain akan kembali dan memberikan beras dan uang dalam jumlah yang sama seperti yang telah ia terima sebelumnya. Dengan demikian, gantangan menjadi semacam tabungan kredit bagi siapa saja anggota masyarakat. Itulah bidang ekonomi dari gantangan tersebut.
Tabel 15. Struktur Dasar Permodelan Pra Simulasi Komputasional Level Faktor
Level Struktur
Level Aktor
Perilaku Sosial Harmoni Sosial Upacara-upacara (upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya.
Perilaku Gotong Royong redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolong-menolong, silih genten sistem pertukaran sosial dan ekonomi: gantangan sebagai konsepsi “pasar”
Mentalitas (ingin terlihat baik) Konsepsi tolong-menolong Kelas-kelas/kategori aktor dalam proses gantangan. Proposisi mikro-sosial: • Orang atau keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi cenderung menyimpan beras maupun uang dalam jumlah lebih besar (volume), lebih sering (hajatan) dan lebih banyak (orang).
• Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki otoritas) bapak hajat, akan cenderung mengadakan pesta hajatan yang semakin meriah (rame-rame, dengan hiburan) karena tuntutan sosial maupun pribadi/keluarga. • Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki otoritas) bapak hajat, akan cenderung mendatangkan tamu undangan yang lebih banyak dan hasil gantangan yang lebih besar dari warga biasa. • Warga miskin dan tidak mampu semakin tersisih dalam pertukaran sosial (gantangan umum) karena semakin kurang dipercaya untuk diberikan pinjaman dan ia juga tidak mampu untuk mengikuti gantangan khusus yang jumlah pertukarannya cukup besar (>50 kg beras/hajatan).
Dinamika Frekuensi dan nilai ekonomis Pertumbuhan ekonomi desa Sistem ketenagakerjaan desa Pola kesenian desa Jumlah penyumbang dan besar sumbangan (agregat) Nyumbang/nyambungan Golongan (cluster) sosial: konsep rombol, bandar hajatan, dll. Prosesi hajatan: Persiapan Pelaksanaan Pasca Hajatan Konsep “hajatan” = keinginan/harapan Ekspektasi sosial (hayang kapuji, hayang kasohor, hayang ditarima lingkungan, hayang katingali, loba babaturan) Ekspektasi ekonomi: “menyimpan” (nyimpen &mayar) sejumlah resources (beras, uang, dsb.) – dicatat melalui Buku Catatan – silih bantu, ngarep untung (lewihna), nyimpen, itung-itung arisan, neangan modal, ngagolangkeun simpenan, teu sampai potol). Ekspektasi untuk kebutuhan domestik (membangun rumah, modal untuk usaha, dsb.) Ekspektasi hiburan (raramean & ngabring
Memodelkan ekspektasi sosial dan ekonomi yang melekat dalam gantangan, maka aktor (anggota masyarakat dari berbagai kelas sosial-ekonomi) memiliki beberapa pilihan sikap, antara lain :
1. Pola C =
= menyimpan beras dan uang lebih banyak daripada rata-rata orang
lain, dengan harapan untuk mendapatkan kembali kemudian (dengan demikian, aktor ini memanfaatkan proses gantangan sebagai semacam "investasi" atau menyimpan), 2. Pola B =
= menyimpan dalam jumlah rata-rata atau "standar" atau minimum
beras dan atau uang dalam sebuah pesta, untuk hanya menjaga hubungan sosialnya dengan masyarakat (lebih banyak dorongan sosial atau mengikuti kebanyakan orang lain) 3. Pola A =
= tidak cocok atau "abstain" dengan gantangan atau proses hajatan
lainnya. Pilihan ini mungkin mengandung risiko mengesampingkan satu aspek yang lebih luas dari hubungan sosial dalam keluarga, lingkungan, atau bahkan persahabatan.
Dari ketiga pilihan sikap tersebut, aktor bebas memilih apakah akan berpartisipasi atau tidak, dan partisipasi mereka akan menghasilkan hasil yang dapat ditulis dalam matriks hasil sebagai berikut :
Payoff Matrix (Situngkir & Prasetyo, 2012)
Aktor yang memainkan peran , akan menempatkan dirinya memiliki martabat sosial
yang lebih tinggi di dalam masyarakat setara dengan sejumlah beras dan
uang
yang ia berikan sebagai imbalan untuk Aktor atau pemain yang lain, di
mana,
. Sementara itu, Aktor yang bermain strategi
hanya memberi
sekedar untuk memenuhi atau menjaga hubungan sosial dalam masyarakat. Namun, ada juga beberapa Aktor bermain strategi , semacam strategi oportunistik untuk memperoleh keuntungan tanpa 'investasi' sama sekali. Variabel
ini berkaitan dengan aspek lain tanpa memperhatikan ekspektasi
ekonomi dari partisipasi dalam gantangan ini. Aktor dengan status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi cenderung memberikan lebih banyak beras atau uang. Mereka juga cenderung mengorganisir pesta hajatan menjadi lebih meriah dan mengundang lebih banyak tamu. Dengan kondisi semacam itu, maka tingkat kepercayaan anggota masyarakat atau aktor lain terhadap penyelenggara hajat ini menjadi lebih tinggi, karena mereka dipercaya memiliki kapasitas untuk memberikan balasan yang lebih. Orang-orang miskin pada akhirnya cenderung tereksklusi dari proses gantangan ini akibat dari ketidakmampuan mereka memberi beras dan uang sebagai imbalan. Berdasarkan matriks diatas, kita dapat melihat bahwa keseimbangan permainan akan tergantung pada nilai
dan
termasuk dalam permainan. Semakin besar
akan mendorong permainan ke dalam posisi yang lebih kuat dan akan didominasi Aktor yang bermain strategi , dan nilai
yang lebih besar membuat posisi yang
lebih kuat dari strategi . Permodelan ini mencoba menunjukkan matriks pay-off di atas sebagai , dan merumuskan dinamika replikator-mutator deterministik dengan menunjukkan frekuensi strategi ( ),
,
(1) dimana kesesuaian strategi (2) dan average fitness dari keseluruhan populasi (3) dan probabilitas strategi memiliki keturunan menggunakan strategi , ..
, dimana,
Gambar 40. Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan Aktor yang memilih untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan
Kita dapat menarik dinamika replikator-mutator dan mengetahui keadaan stasioner masing-masing untuk variasi sesuai dengan
dan
seperti pada
gambar 1. Dari tiga strategi diatas, kita bisa melihat ada empat keadaan stasioner yang dihasilkan dari berbagai strategi murni didominasi dari adalah bentuk asimetris dari
dan
, dan dua di antaranya mencerminkan
dan . Fakta menarik yang bisa kita amati disini dan
seperti yang ditunjukkan dalam proses
"gantangan". Sebagai ruang ekonomi (economic status/ES) memberikan harapan yang lebih besar, secara ketat dapat mendominasi populasi, namun, harapan lebih besar untuk keuntungan di ruang sosial (social status/SS) masih sedikit mengembalikan sejumlah kecil dari seluruh penduduk. Bahkan, ES dan SS asimetris dalam tren perkembangan proses "gantangan" yang nampak jelas secara empiris. Disini muncul jenis "komersialisasi" dari tradisi "gantangan" sebagai proses yang akan menyertai sampai hari ini. Tradisi "gantangan" hari ini telah menunjukkan cara bagaimana orang memanfaatkan budaya tradisional untuk mendapatkan sumber daya ekonomi. Selain itu, ada variasi "gantangan" di beberapa desa tertentu di mana keanggotaan dari proses gantangan ini bersifat eksklusif. Karena fenomena ini, proses "gantangan" tidak lagi menjadi milik seluruh anggota masyarakat/populasi, melainkan menjadi milik beberapa kelompok keluarga di dalam masyarakat. Dengan demikian, dari tiga desa miskin yang diamati, rekonsiliasi ruang ekonomi dan sosial terjadi dengan didominasi untuk kepentingan ekonomi, lebih dari sekadar aksentuasi motif sosial dan budaya dalam masyarakat. Tradisi "gantangan" telah berubah menjadi arisan yang anggotanya saling berkontribusi dan secara bergantian mendapatkan keuntungan (jumlah keseluruhan beras dan sejumlah uang) dari penyelenggaraan pesta hajatan di pedesaan ini.
Gambar 41. Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor gantangan dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial ini (The Lotka-Volterra-like phasemap of the interacting social and economic spheres in evolutionarily harmonious dynamics) (Situngkir & Prasetyo, 2012)
Sumberdaya (sejumlah
beras atau uang)
dapat
berkontribusi dalam
meningkatkan status sosial seseorang dalam proses "gantangan". Tradisi "nyumbang" dalam "gantangan" bisa dilihat sebagai cara mengorbankan sejumlah aset ekonomi ( ) demi status dalam ruang sosial (Weibull, 1997). Dalam dunia sederhana di mana
ruang ekonomi tidak memberikan kontribusi secara sosial, status atau martabat sosial yang ada ( ) menurun dalam proporsionalitas tertentu. Hal tersebut dapat ditulis secara matematis sebagai berikut : (4) Dalam kesederhanaan serupa, aset ekonomi ( ) juga berkurang pada proporsionalitas tertentu untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi : (5)
Kedua persamaan (4) & (5) mengingatkan kita pada persamaan terkenal LotkaVolterra, yaitu sebuah persamaan yang mengungkapkan interaksi antara predator dan mangsa dalam sistem ekologis. Tidak adanya kekayaan ekonomi,
, sulit untuk
Aktor sosial bertahan hidup dalam lingkup sosial mereka, dan sebagai imbalannya (tanpa mempedulikan status sosial), aset ekonomi diasumsikan untuk peningkatan linier. Ruang interaksi ekonomi dan sosial secara dinamis akan mematuhi satu sama lain, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertukaran sosial "gantangan" ini. Menarik untuk melihat kedua ruang ini, seperti yang terlihat jelas dalam "rekonsiliasi" antara ekspektasi ekonomi dan sosial. Solusi dari keduanya (4 dan 5) ditunjukkan pada gambar 2, dalam lanskap yang dibentuk oleh kecenderungan kolektif untuk ruang sosial dan ekonomi masing-masing.
Gambar 42. Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa memperhatikan kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan tradisi Gantangan (The large tendency for social sphere regardless the ability to cope with the economic estates may disrupt the tradition of “gantangan”) (Situngkir & Prasetyo, 2012)
Pada kasus ini, pertukaran "gantangan" yang cenderung bersifat sosial mungkin tidak cocok dalam proses evolusi masyarakat dan mungkin akan punah. Jadi, harus
ada semacam konvensi diantara penduduk di pedesaan ini untuk melestarikan pesta "hajatan" yang seharusnya tidak memperberat kehidupan ekonomi penduduk, termasuk dalam proses pertukaran "gantangan" ini. Pertukaran sosial Gantangan saat ini dapat dipandang sebagai cara organik masyarakat di pedesaan Subang untuk menginvestasikan sebagian kekayaan mereka dengan beberapa harapan untuk kembali (dapat ditarik) di masa depan. Fenomena ini mungkin semacam potret rekonsiliasi antara bidang ekonomi dan sosial yang terjalin dalam masyarakat tradisional di Indonesia. Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial dalam "gantangan" menunjukkan bagaimana kecenderungan ekonomi tersebut ("gantangan" sebagai suatu kegiatan investasi) dapat menyerang isi sosial dari motif tradisional untuk kepentingan kohesi sosial. Pandangan yang melihat "gantangan" sebagai jenis investasi adalah evolusi fit dan menyerang kohesi sosial. Ini adalah kesempatan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi di desa, sekaligus tetap menjaga pandangan lokal dan tradisional di bidang sosial. Sehingga, meskipun selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan satu sama lain, namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara empiris dalam fenomena pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola pertukaran semacam ini sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi lain (dengan beberapa konvensi tertentu yang tidak memberatkan) sebagai senjata bagi kehidupan tradisional dalam menghadapi kapitalisme modern.