Bab V Model Dengan Faktor Denda Bagi Para Perokok
V.1
Pembentukan Model
Model ketiga ini merupakan pengembangan dari model kedua yaitu dengan memasukkan faktor yang dapat menekan laju pertambahan jumlah perokok. Salah satu asumsi yang diharapkan dapat menekan laju pertambahan jumlah perokok adalah setiap perokok yang merokok di tempat umum akan diberikan sangsi atau denda sehingga dengan adanya sangsi atau denda tersebut diharapkan keinginan mereka untuk merokok dapat sedikit tertahan atau hilang sama sekali setelah diberikan denda. Diagram skematik untuk model ketiga ini dapat kita lihat dalam Gambar V.1 berikut.
Gambar V.1: Diagram skematik model kecanduan rokok dengan faktor denda bagi para perokok. Asumsi lain yang diberikan adalah denda tersebut memberikan efek yang baik (penalty effect). Efek baik tersebut berupa keengganan seseorang yang potensial untuk merokok khususnya jika mereka berada di tempat umum, sehingga
36 jumlah orang yang berpotensi menjadi perokok (perokok berat) dapat dikurangi. Dari diagram dalam Gambar V.1 diperoleh persamaan untuk model ketiga yaitu dP˜m dτ dS˜m dτ ˜m dR dτ dP˜f dτ dS˜f dτ ˜f dR dτ
S˜m = µNm − β˜m P˜m − µP˜m − g˜pP˜m , Nm S˜m ˜ m − µS˜m , (1 − p) − α ˜ m S˜m + γ˜m R = β˜m P˜m Nm
(5.1) (5.2)
˜m, = α ˜ m S˜m − γ˜m R˜m − µR
(5.3)
S˜m = µNf − β˜f P˜f − µP˜f − g˜pP˜f , Nm S˜m ˜ − µS˜f , (1 − p) − α ˜ f S˜f + γ˜f R = β˜f P˜f Nm
(5.4) (5.5)
˜f , = α ˜ f S˜f − γ˜f R˜f − µR
(5.6)
dengan p = kr dimana k adalah proporsi orang yang didenda dan r adalah efektifitas dari denda, sehingga 0 < p < 1. Parameter g˜ menyatakan efek baik (penalty effect) yang muncul akibat adanya denda bagi para perokok per satuan waktu, g˜ > 0. Diasumsikan pula bahwa rata-rata banyaknya perokok pria dan wanita yang dikenai denda karena merokok adalah sama (pm = pf = p). Misalkan Pm =
P˜m , Sm Nm
=
S˜m , Rm Nm
=
˜m R , Pf Nm
=
P˜f , Sf Nf
=
S˜f , Rf Nf
=
˜f R Nf
dan
t = µτ , maka akan diperoleh sistem persamaan yang tidak bergantung pada dimensi (dimensionless) sebagai berikut dPm dt dSm dt dRm dt dPf dt dSf dt dRf dt
= 1 − βm Pm Sm − Pm − gpPm ,
(5.7)
= βm Pm Sm (1 − p) − αm Sm + γm Rm − Sm ,
(5.8)
= αm Sm − γm Rm − Rm ,
(5.9)
= 1 − βf Pf Sm − Pf − gpPf ,
(5.10)
= βf Pf Sm (1 − p) − αf Sf + γf Rf − Sf ,
(5.11)
= αf Sf − γf Rf − Rf .
(5.12)
37 V.2
Analisis Kualitatif
Seperti pada model sebelumnya, dengan membuat persamaan (5.7)-(5.9) sama dengan nol diperoleh titik tetap sistem untuk model ketiga ini, yaitu µ ¶ 1 ∗ ∗ ∗ (Pm , Sm , Rm ) = , 0, 0, 0 , 1 + gp
(5.13)
∗∗ ∗∗ yang merupakan titik tetap tak endemik dan (Pm∗∗ , Sm , Rm ) dengan
Pm∗∗ = ∗∗ Sm =
∗∗ = Rm
α m + γm + 1 , βm γm (1 − p) + βm (1 − p)
(γm + 1)(1 − p) 1 + gp , − αm + γm + 1 βm
(5.14)
αm βm (1 − p)(γm + 1) − αm (αm + γm + 1)(1 + pg) , βm γm (αm + γm + 2) + βm (αm + 1)
yang merupakan titik tetap endemik sistem. Kestabilan kedua titik tetap tersebut dapat ditentukan melalui besar kecilnya nilai R0 sistem seperti yang telah kita lakukan pada model-model sebelumnya. Pada model ketiga ini, nilai R0 tidak ditentukan melalui nilai karakteristik matriks Jacobi sistem yang diperoleh melalui linearisasi sistem di sekitar titik tetap tersebut, tetapi kita akan mencoba menggunakan pendekatan lain yaitu dengan menggunakan pendekatan operator the next generation. Berikut penentuan nilai R0 dengan menggunakan operator the next generation. Tinjau persamaan (5.7)-(5.9) dan (5.13). Misalkan dPm = f (Pm , Sm , Rm ), dt dRm = g(Pm , Sm , Rm ), dt dSm = h(Pm , Sm , Rm ). dt
(5.15) (5.16) (5.17)
Jika g(Pm∗ , Sm , Rm ) = 0 maka diperoleh persamaan Rm = Dengan mensubtitusi Pm∗ =
1 1+gp
αm Sm . γm + 1
(5.18)
dan persamaan (5.18) ke persamaan (5.17)
kemudian menurunkannya terhadap Sm maka diperoleh nilai A dimana A :=
βm (1 − p) γm αm − αm + − 1. (1 + gp) (γm + 1)
(5.19)
38 Selanjutnya A dapat dibentuk sebagai A = M −D dengan memilih M = dan D = M − A =
βm p(γm +1)+(αm +γm +1)(1+gp) (γm +1)(1+gp)
βm (1+gp)
dengan M merupakan rata-rata
kontak yang terjadi pada subpopulasi potensial dan D merupakan periode terjadinya kontak, sehingga diperoleh nilai R0 = M D−1 =
βm (γm + 1) . pβm (γm + 1) + (αm + γm + 1)(1 + gp)
(5.20)
Nilai R0 tersebut akan menentukan stabil atau tidaknya kedua titik tetap ∗ ∗ ) akan stabil sistem. Jika R0 < 1 maka titik tetap tak endemik (Pm∗ , Sm , Rm ∗∗ ∗∗ asimtotik secara lokal dan jika R0 > 1 maka titik tetap endemik (Pm∗∗ , Sm , Rm )
akan stabil asimtotik secara lokal. Pada model ketiga ini, besar kecilnya nilai R0 bergantung pada beberapa parameter. Tinjau kembali nilai R0 yang telah diperoleh pada persamaan (5.20). Untuk nilai R0 = 1, yang merupakan titik bifurkasi sistem (turning point), diperoleh 1 + gp βm = 1−p
µ
αm 1+ γm + 1
¶ .
(5.21)
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa jika kita menganggap parameter lain tetap maka hubungan antara parameter βm dengan αm akan berbentuk linier. Semakin besar nilai αm maka nilai βm juga akan semakin besar. Ini dapat dilihat dalam Gambar V.2 berikut.
Gambar V.2: Grafik βm terhadap αm , dengan nilai R0 = 1. Nilai R0 akan kecil dari 1 jika dan hanya jika 0 < βm <
1+gp , 1−p
untuk setiap
αm , γm , g, p > 0. Sama halnya dengan parameter g, hubungan antara g dengan βm berbentuk linier. Ini dapat dilihat dalam Gambar V.3 berikut.
39
Gambar V.3: Grafik βm terhadap αm , dengan nilai R0 = 1. Semakin besar nilai g maka nilai βm juga akan semakin besar. Tetapi jika nilai 0 < βm <
αm +γm +1 , (1−p)(γm +1)
untuk setiap αm , γm , g, p > 0 maka nilai R0 akan selalu
kecil dari 1. Hal yang berbeda terjadi antara parameter γm dengan βm .
Gambar V.4: Grafik βm terhadap γm , dengan nilai R0 = 1. Dari Gambar V.4 dapat dilihat bahwa jika nilai γm besar maka βm akan konvergen ke
1+gp . 1−p
Tetapi jika nilai γm kecil maka βm akan konvergen ke
Jika 0 < βm <
1+gp 1−p
1+gp (1+αm ). 1−p
maka R0 < 1 untuk setiap αm , γm , g, p > 0. Ini sesuai
dengan analisis untuk Gambar V.2. Jika
1+gp 1−p
< βm <
1+gp (1 1−p
+ αm ), maka
terdapat suatu nilai γm tertentu, misalkan γmc , sedemikian sehingga mengakibatkan nilai R0 < 1. Tetapi jika nilai βm >
1+gp (1 + αm ) 1−p
maka R0 akan selalu
besar dari 1, untuk setiap nilai αm , γm , g, p > 0.
Selanjutnya kita akan tinjau hubungan antara parameter βm dengan p. Jika p = 0 maka analisis besar kecil nilai R0 akan sama dengan analisis pada model kedua. Tetapi jika p 6= 0, 0 < p < 1, maka dengan menganggap semua parameter lainnya tetap diperoleh grafik βm terhadap p seperti dalam Gambar V.5 berikut
40
Gambar V.5: Grafik βm terhadap p, dengan nilai R0 = 1. Dari Gambar V.5 dapat dilihat bahwa jika 0 < βm < 1 +
αm γm +1
maka R0 akan
selalu kecil dari 1, untuk setiap nilai αm , γm , g > 0, 0 < p < 1. Tetapi jika αm nilai βm > 1 + γm maka diperlukan nilai p yang cukup besar untuk membuat +1
nilai R0 kecil dari 1. Jadi semakin besar nilai βm maka nilai p juga harus semakin besar. Dari keseluruhan analisis di atas diperoleh beberapa syarat yang membatasi parameter βm agar nilai R0 < 1, ∀αm , γm , g, p > 0, yaitu • 0 < βm <
1+gp 1−p
• 0 < βm <
αm +γm 1 (1−p)(γm +1)
• 0 < βm < 1 +
(lihat Gambar V.2 dan V.4).
αm γm +1
(lihat Gambar V.3).
(lihat Gambar V.5).
Jika salah satu syarat di atas dipenuhi maka nilai R0 akan selalu kecil dari 1 sehingga untuk waktu yang stationer kondisi endemik tidak akan terjadi.
V.3
Analisis Kuantitatif
Misalkan rata-rata banyaknya pria dan wanita perokok yang di denda adalah sebesar 50% (p = 0.5) dengan penalty effect (˜ g ) sebesar 0.05 per tahun maka diperoleh nilai g = 0.9 (µ = 0.055). Dengan menggunakan parameter pada model sebelumnya diperoleh nilai R0 = 0.787 yang berarti endemik tidak akan terjadi untuk waktu yang stationer. Grafik solusi model ketiga dengan faktor denda dan penalty effect tersebut dapat dilihat dalam Gambar V.6 berikut.
41
R0 =0.787<1 0.6
PmHtL SmHtL RmHtL PfHtL SfHtL RfHtL
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 1
2
3
4
5
t
Gambar V.6: Grafik dengan nilai awal Pm = 0.26, Sm = 0.51, Rm = 0.23, Pf = 0.48, Sf = 0.41, Rf = 0.11 dan nilai parameter αm = 1.145, αf = 1.072, βm = 3.018, βf = 2.072, γm = 0.90, γf = 0.90, p = 0.5, g = 0.90, R0 = 0.787.
Dari Gambar V.6 dapat dilihat bahwa dengan diberlakukannya denda atau sangsi kepada para perokok maka laju perubahan jumlah perokok menurun dengan cepat tanpa harus menurunkan besarnya kontak. Penalty effect juga memberikan pengaruh dalam mengurangi jumlah orang yang berpotensi menjadi perokok. Pada subpopulasi pria potensial, laju perubahan solusinya naik menuju ke titik tetap tak endemik Pm∗ =
1 . 1+gp
Hal yang berbeda terjadi pada
subpopulasi wanita potensial. Pada saat awal, laju perubahannya menurun dan kemudian naik pada saat t tertentu menuju ke titik tetap tak endemik yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada subpopulasi wanita juga diberlakukan denda yang memberikan efek baik untuk mengurangi wanita yang berpotensi untuk menjadi perokok aktif.
V.4
Perbandingan Model
Pada bagian ini kita akan membandingkan ketiga model dan melihat perubahan apa saja yang terjadi dari model pertama ke model kedua dan ketiga. Pada model pertama diperoleh hasil bahwa jumlah perokok dapat kita kurangi dengan cara menurunkan besarnya βm yaitu rata-rata banyaknya kontak antara pria dan wanita potensial dengan pria perokok. Jika nilai βm cukup besar maka endemik dapat dihindari dengan cara menaikkan nilai αm yaitu rata-rata banyaknya perokok yang berhenti merokok. Selanjutnya model awal
42 tersebut kita kembangkan pada model kedua dengan menambahkan asumsi bahwa orang yang berhenti merokok suatu saat dapat kembali menjadi perokok tanpa melalui interaksi dengan pria perokok. Hasil yang diperoleh adalah jumlah perokok bertambah sehingga jumlah perokok pada model kedua ini jauh lebih besar jika dibandingkan pada model pertama. Hal ini tentu saja diakibatkan karena adanya penambahan jumlah perokok dari kelas recover. Salah satu kontrol yang dapat dilakukan adalah dengan cara menurunkan besarnya kontak (βm ) seperti pada model pertama. Parameter lain yang dapat dikontrol adalah γm yaitu rata-rata banyaknya perokok recover yang kembali menjadi perokok. Tetapi hal ini tidak cukup membantu karena jumlah perokok pada kedua populasi tetap bertambah (lihat Gambar V.7).Pada subpopulasi pria, besar pertambahan jumlah perokok sekitar 7.5% dari model sebelumnya dan subpopulasi wanita bertambah sekitar 10% dari model sebelumnya (lihat Gambar V.8). 1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
1
2
4
3
5
t
1
2
(a)
3
4
5
t
(b)
Gambar V.7: Grafik perbandingan antara model pertama (biru-merah) dan model kedua (hitam) untuk populasi pria (a) dan populasi wanita (b). 0.1
PmHtL SmHtL RmHtL PfHtL SfHtL RfHtL
0.075 0.05 0.025 0 -0.025 -0.05 -0.075
0
1
2
3
4
5
t
Gambar V.8: Grafik perubahan jumlah populasi model pertama ke model kedua.
43 Walaupun jumlah pertambahan tersebut cukup kecil tetapi hal ini tidak diharapkan untuk terjadi karena kita menginginkan jumlah perokok berkurang. Untuk memecahkan masalah tersebut, pada model ketiga dilakukan pengembangan model dengan menambahkan asumsi yang diharapkan dapat menekan pertambahan jumlah perokok yaitu dengan memasukkan faktor denda bagi perokok dan mengasumsikan bahwa denda tersebut mempunyai efek baik untuk mengurangi jumlah orang yang berpotensi untuk menjadi perokok. Hasil yang diperoleh adalah jumlah perokok berkurang walaupun ada penambahan jumlah perokok dari kelas recover. 1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
1
2
4
3
5
t
1
2
3
4
5
t
(a) (b) Gambar V.9: Grafik perbandingan antara model kedua (biru-merah) dan model ketiga (hitam) untuk populasi pria (a) dan populasi wanita (b). 0 PmHtL SmHtL RmHtL PfHtL SfHtL RfHtL
-0.1
-0.2
-0.3
-0.4
0
1
2
3
4
5
t
Gambar V.10: Grafik perubahan jumlah populasi akibat denda dan penalty effect. Dari Gambar V.9 dan V.10 di atas dapat dilihat bahwa jumlah pria perokok berkurang walaupun besar penurunan subpopulasi pria perokok cukup kecil jika dibandingkan dengan subpopulasi wanita perokok. Begitupula dengan jumlah populasi potensial, keduanya juga berkurang yang tentu saja ini diakibatkan karena adanya penalty effect dari denda. Secara umum, perbandingan
44 ketiga model dapat dilihat dalam grafik solusi berikut dengan nilai t yang diperbesar. Grafik solusi yang diberikan hanya subpopulasi potensial dan perokok karena dalam hal ini kita ingin melihat perubahan yang terjadi pada kedua subpopulasi tersebut. 0.9 0.5 0.8 0.4 0.7
0.3
0.6
0.5 0.2 0.4 0.1 0.3
2
4
6
8
10
12
14
t
2
4
6
(a)
8
10
12
14
t
(b)
Gambar V.11: Grafik perbandingan model pertama (biru), model kedua (merah) dan model ketiga (hitam) untuk subpopulasi pria potensial (a) dan subpopulasi pria perokok (b) dengan nilai parameter αm = 1.145, αf = 1.072, βm = 3.018, βf = 2.072, γm = 0.9, γf = 0.9, p = 0.5, g = 0.9.
0.9 0.4 0.8 0.3 0.7
0.6
0.2
0.5 0.1 0.4
2
4
6
(a)
8
10
12
14
t
2
4
6
8
10
12
14
t
(b)
Gambar V.12: Grafik perbandingan model pertama (biru), model kedua (merah) dan model ketiga (hitam) untuk subpopulasi wanita potensial (a) dan subpopulasi wanita perokok (b) dengan nilai parameter αm = 1.145, αf = 1.072, βm = 3.018, βf = 2.072, γm = 0.9, γf = 0.9, p = 0.5, g = 0.9.
Dari Gambar V.11 dan V.12 dapat dilihat bahwa kedua populasi (pria dan wanita) mengalami kondisi yang sama untuk waktu yang stationer dimana
45 subpopulasi potensial akan naik dan subpopulasi perokok terus menurun. Hal yang menarik terjadi pada model ketiga yaitu terdapat suatu t tertentu sedemikian sehingga subpopulasi perokok akan hilang dari sistem. Sedangkan untuk model pertama dan kedua dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa subpopulasi perokok akan selalu ada untuk waktu yang stationer. Perlu diketahui bahwa parameter yang dipilih dalam Gambar V.11 dan V.12 memberikan kondisi yang endemik untuk model pertama dan kedua, dan kondisi yang tak endemik untuk model ketiga. Selanjutnya, kita akan melihat hasil simulasi ketiga model untuk kondisi yang endemik yaitu berupa persentase perubahan jumlah perokok dari kondisi awal, dengan nilai βm yang berbeda. Simulasi yang diberikan hanya meninjau subpopulasi pria perokok karena keberadaan subpopulasi inilah yang dapat mengakibatkan pertambahan jumlah perokok dan terjadinya endemik dalam suatu populasi. Nilai parameter yang dipergunakan dalam simulasi ini adalah αm = 1.145, αf = 1.072, βf = 2.072, γm = 0.90, γf = 0.90, p = 0.05, g = 0.90 dengan Sm (0) = 0.35 yaitu banyaknya pria perokok pada awal tahun adalah sekitar 35% dari total populasi.
Gambar V.13: Grafik persentase perubahan jumlah perokok dengan nilai βm yang berbeda, untuk model I, II dan III .
Dari Gambar V.13 di atas dapat dilihat bahwa pada model I dan II, untuk nilai ∗ persentase perubahan Sm bernilai negatif artinya untuk kondisi yang βm < β m
endemik dan untuk waktu yang cukup besar, jumlah subpopulasi pria perokok ∗ akan berkurang dari jumlah populasi awal. Sebaliknya untuk nilai βm > βm
46 persentase perubahan Sm bernilai positif yang berarti bahwa pada kondisi yang endemik jumlah subpopulasi pria perokok akan bertambah dari populasi awal. Misalkan untuk nilai βm = 5, pada model I banyaknya subpopulasi pria perokok pada kondisi setimbang akan mengalami penurunan sebesar 0.24% dari jumlah populasi awal sedangkan pada model II banyaknya subpopulasi pria perokok pada kondisi setimbang akan mengalami kenaikan sebesar 0.21% dari jumlah populasi awal. Hal yang menarik terjadi pada model III yaitu ∗ tidak terdapat βm dan nilai persentase perubahan Sm selalu negatif untuk
semua nilai βm yang diberikan. Ini berarti untuk kondisi yang endemik dan untuk waktu yang cukup besar, jumlah subpopulasi pria perokok akan selalu berkurang dari jumlah populasi awal. Ini disebabkan karena adanya parameter p (denda bagi perokok) dan g (penalty effect) yang diasumsikan dapat menekan laju pertambahan jumlah pria perokok. Jumlah tersebut kemungkinan dapat bertambah jika nilai βm kita perbesar lagi. Dari hasil simulasi di atas dapat kita lihat bahwa pada model ketiga, dengan menggunakan parameter yang telah kita pilih, laju pertambahan jumlah perokok berhasil kita tekan. Jika nilai parameternya berubah kemungkinan lain dapat saja terjadi. Akan tetapi pemilihan nilai parameter secara umum dapat dilakukan dengan mengacu pada grafik daerah endemik yang telah diberikan sebelumnya pada masing-masing model.