BAB V KESIMPULAN Pada bab-bab sebelumnya, penulis telah menguraikan tentang siapa Kang Yoto dan bagaimana pengaruhnya dalam membawa Bojonegoro seperti saat ini. Bojonegoro yang dulunya termasuk daerah underdeveloped dengan kondisi infrastrukturnya yang terkenal buruk, saat ini telah tumbuh dengan pesat sebagai daerah dengan pembangunan yang mencengangkan. Hal yang dicapai dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Bojonegoro saat ini ialah salah satu daerah penghasil minyak di Indonesia. Booming minyak di Bojonegoro baru berlangsung ketika Kang Yoto menjabat sebagai bupati. Timing yang bersamaan tersebut berimplikasi terhadap proses tata kelola migas oleh Pemkab Bojonegoro di bawah komando Kang Yoto. Selain itu, timing tersebut juga mempunyai andil besar dalam mendorong percepatan pembangunan di Bojonegoro sehingga dapat tumbuh seperti Bojonegoro saat ini. Migas tidak diragukan lagi mendatangkan berkah yang luar biasa bagi daerah penghasil, meskipun hasilnya tidak sebesar yang masuk ke pemerintah pusat. Akan tetapi, berkah yang luar biasa itu jika ditangani oleh seorang pemimpin daerah yang kurang cerdik, justru berpotensi menjadi kutukan. Itulah yang dinamakan kutukan sumber daya (resource curse). Viralnya nama Bojonegoro di kancah perbincangan nasional bersumber dari kecerdikan Bojonegoro dalam mengelola migas, sehingga dapat menghindari resource curse, yang biasanya menjangkiti daerah yang kaya akan sumber daya. Hal tersebut dapat dicapai melalui tangan dingin seorang Suyoto. Memanfaatkan DBH migas yang masuk ke kantong pendapatan daerah, Bojonegoro mulai berbenah diri. Kang Yoto merancang a brand new Bojonegoro yang tidak hanya mulus di
81
permukaan, tetapi juga mulus sejak dalam prosesnya. Permukaan yang mulus ialah pembangunan fisik atau infrastruktur yang kasat mata sehingga terlihat nyata perubahannya. Sementara itu, yang dimaksud mulus sejak dalam proses ialah perombakan sistem pemerintahan di Bojonegoro menjadi pemerintahan yang open governance. Berbagai perbaikan yang dilakukan pada internal pemerintah, selanjutnya dapat berimplikasi terhadap proses perencanaan pembangunan daerah. Dari sejak awal masa pemerintahannya, Kang Yoto tidak ragu untuk mencetuskan berbagai gebrakan baru dalam merombak Bojonegoro. Gebrakan baru tersebut mendatangkan berbagai respon dari pejabatnya sendiri dan masyarakat. Pemkab Bojonegoro terlahir kembali sebagai pemerintahan yang terbuka, akuntabel, serta dekat dengan rakyat sehingga proses pembangunan daerah kali ini lebih dirasakan oleh masyarakat. Perjalanan dalam mencapai a brand new Bojonegoro memang tidak mudah, tetapi Kang Yoto dapat dikatakan berhasil. Naiknya nama Kang Yoto berbanding lurus dengan berbagai kemajuan yang diraih Bojonegoro. Saat ini, di setiap pembicaraan tentang Bojonegoro, nama Kang Yoto selalu hadir. Kesuksesan Kang Yoto dalam mendorong kemajuan Bojonegoro dapat diraih berkat strategi yang cerdik dalam memanfaatkan kekuasaannya. Menggerakkan Pemkab Bojonegoro yang personilnya berupa birokrat-birokrat warisan bupati yang sebelumnya tidak mudah dilakukan. Setelah penulis memaparkan data secara rinci dan berurutan, penulis melakukan penjodohan pola atau mengkontekstualisasikan kerangka teori yang dijabarkan pada Bab I dengan realitasnya di lapangan. Asumsi awal penulis ialah bahwa Kang Yoto menghegemoni Pemkab Bojonegoro yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaannya di Bojonegoro. Oleh karena itu, penulis menggunakan kerangka teori tentang hegemoni Gramscian dan difusi kekuasaan. Akan tetapi, berdasarkan analisis terhadap data di lapangan, penulis menyimpulkan 82
bahwa yang dilakukan Kang Yoto ternyata bukanlah wujud dari hegemoni, melainkan cenderung mengarah ke dominasi. Jika penelitian ini diibaratkan sebuah ujian, yakni menguji apa yang dilakukan Kang Yoto dengan teori hegemoni, maka ujian ini dikatakan gagal. Kang Yoto tidak lulus ujian ini, karena Kang Yoto tidak menghegemoni birokrasi, tetapi mendominasi. Jika kita memandang apa yang dilakukan Kang Yoto dari satu sisi, kita melihat bahwa Kang Yoto sangat getol dalam mendorong Pemkab Bojonegoro tumbuh dan berkembang hingga maju seperti sekarang ini. Pemkab Bojonegoro berhasil menyingkirkan asumsi umum yang menganggap mereka akrab dengan tradisi korupsi dan tidak terbuka, sekaligus mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Bojonegoro terhadap pemerintahnya. Hal tersebut juga merupakan wujud dari difusi kekuasaan Kang Yoto. Kang Yoto membiarkan pemerintahnya bersinar di hadapan rakyat atas kemajuan yang dicapai. Capaian tersebut merupakan hasil dari kerja keras mereka dalam melaksanakan perubahan besar-besaran yang memang diinisiasi oleh Kang Yoto. Kang Yoto memang tidak berlagak seperti seorang pemimpin diktator yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk memaksa birokrasinya untuk berubah sesuai yang diinginkannya. Kang Yoto menggunakan cara yang friendly sehingga birokrasi patuh mengikuti skenario yang dibuatnya. Sementara itu, jika kita melihatnya dari sisi yang sebaliknya, kita akan menyadari bahwa Kang Yoto itu sebenarnya memaksa birokrasi untuk patuh dengan skenarionya dengan cara „melemparkan‟ birokrasi kepada rakyat Bojonegoro. Pemaksaan tersebut dilakukan secara tidak langsung (indirect) karena melalui rakyat. Jadi seolah-olah rakyatlah yang memaksa birokrasi untuk berubah. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana segala upaya Kang Yoto untuk mengubah pemerintahnya menjadi pemerintahan yang terbuka selalu dilakukan dengan memaksa birokrasi untuk berhadapan langsung dengan rakyat. 83
Wacana yang dikembangkan di masyarakat ialah tentang tekad Kang Yoto untuk membuat Pemkab Bojonegoro terbuka, tidak seperti pemerintah yang lalu, sehingga membuat masyarakat melambungkan harapan. Ekspektasi masyarakat yang terlanjur tinggi ini direspon Kang Yoto dengan membuat banyak gebrakan baru, seperti Dialog Jumat, rapat monev setiap Jumat, publikasi nomor pribadinya beserta pejabat-pejabat lain. Dengan kedok demi kepentingan rakyat Bojonegoro, berbagai kebijakan baru tersebut lantas membuat Pemkab Bojonegoro dipaksa untuk berani dan bekerja ekstra keras. Jika Pemkab Bojonegoro tidak segera beradaptasi dengan kebijakan baru tersebut, mereka akan „dimakan‟ oleh rakyat Bojonegoro. Penulis menganalogikan situasi tersebut sama seperti seseorang yang memancing di Sungai Amazon. Sungai Amazon dikenal sebagai habitat ikan piranha. Kontekstulisasinya dengan Kang Yoto dan Bojonegoro, Kang Yoto ialah sang pemancing, ikan-ikan piranha adalah masyarakat Bojonegoro, dan Pemkab Bojonegoro adalah umpannya. Ibaratnya, Kang Yoto memberi pilihan bagi Pemkab Bojonegoro untuk patuh ikut skenarionya atau memilih „diumpankan‟ kepada masyarakat. Ikan piranha memang kecil ukuran tubuhnya, tetapi masuk ke dalam klasifikasi hewan karnivora (pemakan daging) yang paling berbahaya. Gaya menyerang ikan piranha yang kolektif-kolegial dapat diibaratkan kekuatan rakyat dalam menuntut Pemkab Bojonegoro agar menjadi pemerintahan yang terbuka dan responsif. Analisis di atas menggiring penulis untuk menyimpulkan bahwa Kang Yoto cenderung melakukan dominasi terhadap Pemkab Bojonegoro. Kepatuhan birokrasi terhadap Kang Yoto cenderung berlandaskan paksaan, meskipun kita dapat menyebutnya sebagai paksaan yang halus karena rakyat dijadikan tameng. Difusi kekuasaan yang dilakukan Kang Yoto juga pada akhirnya justru membuktikan bahwa dirinyalah sentral dari kekuasaan di Bojonegoro. Bahkan, adanya berbagai program yang mempertemukan pemerintah dengan rakyat itu justru mengaburkan peran 84
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat. Jika di daerah lain, atau bahkan di pemerintah pusat, salah satu fungsi lembaga legislatif ialah sebagai penyambung lidah rakyat. Legislatif yang berperan dalam menyaring aspirasi rakyat. Fungsi lembaga legislatif tersebut, di Bojonegoro justru direbut oleh eksekutif. Kesimpulan penulis tersebut merupakan analisis dari sisi lain keberhasilan Dialog Jumat yang mempertemukan rakyat dengan lembaga eksekutif. Merujuk pada fungsi dan tujuan Dialog Jumat, seharusnya DPRD Bojonegorolah yang menjadi pelaksananya. Jika lembaga eksekutif yang mengambil peran dalam menyerap aspirasi rakyat, lalu apa urgensi dengan hadirnya lembaga legislatif di Bojonegoro yang fungsi utamanya telah digantikan oleh eksekutif. Penelitian ini memang tidak memaparkan relasi Kang Yoto dengan DPRD Bojonegoro. Penulis mengakui bahwa hal tersebut merupakan salah satu kekurangan dari penelitian ini. Dominasi yang dilakukan oleh Kang Yoto tidak seperti pemimpin-pemimpin lain yang cenderung memonopoli kekuasaan. Kang Yoto justru mendominasi dengan cara memainkan atau bahkan menggiring peran dari aktor-aktor lain di sekitarnya untuk mewujudkan visi pribadinya dalam pembangunan Bojonegoro. Inilah wujud yotoisme. Istilah yotoisme bukanlah temuan pertama dari penulis, karena merujuk pada hasil penelitian dari tim riset PolGov UGM. Istilah yang asal muasalnya dari nama Kang Yoto tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan kuatnya dominasi Kang Yoto terhadap birokrasi di Bojonegoro. Jadi, yotoisme ialah dominasi Kang Yoto terhadap Pemkab Bojonegoro dengan tujuan untuk mengendalikan pengelolaan hasil kekayaan migas yang melimpah. Tujuannya adalah agar visi yang digunakan sebagai dasar pengelolaan hasil migas tersebut ialah sesuai dengan kehendak Kang Yoto dan bukan visi lain yang menurutnya predatoris. Itulah yang mendasari kebijakan-kebijakan yang terkesan menjauhkan rakyat Bojonegoro dari mimpi migas selama 85
rezim pemerintahan Kang Yoto. Dominasi tersebut dilakukan dengan menundukkan birokrasi, baik dengan cara Kang Yoto menempatkan dirinya sebagai guru terhadap birokrasi (terutama dalam hal pengetahuan tentang resource management yang merupakan oleh-oleh dari trainingnya di MIT), maupun dengan memaksa birokrat untuk berhadapan langsung dengan rakyat melalui mekanisme transparansi dan komunikasi publik. Sementara itu, dengan berjalannya mekanisme tersebut, politisi intra dan ekstra parlemen menjadi lemah. Mereka dilemahkan baik dengan cara dilangkahi maupun tetap diberi peran secara parsial. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak hal yang dapat digali dari penelitian ini. Isu tentang Kang Yoto ataupun Bojonegoro sangat kompleks dan luas. Hal itu ditambah dengan maraknya pemberitaan tentang Kang Yoto dalam beberapa waktu terakhir, yakni terkait isu pencalonan dirinya untuk calon gubernur DKI Jakarta, memungkinkan penelitian ini untuk dijadikan rujukan atau bahkan titik tolak atas penelitian lainnya. Semoga, dengan adanya penelitian ini, penulis berharap akan muncul penelitian lainnya yang lebih komprehensif sehingga dapat melengkapi kekurangan penelitian ini.
86