BAB V KESIMPULAN
A. Pengantar Sedari awal, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan, bagaimana survivor 1965 di Bali, berjuang dalam kehidupan sehari-hari mereka? Pembacaan telah menghantarkan kita menyusuri fragmen-fragmen sejarah, yang keberadaanya tidak diakui oleh Rezim. Kita juga menyusun fragmen-fragmen episode sejarah yang menjadi konteks kemunculan survivor. Sebagai sebuah kategori subjek, ia tidak lepas dari konteks politis yang mengiringi kemunculannya. Pembunuhan-pembunuhan massal yang menyasar anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, yang dilatari oleh kontestasi perebutan kekuasaan di Nasional,
membawa
dampak
yang
tidak
kecil.
Keseluruhan
program
pembangunan Orde Baru, yang menekankan stabilitas, pembangunan ekonomi, dan pemerataan, secara langsung merubah kondisi-kondisi sosial dan politik secara umum. Warga dihitung pertisipasinya dalam pembangunan, sementara survivor dipinggirkan secara sistematis, melalui bentuk-bentuk pengaturan kebijakan. Mereka dieksklusi dari pembangunan Orde Baru. Sepanjang konteks desa Dawan Kaler, dimana lokasi penelitian ini dilakukan, perlakuan Orde Baru tidak menutup kemungkinan survivor untuk bertahan. Dengan berbagai strategi, ia tetap bertahan, seiring dengan berlangsungnya perubahan-perubahan dalam desa.
B. Bersiasat Menghadapi Negara: Strategi Bertahan Hidup Keluarga Survivor Kemunculan survivor, hanya dapat dijelaskan dalam konteks dominasi yang dilakukan oleh negara terhadap subjek kuasa ini. Dengan tetap menyimpan ingatan tentang kekerasan massal yang berlangsung dalam konteks lokal, ia memberikan ruang yang memungkinkan untuk melawan dominasi negara terhadap subjek kuasanya. Secara ekonomi, pada awalnya akses survivor terhadap sumber penghidupannya terputus. Kemudian, perlahan-laham, mereka mampu mengakses sumber daya yang ada dalam negara, dan mengambil peran dalam pembangunan yang dilakukan oleh Rezim. Pertama, Keluarga IKP misalnya, masih menyimpan buku harian mendiang hingga hari ini. Anak-anak mendiang IKP merawat ingatan dalam keluarganya, meski kondisi tidak memungkinkan untuk mendiskusikannya secara terbuka. Dalam ruang-ruang keseharian, seperti persiapan upacara, bersama keluarga besar misalnya, proses ini berlangsung secara perlahan. Kedua, Keluarga NS, berkebalikan dengan keluarga IKP, ketika membicarakan tentang periode tersebut, menolak untuk mengingat kembali. Episode kekerasan tersebut, tidak dibicarakan secara terbuka, bahkan secara spesifik tidak ingin mengungkit kembali masa lalu tersebut. Ketika ditelusuri lebih lanjut, dari pihak keluarga luar yang mengingat bahwa keluarga besar NS merupakan tokoh desa pada masa itu, sehingga menjadi target pembunuhan.
90
Implikasi dari penolakan ini lebih pelik, mengingat pada masa itu, NS merupakan anggota angkatan darat yang aktif berdinas dalam kesatuannya. Disatu pihak, ia menjadi agen kuasa Rezim, disisi lain, keluarganya (termasuk dirinya) merupakan subjek sasaran kuasa Rezim. Pada saat yang bersamaan, ketika momen untuk mengingat kembali ini dipicu, ia menolaknya. Keluarga survivor menerapkan berbagai strategi bertahan hidup berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia, pertimbangan atas kondisi masa itu, dan kemungkinan pada masa depan keberlangsungan keluarga. Keluarga IKP, setelah akses ekonomi keluarga, yang bersumber dari negara terputus, mengusahakan sumber lain yang tidak bergantung terhadap negara. Sang Ibu menghidupi perekonomian keluarga melalui usaha dagang sembari menyekolahkan anakanaknya. Sekolah Guru menjadi tujuan pendidikan yang diambil oleh anak-anak mendiang IKP. Masa pendidikan ini dilewati dengan menitipkan anak-anak kepada saudarasaudara (keluarga besar). Ketika telah menyelesaikan pendidikannya, anak-anak mendiang, IKP, menjadi guru sekolah-sekolah dasar diluar desa awalnya, kemudian salah satu anak menjadi kepala sekolah di desa Dawan Kaler. Masa pendidikan yang singkat, kepastian pekerjaan, dan pendapatan merupakan pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan keputusan ini. Lebih lanjut, anakanak yang lebih dahulu menamatkan pendidikan guru, dan kemudian bekerja, menanggung biaya pendidikan saudara yang lain. Artinya, mereka membagi beban ekonomi.
91
Pertama, secara eksternal dengan menggunakan jaringan keluarga besar untuk bertahan sembari menjalani pendidikan. Kedua, secara internal dengan saling mengirim sebagaian pendapatan kepada anggota keluarga yang masih menempuh pendidikan. Patut dicatat disini, mendiang IKP adalah seorang kepala sekolah, seorang pegawai pemerintah yang digaji. Ketika kemudian tidak ada lagi sumber pemasukan, berdagang menjadi jalan keluar. Dengan menjadi guru, yang artinya menjadi pegawai negeri, akses ekonomi kembali bersumber kepada pemerintah. Keluarga NS, memboyong seluruh keluarga yang selamat dan memulai hidup di Asrama tentara. Negara menjadi tumpuan ekonomi sekaligus melindungi keselamatan keluarga. Disini kita menemukan bahwa Orde Baru yang memiliki desain rezim sedemikian ketat, memiliki ruang tersembunyi, yang luput dari pengawasannya. Para keluarga survivor menyikapi perubahan rezim dengan awas, secara tertib menjalankan arahan pembangunan, bahkan berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuknya menjadi jalan masuk, sembari menjaga dengan hati-hati ingatan-ingatan yang dilarang rezim. Penelitian ini memiliki rupa topik yang relatif dekat dengan studi I.G. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Kajian Krisnadi berusaha melihat kehidupan para tahanan politik, sejak penahanannnya pasca 1965, kemudian fase pembuangan ke Pulau Baru, hingga kemudian dikembalikan ke masyarakat, sebagaimana Orde Baru mengistilahkannya. Jika Krisnadi fokus terhadap kehidupan tahanan-tahanan politik Orde Baru, maka studi ini mengambil keluarga survivor, sebagai subjek penelitian. Kehidupan
92
survivor 1965 paska pembantaian menjadi fokus yang menghantarkan studi ini. Secara umum, kesimpulannya yang menyatakan bahwa Rezim melakukan beragam cara guna menundukan tahanan politik ini, sekaligus menemui kegagalan usahanya, berlaku secara garis besar. Akan tetapi, sedikit sekali pembahasan yang dilakukan mengenai periode setelah tahanan-tahanan politik Orde Baru ini dibebaskan. Jika memang jangkauan kajian tersebut tidak meliputi episode, ini, maka, penelitian yang saya lakukan justru fokus terhadap subjek politik dalam posisi yang secara relatif sepadan. Meskipun hal ini tidak berarti posisi subjek ini dapat dipertukarkan. Karena, meski konteks politis yang menjadi latar kemunculannya adalah sama, pengalaman spesifik yang dialami para survivor tentu berbeda. Lebih jauh, penelitian ini juga berusaha melengkapi pembacaan mengenai satu aspek dari kehidupan politik setelah pembunuhan massal 1965 berlangsung.
93