173
BAB V Kesimpulan
Denny JA memasuki arena sastra Indonesia ketika arena sastra berada di dalam situasi terdominasi oleh arena kekuasaan, terutama akibat determinasi politik dan ekonomi. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari perubahan sosial pasca peristiwa 1998 yang menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru dibawah kekuasaan militer dan Presiden Kharismatik Soeharto. Proses demokratisi di bidang politik dan ekonomi menyebabkan dominasi penguasa negara yang semula begitu besar mulai terkisis akibat system demokrasi yang memberikan peluang bagi masyarakat sipil untuk bebas mengkspresikan dirinya. Salah satu fenomena yang muncul adalah bangkitnya golongan minoritas di Indonesia. Meskipun membawa angin kebebasan, proses demokrasi pasca Orde Baru juga ditandai oleh munculnya tindakan-tindakan kekerasaan yang dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu terhadap golongan yang lain. Salah satu yang menjadi penanda awal reformasi adalah kerusuhan 1998 yang menjadikan warga etnis tionghoa sebagai korbannya. Kasus penindasan terhadap etnis moniritas juga terjadi misalnya kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah yang dilakukan oleh ormas-ormas islam radikal. Di bidang politik, Keterlibatan publik di dalam proses demokrasi mengantarkan para profesional memanfaatkan situasi tersebut. mereka kemudian turut berperan dalam proses pemilihan umum. Salah satu yang Nampak adalah
174
keterlibatan lembaga lembag survey dan konsultan politik untuk terjun dalam pesta demokrasi tersebut. seringkali lembaga survey ini mengarahkan wacananya untuk menggiring opini masyarakat. keterlibatan mereka di ranah politik juga memberikan keuntungan bagi mereka baik keuntungan ekonomis maupun keuntungan simbolis terutama sering munculnya nama dan wajah mereka di televise sehingga dikemudian dikenal oleh public secara luas. Perubahan dalam arena sosial, politik dan ekonomi berpengaruh terhadap arena sastra Indonesia. Kebebasan berekspresi memberikan kebebasan bagi para penulis pasca Orde Baru utuk mengeksplorasi tema-tema yang selama ini dianggap tabu. Ekstetika yang dibawa oleh sastrawan angkatan 2000an menjadi salah satu tonggak kebaruan tersebut. kebaruan tema-tema juga diangkat dalam tradisi sastra skala besar. Penerbit- penerbit yang memiliki modal ekonomi besar saling bersaing untuk menerbitkan ragam karya sastra, baik bertema percintaan, islami, penulisan sastra anak dan lain-lain yang membanjiri dunia penerbitan di Indonesia. Dalam posisi ini, terdapat kekaburan dalam memandang mana karya popular mana karya adiluhung sebab di sisi lain, banyak kritikus maupun sastrawan terkonsekrasi ikut pula melegitimasi munculnya karya-karya baru dengan memberikan komentar berupa pengantar atau endorsment bagi penerbitan karya sastra skala besar. Hal ini merupakan dampak dari keterbukaan yang terjadi di dalam arena sastra, khususnya ketika tidak ada lagi kritikus seperti H.B. Jassin yang benar-benar memberikan penilaian mengenai baik buruknya karya sastra.
175
Seringkali, sebiah pengantar hanya menjadi sebuah tanggapan saja, bukan sebuah penilaian semata. Di dalam struktur arena sastra skala terbatas, muncul komunitas-komunitas baru yang hendak mengeksplorasi ruang-ruang di dalam sastra Indonesia. Munculnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah juga menjadi bagian dari dinamika tersebut. mereka berlomba lomba untuk menyaingi keberadaan komunitas-komunitas yang sudah terlebih dahulu besar, yang umunya berada di pusat kekuasaan yang berada di Jakarta, semisal Dewan kesenian Jakarta, komunitas Utan kayu dan Salihara maupun keberadaan surat Kabar Kompas dan Majalah Kalam yang merupakan galeri-galeri yang memiliki legitimasi tinggi dalam penulisan sastra pasca Orde Baru. Mereka seringkali menyerang satu sama lain, misalnya Taufik Ismail (mantan redaktur Horison) yang menyerang penulispenulis perempuan (diwakili oleh Ayu Utami) dengan menyebutnya sastra wangi, atau Boemi Poetra yang menyerang keberadaan komunitas Salihara. Salah satu isu yang muncul dalam dinamika sastra adalah adanya determinasi modal kapital yang besar. Boemi poetra misalnya menganggap bahwa Salihara didanai oleh modal asing yang dianggapnya ikut andil dalam merusak kehidupan sastra di Indonesia. Tetapi di sisi lain, peran serta pemerintah dalam memajukan sastra juga menjadi tanda Tanya, sehingga seringkali berbagai kegiatan sastra mesti didanai oleh pihak swasta. Dalam kondisi arena seperti itulah Denny JA kemudian masuk ke dalam arena sastra Indonesia. Ia masuk dalam dua posisi sekaligus yakni sebagai penulis
176
dan penyumbang dana bagi kegiatan kesusastraan. Tetapi masuknya Denny JA lebih ditekankan pada strategi pemerolehan modal simbolik bagi dirinya sendiri untuk pada kelanjutannya ditujukan agar dirinya dianggap sebagai tokoh dalam sastra Indonesia. Keinginannya menjadi tokoh sastra didorong oleh habitusnya yang membentuk Denny JA. Salah satu yang paling berpengaruh adalah kekagumannya pada tokoh-tokoh dunia hasil pembacaannya terhadap buku Michael heart berjudul the 100: a Ranking on the most Influential persons in History (1978). Habitus Denny JA juga terbentuk dari karier akademiknya terutama setelah mengenyam pendidikan di Amerika dan mulai merambah ke dunia survey dan konsultan public yang mendrongnya untuk memenangkan bakal pasangan calon dalam pemilihan umum. Hal tersebut juga mendorongnya untuk menjadi pertama dan utama dan tercermin dalam usahanya menjadi perintis dalam setiap bidang. Selain itu, keberadaannya sebagai ilmuan sosial menjadi habitus yang berpengaruh ke dalam tema karya-karyanya. Berbagai modal yang sudah dimiliki Denny JA mendukungnya untuk bisa masuk ke dalam arena sastra. Dengan kondisi arena sastra yang seringkali tidak memperoleh kucuran dana yang besar dalam penyelengaraan kegiatan sastra, Denny JA memanfaatkan modal ekonomi yang dimilikinya untuk masuk ke dalam arena sastra sebagai donator sastra. Selain itu, modal cultural berupa kepiawaiannya menulis esai mendorongnya untuk menulis karya sastra dengan tema-tema sosial, khususnya tema diskriminasi. Selain itu, modal kultural sebagai
177
seorang yang dekat dengan banyak pihak membuatnya dengan mudah mendekati para tokoh sastra Indonesia Pergulatan Denny JA dalam arena sastra di mulai dengan menempatkan puisi esai sebagai strategi pemerolehan posisi karyanya dalam arena sastra Indonesia Pasca-Orde Baru. Untuk memperkuat posisi puisi esai, Denny JA melakukan survey public mengenai keterbacaan karya sastra mutakhir, yang hasilnya menempatkan puisi-puisi tersebut yang asing bagi masyarakat. Dengan strategi itu Denny JA melakukan serangan terhadap puisi lirik yang cenderung dominan dalam sastra Indonesia. Untuk memperkuat posisinya puisi esai meminta tanggapan dari tokoh-tokoh sastra Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, dan Sutardji Calzum Bahri dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Namun dalam perjalanan awalnya respon puisi esai tidak begitu besar, dibuktikan dengan tidak meledaknya buku Atas Nama Cinta dipasaran. Untuk mengembankan opini publik, Denny JA memuat karyanya di website puisi esai dan aplikasi android sehingga bisa diakses oleh kalayak secara bebas. Hal ini merupakan respon dari keberadaan teknologi informasi yang berkembang pesat. Selain itu, penggunaan teknologi informasi juga digunakan Denny JA untuk menanipulasi data keterbacaan publik, dibukanya website puisi esai digunakan sebagai klaim keterbacaan karya-karyanya, padahal tidak ada data valid pengunjung website tersebut membaca karya-karaya karena banyaknya informasi lain di dalam website tersebut.
178
Untuk lebih bisa mendapatkan pengaruh, Denny JA melintas dari komunitas awalnya yakni ciputat school ke jurnal sajak, yang merupakan jurnal penulisan baru. Di satu sisi Denny JA membutuhkan jurnal sajak untuk mendukung kepopuleran puisi esai dan di satu sisi jurnal sajak juga membutuhkan donator untuk kelangsungan jurnal tersebut. dari sini ada konversi modal ekonomi ke modal simbolik, dibuktikan dengan dimuatnya puisi esai sebagai salah satu kolom jurnal sajak dan diangkatnya Denny JA sebagai redaktur utama. Selain itu, para redaktur jurnal sajak juga memberikan komentar komentar bagi puisi esai. Jurnal sajak juga digunakan sebagai galeri yang mendukung gerakan puisi esai. Melalui jurnal sajaklah digelar berbagai perlombaan. Di sini, Denny JA kembali menggelontorkan modal yang besar yang tujuannya adalah mengangkat puisi esai sebagai puisi yang menginspirasi banyak penulis. Dengan dianggapnya puisi esai sebagai puisi yang memberikan pengaruh bagi tradisi penulisan baru maka sekaligus akan mengangkat nama Denny JA sebagi sastrawan dan tokoh pembaharu dalam dunia sastra Indonesia Strategi lain yang digunakan Denny JA adalah adanya alih wahana dari karya tulis ke media film. Ia memboyong sutradara Hanung Bramantyo untuk membuat film dari karya-karyanya. Alih wahana ini terispirasi dari karya-karya sastra Indonesia yang diangkat ke layar lebar yang terbukti mendapatkan respon yang besar di kalangan masyaakat Indonesia. Beberapa novel sukses diangkat ke layar lebar antara lain, Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Perahu Kertas dan lainlain.
179
Atas berbagai strategi yang digunakan, Denny JA berhasil mempengaruhi Tim 8 untuk menyusun buku 33 tokoh sastra Indonesia paling Berpengaruh. Buku tersebut diakui oleh Maman Mahayana didanai oleh Denny JA. Buku tersebut pada akhirnya memasukkan Denny JA sebagai salah satu tokoh dalam sastra Indonesia. Mereka yang mendukung Denny JA masuk sebagai tokoh umumnya merupakan agen agen Denny JA yang sudah bekerjasama sejak lama, kalaupun ada nama lain, mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan kedekatan yang erat dengan agen agen Denny JA. Meskipun puisi esai sudah mendapatkan posisi dalam arena sastra sebagai akibat dari pengakuan para agen, ternyata puisi esai belum serta merta mempengaruhi arena sastra Indonesia secara luas. Pengakuan hanya diberikan oleh komunitasnya sendiri, sementara ruang-ruang posisi yang lain secara tegas menolak Denny JA. Komunitas Salihara dan Boemi Poetra melalui agen agennya secara tegas menolak gagasan kebaruan puisi esai sekaligus menolak penobatan Denny JA sebagai tokoh sastra. Selain itu, puisi esai juga tidak pernah keluar sebagai sesuatu yang baru diluar ruang lingkup jurnal sajak dan lomba-lomba yang diadakan oleh Jurnal sajak. Kondisi demikian menunjukkan bahwa secara estetis puisi esai telah gagal mengubah struktur arena sastra Indonesia. Demikian juga dengan posisi Denny JA sebagai tokoh sastra tidak diakui oleh arena sastra Indonesia secara luas. Meskipun demikian, keberadaan Denny JA telah mengubah jurnal sajak dari kutub otonom ke kutub heternom. Dengan menerima dana yang besar dari Denny JA, jurnal sajak telah kehilangan otonominya sebagai kesakralaan logika arena sastra yang cenderung menolak determinasi modal.