BAB V
KESIMPULAN
Pada pemaparan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, setidaknya ada tiga pertanyaan terkait pertanyaan besar tentang bagaimana cara HIMAG mewujudkan eksistensi identitas gay mereka di kampus, yakni: (1) mengapa para anggota ingin bergabung dengan HIMAG, (2) bagaimana bentuk interaksi dan komunikasi dalam HIMAG, (3) apa manfaat bergabung dengan HIMAG. Bab ini mencoba mengurai kembali pokok-pokok persoalan dari hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan. Selama tiga tahun HIMAG berdiri tentu banyak hal dapat dicermati untuk dipelajari bersama. Jelas sekali menjadi gay tetap bukan perkara mudah untuk dijalani. Sebagai minoritas di masyarakat membuatnya sedikit susah untuk memposisikan diri. Gay mendapat sorotan cukup tajam masyarakat sebab laki-laki dipandang sebagai sosok kuat, tangguh secara fisik, mampu menikah dan berkeluarga, serta jauh dari sifat feminin. Itulah ekspektasi gender yang masyarakat harapkan pada laki-laki. Maka ketika mendengar gay, masyarakat membayangkan sosok feminin hampir menyerupai waria. Padahal tidak semua gay berkebalikan dari sifat maskulin, meskipun memang ada yang berekspresi gender feminin. Oleh karena tingginya ekpektasi masyarakat dan lingkungan terhadap laki-laki, makin berat bagi seorang gay mengeluarkan identitasnya atau berekspresi sesuai identitasnya. Dalam dunia LGBT dan HAM, hambatan-hambatan tersebut disebut stigma dan diskriminasi.
100
Proses
menemukan
hingga
mengungkapkan
identitas
gay
masih
menghadirkan friksi. Friksi berupa akibat reaksi oleh keluarga, teman dan lingkungan. Memendam rasa dan berdiam diri juga menimbulkan friksi batin serta pikiran seorang gay sebagaimana dibuktikan pengalaman informan. Berdasarkan hal ini, keberadaan teman sebagai tempat mencurahkan isi hati atas persoalan yang mendera menjadi alasan terkuat para informan bergabung HIMAG. Kebutuhan teman disadari sebagai bagian hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Dalam konteks HIMAG, teman sesama gay jauh lebih dibutuhkan ketimbang teman heteroseksual. Mengapa, sebab teman sesama gay mampu mewakili perasaan dan pengalaman kala mencari penjelasan. Dalam prosesnya hampir seluruh gay mengalami masa denial. Dengan adanya teman sesama gay diharapkan mampu mengantisipasi hal buruk terkait pencarian jatidiri, baik saat coming-in hingga memutuskan coming-out. Berdasarkan penjelasan diatas, teman sesama gay berarti pondasi dasar sekaligus modal keterbukaan akses informasi dan jaringan, semisal tawaran untuk bergabung HIMAG. HIMAG lantas dijadikan tempat bernaung para mahasiswa gay atas dasar kesamaan almamater. Secara singkat kebutuhan para mahasiswa gay adalah (1) teman sesama gay, (2) informasi positif, dan kemudian (3) wadah atau komunitas. Ketiganya bersinergi menghasilkan suatu bentuk dukungan bagi indvidu-indvidu anggota HIMAG. Bentuk dukungan ataupun manfaat yang didapat setelah bergabung selain pertemanan adalah munculnya rasa aman. Rasa aman direpresentasikan lewat kehadiran teman sesama dan wadah penaung pengganti keluarga atau lingkungan awal. Kedua hal tersebut berfungi sebagai
101
penguat diri. Sebab mayoritas anggota HIMAG adalah mahasiswa rantau, mereka baru berani mengekspresikan diri sekaligus bergabung komunitas setelah pindah ke Yogyakarta. Hal tersebut menandakan lingkungan awal mereka memang tidak mendukung. Oleh karenanya kehadiran HIMAG menawarkan ruang ideal yang sebelumnya tak terjamah. Faktor tersebut berhasil menarik minat anggota hingga mencapai angka 170-an. Apakah HIMAG cukup membantu anggotanya? Jawabannya iya dan tidak. Mendapatkan teman baru untuk saling menguatkan, aneka informasi serta rasa aman cukup membantu anggota. Anggota mendapat pemahaman mendalam tentang isu permasalahan yang dihadapi, sampai keterlibatan langsung di sektor strategis bersama LSM LGBT. HIMAG mampu menawarkan kesadaran baru pada anggota dengan tidak terlalu membicarakan urusan seks sebagaimana ramai di forum atau komunitas lain. Dengan demikian mendorong kepekaan atas kajian ataupun berita ilmiah aktual faktual agar wawasan anggota selalu terbaharui. Inilah pembeda utama HIMAG dibanding forum maupun komunitas lain. Dimana anggota HIMAG sebagai mahasiswa lebih awas pada isu atau berita terkini terkait kehidupan mereka. Juga lebih cekatan dalam mendapatkan berita LGBT didukung penggunaan teknologi digital dan jaringan internet. Anggota dapat saling mentransfer berita satu sama lain dengan mudah. Hal tersebut menjadikan mereka mahasiswa gay yang dinamis. Pada penjelasan bab terdahulu tersurat permasalahan yang merundung HIMAG sampai-sampai tak kontributif bagi anggota. Secara umum internalisasi HIMAG tidak berjalan dengan baik. Pengurus luput untuk menghidupi HIMAG,
102
hingga kesempatan penting macam gathering tidak berlangsung. Sepinya grup Facebook dan Line Messenger karena ditinggal para tetua. Komunikasi antar organisasi atau komunitas tak terjaga. Terkait hal tersebut perbedaan pandangan pengurus dengan cara kerja organisasi lain justru merugikan HIMAG. Padahal kerjasama antar organisasi LGBT mengandung nilai positif. Absennya pengurus juga menghilangkan sentuhan humanis
–atas HIMAG sebagai wadah- pada
anggota. Lambat laun anggota tidak lagi merasakan rasa kepemilikan atas HIMAG. Kurangnya rasa kepemilikian atau sense of belonging sesama anggota berimplikasi pada keberadaan HIMAG keseluruhan. Bahkan di akhir muncul fenomena “kelompok dalam kelompok”. Kelompok dalam kelompok, atau dapat disebut geng mengakibatkan akitfitas interaksi internal HIMAG berbentuk sporadis tanpa ada kesatuan koridor. Sebagai kesimpulan, pertanyaan besar tentang bagaimana cara HIMAG mewujudkan eksistensi identitas gay mereka di kampus, dibalik menjadi berhasilkah mereka mewujudkan hal tersebut? Jawabannya adalah belum berhasil. HIMAG hingga sekarang belum dapat mewujudkan identitas gay mereka di kampus secara keseluruhan. Ihwal vakum kegiatan karena ketiadaan pengurus yang berakibat hilangnya rasa kepemilikan atas HIMAG merupakan hasil konstelasi nilai yang gagal. Terlihat dengan munculnya fenomena kelompok dalam kelompok atau geng yang bergerak sendiri. Perihal geng dipahami sebagai bentuk tandingan anggota atas tidak tercapainya kondisi ideal sebuah komunitas atau organisasi. Masing-masing anggota akhirnya mengeluarkan wacana geng sebagai bentuk ideal sebuah kelompok egaliter yang lebih mudah ditata.
103
Selanjutnya tak ada hubungan resmi antara HIMAG dan organisasi atau komunitas lain justru mengaburkan cita-cita HIMAG sebagai wadah mahasiswa gay berlandaskan nilai akademis dalam tujuan membangun identitas bersama. Akibatnya bukan anggota saja yang mempertanyakan keberadaan HIMAG namun juga pihak eksternal. Hambatan lain berupa ketidaksiapan anggota atas berbagai kemungkinan reaksi bila HIMAG memproklamirkan diri di lingkungan kampus. Tidak dipungkiri mayoritas anggota ragu akan hal ini. Jika benar maka dapat dimulai dengan melibatkan teman heteroseksual pendukung kegiatan-kegiatan terkait LGBT alias straight allies. Mulai membuat straight allies sebanyakbanyaknya serta libatkan dalam kegiatan HIMAG, sehingga tidak hanya mengandalkan jaringan sesama gay saja. Jika sebenarnya HIMAG tidak berjalan dengan baik dan terkesan mati suri, kemana lagi mereka mencari wadah berkspresi sekaligus berinteraksi dengan sesama gay. Jelas seiring waktu berjalan tujuan awal HIMAG tak lagi menjadi penting. Anggota tak begitu menghiraukan isu penting dibalik tujuan HIMAG Anggota tak lagi melihat fungsi HIMAG sebagai faktor penentu terhadap kehidupan mereka. Jika dapat berkumpul entah dalam wadah organisasi, komunitas, atau sekedar kelompok pertemanan alias geng maka disanalah mereka berada. Artinya kini prioritas sebatas mencari teman gay saja. Kumpul geng sebagai alternatif wadah berekspresi. Tempat-tempat seperti café, perpustakaan, acara-acara LSM, pemutaran film atau festival seni dijadikan ruang interaksi guna mengaktualisasi diri. Masih berlangsung sporadis tanpa dapat ditebak. Selain HIMAG mengalamai stagnansi dan cenderung mundur, ia juga tak berwujud.
104
Sampai saat ini HIMAG berada dalam bayang samar gedung-gedung kampus. Hadir ditengah ramai riuh-rendah tawa mahasiswa dan sembunyi apik dalam dunia maya yang menampilkan identitas tanpa bentuk pasti.
105