BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian
pada
bab
sebelumnya,
dapat
disimpulkan bahwa Banyuwangi merupakan wilayah yang rawan konflik. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi jauh sebelum tahun 1965 dan stigma yang telah berkembang terhadap masyarakat Banyuwangi, yaitu sebagai masyarakat Blambangan
yang
selalu
mengadakan
perlawanan
atau
pemberontakan terhadap segala bentuk penguasaan. Faktor ekonomi yang ditunggangi oleh kepentingan menjadi hal rentan yang dapat menyulut konflik di Banyuwangi. Melalui rumor dapat memunculkan kesenjangan sosial yang berlatar belakang keadaan ekonomi. Kondisi yang seperti ini dapat dimanfaatkan untuk memicu konflik. Konflik yang terjadi di Banyuwangi minim dengan isu yang berkaitan dengan suku dan ras. Sejalan dengan pernyataan Karl Marx, bahwa benturan kepentingan masyarakat yang berafiliasi pada golongan dapat memicu konflik, seperti juga yang terjadi di Banyuwangi. Kekerasan di Banyuwangi terjadi saat konflik antar golongan partai menemui jalan buntu. Hal ini sejalan dengan pendapat Dahrendorf, bahwa kekerasan lebih merupakan manifestasi konflik. Di Banyuwangi, pada bulan Desember 1964 hingga Agustus 1965,
159
sebelum meletusnya kekerasan, masyarakat terseret dalam konflik antar pendukung organisasi politik, yaitu PKI, PNI dan NU. Konflik terjadi karena salah satu pihak tidak terima calon bupati yang diusung kalah dalam pemilihan. Adanya momentum tuduhan bahwa dalang Gerakan 30 September adalah PKI, maka para elit politik non-komunis memanfaatkan situasi untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Melalui kekerasan dengan memanfaatkan massa pendukung dari golongan bawah, para elit politik di Banyuwangi dapat menyingkirkan musuh politiknya. Kekerasan 1965 di Banyuwangi tergolong baru, namun konflik yang ada merupakan konflik yang sudah ada dan berlarutlarut tidak kunjung selesai. Apa yang dikatakan oleh Hobes bahwa organisasi sosial mengarahkan dan menentukan tindakan apa saja yang paling tepat untuk mereka, termasuk kapan kekerasan dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Banyuwangi, faktor politik lokal saat itu terkait kuat dalam terciptanya kekerasan arus bawah. Kepentingan politik saat meletusnya kekerasan di Banyuwangi tidak lebih dari perebutan kedudukan Bupati Banyuwangi,
maka kekerasan
dimanfaatkan dalam menggulingkan Bupati yang sah melalui perpecahan antar masyarakat. Keterlibatan elit lokal dalam kekerasan yang telah terjadi di Banyuwangi juga ditunjukkan dengan pembentukkan kelompok vigilante dari koalisi ormas. Pada
160
awalnya
kelompok
yang
dibentuk
bernama
Front
Bersatu.
Kemudian sesuai dengan peraturan darurat saat itu dibentuk BKKS, lalu bertransformasi menjadi BKS. Terdapat juga kelompokkelompok vigilante dari koalisi ormas di Banyuwangi yang bertugas digarda depan dalam menghabisi nyawa orang-orang PKI. Apabila dilihat dari pola campur tangan elit politik Banyuwangi dalam kekerasan, maka tidak dapat dihindari lagi bahwa elit politik memainkan peranan penting dalam terciptanya kekerasan arus bawah di Banyuwangi. Kelompok vigilante terdiri dari masyarakat bawah yang secara samar-samar mencoba berperan serta dalam membersihkan simpatisan PKI, namun masyarakat bawah yang menjadi pelaku ini tidak menyadari sedang mengambil bagian dalam peran kejahatan tindak kekerasan di Banyuwangi. Ditinjau dari latarbelakang kehidupan masyarakat, ketegangan politik yang terdapat di Banyuwangi hanya pada kalangan elit lokal Banyuwangi saja, sedangkan
masyarakat
bawah
hanya
disibukkan
dengan
kesenjangan sosial yang disebabkan karena faktor ekonomi. keresahan
atas
ketidakpastian
perekonomian
saat
itu
dimanfaatkan oleh kalangan elit politik untuk mencapai tujuannya. Kembali pada pendapat Robert Cribb, bahwa kekerasan 1965 bukanlah sekedar amok, maka melalui pendekatan sosio-psikologis dapat dijelaskan motivasi masyarakat kalangan bawah dalam
161
tindak kekerasan di Banyuwangi: pertama, faktor penyesuaian pada tatanan sosial yang berlaku menjadi motivasi utama pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga sebagian masyarakat yang menjadi pelaku seakan mejadi ikut-ikutan agar tidak berbeda dengan masyarakat masyoritas yang ada dilingkungannya, dalam psikologi sosial, gejala ini disebut konformitas. Kedua, Adanya sebuah kepatuhan terhadap orang yang memiliki strata sosial tinggi, dalam kasus Banyuwangi kepatuhan banyak terdapat pada kalangan santri terhadap kyai. Pada tahun 1960an, para kyai di Banyuwangi banyak berperan dalam perpolitikan lokal. Ketiga, secara berkelompok motivasi muncul dari dibangkitkannya amarah masa lalu dan ketimpangan-ketimpangan yang dilakukan oleh orpol PKI, yang kemudian kemarahan tersebut diluapkan kepada para simpatisan PKI. Pada awal tahun 1966, kekerasan langsung di Banyuwangi mulai mereda. Kekerasan yang terjadi mengakibatkan luka-luka ataupun kematian terhadap korban tindak kekerasan, selain itu adalah ketakutan dan trauma psikis. Kekerasan di Banyuwangi menjadi sebuah warisan, hal ini karena praktek kekerasan masih berlanjut di Banyuwangi. Melalui kekerasan struktural, praktek kekerasan masih dijalankan terhadap simpatisan PKI. Para korban kekerasan diasingkan oleh masyarakat non-komunis, dan belum lagi
pemerintah
Indonesia
menjalankan
politik
penanaman
162
kebencian terhadap para korban pergolakan 1965. Beriringan dengan penanaman politik kebencian tersebut, pemerintah lokal Banyuwangi
membangun
sebuah
monumen
sebagai
bentuk
legitimasi. Legitimasi yang dibentuk oleh elit lokal Banyuwangi sebagai upaya menstigmakan para simpatisan PKI. Dampaknya para
korban
yang
dituduh
sebagai
simpatisan
PKI
tidak
mendapatkan tempat seutuhnya sebagai masyarakat Banyuwangi, sehingga para korban merasa terasingkan dan sulit mendapat pekerjaan. Hal ini serupa seperti yang diungkapkan oleh Galtung, bahwa kekerasan struktural akan menghasilkan kesengsaraan, alienasi, dan represi. Tesis ini menyimpulkan bahwa kekerasan arus bawah di Banyuwangi adalah kekerasan yang terjadi terhadap kaum komunis, karena adanya kepentingan elit politik lokal Banyuwangi, yaitu NU dan militer lokal yang menginginkan Joko Supaat sebagai Bupati Banyuwangi. Jadi, kekerasan arus bawah di Banyuwangi merupakan produk dari Elit politik lokal Banyuwangi yang terkondisikan
oleh
rumor,
keresahan
dan
krisis.
Untuk
melancarkan kepentingan tersebut, elit politik lokal menciptakan stigmatisasi kiri terhadap PKI sehingga terbentuklah masyarakat yang
ter-marjinal-kan
di
Banyuwangi,
diantaranya
adalah
masyarakat di Kampung Temenggungan dan di Kampung Cemetuk. Untuk melanggengkan stigma bahwa PKI merupakan orang-orang
163
yang kejam, tak beradab dan tak beragama maka para elit politik lokal Banyuwangi menciptakan sebuah monumen sebagai alat legitimasinya. Monumen tersebut berdiri di Dusun Cemetuk dengan nama Monumen Pancasila Sakti Cemetuk. Efek dari stigmatisasi kiri mendorong sebuah desa untuk merubah namanya, ini terjadi pada Kampung Karangasem yang kini berubah menjadi Kampung Yosomulyo. Upaya perubahan nama ini dilakukan agar kampung tidak
diklaim
sebagai
kaum
komunis
dan
menghindarkan
penghuninya menjadi masyarakat yang ter-marjinal-kan akibat stigma, seperti yang terjadi di kampung Cemetuk dan kampung Temenggungan. Tanpa disadari oleh masyarakat Banyuwangi (nonkomunis), stigmatisasi kiri ciptaan elit politik lokal terus-menerus direproduksi menjadi warisan turun temurun kaum komunis hingga kini.
164