BAB V HAK SOSIAL DAN HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-SYA`RÂWÎ
A. Hak Sosial Membicarakan perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial sangat menarik, apalagi dalam masyarakat yang patrilinial. Hak sosial adalah hak yang berhubungan dengan perilaku di masyarakat. Pada kesempatan ini, penulis bahas tentang hak kemanusiaan, hak kerja di luar rumah dan hak sebagai saksi.
1. Hak Kemanusiaan Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dimuliakan oleh Allah, karena mereka berasal dari diri yang satu. Salah satu ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia adalah:
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
2
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan namanya kalian meminta, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Al-Sya`râwî menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: “Allah tidak akan berfirman
kalau tidak berfirman karena dalam surat alZâriyât/51:49 dijelaskan . Sehingga manusia kebingungan dalam memberi arti adakah Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam atau dari jenis Adam, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa, Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam, Sebagian yang lain menyatakan tidak, tetapi dari jenis yang sama, dengan argumen bahwa Allah berfirman dalam al-Tawbah/9: 28 Apakah Allah menjadikan Nabi Muhammad SAW dari diri manusia, tidak, tetapi ia adalah Rasul dari jenis manusia. Sepertinya Allah memberikan isyarat kepada sebuah petunjuk bahwa penciptaan Hawa tanda-tandanya tidak terfahami dari Adam, dan bahwa Allah memberikan penjelasan tentang penciptaan Adam dari tanah dan tahap-tahap penciptaannya sampai menjadi manusia. Oleh karena itu boleh jadi Allah mendakwakannya bentuk Adam sebagai penciptaan jenis awal atau sebagai modal awal, dan kemudian Hawa diciptakan dengan jenis yang sama dengan Adam, sehingga firman Allah berarti yakni diciptakan dari tanah, dan kemudian dibentuk dan seterusnya. Namun demikian, tidak lagi dilakukan percobaan tentang penciptaan Hawa sebagai penciptaan Adam, atau maksud makna berarti dari tulang rusuk, maka hal ini adalah sesuatu yang tidak disaksikan pada awalnya. Sesuatu yang tidak disaksikan oleh manusia, hujjah yang dipakai adalah hujjah dari zat yang menyaksikannya (Allah). Allah mengasihi manusia untuk menjauhkan dari kebingungan prasangka-prasangka dalam masalah ini, yaitu masalah bagaimana manusia diciptakan dan bagaimana manusia datang”1. Selanjutnya al-Sya`râwî menjelaskan:
1
Lihat al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî,, jilid 4, h. 1994-1995
2
3
“Sesungguhnya, perihal penciptaan kalian tidak menjadi urusan kalian. Zat yang menciptakan kalian adalah zat yang memberitahu kalian, maka dengarkan firman-Nya. Oleh karena itu, ketika Darwin datang membawa teori baru untuk merobohkan keterangan dalam firman Allah, yang mengatakan bahwa, asal usul manusia dari kera, maka pertanyaannya, mengapa masih ada kera-kera yang tidak menjadi manusia dan sampai matipun tetap menjadi kera. Pertanyaan ini tidak terjawab oleh Darwin. Karena itu dikatakan bahwa, persoalan penciptaan yang tidak dapat disaksikan, mengharuskan manusia mendengarkan keterangan dari zat yang menciptakan. Allah telah menjelaskan kepada manusia bahwa orang-orang yang menyesatkan pendapat-Nya tentang asal penciptaan dan perihal penciptaan, tidak bersama Allah untuk membantunya pada saat penciptaan, sehingga mereka memberikan kabar kepada manusia tentang perihal penciptaan. Kalau engkau ingin tahu maka ketahuilah bahwa Allahlah yang menceritakan tentang bagaimana kalian diciptakan, dan dari apa kalian diciptakan, dan orang–orang yang mengatakan begini dan begitu mereka adalah orang-orang yang menyesatkan yaitu orang yang menyelewengkan kalian dari kebenaran kepada kebatilan. Kenapa Allah berfirman dengan tidak dengan karena biasanya kalau ada satu hal yang dikembalikan asalnya kepada dua hal, maka terkadang muncul kecenderungan terhadap salah satu di antara dua. Hal ini hanya dikembalikan kepada satu saja, sehingga wajib bagi manusia untuk tidak mempunyai kecenderungan atau kecondongan yang bermacam-macam karena manusia dikembalikan kepada jenis yang satu. Kalaupun penciptaan Adam (laki-laki) adalah kebetulan, apakah kebetulan juga yang terjadi dalam penciptaan yang satunya (perempuan), padahal mereka diciptakan dari genus yang sama?. Mengapa apabila keduanya bertemu dapat timbul perasaan tertentu yang mengakibatkan terjadinya proses pembuahan, dan selanjutnya melahirkan anak?. Semua ini terjadi oleh karena Allah. Mungkin Munich merasa yakin argumentasinya telah dapat mengkanter teori Darwin. Menurut al-Sya`râwî, sesungguhnya alQur‟an telah menyentuh masalah ini ketika Allah berfirman ” “. Hal ini adalah suatu keagungan Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dari genus yang sama tetapi berbeda varietasnya. Apabila keduanya 3
4
“bertemu” maka Allah melahirkan dari mereka laki-laki dan perempuan. Jadi, semua itu adalah proses yang memang disengaja dan diperhatikan oleh Allah, bertujuan dan mengandung hikmah.2 Pendapat al-Sya`râwî tersebut dapat disimpulkan bahwa, Hawa dijadikan dari jenis yang sama dengan Adam, artinya perempuan diciptakan dari spesies yang sama dengan laki-laki. Al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat ini tidak bias jender. Sementara penafsir lain seperti Imam al-Alûsî3
menafsirkan nafs
wâhidah adalah Adam dan Hawa dengan kapasitasnya sebagai pasangan Adam (zawjahâ) diciptakan dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam sebelah kiri. Argumen yang dikemukakan adalah: a. Kedudukan kalimat “wa khalaqa minhâ zawjahâ” dalam rentetan ayat alQur`an sebagai ma’tûf alaih yaitu di’atafkan (dihubungkan) dengan lafaz sebelumnya “khalaqakum” masuk dalam kategori silah al-mausûl sehingga kedua kalimat tersebut saling berkaitan erat dan pengulangan kata kerja “khalaqa” mengindikasikan perbedaan muatan makna, yaitu bahwa penciptaan yang pertama bermula dari asal mula manusia, sedangkan penciptaan yang kedua dengan perantara perkembangbiakkan maddah
2
Ibid., h. 1995-1997.
3Al-Alûsî
lahir di Bagdad tahun 1803 M /1217 H, wafat tahun 1854 M/1270 H.
4
5
(bahan) penciptaan manusia yang awal, sehingga dengan pemahaman yang lebih singkat kata zawj dalam kalimat bermakna Hawa. b. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan secara eksplisit bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dalam riwayat dari ibn „Umar dan juga riwayat al-Syaikhâni (Bukhârî dan Muslim) yaitu
c. Bantahan Imam al-Alûsî terhadap interpretasi Abû Muslim kepada lafaz “minhâ” yaitu dari jenisnya berdasarkan ayat al-Qur‟an dalam surat alNahl/16:72
yang pada akhirnya muncul
permasalahan baru yakni
faedah apakah yang terkandung di balik
pencipataan Hawa dari tulang rusuk Adam padahal Allah sangat mampu menciptakannya dari turâb (tanah)?4 Bahwa hikmah penciptaan Hawa dari bagian tubuh Adam adalah untuk menunjukkan Allah mampu menjadikan manusia dari manusia juga tanpa terjadi proses pembuaian (talqîh) dan kelahiran (tawalud) sebagaimana Allah menciptakan hambanya yang bernafas dari benda mati5.
4Al-Alûsî,
5
Rûh al-Ma`ânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 282-283.
Ibid.
5
6
Ada manfaat, dan hikmah penciptaan manusia dari bagian tubuh manusia lain. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa penciptaan Hawa dari bagian tubuh Adam tidak terlepas dari asrâr6. d. Bantahan Imam al-Alûsî atas anggapan yang tidak beralasan dari pernyataan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam akan mengacu pada pernyataan lain
sebagai
kelanjutannya
yaitu Adam
telah
menikahkan seseorang dengan yang lain7. e. Imam al-Alûsî menggunakan metode berfikir sistematis dan logis, yaitu dengan menggunakan logika sebagai alatnya, sehingga kesimpulannya logis dan benar atau yang dinamakan dengan teori kebenaran ( theory of truth )8. Teori ini ia aplikasikan pada asumsi sebagian ulama berpendapat bahwa Hawa adalah hawariyah (bidadari). Dia tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari hûr
setelah Allah menempatkan Adam di
9
surga. Dari opsi di atas, jika Hawa memang diciptakan dari hûr benar, maka
6Ibid.,
h. 285.
7Ibid. 8Ibid.
9
Hûr bentuk jama` dari hawrâ`, artinya yang memiliki mata yang sangat kontras warna hitam dan putih. Lihat Hans Wehr, A. Dictionary of Modern Written Arabic. Editor J. Milton Cowan, (London: Max Donald & Evans Idd, 1980), h. 212.
6
7
kesenjangan jarak antara penciptaan Adam yang bermula dari tanah dunia dan Hawa yang berawal dari hûr tidak ada, akan tetapi kemungkinan ini terlalu kecil, karena hûr diadakan dari za’far al-jannah (unsur surgawi) sebagaimana dalam beberapa riwayat, sedangkan Adam diciptakan dari tanah dunia. Sementara al-Jalâlain pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat imam Al-Alûsî. Hanya saja ia menguatkannya dengan berbagai periwayatan
yang
mengkisahkan
kronologi
menafsirkan pernyataan al-Qur‟an “ ganti “hâ” dalam
penciptaan
Hawa.
Ia
” adalah Adam dan kata
“wa khalaqa minhâ” kembali kepada nafs wâhidah serta
“zawjaha” adalah Hawa, disebut Hawâ dengan bentuk mad (dibaca panjang dalam kaedah tajwid), karena adanya indikasi tercipta dari makhluk hidup lainnya.10 Adapun lafaz zawj menurut al-Jalâlain dalam pemakaiannya untuk muannas dapat menggunakan salah satu model yaitu “zawj” atau ”zawjah”, akan tetapi frekuensi pemakaian “zawj” untuk menunjukkan muannas dalam standar bahasa Arab yang baku sangat tinggi11.
10
Al-Jalâlain, Al-Sâwî `alâ al-Jalâlain, (Makkah:Dâr Ihya` al-Kutub al-`Arabiyyah Syirkah al-Bâb al-Halabî, t.t.) Jilid 1, h.. 174. 11Ibid.
7
8
Adapun riwayat yang menceritakan kronologi penciptaan Hawa dari Adam adalah bahwa “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam ketika Adam sedang terlelap dalam tidurnya dan ia tidak merasa kesakitan. Pada saat dia terbangun ia menemukan Hawa di sampingnya dan merasa tertarik kepadanya, kemudian ia berkeinginan untuk membentangkan tangannya kepada Hawa, akan tetapi Malaikat menegurnya sampai ia menunaikan maharnya, serta merta ia bertanya “Apa maharnya wahai Malaikat?”Engkau membaca salawat kepada Nabi Muhammad SAW, dalam riwayat lain membaca
salawat
sebanyak
tiga
kali,
bahkan
ada
riwayat
yang
menganjurkan untuk membacanya sebanyak tujuh belas kali“12. Menurut penulis, pendapat tersebut adalah merupakan cerita isrâiliyyât, yang kemungkinan kecil terjadi. Di akhir
ceritanya, ia mengemukakan bahwa, secara implisit
riwayat tersebut memberikan kesan bahwa Rasulullah adalah mediator bagi kelangsungan hidup manusia, termasuk Adam. Kemudian al-Jalâlain mengatakan “Apabila Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri, maka status Hawa adalah saudara perempuan
12
anak-anak Adam dan konsekuensinya siapa saja yang
Ibid., h. 176.
8
9
dilahirkan oleh Hawa tidak ada larangan untuk menikahinya sebagaimana tidak diharamkannya hal ini dalam syari‟atnya”13 Ia menjawabnya bahwa berawalnya Hawa dari Adam tidak bisa dibayangkan seperti adanya anak yang bermula dari proses alamiah antara ayah dan ibu, melainkan proses penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam seperti proses pertumbuhan kurma yang berkembang biak dari biji-bijian, sehingga Hawa tidak dapat dihukumi sebagai saudara perempuan Adam, akan tetapi ia adalah ibu kandungnya14. Pendapat yang senada dengan pendapat di atas adalah pendapat Ibn Kasir15. Ibn Kasîr menginterpretasikan “nafs wâhidah” kepada Adam dan “zawjahâ” kepada Hawa, adapun Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri di saat ia tidur, ketika dia terbangun mendapatinya di sisinya dan merasa ta’ajjub kepada Hawa, kemudian mereka saling menyukai. Ibn Kasîr menukil sebuah asar dari Ibn „Abbâs:
13Ibid.,
14
h. 175.
Ibid., h. 176.
15`Imaduddin Abû al-Fida` Ismâˆil bin Ibn Kasîr al-Qursyiy al-Dimasyqî lahir di Mijdad kota kecil di Busyra tahun 1300 M/700 H, beliau berpendapat kisah isrâiliyyât boleh untuk peringatan dan dijadikan i`tibâr.
9
10
16
Ibn Abî Hâtim berkata: “Ayahku memberitahu kami dan Muhammad bin Muqâtil dan Waki‟ dari Abî Hilal, Abî Hilâl dari Qatâdah, Qatâdah dari Ibn „Abbâs berkata: “Perempuan diciptakan dari lakilaki, oleh karenanya keinginannya terdapat pada laki-laki untuk memenuhi nahmahnya/nafs, sedangkan laki-laki diciptakan dari tanah, maka keinginannya ada pada tanah, karenanya kurunglah isteri-isterimu wahai para lelaki” Terhadap asar
tersebut, penulis berpendapat, nahmah perempuan
tidak hanya kepada laki-laki, demikian juga laki-laki nahmahnya tidak hanya kepada tanah. Asar tersebut perlu dipertanyakan keautentikannya, apalagi pernyataan “Kurunglah isteri-isterimu”. Dalam situasi dan kondisi dewasa ini, perempuan tidak mungkin berada dalam kurungan, sebab perempuan dituntut untuk mendidik putra-putrinya menjadi generasi bangsa yang baik dan taat beribadah, melakukan amar makrûf nahî munkar. Kemungkinan asar tersebut adalah cerita isrâiliyyât, kalaupun asar tersebut harus dipegang teguh, maka dalam tataran pengamalan akan ditinggalkan oleh masyarakat. Sedangkan Wahbah al-Zuhailî17 menafsirkan
surat al-Nisâ’/4:1
dengan penafsiran yang memiliki persamaan maksud dengan pendapat mayoritas mufassirin.
16
Ibn Kasîr, Tafsir al-Qur`ân al-Azîm, (Mesir: Dâr al-Misr li al-Tibâ`ah, t.t.), jilid I,
h. 448. 17Wahbah
al-Zuhailî lahir di Dair `Atiyyah Suria tahun 1932 M/1351 H.
10
11
Kaitannya surat al-Nisâ‟/4:1, ia menyimpulkan bahwa Allah mengingatkan kepada hamba-Nya akan asal-usul yang sama yaitu manusia diciptakan dari satu nafs, sehingga konsekuensinya semua manusia bersaudara tanpa memandang perbedaan fisik atau derivasinya yang pada akhirnya kesamaan tersebut menuntut manusia untuk saling membantu dan meringankan
beban
sesama,
merasa
seperti
yang
dirasakan
oleh
saudaranya18. Ia juga menekankan perempuan pada hakekatnya
pasangan dari
laki-laki. Ia diciptakan daripadanya dan akan kembali kepadaNya. Keduanya saling membutuhkan dan saling bergantung baik perempuan tersebut berstatus ibu, saudara, anak, isteri, keduanya akan melanjutkan kelangsungan hidup dan mencapai kesempurnaanya
atas asas tolong-
menolong. Unsur edukatif di atas diambil berdasarkan dari pemahamannya terhadap surat al-Nisâ/4:1 yaitu bahwa Wahbah berpendapat manusia diciptakan dari nafs wâhidah atau Adam sebagai Abû al-Basyar. Adapun Adam di dunia ini hanya berjumlah satu. Adapun “nafs” mencakup segmen fisik (al-jism) dan non-fisik (alrûh). Kedua komponen nafs ini mempunyai tugas tersendiri. Komponen 18Wahbah
al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr fî al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu`asîr, 1998), Jilid 3, h. 223..
11
12
pertama (fisik) bertugas untuk menjalankan kegiatan material, sedangkan komponen kedua (rûh) memiliki wewenang penuh dalam hal-hal spiritual dan berkaitan erat dengan sesuatu yang abstrak seperti akal, hafalan dan ingatan (memori). Sedangkan “zawj” diinterpretasikan kepada Hawa. Ia diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika Adam dalam keadaan tidur, dan di saat terbangun, ia memandang dan tertarik kepadanya, hal ini berdasarkan riwayat dari al-Syaikhâni, Dari Abî Hurairah Rasulullah bersabda:
Ketika dianalisis dan dicermati makna hadis tersebut, para ulama tafsir berbeda pendapat. Ada yang memahaminya secara harfiyah, yakni ulama klasik, tetapi tidak sedikit yang memahaminya secara metaforis, yakni ulama kontemporer. `Aisyah bintu Syâti` misalnya, menyatakan bahwa, yang mengartikan “Tulang rusuk yang bengkok” menjadi asal kejadian perempuan adalah sangat tekstual dan harfiah. Padahal, menurut bahasa yang dikenal dalam tatanan bahasa Arab, kata “Tulang rusuk” merupakan kata kiasan (majazî bukan haqiqî). Menurutnya, hadis Rasulullah di atas, bukan dimaksudkan untuk menerangkan pengertian tentang asal usul penciptaan, tetapi merupakan
12
13
perintah kepada keturunan Adam
agar
bersikap lembut
terhadap
perempuan, dan peringatan agar tidak memberlakukan secara kasar terhadap perempuan. Contoh lain yang senada dengan hadis tersebut menurut `Aisyah bintu Syâti` adalah hadis Rasulullah, yang artinya: ”(Perlakukan) kaca-kaca itu dengan lembut”. Hal ini apakah berarti perempuan diciptakan dari kaca?. Tentu tidak19. Demikian analisis Bintu Syâti`. Demikianlah pendapat mufassir tradisional, mengartikan surat alNisâ`/4:1 kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam. Dari sini diartikan bahwa, kejadian perempuan adalah ke dua dari laki-laki, yang pada ujungnya menganggap perempuan tidak setara dengan laki-laki. Lebih ironis lagi ada yang mengatakan “Laranglah perempuanmu untuk ke luar rumah”, penafsiran yang demikian perlu direvisi, sebab sudah tidak sesuai dengan keadaan zaman, dengan alasan: -
Dalam kehidupan saat ini perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan yang setara
-
Banyak perempuan yang bertanggung jawab pada semua masalah baik dalam rumah tangga dan maupun masyarakat. 19
`Aisyah Bintu Syâti`, Maqal fî al-Insân: Dirâsah Qur`âniyah, (al-Qâhirah: Dâr alMa`ârif, 1969), h. 39.
13
14
-
Kalau penafsiran yang menjadikan inferior terhadap perempuan tidak direvisi, maka pada akhirnya nanti al-Qur`an akan ditinggalkan oleh masyarakat. Sedangkan penafsir kontemporer, di antaranya al-Sya`râwî yang
tersebut di atas, Muhammad `Abduh dan Muhammad Rasyid Rida20 dalam tafsîr al-Manâr berpendapat bahwa, penafsiran “nafs wâhidah” kepada Adam bukan inti yang terkandung dalam ayat, baik secara implisit maupun eksplisit, karena kata nafs wâhidah bila diinterpretasikan kepada Adam akan simpang siur. Apabila kontek ayat tersebut dipahami sebagai Adam, maka konsekuensinya, kata yang datang sesudahnya harus
dituliskan dengan
bentuk ma’rifat, akan tetapi dalam tataran realita ayat tersebut ditulis dengan bentuk nakirah. Bagaimana mungkin suatu lafaz memuat makna “Adam” (sudah diketahui), sedangkan khitab ayat mencakup keseluruhan manusia sebagaimana yang disitir diawal ayat dan juga
penafsirannya
20Muhammad `Abduh lahir di Mahallat Nasyr Mesir tahun 1849 M wafat tahun 1905 M, sedangkan Muhammad Rasyid Rida lahir di al-Qalamun suatu desa dekat Tripolo Syria tahun 1865 M dan wafat tahun 1935 M.
14
15
dengan belum tentu diketahui oleh seluruh manusia, sebagaimana yang tersirat dalam khitab ayat21. Adapun khitab yang kembali kepada manusia seperti yang tertera di ayat “ya banî Âdam” tidak bertentangan dengan pemahaman ayat di atas dan bukan merupakan bukti autentik dari pernyataan bahwa semua manusia adalah anak dari Adam, karena proporsi penafsiran khitab dalam konteks ayat, secara aklamasi
memang meruju‟ kepada anak cucu Adam pada
zaman tanzîl (masa diturunkannya ayat). Al-Qur‟an tidak mempunyai nas-nas qat’î yang menyebutkan secara gamblang bahwasanya semua manusia (basyar)
merupakan anak cucu
Adam. Menurut Muhammad Rasyid Rida, secara positif umat Islam dengan kapasitasnya sebagai umat yang mempercayai validitas al-Qur‟an sebagai sumber dan pegangan sesuai dengan statusnya sebagai “hudâ” selayaknya memahami ayat al-Qur‟an sesuai dengan pesan yang terkandung di dalamnya, tidak menambah dan mengurangi interpretasi ayat sehingga menimbulkan anggapan inferior terhadap al-Qur‟an.
21Muhammad `Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr alKutub al-`Ilmiyyah, 1999), Jilid 3, h. 264-270.
15
16
Apabila Allah dalam hal ini menyebutkan dalam ayat dengan lafaz yang mubham “nafs”, maka merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam untuk membiarkannya dalam bentuk yang asli. Adapun penelitianpenelitian orang Inggris yang menyimpulkan bahwa setiap spesies pasti memiliki “abun” (asal mula dari spesies „bapak‟) tidak termaktub secara implisit dalam al-Qur‟an dan keabsahannya perlu dianalisis secara berkesinambungan, karena mereka hanya bertujuan untuk melemahkan ajaran Islam dengan perantara menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur‟an secara diskriminatif. Adapun “nafs” secara kontekstual dengan tanpa melihat riwayatriwayat dan taqalid yang bebas dari konflik adalah lafaz nakirah, lafaz ini mempunyai muatan bahwa dia adalah mâhiyah asal mula insan yang memiliki kelebihan dari ciptaan Allah lainnya, baik ia berawal dari Adam seperti anggapan ahli kitab dan mayoritas umat Islam, atau dari yang selain Adam dan bermetamorfosis secara turun-temurun sebagaimana pemahaman Syi‟ah dan Sûfiyah, atau dimulai dari berbagai asal usul sehingga tercipta suatu komunitas dengan tanpa ada fluktuasi penciptaan di antara usul tersebut, atau bermula dari ciptaan yang independen sebagaimana yang masih diperdebatkan oleh ulama.
16
17
Terlepas dari hal di atas, Imam Muhammad Rasyid Rida tidak melarang pemahaman bahwa Adam adalah abû al-Basyar. Setiap jenis manusia pasti mempunyai asal muasalnya dari bapak (abun), karena alQur‟an tidak menafikannya dan tidak menentangnya. Hanya saja beliau mengatakan al-Qur‟an tidak menetapkannya dengan dalil yang qat’î. Berangkat dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua manusia diciptakan dari “nafs wâhidah” yaitu insaniyah (jenis manusia) yang mencakup segala bentuk spesies dan ras manusia dan terikat dengan tali persaudaraan dan mawaddah dengan tanpa memandang asumsi Adam atau kera sebagai asal muasalnya. Sebagai konsekuensi logisnya, kata ganti “hâ” pada lafaz “ ” kembali kepada nafs atau salah satu dari dua pasangan, atau menjadikan huruf “wau” sebagai huruf ataf (kata penghubung) kepada mahzûf (sesuatu yang dihilangkan) yang sesuai dengan kontek ayat yaitu, (menentukan hakikatnya terlebih dahulu kemudian menciptakan pasangan darinya). Dari paparan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa mufassir tradisional
berpendapat
bahwa,
laki-laki
dan
perempuan
hak
kemanusiaanya tidak setara, dalam arti laki-laki posisinya superior, perempuan inferior. Sementara pendapat mufassir kontemporer berbeda, 17
18
artinya laki-laki dan perempuan mempunyai hak kemanusiaan yang sama dan posisi setara. Menurut hemat penulis, kejadian Hawa adalah sama jenisnya dengan Adam. Artinya laki-laki dan perempuan adalah setara, tidak ada yang inferior dan superior. Kalaupun pendapat tentang kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam yang paling bengkok, dan itu berdasar hadis sahih, bukan berarti Hawa atau perempuan inferior, karena kalau demikian, maka apakah kejadian Adam dari tanah, itu berarti tanah lebih mulia dari Adam?. Tentu tidak demikian. Jadi, asal kejadian tidak dapat dipakai dasar untuk menentukan inferior dan superior. Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan adalah hamba Allah yang setara dan mempunyai hak kemanusiaan yang sama dalam pandangan Allah. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa,
“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan kalian sebagian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang diberikan kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(AlAn`âm/6:165) Menurut al-Sya`râwî: 18
19
“ khalifah adalah sesuatu yang datang pasca yang terdahulu. Hal ini dapat berupa batas ruang dan batas waktu. Adapun batas waktu dikatakan sebagai khalifah, jika ia datang sesudah batas yang lain. Sedangkan batas ruang, misalnya adalah siklus kehidupan, dalam arti sistem kehidupan manusia yang lebih menekankan pada regenerasi. Yaitu manusia di awal perjalanannya mengalami masa remaja, kemudian lambat laun masa ini berganti yaitu masa dewasa, dan masa remaja diduduki oleh generasi sesudahnya, demikian juga silkus yang bersinggungan dengan batas ruang, manusia pada awalnya menguasai satu tempat dan pada akhirnya digantikan dengan manusia lainnya. Adapun format kekhalifahan yang dikehendaki adalah kekhalifahan manusia atas Tuhannya yang diimplementasikan dalam karya nyata di muka bumi, bukan kekhalifahan manusia atas lainnya dari jenis manusia, karena segala sesuatu yang berada di dunia, kejadiannya bermula dari kehendakNya. Oleh sebab itu sebagian makhluk hidup atau benda mati bermetamorfosis dan melakukan proses dengan sendirinya. Sesungguhnya siklus ini terjadi, karena Allah telah menjadikan semua yang ada di dunia dan menundukkannya kepada manusia, di samping realisasi dari hukum kausalitas (hukum sebab akibat) yang ditentukan olehNya. Kondisi yang demikian mengindikasikan kekhalifahan manusia atas kehendakNya untuk membuktikan bahwa Allah mempunyai hak prerogatif atas semuanya di atas bumi. Dalam kaitannya dengan hal ini, manusia sebagai obyek dari konsep kekhalifahan seyogyanya menganggapnya sebagai permasalahan yang tidak layak diperdebatkan lagi”.22 Akhirnya dapat dipahami bahwa semua gerak-gerik manusia bergantung pada organ tubuh, dan organ ini adalah anugerahNya. Allah terkadang mengambil sebagian anugerah kepada sebagian manusia, seperti instruksi kepada otak untuk melakukan sesuatu, namun sasaran ini
22
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 7, h. 4026.
19
20
mengalami kerusakan yang pada gilirannya instruksi tersebut tidak dapat dijalankan. Andaikata perihal ini berasal dari kekuasaan manusia di kali pertama prosesnya, maka manusia tersebut pasti mampu menanggulangi sendiri tanpa campur tanganNya. Kesimpulan terakhir adalah bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, yang melakukan sesuatu dengan kehendakNya. Allah berkendak membumikan konsep kekhalifahan ini atas manusia dan mencabutnya. Selanjutnya al-Sya`râwî menjelaskan: “ , ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam strata realisasi konsep kekhalifahan tidak menempati posisi yang sama, tetapi seyogyanya manusia melakukan sebuah proses menuju ke perkembangan potensi yang paripurna dan yang saling komplementer, karena jika manusia tidak membuat perubahan yang berarti dan mengembangkan bakat yang terpendam yang pada gilirannya memotivasi munculnya potensi yang tak terhitung oleh nominal, maka kehidupan ini akan musnah”.23 Oleh karenanya potensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi seharusnya beragam, karena tuntutan kebutuhan kehidupan yang sangat komplek. Jika setiap individu bercita-cita menjadi dokter, maka siapa yang akan menangani permasalahan lainnya.
23
Ibid., h. 4027.
20
21
Setiap individu pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal ini lebih disebabkan oleh kehendak Allah, agar manusia saling melengkapi dan komplementer dalam segala segmen kehidupan dapat saling membantu. Pengangkatan derajat berdasarkan teks ayat adalah ujian bagi hambaNya atas nikmat potensi yang dianugerahkan kepada manusia, dalam rangka
proses
pembelajaran
ilmu
Allah
pada
zaman
azali
yang
direalisasikan dalam tataran praktis. Allah sejak dahulu telah mengetahui apa yang akan diberbuat manusia. Adapun maksud yang terkandung dalam kalimat
adalah menguji dengan harapan agar si pelaku konsisten
dengan amalannya. Sesungguhnya pahala dan siksa akan terjadi pasca fase kematian. Kematian bukan sebab yang patut dikambinghitamkan, karena pada dasarnya semua manusia pasti akan mengalami kematian24. Paparan deskriptif di atas menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, selayaknya saling tolong menolong dan melengkapi.
Dalam arti setiap manusia pasti memiliki
potensi yang tidak dimiliki individu lain. Sebaliknya yang pada gilirannya menuntut adanya hubungan timbal balik antar sesama, sehingga dapat
24
Ibid.
21
22
dipahami, sebagian manusia mempunyai kelebihan dan menduduki tingkatan yang lebih tinggi. Sementara dalam ayat lain dijelaskan,
“Dan Kami berfirman: “Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan yang banyak lagi baik dimana saja kamu sukai dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”.(Al-Baqarah/2:35) Menurut al-Sya`râwî: “Ayat ini mengkaji lebih detail tentang ujian keimanan sebagaimana disinyalir pada penjelasan sebelumnya. Allah menjelaskan perihal halal dan haram dan mengingatkan akan bahaya godaan iblis, dan juga mengajarkan cara bertaubat dan memohon ampun kepadaNya, sehingga hambaNya mengetahui bahwa Allah sekali-kali tidak pernah menutup pintu taubat. Adapun pernyataan-pernyataan yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa tidak layak dianggap benar, karena ayat-ayat yang bersinggungan dengan cerita kosmis selalu menekankan kedua belah pihak yaitu Adam dan Hawa secara aktif. Dalam arti ayat-ayat al-Qur‟an menyebutkan Adam dan Hawa sebagai pelaku dan bertanggungjawab secara bersamasama, sebagai bukti konkret al-Qur‟an selalu menggunakan kata ganti (dua orang) sebagai kata ganti”25. Menurut penulis, al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat di atas tidak bias jender, terbukti dengan penafsiran bahwa laki-laki dan perempuan,
25
Ibid., jilid 1, h. 258-266.
22
23
keduanya bertanggungjawab atas semua perbuatan. Kesalahan tidak hanya berada di pihak perempuan.
2. Hak Bekerja di luar Rumah Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan sosial. Fenomena ini diklaim sebagai simbol equality (keadilan) antara lakilaki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan dan persamaan hak di segala bidang, tetapi agama masih sering dijadikan dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equaty), dan
memarjinalkan
peran
perempuan
dalam
bidang-bidang
yang
bersinggungan dengan publik. Kaitannya dengan peran ganda yang diambil oleh perempuan, para ulama banyak mempertanyakan apakah formasi kesetaraan bagi perempuan seperti bekerja di luar rumah tidak bertentangan dengan firman Allah:
“…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”
“Kaum laki-laki itu adalah bertanggung jawab (pelindung) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka 23
24
(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” Sebenarnya, Islam membolehkan perempuan melakukan peranperan yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya, karena Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apapun, termasuk hal pekerjaan. Pekerjaan yang ada sekarang tidak semua terdapat pada masa Nabi, namun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan perempuan aktif
dalam berbagai kegiatan atau bekerja dalam berbagai
bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan serta dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghilangkan dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Atau dengan perkataan lain, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama normanorma agama dan susila tetap terpelihara. Al Qur`an menjelaskan:
“Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan oleh Allah kepada sebagian kalian dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka kerjakan, dan bagi para 24
25
perempuan ada bagian dari apa yang mereka kerjakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Al-Nisa`/4:32) Ayat tersebut ada sabab al-nuzulnya. Dalam suatu riwayat, Umu Salamah berkata:"Kaum laki-laki berperang, sedang perempuan tidak, dan kamipun perempuan hanya mendapat setengah bagian warisan laki-laki". Allah menurunkan ayat ini, sebagai teguran agar tidak iri hati atas ketetapan Allah. Dan sebagai penjelasan bahwa Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki
dan
perempuan
dalam
mendapat
ampunan
dan
pahala.
Diriwayatkan al-Tirmîzî dan al-Hakim, bersumber dari Umu Salamah26. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah SAW dengan berkata:"Ya Nabiyyallah! Lakilaki mendapat dua bagian kaum perempuan dalam waris, dan dua orang saksi perempuan sama dengan seorang saksi laki-laki, apakah di dalam beramal pun demikian yaitu pahala amal perempuan setengah dari pahala amal laki-laki?" Maka Allah menurunkan ayat tersebut, sebagai penegasan bahwa laki-laki dan perempuan akan mendapat pahala yang sama sesuai dengan amalnya. Diriwayatkan Ibn Abi Hâtim bersumber dari Ibn `Abbâs27
26
Abî al-Hasan `Ali bin Ahmah al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzul, op. cit., h.
27
Ibid.
99.
25
26
Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: ”Telah diketahui bahwa manusia itu terdiri dari dua golongan, yaitu laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai aktifitas yang sama dan aktifitas yang khusus di antara mereka, Kedua golongan itu adalah manusia yang sama-sama memiliki kemuliaan dan kemerdekaan keyakian/akidah, sehingga seyogyanya seorang lakilaki tidak menyakiti perempuan karena perbedaan akidah. Seperti yang diceritakan al-Qur`an tentang isterinya Nabi Nuh, Nabi Lut dan isteri Fir`aun.28
Dari pendapat tersebut, dapat di lihat bahwa al-Sya`râwî memberikan kebebasan kepada perempuan dan laki-laki untuk berakidah, karena nanti akan menerima hasil amalan berdasar akidahnya sendiri. Hal tersebut adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, tersirat
adanya
kebebasan dalam bekerja masalah dunia bagi perempuan dan laki-laki, karena mereka menerima hasilnya sendiri. Berikutnya Al-Sya`râwî menambahkan: “Kesuksesan seorang laki-laki dan perempuan, apabila keduanya mampu melaksanakan tugas-tugas menurut kodratnya. setelah itu perhitungan pahala dan siksa adalah menurut kadar beban tugas masing-masing, suatu contoh yang menjelaskan perbedaan tugas lakilaki dan perempuan yaitu ketika seorang laki-laki yang isterinya marah atau sedang sakit, sedang mereka masih memiliki anak yang menyusu, apakah laki-laki bisa menyusui anak itu, tentu saja “tidak”, karena masing-masing memiliki tugas. Orang yang berakal adalah
28
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, h.2192.
26
27
orang yang memuliakan mahluknya”29.
kodrat
pemberian
Allah
kepada
Dalam hal ini al- Sya‟râwî berkomentar dalam kitabnya Al-Mar`ah fî al-Qur`ân sebagai berikut: “Seorang isteri terkadang menegaskan bahwa “Aku bekerja untuk meringankan beban suami”, namun fakta memperlihatkan yang demikian tidak meringankan beban yang ditanggung oleh suami, justru menambah tanggungjawab. Adalah kewajiban bagi suami untuk menghidupi keluarganya, sehingga bekerja bagi suami merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan, bagaimana mungkin isteri akan mengurangi beban suami sedangkan suami senantiasa bekerja untuk menanggulangi kendala kehidupan yang tidak akan berakhir?. Adapun pengaruh negatif lainnya adalah jikalau perempuan ditugaskan mencari rizki, secara tidak langsung ia mengemban tanggungjawab yang kurang proposional dan di atas kemampuannya, karena dengan demikian ia akan berposisi sebagai pencari nafkah dan pendidik serta pengasuh rumah tangga, artinya pihak perempuan akan menanggung peran domestik dan publik sekaligus, dalam sekala kecil ia tidak akan mampu mengerjakan tugas ganda dengan maksimal. 30 Al-Sya`râwî menambahkan, “Seorang perempuan pasca bekerja di luar rumah akan merasa lelah, padahal ia seharusnya menyiapkan makanan dan membimbing anak serta mengurus rumah tangganya, kemudian apabila tugas terselesaikan dan suaminya pulang ke rumah, suami mendapati isterinya dengan wajah yang kurang enak dilihat. Sedangkan suami pasti membutuhkannya guna memperoleh ketenangan dan kasih sayang, akan tetapi ia disambut dengan muka muram tidak menyambut dengan senyuman mesra, dengan demikian si 29 30
Ibid., h. 2198. Al-Sya`râwî, Al-Mar`ah fî al-Qur`ân, op. cit., h. 22.
27
28
perempuan telah melalaikan tugasnya sebagai isteri. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap konsep tugas dan peranan perempuan dalam kehidupan.”31 Al-Sya‟râwî menegaskan: “Apabila seorang isteri berkeinginan mengangkat derajat kehidupan rumah tangganya, dibolehkan bekerja dengan syarat pekerjaan yang diambil tidak melalaikan tugas domestik sebagai isteri dan ibu, dan juga pekerjaan ini tidak diklaim sebagai peran dominan bagi seorang isteri.”32 Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki suami, dia tetap diharuskan untuk mengambil posisi sebagai kepala keluarga, dan bekerja dengan mengembangkan potensinya. Adapun guna meningkatkan income rumah tangga, seyogyanya suami mengetahui di bagian ia berada di antara lapisan masyarakat, dan apabila pemasukan tersebut belum memberi sesuatu yang berarti, maka ia wajib mengambil pekerjaan lain sebagai sampingan. Menurut al-Sya`râwî: “Islam mengajarkan suasana kehidupan yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian, sebagai implementasi dari konsep kehidupan yang sarat dengan kedamaian. Islam mempercayakan tugas ini kepada kaum perempuan, sehingga mereka adalah kaum
31
Ibid., h. 23.
32
Al-Sayyid al-Jâmiliy, al-Syekh Mutawallî al-Sya‟râwî, al-Fatâwâ Kullu Mâ Yahummu al-Muslim fî Hayâtihi Yaumihi wa Gadihi, (al-Qâhirah : Dâr al-Fath li al-I‟lâm al-„Arabî, 1997 M/1417 H), h. 19.
28
29
yang bertangunggjawab penuh atas tugas domestiknya yaitu menciptakan ketenangan dan kasih sayang dalam rumah tangga. Sedangkan pemikiran barat menyuruh perempuan untuk terjun bersama laki-laki dan berkompetisi dalam perihal perolehan harta yang pada gilirannya menimbulkan dampak negatif bagi perempuan secara personal dan suami serta anak-anaknya sebagai anggota institusi terkecil”33. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, al-Sya`râwî tidak melarang perempuan bekerja. Tetapi
tugas utama perempuan
adalah
pekerjaan di rumah, mendidik anak, serta menjadi tempat berteduh suami di rumah. Menurut penulis, pekerjaan di rumah tidak hanya tugas perempuan atau isteri, tetapi dijalankan bersama-sama antara isteri dan suami, apalagi masalah mendidik anak, karena anak tidak hanya mengharapkan uluran tangan dari ibu saja, juga dari bapak. Demikian juga ketenangan dalam rumah tangga tercipta kalau suami isteri saling mengerti dan memahami, bukan hanya dibebankan kepada isteri. Bekerja bagi perempuan tidak ada masalah, tetapi harus dapat membagi waktu antara keluarga dan bekerja. Bekerjapun tidak harus keluar rumah, karena ada pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah, misalnya membuat tulisan yang berjam-jam di muka komputer.
33
Al-Sya`râwî, Al-Mar`ah fî al-Qur`ân, op. cit., h. 27.
29
30
Permasalahnnya membagi waktu yang dikhususkan untuk keluarga dan anak. Dalam hal ini, tidak harus bertatap muka dengan anak, karena era industri, anakpun di tempat yang jauh dengan menggunakan handphone. Jadi yang penting bagaimana memenej antara kerja dan keluarga. Bekerja bagi perempuan yang menjadi isteri dalam rumah tangga adalah dalam rangka saling membantu, terutama saling menghidupi anak ketika salah satu meninggal dunia lebih dahulu. Raitoh isteri sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Mas`ud aktif bekerja, karena suami ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga.34 Perempuan pada masa Nabi, aktif dalam berbagai pekerjaan, seperti Umu Salim sebagai perias pengantin, Khadijah binti Khuwailid, sebagai pedagang terkenal dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan diperbolehkan untuk bekerja. Secara global, Islam mengakui eksistensi perempuan. Kaitannya dengan pengakuan tersebut, Islam mengangkat derajat dan martabat perempuan dengan memberikan kebebasan dan mengakui karakteristik perempuan serta menghormati hak-haknya.
34
`Abbas Karârah, Al-Dîn wa al-Mar`ah, ( t.t, Syirkah Fan al-Tiba`ah, 1373 H), Juz 1,
h. 63.
30
31
Islam mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua komponen yang saling komplomenter bukan saling kontradiktif, Islam juga mengingatkan bahwa kebobrokan dalam masyarakat merupakan implikasi dari pemahaman salah kaprah terhadap posisi laki-laki dan perempuan sebagai insan independen dan sosial.
3. Hak Sebagai Saksi Masalah saksi telah menjadi isu
perdebatan yang sangat panas
dalam teologi Islam. Mengenai kesaksian dilaksanakan oleh dua orang lakilaki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam al-Qur‟an:
31
32
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kalian jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kalian; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah/2:282) Al-Sya`râwî menafsirkan ayat ini bahwa: “Allah menegaskan di surat terpanjang dalam al-Qur‟an perihal persaksian dalam utang-piutang dengan dua orang laki-laki, ketika tidak ditemukan dua orang saksi laki-laki, Allah telah menentukan sebagai gantinya satu laki-laki dan dua perempuan.
32
33
Kaitannya dengan hal tersebut, Allah menyuruh hamba-Nya untuk melaksanakan perintah dalam hal persaksian sesuai dengan kemampuannya, yaitu apabila kondisi untuk memberikan persaksian dalam kasus utang-piutang dengan dua orang laki-laki tidak memungkinkan, maka dianggap sah persaksian satu laki-laki dan dua perempuan yang disepakati. Adapun argumen atas persaksian dua perempuan sebagai ganti dari satu laki-laki yaitu, persaksian merupakan bentuk interaksi yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat luas, guna memberikan data akurat dan mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sedangkan perempuan dalam skala mayoritas jarang sekali bersinggungan dengan hal ini, karena karakter perempuan pada dasarnya tidak bergumul dengan perihal persaksian, bahkan ia sebenarnya tidak memiliki tali hubungan dengan praktek pemberian kesaksian. Kendati demikian apabila kesaksian perempuan diperlukan, maka harus diwakili oleh satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini didasari oleh fenomena riil perempuan yang memang karakter awalnya tidak berkecimpung dengan permasalahan ekonomi. Oleh karenanya Allah menggantikan satu laki-laki dengan dua perempuan, juga agar sikap timbal balik antara keduanya tumbuh dan berkembang dalam arti, ketika ia lupa maka perempuan yang lain mengingatkannya dan mengkaji ulang tindakannya tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh ketidakharusan perempuan untuk berinteraksi dengan masyarakat luas khususnya hal-hal yang berkenaan erat dengan pekerjaan.35 Disamping itu, al-Sya`râwî juga berpendapat dalam bukunya AlMar`ah fî al-Qur`ân bahwa: “Banyak kaum akademisi dan ilmuwan bertanya-tanya kenapa persaksian satu perempuan yang berhasil meraih gelar MA atau Dr dinilai sama dengan persaksian setengah satpam berkelamin laki-laki, kendati dia tidak bisa membaca dan menulis, jargon ketidakadilan dalam persaksian ini sering digembar-gemborkan hampir di setiap 35
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya’râwî, jilid 2, h. 1211 – 1216.
33
34
kesempatan, sedangkan mereka tidak memahami makna hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an, Kalimat “syahadah” diambil dari yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat mata, adapun atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran. Berkaitan dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti M.A. atau Dr. dengan hambaNya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan kecerdasan akal. Karakter perempuan pada awalnya terangkum dalam sebuah tirai, dalam arti perempuan pada hakekatnya tidak dibolehkan terjun dalam medan yang bercampur dengan laki-laki seperti medan pertempuran dan pertengkaran. Hal ini lebih disebabkan oleh hal-hal di bawah ini : 1.Perempuan tercipta dengan penuh kelemahan, dalam arti perempuan tidak memiliki bakat atau kemampuan untuk berkecimpung dalam dunia keras. 2.Perempuan sangat berperasaan, pada gilirannya dia akan merasa tersiksa dengan segala bentuk kekerasan. 3.Partisipasi perempuan dalam dunia yang keras berdampak negatif pada kehormatannya. Perasaan yang berkapasitas dominan pada perempuan merupakan sumber kasih sayang dan kebahagiaan bagi keluarga sebagai institusi terkecil dari masyarakat, pengaturan fluktuasi perasaan membutuhkan pengorbanan luar biasa, namun hikmahnya yang terkandung sangat besar, dalam arti kekuatan ekspresi perasaan pada kaum perempuan lebih kuat dibanding penggunaan perasaan pada kaum laki-laki, dimaksudkan agar keseimbangan dan kesinambungan tercipta dalam masyarakat.36 Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena, ia melihat perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan dengan
36
Al-Sya`râwÎ, Al-Mar`ah fi al-Qur`ân, op. cit., h.29-31.
34
35
keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan berpendapat lain. Memang ayat ini harus difahami hanya berkaitan dengan masalah keuangan. Menurut Muhammad Assad:”Ketentuan satu laki-laki digantikan dua orang perempuan tidak memberikan cerminan apapun mengenai kemampuan moral atau intelektual perempuan. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa perempuan kurang akrab dengan prosedur bisnis dibandingkan dengan laki-laki, karena itu ada kemungkinan melakukan kesalahan dalam hal ini”.37 Demikian juga Muhammad `Abduh berpendapat serupa.38 Harus dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan,
(Tulislah
muamalahmu
itu),
kecuali
jika
muamalah
itu
37
Muhammad Assad, The Massage of The Quran (London: Macmillan, 1980), h. 63
38
Muhammad `Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manâr, op. cit., jilid 3, h.
124.
35
36
perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”. Transaksi tertulis itu diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan atau pengingkaran di kemudian hari.39 Dari sini diketahui bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan untuk menjamin kontrak secara jelas diperlukan kesaksian dan penulisan. Dalam transaksi yang langsung atau jangka pendek tidak ada salahnya kalau kontrak itu tidak ditulis dan tidak disaksikan. Adalah sangat ironis kalau hal tersebut dipergunakan sebagai alasan untuk membuktikan inferioritas perempuan. Karena menurut `Abbâs Mahmûd al-`Aqqâd, tujuan kesaksian adalah untuk menegakkan keadilan, menjaga kebenaran dan menciptakan kemaslahatan 40. Sesuatu yang perlu diperhatikan yaitu, ayat itu menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu,41 karena pada masa turunnya ayat itu
39
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur`ân Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1997), cet ke-1, h. 90. 40 `Abbâs Mahmûd al-`Aqqâd, Al-Mar`ah fî al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al`Arabî), h.100. 41
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogykarta: LSPPA, 2000), cet ke-2, h. 98.
36
37
selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang pengalaman dalam masalah keuangan. Demikian juga pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk „mengingatkan‟ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya.42 Pembicaraan tentang saksi dalam ayat ini adalah spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan lain.43 Menurut penulis, dalam perspektif hermenitik ayat 282 surat alBaqarah yang berbicara tentang syahadah (saksi) harus dilihat sebagai respon terhadap fakta sejarah pada saat mana ayat tersebut turun. Dengan demikian ketika fakta sejarah telah berubah, maka tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan reinterpretasi terhadap ayat tersebut, dengan melihat secara konprehensif terhadap semua lingkar konsentris hermenotisnya, yakni hal-hal 42
Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman, (Kualalumpur: Fajar Bakti SDN.BHD, 1992), h. 85. 43
Ibid., h. 86.
37
38
yang melatarbelakangi teks maupun hal-hal yang melatarbelakangi pembaca (penafsir) yang selalu terkait dengan waktu dan tempat tertentu. Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an44,
yang
menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu: a. Al-Mâidah/5 ayat 106 saksi tentang wasiat bagi orang yang akan mati hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi, tidak dijelaskan jenis kelamin apakah laki-laki atau perempuan, dengan kalimat
berarti dua
saksi itu dapat keduanya laki-laki, keduanya perempuan atau satu lakilaki dan satu perempuan,
yang dipentingkan adalah adil dan dapat
dipercaya. Saksi masalah
wasiat
adalah kewajiban,
seandainya
Allah
memandang rendah kepada perempuan, maka dijelaskan perempuan tidak dapat diberi tanggung jawab. Dengan demikian jelaslah bahwa dua saksi perempuan sebagai ganti satu saksi laki-laki yang tertera dalam alQur`an surat al-Baqarah ayat 282 itu mempertimbangkan situasi dan
44
Aftab Husain, Status of Woman in Islam, (Lahore: Sage Pulications, 1987), h. 278.
38
39
kondisi serta konteks yang khusus, bukan karena inferioritas intelektual atau moral perempuan. b. Al-Mâidah/5 ayat 107 menerangkan apabila keempat saksi itu curang, maka dapat diganti saksi dari kalangan ahli waris tetapi disyaratkan dengan sumpah. c. Al-Nisâ`/4 ayat 15 menerangkan tentang perbuatan keji harus disaksikan 4 (empat) orang saksi, tidak disebutkan jenis kelamin, memakai kalimat yang berarti laki-laki atau perempuan. d. Al-Nûr/24 ayat 4 menerangkan mereka yang menuduh perempuan berbuat keji, harus disaksikan 4 (empat) orang saksi, e. Al-Nûr/24 ayat 6 menyebutkan mereka yang menuduh isterinya berbuat keji, dan tidak dapat mendatangkan 4 (empat) saksi, sebagai gantinya adalah memakai sumpah 4 (empat) kali. f. Al-Nûr/24 ayat 8 menerangkan isteri yang dituduh berbuat keji, untuk menyatakan bahwa suaminya pembohong adalah memakai sumpah 4 (empat) kali, dengan demikian, seorang perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk menjadi saksi, tetapi dapat juga membatalkan kesaksian laki-laki, karena sumpah dilakukan sebagai ganti saksi. g. Al-Talâq/65 ayat 2 menjelaskan tentang perempuan yang cerai setelah mendekati habis iddahnya, apakah ruju` atau pisah, diperintah untuk 39
40
memakai saksi dua orang yang adil dengan istilah menegakkan kesaksian itu karena Allah. Kata
, dan
tidak menunjuk jenis
kelamin, artinya boleh dua laki-laki, dua perempuan atau satu laki-laki dan satu perempuan Berdasar ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya,
khususnya
masalah
keuangan,
kalau
perempuan
menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat. Sejalan
dengan
ayat
tersebut
ada
hadis
yang
seolah-olah
menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan.
45
“…Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian, perempuan itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan 45Muslim,
Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), jilid 2 h.65. .Lihat juga Bukhari dalam kitab Sahihnya (1462) dari Abu Sa‟id al-Khudri.
40
41
akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sholat pada malammalam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan karena haid. Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim) Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan perasaan. Hal
ini
bukan
merupakan kekurangan, namun sebaliknya
menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantisa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit. Kendati demikian, perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah
perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi
41
atas kecerdasan dan
42
ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar
Ka`bah, namun orang-orang
menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam, orangorang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya. Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam
perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika
perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah. 42
43
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi. Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak. Umu Salamah berkata:46 “Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata: “Orang-orang muslim telah
punah,
mereka
tidak
mengindahkan
perintahku,
aku
memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan
46
Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4, h. 336, di bagian hadis tentang perjanjian al-Hudaibiyah dari riwayat al-Masur bin Mukhramah dan Marwan bin al-Hakm.
43
44
yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan
mengeluarkan
sepatah
katapun,
sembelihlah
hewanmu
dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi. Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit.
Jika pendapat perempuan
diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah. Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap tindaktanduknya. Beda halnya dengan laki-laki, mereka dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. 44
45
Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan
ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya
walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata. Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis. karena tugas perempuan pada dasarnya menuntut permainan perasaan seperti mengasuh anak dan suami. Sesungguhnya pengorbanan perempuan sangat besar dan tidak akan terwujud jika akal ikut berbicara walapun ada kemungkinan akal perempuan terkadang turut bermain dalam skala mikro. Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi ada hadis qudsi47 yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:
47
Hadis qudsi ialah nama dari sejumlah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Rasul dari Allah, dengan jalan wahyu atau ilham atau saat mimpi. Lihat Al-Imâm Abî alHasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib, (Bandung:Gema Risalah Press, 2000), cet. ke-3, h. 1.
45
46
“Dari Abu Musa, ia berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu beliau berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau naiki, aku bermaksud agar keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apaka kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil.” Para sahabat bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir, mereka tersesat jalan. Maka Musa berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba. Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin menjawab:”Perempuan tua dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan) pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka perempuan itu pergi bersama mereka ke danau, tempat menggenangnya air. Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan seperti cahaya siang”48. 48
Ibid., h. 149-151.
46
47
Hadis ini sebagai salah satu bukti bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, dan ingatan itupun berhubungan dengan kecerdasan akal. Dengan demikian, perempuan mampu menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan diajak bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau perempuan itu kurang akal dan agama.
D. Hak Politik Wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Berikut ini akan dijelaskan sesuatu yang ada hubungannya dengan politik, diantaranya:
1. Hak Ikut Berjihad
47
48
Jihad adalah memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimah Allah, yang bertujuan menghilangkan kemungkaran. Merupakan alternatif terakhir dari manhaj metode Islam dalam menciptakan perdamaian dan keamanan.49 Jihad merupakan pekerjaan berat dan sulit. Di masa Rusulullah SAW, kaum perempuan mengikuti kegiatan tersebut, mereka ikut terjun dalam peperangan, tidak sedikit fakta sejarah yang menunjukkan hal itu. Islam menyamakan antar laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kewajiban dan mengatur hak-hak, bahkan menyamakan antara semua umat Islam, tidak membedakan jenis dan warna kulit50 Jihad adalah suatu kewajiban kolektif, apabila ada sekelompok muslim yang melaksanakan jihad, maka jihad tidak lagi menjadi kewajiban individual atas setiap muslim.51 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jihad adalah memperjuangkan agama Allah, yang dilakukan baik laki-laki maupun perempuan.
49
Muhammad Mutawallî al-Sya`râwî, Siapa Penghuni Surga Siapa Penghuni Neraka, terj. Abdul Hayyi al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.76. 50
`Abbâs Karârah, Al-Dîn wa al-Mar`ah, op. cit., h. 164.
51
Al-Imâm Syamsuddin Ibn Qudâmah, Al-Mugni wa al-Syarh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabî, 1972 M/ 1392 H), Jilid 10, h. 366.
48
49
Al-Qur`an merekomendasi hal tersebut dengan beberapa ayat di antaranya:
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kalian berangkat (pergi perang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka jahanam itu lebih sangat panas (nya)" Jikalau mereka mengetahui”(Al-Tawbah/9:81) Sabab al-nuzul ayat tersebut disebutkan, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk jihad bersama beliau di musim panas. Berkatalah beberapa orang di antara yang hadir: "Ya Rasulullah sekarang sedang panas terik, kami tidak kuat keluar berjihad dengan panas seperti ini. Oleh karenanya janganlah pergi berjihad di musim panas ini". Maka turunlah akhir ayat ini yang menegaskan bahwa neraka jahanam itu lebih panas. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu'Abbas 52. Menurut al-Sya`râwî, dengan ayat tersebut Allah berkehendak untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang masuk Islam menjadi tentara, dan 52
Abî al-Hasan `Ali bin Ahmah al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op. cit., h.
172.
49
50
dalam posisi siaga penuh seolah-olah selalu siap menerima perintah.53 Dan Allah memberi pahala bagi orang yang jihad di atas orang yang tidak siap, maka di awal ayat ada kata
yaitu derajat yang paling tinggi bagi
mujtahid.54 Disamping mempunyai derajat yang tinggi juga mendapat ampunan dari Allah SWT seperti yang tersebut dalam al-Nisa`:4/96,
“(Yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” Dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan yang beragama Islam, wajib melakukan jihad membela agama Allah. Dalam ayat lain dijelaskan:
53
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2568.
54
Ibid. h. 2572.
50
51
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar”.(Al-Nisa`/4:95) Ayat tersebut
turun dijelaskan, dalam suatu riwayat
diturunkan ayat
ketika
(tidak sama antara kaum
muslimin yang duduk
tidak ikut berjihad), bersabdalah Nabi SAW:
"Tulislah ..
". Dibelakang Rasulullah ada Ibn
Ummi Maktum. Ia berkata: "Ya Rasulullah saya buta". Maka turunlah kelanjutannya, ayat,
sebagai
(Yang tidak mempunyai uzur)sampai akhir pengecualian
bagi
orang-orang
yang
berhalangan.
Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Barrâ‟.55 Jihad juga kewajiban individual, ketika musuh menyerang negeri muslim, seluruh penduduk negeri tersebut harus pergi berperang melawan musuh, haram bagi mereka yang menolak untuk berperang.56
55
Abî al-Hasan `Ali bin Ahmah al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op. cit h.
117. 56
Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam, (Jakarta: CV Cendekia Sentra Muslim, 2001), Cet. ke-1, h. 18..
51
52
Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Sya`râwî mengatakan, “Mereka yang tidak mau berjihad di jalan Allah adalah termasuk golongan orang munafiq, dan mereka diharamkan mendapat pahala jihad di jalan Allah”57 . Dalam kontek kekinian perempuan pergi merupakan hal lumrah terlepas dari dampak yang ditimbulkan dan tujuan dari bepergian tersebut, seperti mencari rizki, melakukan penelitian, menghadiri forum-forum tukar pikiran dalam bidang politik, menjalin hubungan diplomasi, menunaikan ibadah haji serta forum lainnya. Al-Sya‟rawi berkomentar sebagai tanggapan atas fenomena ini yaitu, “Seorang laki-laki
apabila tidak dapat menjamin keamanan dirinya
tidak dibolehkan bepergian, demikian juga perempuan."58 Jihad di jalan Allah menimbulkan jatuhnya korban tewas
dan
korban terluka, terlebih jihad di medan peperangan. Medan peperangan ini sangat membutuhkan ulur tangan perempuan, karena situasi peperangan memerlukan tangan-tangan terampil dan penuh perhatian untuk mengobati korban. Oleh karenanya, dalam setiap peperangan Nabi selalu mengajak dan membudidayakan
peran
perempuan,
sejarah
menceritakan
sayyidah
Umaiyah binti Qais bin Abi al-Shalt –al-Ghifariyah- diuji dengan berbagai 57
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 9, h. 5373.
58
Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, op. cit., h. 269.
52
53
musibah di perang Khaibar, pasca kejadian yang mengenaskan tersebut, Nabi
memberikan
kalung
agar
dikenakan
di
lehernya,
Umaiyah
memakainya selama hidupnya, dia berwasiat untuk mengubur kalung pemberian Nabi dengan jasadnya. Akhirnya, konsep jihad ini terlihat pada dua poin: 1.
Dalam pelaksanaan haji, hamba Allah pada hari-hari haji bermunajat kepada-Nya dan memohon ampunan-Nya atas dosa-dosa yang diperbuat pada masa lalu.
2. Dalam jihad di jalan Allah dan medan peperangan, pada detik-detik ini perhatian dan perasaan hati terkuras habis, bahkan terkadang hal-hal sensitif seperti tidak mendapat tempat, akhirnya siapa yang mampu memikirkan hal ini? 59 Rasulullah sendiri dalam hidupnya banyak meminta perempuan untuk berjihad, dan berkumpul bersama dalam berbagai persoalan, sehingga ini tidak heran juga dipraktekkan oleh khalifah Rasulullah bahkan setelah kekhalifahan tersebut berakhir.60
59
Ibid., h. 270.
60
Sa`id Al Afghani, Pemimpin Wanita di Kancah Politik: Studi Sejarah Pemerintahan `Aisyah, Ed. Sufiyanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka LP2IF, 2001), h. 21.
53
54
Perempuan pada masa Nabi banyak yang mengikuti jihad perang bersama Nabi, diantaranya Ummi `Atiyyah, Rabi`, Ummu Sulaim dan lainlain61. `Aisyah dalam memimpin perang Jamal, beliau posisinya berada di tempat paling depan. Dewasa ini, Jihad di medan peperangan sudah jarang terjadi, tetapi bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan menurut al-Sya`râwî masih diwajibkan melakukan jihad dalam bentuk lain, yaitu menyebarkan syariat Allah di muka bumi, menegakkan keadilan serta memerangi orang-orang yang sesat 62. Sementara Asma` Muhammad bin Ziyadah mengatakan bahwa, pemahaman tentang peranan perempuan dalam jihad tidak terbatas pada peranan pertempuran semata, kehadiran mereka di medan pertempuran secara aksiomatis dapat dikatakan bahwa, tidak dimaksudkan kehadiran mereka di medan pertempuran harus sama dengan kehadiran laki-laki, atau setidak-tidaknya mirip dengan sepak terjang laki-laki.63
61
Abbâs Karârah, Al-Dîn wa al-Mar`ah, op. cit., h. 161-162.
62
Muhammad Mutawallî al-Sya`râwî, Siapa Penghuni Surga Siapa Penghuni Neraka, terj. Abdul Hayyi al-Kattani dkk., op. cit., h. 76-77. 63
Asma`Muhammad Ziyadah, Peran politik Wanita Dalam Sejarah Islam, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kawsar, 2001), cet. ke-1, h. 129.
54
55
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan mempunyai hak untuk berjihad, baik di medan perang atau di yang lain, seperti menegakkan keadilan, memerangi orang sesat, menyiarkan agama dan lain sebagainya.
k Memangku Jabatan Memangku jabatan penguasa (kepala pemerintahan) dalam Islam berarti memikul tanggung jawab agama dan negara.64 Hal ini berlaku pada jabatan kepala negara, gubernur, bupati, kepala pasukan dan lain sebagainya. Sementara ada yang berpendapat bahwa, jabatan pemerintahan oleh perempuan adalah haram, adapun jabatan selain di pemerintahan diperbolehkan.65 Memang jabatan khalifah pertama di dunia ini dibebankan kepada laki-laki yang bernama Adam, kisah ini dijelaskan dalam al-Qur`an. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat ahli hukum dan ahli tafsir sejak dahulu hingga kini didominasi laki-laki, sehingga wajar kalau ayat-ayat al-Qur`an ditafsirkan dengan bias jender.
64
Abd al-Wahâb al-Syisyani, Huqûq al-Insân wa Hurriyyatah: Asasiyyah fî al-Nizâm alIslâmi wa al-Nuzum al-Mu`âsirah, (al-Qâhirah: Dâr al-Nahdah al-Arabî, 1980), cet. ke-1, h. 689. 65
Muhammad Koderi, Bolehkah Wanita menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani, 1999) h. 97.
55
56
Tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Al-Qur‟an dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.(Al-Tawbah/9:71) Al-Sya`râwî dalam menafsiri kata auliya mengatakan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.”66 Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
66
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 9, h. 5287.
56
57
Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" menurut al-Sya`râwî, “Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran.”67 Penulis setuju dengan pendapat tersebut, artinya sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah. Dengan ayat itu menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai
hak
kepemimpinan
publik,
terbukti
keduanya
berhak
menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa. Hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk 67
Ibid. h. 5293.
57
58
memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam
konteks pemberdayaan peran politik perempuan di
Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas misalkan, pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %” Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan memegang jabatan adalah:
68 “Dari Abî Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW 68
Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhârî, op. cit., juz 4, h.
1610
58
59
berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari). Hadis tersebut dalam tingkatan ahad tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurûdnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan. Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab
berasal
dari
Rasulullah
dalam
kapasitasnya
sebagai
kepala
pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul. Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hadis tersebut memakai kata
adalah bentuk nakirah jadi
perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu ada taqyid atau batasan, artinya perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak menjadi masalah kalau dia menjadi pimpinan atau memegang jabatan.
59
60
Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang berbeda.69 Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat terkemuka. Bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS.70
69
Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1991), h. 62. 70
Muhammad Anas Qasim Ja`far, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, Sebuah Perspektif Islam, terj. Mujtaba Hamdi, (Jakarta: Azan, 2001), cet. ke-1, h. 76.
60
61
Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti persoalan dalam suatu negara
61
62
62
63
BAB V HAK SOSIAL DAN HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-SYA`RÂWÎ A. Hak Sosial Membicarakan perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial sangat menarik, apalagi dalam masyarakat yang patrilinial. Hak sosial adalah hak yang berhubungan dengan perilaku di masyarakat. Pada kesempatan ini, penulis bahas tentang hak kemanusiaan, hak kerja di luar rumah dan hak sebagai saksi. 1. Hak Kemanusiaan Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dimuliakan oleh Allah, karena mereka berasal dari diri yang satu. Salah satu ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia adalah al-Nisâ`/4:1: Al-Sya`râwî menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: “Sepertinya Allah memberikan isyarat kepada sebuah petunjuk bahwa penciptaan Hawa tanda-tandanya tidak terfahami dari Adam, dan bahwa Allah memberikan penjelasan tentang penciptaan Adam dari tanah dan tahap-tahap penciptaannya sampai menjadi manusia. Oleh karena itu boleh jadi Allah mendakwakannya bentuk Adam sebagai penciptaan jenis awal atau sebagai modal awal, dan kemudian Hawa diciptakan dengan jenis yang sama dengan Adam, sehingga firman Allah berarti yakni diciptakan dari tanah”. Pendapat al-Sya`râwî tersebut dapat disimpulkan bahwa, Hawa dijadikan dari jenis yang sama dengan Adam, artinya perempuan diciptakan dari spesies yang sama dengan laki-laki. Al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat ini tidak bias jender. Pendapat Ibn Kasir. Ibn Kasîr menginterpretasikan “nafs wâhidah” kepada Adam dan “zaujahâ” kepada Hawa, adapun Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri di saat ia tidur, ketika dia terbangun mendapatinya di sisinya dan merasa ta’ajjub kepada Hawa, kemudian mereka saling menyukai. Sedangkan Wahbah al-Zuhailî menafsirkan surat al-Nisâ’/4:1 dengan penafsiran yang memiliki persamaan maksud dengan pendapat mayoritas mufassirin.
63
64
Sedangkan “zaûj” diinterpretasikan kepada Hawa. Ia diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika Adam dalam keadaan tidur, dan di saat terbangun, ia memandang dan tertarik kepadanya, hal ini berdasarkan riwayat dari al-Syaikhâni, Dari Abî Hurairah Rasulullah bersabda:
Ketika dianalisis dan dicermati makna hadis tersebut, para ulama tafsir berbeda pendapat. Ada yang memahaminya secara harfiyah, yakni ulama klasik, tetapi tidak sedikit yang memahaminya secara metaforis, yakni ulama kontemporer. `Aisyah bintu Syâti` misalnya, menyatakan bahwa, yang mengartikan “tulang rusuk yang bengkok” menjadi asal kejadian perempuan adalah sangat tekstual dan harfiah. Padahal, menurut bahasa yang dikenal dalam tatanan bahasa Arab, kata “tulang rusuk” merupakan kata kiasan (majazî bukan haqiqî). Menurutnya, hadis Rasulullah di atas, bukan dimaksudkan untuk menerangkan pengertian tentang asal usul penciptaan, tetapi merupakan perintah kepada keturunan Adam agar bersikap lembut terhadap perempuan, dan peringatan agar tidak memberlakukan secara kasar terhadap perempuan. Contoh lain yang senada dengan hadis tersebut menurut `Aisyah bintu Syâti` adalah hadis Rasulullah, yang artinya: ”(Perlakukan) kaca-kaca itu dengan lembut”. Hal ini apakah berarti perempuan diciptakan dari kaca?. Tentu tidak. Demikian analisis Bintu Syâti`. Demikianlah pendapat mufassir tradisional, mengartikan surat alNisâ`/4:1 kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam. Dari sini diartikan bahwa, kejadian perempuan adalah ke dua dari laki-laki, yang pada ujungnya menganggap perempuan tidak setara dengan laki-laki. Lebih ironis lagi ada yang mengatakan “Laranglah perempuanmu untuk ke luar rumah”, penafsiran yang demikian perlu direvisi, sebab sudah tidak sesuai dengan keadaan zaman, dengan alasan: - Dalam kehidupan saat ini perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan yang setara - Banyak perempuan yang bertanggung jawab pada semua masalah baik dalam rumah tangga dan maupun masyarakat. - Kalau penafsiran yang menjadikan inferior terhadap perempuan tidak direvisi, maka pada akhirnya nanti al-Qur`an akan ditinggalkan oleh masyarakat. Sedangkan penafsir kontemporer, di antaranya al-Sya`râwî yang tersebut di atas, Muhammad `Abduh dan Muhammad Rasyid Rida dalam 64
65
tafsîr al-Manâr berpendapat bahwa, penafsiran “nafs wâhidah” kepada Adam bukan inti yang terkandung dalam ayat, baik secara implisit maupun eksplisit, karena kata nafs wâhidah bila diinterpretasikan kepada Adam akan simpang siur. Apabila kontek ayat tersebut dipahami sebagai Adam, maka konsekuensinya, kata yang datang sesudahnya harus dituliskan dengan bentuk ma’rifat, akan tetapi dalam tataran realita ayat tersebut ditulis dengan bentuk nakirah. Bagaimana mungkin suatu lafaz memuat makna “Adam” (sudah diketahui), sedangkan khitab ayat mencakup keseluruhan manusia sebagaimana yang disitir diawal ayat dan juga penafsirannya dengan belum tentu diketahui oleh seluruh manusia, sebagaimana yang tersirat dalam khitab ayat. Adapun khitab yang kembali kepada manusia seperti yang tertera di ayat “ya banî Âdam” tidak bertentangan dengan pemahaman ayat di atas dan bukan merupakan bukti autentik dari pernyataan bahwa semua manusia adalah anak dari Adam, karena proporsi penafsiran khitab dalam konteks ayat, secara aklamasi memang meruju‟ kepada anak cucu Adam pada zaman tanzîl (masa diturunkannya ayat). Al-Qur‟an tidak mempunyai nas-nas qat’î yang menyebutkan secara gamblang bahwasanya semua manusia (basyar) merupakan anak cucu Adam. Berangkat dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua manusia diciptakan dari “nafs wâhidah” yaitu insaniyah (jenis manusia) yang mencakup segala bentuk spesies dan ras manusia dan terikat dengan tali persaudaraan dan mawaddah dengan tanpa memandang asumsi Adam atau kera sebagai asal muasalnya. Dari paparan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa mufassir tradisional berpendapat bahwa, laki-laki dan perempuan hak kemanusiaanya tidak setara, dalam arti laki-laki posisinya superior, perempuan inferior. Sementara pendapat mufassir kontemporer berbeda, artinya laki-laki dan perempuan mempunyai hak kemanusiaan yang sama dan posisi setara. Menurut hemat penulis, kejadian Hawa adalah sama jenisnya dengan Adam. Artinya laki-laki dan perempuan adalah setara, tidak ada yang inferior dan superior. Kalaupun pendapat tentang kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam yang paling bengkok, dan itu berdasar hadis sahih, bukan berarti Hawa atau perempuan inferior, karena kalau demikian, maka apakah kejadian Adam dari tanah, itu berarti tanah lebih mulia dari Adam?. Tentu tidak demikian. Jadi, asal kejadian tidak dapat dipakai dasar untuk 65
66
menentukan inferior dan superior. Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan adalah hamba Allah yang setara dan mempunyai hak kemanusiaan yang sama dalam pandangan Allah. Dalam ayat lainAl-An`âm/6:165 Menurut al-Sya`râwî: “ , ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam strata realisasi konsep kekhalifahan tidak menempati posisi yang sama, tetapi seyogyanya manusia melakukan sebuah proses menuju ke perkembangan potensi yang paripurna dan yang saling komplementer, karena jika manusia tidak membuat perubahan yang berarti dan mengembangkan bakat yang terpendam yang pada gilirannya memotivasi munculnya potensi yang tak terhitung oleh nominal, maka kehidupan ini akan musnah”. Oleh karenanya potensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi seharusnya beragam, karena tuntutan kebutuhan kehidupan yang sangat komplek. Jika setiap individu bercita-cita menjadi dokter, maka siapa yang akan menangani permasalahan lainnya. Paparan deskriptif di atas menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, selayaknya saling tolong menolong dan melengkapi. Dalam arti setiap manusia pasti memiliki potensi yang tidak dimiliki individu lain. Sebaliknya yang pada gilirannya menuntut adanya hubungan timbal balik antar sesama, sehingga dapat dipahami, sebagian manusia mempunyai kelebihan dan menduduki tingkatan yang lebih tinggi. Menurut penulis, al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat di atas tidak bias jender, terbukti dengan penafsiran bahwa laki-laki dan perempuan, keduanya bertanggungjawab atas semua perbuatan. Kesalahan tidak hanya berada di pihak perempuan. 2. Hak Bekerja di luar Rumah Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan sosial. Fenomena ini diklaim sebagai simbol equality (keadilan) antara lakilaki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan dan persamaan hak di segala bidang, tetapi agama masih sering dijadikan dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equaty), dan memarjinalkan peran perempuan dalam bidang-bidang yang bersinggungan dengan publik. Sebenarnya, Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya, karena Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apapun, termasuk hal pekerjaan. Al Qur`an Al-Nisa`/4:32 66
67
Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: ”Telah diketahui bahwa manusia itu terdiri dari dua golongan, yaitu laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai aktifitas yang sama dan aktifitas yang khusus di antara mereka, Kedua golongan itu adalah manusia yang sama-sama memiliki kemuliaan dan kemerdekaan keyakian/akidah, sehingga seyogyanya seorang laki-laki tidak menyakiti perempuan karena perbedaan akidah. Seperti yang diceritakan al-Qur`an tentang isterinya Nabi Nuh, Nabi Lut dan isteri Fir`aun”. Dari pendapat tersebut, dapat di lihat bahwa al-Sya`râwî memberikan kebebasan kepada perempuan dan laki-laki untuk berakidah, karena nanti akan menerima hasil amalan berdasar akidahnya sendiri. Hal tersebut adalah yang berhubungan dengan masalah akidah, tersirat adanya kebebasan dalam bekerja masalah dunia bagi perempuan dan laki-laki, karena mereka menerima hasilnya sendiri. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, al-Sya`râwî tidak melarang perempuan bekerja. Tetapi tugas utama perempuan adalah pekerjaan di rumah, mendidik anak, serta menjadi tempat berteduh suami di rumah. Menurut penulis, pekerjaan di rumah tidak hanya tugas perempuan atau isteri, tetapi dijalankan bersama-sama antara isteri dan suami, apalagi masalah mendidik anak, karena anak tidak hanya mengharapkan uluran tangan dari ibu saja, juga dari bapak. Demikian juga ketenangan dalam rumah tangga tercipta kalau suami isteri saling mengerti dan memahami, bukan hanya dibebankan kepada isteri. Permasalahnnya membagi waktu yang dikhususkan untuk keluarga dan anak. Dalam hal ini, tidak harus bertatap muka dengan anak, karena era industri, anakpun di tempat yang jauh dengan menggunakan handphone. Jadi yang penting bagaimana memenej antara kerja dan keluarga. Bekerja bagi perempuan yang menjadi isteri dalam rumah tangga adalah dalam rangka saling membantu, terutama saling menghidupi anak ketika salah satu meninggal dunia lebih dahulu. Raitoh isteri sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Mas`ud aktif bekerja, karena suami ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. 3. Hak Sebagai Saksi Masalah saksi telah menjadi isu perdebatan yang sangat panas dalam teologi Islam. Mengenai kesaksian dilaksanakan oleh dua orang laki-laki
67
68
atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam al-Qur‟an Al-Baqarah/2:282 Al-Sya`râwî menafsirkan ayat ini bahwa: “Ketika tidak ditemukan dua orang saksi laki-laki, Allah telah menentukan sebagai gantinya satu laki-laki dan dua perempuan. Kaitannya dengan hal tersebut, Allah menyuruh hamba-Nya untuk melaksanakan perintah dalam hal persaksian sesuai dengan kemampuannya, yaitu apabila kondisi untuk memberikan persaksian dalam kasus utang-piutang dengan dua orang laki-laki tidak memungkinkan, maka dianggap sah persaksian satu laki-laki dan dua perempuan yang disepakati. Hal ini didasari oleh fenomena riil perempuan yang memang karakter awalnya tidak berkecimpung dengan permasalahan ekonomi. Oleh karenanya Allah menggantikan satu laki-laki dengan dua perempuan, juga agar sikap timbal balik antara keduanya tumbuh dan berkembang dalam arti, ketika ia lupa maka perempuan yang lain mengingatkannya dan mengkaji ulang tindakannya tersebut. Disamping itu, al-Sya`râwî juga berpendapat dalam bukunya AlMar`ah fî al-Qur`ân bahwa: “Banyak kaum akademisi dan ilmuwan bertanya-tanya kenapa persaksian satu perempuan yang berhasil meraih gelar MA atau Dr dinilai sama dengan persaksian setengah satpam berkelamin laki-laki, kendati dia tidak bisa membaca dan menulis, jargon ketidakadilan dalam persaksian ini sering digembar-gemborkan hampir di setiap kesempatan, sedangkan mereka tidak memahami makna hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an, Kalimat “syahadah” diambil dari yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat mata, adapun atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran. Berkaitan dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti M.A. atau Dr. dengan hambaNya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan kecerdasan akal. Perasaan yang berkapasitas dominan pada perempuan merupakan sumber kasih sayang dan kebahagiaan bagi keluarga sebagai institusi terkecil dari masyarakat, pengaturan fluktuasi perasaan membutuhkan pengorbanan luar biasa, namun hikmahnya yang terkandung sangat besar, dalam arti kekuatan ekspresi perasaan pada kaum perempuan lebih kuat dibanding penggunaan 68
69
perasaan pada kaum laki-laki, dimaksudkan agar keseimbangan dan kesinambungan tercipta dalam masyarakat. Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena, ia melihat perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan berpendapat lain. Memang ayat ini harus difahami hanya berkaitan dengan masalah keuangan, dan hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”. Transaksi tertulis itu diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan atau pengingkaran di kemudian hari. Dari sini diketahui bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan untuk menjamin kontrak secara jelas diperlukan kesaksian dan penulisan. Dalam transaksi yang langsung atau jangka pendek tidak ada salahnya kalau kontrak itu tidak ditulis dan tidak disaksikan. Adalah sangat ironis kalau hal tersebut dipergunakan sebagai alasan untuk membuktikan inferioritas perempuan. Sesuatu yang perlu diperhatikan yaitu, ayat itu menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang pengalaman dalam masalah keuangan. Demikian juga pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk „mengingatkan‟ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya. Pembicaraan tentang saksi dalam ayat ini adalah spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan lain.
69
70
Menurut penulis, dalam perspektif hermeunitik ayat 282 surat alBaqarah yang berbicara tentang syahadah (saksi) harus dilihat sebagai respon terhadap fakta sejarah pada saat mana ayat tersebut turun. Dengan demikian ketika fakta sejarah telah berubah, maka tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan reinterpretasi terhadap ayat tersebut, dengan melihat secara konprehensif terhadap semua lingkar konsentris hermenotisnya, yakni hal-hal yang melatarbelakangi teks maupun hal-hal yang melatarblakangi pembaca (penafsir) yang selalu terkait dengan waktu dan tempat tertentu. Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an, yang menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5 ayat 106,Al-Mâidah/5 ayat 107, Al-Nisâ`/4 ayat 15, Al-Nûr/24 ayat 4, Al-Nûr/24 ayat 6, Al-Nûr/24 ayat 8 dan Al-Talâq/65 ayat 2. Berdasar ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya, khususnya masalah keuangan, kalau perempuan menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat. Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan. Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan perasaan. Hal ini bukan merupakan kekurangan, namun sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantisa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit. Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap tindaktanduknya. 70
71
Beda halnya dengan laki-laki, mereka dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata. Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis. karena tugas perempuan pada dasarnya menuntut permainan perasaan seperti mengasuh anak dan suami. Sesungguhnya pengorbanan perempuan sangat besar dan tidak akan terwujud jika akal ikut berbicara walapun ada kemungkinan akal perempuan terkadang turut bermain dalam skala mikro. D. Hak Politik Wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Berikut ini akan dijelaskan sesuatu yang ada hubungannya dengan politik, diantaranya: 1. Hak Ikut Berjihad Jihad adalah memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimah Allah, yang bertujuan menghilangkan kemungkaran. Merupakan alternatif terakhir dari manhaj metode Islam dalam menciptakan perdamaian dan keamanan. Jihad adalah memperjuangkan agama Allah, yang dilakukan baik lakilaki maupun perempuan. Al-Qur`an merekomendasi hal tersebut dengan beberapa ayat AlTaubah/9:81 Menurut al-Sya`râwî, dengan ayat tersebut Allah berkehendak untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang masuk Islam menjadi tentara, dan dalam posisi siaga penuh seolah-olah selalu siap menerima perintah. Dan Allah memberi pahala bagi orang yang jihad di atas orang yang tidak siap, 71
72
maka di awal ayat ada kata yaitu derajat yang paling tinggi bagi mujtahid. Dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan yang beragama Islam, wajib melakukan jihad membela agama Allah. Dalam ayat lain Al-Nisa`/4:95. Dalam menafsirkan ayat tersebut alSya`râwî mengatakan, “Mereka yang tidak mau berjihad di jalan Allah adalah termasuk golongan orang munafiq, dan mereka diharamkan mendapat pahala jihad di jalan Allah”. Al-Sya‟rawi berkomentar sebagai tanggapan atas fenomena ini yaitu, “Seorang laki-laki apabila tidak dapat menjamin keamanan dirinya tidak dibolehkan bepergian, demikian juga perempuan. Akhirnya, konsep jihad ini terlihat pada dua poin: 2. Dalam pelaksanaan haji, hamba Allah pada hari-hari haji bermunajat kepadaNya dan memohon ampunanNya atas dosa-dosa yang diperbuat pada masa lalu. 2. Dalam jihad di jalan Allah dan medan peperangan, pada detik-detik ini perhatian dan perasaan hati terkuras habis, bahkan terkadang hal-hal sensitif seperti tidak mendapat tempat, akhirnya siapa yang mampu memikirkan hal ini? Perempuan pada masa Nabi banyak yang mengikuti jihad perang bersama Nabi, diantaranya Ummi `Atiyyah, Rabi`, Ummu Sulaim dan lainlain. `Aisyah dalam memimpin perang Jamal, beliau posisinya berada di tempat paling depan. Dewasa ini, Jihad di medan peperangan sudah jarang terjadi, tetapi bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan menurut al-Sya`râwî masih diwajibkan melakukan jihad dalam bentuk lain, yaitu menyebarkan syariat Allah di muka bumi, menegakkan keadilan serta memerangi orang-orang yang sesat Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan mempunyai hak untuk berjihad, baik di medan perang atau di yang lain, seperti menegakkan keadilan, memerangi orang sesat, menyiarkan agama dan lain sebagainya. 2. Hak Memangku Jabatan Memangku jabatan penguasa (kepala pemerintahan) dalam Islam berarti memikul tanggung jawab agama dan negara. Hal ini berlaku pada jabatan kepala negara, gubernur, bupati, kepala pasukan dan lain sebagainya.
72
73
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat ahli hukum dan ahli tafsir sejak dahulu hingga kini didominasi laki-laki, sehingga wajar kalau ayat-ayat al-Qur`an ditafsirkan dengan bias jender. Tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya Al-Qur‟an dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar AlTaubah/9:71 Al-Sya`râwî dalam menafsiri kata auliya mengatakan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar" menurut al-Sya`râwî, “Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran.” Dengan ayat itu menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa. Hak perempuan kaitannya dengan relasi jender di bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas misalkan, pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap
73
74
daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %” Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan memegang jabatan adalah: Hadis tersebut dalam tingkatan ahad tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurudnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan. Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul. Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang berbeda. Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat terkemuka.
74