Bab V Fungsi Lembaga-Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik dan Proses Pelaksanaan Ruang Publik Pada Musyawarah Penolakan FPI di Kalimantan Tengah
Pada bab ini akan menjawab pertanyaan penelitian , yaitu “Bagaimana gambaran fungsi Lembaga Adat Dayak sebagai ruang publik, terkait dengan penolakan FPI di Kalimantan Tengah?” dan “bagaimana proses pelaksanaan ruang publik bersama masyarakat Dayak yang diselenggarakan oleh Lembaga Adata Dayak terkait dengan peonalakan FPI?”. Jawaban dari pertanyaan penelitian di atas akan dijelaskan dalam bentuk deskriptif analitis, berdasarkan teori yang telah disampaikan pada Bab II.
5.1 Lembaga adat sebagai ruang publik 5.1.1 Bentuk Musyawarah Masyarakat Dayak Tradisional Salah satu perwujudan ruang publik secara praksis terutama dalam masyarakat yang menganut paham demokratis adalah musyawarah. Pada masyarakat Indonesia musyawarah merupakan hal umum, termasuk untuk masyarakat Dayak sendiri. Lebih dari itu, musyawarah dengan iklim demokratis telah dilakukan masyarakat Dayak sebelum mengenal demokrasi modern yang saat ini berkembang. Musyawarah ini dilakukan dalam menghadapi berbagi permasalahan bersama muncul. Melihat kembali musyawarah tradisional yang berlaku pada silam dengan yang berlaku saat ini, maka akan terdapat perbedaan. Musyawarah tradisional memiliki bentuk :
50
1. Tiap orang yang dianggap sudah dewasa, layak untuk ikut dalam musyawarah, tanpa memandang status sosial, ekonomi, dan jenjang umur (asal sudah dalam cakupan dewasa) 2. Tiap orang boleh bersuara dan memberikan pendapat, dijamin kebebasanya tanpa takut dikekang oleh pihak lain. 3. Tiap orang harus mengutarakan suara dan pendapatnya dengan jelas dan baik, tanpa harus terpatok pada masalah waktu 1 . 4. Pemimpin musyawarah harus dari tetua yang ada di masyarakat, yang dianggap sudah memiliki pengalaman dan kebijaksanaan yang cukup untuk memimpin dan mengarahkan jalannya musyawarah. Pemimpin musyawarah dapat berasal dari luar tetua adat, asala memenuhi kriteria umum yang mutlak dipakai dalam penilaian masyarakat (keunggulan dalam pengetahuan, kecerdasan, dan pemahaman yang dalam yang dapat diwujudkan dalam tindakan terkait masalah kebijaksanaan, keadilan, dan kepedulian). 5. Keputusan yang diambil dalam musyawarah tidak mengenal sistem voting. Ketika ada pertentangan pendapat dan perdebatan, maka akan dicari jalan tengah dan solusi yang tepat 2 . 6. Keputusan harus selalu mengarah pada kebaikan bersama (iluksioner) 7. Tiap orang dalam musyawarah harus mendengar dan mengamati dengan baik setiap orang yang memberikan suara dan pendapat, sehingga dapat memberikan penilaian dan keputusan dengan baik
1
Wawancara dengan K.M.A Usop, Presidium Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak – Kalimantan Tengah (LMMD‐KT), mantan Rektor Universitas Palangka Raya, periode 1981‐1988. “amun bihin, uluh lagi pander timbu netekmu, mbo sangit ih iye..hindai lepah aku pander tuh!! Benyem helu!!” (kalau dulu, ketika orang sedang berbicara, tiba‐tiba kamu potong, dia pasti akan marah...belum selesai saya bicara!!diam dulu!!‐meperagakan/mencontohkan) beliau juga menuturkan bahwa memotong ketika orang sedang berbicara, terutama di dalam forum atau musyawarah, dianggap tidak beradat dan tidak menghargai keberadaan orang lain. 2 Apabila kesimpulan yang sudah ditarik oleh orang yang memimpin musyawarah, dan ada orang atau pihak yang tidak bersetuju, maka kesimpulan itu dapat diujikan kembali, dan berusaha dicarikan solusi yang baru dan dapat diterima oleh semua peserta musyawarah. Baik orang yang mempertanyakan kesimpulan ataupun yang mepertahankan/mencetuskan ide atau kesimpulan, harus mengemukakan kembali argumen mereka dengan rasional sehingga dapat dilihat dan dipahami dengan baik oleh peserta musyawarah yang lain.
51
Pada model musyawarah tradisional tersebut, setiap pendapat harus diperhatikan dan hargai. Semua bentuk pengekangan dan “tindakan strategis” sangatlah tidak diperkenankan. Hal ini di karenakan dalam masyarakat Dayak pada masa itu memeluk agama kaharingan, kepentingan pribadi yang berlebihan dan tindakan mementingkan diri sendiri,hanya akan membawa “tulah” atau petaka. Petaka yang datang dipercaya tidak hanya akan datang pada pelaku saja, tetapi juga akan di alami oleh seluruh masyarakat (kampung). Kepercayaan tersebut akhirnya diwujudkan dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat Dayak, dengan bentuk yang sudah dipaparkan di atas. Melihat bentuk musyawarah masyarakat dayak tradisional silam, ternyata iklim demokratis yang dibentuk dapat dikatakan hampir mendekati syarat dari terbentuknya ruang publik ideal 3 . “(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus. (...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginankeinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3) Tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (...1) dan (...2)” (Habermas, dalam Hardiman, 2009)”
Musyawarah pada masyarakat Dayak tradisional apabila dilihat dengan konsep ruang publik, sudah lebih menyadari dan mengutamakan komunikasi intersubjektif, dan mengutamakan kesepahaman, kesepakatan (konsensus) yang bisa diterima semua pihak. Selain itu, dituntut pula setiap orang yang menjadi bagian dari ruang publik pada masyarakat Dayak tradisional mengutamakan rasio komunikatif. Di sisi lain, penutur atau orang yang mengemukakan pendapat harus berusaha menyampaikan pendapatnya dengan baik melalui kemampuan berbicara
3
Lih.hal. 21
52
dan menyusun kata-kata yang ucapkan dengan baik pula, yang memungkinan kesepahaman bagi semua orang yang menjadi peserta ruang publik.
Nilai penting lain yang menonjol dan dijunjung tinggi masyarakat Dayak, terutama dalam musyawarah adalah kesetaraan. Pada saat proses pelaksanaan musyawarah, semua peserta musyawarah memiliki derajat dan hak yang sama. Kesetaraan ini tidak memandang status sosial ekonomi atau kedudukan yang dimiliki peserta musyawarah. Semua memiliki derajat yang sama.
“Itah tuh maanggap arep itah tuh sama-sama. Jatunti utang, jatunti raja. Jadi jatun gantung iye kau, iye kau puna uluh basewut, jatun kau.... jadi tuh ela maanggap arepa are-are. Ikei tuh narai, ike tuh utus narai, are uluh je ndukung, jia tau...awi je utama te toleransi, musyawarah.” (Kita ini menganggap diri kita ini sama 4 . Tidak ada utang, tidak ada raja. Jadi tidak ada dia ini orang “gantung” 5 , dia itu memang orang terkenal, tidak ada seperti itu ... jadi jangan menganggap dirinya berlebihan kami ini adalah apa, kami ini dari dari golongan apa, banyak orang dukung, tidak boleh ... karena yang utama adalah toleransi, musyawarah) 6
Dari kutipan wawancara di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu nilai tertinggi yang diutamakan dalam pelaksanaan musyawarah pada masyarakat Dayak adalah nilai “kesetaraan”. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dikatakan musyawarah tradisional masyarakat dayak sangat beriklim demokratis. Pada demokrasi modern pun, kesetaraan adalah salah satu syarat mutlak yang harus ada dalam pelaksanaan demokrasi, baik dalam keseteraan (persamaan) suara, partisipasi, dan hak-hak yang termasuk dalam standar demokrasi 7 . 4
Kata “sama” yang dimaksud disini oleh sumber adalah padanan kata “sederajat”, “setara” dalam konteks pelaksanaan dan proses musyawarah. 5 Kata “gantung” disini merujuk pada status seseorang, dapat berdasarkan status sosial, ekonomi, politik, ataupun pada bidang dan hal tertentu. Kata ini menunjukkan seseorang memiliki posisi atau kedudukan yang tinggi di masyarakat atau bidang tertentu. Salah satu contoh padanan status “gantung” ini dari status sosial adalah kata “bangsawan”. 6 Wawancara dengan Sabran Achmad, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Cabang Kalimantan Tengah. 7 Lih.Hal.24‐25.
53
Standar demokrasi yang dimaksud tentunya adalah standar yang dapat menjamin tercipta dan terjaganya kesetaraan antara tiap diindividu yang ada di dalam musyawarah sendiri. Menurut Dahl terdapat lima (5) standar demokrasi. 1. Partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh suatu asosiasi, seluruh anggota harus mempunya kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. 2. Persamaan suara : ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama. 3. Pemahaman yang cerah : dalam batas yang rasional setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin. 4. Pengawasan agenda : setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh ketiga kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya, jika mereka menginginkannya begitu. 5. Pencakupan orang dewasa : semua, atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki
hak
kewarganegaraan penuh yang ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya (Dahl, 2001 : 52-53). Apabila
melihat
dan
membandingkan
standar
demokrasi
yang
dikemukakan Dahl, dan bentuk-bentuk musyawarah yang dimiliki oleh masyarakat Dayak tradisional, maka akanlah tampak mengapa musyawarah masyarakat tersebut dikatakan sudah beriklim demokratis. Standar demokrasi 54
yang disebutkan di atas berintikan “kesetaraan”. Pada musyawarah “kesetaraaan” menjadi nilai yang mutlak dan diimplementasikan dalam proses pelaksanaan musyawarah. Nilai kesetaraan dalam kondisi demokratis sendiri disebutkan oleh Dahl, sebagai “logika persamaan”, sebagai sebuah sistem yang mengutamakan kesertaan tiap orang yang ada di dalamnya terkait berbagai hal khususnya dalam mengeluarkan pendapat 8 .
5.1.3 Fungsi DAD sebagai Media Ruang Publik
Iklim demokratis yang muncul pada masyarakat Dayak sudah berjalan dengan cukup baik dan bahkan mengarahkan masyarakat untuk dapat mengorganisir diri bila diperlukan. Tidak hanya pada tataran masyarakat Dayak untuk menghadapi permasalahan yang biasa terjadi, tetapi bahkan digunakan pula untuk mengorganisasikan diri untuk tujuan tertentu.
“hadat demokrasi tuh hung masyarakat Dayak jadi tege........kilau pakat tuh kan bara mufakat. Sampai tege mampedeng organisasi Pakat Dayak. Jadi mufakat bukan hanya berarti mufakat, mufakat sebagai kegiatan, tapi jadi inyingkat ewen tuh, menjadi institusi, menjadi lembaga, organisasi Dayak, institusi Dayak, dengan inti’a te musyawarah untuk mufakat” (budaya demokrasi dalam masyarakat Dayak itu sudah ada.....seperti kata “pakat” dari kata “mufakat”. Sampai pernah mendirikan organisasi “Pakat Dayak” 9 . Jadi mufakat bukan hanya berarti mufakat, mufakat sebagai kegiatan, tapi kata-kata itu sendiri disingkat, menjadi institusi, menjadi
8
Lih.hal 24
9
Pakat Dayak, atau dulu sering juga disebut dengan Sarekat Dayak, merupakan organisasi Dayak yang didirikan pada tahun. Organisasi ini didirikan oleh seorang tokoh masyarakat Dayak yang bernama Hausman Baboe. Pakat Dayak bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak, dan bergerak di bidang pendidikan, ekonomi dan pers. Pada awalnya bernama Sarekat Dayak, dan pada tahun 1936 berubah naman menjadi Pakat Dayak. Pernah mendirikan madia cetak koran bernama “Soeara Pakat” sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
55
lembaga, organisasi Dayak, Institusi Dayak, yang berintikan musyawarah untuk mufakat) 10
Kondisi membentuk suatu organisasi atau asosiasi yang berintikan suasana demokratis dalam mengambil keputusan bersama di atas, saat ini dijamin keberadaannya dalam setiap negara demokratis. Hak berasosiasi dan berorganisasi ini disebut dengan “otonomi asosiasional 11 , yang artinya, tiap warga negara memiliki hak dalam dalam membentuk perkumpulan atau organisasi. Budaya mengorganisasikan diri ini sudah semenjak masyarakat yang masih tradisional (termasuk pada masa kolonialisme) bahkan dipertahankan hingga saat ini. Kearifan lokal tradisional bermusyawarah, bahkan berorganisasi dengan tujuan tertentu merupakan salah satu bagian dari Kebudayaan Dayak yang ingin tetap dilestarikan oleh lembaga-lembaga adat Dayak yang ada saat ini, khususnya DAD dan MADN. DAD bahkan mengambil dasar pemikiran terpenting dari sejarah Dayak yang ada di seluruh Kalimantan, yaitu Musyawarah Tumbang Anoi yang di adakan pada tahun 1894 di desa Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah. Musyawarah besar ini diikuti seluruh suku bangsa dayak yang tersebar di smua penjuru Kalimantan, yang bertujuan untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi bersama pada masa itu. Beranjak dari ilham sejarah masa lalu, maka kemudian DAD dibentuk, untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Dayak saat ini, dengan mengedepankan musyawarah dalam iklim demokratis.
Bentuk musyawarah yang digunakan dalam DAD memang bukan bentuk musyawarah yang sama dengan bentuk musyawarah tradisional. Tanpa melupakan bentuk dan budaya musyawarah tradisional, DAD sudah mengadopsi pula model musyawarah yang dikenalkan demokrasi modern. Beberapa perubahan yang
10
Wawancara dengan K.M.A. Usop,
11
Lih.hal.26
56
sangat nampak dalam musyawarah yang diadakan apabila dibandingkan dengan musyawarah tradisional :
1. Terdapat
pembatasan
waktu
dalam
berbicara
(bersuara
dan
mengungkapkan pendapat) 2. Walaupun tetap memberikan penghargaan tinggi terhadap suara dan pendapat individu, namun sudah dimasukan “voting”sebagai cara pengambilan keputusan, apabila dalam musyawarah tidak dapat mencapai kesepakatan.
Perbedaan antara model musyawarah yang digunakan oleh DAD dan model musyawarah tradisional memang dapat dijelaskan alasannya. Masyarakat Dayak tradisional hidup di dalam rumah betang. Betang adalah rumah tradisional masyarakat Dayak yang memiliki panjang 150-200 meter dan memiliki tinggi hingga 2-3 meter dari permukaan tanah, dan mampu memuat lebih dari 100 kepala keluarga untuk tinggal di dalamnya. Betang memiliki fungsi selain menjadi tempat tinggal, berfungsi pula sebagai tempat perlindungan dari bencana alam (khususnya Banjir), binatang buas, dan benteng dari serangan musuh. Kehidupan di dalam rumah sangat memungkinkan para penghuninya untuk dapat berbagi berbagai kebutuhan dalam hampir semua aspek, mulai dari ekonomi, pengetahuan, pendidikan, keterampilan, sampai hal yang sifatnya politis. Kehidupan tradisional sangat memungkinkan untuk menciptakan komunikasi intersubjektif dan integritas dengan baik karena memiliki lebenswelt yang tingkat solidaritasnya tinggi. Berbeda dengan masyarakat yang hidup dengan sistem kapitalisme dan kehidupan yang kompleks. Pada masyarakat yang terakhir ini, tingkat solidaritas yang dimiliki sudah mengendur (Hardiman, 2009 : 42-43)
DAD yang tetap mempertahankan dan mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan, dapat menjadi pertahanan terakhir mempertahankan solidaritas. Solidaritas yang mengendur pada masyarakat yang modern sudah tidak bisa kembali lagi pada masyarakat tradisional. Solidaritas yang mengendur pada 57
masyarakat modern dapat diperkuat kembali meningkatkan tindakan komunikatif yang
mengedepankan
komunikasi
intersubjektif
(Hardiman,
2009
:42).
Musyawarah yang tetap dipertahankan DAD memungkinkan untuk tetap basis mempertahankan solidaritas yang ada dalam masyarakat Dayak.
Mempertahankan musyawarah tidak hanya sekedar berlaku dalam DAD. MADN yang merupakan bentukan dari MUNAS II DADK, bahkan memuatnya dalam Anggaran Dasar (AD) MADN 12 , yang di sahkan pada MUNAS II DADK tangga; 4 Spetember 2006, di Pontianak. Untuk menampung aspirasi dan pendapat masyarakat Dayak secara baik, musyawarah yang diselenggarakan oleh DAD dan MADN dapat berupa dua bentuk. 1.
musyawarah yang dilakukan secara terprogram. Artinya musyawarah yang diselenggarakan memang sudah terencana serta masuk dalam program dan kegiatan yang diadakan oleh DAD dan MADN.
2. musyawarah yang diselenggarakan karena adanya kebutuhan atau tuntutan yang mendadak dan dianggap penting. Dari kedua bentuk musyawarah yang diselenggarakan berdasarkan kondisi di atas, tetap tetap melalui tematisasi masalah.
Musyawarah penolakan FPI yang diselenggarakan DAD adalah bentuk musyawarah dalam bentuk yang kedua. Perihal penolakan FPI sendiri belum di bahas di DAD dan MADN. Pembahasan yang akan di bahas, itupun pada sidang pleno selanjutnya, adalah hasil mensikapi hasil pertemuan yang di selenggarakan KESBANGPOLINMAS, dengan kesimpulan akhir “Masyarakat “Kalimantan Tengah, khususnya Palangka Raya belum butuh kehadiran FPI”. Namun di tengah sidang pleno, dimana terdapat perwakilan anggota MADN dan hampir semua Pengurus DAD Cabang Kalimantan Tengah hadir, harus menerima menerima kehadiran massa yang mempertanyakan info terkait kehadiran FPI 13 . 12
Lih. Hal. 9
13
Lih. Hal.
58
Dari kondisi di atas kemudian mendorong beberapa masalah yang dianggap penting dan akhirnya menuntut suatu tindakan dan gerakan bersama : 1. kehadiran dan gerakan massa yang mendatangi DAD/MADN kemudian membentuk suatu tematisasi masalah. Terdapat suatu masalah dalam masyarakat, yang dianggap perlu dibicarakan dan bahkan dicari solusinya. Pada kasus ini masyarakat merasa rencana kehadiran FPI di kalimantan adalah suatu masalah, yang kemudian ada upaya klarifikasi dan mengangkat masalah tersebut untuk dibagikan lebih lanjut oleh masyarakat Dayak, melalui lembaga ada, dalam hal ini DAD/MADN. 2. Kondisi yang memunculkan tematisasi masalah ini kemudian mendorong MADN melalui DAD, membuka musyawarah yang khusus untuk membahas kehadiran FPI di Kalimantan Tengah. Menyelenggarakan musyawarah secara mendadak ini dilakukan untuk menampung aspirasi dan pendapat massa dari masyarakat dayak yang sudah berkumpul dan berjumlah lebih dari seratus orang di Betang. Musyawarah ini merupakan bentuk musyawarah kedua, yang melihat pada kondisi dan kebutuhan yang mendesak. Gambar 11 Proses kemunculan dan pelaksanaan Ruang publik masyarakat Dayak dalam penolakan kehadiran FPI Massa Masyarakat Dayak
Komunikasi dalam rangka Klarifikasi, penyampaian ide dan aspirasi
Bentuk tematisasi masalah terkait rencana kehadiran FPI
DAD/MADN
59
Pelaksanaan fungsi ruang publik oleh DAD/MADN melalui musyawarah yang diadakan secara mendadak
5.2 Proses pelaksanaan Ruang Publik : Etika Diskursus di dalam Musyawarah penolakan FPI
5.2.1 Musyawarah dalam konteks Pemenuhan Prosedur Komunikasi
Pelaksanaan ruang publik dalam penolakan FPI di Palangkaraya dilaksanakan dalam bentuk musyawarah. Penyelenggaraan musyawarah secara mendadak ini dilakukan oleh DAD, karena melihat jumlah massa yang datang dan ingin menyampaikan aspirasi mereka terkait kedatangan FPI pada tanggal 11 Februari 2012. Massa yang datang berjumlah lebih dari seratus orang dan kemudia mereka meminta DAD, membuat suatu tindakan atau kebijakan menyikapi masalah yang mereka permasalahkan (kehadiran FPI). Keadaan massa yang riuh dan berbicara tidak teratur akhirnya membuat para pengurus DAD yang ada pada saat itu untuk melaksanakan musyawarah dadakan yang diadakan di dalam Betang, sehingga dapat mendengar aspirasi dan pendapat yang ingin disampaikan massa.
Pada saat Betang dibuka dan musyawarah dimulai, tempat tersebut langsung di penuhi massa. Bahkan banyak dari massa sendiri tidak dapat masuk karena terlalu penuh dan menunggu di luar.
“...akui, puna kuntep ih le. Puna are ih kalunen je dumah, kueh rami hindai ewen. Puna ramih ih. Sana mbuka batunggang, mampalus ewen tame, langsung kuntep ih ruang bentuk kau. Sampai hung baun kantor, kare tangga eka mandai te uras kalunen. Jia ulih balua tame te pang metuh te”. (....wah, penuh sekali. Banyak sekali yang datang, dan belum lagi mereka sangat ramai/gaduh. Begitu pintu dibuka dan mempersilahkan mereka masuk, ruang tengah langsung penuh. Sampai di depan kantor, di tangga tempat naik semuanya orang. Benar-benar tidak bisa keluar masuk saat itu.) 14
14
Kutipan wawancara dengan “D”, salah seorang staff DAD Cabang Palangka Raya.
60
Membuka Betang dan melaksanakan Musyawarah dadakan ternyata cukup membuat keadaan terkendali. Di tengah keramaian massa yang mengikuti musyawarah, terdapat fenomena menarik yang perlu diperhatikan.
“tapa are je tame huang te awang bakas pang. Tege kea je agak tabela, tapi hung “uluh itah” te jadi kasenan. Are uluh jadi kasenan. Amun je huang luar te tapa are bubuhan tabela tuntang je jia lalau kasenan uluh are. Tapa are ewen je umba-umba amun tege acara.....”. (kebanyakan yang masuk itu orang-orang tuan. Ada yang agak muda, tetapi di kalangan “orang kita” 15 sudah dikenal. Banyak orang yang sudah kenal. Kalau yang diluar itu kebanyakan anak-anak muda dan tidak terlalu terkenal. Kebanyakan adalah mereka yang ikut-ikutan kalau ada acara....) 16
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa pada saat pelaksanaan musyawarah ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Tidak semua orang dapat mengikuti musyawarah yang merupakan perwujudan dari ruang publik. Keadaan ini disebabkan karena a) ruang yang tersedia tidak dapat memuat massa yang datang, b) keadaan pada point (a) mengakibatkan tidak semua orang tidak dapat mengungkapkan pendapat, aspirasi, atau berargumen, c) bagian dari massa yang datang dan masuk Betang mengikuti musyawarah secara langsung adalah orang-orang tertentu yang kebanyakan orang yang sudah berumur (tua) dan orang yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Dayak, khususnya di Palangka Raya dan Kalimantan Tengah.
Keadaan ini akan tampak sangat wajar apabila dilihat dari kebiasaan yang bermusyawarah. Namun ketika keadaan ini dilihat dan dianalisa dari sisi ruang publik, khususnya dari prosedur komunikasi, keadaan ini tentunya akan menjadi masalah. 15
“uluh itah” atau “orang kita”adalah sebutan untuk orang sesama suku Dayak. Berasal dari bahasa dayak sub etnis Ngaju. 16 Kutipan wawancara dengan “D”.
61
“(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta dalam diskursus....” 17
Pada bagian prosedur komunikasi jelas bahwa semua orang yang memiliki kemampuan berbicara atau lebih tepatnya berargumen serta bertindak, dapat mengikut proses diskurus. Kemampuan berbicara yang dimaksud tidak terbatas pada peserta diskursus yang memiliki kemampuan kognitif dan wicara yang tinggi, tetapi lebih pada apakah peserta dari diskursus dapat menyampaikan argumennya dengan baik dan dapat dipahami oleh peserta diskurus lainnya. Pada keadaan di Betang pada saat musyawarah, tampak jelas bahwa tidak semua massa dan orang yang datang dapat mengikuti dalam pelaksanaan musyawarah. Setiap orang memiliki kesempatan dan hak untuk berbicara dan berargumen. Memang ada kendala dalam hal penyediaan ruang fisik dalam musyawarah. Namun ketika menilik bahwa setiap orang, terutama yang memiliki kebutuhan untuk mengemukakan argumen, hambatan-hambatan (seperti hambatan ruangan) perlu dipertimbangkan dan dicarikan solusinya, sehingga dapat menciptakan ruang publik yang terbuka untuk semua orang yang ada di tempat itu.
Kondisi yang sangat ramai di dalam Betang tidak menghalangi berjalannya musyawarah. Musyawarah diawali dengan kata-kata pembuka dari pengurus DAD, dan juga membenarkan info bahwa FPI akan melaksanakan Peresmian FPI Cabang Kalimantan Tengah dan Pelantikan Pengurus Cabang. Setelah kata-kata pembuka selesai disampaikan, maka pengurus DAD mempersilahkan pada para peserta musyawarah yang ada di dalam Betang satu persatu berbicara. Secara menyeluruh,
para
peserta
yang
memperoleh
kesempatan
mengungkapkan argumennya dengan berbagai macam cara dan ekspresi.
“rami ih ampi metuh te. Tege je santai bapander, tapi kata-kata ayu te handalem. Tege je sambila hureh. Sampai je kombak-kalaluk, sambil “manukiu”, kare hapantun narai, macam-macam ih.” (pokoknya ramai
17
Lih. Hal. 20
62
berbicara
waktu itu. Ada yang berbicara dengan santai. Ada yang diselingi bercanda. Sampai yang sambil berteriak-teriak, sambil “manukiu” 18 , berpantun juga, pokoknya macam-macam) 19
Paparan di atas menggambarkan bahwa pada saat musyawarah, para peserta menggunakan berbagai macam cara dan ekspresi dalam menyampaikan argumen. Dari hasil penelusuran, dari sekian banyak argumen, ternyata memuat isi pikiran yang sama. Semua peserta yang menyampaikan argumen menolak kehadiran FPI di Kalimantan Tengah, khususnya Palangka Raya. Berdasarkan hasil wawancara dengan “Y” salah satu pengurus DAD, yang memegang peranan cukup penting di kepengurusan, bahwa sama sekali tidak ada peserta dari musyawarah yang tidak setuju terhadap pernyataan menolak kehadiran FPI di Kalimantan Tengah.
“..urah rami manjuju arepa pander ih. Kueh rami uluh intu huang tuh. Uras madu pander kasingi tuntang karahasnewen dengan FPI kau...jatun pang ewen te je menolak atau je beken-beken ampi pikira, je katawangku male te uras pander menolak FPI kau dumah.” (kebanyakan ingin berbicara. Belum lagi kondisi di dalam ramai. Semua ingin menyampaikan rasa emosi mereka terhadap FPI.....memang kemarin tidak yang menolak atau pemikirannya berbeda, yang saya tau kemarin yang berbicara, menyatakan menolak kedatangan FPI) 20
Pada proses pelaksanaan musyawarah tidak ada yang menolak pernyataan dan argumen yang menyatakan menolak kehadiran FPI 21 . Meskipun menggunakan 18
Teriakan khas masyarakat dayak di Kalimantan Tengah, khususnya sub etnis Ngaju. Pekikan yang di awali dengan teriakan “lo...lololololololoooooo” dan dibalas oleh orang lain di tempat itu dengan teriakan “kkkiiiuuuu”. Biasanya digunakan pada saat moment‐moment penting seperti upacara adat. 19
Wawancara dengan “M”, salah seorang staf sekretaris DAD. Wawancara dengan “J”, seorang mahasiswa yang ikut dalam musyawarah 21 Penolakan yang terwujud dalam bentuk pernyataan sikap ini berujung pada penolakan yang cenderung dilakukan sepihak dan tanpa mendengarkan pendapat dan argumen dari pihak FPI. Surat pernyataan sikap dari DAD ini kemudian mendorong ormasi‐ormas yang ada di Kalimantan Tengah, khususnya palangkaraya turut membuat pernyataan sikap bersama untuk menolak kehadiran FPI. (sumber belum dimasukan) 20
63
berbagai macam kata, cara, dan ekspresi, inti dari argumen yang mereka sampaikan adalah sama. Pada pelaksanaan ruang publik setiap orang memiliki hak untuk mengemukakan argumen dengan bebas 22 .
(...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya 23 .
Pada saat menyampaikan argumenpun, para peserta musyawarah para peserta tidak dihalang-halangi, atau dihambat. Terbukti bahwa pada paparan di atas peserta memaparkan argumen, dengan berbagai cara (termasuk berteriak, dengan canda dan berpantun).
(...3) Tak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan hakhaknya yang tercantum dalam (...1) dan (...2)” 24
Hal menarik lain yang dapat ditarik dari paparan di atas terdapat adalah terdapat kesamaan inti argumen. Kesemuanya berargumen dalam berbagai bentuk, namun mendukung penolakan kehadiran FPI. Keadaan tersebut apabila ditinjau dari sudut ruang publik, terutama diskursus praktis, maka ada terdapat permasalahan yang penting diperhatikan dalam penyelenggaraan ruang publik.
“...pengujian pada ketepatan klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma atau pengaturan tindakan intersubjektif. Dalam diskursus praktis sangat diutamakan bagaimana membahas dan menyelesaikan berbagai problematisasi yang terkait dengan tindakan, aturan, pengambilan sikap, dan semua hal yang terkait interaksi, baik secara individu maupun bersama bagi para partisipan.”
22
Lih.hal.48, bentu musyawarah masyarakat Dayak tradisional, butir 2. Lih.hal. 8 24 Lih.hal. 8‐9 23
64
Pelaksanaan
musyawarah
memang
memberikan
keleluasaan
yang
memenuhi prosedur komunikasi dimana musyawarah, a) memberikan kesempatan semua peserta musyawarah untuk berbicara (walaupun tidak semua massa yang datang dapat ikut secara langsung), b) memberikan keleluasaan untuk menyampaikan aspirasi bagi para peserta terkait dengan permasalahan problematis yang diangkat. Lebih dari itu, diberikan pula kebebasan dan keleluasaan dalam segi cara penyampaian dan bentuk argumennya.. Ditinjau dari sisi demokratis, keadaan yang dipaparkan di atas sudah ememnuhi standar demokrasi, terutama terkait dengan kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Pada standar demokrasi yang dikemukakan, dikatakan bahwa tiap orang memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh orang lain dalam konteks mengambil keputusan bersama atau kolektif 25 . Terpenuhinya prosedur komunikasi memang memenuhi prinsip demokrasi dan kekebasan mengemukakan pendapat tetapi akan berbeda apabila ditinjau dari konteks diskursus praktis, khususnya terkait esensi dari diskursus praktis sendiri.
5.2.2 Tidak Tercapainya Esensi dari Diskursus Dalam Musyawarah
Pada ruang publik pelaksanaan dan ketaatan pada prosedur komunikasi mutlak harus berjalan. Lebih dari itu, dalam ruang publik, perlu adanya pemeriksaan dan pengujian-pengujian terhadap klaim-klaim kesahihan yang muncul. Proses diskursus di dalam ruang publik merupakan suatu media untuk mengajak pesertanya melihat berbagai masalah yang umumnya diterima secara naif di masyarakat, menjadi
masalah problematis, dimana solusi hanya bisa
didapatkan dan diterima melalui komunikasi intersubjektif yang sifatnya reflektif.
Proses musyawarah penolakan FPI yang dilaksanakan oleh DAD, tampak telah memenuhi memenuhi prosedur komunikasi diskursus dalam pelaksanaan
25
Lih.hal 25, 52.
65
ruang publik 26 . Pada sisi lain musyawarah tersebut malah tidak memenuhi pada konteks pengujian-pengujian klaim kesahihan. Berbagai argumen yang muncul mengarah pada satu hal yang sama, yaitu penolakan FPI hadir di Kalimantan Tengah, khususnya Palangka Raya. Tidak ada peserta yang menggunakan hak berbicaranya untuk mempertanyakan atau menguji klaim-klaim kesahihan dalam bentuk argumen yang muncul dalam musyawarah. Berbagai argumen yang muncul bersifat afirmatif (menguatkan atau mengesahkan) terhadap pernyataan penolakan FPI.
Pada keadaan di atas, habermas berargumen keadaan di atas dapat terjadi dalam kondisi masyarakat yang memiliki sosiokultural yang sama. Namun keadaan yang dimaksud adalah masyarakat tradisional yang belum kompleks. Masyarakat dayak, khsususnya yang berada di Palangka Raya merupakan masyarakat yang sudah hidup dalam kompleksitas. Tentunya fenomena ini menjadi menarik, dimana masyarakat yang sudah memiliki kompleksitas, namun melaksanakan ruang publik sebagai suatu bentuk afirmasi akan pernyataan atau tindakan tertentu.
Pada paparan bagian awal bab ini dijelaskan bahwa pada masyarakat Dayak tradisional, sudah terdapat iklim demokrasi dalam musyawarah. Pada proses musyawarah ini terdapat nilai- nilai yang ditonjolkan yaitu, kebebasan berbicara dan berpendapat, serta kesetaraan. Keadaan yang demikian sangat memungkinkan terjadinya perdebatan dan diskursus yang dapat digunakan dalam menguji klaim-klaim kesahihan yang muncul dalam musyawarah.
“Perdebatan tege. Jia je memungkinkan, pasti tege perdebatan.puna tege perdebatan. Malah sampai wayah tuh kan mamumpung uluh Dayak te paheka ih ikau marumusa. Mun rapat-rapat te, madu hapander urasa, heka ikau marumusa” (Perdebatan ada. Bukannya saja memungkinkan, pasti tege
26
Kecuali terkait prosedur komunikasi point (a) terkait hak parisipasi dan keterlibatan dalam ruang publik. Hal ini dikarenakan adanya kendala ruangan yang tidak mampu menampung keseluruhan massa pada proses pelaksanaan musyawarah.
66
perdebatan. Malahan sampai sekarang apabila mengumpulkan orang Dayak, akan lebih melelahkan pada meurumuskan apa yang dibicarakan. Apabila ada rapat-rapat itu, semuanya mau berbicara 27 , pasti kamu capek merumuskannya” 28
Paparan wawancara di atas menunjukan bahwa dalam musyawarah masyarakat Dayak sudah terbiasa dengan perdebatan, terutama untuk memutuskan kesepakatan bersama. Bahkan perdebatan dan adu argumen seringkali menjadi rumit dan sulit dirumuskan. Tetapi itu semua merupakan suatu proses diskursus yang tetap memiliki solusi yang kemudian dapat disepakati bersama. Keadaan musyawarah yang dipenuhi dengan potensi diskursus dan pengujian klaim-klaim kesahihan pada masyarakat Dayak tradisional, tampak tidak berlaku sama dengan musyawarah masyarakat Dayak yang membahas tentang penolakan FPI.
Pada musyawarah penolakan FPI, tidak layaknya
msuyawarah yang umum terjadi dalam masyarakat Dayak tradisional, diskursus dan pengujian klaim pada musyawarah penolakan FPI tidak berjalan dan menampung argumen yang sifatnya afirmatif pada pernyataan menolak FPI. Keadaan ini menunjukan pada proses pelaksanaan ruang publik yang tidak sempurna dan lebih pada ruang publik sebagai formalitas untuk memberikan legitimasi untuk melakukan penolakan terhadap kehadiran FPI. Pelaksanaan
musyawarah
yang
mengedepankan
kesetaraan
dan
menggunakan “logika persamaan” dimana tiap orang berhak mengemukakan pendapat dan gagasan, pada msuyawarah penolakan FPI belum menjadi terciptanya ruang publik yang berjalan dengan baik. Berjalannya kebebasan berpendapat yang berdasarkan pada logika persamaan pada musyawarah tersebut tidak memunculkan suatu bentuk diskursus, dimana di dalamnya terjadi belum terdapat suatu pengujian terhadap klaim-klaim kesahihan yang muncul. Keadaan inilah yang menggambarkan ketidaktercapaian esensi dari diskursus praktis di dalam ruang publik sekalipun berada pada kondisi msuyawarah yang demokratis 27
Berbicara yang dimaksud, adalah berargumen, berpendapat, bertanya, memberikan koreksi, dan terkait dengan semua perihal perdebatan. 28 Wawancara dengan K.M.A. Usop
67
Keputusan Masyarakat Dayak melalui DAD untuk menolak kehadiran FPI di Kalimantan Tengah, memang bukan pernyataan dan tindakan yang tidak berdasar. Pernyataan dan tindakan itu dilandaskan pada kebiasaan dan perilaku FPI selama ini yang seringkali melakukan berbagai kekerasan 29 . Kehadiran FPI dengan perilaku yang menonjolkan kekerasan ditakutkan akan merusak tatanan “budaya dan falsafah Betang” 30 yang sudah tertanam dan dijalankan di kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah, terutama masyarakat Dayak.
5.2.3. Keterbungkaman Argumen Lainnya Dalam Musyawarah
Proses
pelaksanaan
musyawarah
yang
dilaksanakan
DAD
untuk
menampung aspirasi dan keinginan masyarakat Dayak di Palangka Raya, tidak memenuhi esensi diskursus apabila ditinjau dari sudut pandang ruang publik. Meskipun pada tataran pelaksanaan prosedur komunikasi, muyawarah tersebut masih bisa memenuhi, tetapi dari proses diskursus sendiri tidak tercapai. Berbagai argumen yang muncul dalam muyawarah berbentuk afirmasi terhadap pernyataan dan tindakan untuk melakukan penolakan terhadap rencana kehadiran FPI di kalimantan Tengah, khususnya di Palangka Raya. Keadaan musyawarah yang kebanyakan argumennya lebih bersifat afirmatif pada pernyataan dan tindakan tertentu ternyata dapat meredam argumenargumen yang berbeda dari para peserta ruang publik. Salah satunya terungkap dari wawacara dengan “J” 31 , yang sebenarnya memiliki pemikiran cukup berbeda dengan pernyataan yang muncul dan di sepakati dalam musyawarah.
29
Tercatat, sepanjang sejarah berdiri, FPI sudah melakukan berbagai tindak kekerasan. Pada berita koran Kompas, tanggal 30 Agustus 2010 dengan judul berita “Ini Ormas Yang Kerap Melakukan Kekerasan”, Kapolri mengatakan bahwa FPI dalam rentang waktu 2007‐2010 telah melakukan 107 tindak kekerasan. 30 Lih. hal. 54 31 Seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Palangka Raya, yang mengikuti pelaksanaan Musyawarah penolakan FPI.
68
“Sabujura amun mengingat itah tuh negara demokratis, tege kasala kea bara uluh itah. Memang FPI te ormas je jia bahalap hadata, rancak anarkis, tapi tampuli hindai, itah tuh hung negara demokratis. Mun je tamam te uluh itah dengan pemerintah te munduk dengan ewen FPI. Hung hete itah menyatakan penolakan itah”. (sebenarnya bila mengingat kita ini ada di negara demokratis, ada kekeliruan dari dari uluh itah/orang kita. Memang, FPI te ormas yang adatnya kurang bagus, sering anarkis, tapi kembali lagi, kita ini berada di negara yang demokratis. Yang lebih hebat apabila “uluh itah”/ orang kita, bersama pemerintah, duduk bersama FPI. Disitu kita nyatakan penolakan kita)
Hasil wawancara dengan “J” tampak bahwa narasumber lebih setuju bahwa pernyataan tersebut dikeluarkan dalam kondisi yang mengarah pada suatu forum atau pertemuan, dimana pihak masyakat Dayak dan FPI bertemu. Pada pertemuan atau forum itulah, menurut narasumber, pernyataan tersebut dikeluarkan. Dari paparan kutipan wawancara di atas tampak bahwa sebenarnya tidak semua memiliki argumen yang sama terkait kehadiran FPI. Terdapat individu-individu yang berpikir bahwa tidak sama.
Selain “j”, terdapat pula beberapa orang yang ditemui, yang memiliki pemikiran yang berbeda. Narasumber lainnya adalah “YR” 32 yang ikut hadir dalam pelaksanaan musyawarah.
“Dilema kea le. Ije sisi te memang ela kea ewen FPI kau tege hung petak itah. Turem ih ampi hung kare berita te, je kare marusak narai. Jia kia handak sampai eka itah kilau te. Tapi hung ije sisi hindai aku kurang setuju kea dengan cara ayun itah je ampi baya sepihak menolak, jatun mahining bara ewen” (Dilema juga. Di satu sisi jangan sampai juga pihak FPI berada di tahan kita. Kamu bisa liat sendiri di banyak berita, yang perbuatan mereka merusak. Saya tidak ingin juga terjadi seperti itu di tempat kita. Tapi memang di satu sisi lagi aku kurang setuju juga dengan cara kita, yang
32 mantan aktivis mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Palangka Raya
69
tampaknya secara sepihak menolak, tanpa mendengarkan pendapat dari pihak mereka)
Kutipan wawancara di atas kembali menggambarkan perbedaan pemikiran. Narasumber “Y” lebih setuju bila masyarakat Dayak, perlu juga mendengarkan pendapat dan argumen dari pihak FPI sebagai bahan pertimbangan. Artinya para narasumber yang berbeda pendapat lebih setuju bila masyarakat Dayak, melalui DAD, membuka ruang publik yang lebih luas, terutama untuk FPI. Untuk masalah ini, argumen yang hampir serupa diungkapkan oleh nara sumber “MT”, “K”, dan “S”. Para narasumber itu sendiri mengatakan bahwa tidak hanya mereka yang memiliki permikiran yang berbeda, tetapi juga beberapa orang lain, baik yang mengikuti msuyawarah maupun tidak mengikuti.
Perihal yang menarik dilihat dari konteks ruang publik pada pelaksanaan musyawarah tersebut, adalah ternyata pada individu-individu yang menjadi peserta, terdapat pemikiran yang berbeda dari argumen yang disepakati bersama. Sayangnya pemikiran-pemikiran dan argumen tersebut tidak muncul pada saat proses pelaksanaan ruang publik. Keadaan ini bukannya tanpa alasan, melainkan karena beberapa pertimbangan. 1) Rasa segan terhadap peserta lain. Rasa segan ini muncul dari perbedaan umur (antara yang muda dan tua), perbedaan status sosial dan pekerjaan, riwayat dan jejak rekam yang dimiliki di dalam pergerakan masyarakat Dayak, dan perbedaan tingkat kepopuleran. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang mengarah pada kesenjangan dalam hal kesuksesan dalam hal kemapanan di masing-masing bentuk kesenjangan yang telah disebutkan. Semakin tinggi tingkat kemapanan seseorang yang berbicara, maka akan semakin segan untuk dibantah atau mengungkapkan argumen yang berbeda. 2) Rasa takut akan menjadi cibiran orang lain atau mendapat diskriminasi dari peserta yang lain. Peserta yang memiliki pendapat atau argumen berbeda, merasa takut apabila argumennya di kemukakan, tidak sejalan 70
dengan
argumen
yang
dominan
dalam
musyawarah,
sehingga
memunculkan rasa taku lain, yaitu rasa takut dicibir dan mendapat diskriminasi. 3) Merasa bahwa argumen yang dimiliki tidak akan berpengaruh bila dilemparkan dalam musyawarah. Peserta yang memiliki argumen berbeda merasa argumennya tidak akan berpengaruh pada kondisi musyawarah, dimana massa dan para pesertanya sedang didominasi rasa emosi dan cenderung menyetujui pernyataan yang pada akhirnya disepakati. Peserta tersebut merasa argumennya akan menjadi sia-sia apabila dilemparkan dalam musyawarah, dan memilih untuk mengikuti proses dan hasil musyawarah yang telah berjalan. 4) Pada beberapa peserta merasa bahwa pemikiran lewat belaka, jadi merasa lebih baik mengikuti arus keinginan massa. Seandainya terdapat masalah dikemudian hari dari hasil musyawarah, mereka yakin pasti akan segera ditemukan solusinya. Pada musyawarah penolakan FPI sendiri, ruang publik yang telah tersedia, telah menjalankan prosedur komunikasi yang menjamin hak-hak peserta, terutama untuk dapat berbicara tanpa berada di bawa tekanan. Namun jaminan tersebut tidak membuat peserta musyawarah tersebut merasa aman dalam mengungkapkan argumennya, sehingga peserta yang memiliki argumen berbeda memilih diam atau mengikuti argumen yang didominasi massa dan terjadi keterbungkaman. Keadaan ini sangat berbeda dengan kondisi umum yang terjadi dalam musyawarah masyarakat Dayak tradisional, yang memungkinkan terjadinya perdebatan dan diskursus yang memungkinkan terjadinya pengujian-pengujian klaim kesahihan yang muncul.
71