74
BAB V DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1
Gambaran Umum Provinsi Bali Bali adalah nama salah satu dari 34 provinsi di Indonesia. Bali terletak di
antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya adalah Denpasar yang terletak di Kota Denpasar di bagian selatan Pulau Bali. Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai adat istiadat dan senibudayanya. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Provinsi Bali terdiri dari satu pulau utama, yaitu Pulau Bali dan beberapa pulau kecil lainnya, seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan dan Pulau Menjangan. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk Agama Hindu. Menurut BPS (2015), secara administrasi Provinsi Bali terbagi menjadi 8 kabupaten, 1 kota, 57 kecamatan, 715 desa/kelurahan, 1.482 desa pakraman (desa adat), dan 1.604 subak sawah serta 1.107 subak abian. Luas wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan adalah 5.636,66 km2. Kabupaten Buleleng memiliki luas terbesar yaitu 1.365,88 km2, diikuti Kabupaten Jembrana 841,80 km2, Karangasem 839,54 km2, Tabanan 839,33 km2, Bangli 520,81 km2, Badung 418,52 km2, Gianyar 368,00 km2, Klungkung 315,00 km2 dan terkecil adalah Kota Denpasar dengan luas wilayah 127,78 km2. Luas wilayah, jumlah
75
kecamatan dan jumlah desa/kelurahan menurut kabupaten/kota disajikan pada Lampiran 4. Provinsi Bali merupakan salah satu dari 34 Provinsi di Indonesia yang memiliki luas wilayah hanya 0,29 persen dari luas wilayah Indonesia. Secara geografis, Provinsi Bali terletak pada posisi 08o-03’ 40” - 08o 50’ 48” Lintang Selatan dan 114o 25’23” – 115o 42’ 40” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Provinsi Bali adalah sebelah utara Laut Bali, sebelah timur Selat Lombok, sebelah selatan
P. M enjangan
T L A U
8°10'
1 15°30'
1 15°10'
1 14°50'
1 14°30'
Samudera Indonesia dan sebelah barat Selat Bali seperti pada Gambar 5.1
I B A L
T LA S E
KABUPAT EN BULELENG
S E L A T L O M B O K
L I B A
KABUPAT EN BAN GLI KABUPAT EN JEMBRANA
KABUPAT EN KARANGASEM
KABUPAT EN T ABANAN
KABUPAT EN GIANYAR 8°30' KABUPAT EN BADUN G
KABUPAT EN KLUNGKUNG
NG A DU A T B S EL KOTA DENPASAR
P. Lem bongan P. C eningan
P. S erangan
S A M U D E R A
P. N usa Penida
I N D O N E S I A
8°50'
N
W
BAL I
E S
10
0
10 KM
Gambar 5.1. Peta letak Geografis Provinsi Bali Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015 Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ketimur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung
76
serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk,
Gunung Patas dan
Gunung Seraya. Puncak Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Ditinjau dari ketinggian daratan bagian selatan Pulau Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Pulau Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Harris (1984) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Kondisi geografis Pulau Bali dengan banyaknya pegunungan di bagian utara mengakibatkan adanya wilayah perdesaan, perkotaan dan beberapa daerah yang terpencil di daerah pegunungan. Kondisi serta struktur geografis Pulau Bali pada beberapa kabupaten seperti kabupaten Buleleng, kabupaten Karangasem, kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Bangli yang jauh dari pusat pemerintahan Provinsi dan diperberat dengan kondisi masyarakat yang memiliki keterbatasan pada penguasaan lahan seta diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air, kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Kondisi ini memicu tingginya tingkat kemiskinan di beberapa kabupaten di Bali dibandingkan dengan yang berada di wilayah selatan Pulau Bali.
77
5.1.2 Kondisi Kependudukan Provinsi Bali Menurut BPS Provinsi Bali, (2014), jumlah penduduk di wilayah Provinsi Bali tahun 2013 dengan proyeksi tercatat sebanyak 4.056,3 ribu jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 720 jiwa/km2. Penyebaran penduduk di Provinsi Bali antara lain di Kabupaten Buleleng yang memiliki wilayah terbesar dengan penduduk mencapai 638,3 ribu jiwa yakni sebesar 15,74 persen atau masih dibawah rata – rata kepadatan penduduk di Bali secara umum sedangkan di Kota Denpasar berlaku sebaliknya memiliki kepadatan penduduk sebesar 6.622 jiwa/km2. Kondisi Kota Denpasar menyebabkan Kota Denpasar adalah kota yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi sehingga menjadi sorotan penting bagi kelangsungan dan pemerataan pembangunan di Kota Denpasar. Populasi jumlah penduduk yang tinggi di Kota Denpasar memerlukan kebijakan terhadap penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Jumlah lapangan kerja yang banyak akan diikuti dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang terserap. Apabila tidak tersedia lapangan kerja yang memadai akan meningkatkan jumlah kemiskinan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Kondisi jumlah penduduk yang tinggi memungkinkan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebab bagi penduduk yang tidak mampu bersaing dalam memperoleh pekerjaan akan jatuh dalam jurang kemiskinan. Menurut Todaro (2000), secara tradisional pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja merupakan salah satu faktor positif yang memicu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tenaga kerja produktif. Jumlah tenaga kerja yang tinggi dapat memiliki dua arti
78
yang penting. Sisi pertama tenaga kerja merupakan input suatu pembangunan dan pada sisi kedua tenaga kerja adalah faktor output pembangunan. Menurut BPS Bali (2014), pertumbuhan penduduk di Bali pada periode 1990-2000 meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 1,26 persen dalam satu tahun menjadi 2,15 persen pada periode 2000-2010. Selain itu, juga terjadi ketimpangan yang cukup tajam dalam hal pertumbuhan penduduk antar kabupaten/ kota di Bali yaitu 4,62 persen di Kabupaten Badung dan 4,01 persen di Kota Denpasar, dan hanya sekitar 1,0-1,5 persen di kabupaten lainnya bahkan kurang dari 1 persen di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Klungkung. Bila laju pertumbuhan penduduk per kabupaten/kota di Bali masih tetap sama dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2000-2010 maka perkiraan jumlah penduduk Bali pada tahun 2020 akan mencapai 4.727.270 jiwa, dimana penduduk Kota Denpasar akan melampaui jumlah 1 juta jiwa. Tingginya pertumbuhan penduduk disebabkan oleh karena tingginya arus migrasi masuk dari luar Bali dan tingginya perpindahan penduduk dari kabupaten lain ke Kabupaten Badung dan Kota Denpasar dan juga karena meningkatnya angka kelahiran. Dalam 10 tahun terakhir total fetility rate (angka kelahiran total) di Bali mengalami peningkatan dari 2,10 menjadi 2,30, sedangkan total fetility rate (angka kelahiran total) pada tahun 1997 pernah mencapai 1,89. Meningkatnya angka kelahiran disebabkan karena menurunnya persentase pasangan usia subur yang sedang memakai alat kontrasepsi (current use) dan berubahnya pola pemilihan metode kontrasepsi dari metode jangka panjang yang tingkat kelangsungan pemakaiannya (continuation
79
rate) lebih tinggi ke metode jangka pendek yang tingkat kelangsungannya lebih pendek 5.1.3 Kondisi Kesehatan Penduduk di Provinsi Bali Pembangunan kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam penilaiannya memrlukan berbagai jenis pendekatan yang lebih menekankan pada faktor penyelenggaraan kesehatan masyarakat. Pada saat masyarakat dalam keadaan sakit pendekatannya ditekankan dengan memberikan bantuan langsung terhadap pengobatan (kuratif). Pada saat masyarakat dalam keadaan sehat, pemerintah lebih menekankan pada upaya untuk menghindari terjadinya suatu penyakit termasuk pada upaya pencegahan dan penyadaran masyarakat (preventif dan promotif) akan pentingnya menjaga kesehatan. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat dibarengi dengan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Bali (2013), jumlah tenaga dokter umum di Provinsi Bali tahun 2013 adalah sebanyak 1.173 orang. Jumlah kebutuhan berdasarkan ratio/penduduk adalah 1.623 orang, sehingga masih kekurangan tenaga dokter sebanyak 450 orang. Namun dari segi distribusi tenaga dokter umum di kabupaten/kota tidak merata. Masih terdapat kekurangan sebanyak 1.084 orang. Tidak meratanya jumlah tenaga kesehatan khususnya bagi pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pelayanan kesehatan. Besarnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat kepadatan penduduk serta susunan distribusinya sangat berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Tingginya tingkat
80
urbanisasi sangat berpengaruh pada kesehatan lingkungan, gangguan kejiwaan pada masyarakat (psikososial) dan memudahkan penularan penyakit. Kondisi kesehatan penduduk Bali dan permasalahan kesehatan yang akan dihadapi akan semakin kompleks. Permasalahan ini disebabkan adanya transisi epidemiologi penyakit di Bali. Jumlah penduduk yang menderita penyakit infeksi seperti misalnya TBC, demam dengue, diare, infeksi saluran nafas akut, dan lainlainnya masih cukup banyak, penyakit infeksi baru (new emerging deseases) akan mengalami peningkatan pula, seperti misalnya SARS, flu burung, HIV/AIDS, dan lain-lainnya. Penyakit-penyakit sebagai akibat perilaku juga akan terus meningkat seperti misalnya penyakit-penyakit yang muncul karena kecanduan alkohol, narkoba, merokok, kegemukan dan lain-lainnya. Kejadian penyakit-penyakit degeneratif seperti misalnya penyakit jantung koroner, stroke, dan kanker juga akan terus meningkat. Terjadinya peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak sebanding dengan peningkatan penghasilan penduduk akan mengakibatkan tingginya beban biaya layanan kesehatan sehingga jumlah penduduk dengan penyakit penyakit menahun (khronis) akan semakin banyak. Pemerintah Provinsi Bali telah menggelontorkan Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), tetapi sarana pendukungnya berupa ruang rawat inap Kelas III di semua rumah sakit yang ada di Bali masih kurang, terlebih lagi diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Secara Nasional (JKN). 5.1.4 Kondisi kemiskinan Provinsi Bali Pemerintah Provinsi Bali menetapkan pengurangan jumlah penduduk miskin sebagai prioritas utama dalam RPJMD Tahun 2008-20013, dengan jumlah
81
yang ditargetkan menurun menjadi 174.510 orang penduduk miskin atau setara 4,38 persen dari total penduduk Bali dengan target penurunan Rumah Tangga Miskin (RTM) sejumlah 10 ribu RTM (LP2KD, 2013). Jumlah penduduk miskin dan persentase 4,38 persen menempatan Provinsi Bali pada urutan kedua Provinsi dengan persentase kemiskinan terendah di Indonesia setelah DKI Jakarta (BPS, 2014). Perbandingan komposisi penduduk miskin di Provinsi Bali memiliki perbedaan dengan Provinsi lain. Menurut BPS Provinsi Bali (2014), daerah perdesaan di Bali pada umumnya memiliki jumlah penduduk miskin lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan. Pada tahun 2006-2008 selisih ini mencapai dua digit, namun mengalami penurunan pada tahun 2009 mencapai 2,4 ribu. Sejak tahun 2010, kondisi ini terbalik yakni jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan, jumlah penduduk miskin di perkotaan sejumlah 83,6 ribu sedangkan di perdesaan sejumlah 91,3 ribu. Tahun 2011 selisih ini meningkat 19,6 ribu, sedangkan pada tahun 2014 selisih ini menjadi 14,6 ribu. Kondisi kemiskinan di masing masing kabupaten/kota di Bali juga sangat dipengaruhi
oleh
kemajuan
pembangunan
di
masing-masing
wilayah
kabupaten/kota yang juga sangat ditentukan oleh sumber-sumber dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing masing wilayah. Kabupaten/kota yang kaya sumber atau potensi ekonomi akan memiliki peluang berkembang lebih cepat kdibandingkan kabupaten/kota yang tergolong daerah miskin. Kabupaten Badung yang memiliki potensi besar dalam pengembangan kegiatan pariwisata, Kabupaten Gianyar yang memiliki potensi dalam kegiatan industri kecil, dan Kabupaten Tabanan di sektor pertanian. Sementara itu, Kabupaten Karangasem,
82
Kabupaten Buleleng atau Kabupaten Bangli memiliki sumber atau potensi ekonomi
yang
relatif
terbatas
yang
mengakibatkan
terhambatnya
laju
pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali mencapai 6,49 persen per tahun, Kabupaten Karangasem hanya sebesar 5,19 persen per tahun, sedangkan Kabupaten Bangli tumbuh dengan 5,84 persen per tahun, Kabupaten Tabanan hampir mencapai 5,82 persen, Kabupaten Badung dan Gianyar masing-masing sebesar 6,69 persen dan 6,76 persen per tahun. Tingkat kemiskinan terendah pada tahun 2014 dijumpai di Kota Denpasar sedangkan tingkat kemiskinan tertinggih hingga saat ini masih berada di Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng.
Tingkat kemiskinan berdasarkan
klasifikasi daerah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Bali Menurut Klasifikasi Daerah Tahun 2004 - 2014 Periode Kota Maret 2004 87.0 Maret 2005 105.9 Maret 2006 127.4 Maret 2007 119.8 Maret 2008 115.1 Maret 2009 92.1 Maret 2010 83.6 Maret 2011 92.7 Maret 2012 90.4 Maret 2013 94.8 Maret 2014 99.9 Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015
Penduduk Miskin (000 jiwa) Kota +Desa Desa 144.9 122.5 116.0 109.3 100.6 89.7 91.3 73.1 76.5 65.1 85.3
231.9 228.4 243.5 229.1 215.7 181.7 174.9 165.8 166.93 159.9 185.2
83
5.2
Deskripsi Data Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan AMOS, didapat deskriptif hasil Penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Deskriptif Statistik Peningkatan Angka Morbiditas di Provinsi Bali Variabel Sanitasi Listrik RLS AMH UMK PDRB TK AM Sumber: Lampiran 1
Mean 96.25 97.09 7.64 85.91 7.14 4.90 6.29 21.96
Minimum 16.00 86.70 4.80 68.00 3.10 1.00 1.52 9.20
Maximum 98.20 100.00 11.10 98.00 14.00 21.00 10.50 48.20
Masing masing variabel yang diperoleh dari deskriptif statistik pada Tabel 5.2 dapat dijelaskan sebagai berikut. 5.2.1
Proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak Salah satu kunci dalam pencegahan penyakit terutama penyakit menular
adalah mengupayakan sanitasi yang baik sebagai salah satu kunci kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. sanitasi merupakan perilaku yang sengaja untuk membudidayakan hidup bersih guna mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan berbahaya lainnya. Dari data yang ada,secara umum kondisi sanitasi di Indonesia masih cukup memprihatinkan, hampir 75 persen sungai dan 80 persen air tanah tercemar. Lebih ironis lagi, 70 juta penduduk masih melakukan BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Selain itu, sekitar 30 persen
penduduk
Indonesia
belum
mempunyai
akses
sanitasi
yang
memadai.Proporsi rumah tangga dengan sanitasi yang layak di Provinsi Bali
84
sudah cukup baik, baik dilingkungan perkotaan maupun perdesaan. Data Proporsi Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak berdasarkan deskriftif Statistik (lampiran 1). Nilai minimum berada pada titik 16.00 persen pada tahun 2003 di Kabupaten Buleleng dan nilai maksimum pada 98.20 di Kota Denpasar pada tahun 2013. Proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak di kabupaten/kota se Provinsi Bali dari tahun 2002-2013 mengalami peningkatan yang cukup tinggi, namun pada tahun 2013 masih terdapat dua kabupaten yang memiliki prosentase proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak yang jauh lebih rendah dengan kabupaten lainnya, kedua kabupaten tersebut antara lain kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Dilihat dari data pada Tabel 5.3 menunjukan kondisi proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak belum 100 persen, rendahnya kualitas layanan sanitasi ini juga terjadi tidak terlepas dari belum optimalnya kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan dalam penanganan sanitasi dan masih bersifat parsial, dalam artian belum terkoordinasi secara mantap. Sanitasi seringkali dianggap sebagai urusan tidak penting sehingga sering termarjinalkan dari urusan-urusan yang lain. Masih banyak dijumpai bahwa aspek-aspek pembangunan sanitasi, yaitu air limbah, persampahan dan drainase, serta penyediaan layanan air bersih masih berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing aspek tersebut ditangani secara terpisah, meskipun masuk dalam satu bidang pembangunan yaitu sanitasi, sehingga masih terdapat tumpang tindih kegiatan pembangunan bidang sanitasi oleh institusi yang berbeda-beda, yang terkadang dapat membingungkan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan.
85
Proporsi rumah tangga dan akses hanya 44,19 persen dari target MDG’s sebanyak 68,87 persen. Masih banyak perilaku Buang Air Besar Sembarangan yang berdampak buruk bagi kesehatan. Belum lagi masalah lingkungan seperti wabah DBD yang kerap menyerang hingga menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) sebesar 431.609 jiwa masyarakat Bali yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat. Angka itu setara dengan sekitar 13 persen dari total penduduk Bali. Untuk kebutuhan air bersih masih belum melayani seluruh penduduk Kabupaten. Tingkat pelayanan air minum masih jauh dari target MDG’s maka perlu ditingkatkan tingkat pelayanan air minum. Data Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013, memperlihatkan bahwa angka kepemilikan sanitasi dasar tertinggi adalah kepemilikan tempat sampah sebesar 103,6 persen sedangkan kepemilikan terhadap pengelolaan air limbah sebesar 97,6 persen, dan kepemilikan jamban sebesar 80,5 persen. Walaupun angka ini sudah berada diatas target MDGs, yaitu : 55,5 persen untuk akses pembuangan tinja yang layak dan 70,4 persen untuk rumah tangga yang menangani sampah dengan baik, persentase kepemilikan jamban di provinsi Bali tahun 2013 sebesar 85 persen, angka ini sudah melampaui angka Riskesdas tahun 2013 (76,2 persen) dan sudah melampaui target Renstra tahun 2014 (75 persen). Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan lingkungan masih kurang, yaitu masih ada yang menggunakan prasarana sanitasi yang belum memenuhi persyaratan teknis dan masih terdapat penduduk yang buang air besar (BAB) tidak pada tempatnya. Kondisi kawasan pemukiman yang padat, sulit untuk menempatkan septik tank sesuai persyaratan kesehatan, sehingga untuk daerah padat dikembangkan sanimas. Kondisi sarana sanitasi
86
masih banyak kondisi sarana air limbah yang kurang memadai karena unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) pengoperasiaan dan pemelihaaraanya juga belum optimal demikian juga pelayanan pengelolaan persampahan masih terbatas, yaitu sebagian besar hanya pada daerah perkotaan dan hanya beberapa Desa. Sistem pengelolaan sampah belum optimal dan sebagian besar masyarakat belum melakukan pemilihan sampah rumah tangga sehingga pemilahan sampah dilakukan masih di TPA, sedangkan untuk masyarakat yang tidak terlayani Dinas Kebersihan dan Pertamanan membuang sampahnya ke lahan kosong, tegalan, got dan ke sungai. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 5.3 Tabel 5.3 Proporsi Rumah Tangga Dengan Sanitasi Layak Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 (%) 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Kab. Jembrana
2002 62,30
62,00
73,10
55,90
58,60
68,80
83,50
88,10
84,00
94,50
84,70
2013 84,70
Kab. Tabanan
65,90
67,90
72,10
54,20
56,80
83,30
63,60
68,70
70,10
76,40
90,10
84,50
Kab. Badung
83,60
79,70
71,80
72,80
74,90
93,50
53,80
54,70
57,00
63,60
93,20
87,60
Kab. Gianyar
76,70
68,10
72,40
70,80
73,60
85,90
44,30
42,50
46,70
55,70
96,90
93,70
Kab. Klungkung
78,50
47,30
65,00
65,30
67,40
68,10
77,50
74,20
59,90
76,40
81,80
82,90
Kab. Bangli
34,10
39,90
34,40
32,40
34,40
44,20
91,30
87,30
95,40
63,60
71,40
69,90
Kab. Karang Asem
27,60
62,40
58,90
31,20
32,90
36,20
75,70
80,90
80,70
55,70
57,20
63,30
Kab. Buleleng
58,30
16,00
30,80
55,40
57,50
66,70
79,70
89,00
90,20
78,20
79,00
77,70
Kota Denpasar
70,70
81,50
79,00
75,10
78,00
93,80
91,90
98,50
95,30
90,90
90,10
98,20
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014. 5.2.2 Rasio Elektrifikasi Energi merupakan kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika (UU No. 30/2007 tentang Energi). Indikator yang akan dievaluasi yaitu rasio elektrifikasi, dimana rasio elektrifikasi dapat didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah
87
berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Capaian nasional pada tahun 2013 sebesar 79.3 meningkat dibanding tahun 2012 yang sebesar 75.8. Hal ini menunjukkan kemampuan dari Perusahaan Listrik Negara dalam komitmennya meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia. Akses rumah tangga terhadap listrik digambarkan dengan parameter rasio elektrifikasi, yang menggambarkan banyaknya rumah tangga yang mendapatkan akses pada listrik. Listrik diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga akan penerangan yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya setelah matahari terbenam. Kemiskinan juga erat dengan ketiadaan listrik. Kebutuhan tenaga listrik di Provinsi Bali saat ini dipasok oleh sistem kelistrikan di Pulau Jawa melalui jaringan transmisi kabel laut 150 kV dengan daya mampu 200 MW dan dipasok juga oleh pembangkit yang ada di Provinsi Bali sendiri yaitu PLTD/PLTG Pesanggaran, PLTG Gilimanuk, PLTG Pemaron. Nilai rasio elektrifikasi di Bali menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 tercatat rasio elektrifikasi Bali sebesar 87,11 persen dan terus meningkat menjadi 92,38 persen pada tahun 2013. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan jumlah pelanggan yang dibarengi oleh tersedianya pasokan listrik sehingga memudahkan PLN untuk memberikan jaringan listrik kepada pelanggan baru. Saat ini rasio elektrifikasi Provinsi Bali sudah mencapai 92,38 persen dan rasio desa berlistrik sebesar 100,00 persen Sementara daftar tunggu PLN telah mencapai 33.925 permintaan atau sebesar 139,8 MVA. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan mengidentifikasi rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 66
88
persen di tahun 2009. Apabila dikaitkan dengan angka kemiskinan di Indonesia, maka rasio elektrifikasi dapat dikatakan berbanding terbalik dengan angka kemiskinan, artinya saat rasio meningkat maka tingkat elektrifikasi.meningkat sehingga tingkat kemiskinan menurun. Kondisi Rasio Elektrifikasi pada penelitian ini dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 se kabupaten/kota di provinsi Bali memiliki rata rata 97,09 persen dengan nilai minimum sebesar 86,70 persen pada tahun 2002 di Kabupaten Buleleng dan maksimum 100 persen pada tahun 2011 di Kota Denpasar dan tahun 2012 di Kabupaten Jembrana dan Kota Denpasar, rasio elektrifikasi kabupaten/kota se Bali dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Rasio Elektrifikasi 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kab. Jembrana
97.10
96.20
99.50
97.20
99.80
98.40
99.50
99.50
99.50
99.60
100.00
99.70
Kab. Tabanan
98.60
99.40
99.30
97.40
99.40
99.20
97.50
94.10
96.80
96.50
99.40
99.60
Kab. Badung
99.40
99.70
99.80
98.10
99.20
99.50
96.80
97.80
92.60
96.90
99.80
100.00
Kab. Gianyar
89.80
99.40
99.50
99.20
99.60
99.40
89.50
91.90
95.90
94.30
99.80
99.80
Kab. Klungkung Kab. Bangli
95.50
87.50
96.20
94.40
92.50
94.00
98.10
95.70
94.40
96.50
98.90
99.70
94.10
96.70
95.20
93.30
96.70
96.20
99.40
99.90
99.20
96.90
97.40
97.50
Kab. Karang Asem
88.50
94.70
94.70
87.80
90.30
93.90
99.30
98.50
99.70
94.30
95.70
98.20
Kab. Buleleng
86.70
87.50
88.10
94.90
97.40
97.60
99.20
99.20
99.70
99.30
99.00
99.10
Kota Denpasar
99.70
99.40
99.70
98.50
100.00
99.70
99.50
100.00
99.80
100.00
100.00
99.80
Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( % ) Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 5.2.3 Rata – rata lama sekolah (RLS) Rata – rata lama sekolah di Provinsi Bali menggambarkan jumlah tahun yang dipergunakan oleh penduduk usia 15 tahun keatas dalam menjalani pendidikan formal dihitung dengan mempertimbangkan ijazah dan atau kelas tertinggi yang pernah didudukinya (IKraR, 2014). Indikator RLS ini dihitung dari variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang
89
sedang dijalankan. Standar UNDP rata rata lama sekolah adalah minimal 0 tahun dan maksimal 15 tahun. Rata-rata lama sekolah merupakan indikator tingkat pendidikan di suatu daerah. Pendidikan merupakan salah satu bentuk modal manusia (human capital) yang menunjukkan tingkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kota Denpasar sebagai ibukota provinsi Bali memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya dengan nilai 10,94, artinya, rata-rata masyarakat di Kota Denpasar bersekolah selama 10-11 tahun. Rata-rata lama sekolah terendah di Provinsi Bali terletak di Kabupaten Karangasem dengan lama sekolah 5,88 tahun , jumlah rata rata lama sekolah di Kabupaten Karangasem ini setengah dari ratarata lama sekolah di kota Denpasar, sehingga dapat diartikan rata-rata masyarakat Karangasem menempuh pendidikan selama lima sampai enam tahun. ProvinsiBali terus mengalami peningkatan rata-rata lamanya seseorang bersekolah. Kondisi rata rata lama sekolah di Provinsi Bali cukup tinggi di bandingkan dengan Provinsi di Indonesia. Rata-rata lama sekolah (RLS) menunjukan angka rata rata 7,64 tahun dengan lama sekolah minimum selama 4,8 tahun pada tahun 2003 di Kabupaten Bangli dan maksimum 11,10 di Kota Denpasar pada tahun 2013 tahun kondisi di Kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 5.5.
90
Tabel 5.5 Rata Rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( tahun ) 2002
2003
2004
2005
Kab. Jembrana
7.10
7.00
7.10
7.20
2006 7.50
2007 7.50
2008 7.60
2009 7.70
2010 7.80
2011 7.80
2012 7.90
2013 7.90
Kab. Tabanan
7.40
7.20
7.30
7.40
7.40
7.50
7.80
7.80
8.00
8.40
8.40
8.40
Kab. Badung
8.90
8.50
8.60
8.70
8.70
9.10
9.10
9.20
9.40
9.50
9.50
9.50
Kab. Gianyar
7.60
7.40
7.50
7.70
7.90
7.90
7.90
8.00
8.10
8.40
8.90
8.90
Kab. Klungkung
8.60
6.70
6.80
6.90
6.90
6.90
7.00
7.00
7.10
7.40
7.40
7.40
Kab. Bangli
6.20
6.10
6.20
6.50
6.50
6.50
6.50
6.50
6.60
6.70
6.70
6.70
Kab. Karang Asem
6.30
6.20
6.20
5.00
5.40
5.40
5.40
5.40
5.80
5.80
5.90
5.90
Kab. Buleleng
6.74
4.80
4.80
6.30
6.60
6.70
6.90
7.10
7.30
7.40
7.50
7.60
Kota Denpasar
10.70
9.80
9.90
9.90
9.90
10.30
10.50
10.50
10.70
10.70
10.90
11.10
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 5.2.4 Angka Melek Huruf (AMH) Angka melek huruf merupakan suatu hal yang penting sebagai indikator sejauh mana masyarakat suatu daerah terbuka pada suatu pengetahuan. Tingkat Melek Huruf yang tinggi atau bisa diasumsikan tingkat buta huruf yang rendah dapat menunjukan adanya suatu sistem pendidikan pada tingkat dasar atau adanya suatu program aksara yang memungkinkan penduduk pada semua lapisan masyarakat
dapat
mempergunakan
kata
kata
tertulis
dan
melanjutkan
pendidikannya pada tahap selanjutnya. Salah satu indikator pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menurut MDGs adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Menurut BPS Provinsi Bali, (2011). Angka melek huruf juga dapat menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur dalam aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk
91
usia produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki pendidikan yang memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Angka melek huruf di Bali sendiri setiap tahun mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,18 persen yaitu dari 87,22 persen menjadi 88,40 persen. Dan pada tahun berikutnya mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 0,77 persen dan 1,00 persen. Angka melek huruf antara perempuan dan laki-laki di Bali berbeda secara signifikan di mana pada tahun 2012, angka melek huruf untuk laki-laki secara keseluruhan di provinsi Bali sebesar 95,30 persen berbeda jauh dengan angka melek huruf untuk perempuan yang hanya sebesar 85,03 persen. Hal ini mungkin masih di sebabkan oleh kebudayaan masyarakat di mana anak laki-laki harus mengecap pendidikan sekolah lebih tinggi di banding perempuan. Pemahaman bahwa pendidikan bagi perempuan tidak perlu terlalu tinggi karena toh perempuan nantinya akan kembali ke sumur, dapur dan kasur, kemudian biaya pendidikan yang masih sangat mahal serta juga ada beberapa daerah yang secara geografis sangat sulit dijangkau menjadi kendala dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang membuat proporsi angka melek huruf laki-laki dan perempuan berbeda secara signifikan. Menurut BPS Provinsi Bali (2014), Perbedaan paling besar terlihat jelas di kabupaten Karangasem, di kabupaten ini laki-laki yang melek huruf sebesar 86,61 persen dan perempuan yang melek huruf hanya 68,30 persen. Angka Melek Huruf (AMH) Provinsi Bali dari tahun 20022013 memiliki rata rata sebesar 85,91 persen dengan nilai persentase minimum adalah 68 persen di Kabupaten Karangasem pada tahun 2002 dan maksimun 98
92
persen di Kota Denpasar pada tahun 2013. Kondisi Angka Melek Huruf di Kabupaten/Kota se Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Angka Melek Huruf (AMH) Kabupate/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( % ) 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kab. Jembrana
86.50
86.70
86.90
86.90
86.90
88.00
89.00
89.60
89.80
90.70
91.40
92.70
Kab. Tabanan
87.10
86.40
87.80
88.60
88.60
88.60
89.20
89.30
89.60
90.80
90.90
91.90
Kab. Badung
88.90
87.40
85.90
86.60
90.40
91.70
92.20
92.30
92.90
93.00
93.00
93.90
Kab. Gianyar
82.30
83.30
84.20
85.00
85.00
85.00
85.00
85.40
85.70
86.80
88.80
89.40
Kab. Klungkung
85.80
77.60
79.30
80.00
80.00
80.00
81.00
81.10
82.10
82.40
84.20
84.50
Kab. Bangli
83.10
81.90
70.70
81.50
82.10
82.10
72.10
82.20
83.80
85.60
85.80
85.90
Kab. Karang Asem
68.00
85.00
87.40
70.50
72.10
72.10
72.10
72.30
72.40
74.10
76.00
76.90
Kab. Buleleng
82.60
68.50
69.10
87.60
87.60
87.60
87.60
87.80
88.50
88.60
89.90
90.50
Kota Denpasar
94.70
95.40
96.10
96.50
96.50
97.00
97.10
97.30
97.30
97.50
97.50
98.00
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 5.2.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.Pada Tahun 2013 (BPS, 2014), Perkembangan PDRB Provinsi Bali baik atas dasar harga berlaku maupun konstan cenderung terus meningkat. Berdasarkan harga berlaku, pada triwulan IV-2012 PDRB Bali baru mencapai Rp. 22,05 trilyun kemudian meningkat menjadi Rp 24,30 trilyun di triwulan III-2013, dan pada triwulan IV- 2013 ini telah mencapai Rp 24,60 trilyun. Sampai dengan triwulan IV-2013 PDRB Bali atas dasar harga berlaku secara kumulatif telah mencapai Rp 94,56 trilyun. Sementara berdasarkan harga konstan tahun 2000, terjadi
93
peningkatan dari Rp 8,46 trilyun pada triwulan IV-2012, menjadi Rp 8,82 trilyun pada triwulan III-2013 dan pada triwulan IV-2013 ini telah mencapai Rp 8,92 trilyun. Secara kumulatif sampai dengan tahun 2013 ini, nilai PDRB atas dasar harga konstan telah mencapai Rp 34,79 trilyunProduk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali sebesar 6,05 persen, lebih rendah dari tahun 2012 yang mencapai 6,65 persen. Nilai 6,05 persen didorong oleh sektor jasa sebesar 11,08 persen. Pada Produk Domestik Regional Bruto nilai rata rata di Rp.4,9 trilyun dengan nilai minimum pada 1 trilyun di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Bangli pada tahun 2002 dan maksimum pada Rp.14 trilyun pada tahun 2014 di Kabupaten Badung. Tabel 5.7. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( triyun rupiah ) 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Kab. Jembrana
1.30
1.40
1.60
1.80
2.00
1.80
2.20
2.30
2.50
Kab. Tabanan
2.60
1.70
1.80
1.90
2.00
1.90
10.50
12.90
14.90
Kab. Badung
4.80
5.20
5.90
7.00
7.70
3.80
5.60
6.40
Kab. Gianyar
2.70
2.90
3.20
3.80
4.20
1.50
2.10
Kab. Klungkung
1.00
1.10
1.30
1.50
1.60
1.30
Kab. Bangli
1.00
1.00
1.10
1.30
1.40
2.20
Kab. Karang Asem
2.90
1.70
3.50
2.20
2.40
Kab. Buleleng
1.60
1.70
1.50
4.10
Kota Denpasar
4.20
4.70
5.40
6.30
2011
2012
2013
3.60
3.90
5.00
2.60
2.80
6.50
7.30
16.40
19.00
21.00
2.40
7.30
8.10
9.10
10.60
1.80
2.10
2.70
3.00
3.30
3.70
3.20
3.70
2.40
2.60
2.90
3.20
4.10
5.80
6.70
4.10
4.60
5.20
5.80
4.50
6.30
9.40
10.80
7.60
8.30
9.10
10.00
7.00
2.50
2.90
3.30
12.50
13.90
15.60
17.10
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 5.2.6 Upah Minimum Kabupaten (UMK) Menurut Permen No.1 Th. 1999 Pasal 1 ayat 1, Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur
94
berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan atau upah minimum dapat juga diartikan sebagai suatu standar gaji minimum yang diberikan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja/pegawai di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Upah Minimum Kabupaten adalah tingkatan upah terendah yang ditetapkan oleh kabupaten yang harus dibayarkan suatu perusahaan kepada tenaga kerja yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan. Berdasarkan Pasal 94 UndangUndang (UU) no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 persen dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Kondisi ketenagakerjaan di Bali tergolong cukup baik, karena tingkat pengangguran hanya 1,37 persen, paling rendah dibanding daerah lainnya di Indonesia (BPS Provinsi Bali, 2014). Penduduk usia kerja di Bali sebanyak 3.118.036 orang, 2.458.784 orang di antaranya tergolong sebagai angkatan kerja atau tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) mencapai 78,86 persen. Angkatan kerja terbagi dalam kelompok penduduk yang bekerja dan pengangguran. Jumlah penduduk Bali yang bekerja hingga Februari 2015 tercatat 2.425.173 orang (98,63 persen). Persoalan lain yang juga menarik adalah, sebagian besar tenaga kerja di Bali berada di Denpasar ataupun Badung. Sementara di daerah lain seperti Jembrana, Buleleng, Karangasem dan lainnya masih kekurangan tenaga kerja. Berdasarkan data yang sudah dilansir bahwasannya perkembangan upah minimum kabupaten di Provnsi Bali selalu meningkat tiap tahun. Ini dikarenakan nilai kebutuhan hidup layak dan pertumbuhan ekonomi di Provnsi Bali juga meningkat.
95
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Bali sebagai dari pihak pemerintah akan mengajak Dewan Pengupahan Nasional sebagai lembaga independen dalam mempertimbangkan penetapan upah minimum tahun yang akan datang. Semua pihak yang berwenang
bertugas mengevaluasi tingkat upah
minimum Provinsi Bali yang berlaku pada saat tertentu dan memutuskan apakah tingkat upah tersebut sudah saatnya dinaikkan atau belum. Berdasarkan analisis terhadap data penelitian diperoleh hasil nilai upah minimum kabupaten (UMK), di Provinsi Bali rata rata sebanyak Rp.714.000,- dengan upah minimum sebesar Rp.310.000,- pada Tahun 2002 di Kabupaten Jembrana, Tabanan, Bangli, Klungkung, Karangasem, Buleleng, dan Kota Denpasar dan upah maksimum Rp. 1.400.000,-. Terjadi pada tahun 2013 di Kabuapten Badung. Untuk Upah Minimum per Kabupaten/ Kota dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Upah Minimum Kabupaten Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( ratusan ribu ) 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kab. Jembrana
3.10
3.40
4.30
4.60
5.30
6.80
6.90
7.80
8.50
9.30
10.00
12.10
Kab. Tabanan
3.10
3.40
4.30
4.60
5.30
6.20
8.10
9.50
11.10
9.10
10.10
12.50
Kab. Badung
3.50
3.90
4.70
5.10
5.80
6.50
7.60
8.40
9.30
12.20
12.90
14.00
Kab. Gianyar
3.20
3.50
4.50
4.80
5.40
6.30
6.90
7.70
9.30
10.00
11.00
12.30
Kab. Klungkung
3.10
3.40
4.30
4.60
5.20
6.30
6.90
7.60
8.40
9.30
10.00
11.90
Kab. Bangli
3.10
3.40
4.30
4.50
5.20
6.40
7.10
8.20
8.30
8.90
9.70
11.80
Kab. Karang Asem
3.10
3.40
4.30
4.60
5.20
6.20
6.90
7.70
8.80
9.50
10.40
12.00
Kab. Buleleng
3.10
3.40
3.30
4.60
5.10
7.00
8.00
9.50
8.30
9.00
9.80
12.00
Kota Denpasar
3.10
3.90
4.70
5.00
5.70
7.40
8.10
8.80
11.00
11.90
12.60
13.60
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014
96
5.2.7 Tingkat Kemiskinan Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah memberikan perhatian besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Bali menunjukan tren yang positif. Pada tahun 2009 tercatatat persentase penduduk miskin di Bali sebesar 5,13 persen. Pada tahun 2013, persentase penduduk miskin di Bali turun menjadi 3,95 persen. Penurunan ini terjadi disokong program bantuan dan perlindungan sosial (Raskin, jamkesmas, BLT, BOS), pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri), dan penguatan usaha kecil dan menengah (KUR) pengentasan kemiskinan. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada tahun 2010 tingkat kemiskinan Bali berada di 4,88 persen dan menurun di tahun 2011 menjadi 4,20 persen. Dan di tahun 2012 pemerintah Provinsi Bali menargetkan tingkat kemiskinan Bali dapat menurun lagi menuju angka 3,62 persen, dan di tahun 2012 terealisasi 3,95 persen dari total penduduk Bali. Berdasarkan hasil Susenas Maret 2013, persentase penduduk miskin di Bali
97
sedikit berkurang sebanyak 0,23 persen dari 4,18 persen pada Maret 2012 menjadi 3,95 persen. Demikian juga dari sisi jumlah pada periode yang sama sedikit berkurang sebanyak 6,3 ribu orang. Provinsi Bali menempati peringkat terendah ke dua di Indonesia. Tingkat Kemiskinan di kabupaten/kota se Bali menunjukan rata rata 6,29 persen dengan tingkat kemiskinan minimal di angka 1,5 persen di Kota Denpasar pada Tahun 2013 dan maksimal di angka 10,5 persen
di
Kabupaten Buleleng pada Tahun 2003, dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 (% ) 2002 7,10
2003 7,13
2004 7,04
2005 9,11
2006 10,49
2007 9,92
2008 7,97
2009 6,80
2010 8,11
2011 6,56
2012 5,74
2013 5,56
8,79
8,85
8,59
9,23
7,84
7,46
6,92
4,99
6,96
5,62
4,90
5,21
5,27
5,31
5,00
5,25
4,57
4,28
3,28
3,28
3,23
2,62
2,16
2,46
7,49
7,54
7,22
5,09
6,33
5,98
6,61
5,76
6,68
5,40
4,69
4,27
8,03
8,09
7,55
8,15
9,52
9,14
7,03
5,23
7,58
6,10
5,37
7,01
6,94
6,99
6,25
6,69
7,87
7,48
6,12
5,18
6,41
5,16
4,52
5,45
7,75
7,82
6,51
7,67
9,42
8,95
7,67
6,37
7,95
6,43
5,63
6,88
10,09
10,50
10,13
9,20
9,18
8,68
7,45
5,95
7,35
5,93
5,19
6,31
3,74
3,77
2,95
2,16
2,69
2,10
2,19
2,20
2,21
1,79
1,52
2,07
Kab. Jembrana Kab. Tabanan Kab. Badung Kab. Gianyar Kab. Klungkung Kab. Bangli Kab. Karang Asem Kab. Buleleng Kota Denpasar
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 5.2.8 Angka Morbiditas Morbiditas adalah gangguan terhadap kondisi baik fisik maupun jiwa yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kegiatan sehari hari. Pada umumnya keluhan kesehatan yang sering dialami masyarakat adalah panas, batuk, pilek, sesak/asma, sakit gigi, sakit kepala. Penduduk yang menderita penyakit kronis
98
dianggap mengalami gangguan kondisi walaupun pada saat pendataan yang bersangkutan tidak mengalami kambuh. Semakin banyak penduduk yang mengeluh tentang kesehatan berarti semakin rendah derajat kesehatan masyarakatnya. Data angka morbiditas di Provinsi Bali khususnya pada kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali memiliki banyak kesamaan, seperti tipologi wilayah yang terdiri atas pegunungan dan pantai, serta adanya kemudahan akses antar kabupaten/kota. Selain itu juga memiliki kultur yang sama, yaitu mayoritas suku Bali dan agama Hindu yang berkisar antara 65 hingga 99 persen (BPS Provinsi Bali, 2007). Angka Morbiditas pada penelitian ini sesuai analisis data menunjukan angka rata rata 21,96 persen dengan angka minimal 9,2 persen di Kabupaten Klungkung pada tahun 2003 dan maksimal 48,2 persen di Kabupaten Buleleng pada Tahun 2010. Kondisi angka morbiditas di kabupaten/kota se Provinsi Bali pada Tahun 2001 – 2013 dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Angka Morbiditas Kabupaten/Kota Se Provinsi Bali Tahun 2002-2013 ( % ) 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kab. Jembrana
30.90
20.10
22.60
20.00
25.60
21.00
19.40
20.60
16.90
18.10
14.40
13.10
Kab. Tabanan
22.60
16.40
18.80
20.50
22.10
16.80
13.40
16.90
28.50
24.70
21.70
21.00
Kab. Badung
16.00
17.10
19.50
22.20
27.20
21.10
16.70
17.60
15.60
13.70
15.80
13.50
Kab. Gianyar
18.70
14.80
25.40
21.40
17.50
25.20
25.50
25.90
22.50
15.40
14.50
18.70
Kab. Klungkung
14.60
9.20
11.50
11.90
19.70
24.40
34.00
25.00
23.50
20.30
16.90
17.40
Kab. Bangli
24.10
28.80
26.60
27.20
25.80
20.50
25.90
20.70
29.80
19.80
18.50
28.80
Kab. Karang Asem
25.30
19.90
18.80
24.10
30.70
34.50
41.80
41.40
33.80
32.70
38.30
29.30
Kab. Buleleng
18.30
27.80
29.30
26.30
19.00
9.20
14.90
41.40
48.20
36.50
32.50
34.30
Kota Denpasar
13.60
13.50
12.40
22.40
18.60
17.30
16.70
16.10
19.90
14.00
14.10
12.10
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014
99
5.3 Analisis Data Perhitungan koefisien jalur dalam penelitian ini menggunakan program Analysis Moment of Structural (AMOS) 16. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis peningkatan angka morbiditas di Provinsi Bali seperti yang disajikan pada teknik analisis. 5.3.1 Model Teoritis Hubungan hubungan sebab akibat antarvariabel dalam studi ini merupakan model yang tidak sederhana, yaitu adanya variabel yang berperan ganda, sebagai variabel independen pada suatu hubungan, namun menjadi variabel dependen pada hubungan lain. Model yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) variabel yaitu lingkungan, pendidikan, ekonomi, tingkat kemiskinan dan angka morbiditas. Variabel tingkat kemiskinan disatu sisi sebagai variabel independen dari angka morbiditas dan disisi lain sebagai variabel dependen dari lingkungan, pendidikan dan ekonomi. Begitu juga variabel tingkat kemiskinan merupakan variabel antara/ mediasi antara lingkungan, pendidikan dan ekonomi terhadap angka morbiditas. Dalam penelitian ini hubungan antar variabel berdasarkan substansi teori dapat dikembangkan sebagai berikut: 1) Pengaruh lingkungan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 2) Pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 3) Pengaruh ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 4) Pengaruh lingkungan terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali. 5) Pengaruh pendidikan terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali.
100
6) Pengaruh ekonomi terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali 7) Pengaruh lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 8) Pengaruh pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 9) Pengaruh ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan di Provinsi Bali. 10) Pengaruh tingkat kemiskinan terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali 5.3.2
Model Pengukuran (Measurement Model) Model pengukuran pada penelitian ini untuk konstruk/dimensi
lingkungan, pendidikan dan ekonomi yang hanya terdiri atas 2 (dua) indikator pada masing-masing konstruk diperoleh nilai df = -1 (negatif). Oleh karena nilai df negatif, maka model ini adalah model underidentified, dan pegujian lebih lanjut tentang Goodness of Fit Test untuk masing-masing konstruk tidak dapat dilakukan (Santoso, 2007) 5.3.3
Uji Reliabilitas Konstruk
Reliability adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikatorindikator sebuah konstruk yang menunjukkan derajat sampai dimana masingmasing indikator itu mengindikasikan sebuah konstruk yang umum (Ferdinand, 2002). Untuk menguji reliabilitas dilakukan dengan menghitung construct (composite) reliabilitas (α) dari masing-masing konstruk yang diperoleh dari output pengujian model pengukuran yang dilakukan dengan program AMOS 16
101
(Hair et al, 1998 dalam Ferdinand, 2002) memberikan formulasi untuk menghitung composite reliability dari suatu konstruk sebagai berikut. Construct – reability =
( Std .loading ) 2
( Std .Loading ) 2 j
Standardized loading dapat diperoleh dari output AMOS, dengan melihat nilai
standardized
regression
weight
masing-masing
konstruk
terhadap
indikatornya. Sementara itu εj dapat dihitung dengan formula εj = 1 – (standardized loading)2. Secara umum batas penerimaan composite reliability yaitu nilai koefisien α diatas 0,70 (Hair et al, 1998 dalam Ferdinand, 2002). Dalam penelitian ini, perhitungan composite reliability dihitung dengan menggunakan standardized loading butir-butir konstruk yang didapat dari pengujian model pengukuran. Variance Extract adalah ukuran yang menunjukkan jumlah variance dari indikator-indikator yang diekstraksi oleh konstruk laten yang dikembangkan
(Ferdinand,
2002).
Nilai
variance
extract
yang
tinggi
menunjukkan bahwa indikator-indikator itu telah mewakili secara baik variabel laten yang dikembangkan. Dalam permodelan SEM, nilai batas yang digunakan untuk mengukur variance extract yang dapat diterima adalah ≥ 0,50 (Ferdinand, 2002). Adapun perhitungan variance extract dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut (Ferdinand, 2002). Variance-Extract =
Std .loading
Std .Loading
2
2
j
Dengan melihat hasil perhitungan pada lampiran 2 dapat disusun tabel hasil pengujian construct reliability dari masing-masing laten sebagai berikut.
102
Tabel 5.11. Hasil Uji Reliabilitas Konstruk Variance Extract Construct Reliability Lingkungan 0,76 0,86 Pendidikan 0,87 0,93 Ekonomi 0,69 0,81 Sumber : Lampiran 2 (validitas_konstruk) Berdasarkan Tabel 5.11, dapat diketahui nahwa semua indikator mampu menjelaskan konstruk yang ada. Hal itu dapat dilihat dari angka construct reliability yang bernilai di atas 0,7 sehingga indikator-indikator tersebut dapat dikatakan reliabel. Dapat pula diketahui bahwa semua indikator mampu menjelaskan konstruk yang ada. Hal itu dapat dilihat dari angka variance extracted ≥ 0,5. 5.3.4 Hasil Uji Normalitas Data Uji Normalitas Data dengan Normalitas Univariate dan Multivariate, yaitu menganalisis tingkat normalitas data yang digunakan dalam penelitian ini. Normalitas Univariate dalam penelitian dengan melihat nilai CR pada Skewness yang diharapkan disekitar ± 2.58. Apabila terdapat nilai diluar angka tersebut dapat ditoleransi apabila nilai Multivariatenya masih disekitar ± 2.58. Hasil uji normalitas univariat dan multivariat data dalam penelitian ini adalah seperti pada Lampiran 4. Data dikatakan normal jika nilai Critical Ratio Kurtosis berada dalam rentangan -2,58 dan maksimal 2.58. Pada tabel tersebut variabel PDRB dan Listrik memiliki nilai lebih besar dari 2,58 sehingga dikatakan secara univariat tidak normal tetapi secara multivariate adalah normal. Nilai Critical Ratio Kurtosis untuk multivariate adalah 0,757.
103
5.3.5 Hasil Uji Outliers Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya yang terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya (Ferdinand, 2002). Salah satu cara untuk mendeteksi multivariete outliers adalah dengan menggunakan Uji Mahalanobis distance yang menunjukkan seberapa jauh jarak sebuah data dari pusat titik tertentu (Santoso, 2007). Batas nilai Mahalanobis distance berdasarkan X2(8,001) = 20,09. Jika nilai Mahalanobis d-squared > 20,09 maka data tersebut dikatakan outliers. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 3 (output Observations farthest from the centroid (Mahalanobis distance) (Group number 1), ditemukan ada 3 (tiga) nilai Mahalanobis d-squared lebih besar dari 20,09. Jumlah tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah sampel sehingga bisa diabaikan dan data dinyatakan terbebas dari outlier. 5.3.6 Hasil uji multikolinieritas dan singularitas Multikolinieritas dapat dideteksi dari determinan matriks kovarians. Nilai determinan matriks kovarians yang sangat kecil memberi indikasi adanya problem multikolinieritas dan singularitas (Ferdinand, 2002). Nilai output determinant of sample covariance matrix (Lampiran 3) adalah 99564613,856. Nilai tersebut jauh dari nol, sehingga dapat dinyatakan tidak ada multikolinieritas dan singularitas. Dengan demikian data dalam penelitian ini layak untuk digunakan.
104
5.3.7 Hasil Estimasi Regressions Weights Hasil estimasi regressions weights model persamaan struktural Pengaruh Lingkungan, Pendidikan dan Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan dan Angka Mordibitas disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil estimasi standardized regressions weights pada Lampiran 5 dapat diketahui bahwa koefisien jalur Lingkungan (X1) terhadap Tingkat Kemiskinan (Y1) adalah sebesar -0,129 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,264. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara lingkungan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel Pendidikan (X2) juga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan (Y1) dengan koefisien jalur sebesar -0,212 dengan nilai signifikansi sebesar 0,079. Variabel Ekonomi (X3) berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan (Y1) dengan koefisien jalur sebesar -0,494 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Variabel Lingkungan (X1) berpengaruh positif signifikan terhadap Angka Mordibitas (Y2) dengan koefisien jalur sebesar 0,381 dengan nilai signifikansi sebesar 0,004. Variabel Pendidikan (X2) berpengaruh negatif signifikan terhadap Angka Mordibitas (Y2) dengan koefisien jalur sebesar -0,824 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Variabel ekonomi (X3) berpengaruh positif signifikan terhadap Angka Mordibitas (Y2) dengan koefisien jalur sebesar 0,409 dengan nilai signifikansi sebesar 0,002. Variabel Tingkat Kemiskinan (Y1) berpengaruh positif signifikan terhadap Angka Mordibitas (Y2) dengan koefisien jalur sebesar 0,348 dengan nilai signifikansi sebesar 0,003.
105
UJI KETEPATAN MODEL ----------------------------Probability =.093 Chi Square =17.526 CMIN/DF =1.593 GFI =.962 TLI =.967 CFI =.987 RMSEA =.074 AGFI =.876
.84 e1
Sanitasi
.92 Lingkungan
.67.82 e3
z1
Listrik
-.13
.38
.69
.51 Tingkat Kemiskinan
.85 .31 e4
e5
AMH
.88
-.21 .43
.92 .94
RLS
z2
.35
.45 Angka Morbiditas
- .82
Pendidikan
-.49
.41
.55 .84 e8
PDRB
.54.73 e9
.92 Ekonomi
UMK
Gambar 5.1 Model Persamaan Struktural Pengaruh Lingkungan, Pendidikan dan Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan dan Angka Mordibitas 5.3.8
Analisis Pengaruh Langsung Perhitungan koefisien jalur dalam penelitian ini untuk menganalisis
pengaruh langsung menggunakan multiple regresi untuk mengetahui dan
106
menganalisis pengaruh lingkungan, pendidikan dan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan serta pengaruh lingkungan, pendidikan dan ekonomi terhadap angka morbiditas, maka program yang digunakan adalah program Analysis Moment of Structural (AMOS) 16 terhadap model persamaan struktural 4.1, 4.2 dan 4.3 seperti yang disajikan pada teknik analisis. Koefisien jalur terhadap model teoritis dari masing-masing variabel yang diteliti adalah seperti dalam Tabel 5.12 Tabel 5.12. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung dari Pengaruh Lingkungan, Pendidikan dan Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan dan Angka Mordibitas Standardized Tipe Pengaruh Konstruk Estimates
Pengaruh Langsung
Lingkungan – Tingkat kemiskinan -0,129 Pendidikan – Tingkat kemiskinan -0,212 Ekonomi – Tingkat kemiskinan -0,494 Lingkungan – Angka Mordibitas 0,381 Pendidikan – Angka Mordibitas -0,824 Ekonomi – Angka Mordibitas 0,409 Tingkat kemiskinan – Angka Mordibitas 0,348
Pengaruh Tidak Langsung
Lingkungan – Angka Mordibitas Pendidikan – Angka Mordibitas Ekonomi – Angka Mordibitas
-0,045 -0,074 -0,172
Lingkungan – Angka Mordibitas 0,336 Pendidikan – Angka Mordibitas -0,898 Ekonomi – Angka Mordibitas 0,236 _________________________________________________________________ Sumber: Hasil Analisis SEM ( Lampiran 3) Pengaruh Total
Berdasarkan Tabel 5.12 dan ditampilkan kembali pada gambar 5.1 dapat diketahui bahwa variabel lingkungan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan
107
dengan koefisien parameter sebesar
-0,129 dan tidak signifikan pada 5 persen
dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,264. Variabel pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar -0,212 dan tidak signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,079. Variabel ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar -0,494 dan signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel
5.13 sebesar 0,000. Variabel lingkungan berpengaruh positif
terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar 0,318 dan signifikan pada 5% dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,004. Variabel pendidikan berpengaruh negatif terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar -0,824 dan signifikan pada 5% dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,000. Variabel ekonomi berpengaruh positif terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar 0,409 dan signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel
5.13 sebesar 0,002. Variabel tingkat kemiskinan berpengaruh positif
terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali selama tahun 2002 – 2013. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien parameter sebesar 0,348 dan signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,003.
108
5.3.9 Analisis Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effects) Dengan menggunakan program AMOS 16 hasil pengaruh tidak langsung (indirect effect) dapat sajikan pada Tabel 5.12 berikut. a) Pengaruh Tidak Langsung Lingkungan terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Pengujian adanya pengaruh lingkungan secara tidak langsung terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan yang dilakukan dengan Amos 16 seperti pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil output Lampiran 3 yang ditampilkan kembali pada Tabel 5.12 diperoleh hasil pengujian bahwa tidak ada pengaruh lingkungan secara tidak langsung dan signifikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari hasil olahan data dengan menggunakan AMOS, yaitu diperoleh hasil bahwa secara langsung lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas (Lampiran 1) dengan signifikansi sebesar 0,004 dan nilai parameter yang dihasilkan dari pengaruh tidak langsung lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,045, ini artinya bahwa mediasi dari tingkat kemiskinan tidak memperkuat pengaruh dari lingkungan terhadap angka morbiditas. b) Pengaruh Tidak Langsung Pendidikan terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Pengujian adanya pengaruh pendidikan secara tidak langsung terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan yang dilakukan dengan Amos 16 seperti pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil output Lampiran 3 yang ditampilkan kembali pada Tabel 5.12 diperoleh hasil pengujian bahwa tidak
109
ada pengaruh pendidikan secara tidak langsung dan signifikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari hasil olahan data dengan menggunakan AMOS, yaitu diperoleh hasil bahwa secara langsung pendidikan berpengaruh negatife dan signifikan terhadap angka morbiditas (Lampiran 1) dengan signifikansi sebesar 0,000 dan nilai parameter yang dihasilkan dari pengaruh pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,074, ini artinya bahwa mediasi dari tingkat kemiskinan tidak memperkuat pengaruh dari pendidikan terhadap angka morbiditas. c) Pengaruh Tidak Langsung Ekonomi terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Pengujian adanya pengaruh ekonomi secara tidak langsung terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan yang dilakukan dengan Amos 16 seperti pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil output Lampiran 3 yang ditampilkan kembali pada Tabel 5.12 diperoleh hasil pengujian bahwa tidak ada pengaruh ekonomi secara tidak langsung dan signifikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari hasil olahan data dengan menggunakan AMOS, yaitu diperoleh hasil bahwa secara langsung ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas (Lampiran 1) dengan signifikansi sebesar 0,002 dan nilai parameter yang dihasilkan dari pengaruh ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,172, ini artinya bahwa mediasi dari tingkat kemiskinan tidak memperkuat pengaruh dari lingkungan terhadap angka morbiditas.
110
5.3.10 Pengaruh Total (total effect) Analisis SEM juga menunjukkan besaran dari pengaruh total dari satu variabel terhadap variabel lainnya. Hasil olahan data mengenai perhitungan pengaruh total variabel penelitian ditampilkan pada Tabel 5.12. Pengolahan data dengan AMOS menghasilkan data yang menjelaskan bahwa pengaruh langsung lingkungan terhadap angka morbiditas dengan nilai koefisien jalur (standarized direct effect) sebesar 0,381 dengan nilai siginifikansi (p) sebesar 0,004. Pengaruh tidak langsung lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,045. Dengan demikian pengaruh total pengaruh lingkungan terhadap angka morbiditas menjadi sebesar 0,336. Pengaruh langsung pendidikan terhadap angka morbiditas dengan nilai koefisien jalur (standarized direct effect) sebesar sebesar -0,824 dan signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel
5.12 sebesar 0,000.
Pengaruh tidak langsung pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,074. Dengan demikian pengaruh total pendidikan terhadap angka morbiditas menjadi sebesar -0,898. Pengaruh langsung ekonomi terhadap angka morbiditas dengan nilai koefisien jalur (standarized direct effect) sebesar 0,409 dan signifikan pada 5 persen dengan nilai siginifikansi (p) pada tabel 5.13 sebesar 0,002. Pengaruh tidak langsung ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan adalah negatif yaitu -0,172. Dengan demikian pengaruh total ekonomi terhadap angka morbiditas menjadi sebesar 0,236.
111
5.3.11 Uji Kesesuaian Model Keseluruhan Dengan telah diterimanya masing-masing indikator yang digunakan untuk mendefinisikan variabel laten (konstruk) berdasarkan hasil estimasi model pengukuran yang dilakukan dengan teknik comfirmatory factor analysis, maka estimasi dilanjutkan pada estimasi model persamaan struktural dengan teknik full model analysis. Estimasi ini ditujukan untuk melihat kesesuaian model dan hubungan kausalitas yang terjadi pada suatu hubungan yang berjenjang. Hasil estimasi model persamaan struktural dalam penelitian ini adalah seperti pada Gambar 5.1. Hasil uji kesesuaian (goodness of fit) model pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan pelanggan JP Bonding disajikan dalam Tabel 5.17. Data pada Tabel 5.13 menunjukkan bahwa semua kriteria indeks goodness of fit bernilai baik atau mendekati baik (marginal) yang ditunjukkan dengan nilai X2Chi-Square sebesar 71,526 dan probability lebih besar dari 0,05 yaitu 0,093. Indeks AGFI dengan nilai 0,876 berada dalam kriteria marjinal (mendekati baik). Selanjutnya indeks CMIN/DF dengan nilai 1,593, TLI dengan nilai 0,967, CFI dengan nilai 0,987 dan RMSEA dengan nilai 0,074, semuanya berada dalam kreteria baik. Indeks TLI dan CFI sangat dianjurkan digunakan, karena indeks ini relatif tidak sensitif terhadap besarnya sampel dan kurang dipengaruhi oleh kerumitan model (Ferdinand, 2002), sehingga model ini sudah memenuhi standar goodness of fit dilihat dari nilai TLI (Tucker Lewis Index) dan CFI (Comperatif Fit Index).
112
Tabel 5.13. Goodness of Fit Indexes Model Goodness of Fit Index Probability (P) X2-Chi-Square CMIN/DF GFI TLI CFI RMSEA AGFI
Cut of Value ≥ 0,05 <24,72 (df=11, =0,01) ≤ 2,00 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,95 ≤ 0,08 ≥ 0,90
Hasil Model 0.093 17.526
Keterangan Baik Baik
1.593 0.962 0.967 0.987 0.074 0.876
Baik Baik Baik Baik Baik Marginal
Sumber: Ferdinand , 2002 dan Hasil Analisis SEM (Lampiran 3 ) 5.3.12 Uji Sobel Hasil estimasi pengaruh tidak langsung seperti disajikan pada Tabel 5.12 menunnjukkan bahwa pengaruh tidak langsung variabel lingkungan terhadap angka mordibitas melalui tingkat kemiskinan adalah sebesar -0,045. Pengujian signifikansi pengaruh tidak langsung pada model penelitian ini menggunakan uji Sobel dengan persamaan struktural sebagai berikut.
S ab b 2 Sa a 2 Sb 2
2
Sab = Nilai Sobel a = koefisien jalur pengaruh variabel lingkungan terhadap kemiskinan sa = standar error pengaruh variabel lingkungan terhadap kemiskinan b = koefisien jalur pengaruh variabel tingkat kemiskinan terhadap angka mordibitas sb = standar error pengaruh variabel tingkat kemiskinan terhadap angka mordibitas
Untuk menghitung pengaruh tidak langsung lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan dengan memasukkan nilai-nilai pada lampiran output AMOS (lampiran 3) didapat nilai a = -0,129 sa = 0,090, b=
113
0,348, sb = 0,0413. Berdasarkan nilai-nilai yang sudah diketahui, dapat dihitung nilai Sab sebesar 0,061801.Dengan mengetahui nilai Sab, maka Nilai Zhitung dapat dicari dengan formulasi berikut:
Z hitung
a xb b S a a 2 Sb 2
2
2
Zhitung = -0,72639 Nilai Zhitung sebesar -0,72639 lebih kecil dari nilai kritis 1,96 sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Untuk menghitung pengaruh tidak langsung pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan dengan memasukkan nilai-nilai pada lampiran output AMOS (lampiran 3) didapat nilai a = -0,212 sa = 0,913, b= 0,348, sb = 0,0413. Berdasarkan nilai-nilai yang sudah diketahui, dapat dihitung nilai Sab sebesar 0,11035. Nilai Zhitung sebesar -0,66857 lebih kecil dari nilai kritis 1,96 sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Untuk menghitung pengaruh tidak langsung ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan dengan memasukkan nilai-nilai pada lampiran output AMOS (lampiran 3) didapat nilai a = -0,494 sa = 0,103, b= 0,348, sb = 0,0413. Berdasarkan nilai-nilai yang sudah diketahui, dapat dihitung nilai Sab sebesar 0,207147.
Nilai Zhitung sebesar -0,8299 lebih kecil dari nilai
114
kritis 1,96 sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. 5.4.
Pembahasan Hasil Analisis
5.4.1
Pengaruh Lingkungan terhadap Tingkat Kemiskinan Analisis terhadap data menyatakan bahwa lingkungan berpengaruh negatif
tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Konndisi rumah tangga dengan sanitasi layak di Provinsi Bali di beberapa kabupaten/kota se Bali belum mencapai 100 persen dan mendekati angka yang ditetapka di MDG’s, demikian juga dengan rasio elektrifikasi sehingga perlu diadakan analisis terhadap faktor faktor lingkungan yang lain guna mencari apakah faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan secara signifikan. Hasil ini sejalan dengan rumusan Millenium Development Goals (MDGs), bahwa terdapat interdependensi antara akses air minum dan sanitasi terhadap tingkat kemiskinan, pembangunan dan perbaikan bidang sanitasi secara tidak langsung akan mengurangi kemiskinan, sebaliknya dengan mengurangi tingkat kemiskinan, masyarakat memiliki alokasi pendapatan untuk membangun dan memperbaiki akses sanitasi dan air minum. Hasil ini sejalan juga dengan Nikiwijuluw (2007), bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif, bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polynomial dimana pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya kerusakan lingkungan terjadi akibat dari kemiskinan. Mungkasa (2004), juga menyatakan bahwa peningkatan kualitas dan ketersediaan air minum dan sanitasi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang berarti mengurangi
115
tingkat kemiskinan sedangkan Samudro (2006), menyatakan keterkaitan antara keterkaitan akses sanitasi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan dan PDRB per kapita dengan objek di 30 Provinsi di Indonesia. Hasil penelitian yang sejalan adalah Octavianus (2003), hasil uji korelasi Momen Produk Pearson menunjukkan hubungan yang negatif antara ketersediaan sarana dan prasarana dengan tingkat kemiskinan. Artinya semakin baik ketersediaan sarana dan prasarana (persentase keluarga yang menggunakan listrik) maka tingkat kemiskinan akan semakin rendah, dan semakin buruk ketersediaan sarana dan prasarana maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi dan semakin buruk ketersediaan sarana dan prasarana maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi. 5.4.2
Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan Hasil estimasi model struktural menunnjukkan bahwa pendidikan
berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Faktor pendidikan yang menganalisis rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf mempengaruhi tingkat kemisikinan di Provinsi Bali namun tidak signifikan hal ini diakibatkan karena rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di Bali masih dihitung dari semua umur, apabila di analisis dengan angka patisipasi kasar dan angka partisipasi murni di setiap tingkatan, Provinsi Bali sudah berada diatas rata rata nasional, rendahnya rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf didominasi oleh masyarakat usia tua dan manula. Komposisi pendidikan penduduk di Pulau Bali menunjukkan bahwa sebagian besar (59 persen) penduduk Bali berpendidikan SD/MI/ sederajat ke bawah. Hanya sebagian kecil (5 persen) penduduk yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Rata-rata lama sekolah di Bali
116
mencapai 8,4 tahun. Angka Melek Hurufnya mencapai 92,9 persen. Pembangunan di Bali yang lebih pesat dibandingkan dengan daerah lainnya membuat keadaan pendidikannya lebih baik. Komposisi penduduk Bali menurut pendidikan masih tergolong rendah karena sebagian besar penduduknya berpendidikan SD/MI sederajat ke bawah. Angka rata-rata lama sekolah melebihi rata-rata nasional yang mencapai 7,9 tahun. Hasil ini sejalan dengan Faisal (2013), pendidikan berpengaruh negatif kepada tingkat kemiskinan artinya jika tingkat pendidikan berubah (naik atau turun) satu satuan, maka tingkat kemiskinan (Y2) berubah pada arah yang berlawanan sebesar angka tersebut. Sejalan juga dengan Nurdyana (2012), bahwa tingkat pendidikan yang dihitung melalui tahun sekolah kepala rumah tangga mempunyai pengaruh negatif terhadap kemiskinan pada tingkat signifikansi 1 persen yang mengindikasikan pentingnya pendidikan dalam mengurangi kemiskinan di Provinsi Maluku Utara. Marginal effect pendidikan sebesar -0,0090 ditafsirkan bahwa penambahan satu tahun sekolah kepala rumah tangga dari nilai rata-ratanya akan menurunkan peluang rumah tangga jatuh dalam kemiskinan sebesar 0,90 persen. Penelitian Darmadi dkk (2010) juga sejalan hasilnya dengan menyatakan variabel tingkat pendidikan yang dihitung melalui tahun sekolah kepala keluarga (year school) mempunyai pengaruh negatif terhadap kemiskinan pada
tingkat
signifikansi
1
persen.
Besarnya
pengaruh
pendidikan
mengindikasikan pentingnya pendidikan dalam mengurangi kemiskinan di Kabupaten Sumedang.
117
Afandi, Wera Nova (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan jumlah anggota rumah tangga yang besar dan pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh positif sebagai penyebab sebuah rumah tangga masuk dalam kemiskinan, serta Datt & Jollife (1999), yang menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap konsumsi per kapita keluarga dan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Sejalan juga dengan Nugroho (2011), dengan hasil Penelitian Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin sedangkan variabel Angka Melek Huruf (AMH) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Menurut Simmons (dalam Todaro, 2000), pendidikan di banyak negara merupakan cara untuk menyelamatkan diri dan kemiskinan. 5.4.3 Pengaruh Ekonomi terhadap Tingkat Kemiskinan Hasil estimasi model struktural menunnjukkan bahwa bahwa Ekonomi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Makin baik ekonomi maka tingkat kemiskinan akan berkurang. Faktor ekonomi yang menganalisis PDRB dan Upah Minimum Kabupaten mempengaruhi tingkat kemisikinan di Provinsi Bali secara signifikan hal ini diakibatkan kondisi upah minimum kabupaten sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Hasil ini sejalan dengan Prabowo (2014), menyatakan bahwa upah minimum dan tingkat pengangguran terbuka memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Brebes selama periode 19972012, akan tetapi pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang tidak signifikan
118
terhadap jumlah penduduk miskin di Kabupaten Brebes selama periode tahun 1997-2012. Wongdesimiwati (2009), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pengaruh ekonomi terhadap tingkat kemiskinan dengan variabel PDRB pada penelitian ini hasilnya sejalan dengan Datrini, (2009), bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di provinsi Bali tahun 1990 –2007 dan hipotesis yang menyatakan bahwa besarnya koefisien elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan adalah lebih dari satu dan bersifat elastis tidak dapat diterima hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisnya secara absolut adalah kurang dari satu atau bersifat inelastis artinya pertumbuhan ekonomi tidak dengan serta merta akan mengurangi jumlah penduduk miskin, sejalan juga dengan hasil penelitian Nizar dkk (2013), bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDB) terhadap tingkat kemiskinan secara langsung sangat kecil namun hubungannya negatif dan signifikan sejalan dengan Nugroho (2011), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. 5.4.4 Pengaruh Lingkungan terhadap Angka Mordibitas Hasil estimasi model struktural terhadap data penelitian menunjukkan bahwa pengujian terhadap hipótesis ini menghasilkan nilai positif dan signifikan.
119
Hal ini tidak sejalan dengan hipotesa bahwa lingkungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka morbiditas di Provinsi Bali. Hal ini dikarenakan persentase Proporsi Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak di Provinsi Bali dan Rasio Elektrifikasi rata rata sudah berada di angka yang cukup tinggi, tiap tahun mengalami peningkatan, bahkan ada yang telah mencapai angka 100 persen. Masih tingginya angka kesakitan penyakit-penyakit menular di Provinsi Bali juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik dan lingkungan biologik. Misalnya penyakit infeksi karena bakteri, virus, parasit, umumnya tumbuh subur pada iklim tropik yang lembab dan kotor. Terbatasnya penyediaan air bersih di beberapa kabupaten, kurangnya kesadaran terhadap pembuangan air limbah, kurangnya kebersihan lingkungan perumahan dan lain sebagainya merupakan pendorong timbulnya berbagai penyakit tersebut. Perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya, minum air yang tidak dimasak, kebiasaan makan yang tidak memenuhi persyaratan gizi atau juga kebiasaan makan masakan cepat saji dan lain-lain, mempermudah terjadinya penularan penyakit serta munculnya penyakit baru. Jumlah timbunan sampah rumah tangga di Bali tahun 2011 adalah 11.799 m3 /hari. RPJMD Bali 2013-2018 (2014) mengungkapkan bahwa Jumlah timbulan sampah rumah tangga menurut Kabupaten/Kota berkisar 473 – 3.380 m3 /hari, tertinggi di Kota Denpasar dan terendah di Kabupaten Klungkung. Persentase rumah tangga di Bali yang sampahnya diangkut sebesar 47 persen dan yang ditimbun 53 persen. Sampah rumah tangga yang diangkut umumnya berada di daerah perkotaan dimana sampah diangkut oleh petugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan atau oleh petugas sampah yang dikelola swasta. Sedangkan timbulan sampah yang
120
ditimbun umumnya dilakukan oleh rumah tangga di perdesaan dimana masih tersedia lahan yang memadai untuk pengelolaan sampah di tempat. Pengelolaan sampah masih menemukan berbagai kendala selain berkaitan dengan prilaku masyarakat juga diperlukan peningkatan kapasitas sistem pengolahan sampah untuk mengurangi kesakitan. Meskipun proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak dan rasio elektrifikasi sudah diatas rata rata nasional, namun beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali belum mencapai tingkat 100 persen, ini menunjukan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan terkait kondisi lingkungan terutama sanitasi dan air bersih. RPJMD Bali Tahun 2013-2018 mengungkapkan bahwa cakupan pelayanan air minum dan sanitasi di Provinsi Bali belum terpenuhi disebabkan aksesibilitas dan jangkauan pelayanan belum memadai, pembangunan jaringan dan pengolahan air baku menjadi air minum dari kabupaten yang memiliki surplus air baku membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga terjadi krisis air bersih di beberapa desa di Provinsi Bali, masih rendahnya koordinasi dan penguatan kelembagaan pemerintah daerah, dalam pembangunan sarana air minum dan sanitasi lintas kabupaten/kota, kapasitas tampung TPA sangat terbatas, pembebasan lahan untuk TPA makin sulit mengakibatkan pengelolaan sampah tidak optimal, pengelolaan sampah dengan metoda sanitary-landfill tidak terlaksana dengan baik. Faktor kebiasaan buang air besar di tempat terbuka juga menjadi permasalahan yang memicu meningkatnya angka morbiditas. Data BPS (2014) menunjukan sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010 masih buang air
121
besar di tempat terbuka. Kontaminasi limbah air besar terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum di daerahh perkotaan, hal ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank atau pembuangan toilet Situasi kebersihan seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pasar lokal dan di antara para penjual makanan jalanan. Kurangnya kesadaran masyarakat terutama ibu rumah tangga mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan, atau sebelum membersihkan pantat anak juga memicu tingginya angka morbiditas akibat kurangnya kebersihan lingkungan. Kesehatan lingkungan pemukiman, tempat kerja dan tempat-tempat umum serta tempat periwisata ditingkatkan melalui penyediaan serta pengawasan mutu air yang memenuhi persyaratan terutama perpipaan, penerbitan tempat pembuangan sampah, penyediaan sarana pembangunan limbah serta berbagai sarana sanitasi lingkungan lainnya. Kualitas air, udara dan tanah ditingkatkan untuk menjamin hidup sehat dan produktif sehingga masyarakat terhindar dari keadaan yang dapat menimbulkan bahaya kesehatan. Untuk itu diprlukan peningkatan dan perbaikan berbagai peraturan perundang-undangan, pendidikan lingkungan sehat sejak dini usia muda serta pembakuan standar lingkungan. Menurut Sujaya (mantan Ka.BLH Provinsi Bali) menyatakan untuk di Provinsi Bali, kondisi lingkungan tidak berpengaruh karena sanitasi lingkungan
122
khususnya penggunaan jamban keluarga, air minum layak serta penggunaan listrik hampir mencapai 10 persen, adanya peningkatan angka morbiditas dapat dikarenakan faktor faktor lain, dapat juga diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Hasil ini sejalan dengan Suharwati (2013), yang menyatakan bahwa lingkungan bofisik desa Klampar tergolong sedang. Hasil Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara lingkungan biofisik dengan morbiditas balita. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ekawati (2014), yang menyatakan ada pengaruh antara pengetahuan terhadap kejadian diare, pengaruh pola makan terhadap kejadian diare dan ada pengaruh antara lingkungan terhadap pasien kejadian diare di RSUD Kota Makassar. Asmorojoyo (2007), menyatakan bahwa bahwa sebagian besar balita tingkat morbiditasnya termasuk dalam kategori sedang, sanitasi lingkungan pemukiman yang meliputi sumber air bersih, pembuangan sampah, pembuangan limbah rumah tangga, MCK, sarana peranginan, dan kebersihan rumah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat morbiditas balita baik secara parsial maupun simultan. Pengaruh sanitasi lingkungan permukiman secara simultan terhadap morbiditas balita di Kelurahan Kotalama Kecamatan Kedungkandang Kota Malang sebesar 53,2 persen. Hasil Penelitian ini tidak sesuai dengan teori Mosley dan Chen (1984), yang mengungkapkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak meliputi variabel eksogenous atau sosial ekonomi (seperti sosial, ekonomi, budaya, masyarakat dan faktor regional) dan variabel endogenous atau faktor biomedical (seperti pola pemberian ASI, kebersihan, sanitasi dan nutrisi). Penelitian ini juga menunjukan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang
123
negative terhadap angka morbiditas, apabila dilihat dari Teori Mosley danChen, lingkungan merupakan variabel endogenous atau faktor biomedical, yang kondisinya mulai dari air minum, jamban, pengelolaan sampah dan kondisi rumah sangat mempengaruhi angka kesakitan, tentunya ada faktor lain yang mengakibatkan hasil enelitian ini tidak sesuai dengan Teori Mosley dan Chen. Dilihat dari Teori H.L Blum yang menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Yang terdiri dari faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Hasil Penelitian ini tentunya tidakt sesuai karena faktor lingkungan terutama faktor budaya sangat mempengaruhi angka kesakitan, jadi hasil penelitian ini tidak sesuai karena pada Penelitian ini tidak dianalisis faktor faktor lain terutama faktor lingkungan (budaya) masyarakat. 5.4.5 Pengaruh Pendidikan terhadap Angka Mordibitas Hasil análisis terhadap data penelitian menyatakan bahwa Pendidikan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap angka mordibitas. Makin tinggi pendidikan maka semakin berkurang angka mordibitas. Hasil ini sejalan dengan hipótesis penelitian. Pendidikan dan kesehatan merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat. Pendidikan merupakan sarana yang digunakan oleh seorang individu agar nantinya mendapat pemahaman terkait kesadaran kesehatan. Kebanyakan orang menilai apabila seseorang itu mendapat proses pendidikan yang baik dan mendapat pengetahuan kesehatan yang cukup maka ia juga akan mempunyai tingkat kesadaran kesehatan yang baik pula. Dengan begitu maka
124
diharapkan pada nantinya orang tersebut akan menerapkan pola hidup sehat dalam hidupnya dan bisa menularkannya ke orang-orang di sekitarnya. Kardjati (1985), juga mengungkapkan bahwa pendidikan, terutama pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, perlunya pemeriksaan kehamilan, dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak dan keluarganya, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi pula pengertiannya terhadap kesehatannya baik itu kesehatan dirinya maupun kesehaan lingkungan tempat ia tinggal. Pernyataan Songjanan (2013), juga menunjukkan
ada pengaruh
pendidikan kesehatan tentang hipertensi kehamilan terhadap sikap pemeliharaan tekanan darah ibu hamil di Puskesmas Debut Kabupaten Maluku Tenggara” dengan tingkat signifikan atau kemaknaan p = 0,000. Nuradita, Mariyam (2013), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukan ada pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Tentang Bahaya Rokok Pada Remaja Di SMP Negeri 3 Kendal dengan nilai p value = 0,000 serta Muzakir, (2013), pada hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (signifikan) antara tingkat pendidikan dengan perilaku hidup bersih dan sehat (p=0,000), dan terdapat pula hubungan yang bermakna (signifikan) antara pengetahuan dengan perilaku bersih dan sehat dilingkungan pangden wilayah puskesmas Tikala Toraja Utara (p=0,000). Hasil ini sejalan juga dengan Hakimi (1990), dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa program KKD-KIA meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih baik terhadap
125
perawatan antenatal dan memperbaiki hasil kehamilan pada ibu-ibu berisiko rendah. Dilihat dari Teori H.L Blum yang menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi
derajat
kesehatan
masyarakat.
Yang terdiri
dari
faktor
perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Hasil Penelitian ini tentunya sesuai karena faktor perilaku/gaya hidup juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang, gaya hidup masyarakat sangat mempengaruhi angka kesakitan. 5.4.6 Pengaruh Ekonomi terhadap Angka Mordibitas Hasil estimasi model struktural menunnjukkan bahwa ekonomi berpengaruh positif secara signifikan terhadap angka mordibitas. Makin baik ekonomi maka semakin naik angka mordibitas. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hipótesis yang menyatakan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka morbiditas.
Masalah
kesehatan
penduduk
meningkat
sejalan
dengan
meningkatnya usia. Orang usia lanjut biasanya menderita penyakit degeneratif dan penyakit kronis. Mereka mempunyai angka morbiditas tertinggi sehingga tuntutan akan pelayanan kesehatan meningkat pula. Mereka semakin sulit mandiri dan semakin tergantung pada orang lain indikator kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah jika dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa angka kesakitan dan kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan pendapatan.
126
Hasil Penelitian ini menurut Wija (Assissten II Setda Provinsi Bali), “Tingkat perekonomian masyarakat di Bali tidaklah rendah ini dibuktikan dengan Provinsi Bali menempati urutan kedua Provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah, apabila dilihat dari upah mínimum kabupaten/kota di Bali juga sudah disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Wija tidak sependapat dengan hasil ekonomi berpengaruh positif terhadap angka morbiditas, namun jika angka morbiditas di Bali meningkat tidak bisa dilihat dari ekonomi, ini juga dapat dipengaruhi oleh banyaknya bantuan kesehatan gratis. Dahulu sebelum adanya JKBM masyarakat yang sakit cenderung berobat sendiri atau dengan obat tradicional, sekarang dengan adanya JKBM penduduk yang baru mengalami keluhan akan segera berobat ke Puskesmas. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Armawan ( penduduk miskin yang tinggal di Tabanan), menurut beliau “ “Dumun yen tiang gelem santukan ten ngelah pis, pekaryan tiyang wantah penyakap, kangguang tiyang meubad nganggon boreh, loloh, lan ke balian. Yen tiyang ngelah pis kanggoang tiyang meli ubad bodrex di warung pang maan mudah, mangkin ampun wenten JKBM tiyang polih maubad gratis, yen ten luung bayun tiyange tiyang maubad ke puskesmas. Tiyang terima kasih ampun polih JKBM” Hasil Penelitian ini tidak sejalan dengan Wibowo (2007), Pekerjaan ayah mempunyai peranan dalam peningkatan status kesehatan bayi. Ayah yang bekerja di lingkungan pegawai negeri sipil dan anggota TNI atau lingkungan perkantoran lainnya, mendapat jaminan pelayanan kesehatan dari asuransi sehingga fasilitas kesehatan yang didapatkan lebih baik. Tidak sejalan juga dengan Sari (2013), dengan tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kejadian TB Paru BTA positif sebesar 38,9 persen sedangkan 62,1 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Seseorang dengan tingkat sosial ekonomi yang baik akan memiliki tingkat kesehatan yang baik pula. Tingkat sosial ekonomi yang rendah mengakibatkan rendahnya pengetahuan mengenai penyakit TB Paru BTA positif serta sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik, sehingga perbaikan kondisi
127
sosial ekonomi masyarakat diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit menular seperti TB Paru BTA positif. Tingkat kemiskinan sangat berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian. Tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan rendahnya kesempatan memperoleh berbagai fasilitas kesejahteraan sosial akan mempersulit terpenuhinya berbagai keperluan pangan bergizi atau kemampuan untuk menangkis penyakit, sehingga tidak mengherankan apabila di lingkungan mereka tingkat kematian bayi tinggi. Berbagai macam penyakit mengancam mereka, seperti: malaria, tuberkulosis, penyakit mata, kwasioskor, dan lainnya sebagai akibat lemahnya daya resistensi. Hal ini menyebabkan usia harapan hidup mereka pendek dan tingkat kematian mereka tinggi. Hasil Penelitian ini tidak sesuai dengan teori Mosley dan Chen (1984), yang mengungkapkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak meliputi variabel eksogenous atau sosial ekonomi (seperti sosial, ekonomi, budaya, masyarakat dan faktor regional) dan variabel endogenous atau faktor biomedical (seperti pola pemberian ASI, kebersihan, sanitasi dan nutrisi). Penelitian ini juga menunjukan bahwa ekonomi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap angka morbiditas, apabila dilihat dari Teori Mosley dan Chen, ekonomi merupakan variabel eksoogenous atau faktor sosial ekonomi, yang kondisinya dilihat dari PDRB dan Upah mínimum kabupaten seharusnya sangat mempengaruhi angka kesakitan, semakin tinggi PDRB suatu daerah dan semakin tingginya upah yang diterima masyarakat maka angka kesakitan akan menurun,
128
namun hasil Penelitian ini tidak sesuai yang berarti terdapat faktor lain yang mengakibatkan hasil henelitian ini tidak sesuai dengan Teori Mosley dan Chen. Dilihat dari Teori H.L Blum yang menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi
derajat
kesehatan
masyarakat.
Yang terdiri
dari
faktor
perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Hasil Penelitian ini tentunya tidak sesuai karena faktor ekonomi yakni PDRB dan upah mínimum kabupaten sangat mempengaruhi angka kesakitan, jadi hasil penelitian ini tidak sesuai karena pada penelitian ini tidak dianalisis faktor faktor lain terutama faktor faktor gini ratio dan faktor inflasi. 5.4.7 Pengaruh Tingkat Kemiskinan terhadap Angka Mordibitas Hasil estimasi model struktural menunjukkan bahwa Tingkat Kemiskinan berpengaruh positif secara signifikan terhadap angka mordibitas. Makin tinggi kemiskinan maka semakin meningkat angka mordibitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis, bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas. Hasil ini sejalan dengan Todaro (2006), kondisi kesehatan yang buruk di negara-negara berkembang berakibat negatif terhadap produktivitas orang dewasa, yang ditunjukkan bahwa orang orang yang sehat menerima upah yang lebih tinggi, Wahyudi (2013), adalah variabel kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran pemerintah signifikan dan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan namun tidak sejalan dengan Faisal (2013), yang menyatakan bahwa tingkat kesehatan (X2) menunjukkan pola hubungan atau pengaruh yang
129
tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan (H4) namun merupakan variabel yang diluar model (excluded va1riabel). Hasil Penelitian ini memberikan masukan Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Bali dan kabupaten/kota se Bali bahwa tingkat kemiskinan mempengaruhi angka morbiditas di Provinsi Bali secara signifikan sehingga Provinsi Bali yang berada pada posisi Hard Rock Level perlu diambil kebijakan yang menyasar pada individu bukan pada rumak tangganya, dalam hal ini pemerintah dapat menuangkan strategi barunya dengan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan yang sesuai dengan kondisi masyarakat bukan berdasarkan data dari BPS dan SKPD. 5.4.8 Pengaruh Tidak Langsung Lingkungan terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil analisis SEM dan uji Sobel dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Kegiatan sanitasi lingkungan dalam pengendalian vector merupakan salah satu upaya kesehatan yang diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Upaya pengendalian vector tersebut dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai upaya pokok dalam pelaksanaan penyehatan dan pengamanan substansi lingkungan (Depkes 2001). Mengingat dampak dari perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar, secara teoritis mempunyai andil 30-35 persen, maka diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat (Depkes 2003). Kondisi lingkungan fisik dan sanitasi tentunya akan mempengaruhi manusia yang tinggal disekitarnya. Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan
130
sanitasi lingkungan. Berdasarkan analisis terhadap data penelitian diperoleh hasil bahwa lingkungan berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas, sedangkan berdasarkan analisis data dan uji sobel diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara lingkungan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Dari analisis terhadap data penelitian ini diperoleh hasil bahwa lingkungan apabila secara langsung dikaitkan dengan tingkat kemiskinan maupun angka morbiditas masing masing memilik pengaruh, namun pengaruh tidak langsung lingkungan terhadap angka morbiditas apabila dianalisis dengan tingkat kemiskinan sebagai variabel mediasi dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan sebagai variable intervening/ mediasi tidak terbukti 5.4.9 Pengaruh Tidak Langsung Pendidikan terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil analisis SEM dan uji Sobel dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non-formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga (Sukarni 1989). Peningkatan pendidikan ibu di suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi. Perbaikan pendidikan ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal atau informal. Pendidikan formal dapat dilakukan dengan cara meningkatkan taraf pendidikan formal masyarakat, terutama para wanitanya yang akan banyak berperan dalam mengasuh anak. Di samping itu, dapat dilakukan dengan menyelipkan pendidikan
131
gizi melalui jalur pendidikan formal (Riyadi 2006). FAO (1989), menyatakan tingkat pendidikan, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak yang serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga. Tingkat pendidikan rendah berimplikasi pada produktivitas yang rendah, sehingga diikuti pula rendahnya pendapatan yang diperoleh (Setiawan, 2011). Berdasarkan analisis terhadap data penelitian diperoleh hasil bahwa pendidikan berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap tingkat pendidikan. Pendidikan juga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka morbiditas, sedangkan berdasarkan analisis data dan uji sobel diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara pendidikan terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Menurut Baron dan Kenny (1996), Ada tiga kemungkinan hasil dari uji mediasi, yaitu (1) mediasi terbukti secara penuh (fully mediated), (2) mediasi terbukti secara parsial (partially mediated) dan (3) mediasi tidak terbukti. Mediasi penuh terjadi jika memenuhi kriteria antara lain: Koefisien jalur dari variabel bebas ke variabel intervening signifikan, Koefisien jalur dari variabel intervening ke variabel terikat signifikan, Koefisien jalur dari variabel bebas ke variabel terikat, yang dikontrol oleh variabel intervening tidak signifikan ini berarti tingkat kemiskinan sebagai variable intervening/ mediasi tidak terbukti.
132
5.4.10 Pengaruh Tidak Langsung Ekonomi terhadap Angka Mordibitas melalui Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil analisis SEM dan uji Sobel dapat disimpulkan tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara ekonomi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu akar masalah yang berkaitan dengan timbulnya masalah gizi. Menurut Martianto dan Ariani (2004), tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Berdasarkan analisis terhadap data penelitian diperoleh hasil bahwa ekonmi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas, sedangkan berdasarkan analisis data dan uji sobel diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh tidak langsung yang signifikan antara ekonmi terhadap angka morbiditas melalui tingkat kemiskinan. Dari analisis terhadap data penelitian ini diperoleh hasil bahwa ekonomi apabila secara langsung dikaitkan dengan tingkat kemiskinan maupun angka morbiditas masing masing memilik pengaruh, namun pengaruh tidak langsung ekonomi terhadap angka morbiditas apabila dianalisis dengan
133
tingkat kemiskinan sebagai variabel mediasi dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan sebagai variable intervening/ mediasi tidak terbukti 5.4.11 Faktor lain yang mempengaruhi Peningkatan Angka Morbiditas Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor faktor yang mempengaruhi angka morbiditas di Provinsi Bali diperoleh hasil bahwa faktor lingkungan dan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka morbiditas. Hasil Penelitian ini tentu tidak sesuai dengan hipotesa dan kondisi yang terdapat di lapangan. Masyarakat tidak perlu menurunkan derajat kesehatan lingkungan maupun menurunkan tingkat perekonomian agar tercapai penurunan terhadap angka morbiditas. Masyarakat di Provinsi Bali mengalami peningkatan dalam hal penduduk dengan keluhan kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya fenomena pemberian jaminan kesehatan gratis dari pemerintah pusat bagi penduduk miskin dan dari pemerintah daerah bagi semua penduduk ber KTP Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan. Sebelum adanya jaminan kesehatan gratis, kebutuhan biaya pelayanan kesehatan yang cenderung terus mengalami kenaikan mengakibatkan kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. Hal ini menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem yang menjamin kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya. Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan khususnya akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status kesehatan akan meningkat (Mukti, 2009).
134
Selama masih banyak permasalahan kesehatan, seperti masih rendahnya derajat kesehatan khususnya dari warga miskin, akibat rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, minimnya dana yang dialokasikan untuk menunjang program kesehatan, beberapa penyakit menular, yang dapat menjadi ancaman utama bagi masyarakat. Jaminan Kesehatan Gratis bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin dipandang perlu dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat karena derajat kesehatan merupakan pilar utama bersama-sama dengan pendidikan dan ekonomi yang sangat erat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan akan tercipta sumber daya manusia yang tangguh, produktif dan mampu bersaing untuk menghadapi semua tantangan yang dihadapinya. Kondisi adanya jaminan kesehatan gratis dari Pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Bali yang membiayai semua penduduk ber KTP Bali bahkan sampai pada tingkat cuci darah serta membiayai beberapa penyakit berat mengakibatkan masyarakat yang dahulunya melakukan pengobatan tradisional atau cenderung berobat sendiri sekarang memilih untuk menggunakan sarana kesehatan karena semua biaya telah dibayar oleh Pemerintah. Kondisi masyarakat, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISPA, diare dan tetanus yang sering diderita oleh bayi dan anak sering kali berakhir dengan kematian. Penyakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan
135
lingkungan
didalam
masyarakat
dimana
mereka
berada.
Faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab - akibat antara makanan dan kondisi sehatsakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya, fakta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hubungan antara kesehatan, ekonomi, dan kemiskinan dapat dilihat pada tingkat rumah tangga dan masyarakat. Sakit secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sumber daya rumah tangga, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, hilangnya waktu sekolah dan bekerja, serta kerugian akibat hilangnya aset berharga untuk pengobatan dan perawatan. Pada tingkat masyarakat, penyakit mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia melalui beberapa cara, antara lain pertama, investasi pada tenaga kerja. Tingginya angka kesakitan pada tenaga kerja menyebabkan keuntungan perusahaan berkurang karena karyawan tidak menyelesaikan pekerjaannya. Kedua, investasi pada dunia usaha dan pariwisata. Penyakit bisa membuat lari para investor sehingga menurunkan potensi pendapatan daerah tersebut. Ketiga, investasi pada hidup yang lebih lama dan lebih sehat. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak serta suksesnya promosi keluarga berencana akan menyebabkan transisi demografi – meningkatnya jumlah penduduk yang hidup lebih lama dan lebih produktif. Ini semua tentunya diperlukan upaya dan usaha keras tidak hanya dari pemerintah semata, namun
136
semua lapisan masyarakat agar lebih meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan.
137