BAB V ANALISIS
5.1
Makna Pertunjukan Burok
5.1.1 Sarana Komunikasi Simbolik Untuk Si Anak Sunat Struktur pertunjukan seni Burok pada prosesi khitanan adalah sebuah proses komunikasi antara manusia dengan sang Pencipta dalam bentuk tanda dan simbol. Komunikasi tersebut sebagai bentuk sarana yang terjadi terhadap si anak sunat dalam proses inisiasi ketika akan memasuki masa remaja atau dewasa muda, dengan demikian si anak sunat harus sudah siap memasuki lingkungan di mana dia berada. Selain itu pula, ketika Burok topeng Rahwana pada atraksi pertunjukan terakhir di tempat yang punya hajat dengan mengambil bantal kemudian dilempar ke atas rumah tuan hajat, hal ini mengandung makna dimaksudkan untuk membuang sial atau malapetaka. Oleh karena itu, bantal diartikan sebagai tempat imajinasi atau dunia mimpi dengan harapan bahwa segala bentuk malapetaka dan khayalan yang tidak diharapkan menjauh dari yang punya hajat khususnya si anak sunat. Memahami pertunjukan seni Burok pada prosesi khitanan pada dasarnya seni Burok semacam hiburan anak yang diperuntukkan sebagai hiburan bagi anak yang hendak dikhitan dengan tujuan ngalap berkah dengan menunggangi kendaraan Burok kaitannya nama kendaraan Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Isra Miraj.
5.1.2 Sarana Komunikasi Simbolik Untuk Orang Tua Kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap si anak sunat dalam bentuk ritus khitanan memperlakukan anak sunat dengan dua cara yaitu fisik dan psikis. Secara psikis anak yang dikhitan diperlakukan dengan penuh kasih sayang, di manja, dikabulkan segala permintaannya, dilayani segala kehendaknya seolah raja sehari. Secara fisik anak sunat dijajakan di sebuah tempat yang relatif tinggi tampak jelas pada pandangan mata seluruh hadirin yang hadir dalam pesta. Puncak perlakuan fisik terhadap anak yang dikhitan dalam upacara prosesi khitanannya adalah menaikkan ke atas pundak boneka Burok, kemudian diusung oleh dua orang penari Burok dan diiringi tetabuhan, diarak keliling kampung beramai-ramai dengan menggunakan seni Burok sebagai medianya. Nampak dari kejauhan sosok raja kecil yang berpakaian tokoh wayang kesatria. Anak yang sedang menjalani upacara inisiasi dianalogikan dengan wujud-wujud bonekaboneka binatang yang terdapat dalam iring-iringan prosesi. Mereka adalah harapan, angan-angan serta impian para orang tua atas masa depan anaknya. 5.1.3 Sarana Komunikasi Simbolik Bagi Seniman Makna yang terkandung dalam pertunjukan seni Burok bagi sang seniman sebagai wujud sarana komunikasi yang mengekspresikan perasaan manusia guna memperhalus dan memperluas komunikasi menjadi sebagai persentuhan rasa yang akrab dengan menyampaikan pesan dan pengalaman sang seniman kepada penonton.
Komunikasi yang disampaikan seni adalah pengalaman yang berharga bermula dari imajinatif kreatif. Seni Burok sangat bermakna atau dapat diresapkan pada dirinya karena mengandung kekuatan pesan yang komunikatif. Dalam proses komunikasi tingkat hubungan antara makna pribadi yang dipancarkan oleh si seniman pada hasil karyanya dengan makna umum sangat memungkinkan dan menentukan karyanya diterima oleh masyarakat. 5.1.4 Sarana Komunikasi Simbolik Bagi Masyarakat Kehadiran
seni
Burok
bagi
masyarakat
Desa
Pakusamben
mengandung makna komunikasi simbolis diantaranya bentuk makna syukuran yakni masyarakat Desa Pakusamben sebagai komunitas biasanya dan umumnya masyarakat kalangan menengah ke atas dengan cara syukuran khitanan anak mereka berdasarkan cara yang diwariskan yaitu menanggap seni Burok sebagai media seninya untuk mengkomunikasikan hubungan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Kegiatan menanggap seni Burok untuk khitanan dijadikan suatu tradisi bagi lingkungan mereka, selain itu makna spiritual dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan. Oleh karena itu simbol pertunjukan seni Burok sebagai media untuk menjaga keseimbangan hidup dan menghubungkan manusia dengan penguasa alam.
5.2
Simbol Pertunjukan Burok
5.2.1 Simbol Burok Penampilan topeng Burok termasuk kategori topeng besar dan secara umum topeng dapat diartikan sebagai tiruan wajah, tokoh yang digambarkan
pada Burok sebagai makhluk berparas cantik dan bercitra menyerupai manusia. Topeng Burok dalam pertunjukan seni Burok kaitannya dengan prosesi khitanan merupakan sarana simbolis untuk mewujudkan konsepkonsep agama terutama yang berhubungan dengan kekuatan gaib tertentu dan topeng merupakan ungkapan perlambang untuk menyalurkan tanggapan kesan dan sifat-sifat serta konsep-konsep budaya manusia. Bila melihat penampilan topeng-topeng boneka saat prosesi khitanan pada pertunjukan seni Burok terdapat beberapa topeng yang bisa dibedakan adanya memiliki penampilan yang sangat berbeda, yaitu: (1) makhluk demonik yang menakutkan, (2) mirip dengan wajah manusia, (3) distilasi dengan merujuk pada wajah-wajah nama wayang, (4) bentuk wajah manusia sakit atau cacat. Topeng yang bentuknya menakutkan (demonik) banyak terdapat pada masyarakat yang melestarikan budaya prasejarah misalnya topeng-topeng yang sering ditampilkan pada pertunjukan rakyat. Topeng-topeng tersebut umumnya menggambarkan wajah roh-roh nenek moyang serta binatang totem yang berfungsi sebagai pelindung masyarakat (Narawati, 2003:74). Citra Burok sebagai makhluk mitologi yang memiliki kekuatan besar yang digambarkan bisa terbang menembus langit adalah makhluk ideal yang diharapkan dapat membawa terbang anak sunat menuju sesuai harapan orang tuanya. Gambaran di atas nampak pada wujud topeng boneka Burok. Pertunjukan seni Burok Desa Pakusamben yang diciptakan oleh masyarakat biasa sebagai seni pertunjukan rakyat yang lahir pada ciri-ciri kebebasan
tanpa adanya aturan-aturan atau patokan-patokan yang mengikat dan berpola pada kultur budaya masyarakat Desa Pakusamben sebagai budaya daerah kerakyatan. Nama topeng Burok yaitu Dewi Anjani berdasar sumber cerita Ramayana mengisahkan Dewi Indradi yang menikah dengan Batara Gotama serta melahirkan Subali, Sugriwa, dan Anjani. Anjani menikah dengan Batara Guru kemudian dibawa ke langit oleh Batara Guru dan mempunyai anak Hanoman. Jika ditafsirkan bahwa Anjani adalah seorang Dewi dari Bumi, sedangkan Batara Guru sebagai Dewa dari Langit maka, topeng Burok nama Dewi Anjani adalah penjelmaan Dewi dari khayangan yang bersayap yang dianggap penjelmaan kekuatan-kekuatan baik pelindung desa. Kekuatan maha gaib seorang tokoh Dewi Anjani melalui topeng besar mampu memberi daya tarik penonton yang sangat besar pada saat arakarakan khitanan. Kostum yang biasa dipakai oleh anak sunat adalah busana tokoh pewayangan yang memiliki karakter yang baik seperti Hanoman, Arjuna, Gatot Kaca, Kresna, mereka adalah kesatria tokoh yang memiliki citra kesatria ideal. Anak sunat memakai kostum Hanoman yang menaiki binatang mitologi yang bersayap adalah simbol penyatuan antara langit dan bumi. Jelaslah bahwa Burok menjaga keseimbangan alam, juga Burok dimaknai sebagai kendaraan yang dijadikan simbol-simbol kekuatan dan kesatriaan. Dari semua tradisi di dunia ini upacara yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam merupakan upacara kesuburan sebagai penolak bala.
Melihat proses awal dengan adanya ritual Burok, para penari, sesajen, hari yang terpilih, memandikan topeng-topeng boneka Burok Dewi Anjani setiap malam Jumat Kliwon memberikan dampak kondisi anak sunat benar-benar sangat suci. 5.2.2 Simbol Pendewasaan Si Anak Sunat Masa memasuki usia aqil baligh bagi anak laki-laki Islam umumnya menempuh rangkaian kegiatan keagamaan yakni harus dikhitan. Khitanan adalah sebuah upacara inisiasi sebagai sebuah langkah menuju kedewasaan seorang anak laki-laki. Setiap anak laki-laki yang dikhitan di Desa Pakusamben dan sekitarnya sudah menjadi tradisi menanggap pertunjukan seni Burok. Simbol nama Burok sebagai nama kendaraan suci Nabi Muhammad SAW ketika Isra Miraj sehingga orang tua si anak berharap mengambil hikmah dari peristiwa Isra Miraj. Dari gambaran ketika sedang naik Burok tersebut harapannya agar si anak sunat bisa terbang dalam arti kelak si anak jika sudah dewasa mempunyai jabatan, kedudukan yang tinggi, pemimpin, dan mempunyai kesaktian seperti yang disimbolkan oleh pemakaian kostum dari tokoh pewayangan yang dipakai anak sunat. 5.2.3 Simbol Status Tuan Hajat Umumnya penanggap pertunjukan seni Burok pada prosesi khitanan di Desa Pakusamben, kondisi ekonomi mereka adalah golongan menengah ke atas. Kondisi ekonomi tuan hajat seperti di atas tidak hanya terjadi di Desa Pakusamben saja karena pertunjukan seni Burok sudah memasyarakat dan diminati oleh sebagian besar di wilayah Cirebon Timur, maka seringkali
status tuan hajat di pandang oleh masyarakat sekitarnya sebagai orang yang berada. Kepuasan bathin dan rasa bangga yang diberikan kepada anaknya ketika melihat anaknya menaiki Burok diarak keliling kampung, dilihat oleh orang banyak sepanjang rute yang dilalui akan tampak dan didapat dari setiap tatapan dan sikap para penonton untuk menghormati tuan hajat, sehingga hasil dari pertunjukan tersebut dapat mempertegas kedudukan dan martabat seseorang di masyarakat. 5.2.4 Simbol Identitas Masyarakat Sudah menjadi tradisi seni Burok merupakan seni budaya masyarakat Desa Pakusamben khususnya, umumnya masyarakat Cirebon Timur yang pada saat ini sebagai sarana simbolis dalam pesta upacara mengarak pengantin sunat sebagai bentuk komunikasi dengan Yang Maha Kuasa. Biasanya pada pesta prosesi tersebut oleh masyarakat setempat selalu dirayakan secara besar-besaran. Dalam pertunjukannya melibatkan beberapa unsur seni dan merupakan simbol yang merujuk pada pola budaya masyarakat Desa Pakusamben dan sekitarnya. Bagian-bagian yang terjadi dari kegiatan pertunjukan dari seni Burok terdapat simbol sebagai sarana keterjalinan, kebersatuan sosial sesama dan tidak mengenal perbedaan status sosial. Masyarakat Desa Pakusamben percaya bahwa jiwa kesenian rakyat yang terdapat dalam seni Burok sangat berperan dalam diri mereka. Kehidupan mereka (masyarakatnya) terkondisi oleh lingkungan budaya agraris yang senantiasa menyimbolkan dari kegiatan-kegiatan ibadahnya
dengan melibatkan seni Burok demi menjaga keseimbangan dan keselamatan alam. Mereka sangat menjungjung tinggi nilai keagamaan yang melekat pada simbol Burok.
5.3
Fungsi Pertunjukan Burok
5.3.1 Fungsi Bagi Si Anak Sunat Sebagai Ritual Khitanan adalah sebuah upacara inisiasi dalam jenjang kehidupan manusia. Sebagai kegiatan ritual yang berhubungan dengan daur hidup manusia terutama anak laki-laki Islam tradisinya masyarakat Desa Pakusamben, jika mengkhitankan anaknya senantiasa dikaitkan dengan seni Burok. Fungsi Burok itu sendiri adalah alat atau kendaraan untuk mengusung anak sunat pada prosesi arak-arakan. Arak-arakan itu sendiri merupakan pertunjukan helaran yang digelar untuk menghibur roh-roh yang turun ke bumi untuk bergabung bersama masyarakat. Selain itu dalam memfungsikan di masyarakat tidak terlepas nilai-nilai religi seperti maksud pengantin sunat menaiki punggung Burok dan diarak keliling kampung adalah untuk mengambil hikmah dari peristiwa Isra Miraj dan meminta keselamatan bagi si anak sunat. Pemahaman mengenai ritual fungsinya sangat mendasar dalam tata kehidupan manusia. Adanya fungsi ritual yang tampak dalam pertunjukan seni Burok dapat dilihat dari: (1) Adanya sesajen, tujuannya untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap kekuatan makhluk-makhluk halus yang berdiam di tempat-tempat tertentu agar tidak menganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan si anak sunat. (2) Waktu yang dipilih, penetapan hari/waktu yang dipilih sebagai hari yang
dianggap keramat atau suci oleh tuan hajat biasanya mereka menentukan setelah mempertimbangkan dan menghubungkan hari kelahiran (weweton) si anak sunat dengan hitungan berdasarkan pada primbon Jawa. (3) Rute/tempat yang dianggap suci, rute perjalanan yang ditempuh dalam arakarakan pertunjukan seni Burok dimaksudkan dan dimaknai tujuannya untuk membersihkan jalan-jalan dari roh-roh jahat yang dilalui oleh iring-iringan Burok dengan tujuan memagari rumah anak sunat (tuan hajat) dari tolak bala. (4) Pemain yang dipilih, bahwa setiap orang yang akan menjadi penari Burok khususnya penari boneka Burok itu sendiri harus mempunyai pengalaman khusus (memainkan, menarikan) Burok dengan baik, dan ritual pribadi. (5) Topeng Burok dinamai Dewi Anjani, Anjani adalah Dewi dari Bumi yang dinikahi Batara Guru (Dewa dari Angkasa). Bersatunya Dewi Bumi dengan Dewa Langit, maka antara langit dan bumi terjadi penyatuan yang harmonis antara dua alam. Akibatnya keseimbangan alam artinya alam dan isinya sejahtera. Dari Ibu Bumi dan Bapak Angkasa sebagai upacara kesuburan. Walau samar-samar, tetapi maknanya bisa dipahami bahwa topeng Burok dahulunya berfungsi sebagai penolak bala agar warga kampung terbebas dari pengaruh buruk alam, hal ini merupakan sebuah kepercayaan lama (mitos). Sinkretisme yang terjadi dengan masuknya pengaruh Islam dilihat dari instrumen pengiring juga seperti lagu-lagu yang awalnya bernafaskan Islam dan Burok menjadi tunggangan anak sunat dengan memakai busana tokoh pewayangan. Walaupun sudah terjadi perubahan penampilan akan
tetapi maknanya masih tetap sebagai sebuah ritual yang memiliki makna bahwa seorang anak sunat adalah harapan orang tua agar menjadi ideal bagaikan tokoh pewayangan (Arjuna, Kresna, Gatot Kaca, dan lain-lain). 5.3.2 Bagi Penonton Sebagai Hiburan Pribadi Prinsipnya yang penting pribadi merasa senang dan terhibur adalah bagian dari fungsi hiburan. Pengalaman keterlibatan dalam seni pertunjukan melibatkan antara pemain dan penonton sebagai interaksi emosional, ketika pertunjukan dilaksanakan. Sebagai seorang penonton atau pemain seringkali mengungkapkan perasaannya melalui menari bersama. Mereka secara spontan bersatu melibatkan perasaannya melalui pertunjukan seni Burok sebagai hiburan pribadi. Seni Burok sebagai sarana seni penghibur bagi penanggap dan penonton secara merakyat tercipta atas kebebasan, tanpa adanya aturan yang mengikat baik melalui bentuk personal, gerakangerakan tarian, emosional, ataupun yang lainnya memberikan ciri bentuk hiburan rakyat. Dalam pelaksanaannya keterlibatan emosi penonton atau penanggap sebagai pribadinya secara langsung mereka menjadi bagian dari prosesi arak-arakan seni Burok. Mereka menari mengikuti irama musik sepuasnya, memberikan saweran untuk permintaan lagu, memberikan saweran untuk menaikkan anaknya ke punggung Burok. Begitupula gerakan-gerakan tarian yang spontanitas dilakukan para pejoget mampu memberikan kemeriahan suasana arak-arakan. Dengan demikian seni Burok merupakan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berfungsi memberikan hiburan kepada penonton atau masyarakatnya.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Seni Burok adalah seni pertunjukan rakyat tradisional Cirebon yang
memiliki fungsi yang berarti bagi masyarakatnya. Fungsi Burok itu sendiri adalah alat atau kendaraan untuk mengusung anak sunat pada prosesi arak-arakan. Pertunjukan seni Burok memiliki ciri keagamaan dan bercampur unsur magis. Dalam tubuh pertunjukan Burok terdapat unsur-unsur peninggalan seni pertunjukan masa pra-Hindu di Jawa sehingga terjadinya sinkretisme. Seni Burok merupakan seni tradisional yang memiliki unsur tari, musik dan rupa didalamnya. Burok dalam seni ini adalah visualisasi bentuk seekor Kuda Sembrani yang bersayap, berkepala seorang wanita berparas cantik. Nama Burok diambil dari kata Buraq kendaraan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Miraj. Hal ini dimaknai untuk ngalap berkah dari peristiwa tersebut. Dalam struktur pertunjukan seni Burok adanya sebuah proses komunikasi antara manusia dengan sang pencipta, interaksi emosional antara pemain dan penonton dalam bentuk tanda atau simbol sebagai bagian dari prosesi. Isi dalam prosesi khitanan adalah proses inisiasi seorang anak laki-laki menuju ke tingkat dewasa. Komunikasi antara manusia dengan dunia gaib pun melalui topeng Burok bersifat sementara hanya terjadi pada waktu yang dianggap suci. Maka, Burok merupakan penjelmaan kekuatan baik pelindung desa.
Topeng Burok melukiskan makhluk dongeng maupun lambang dari mitos binatang yang dianggap sebagai sumber perlindungan bagi masyarakat yang memelihara budaya purba. Secara samar-samar tetapi maknanya bisa dipahami bahwa topeng Burok dahulunya sebagai penolak bala agar warga kampung terbebas dari pengaruh buruk alam, hal ini sebagai kepercayaan lama. Oleh karena itu, sinkretisme yang terjadi dengan masuknya pengaruh ajaran Islam dilihat dari instrumen pengiring seperti lagu-lagu yang awalnya bernafaskan Islam, namun sekarang Burok menjadi tunggangan anak sunat dengan memakai busana tokoh pewayangan. Walaupun sudah terjadi perubahan penampilan akan tetapi maknanya masih tetap sebagai sebuah ritual yang memiliki makna, bahwa seorang anak sunat adalah harapan orang tua agar menjadi ideal bagaikan tokoh pewayangan. Meskipun ada nafas-nafas agama Islam di dalam pertunjukan Burok namun secara perlahan-lahan masih dapat dilihat bahwa Burok sebagai tradisi masa lalu pada budaya totemisme. Dengan demikian sudah terjadi sinkretisme antara budaya Islam, Hindu, dan agama Asli. Kini seni Burok tidak saja digemari masyarakat Cirebon, akan tetapi juga oleh masyarakat di luar Cirebon. Hal ini sudah barang tentu akan mengangkat martabat serta eksistensi daerah pemiliknya di forum yang lebih luas. Tidak dapat dipungkiri bahwa seni Burok kini menjadi karya seni baru sekaligus sebagai identitas daerah pemiliknya. Bila kita mendengar kata seni Burok maka asosiasi orang khususnya Jawa Barat akan tertuju pada prosesi khitanan di Cirebon. Sebaliknya bila mendengar kalimat upacara inisiasi sunatan di daerah Cirebon asosiasi masyarakat akan tertuju pada seni Burok sebagai sarana media seninya.
6.2
Saran Seni Burok sebagai seni yang memiliki nilai estetis dan ritual yang positif
perlu dikaji dan didokumentasikan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa Jawa Barat khususnya Cirebon. Seni Burok semakin lama perkembangannya bisa saja semakin punah akibat ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya, tetapi dalam kedudukannya sebagai seni dan sangat digemari oleh masyarakat Cirebon pada masa sekarang perlu didokumentasikan untuk diambil makna, simbol dan fungsi sebagai kajian penciptaan dan pengembangan seni Burok. Difungsikannya seni Burok sebagai media seni pada prosesi khitanan menjadi perhatian masyarakat banyak dalam rangka pengembangan budaya daerah, untuk itu perlu dilestarikan keberadaannya. Pelestarian, pembinaan, pengembangan menjadi kata kunci yang perlu diperhatikan oleh masyarakat umum tetapi perlu adanya uluran tangan dan perhatian dari pihak pemerintah daerah khususnya untuk mau terbuka dan menyadari keberadaan seni Burok.
DAFTAR PUSTAKA
Aart Van Zoest (Penyunting Panuti Sudjiman). (1992). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia. Adang Kusnara. (1998). Kapita Selekta Tari. Bandung: STSI Press. Alo Liliweri. (2003). Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKIS. Budiono Heru Sutanto. (2003). Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Harindita Graha Widia. Clifford Geertz. (1992). Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Depdiknas. (2005). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Bandung. Edi Sedyawati. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. ___________. (2002). Indonesia Heritage Seni Pertunjukan. Jakarta: Grolier Internasional. Elin Masriah. (2002). “Fungsi Upacara Adat Parebut Seeng Bagi Masyarakat Desa Kutajaya Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi”. Skripsi S1 Prodi Tari Jurusan Sendratasik, UPI Bandung. Endo Suanda. (2005). Topeng. Jakarta: LPNS Jakarta. Ernst Cassier. (1998). Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esai tentang Manusia. Diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia Cetakan Kedua. James P. Spradley. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Kasim Ahmad. (1980-1981). Teater Rakyat di Indonesia dalam Analisis Kebudayaan. Jakarta; Depdikbud. Kiki Sukanta. (2006). Sisingaan sebagai Sarana Simbolis Dalam Upacara Sarana Inisiasi Sunatan pada Masyarakat Subang. Bandung: Ritme FPBS UPI Bandung. Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antroplogi. Jakarta: PN. Universitas Indonesia. Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Mahdi Rizqullah Ahmad. (2006). Biografi Rasulullah. Jakarta: Qisthi Press. Mudji Sutrisno & Hendar Putranto. (2005). Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. (1980). Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung. Pemda. (2005). Profil Kesenian Tradisional Cirebon. Pemda Kabupaten Cirebon. Rokhmin Dahuri, dkk. (2004). Budaya Bahari (Sebuah Apresiasi di Cirebon). Jakarta: PNRI. Saliman dan Sudarsono. (1993). Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum. Jakarta: Renika Cipta. Sinta Gusfiany. (1999). “Kesenian Genjring Burok di Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon”. Skripsi S1 Jurusan Tari, STSI Bandung. Soedarsono. (2002). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Surakhmad Winarno. (1985). Pengantar Penelitan Ilmiah. Bandung: Tarsito. Talcot Person. (1967). The Sociology of Religion Transl. By. Ephraim Fis. Tati Narawati. (2003). Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa. Bandung: P4ST UPI Bandung. T.O. Ihromi. (2006). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Umar Kayam. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. W.J.S. Poerwadarminta. (2005). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Edisi Ketiga. Y. Sumandiyo Hadi. (2006). Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Lampiran 1
DAFTAR ISTILAH
Adikodrati
: Supernatural atau diluar kodrat alam.
Animisme
: Kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami sekalian benda.
Arak-arakan
: berjalan bersama-sama dan beriring-iringan.
Badawangan
: Orang-orangan, berpostur tinggi besar, tidak memiliki bentuk jelas, sering dipakai dalam acara arak-arakan
Bedug
: Gendang berukuran besar di mesjid.
Burok
: berasal dari kata Buraq sebangsa hewan berwarna putih, dipergunakan sebagai kendaraan oleh Nabi Muhammad SAW ketika melakukan Isra Mi’raj.
Cikal-Bakal
: Pertama yang akan dijadikan.
Diarak
: Di ombang-ambing.
Dinamisme
: Kepercayaan dimana semua benda atau makhluk mempunyai kekuatan gaib.
Dogdog
: Instrumen alat musik sejenis bedug berukuran kecil.
Fenomena
: Keadaan yang dapat diamati, fakta, gejala, peristiwa, dan lain-lain.
Genjringan
: Instrumen alat musik sejenis rebana berukuran kecil.
Helaran
: Barjalan bersama beriring-iringan mengarak pengantin atau anak sunat.
Interaksi
: Suatu yang saling mempengaruhi dan berhubungan.
Kasatmata
: Nyata (dapat dilihat); konkret.
Khataman
: Tamat menyelesaikan bacaan Alquran.
Konotasi
: Tambahan
Konsentrasi
: Pemusatan, penyatuan.
Konsep
: Rancangan.
Konsepsi
: Pengertian, paham, rancangan yang telah ada dalam pikiran.
Magis
: Ilmu gaib, ilmu sihir.
Marhaban
: Pujian pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Mitologi
: Ilmu tentang kepercayaan dongeng yang isinya berhubungan dengan roh-roh halus.
Prosesi
: Pawai atau perarakan dengan upacara.
Religi
: Agama, kepercayaan.
Religius
: Yang bersifat keagamaan.
Representatif
: Mewakili.
Ritus
: Upacara suci dalam keagamaan.
Semiotik
: Suatu studi mengenai gejala yang berupa tanda-tanda.
Sinkretisme
: Ajaran yang terdiri dari berbagai unsur yang diambil dari ajaran-ajaran lain di campur menjadi satu tanpa adanya suatu kritikan.
Sugestif
: Dorongan batin yang menimbulkan kepercayaan.
Tahlilan
: Kumpulan orang-orang sambil mengucapkan “laa ilaaha illallah” dan membaca surat al ikhlas dan seterusnya.
Topeng
: 1) Penutup muka yang dibuat dari kayu/kertas yang berupa muka orang (binatang dan sebagainya). 2) Pertunjukan tari kesenian Cirebon yang menggunakan muka (topeng).
Totem
: Pemuja benda dan hewan yang dianggap suci.
Totemisme
: Suatu kepercayaan pada bangsa-bangsa primitif yang didasarkan atau anggapan bahwa ada hubungan antara satu keluarga dengan salah satu jenis binatang.
Tradisional
: Bersifat turun-temurun/menurut adat.
Visualisasi
: Penjelasan dengan menggunakan alat peraga yang dapat dilihat.
Volume
: Isi atau besarnya benda dalam ruang.
Lampiran 2
NARA SUMBER
1. Nama
: Sukarno
Umur
: 45 tahun
Jabatan
: Pimpinan Group Gita Remaja
Alamat
: Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon
2. Nama
: Muari
Umur
: 40 tahun
Jabatan
: Sekretaris/Penasehat Group
Alamat
: Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon
3. Nama
: Ruswa
Umur
: 50 tahun
Jabatan
: Penari Burok Dewi Anjani arak-arakan
Alamat
: Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon
4. Nama
: Walim
Umur
: 52 tahun
Jabatan
: Penari Burok Dewi Anjani atraksi.
Alamat
: Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon
5. Nama
: Jono
Umur
: 55 tahun
Jabatan
: Penari Burok Rahwana.
Alamat
: Desa Pakusamben Kec. Babakan Kab. Cirebon
Lampiran 3
INSTRUMEN WAWANCARA BERSTRUKTUR
1. Untuk mengungkap asal mula lahirnya seni Burok 1) Apakah pertunjukan Burok berkaitan dengan peristiwa khusus, seperti pengobatan penyakit, perayaan pernikahan, khitanan dan lain-lain? 2) Apakah pertunjukan Burok dilaksanakan berkaitan dengan pertanian? 3) Kenapa warna kedok/topeng Burok putih? 4) Apakah makna warna putih itu? 5) Bagaimana bentuk Buroknya? 6) Bagaimana sejarahnya pertunjukan Burok?
7) Apakah pertunjukan Burok berasal dari sebuah tradisi? 8) Apakah Burok ada hubungannya dengan kesejarahan dengan tradisi budaya lain? 9) Adakah makna, simbol warna kain-kain sebagai busana boneka-boneka pada rombongan Burok? 10) Dari manakah ide gerak Burok? 11) Mengapa Burok yang dipakai pada saat atraksi setelah berkeliling kampung diberi nama Dewi Anjani? Sebagai simbol apa? Lalu Burok yang satu lagi diberi nama siapa? Dan simbol serta fungsinya sebagai apa? 12) Mengapa alat musik yang digunakan masih mempertahankan genjring, terbong, klenong dan bedug? Bukankah sekarang banyak alat musim yang lebih modern diterima oleh masyarakat?
2. Tatacara pelaksanaan Prosesi Pertunjukan seni Burok 1) Kapan pertunjukan Burok dilaksanakan? 2) Apakah pertunjukan Burok bersifat musiman? 3) Apakah ada persiapan khusus yang diperlukan untuk memulai pertunjukan Burok? 4) Aktivitas apa saja yang disiapkan untuk pertunjukan Burok? 5) Apakah ada persembahan yang dibuat? Siapa yang membacakan doa ketika pertunjukan akan dimulai? 6) Apakah konstum/pakaian yang dipakai pada saat pertunjukan Burok dimulai? 7) Adakah kostum/pakaian khusus atau yang lainnya, yang digunakan selama pertunjukan? Kalau ada kostum/pakaian apa? Kapan dan bagaimana perubahan kostum/pakaian dapat terjadi?
8) Bagaimana cara menjelaskan kepada pelaku pertunjukan agar dapat mentransformasi tokoh yang diperankannya? 9) Seberapa sering pertunjukan Burok dilaksanakan? 10) Pada waktu apa pertnjukan Burok dilaksanakan (Pagi, Siang atau Malam)? 11) Kapan pertunjukan Burok dimulai? 12) Berapa lama pertunjukan Burok diperkirakan berlangsung? 13) Adakah waktu maya (khayal) dipertunjukan Burok itu? 14) Apakah ada simbol-simbol tertentu dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam pertunjukan Burok? 15) Apakah di dalam pertunjukan Burok terdapat elemen ‘ketegangan’? 16) Apakah pelaku pertunjukan menggunakan Gesture (gerak isyarat) khas dalam pertunjukan? (misalnya menggunakan kata, kalimat, irama bicara) 17) Apakah pelaku pertunjukan bisa masuk ke dalam trace atau possecion? Jika ya, bagaimana dan kapan keadaan ini terjadi? Bagaimana kondisinya bisa digambarkan dan dijelaskan? 18) Bagaimana sikap pelaku pertunjukan terhadap penonton selama pertunjukan berlangsung? 19) Apakah di dalam pertunjukan Burok ada ‘alur cerita’? 20) Apakah makna bentuk Burok pada pertunjukan Burok? 21) Mengapa anak sunat dinaikkan ke punggung Burok? Kemudian diarak berkeliling kampung, apakah ada maksud tertentu? 22) Apakah simbol Burok pada pertunjukan Burok? 23) Apakah makna dari sebuah arak-arakan dalam berkeliling kampung?
24) Kenapa diakhir pertunjukan Burok, muncul Rahwana? Sebagai simbol apa? Fungsi Rahwana sebagai apa? 25) Mengapa Rahwana memasuki pintu rumah dan meminta bantal? Maksudnya apa? Bantal sebagai simbol apa? 26) Bagaimana anda memandang fungsi pertunjukan Burok? 27) Kriteria apa yang digunakan pelaku pertunjukan untuk mengevaluasi pertunjukan?
3. Hubungan seni Burok dengan Masa Sekarang 1) Apakah tradisi pertunjukan Burok berhubungan dengan agama dan kepercayaan dalam budaya? 2) Apakah pada waktu sekarang dikehidupan sehari-hari roh nenek moyang dari tokoh tersebut suka mengunjungi?
Lampiran 4 FOTO KEGIATAN PADA SAAT WAWANCARA
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006 2006)
Gambar 14 Wawancara dengan bapak Sukarno Pimpinan Group Seni Burok Gita Remaja
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006 2006)
Gambar 15 Wawancara dengan ibu Kartini (istri alm. Bpk. Ali Mustofa) Lanjutan Foto Kegiatan Pada Saat Wawancara
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006) 2006
Gambar 16 Topeng Burok Dewi Anjani
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006 2006)
Gambar 17 Topeng Burok Dewi Anjani (kiri) dan Topeng Burok pelengkap (kanan) Lanjutan Foto Kegiatan Pada Saat Wawancara
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006) 2006
Gambar 18 Topeng Burok pelengkap (kiri atas), topeng Burok Dewi Anjani (kanan atas), Sisingaan (kiri bawah), dan topeng Rahwana (kanan bawah)
Lampiran 4 FOTO PERTUNJUKAN SENI BUROK
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006 2006)
Gambar 19 Arak-Arakan di perjalanan
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006 2006)
Gambar 20 Arak-Arakan musik pengiring Lanjutan Foto Pertunjukan Seni Burok
(Foto: Dokumentasi Pribadi, 2006) 2006
Gambar 21 Arak-Arakan saweran di perjalanan
Lampiran 5 DATA PERTUNJUKAN SENI BUROK GITA REMAJA Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
Januari 2006
1
Kubangdeleg
Cihowe
-
2
Karangmalang
Ciwalanda
-
3
Kertawana
Kertawana
-
4
-
Mekarsari
-
5
Panongan
Kertawana
Kertawana
6
Hulubanteng
Pabuaran
-
7
-
-
-
8
-
Bojong Gebang
-
9
-
Kudu Keras
-
10
Pakusamben
Karangwuni
-
11
Dompyong
Cigedog
-
12
Kalimaro
Jatiseeng
-
13
Silih Asih
Wanasaba
-
14
Sasak
Gebang
-
15
Waled
Nagrak
Nagrak
16
-
Pabedilan
-
17
-
-
-
18
-
Sarajaya
-
19
-
Karang Malang
-
20
Babakan
Babakan
-
21
-
Sukaraja
Sukaraja
22
-
Simbing
-
23
Gemongan
Sumber
-
24
Sasak
Sindang
-
25
-
-
-
26
-
Kalibuntu
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
27
-
Rawa Urip
-
28
Gegunung
Gegunung
-
29
-
Samben
-
Februari 2006
30
-
-
-
31
-
-
-
1
Kuningan
Samben
-
2
Kalimanggis
Ciroke
-
3
Kadipaten
Kadipaten
-
4
-
Ender
-
5
-
Tambelang
-
6
-
Kalimekar
-
7
-
-
-
8
-
-
-
9
Cibogo
Sasak
-
10
-
-
-
11
-
-
-
12
-
-
-
13
-
-
-
14
-
-
-
15
-
-
-
16
-
-
-
17
-
-
-
18
-
-
-
19
-
-
-
20
-
-
-
21
-
-
-
22
-
-
-
23
-
-
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
24
-
-
-
25
-
-
-
26
-
-
-
27
-
-
-
Maret 2006
28
-
-
-
29
-
-
-
1
-
-
-
2
-
-
-
3
-
-
-
4
-
-
-
5
-
-
-
6
-
-
-
7
-
-
-
8
-
-
-
9
-
-
-
10
-
-
-
11
Gn. Karung
G. Karung
-
12
-
Babakan
-
13
-
-
-
14
Lebakwangi
-
-
15
-
-
-
16
-
Ancaran
-
17
-
Cihirup
-
18
-
Tambelang
-
19
-
-
-
20
-
Samben
-
21
-
-
-
22
-
Negle
-
23
-
-
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal
Pagi
Sore
Malam
24
-
Sindang
-
25
Kaligawe
Samben
-
26
Brebes
Brebes
-
27
Sidaresmi
Bojong
-
28
-
Cigobang
-
April 2006
29
Kalimaro
Gunung Sari
-
30
-
-
-
31
-
-
-
1
-
-
-
2
-
Larangan
-
3
Baok
Baok
-
4
Waled
Dukuhsinjang
Dukuhsinjang
5
-
Gebang
-
6
-
Sumurkondang
-
7
-
Karangsari
-
8
Jatiwangi
-
-
9
-
-
Samben
10
Pengabean
Pengabean
-
11
Luragung
-
-
12
Samben
Karangmalang
-
13
-
-
-
14
-
-
-
15
-
-
-
16
-
-
-
17
Cirebon
-
-
18
-
-
Kalimaro
19
-
-
-
20
-
-
-
21
-
Sindang
-
22
-
Pangenan
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
23
-
Getrakmoyan
-
24
Luwung Gede
Luwung Gede
-
25
Ciledug
Tojong
-
26
-
Gerba
Gerba
27
-
-
-
Mei 2006
28
-
-
-
29
-
-
-
30
-
-
-
31
-
-
-
1
Sasak
Kalimekar
-
2
-
Gunungsari
-
3
-
Legok
-
4
Cibulan
Babakan
-
5
-
Buntet
-
6
-
Waled Kota
-
7
-
-
-
8
Ciwaru
-
-
9
-
Karangwuni
-
10
Kalimanggis
Pabuaran
-
11
-
Serang
Serang
12
-
-
-
13
-
-
-
14
-
-
-
15
-
-
-
16
-
-
-
17
-
Kalibuntu
-
18
-
-
-
19
Samben
Losari
-
20
-
Cisaat
-
21
-
Getrakmoyan
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
22
Cidahu
Sukadana
-
23
Pengambiran
Sukadana
-
24
Caracas
Gebang
-
25
Tegal
-
-
26
-
Tegal
-
Juni 2006
27
-
-
-
28
-
Samben
Samben
29
Waruduwur
Buntet
-
30
Cigedang
Sumber
-
31
-
-
-
1
-
-
-
2
Baok
Bojong
-
3
Hulubanteng
Gembongan
-
4
-
-
-
5
-
-
-
6
-
Karangmekar
-
7
-
Bendungan
-
8
Kudukeras
Karangsambung
-
9
-
Sasak
Sumber
10
Ciawi Gebang
Ciawigebang
-
11
-
-
-
12
-
Pangenan
-
13
-
-
-
14
-
Sasak
-
15
Beber
Karangsambung
-
16
-
-
-
17
-
-
-
18
Silih Asih
Silih Asih
-
19
-
Kudukeras
-
20
-
-
-
Waktu Main/Tempat/Desa Bulan
Tanggal Pagi
Sore
Malam
21
-
-
-
22
-
-
-
23
-
-
-
24
-
-
-
25
-
-
-
26
-
Karangwuni
-
27
-
-
-
28
-
-
-
29
-
Sasak
Sasak
30
-
-
-
31
-
-
-
(Sumber: Sukarno, wawancara 25 Mei 2006)
Lampiran 6 TOKOH-TOKOH SENIMAN GENJRING BUROK Selain tokoh pak Taal yang di kenal sebagai perintis Seni Genjring Burok dan pak Mustafa selaku penerusnya, masih banyak lagi tokoh-tokoh Seniman Genjring Burok yang tersebar dibeberapa daerah di dalam wilayah Kabupaten Cirebon antara lain: 1. Tohari, desa Sumber Kidul Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon.
2. Karim, desa Kalimaro Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 3. Arsam, desa Kudu Mulya Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 4. Rasju, desa Kudu Mulya Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 5. Asmawi, desa Sumber Lor Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 6. Kisut, desa Cangkuang Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 7. Amar Toha, desa Gembongan Kecamatan babakan Kabupaten Cirebon. 8. Maslihan, desa Kudu Kuat Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 9. Sarnadi, Sokari, Karso, dkk, Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. 10. Atim S. Sukana, E. Suhendi, Kanta, dkk, Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon. 11. Rohanta, Tono, dkk, desa Tanjung Anom Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon. 12. Sali, Said, Didi, Raswan, Rukman, Darsan, Turdi, dkk, desa Kalimeang Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon. 13. Suradi ES, Ubari, Sukari, Nata, Misnan, Sutrisno, dkk, desa Wangunraja Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon. 14. Waska, Sunardi, dkk, desa Bayalangu Kidul Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon. 15. Sakim, Dasta, Mustari, Samad, dkk, Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon. 16. Rusja, Awi, dkk, desa Sendang Kecamatan Cirebon selatan Kabupaten Cirebon, dan tokohtokoh lainnya yang belum tercatat. (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004:157)
RIWAYAT HIDUP
Dilahirkan di Cirebon, 24 Januari 1970. Lulus Diploma III Seni Tari IKIP Bandung Tahun 1993 hingga sekarang sebagai Staf Pengajar di sebuah SMP Negeri di Kabupaten Cirebon dalam Mata Pelajaran Kesenian. Ketika duduk di kelas V Sekolah Dasar tahun 1982 memperkuat Tim Seni tingkat Kecamatan dalam rangka PORSENI di tingkat Kabupaten. Tahun 1986 memasuki Sekolah Menengah Karawitan Bandung mengambil Program Seni Tari. Pada tahun 1990 melanjutkan pendidikan ke IKIP Bandung melalui jalur PMDK. Beberapa pengalaman di bidang seni baik sebagai pelaku maupun pencipta selama ketika masih kuliah tahun 1990 sampai dengan 1993. Pada tahun 1992 mengikuti kegiatan Duta Seni sebagai perwakilan mahasiswa dari IKIP Bandung ke Negara Jepang. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara pasangan Bapak
H. Karsan (alm)
dan Ibu Hj. Tusmi. Bakat seni yang penulis miliki berasal dari Bapak. Dari bakat yang dimiliki penulis, pola pikiran mulai berkembang betapa kaya budaya kita khususnya kebudayaan Jawa Barat yang masih perlu untuk digali dan kita jaga seiring hebatnya persaingan budaya asing yang masuk tanpa sadar telah meresap dalam kehidupan masyarakat.