BAB IV STRUKTUR SUMBERDAYA DAN SETTING AGROEKOLOGI KOMUNITAS DATARAN TINGGI GARUT
4.1. Bentang Alam dan Posisi Administratif Kabupaten Garut merupakan salahsatu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6056'49''-7045'00'' Lintang Selatan (LS) dan 107025'8''-10807'30'' Bujur Timur (BT). Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Sumedang, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Cianjur. (lihat Gambar 4.1)
U
Gambar 4.1. Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan bentang alam, Kabupaten Garut Bagian Utara terdiri dari atas dua aransemen bentang alam, yaitu: (1) dataran dan cekungan antar gunung berbentuk tapal kuda membuka ke arah utara; (2) rangkaian-rangkaian gunung api aktif yang mengelilingi dataran dan cekungan antar gunung, seperti komplek gunung Guntur, gunung Haruman dan gunung Kamojang di sebelah barat, gunung Papandayan dan gunung Cikuray di sebelah selatan tenggara serta gunung Cikuray, gunung Talagabodas dan gunung Galunggung di sebelah timur.
46
Sementara bentang alam di sebelah Selatan terdiri dari dataran dan hamparan pesisir pantai dengan garis pantai sepanjang 80 kilometer (Km). Sementara bila dilihat dari luas wilayah menurut
ketinggian diatas
permukaan laut, mayoritas wilayahwilayah di Kabupaten Garut merupakan dataran tinggi yakni sekitar 72 persen luas wilayah diatas 500 meter diatas permukaan laut (mdpl) (Gambar 4.2). Hal ini sesuai dengan kondisi fisiografi Kabupaten Garut yang merupakan daerah pegunungan dan dibagi dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Zona Bandung. Pada zona pegunungan selatan merupakan dataran tinggi yang membentang dengan arah barat-timur mulai dari Teluk Pelabuhanratu sampai Nusakambangan dengan lebar kurang lebih 50 Km dan merupakan sayap geantiklin Jawa. Sedangkan pada zona Bandung
merupakan
jalur
pegunungan
memanjang
mulai
dari
Teluk
Pelabuhanratu di sebelah barat, terus ke Sukabumi melalui Cimandiri, kemudian melalui Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan terakhir di Segara Anakan di pantai selatan Jawa yang telah hancur (rusak) sesudah atau selama pelengkungan pada Zaman Tersier. Awal tahun 2004 Kabupaten Garut telah melakukan pemekaran wilayah kecamatan sebanyak dua kecamatan sehingga seluruh wilayah kecamatan menjadi sebanyak 42 kecamatan, 19 kelurahan dan 400 desa dengan luas wilayah 306.519 Ha. Hingga tahun 2009 Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan, 21 Kelurahan dan 403 Desa. Kecamatan Cibalong merupakan kecamatan yang mempunyai wilayah terluas mencapai 6,97 persen wilayah Kabupaten Garut atau seluas 21.359 Ha, sedangkan kecamatan Kersamanah merupakan wilayah terkecil dengan luas 1.650 Ha atau 0,54 persen dari total luas wilayah Kabupaten Garut. Dari laporan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Ketahanan Linmas (BPMKL) Kabupaten Garut, hingga tahun 2007 jumlah desa yang diklasifikasikan atas dasar potensi sumberdaya dan aktivitas warganya di Kabupaten Garut didominasi oleh Desa Persawahan (DPS) yakni sebesar 36,32 persen dan Desa Perladangan (DPL)
47
sebesar 30,19 persen (Gambar 4.3). Sementara
bila
dilihat
dari
tingkat
perkembangan, mayoritas desa-desa di Kabupaten Garut masuk dalam kategori desa Swakarya (84,64 persen), desa Swadaya
(10,85
persen),
desa
Swasembada (1,89 persen) dan selebihnya belum terdata.
4.2. Peta Sumber Daya Agraria Penguasaan lahan di Kabupaten Garut didominasi oleh jenis usaha lahan kering berupa pertanian, perkebunan dan kehutanan yang mencapai 95 persen dari total luas wilayah Kabupaten Garut atau sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) meliputi areal sawah seluas 49.912 Ha atau 16,3 persen, lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,8 persen, lahan perkebunan seluas 35.756,23 Ha atau 11,7 persen, areal kehutanan seluas 108.741,14 Ha atau 35,5 persen, dan penggunaan lahan lainnya untuk pemukiman sebesar 11.235 Ha atau 3,7 persen serta untuk kawasan industri sebesar 26 Ha atau 0,1 persen (Aji 2005). Di tahun 2000, Kabupaten Garut dengan luas tanah permukaan sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) merupakan kabupaten di Jawa yang memiliki persentase luas wilayah kehutanan dan perusahaan perkebunan besarnya tertinggi, yakni 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten. Penguasaan hutan terluas dipegang oleh Perhutani Unit III KPH Garut, yaitu sekitar 31,42 persen atau seluas 96.305,33 Ha. Selanjutnya, penguasaan hutan oleh BKSDA Sub Garut sekitar 4,28 persen atau seluas 13.111,50 Ha, yang meliputi hutan Konservasi atau Cagar Alam 17.215,15 Ha dan Taman Wisata Alam 748,65 Ha (lihat Tabel 4.1 dan Tabel 4.2). (Fauzi 2008) Sedangkan luas kawasan Perkebunan besar di Kabupaten Garut sekitar 25.300,0054 Ha atau 11,67 persen dari total luas wilayah yang terdiri dari Perkebunan Swasta 12.029,315 Ha dan Perkebunan Negara seluas 13.270,6903
48
Ha (Tabel 4.3). Di luar wilayah sawah yang meliputi 49.812 Ha atau 16,29 persen, tata guna lahan pertanian rakyat di Garut kebanyakan berupa lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,78 persen dari luas wilayah. (Fauzi 2008) Tabel 4.1. Luas Kawasan Hutan yang Dikuasai Negara di Kabupaten Garut, Tahun 2001
Sumber : Aji (2005)
Tabel 4.2. Luas Kawasan Hutan yang Dikuasai PT. Perhutani KPH Garut, Tahun 2002
Sumber : Aji (2005)
Tabel 4.3. Luas Perkebunan Besar Negara dan HGU Swasta di Kabupaten Garut, Tahun 1998
Sumber : Aji (2005)
49
4.3. Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pendidikan Dari data Survey Ekonomi-Sosial Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Garut mencapai 2.481.431 jiwa meliputi 1.226.630 jiwa penduduk laki-laki dan 1.254.801 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 3.065,19 Km², kepadatan penduduk di Kabupaten Garut berkisar 809 jiwa/Km² dengan sebaran yang tidak merata pada setiap kecamatan dan terkosentrasi di daerah perkotaan. Berdasarkan angka estimasi BPS Kabupaten Garut Tahun 2008, hasil ekstrapolasi empat periode sensus penduduk (SP) yakni SP 71, SP 80, SP 90 dan SP 2000, pada periode tahun 2000-2010 diperkirakan laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Kabupaten Garut memiliki kecenderungan (tren) menurun yakni sekitar 1,57 (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Garut (Per Periode Sensus Penduduk) Periode Tahun
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)
1961-1971
2,74
1971-1980
2,38
1980-1990
1,66
1990-2000
1,66
2000-2010
1,57*
*) Angka estimasi Sumber : BPS Kabupaten Garut Tahun 2008
Berdasarkan data Susesda Provinsi Jawa Barat tahun 2008, mayoritas penduduk diatas umur 10 tahun yang bekerja menurut lapangan (jenis) usaha, di Kabupaten Garut bekerja di sektor pertanian yakni mencapai 41,60 persen (Tabel 4.5). Sementara bila dilihat dari kategori penduduk berdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki, mayoritas penduduk di Kabupaten Garut atau sekitar 40,7 persen ijazah tertinggi yang dimiliki adalah ijazah SD dan sekitar 34,4 persen tidak memiliki ijazah (Tabel 4.6). Dari sisi kemampuan baca-tulis penduduk khususnya bahasa latin di Kabupaten Garut menunjukkan persentasi yang cukup tinggi atau mencapai 96,3 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa angkatan kerja khususnya yang bekerja di sektor pertanian mayoritas merupakan kategori penduduk yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar atau paling tidak hanya sampai pendidikan tingkat dasar (SD).
50
Tabel 4.5. Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Jenis Lapangan Usaha
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki + Perempuan
Pertanian
38,61
47,38
41,60
Industri
12,61
13,60
12,95
Perdagangan
17,17
21,73
18,72
Jasa
13,83
15,39
14,36
Lainnya
17,78
1,89
12,36
Total 100,00 100,00 100,00 Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
Tabel 4.5. Persentase Penduduk Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki dan Kemampuan Baca-Tulis di Kabupaten Garut Tahun 2008 Status Pendidikan A.
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki + Perempuan
Ijasah tertinggi yang dimiliki
A.1
Tidak Punya
31,8
36,9
34,4
A.2
SD/MI
40,2
41,1
40,7
A.3
SLTP/Sederajat
13,5
11,5
12,5
A.4
SLTA/Sederajat
7,3
5,7
6,5
A.5
SMK/Sederajat
3,4
2,4
2,9
A.6
Perguruan Tinggi
3,8
2,3
3,1
B.
Kemampuan Baca dan Tulis
B.1
Huruf Latin
98,1
94,5
96,3
B.2
Huruf Lainnya
0,8
1,9
1,4
B.3 Tidak Dapat 1,1 3,6 2,4 Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi Daerah (Susesda) Provinsi Jawa Barat Tahun 2008
4.4. Struktur Ekonomi Wilayah Kabupaten Garut merupakan salahsatu daerah tingkat dua di Provinsi Jawa Barat yang memiliki kontribusi pencipataan nilai tambah ekonomi daerah didominasi oleh sektor pertanian. Menurut BPS, pada tahun 2000, kontribusi nilai tambah di sektor pertanian yang tercipta di Kabupaten Garut mencapai 50,62 persen dimana nilai tambah tersebut menyumbang sebesar 11,86 persen terhadap penciptaan nilai tambah pertanian di Jawa Barat. Meski pada tahun 2007, dalam struktur ekonomi Kabupaten Garut, kontribusi nilai tambah pertanian mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 48,03 persen akan tetapi kontribusi (share) terhadap pencipataan nilai tambah sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan yakni sebesar 12,63 persen (Tabel 4.7).
51
Tabel 4.7. Perbandingan Dan Perkembangan Struktur Ekonomi Serta Sektor-Sektor Ekonomi Kabupaten Garut Terhadap Jawa Barat periode 2000-2007 ( persen) Struktur Ekonomi
Struktur Ekonomi
Kontribusi Garut
Garut
Jawa Barat
Terhadap Jawa Barat
Sektor
2000
2007
2000
2007
2000
2007
2
3
4
5
6
7
I. Primer
50,62
48,03
20,59
15,10
9,18
10,66
1
Pertanian
50,48
47,90
15,95
12,72
11,86
12,63
2
Pertambangan
0,14
0,13
4,63
2,39
0,11
0,19
II. Sekunder
8,98
9,86
47,19
50,31
0,71
0,66
1
Industri
5,74
6,90
42,35
44,38
0,51
0,52
2
Listrik, Gas & Air
0,45
0,45
2,16
2,92
0,78
0,52
3
Konstruksi
2,79
2,51
2,68
3,01
3,66
2,80
III. Tersier
40,40
42,11
32,22
34,58
4,68
4,08
1
Perdagangan
24,65
25,96
19,65
19,05
4,68
4,57
2
Angkutan
2,72
3,54
3,81
5,83
2,66
2,04
3
Lembaga Keuangan
3,55
3,29
2,73
2,89
4,86
3,82
4
Jasa-Jasa
9,48
9,32
6,03
6,82
5,87
4,53
100,00
100,00
100,00
100,00
3,73
3,35
1
PDRB
Sumber : PDRB Kabupaten Garut Tahun 2008
Pada Tabel 4.7 diatas tampak struktur ekonomi Kabupaten Garut sangat berbeda dengan Jawa Barat. Tiga sektor penyumbang terbesar terhadap perekonomian di Kabupaten Garut berturut-turut adalah pertanian, perdagangan, dan jasa, sedangkan untuk di Jawa Barat berturut-turut adalah industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian. Secara umum, pola pergeseran struktur ekonomi yang terjadi baik di kabupaten Garut maupun Jawa Barat adalah pergeseran dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Hal ini terlihat dari kontribusi kelompok sektor primer yang mengalami penurunan, sedangkan sektor sekunder dan tersier mengalami peningkatan. Jika diamati kontribusi (share) penciptaan nilai tambah sektoral kabupaten Garut terhadap Jawa Barat pada periode 2000-2007, tiga sektor yang mengalami peningkatan, yakni sektor pertanian dari 11,82 menjadi 12,63 persen, sektor penggalian dari 0,11 menjadi 0,19 persen, dan sektor industri pengolahan dari 0,51 menjadi 0,52 persen. Adapun distribusi pendapatan yakni dilihat dari pencapaian angka indeks gini selama periode tahun 2004-2006 menunjukan angka
52
relatif merata, pada tahun 2006 sebesar 0,208 sedikit menurun dibanding tahun 2005 yang mencapai 0,209 dan tahun 2004 sebesar 0,212.14
4.5. Struktur Agro-Ekologi dan Pola Produksi Lokal 4.5.1. Struktur Agraria Lokal Dalam memahami kondisi kemiskinan dan marginalisasi petani di daerah dataran tinggi di Kabupaten Garut, penelitian ini memilih dua desa kasus yang mewakili dua hamparan dataran tinggi yang berbeda yakni desa Dangiang, Kecamatan Cilawu yang berada di hamparan gunung Cikuray dan desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan yang terletak di hamparan gunung Papandayan (Gambar 4.4). Di dua lokasi tersebut menunjukkan sumber penghidupan yang berbeda yakni, jenis komoditas utama yang diusahakan warga desa Dangiang adalah tanaman semusim akar wangi, tembakau dan hortikultura. Sementara di desa Sukatani komoditas pertanian utama yang diusahakan warga adalah tanaman hortikutura.15 Desa Dangiang merupakan salahsatu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Cilawu dengan luas wilayah mencapai 412,6 Ha. Secara topografi, desa Dangiang terletak di hamparan gunung Cikuray dengan posisi ketinggian mencapai 900 meter diatas permukaan laut (mdpl). Desa Dangiang memiliki batas wilayah yakni, sebelah Utara berbatasan dengan desa Sukamukti dan desa Dawung Sari, sebelah Timur berbatasan dengan desa Dawung Sari, sebelah Selatan berbatasan dengan PTPN VIII Dayeuh Manggung dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa Sukamukti. Berdasarkan data profil desa (Podes) Tahun 2008, jumlah penduduk desa Dangiang mencapai 3.528 jiwa dengan komposisi 1.735 jiwa penduduk laki-laki dan 1.793 jiwa merupakan penduduk perempuan. Di desa Dangiang, mayoritas penduduk baik perempuan maupun laki-laki bekerja sebagai petani. Hingga tahun 14
Bilamana angka indeks gini berada pada kisaran 0,20-0,35, maka distribusi pendapatan dapat dikatakan relatif merata, sedangkan apabila angka tersebut berada diatas 0,5-0,7 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan sangat timpang. 15
Berdasarkan pengamatan saat di lokasi penelitian.
53
2008 tercatat jumlah keluarga pertanian mencapai 76 persen. Dengan luas wilayah 412,6 Ha, kepadatan penduduk di desa Dangiang mencapai 855 jiwa/Km2. Adapun komoditas utama yang diusahakan warga antara lain, padi, akar wangi, hortikultura dan tembakau Pola penggunaan lahan di desa Dangiang sebagian besar adalah untuk lahan pertanian atau sekitar 93,14 persen (384,30 Ha) yang terdiri dari sawah berpengairan non teknis sebesar 7,85 persen (32,4 Ha), sawah tidak berpengairan sekitar 5,53 persen (22,8 Ha) serta lahan pertanian non sawah sekitar 79,76 persen (329,1 Ha). Sementara untuk penggunaan lahan untuk non pertanian mencapai 6,86 persen (28,3 Ha). Dilihat dari riwayat penguasaan lahan, di desa Dangiang merupakan salahsatu desa di kecamatan Cilawu dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung. Masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut tepatnya pasca runtuhnya orde baru (orba) mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Sementara di desa Sukatani, Kecamatan Cisurupan secara topografi terletak didataran tinggi yakni di hamparan gunung Papandayan dengan posisi ketinggian mencapai 1300 meter diatas permukaan laut (mdpl). Desa Sukatani berbatasan dengan desa Cidatar disebelah Utara, desa Mekarsari disebelah Timur, desa Sukawargi di sebelah Selatan dan PT. Perhutani di sebelah Barat. Dengan luas wilayah mencapai 432 Ha, pola penggunaan lahan di desa Sukatani sebagian besar adalah untuk lahan pertanian atau sekitar 87,27 persen (377 Ha) yang kesemuanya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian non sawah. Sementara untuk penggunaan lahan untuk non pertanian mencapai 12,73 persen (55 Ha). Berdasarkan data profil desa (Podes) Tahun 2008, jumlah penduduk desa Sukatani mencapai 9.457 jiwa dengan komposisi 4.986 jiwa penduduk laki-laki dan 4.471 jiwa merupakan penduduk perempuan. Di desa Sukatani, mayoritas penduduk baik perempuan maupun laki-laki bekerja sebagai petani. Hingga tahun
54
2008 tercatat jumlah keluarga pertanian mencapai 70 persen. Dengan luas wilayah 432 Ha, kepadatan penduduk di desa Sukatani mencapai 1.892 jiwa/Km2. Adapun komoditas utama yang diusahakan warga adalah hortikultura. Dilihat dari riwayat penguasaan lahan, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Seperti yang terjadi di desa Dangiang, masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan kehutanan negara yang tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan.
Kecamatan Cisurupan (hamparan Papandayan)
Kecamatan Cilawu (hamparan Cikuray)
Gambar 4.4. Peta Lokasi Kecamatan Penelitian
55
4.5.2. Pola Produksi dan Budidaya Lokal Dari pola pemanfaatan lahan dan teknik budidaya khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Di desa Dangiang (hamparan Cikuray) petani dapat mengalami 3 musim panen dalam setahun. Diantara ketiga musim panen tersebut, istilah ‘panen pokok’ dikenakan pada saat panen Akar Wangi. Adapun jenis tanaman tumpang sari yang diusahakan antara lain, tanaman sayuran seperti kentang atau cabe dan tembakau. Masa panen dari tanaman tumpang sari relatif lebih pendek yaitu dibawah 5 bulan daripada masa panen akar wangi yang mencapai 10 bulan. Seperti yang diuraikan oleh salah seorang pimpinan OTL desa Dangiang yang juga pernah menjadi bandar (penyuling) akar wangi, “Petani di Dangiang dapat merasakan 3 musim panen. Panen pokok adalah saat petani panen akar wangi. Biasanya akar wangi dipanen saat umur tanaman mencapai 10 bulan. Akan tetapi juga bisa dipanen dibawah 10 bulan, yakni 7 bulan. Petani yang memiliki utang ke bandar atau punya keperluan mendadak biasanya akan memanen lebih cepat dan menjualnya secara tebasan kepada bandar. Hampir semua petani disini menanam akar wangi di lahan garapannya masing-masing. Selain panen akar wangi, petani juga akan menikmati panen dari tanaman tumpang sari sayuran dan tembakau. Pada saat awal musim hujan (Desember), petani akan mulai menanam akar wangi diselingi oleh tanaman sayuran seperti kentang yang umur panennya 3 bulan. Setelah panen kentang, lalu mulai menanam tembakau yang umur panennya 5 bulan. Tapi ada juga petani yang hanya merasakan panen 2 kali. Enaknya menanam akar wangi karena bibit dan pupuk tidak perlu beli. Dari setiap panen akar wangi, akan disisakan untuk bibit sebanyak 20%. Pupuk akar wangi menumpang saat kita memupuk tanaman sayuran, jadi pupuk tidak perlu lagi beli karena sudah sekalian bersama pupuk sayuran. Tanam akar wangi jadi kayak tabungan. Warga tidak takut meminjam ke warung atau bandar untuk beli pupuk karena nanti akan dibayar saat panen akar wangi” Berbeda dengan di desa Dangiang, di desa Sukatani pola pemanfaatan lahan sangat tergantung pada musim. Kecuali petani lapisan atas, saat musim kemarau
56
petani tidak dapat menanam di lahan garapannya dikarenakan sulit mendapatkan air sementara pada petani kaya tetap dapat menggarap di lahannya karena memiliki pompa air. Untuk pola pemanfaatan lahan di areal reclaiming (kehutanan) terdapat dua kelembagaan yakni SPP dan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat). Baik penggarap yang tergabung dalam SPP maupun PHBM sama-sama menanam tanaman sayuran sebagai basis komoditas.16 Namun terdapat perbedaan antara petani yang tergabung dalam SPP dan PHBM soal pilihan tanaman tegakan. Pada petani yang tergabung SPP memilih tanaman tegakan yang berbeda dengan tanaman tegakan yang ditanam atau dianjurkan oleh PT. Perhutani. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang pimpinan OTL desa Sukatani, “Kalau musim kemarau, lahan-lahan garapan masyarakat di areal reclaiming (Perhutani) tidak ditanami karena sulit air. Warga akan mulai menggarap lahan saat musim hujan tiba. Kecuali petani kaya yang memiliki pompa air dan kolam penampungan air. Di garapan, anggota (SPP) tidak menggunakan plastik mulsa karena dapat merusak tanah. Kami juga menanam tanaman tegakkan yang berbeda dengan jenis tanaman Perhutani”
4.5.3. Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas Untuk memahami gambaran umum pola penggunaan input-input produksi seperti pupuk, bibit dan tenaga kerja, berikut akan ditampilkan beberapa skala usaha tani beberapa komoditas yang terdapat di dua lokasi dari hasil penelusuran yang berhasil dihimpun oleh salah seorang tenaga pendamping oragnisasi tani lokal (OTL) dan peneliti dalam bentuk tabel dibawah ini. Pada lokasinya yang terletak di dua hamparan yang berbeda, yakni hamparan Cikuray (desa Dangiang) dan Papandayan (desa Sukatani), pola pemanfaatan lahan, teknik budidaya dan pilihan komoditas utama yang diusahakan di dua lokasi tersebut menunjukkan ciri atau bentuk yang berbeda namun masih menunjukkan berbagai pola yang sama. Di desa-desa yang terletak di hamparan Cikuray, komoditas tanaman tahunan 16
Pasca operasi Walaga Lodaya pada tahun 2003, PT. Perhutani membentuk kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan petani penggarap dalam pemanfaatan lahan yang dikenal dengan PHBM. Model PHBM ini kemudian lebih banyak diakses oleh para elite desa yang meninggalkan lahan garapan akibat adanya operasi tersebut. Menurut informasi yang didapatkan di lapangan, skema PHBM sesungguhnya tidak memperkenankan menanam tanaman sayuran.
57
Akar Wangi menjadi pilihan warga petani pada umumnya. Sementara pada petani di desa-desa hamparan Papandayan, pertanian tanaman hortikultura seperti, kol, kentang, tomat, wortel, dan sebagainya menjadi komoditas utama pilihan petani. Tanaman Akar Wangi Tanaman Akar Wangi merupakan salahsatu komoditas unggulan yang baru dikembangkan sesuai dengan keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor: 520/SK.196-HUK/96 tanggal 6 Agustus 1996, yang diantaranya menetapkan luas areal perkebunan Akar Wangi dan pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 Ha dan tersebar di empat kecamatan, yaitu kecamatan Samarang seluas 750 Ha, Kecamatan Bayongbong seluas 210 Ha, Kecamatan Cilawu seluas 240 Ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 Ha. Tanaman akar wangi merupakan salahsatu bahan baku pembuatan kosmetik, parfum maupun sabun. Tanaman ini memiliki periode tanam hingga siap panen sekitar 10 bulan. Namun apabila petani memiliki keperluan mendesak, maka akar wangi dapat dipenen pada umur 7-8 bulan. Umumnya, waktu tanam akar wangi dilakukan pada musim hujan yakni pada bulan Januari dan panen dilaksanakan pada musim kemarau. Untuk biaya tenaga gali dan angkut, umumnya diluar biaya produksi yang ditanggung oleh petani melainkan menjadi tanggungan para bandar (penampung). Untuk biaya bibit hanya berlaku ketika pertama kali penanaman. Pada periode tanam selanjutnya, petani sudah tidak mengeluarkan biaya pembelian bibit. Biasanya, setiap panen petani menyisakan sekitar 20 persen dari hasil panen untuk dijadikan bibit. Dari luasan 6.400 m2 tersebut dapat menghasilkan produksi akar wangi ratarata 10 ton dengan harga jual 15 ribu rupiah/kg. Dengan demikian hasil yang diterima petani sebelum dikurangi dengan biaya produksi (pendapatan kotor) sekitar 15 juta rupiah. Setelah dikurangi dengan biaya produksi sebesar 4,14 juta maka pendapatan bersih yang diterima petani sekitar Rp. 10.860.000,00 (Tabel 4.8). Karena rata-rata petani melakukan sistem tumpang sari, maka sumber pendapatan petani juga ditunjang oleh panen dari tanaman tumpang sari seperti tembakau, sayur-sayuran dan sebagainya.
58
Tabel 4.8. Biaya Produksi Budidaya Akar Wangi untuk Luasan 6.400 m2 No
Uraian
Banyaknya
Rp
Jumlah
Keterangan
1 2 3
Bibit Pupuk hitam Upah tenaga kerja ngored Upah tenaga kerja nyukcruk Upah gali akar wangi Upah angkut akar wangi Jumlah
1 ton
2.000/kg
2.000.000 640.000 800.000
Kandang
4 5 6
40 org
17.500/org
700.000 Bandar Bandar 4.140.000
Tanaman Kentang Dari luas 1 Ha tanaman kentang dapat menghasilkan produksi minimal 25 ton. Hasil produksi dijual ke pihak tengkulak dengan harga rata-rata minimal 3 ribu rupiah/kg. Dengan demikian pendapatan bersih (setelah dikurangi biaya produksi) yang diterima petani sekitar 19,9 juta/panen. Bila dalam setahun minimal petani bisa mendapatkan dua kali masa panen maka dalam setahun pendapatan petani dari budidaya kentang seluas 1 Ha bisa mencapai 39,9 juta/tahun atau rata-rata 3,3 juta/bulan. Dengan membanding antara pendapatan (revenue/R) dengan biaya produksi (cost/C) maka nilai R/C budidaya kentang adalah 1,36. Untuk keperluan bibit, saat ini beberapa petani sudah dapat memproduksi sendiri tanpa perlu membeli ke bandar. Tabel 4.9. Biaya Produksi Budidaya Kentang untuk Luasan 1 Ha No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Uraian Bibit Pupuk hitam Pupuk urea Obat tepung Obat tepung dakonil Obat cair colixtron Obat cair guntur Upah tenaga kerja mencangkul Upah tenaga kerja nyukcruk/nyauer Upah angkut Jumlah
Banyaknya 2 ton 300 karung 4 ton 50 bungkus 20 bungkus 20 botol 4 botol 100 jiwa
Rp 10.000/kg 20.000/karung 1.500/kg 100.000/bks 150.000 80.000/btl 1.500.000/btl 15.000/org
Jumlah 20.000.000 6.000.000 6.000.000 5.000.000 3.000.000 1.600.000 6.000.000 1.500.000
Keterangan Bibit biasa Kandang ZATS
200 jiwa
10.000/jiwa
2.000.000
Perempuan
2 ton
200/kg
4.000.000 55.100.000
Pasca panen
Pembasmi hama Pembasmi hama Laki – laki
Tanaman Wortel Dari luas 1 Ha tanaman wortel dapat menghasilkan produksi minimal 30 ton per panen (4 bulan). Hasil panen dapat dijual ke pihak tengkulak dengan harga 500 hingga 1.000 rupiah per kilogram. Dengan demikian, dari hasil produksi 30
59
ton tersebut, pendapatan bersih (setalah dikurangi biaya produksi) yang diterima petani dengan bisa mencapai 4,6 juta hingga 19,6 juta per panen dengan kisaran nilai R/C budidaya wortel adalah 1,44 sampai dengan 2,88. Untuk keperluan bibit, umumnya petani sudah tidak perlu membeli ke bandar. Selain itu, menurut pengakuan beberapa orang warga, budidaya tanaman wortel lebih mudah, proses perawatan tidak membutuhkan banyak waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan relatif sedikit atau masih dapat dilakukan dengan hanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Tabel 4.10. Biaya Produksi Budidaya Wortel untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Ket
1 2 3 4 5
Bibit Upah tenaga kerja mencangkul Upah tenaga kerja bersihkan rumput Pupuk urea Upah angkut Jumlah
25 bungkus 100 jiwa
30.000/bks 15.000/org
750.000 1.500.000
Laki – laki
200 jiwa
10.000/org
2.000.000
Perempuan
1 kwintal 30 ton
200/kg
150.000 6.000.000 10.400.000
Pasca panen
Tanaman Kol Dari luas lahan 1 Ha dapat menghasilkan produksi kol rata-rata minimal 20 ton per panen (100 hari). Dengan harga jual yang berlaku di tengkulak sebesar Rp. 1.000/kg maka pendapatan bersih yang diterima petani berkisar 3,9 juta dengan nilai R/C budidaya kol adalah 1,25. Hingga saat ini, keperluan bibit kol seluruhnya masih disuplai oleh bandar atau petani masih harus membeli bibit ke bandar. Tabel 4.11. Biaya Produksi Budidaya Kol untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Ket
1
Bibit
17.500 pohon
50/pohon
875.000
2 3 4 5
Pupuk hitam Pupuk putih Obat laser Upah tenaga kerja nyangkul Upah tenaga kerja membuat lubang Upah angkut barang Jumlah
300 karung 4 ton 10 botl 100 jiwa
20.000/krng 1.500/kg 90.000/btl 15.000/org
6.000.000 6.000.000 900.000 1.500.000
50 jiwa
15.000
750.000
Laki – laki
20 ton
200/kg
4.000.000 16.025.000
Pasca panen
6
1 patok = 700 pohon, 700 pohon x 25 patok Kandang Urea Laki – laki
60
Tanaman Tomat Dari luas lahan 1 Ha dapat menghasilkan produksi tomat minimal 25 ton per panen. Apabila harga jual yang berlaku 2 ribu/kg maka dengan demikian pendapatan bersih yang di terima petani dapat mencapai 11,4 juta rupiah per panen (5 bulan) dengan nilai R/C adalah 1,3. Sama halnya dengan kol, saat ini petani masih harus membeli bibit kepada bandar atau pedagang saprodi. Tabel 4.12. Biaya Produksi Budidaya Tomat untuk Luasan 1 Ha No Uraian Banyaknya Rp Jumlah
Keterangan
1
Bibit
20 bungkus
115.000/bks
3.300.000
2 3 4 5 6 7 8
Pupuk hitam Pupuk putih Ajir Obat semprot Obat cair Obat Daconil Upah tenaga kerja nyangkul Upah tenaga kerja Upah angkut barang Jumlah
300 karung 4 ton 25.000 ajir 30 botol 40 botol 20 botol 100 jiwa
20.000/krng 1.500/kg 150/ajir 100.000/botol 100.000/botol 150.000/btl 15.000/jiwa
6.000.000 6.000.000 3.750.000 3.000.000 4.000.000 3.000.000 1.500.000
300 jiwa 25 ton
10.000/jiwa 200/kg
3.000.000 5.000.000 38.550.000
9 10
1 patok = 700 pohon, 700 pohon x 25 patok Kandang Urea
Laki – laki Perempuan Pasca panen
Ditinjau dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama yang diusahakan warga di kedua desa, maka nilai R/C yang paling tinggi secara berturut-turut adalah akar wangi (3,62-7,01) dan wortel (1,44-2,88) (Tabel 4.14). Hal ini menunjukkan bahwa, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani masih mampu memberikan nilai surplus. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan kemiskinan masih menghinggapi rumah tangga pertanian di dataran tinggi Garut? Tabel 4.13. Perbandingan R/C dari setiap komoditas yang diusahakan Pendapatan Biaya Pendapatan Rasio Kotor Produksi Bersih Komoditas R C R-C R/C Akar Wangi (6400 m2) Kentang
Keterangan
15.000.000
4.140.000
10.860.000
3,62
Panen pertama kali
15.000.000
2.140.000
12.860.000
7,01
Panen berikutnya
75.000.000
55.100.000
19.900.000
1,36
Luasan 1 Ha
15.000.000
10.400.000
4.600.000
1,44
Harga jual 500/kilo
30.000.000
10.400.000
19.600.000
2,88
Harga jual 1000/kilo
Kol
20.000.000
16.025.000
3.975.000
1,25
Luasan 1 Ha
Tomat
50.000.000
38.550.000
11.450.000
1,30
Luasan 1 Ha
Wortel (1 Ha)
61
Adapun pola produksi dan budidaya lokal khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Perbandingan pola pemanfaatan lahan dan jenis komoditas yang diusahakan di dua lokasi ditunjukkan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Perbandingan Pola Pemanfaatan Lahan di Dua Lokasi No Uraian Desa Dangiang 1
Jenis tanaman tegakan
Kopi, kalices dan jengjeng.
2
Strategi Ekstensifikasi Lahan
3
Komoditas utama yang diusahakan petani Komoditas lain yang telah dan akan diusahakan petani
Perluasan kawasan budidaya pertanian mulai merambah kawasan leuweung tutupan. Pembelian maupun gadai bagi rumah tangga petani yang telah mampu membentuk surplus. Akar wangi
4
5
Pola Tanam
6
Ketergantungan akan kebutuhan air
7
Penggunaan Pupuk
Tembakau dan tanaman sayuran lainnya. Ke depan akan ditanam kopi sebagai tumpang sari, khususnya untuk lahan pada kemiringan kritis. Tumpang sari dengan tanaman syuran dan tembakau. Dalam 1 tahun, terdapat 3 masa panen, yakni panen kentang, tembakau dan akar wangi. Relatif tinggi, khususnya untuk tanaman tumpang sari (tanaman sayuran dan padi) Kimia dan Organik
Desa Sukatani
Jengjeng, Kopi, Nangka, Alpukat dan Afrika. Kalices dihindari oleh petani karena menyerap air terlalu besar Melalui pembelian maupun gadai bagi rumah tangga petani yang telah mampu membentuk surplus
Tanaman sayuran.
Tanaman tahunan khususnya di areal garapan di daerah kehutanan .
Tumpang sari dengan taaman sayuran. Siklus tanam terbatas. Yakni hanya di musim hujan atau lahan yang terdekat dengan sumber air. Sangat tinggi, khususnya daerahdaerah yang jauh dengan perkampungan dan atau sumber air Umumnya Pupuk Kimia. Permintaan komoditas sayuran yang sangat besar menyebabkan pola penanaman tanaman sayuran menggunakan pupuk kimia yang intensif
4.6. Ikhtisar Kabupaten Garut dengan luas tanah permukaan sekitar 306.519 Ha (3.065,19 km²) merupakan kabupaten di Jawa yang memiliki persentase luas wilayah kehutanan dan perusahaan perkebunan besarnya tertinggi, yakni 50
62
persen dari keseluruhan wilayah kabupaten. Penguasaan hutan terluas dipegang oleh Perhutani Unit III KPH Garut, yaitu sekitar 31,42 persen atau seluas 96.305,33 Ha. Selanjutnya, penguasaan hutan oleh BKSDA Sub Garut sekitar 4,28 persen atau seluas 13.111,50 Ha, yang meliputi hutan Konservasi atau Cagar Alam 17.215,15 Ha dan Taman Wisata Alam 748,65 Ha. Sedangkan luas kawasan Perkebunan besar di Kabupaten Garut sekitar 25.300,0054 Ha atau 11,67 persen dari total luas wilayah yang terdiri dari Perkebunan Swasta 12.029,315 Ha dan Perkebunan Negara seluas 13.270,6903 Ha. Di luar wilayah sawah yang meliputi 49.812 Ha atau 16,29 persen, tata guna lahan pertanian rakyat di Garut kebanyakan berupa lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97.401 Ha atau 31,78 persen dari luas wilayah. Sebagai salahsatu Kabupaten di Propinisi Jawa Barat, kontribusi nilai tambah di Kabupaten Garut dominan disumbang oleh sektor pertanian yang mencapai 48,03 persen. Hal ini sangat beralasan mengingat kondisi topografi wilayahnya yang sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan yang berada disekitar kawasan gunung berapi dengan kondisi lahan pertanian memiliki tingkat kesuburan yang baik. Bila dilihat dari angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian mayoritas merupakan kategori penduduk yang tidak pernah mengenyam pendidikan dasar atau paling tidak hanya sampai pendidikan tingkat dasar (SD). Berdasarkan kondisi topografi dan riwayat penguasaan lahan, di dua lokasi studi (desa Dangiang dan Sukatani) merupakan contoh desa-desa di dataran tinggi Garut dimana areal lahan pertanian warga berdampingan dengan pola penguasaan kawasan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Jika di desa Dangiang areal pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani. Masuknya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang
63
tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Khusus di desa Sukatani, selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan. Adapun pola produksi dan budidaya lokal khususnya di lahan pendudukan warga (reclaiming), baik di desa Dangiang maupun Sukatani, mayoritas petani menerapkan sistem tanam tumpang sari. Yang membedakan di dua lokasi tersebut adalah jenis dan variasi tanaman tumpang sari dan jenis tanaman tegakan serta periodesasi pemanfaatan lahan yang dalam hal ini sangat dipengaruhi jenis tanaman, faktor musim dan ketersediaan air. Sementara dari analisa usahatani berdasarkan komoditas utama yang diusahakan warga di kedua desa, maka nilai R/C yang paling tinggi secara berturut-turut adalah akar wangi (3,62-7,01) dan wortel (1,44-2,88). Hal ini menunjukkan bahwa, usaha pertanian di tingkat rumah tangga petani di kedua desa masih mampu memberikan nilai surplus. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan kemiskinan menghinggapi rumah tangga pertanian di kedua desa dataran tinggi Garut? Menjawab pertanyaan diatas, pada bagian selanjutnya akan diuraikan secara lebih jauh mengenai situasi kemiskinan serta proses marginalisasi yang hadir dalam sejarah perkembangan hubungan produksi dan distribusi komunitas petani di kedua desa dataran tinggi Garut.