87
BAB IV STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
3.5. Radikalisasi dan Deradikalisasi Agama dalam Perspektif NU Kota Semarang Dalam kehidupan beragama, seseorang dalam menjalankan prinsipprinsip keberagamaanya atau dalam praktik ubudiyah-nya memang tidak bisa terlepas dari faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut biasanya dapat bersumber dari dalam diri seseorang (intrinsic factor) ataupun faktor dari luar dirinya (ekstrinsic factor). Dalam hal ini persepsi80 yang dimiliki oleh seorang muslim satu dengan lainya yang mempunyai latar belakang berbeda biasanya akan menimbulkan perbedaan pula dalam pemaknaan suatu teks Al-Qur’an ataupun Hadits. Islam
sejatinya
adalah
agama
yang
memberikan
keamanan,
kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua pemeluknya. Tidak ada satupun ajaran di dalamnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk membenci dan melukai makhluk lain tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’. Kalaupun hal tersebut ada, itu adalah bagian kecil
80
Persepsi merupakan tanggapan seseorang yang didapatkan melalui panca indranya. Dalam hal ini, persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, dan nilai yang dianut. Pada akhirnya persepsi yang merupakan tanggapan terhadap stimulus dapat menghantarkan seseorang menuju idiologi yang ia anut, yang dalam masalah agama latar belakang pemahaman yang berbeda biasanya rentan menimbulkan aksi-aksi radikal. Bimo Walgito, Psikologi Sosial : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Andi Offset, 1990), hlm. 53
88
dari salah satu upaya pemecahan masalah yang dilakukan oleh umatnya dan bukan dari ajarannya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sudah barang tentu kitab suci Al Qur’an dan Sunah Rosul diyakini oleh umat Islam sebagai sumber utama dalam memecahkan semua persoalan yang ada. Pemahaman dan penafsiran terhadap ayat yang tidak didasari oleh kapabilitas keilmuan yang mumpuni itulah yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah khilafiyah atau perbedaan pandangan dalam Islam. Perbedaan pandangan terhadap suatu pemahaman yang tidak didasari oleh nilai-nilai sosial dan perundangundangan yang berlaku tersebutlah yang dapat memperkeruh toleransi keberagamaan dalam bingkai negara kesatuan. NU Kota Semarang memahami bahwa Islam adalah agama yang “rahmatan lil ‘alamin”. Islam adalah agama yang mengayomi dan melindungi seluruh mahluk yang berada di muka bumi ini. Islam tidak mengenal adanya istilah pemaksaan kehendak kepada orang lain di dalam menentukan ideologinya, termasuk di dalamnya adalah praktik menjalankan ibadah.81 Dalam aktifitas kehidupan, NU Kota Semarang senantiasa mengajarkan tentang prinsip keseimbangan (tawazun). Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
"84 5 6"7 , 8 $9:; / < / = > ? : "1, 23 81
Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang salah, dan siapa yang tidak percaya kepada thoghut (berhala atau syithan) dan percaya kepada Allah. Sesungguhnya Dia telah berpegang pada tali yang teguh dan tidak akan putus, dan Tuhan itu mendengar dan mengetahui” Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah;Bekal Perjuangan Para Da’I, (Jakarta: Amzah, 2008), hal.13
89
Menurut KH. Khadlor Ihsan,82 Islam sudah selayaknya hidup berdampingan dengan umat beragama yang lain. Islam harus saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak satu sama lain. Islam harus bisa menghargai tradisi dan budaya lokal yang sudah ada, tidak merasa “benere dewe”. Menurutnya Islam harus difahami secara komprehensif dan kaffah. Ditambahkan olehnya, dalam pengambilan kepusuan terhadap suatu hukum, sudah seharusnya ayat yang akan dijadikan pedoman dikaji secara kontekstual dan sesuai dengan sabab nuzul ayat. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam penafsiran dan penggunaan terhadap suatu ayat dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan keadaan yang melatar belakanginya. Islam harus mampu membawa umat menuju kehidupan beragama yang “rukun” dan “saling menghargai” tidak “saling menyalahkan” dan “menafikan keislaman orang lain” dan bahkan sampai “mengkafirkan” (takfir) orang lain, tandasnya. Radikalisme agama yang ada pada intinya merupakan fenomena yang normal, dikarenakan sudah menjadi fitrah manusia bahwasanya gejala kejiwaan yang dimiliki oleh masing-masing individu akan berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini, radikalisasi agama biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan terhadap persepsi dan cara pandang terhadap nilai-nilai suatu agama.
82
Drs. KH. Khadlor Ihsan adalah ketua Syuriah NU Kota Semarang periode 2006-2011, selain menjabat sebagai Syuriah NU, beliau adalah sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Islah Mangkang Kulon. Menurutnya perbeda’an ummat yang ada sehingga menimbulkan beberapa pandangan tentang Islam adalah hal yang wajar. Hal tersebut dikarenakan dalam hadits telah dikatakan “ikhtilafu ummati rohmah”, bahwasanya perbedaan yang ada diantara masyarakat itu seharusnya jangan dijadikan pemecah belah, bahkan saling mengkafirkan satu dengan yang lainya, akan tetapi seharusnya dijadikan rasa saling menghormati dan kasih saying. (Wawancara pada tanggal 30 April 2012).
90
KH. Khadlor Ikhsan mengemukakan radikalisme agama yang menurutnya merupakan suatu “kelumrahan” akan tetapi apabila telah berubah menuju suatu faham yang bersifat ekstrem, menggunakan motif kekerasan yang tidak dibenarkan, maka disitulah perlu adanya penanganan dan dicarikan jalan kelurnya. Menurutnya munculnya faham beragama yang berhaluan radikal biasanya dibarengi dengan tuntutan penerapan ajaran agama didalam setiap lini kehidupan. Dalam praktiknya eksistensi suatu hukum yang diperjuangkanya harus sesuai dengan apa yang tersurat, tanpa memperdulikan aspek lain. Faham radikal yang ada biasanya menanamkan pemahaman yang bertentangan dengan tradisi yang telah ada, dengan membawa ideologi baru yang sesuai dengan faham yang ia anut. Dalih yang mereka usung adalah dengan menerapkan ajaran Islam secara utuh (totalistik), pemurnian terhadap ajaran agama (puritanisme) dan mencoba menerapkan pemahaman tersebut kedalam semua sendi – sendi kehidupan tanpa mempedulikan latar belakang dan kultur budaya yang telah ada dalam masyarakat.83 Akan tetapi ketika ditelusuri, mereka ternyata kurang bisa memahami ajaran Islam secara utuh dan benar, mereka hanya mengkaji dan memahami dalil dan teks Al-Qur’an secara literal dan tekstual. Hal-hal tersebut diatas terbukti yaitu, dalam beberapa kasus yang ada di kota Semarang, ketika terjadi perbedaan prinsip antara mereka yang berseberangan faham pastilah mengakibatkan perseteruan. Perseteruan yang
83
Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme, (Jakarta: Athoyiba, 2004), hal.06
91
ada tersebut pada akhirnya telah membawa problematika sosial yang lebih komplek lagi, tidak hanya dalam tataran ideologi yang dianutnya saja akan tetapi perseteruan tersebut telah sampai pada masalah fisik. Hal tersebut seperti dituturkankan oleh Bapak Kabul Supriyadi, bahwa faham Islam radikal di kota Semarang dalam praktiknya yaitu sering menyalahkan tata ubudiah (peribadatan), mencaci prinsip dan kegiatan kerohanian, yang dilakukan oleh orang yang tidak sefaham denganya. Oleh mereka, orang yang melaksanakan tahlilan, mauludan dan manakiban dianggap telah menempuh jalan Islam yang salah. Dalam pandangan orang yang berhaluan radikal, aktifitas sebagaimana diungkapkan diatas haruslah diluruskan. Dalam praktiknya sikap yang mereka tunjukkan dalam upaya meluruskan orang yang tidak sefaham denganya biasanya ditempuh dengan berbagai macam cara, termasuk didalamnya yaitu menggunakan tindak kekerasan. Dalam sebuah fenomena yang terjadi di Semarang tepatnya di kecamatan Tembalang sebagaimana diungkapkan oleh Bapak H. Kabul Supriyadi, SH. M.Hum, ada upaya dari kaum radikalis untuk menghentikan suatu aktifitas keagamaan yang sudah menjadi tradisi masyarakat. Oleh mereka, orang-orang yang sering melakukan rutinitas seperti tahlil dan maulid dianggapnya itu adalah perbuatan bid’ah dan tidak berdasar pada nilai-nilai keislaman. Upaya tersebut mereka ejawantahkan melalui berbagai aksi, mulai dari sikap sampai dengan tindakan fisik. Diantara hal yang dilakukan oleh mereka yaitu seperti mencemooh hingga memadamkan listrik
92
Mushola dengan tujuan agar aktifitas keagamaan yang dianggapnya salah dan tidak sesuai dengan faham yang mereka anut tidak bisa dilakuan.84 Menurut Drs. H. Abdul Khalik, M.Pd,85 selaku sekretaris NU Kota Semarang menyatakan, bahwa radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang biasanya cenderung menentang terhadap tata nilai budaya yang sudah ada. Orang lain yang tidak sefaham denganya dianggap salah bahkan musuh, mereka cenderung merasa benar sendiri. Ketika berbicara tentang akhirat, seolah-olah surga adalah milik kelompoknya sehingga semua aktifitas yang mereka lakukan selalu dirasa benar. Menurut beliau dalam beberapa kasus yang ada di Semarang, doktriner-doktriner yang biasa ditanamkan oleh para radikalis yaitu melalui pendekatan kaderisasi. Mereka mencoba menanamkan ideologi-ideolagi mereka di lingkungan sekolah-sekolah yang berlatar belakang umum. Faham yang mereka tanamkan tersebut diantaranya yaitu tentang konsep Khilafah (kepemimpinan Islam). Faham radikal terhadap ajaran agama yang ada di masyarakat sejatinya telah mengubah pelakunya menuju doktrin yang bertentangan dengan tradisi yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya dapat membawa keresahan yang dalam level lebih tinggi dapat menyebabkan permusuhan dan perselisihan diantara mereka. Sebagai contoh yaitu dalam
84
Kejadian tersebut terjadi di Desa Meteseh Kecamatan Tembalang, dimana setiap aktifitas keagamaan yang dianggap menyimpang oleh orang yang berfaham “radikal” selalu dihalang-halangi dan dimusuhi. (wawancara dengan Bp. Kabul Supriyadi, SH, M.Hum, ketua Tanfidziyah NU Kota Semarang tanggal 04 Mei 2012) 85 Wawancara dengan Bapak H. Abdul Khalik, M.Pd selaku sekteraris tanfidziyah NU Kota Semarang pada tanggal 03 Mei 2012.
93
masalah sosial-keagamaan di Kecamatan Tugu, faham radikal telah mencoba mengaburkan tata nilai budaya yang telah terakulturasi dengan ajaran Islam. Selanjutnya H. Abdul Khalik menyebutkan pada akhir tahun 2011 yaitu pada bulan oktober terdapat suatu fenomena tentang radikalisme agama di Kecamatau Tugu. Diilustrasikan olehnya, yaitu dalam kasus tersebut ada orang yang meninggal dunia, akan tetapi oleh anaknya yang notabene “berfaham radikal” ia melarang masyarakat melafadzkan dzikir ketika prosesi pengiringan jenazah ibunya menuju kubur. Dalil yang dijadikan pijakan argumentasinya yaitu bahwa mengiring jenazah menggunakan bacaan seperti tahlil dan bacaan-bacaan lain yang sudah lekat dengan ritual masyarakat dianggapnya tidak terdapat dalam ajaran Islam. Hal tersebut di atas sejatinya membuktikan, bahwa pemahaman agama yang dimiiki oleh orang yang berhaluan radikal adalah cenderung kepada pemurnian ajaran Islam yang dalam hal ini yaitu Islam harus dikembalikan sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Mereka hanya menganggap ajaran Islam yang harus diaplikasikan dalam kehidupan hanyalah ajaran yang secara tersurat memang benar-benar ada dalam Al-Qur’an. Dalam sisi lain Abdul Khalik menjelaskan, bahwasanya kaum radikalis sebagaimana dikemukakan diatas pada praktiknya mereka mengganggap adalah orang yang paling mengerti dan faham tentang ajaran Islam yang benar. Mereka tidak segan-segan mengecap salah bahkan menganggap “kafir” terhadap kelompok lain yang tidak sefaham denganya. Akan tetapi yang ironi, ketika mereka diajak berdialong (bermujadalah)
94
ternyata mereka hanya menggunakan majalah-majalah dan argumentasi yang sesuaai dengan buku-buku karangan pimpinanya saja. Ketika disosori kitab Mu’tabaroh (kitab yang teruji kesahihanya) seperti kitabnya Imam AlQhozali mereka engan berkomentar, jangankan berkomentar membaca dan memaknai saja mereka tidak bisa.86 Dalam kasus yang sebagaimana disebutkan oleh Abdul Khalik, anaknya yang menentang pengiringan jenazah orang tuanya menggunakan bacaan tahlil ketika disodorkan tentang kitab “Riyadlus Sholihin” yang berisikan tentang tuntunan tata cara merawat jenazah ternyata mereka tidak bisa memahaminya. Jangankan memahami membaca saja mereka tidak bisa. Fenomena-fenomena di atas mengindikasikan, bahwasanya kaum radikalis sekalipun mereka mengklaim dirinya paling benar sendiri, akan tetapi sejatinya mereka ternyata tidak faham dengan cara pemaknaan ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam pemaknaan tentang ayat Al-Qur’an, indikasi ketidak fahaman mereka dapat dilihat yaitu dari segi metodologi. Dari segi metodologi mereka ternyata tidak menguasai kaidah kesastraan arab ataupun kaidah nahwiyah (gramatikal bahasa arab) yang berlaku. Hal tersebut membuktikan bahwasanya yang menjadikan ia bersikap radikal dikarenakan kuatnya ideologi yang mereka anut tanpa bisa menunjukkan dalil dan argumentasi nalar yang logis. Kendatipun demikian, sesungguhnya faham radikal yang ada di Kota Semarang ternyata tidak hanya masuk dalam masyarakat perumahan saja. 86
Fenomena tersebut sebagaimana terlihat dalam diskusi antara MUI dengan FPI tentang “Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yang disiarkan di TV One pada Tanggal 12 Mei 2012.
95
Akan tetapi faham-faham tersebut telah merangsek masuk kedalam institusi pendidikan dengan doktriner-doktriner tentang “Khilafah” atau sistem tata Negara secara Islam. Faham tersebut mengajarkan bahwa tata Negara haruslah disusun sesuai dengan syariat Islam secara struktural penuh, baik secara individu maupun pemerintahan. Hukum yang dijalankannya pun harus mengacu pada hukum Islam. Dicontohkan oleh Abdul Khalik, bahwa di SMA favorit yang telah berstandar Nasional yang ada di Kota Semarang, ada salah satu muridnya yang tidak mau melakukan penghormatan kepada bendera merah putih. Hal tersebut dianggapnya bahwasanya melakukan penghormatan terhadap selain Tuhan adalah merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Dari kejadian sebagaimana di atas dapat diketahui bahwa pola kaderisari Islam radikal yang ada di Kota Semarang sejatinya telah menjulur kepada anak-anak remaja yang notabene mereka adalah panji-panji penerus bangsa. Ditegaskan kembali oleh Abdul Khalik, kalau melakukan penghormatan kepada bendera saja telah dianggap melakukan perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam yang semestinya, bahkan dianggap syirik, bisa kita lihat bukankah ketika “mereka” yang beraliran radikal melakukan ibadah haji, mereka juga menghadap ke Ka’bah apakah itu juga tidak merupakan hal yang sama? Tandasnya. NU Kota Semarang sebagai organisasi kemasyarakatan, dalam penanganan terhadap suatu masalah termasuk di dalamnya tentang radikalisasi tidak membenarkan adanya upaya dengan jalan kekerasan. Akan
96
tetapi solusi yang di ambilnya yaitu dengan menelaah kembali terhadap kajian suatu problematika yang ada di masyarakat dengan melakukan kajian Bahtsul Kutub (pengkajian dan penelaahan kitab) dari berbagai aspek, termasuk didalamnya yaitu faktor sebab turunya ayat dan kaidah kasusastraan arab yang berlaku. Dari kajian-kajian tersebut itulah kemudian memunculkan jalan “deradikalisasi” yang dirasanya merupakan cara yang tepat dan sesuai dengan kultur budaya yang ada di masyarakat. Penanganan terhadap tindakan yang dirasa menyimpang dan bertentangan dengan falsafah Negara dirumuskan kembali dengan tuntunan agama yang benar pula. Penulis menganalisa bahwa konsep Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar yang diterapkan oleh NU adalah sangat ideal dengan keadaan sosial masyarakat, dimana penanganan kemungkara menggunakan kekuatan ia serahkan kepada aparat yang berwenang. Hal tersebut tentunya sesuai dengan Hadits Rosul yang di riwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:
> $%I > @0= JK :@A B > C= D=EF "0 G N O 39 P RQ 1 S " S T"U "% 1 V Q M ! = :@L M%0 B"% (M%9 S=) R W/ X C 5 Y B6;%L6 1 N O 39 M R 1; B 89%6 1 Artinya: “Dari Abi Sa’id Al-Khudri RA berkata: saya mendengar Rosulullah SAW bersabda: barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah merubahnya menggunakan tanganya, kalau tidak kuasa maka dengan lisanya, kalau tidak kuasa dengan lisanya maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).87 87
Imam Muhyiddin Abi Zakariya, Riyadlussolihin; Min Kalami Sayyidil Mursalin, (Beirut: Daarul Khoir, 1999), hlm.67
97
Berdasarkah hadits diatas, interpretasi dari tingkatan-tingkatan kekuatan dalam upaya penegakan kebaikan dilakukan dan disesuaikan dengan masing-masing pihak yang berhak. Oleh karena itu dalam penanganan terhadar radikalisme agama bukan jalan kekerasan yang ditempuh, melainkan dengan pendekatan kontra radikal (deradikalisasi). Indikasi radikalisasi agama yang ada sebagamana disebutkan diatas, sejatinya telah mewakili ciri-ciri atau istilah dengan apa yang dinamakan dengan “Islam radikal” sebagaimana di ungkapkan oleh Umi Sumbulah. Tentang hal itu ia mengungkapkan bahwasanya gejala-gejala radikalisme yang ada dalam suatu masyarakat muncul sebagai respon yang berupa evaluasi, penolakan atau perlawanan terhadap kondisi yang sedang berlangsung, baik itu berupa asumsi nilai sampai dengan lembaga agama atau negara. Radikalisme agama yang ada sejatinya selalu berupaya mengganti tatanan yang sudah ada dalam suatu masyarakat, dengan sebuah tatanan baru melalui world view (pandangan dunia) mereka sendiri. Pada level yang lebih tinggi, kuatnya keyakinan akan ideologi yang mereka tawarkan biasanya rentan memunculkan sikap emosional yang bisa melahirkan kekerasan. Radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang sejatinya hanya merupakan sekelompok kecil yang aksinya belum sampai pada taraf yang dapat mengancam keutuhan, kesatuan dan persatuan negara. Akan tetapi meskipun demikian, faham-faham radikal yang mulai ditanamkan di sekolahsekolah dengan faham khilafah tersebutlah yang patut diwaspadai, dan
98
ditangani dengan serius, karena hal demikian yang akan menjadi ancaman yang sebenarnya apabila tidak mendapatkan solusi dan penanganan yang lebih serius. Pada intinya radikalisasi agama yang ada ketika dianalisa menurut teori Martin E. Marty maka didapatkan ciri-ciri sebagai berikut: a.
Fundamentalisme. Sebagaimana diketahui, bahwa faham fundamentalisme sejatinya merupakan faham pemikiran yang mempunyai side-effect (dampak negatif) yang dapat membawa pelakunya menjadi militan terhadap ajaran yang dianutnya. Dalam hal ini faham-faham yang ada dalam masyarakat yang sering menganggap kafir orang yang tidak seidiologi, sering merasa golonganya yang paling benar, dan dalam menghukumi segala sesuatu harus dikembalikan pada ajaran agama yang murni, merupakan gejala radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang.
b.
Penolakan terhadap hermeneutika. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kaum radikal cenderung menolak terhadap suatu tafsir ayat. Mereka hanya mengkaji dan memaknai ayat apa adanya (tekstualis), kitab suci hanya dimaknai benar adanya tanpa mempertimbangkan rasionalitas (nalar) dan sabab nuzul ayat. Fenomena demikianlah yang nampaknya sering terjadi dalam masyarakat danrentan menimbulkan adanya pertikaian dalam sutu masyarakat dikota semarang seperti dalam pemahaman hadits tentang bid’ah.
99
c.
Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Hal ini juga yang dikatakan bahwa kaum radikal pada prinsipnya hanya memandang ajaranya saja yang benar. Dalam pemutusan suatu hukum, mereka kurang mengabaikan kemajemukan masyarakat yang ada, mereka enggan menilai faham kelompok lain, melainkan hanya ajaran yang sesuai dengan apa yang mereka yakini saja yang dianggap benar.
d.
Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiolgis. Perkembangan ini dinilai oleh kaum radikalis sebagai muara ketidak sesuaian dalam keberagamaan, mereka menilai bukan Al-Qur’an yang harus mengikuti nalar, akan tetapi akal-lah yang seharusnya tunduk dan patuh terhadap semua nilai-nilai Al-Qur’an. Pada tahap tertentu, ketika nilai-nilai agama sudah tidak lagi diterapkan sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran mereka, masyarakat sudah semakin tidak karuan, maka muncullah penolakan-penolakan terhadap sejarah yang ada, berbarengan dengan itu mereka tidak mau menerima Pancasila sebagai dasar negara dengan segala sejarah dan perjuanganya, akan tetapi konsep khilafah yang menjadi pikirnya. Berdasarkan analisa dari teori sebagaimana disebutkan diatas, penulis
mensinyalir bahwasanya radikalisme agama yang ada merupakan suatu bentuk upaya dari sekelompok masyarakat yang ingin menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai basic values (nilai dasar) dari segala aspek kehidupan.
100
Dari fenomena-fenomena yang berhasil dihimpun oleh penulis dari informan,
dengan meminjam istilah Rahimi Sabirin dalam “Islam dan
Radikalsme ” dan Umi Sumbulah dalam “Konfigurasi Fundamentalisme Islam” selanjutnya penulis dapat menginventarisir dan mendeskripsikan radikalisme agama dalam perspektif NU Kota Semarang sebagai berikut: a.
Radikalisme agama difahami sebagai suatu ajaran dari suatu kelompok yang selalu membenarkan dirinya sendiri, dan tidak segan-segan menuduh kafir (takfir) terhadap golongan yang ia tidak sependapat denganya.
b.
Kaum radikalis cenderung merasa sebagai kelompok yang paling memahami terhadap ajaran agama.
c.
Kaum radikalis merupakan golongan yang kurang mengedepankan nilainilai toleransi dan tidak mau menghargai tradisi, pendapat dan keyakinan kelompok lain.
d.
Pada umumnya kaum radkalis muncul dari cara memahami agama yang tertutup dan tekstual.
e.
Kaum radikalis cenderung bersifat revolusioner dan menginginkan penerapan ajaran Islam secara total (kaffah) dan murni (puritan) dalam setiap lini kehidupan.
f.
Dalam tata Negara, konsep yang mereka usung adalah konsep Khilafah (kepemimpinan menurut Islam) dan mereka kurang setuju tentang konsep demokrasi.
101
g.
Dalam mewujudkan ideologinya, mereka berkedok jihad sebagai pembenaranya dan tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan.
h.
Radikaisasi agama muncul disebabkan oleh kuatnya ideologi yang mereka anut. Stimulus yang mereka terima dari doktriner-doktriner pemimpinya mereka jadikan pedoman yang paling utama. Hal inilah yang nampaknya menjadikan mereka bersikap ekstrean, tertutup, tidak mau menerima argument orang lain bahkan disisi lain cenderung menganggap kafir orang yang berbeda ideologi dengan mereka. Orang-orang yang beroreintasi pada ajaran agama secara radikal pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang kurang bisa menghargai terhadap nilai-nilai perjuangan para leluhur yang telah rela berkorban dan memperjuangkan kemerdekaan. Konsep Kilafah yang mereka kedepankan, sejatinya juga merupakan konsep yang kontra-nasionalisme. 3.6. Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya Deradikalisasi Agama NU sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah yang berada di Kota Semarang adalah bukan merupakan satu-satunya institusi kemasyarakatan yang ada di Kota Semarang. Akan tetapi ia merupakan bagian dari seluruh tatanan kehidupan dan tatanan kemasyarakatan yang ada di kota Semarang, yang tumbuh dan berkembang bersama seluruh lapisan masyarakat Kota Semarang. Hal tersebut berarti bahwa kedudukan NU Kota Semarang mempunyai peran ganda baik secara internal organisasi ataupun secara
102
eksternal dalam upaya penanganan semua problematika kehidupan yang ada di Kota Semarang. Peran internal NU Kota Semarang yaitu, NU dituntut untuk dapat menyelesaikan segala problematika warganya, baik dalam tataran aqidah, syari’ah akhlak dan masalah ekonomi. Sedangkan dalam lingkup eksternal dalam menghadapi tatanan masyarakat yang semakin komplek, NU dituntut untuk memberikan kontribusi dan sumbangsih terhadap konsep pembangunan keislaman masyarakat yang bercorakkan Islam ala Ahlussunnaah Wal Jama’ah. Pemahaman keislaman yang berwawasan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pemerintah Kota Semarang. Berdasarkan statemen sebagaimana diungkapkan di atas, menurut Drs. KH. Abdul Khalik, M.Pd selaku sekretaris Tanfidziyah, NU Kota Semarang didalam menjalankan strategi dakwahnya dituntut untuk mengedepankan tata norma keorganisasian dan memperhatikan problematika sosial yang sedang berkembang di Kota Semarang. Dalam hal ini, NU harus senantiasa mengedepankan pendekatan-pendekatan yang selalu bisa diterima oleh semua kalangan. Pendekatan-pendekatan sikap sebagaimana dimaksud merupakan nilai-nilai dasar NU kota Semarang diantaranya adalah menggunakan sikapsikap berikut: a. Sikap Tawassuth dan I’tidal (moderat, adil dan tidak ekstrim) b. Sikap Tasammuh (toleransi, lapang dada dan saling pengertian)
103
c. Sikap Tawazun (seimbang dalam pertimbangan pengambilan keputusan) d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar88 Dalam kehidupan bermasyarakat sikap moderat, toleran, dan keseimbangan adalah sangat sesuai dengan kultur masyarakat yang ada. Hal tersebut tiada lain dikarenakan, budaya yang ada pada masyarakat jawa yang penuh dengan tata krama menuntut adanya etika dan sopan santun, sehingga sebagaimana yang penulis amati, nilai-nilai NU-lah yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Di sisi lain dalam amar ma’ruf nahi munkar, NU selalu menetapkan dan mengedepankan prinsip-prinsip pencegahan kemungkaran terhadap aparat yang berwenang. Dalam amar ma’ruf nahi munkar NU tidak turun tangan sendiri. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh KH. Khadlor Ihsan (Rois syuriyah 2006-2011), ditempuh sebagai suatu langkah untuk menghindari adanya hal yang bisa mengakibatkan kekacauan.89 Upaya-upaya yang dilakukan oleh NU Kota Semarang, baik secara eksplisit ataupun emplisit sebagaimana disebutkan di atas, yang nampaknya merupakan faktor yang menjadikan NU diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Adapun strategi dakwah yang diterapkan oleh NU Kota Semarang
dalam
upaya
deradikalisasi
agama
dapat
didiskripsikan
sebagaimana berikut. Sebagaimana difahami, bahwasanya strategi merupakan suatu kerangka atau rencana yang disusun untuk mencapai suatu tujuan (goals), 88 89
Wawancara yang ke-2, dengan Bapak KH. Abdul Khalik, M.Pd Tanggal 07 Mei 2012 Wawancara Tanggal 27 April 2012
104
dengan mengintegrasikan antara kebijakan-kebijakan (policies) dan tindakan atau program organisasi. Berdasarkan pada argumentasi teoritis tersebut di atas, maka yang menjadi strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama sebagaimana diperoleh peneliti dari informan adalah sebagai berikut: 1. Strategi antisipatif atau preventif Strategi
antisipatif
atau
prefentif
merupakan
strategi
penanggulangan atau antisipasi dini, agar faham dalam beragama yang bisa berimplikasi kepada aksi radikal dapat diatasi. Dalam hal ini, deradikalisasi agama dalam artian meluruskan pemahaman terhadap agama merupakan suatu keniscayaan bagi NU Kota Semarang. Adapun wujud strategi antisipatif oleh NU Kota Semarang yaitu seperti penanaman ajaran akidah, syari’ah dan akhlak di sekolah-sekolah ma’arif dan di pondok pesantren.90 Dalam merealisasikan programnya, NU Kota Semarang malakukan upaya diantaranya meningkatkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) kepada masyarakat melalui diklat aswaja, seminar dan bekerjasama dengan aparat pemerintahan yang dalam hal ini yaitu Kesbanglinmas tentang pemberian wawasan kebagsaan. Tindak pencegahan dan pemberian wawasan kebangsaan yang sampai saat ini dilaksanakan oleh Kesbanglinmas tersebut sejatinya merupakan upaya preventif penaganan tindak radikal dengan pemberian 90
Wawancara dengan Bapak KH. Syamhudi, M.Pd, Kepala Ma’arif NU Kota Semarang 2006-2011, pada Tanggal 27 April 2012.
105
dan pengkajian wawasan kebangsaan. Keberhasilan kegiatan tersebut bermula yaitu dari pengurus NU Kota Semarang yang menjalin kerjasama dengan TNI/POLRI dan Kesbanglinmas pada tahun 2008. Adanya komunikasi untuk saling bekerja sama dalam menangani tindak radikal yang ada seperti realisasi yang telah dilakukan oleh NU dapat kita fahami bahwasanya kiprah NU dalam upaya merealisasikan strategi deradikalisasinya merupakan wujud konsistensi diri NU terhadap komitmen dan loyalitas terhadap keutuhan Negara. 2. Strategi dakwah bil mujadalah hiya ahsan Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. H. Abdul Khalik, M.Pd, strategi dakwah bil mujadalah dimaksudkan yaitu untuk mengatasi problematika yang ada di masyarakat.91 Strategi tersebut ditempuh oleh NU Kota Semarang sebagai upaya penanganan terhadap pemahamanpemahaman radikalisme terhadap agama yang sudah masuk dalam masyarakat. Adapun wujud strategi tersebut sebagaimana kasuistik yang ada di Kecamatan Tugu Semarang yaitu dengan mengajak berdialog dengan pihak yang bersangkutan. Strategi mujadalah yang diterapkan oleh NU kota Semarang sejatinya bila dianalisa dalah sangat sesuai dengan metode dakwah yang sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an adalah:
91
Wawancara Tanggal 03 Mei 2012
106
ôÏΒ (#θ‘ÒxΡ]ω É=ù=s)ø9$# xá‹Î=xî $ˆàsù |MΨä. öθs9uρ ( öΝßγs9 |MΖÏ9 «!$# zÏiΒ 7πyϑômu‘ $yϑÎ6sù ö≅©.uθtGsù |MøΒz•tã #sŒÎ*sù ( Í4ö∆F{$# ’Îû öΝèδö‘Íρ$x©uρ öΝçλm; öÏøótGó™$#uρ öΝåκ÷]tã ß#ôã$$sù ( y7Ï9öθym t,Î#Ïj.uθtGßϑø9$# /=Ïtä† ©!$# ¨βÎ) 4 «!$# ’n?tã Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imron: 159) Ayat di atas yaitu mengajarkan seorang yang ingin memberikan pemahaman terhadap agama, hendaknya ia bersikap halus dan lemah lembut tidak menggunakan cara-cara yang keras dan kasar. Ketika terjadi perbedaan pandangan terhadap suatu permasalahan, maka kita harus memaafannya dan mengajak mereka berdialog (bermusyawarah). Hal tersebut dimaksudkan agar mereka (mad’u) tidak lari dari kita dan agar mereka dapat mengerti hakikat yang sesungguhnya tentang pemahaman terhadap Islam. 3. Strategi pemahaman agama secara kontekstual NU Kota Semarang merupakan sebuah institusi keagamaan yang dikenal dengan ajaranya yang moderat dan kontekstual. Dalam hal ini, sikap kontekstual didalam memahami hukum agama yang dimiliki oleh NU Kota Semarang sebagaimana diungkapkan oleh Drs. KH. Khadlor
107
Ikhsan dipandang sebagai suatu strategi yang bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat.92 Hal
tersebut
dikarenakan
pemahaman
agama
dengan
memperhatikan sosio-kulturan dan sabab nuzul ayat pasti tidak akan menetapkan suatu hukum semena-mena. Upaya memahami ayat secara kontekstual telah diterapkan oleh NU melalui tradisi pesantren-pesantren yang dkenal dengan kitab Alat-nya (Nahwu dan Shorof). 4. Strategi toleransi dan menghargai nilai budaya NU yang terkenal dengan ajaran tasammuh (toleransi) dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat, menjadi strategi jitu dalam mengatasi masalah radikalisasi agama dalam masyarakat. Dalam hal ini NU Kota Semarang selalu mengedepankan prinsip “al Mukhafadotu ‘Ala al Qodim Al Salih Wa Al Akhdzu bi Al Jadidi al Aslah”, yaitu prinsip menjaga atau mempertahankan tradisi/pola lama yang masih layak dan mengambil pola baru yang lebih baik dalam suatu tatanan masyarakat. Corak NU yang selalu bisa beradaptasi dengan kultur budaya masyarakat secara otomatis menjadi poin tersendiri bagi NU.93 Dalam hal ini penulis menganalisa bahwa konsep tasammuh dan tawazun yang diusung oleh NU merupakan bentuk ajaran toleransi yang menghargai nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini NU Kota Semarang adalah senantiasa menanamkan ajaran aqidah dan
92
Wawacara pada Tanggal 27 April 2012 Statemen sebagai mana dimaksud yaitu terdapat dalam penjelasan wawancara dengan Drs. Kabul Supriydi, SH, M.Hum sebagai ketua Tnfidziyah NU Kota Semarang pada tanggal 04 Mei 2012. 93
108
ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh karena itu, sebagaimana yang kitafahami ajaran Aswaja yang mengedepankan toleransi terhadap golongan Islam yang mempunyai perbedaan pandangan lain merpakan solusi penanganan tanpa harus menggunakan jalan kekerasan. Dalam hubungannya
dengan pluralitas agama
Islam,
NU
menentukan prinsip untuk saling menghormati dan saling mengakui eksistensi agama masing-masing. Oleh karena itu, NU secara jelas menegaskan tidak adanya prinsip paksaan dalam beragama, seperti ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256, menerangkan :
-∅ÏΒ÷σãƒuρ ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ yϑsù 4 Äcxöø9$# zÏΒ ß‰ô©”9$# t¨t6¨? ‰s% ( ÈÏe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω îΛÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρó ãèø9$$Î/ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/ Artinya : “Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang salah, dan siapa yang tidak percaya kepada thoghut (berhala atau syithan) dan percaya kepada Allah. Sesungguhnya Dia telah berpegang pada tali yang teguh dan tidak akan putus, dan Tuhan itu mendengar dan mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh:256)94
Dari strategi yang diterapkan oleh NU Kota Semarang, peneliti menganalisa bahwasanya strategi-strategi sebagaimana dimaksud adalah strategi kultural yang ada dimasyarakat. Dalam hal ini peneliti dengan megadopsi konsep pribumisasi Islam seperti yang digagas oleh KH. Abdur Rahman Wahid adalah sangat sesuai dengan strategi yang diterapkan oleh
94
Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah;Bekal Perjuangan Para Da’I, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm.13
109
NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama. Meskipun strategi yang diterapkan tidak sama persis akan tetapi setidaknya terdapat beberapa poin yang sama. Hal tersebut dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut: a. Kontekstual Pemahaman terhadap suatu ajaran agama secara kontekstual merupakan upaya yang sering dilakukan oleh NU Kota Semarang yang dalam hal ini yaitu memalui metode pengkajian tafsir dan tata gramatikal arab seperti yang digalakkan melalui pesantren-pesantren yang berada dibawah naunganya. Pemahaman yang kontekstual sejatinya dapat diposisikan agama menjadi suatu ajaran yang shahih li kulli zaman wal makan (relevan dengan perkembangan zaman dan tempat). b. Toleran Penulis menganalisa sikap toleran yang diterapkan oleh NU Kota Semarang yaitu tercermin dari ajaran tasammuh-nya. Yang senantiasa menghargai dan tetap melestarikan budaya lama yang dipandang masih baik. Hal tersebut tiada lain yaitu prinsip “Al Mukhafadzotu ‘Alal Qodimissolih Wal Akhdzu Bil jadidil Aslah”. c. Menghargai tradisi Dalam hal ini dapat kita lihat sebagaimana ajaran NU yang senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi lama yan masih baik (Al Mukhafadzotu ‘Ala Al Qodimissolih Wa Al Akhdzu Bi Al Jadidi Al
110
Aslah). Yaitu prinsip melestarikan budaya lama yang masih baik, dan mencarikan metode lebih baik yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
3.7. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Strategi NU Kota Semarang dalam Upaya Deradikalisasi Agama Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa setiap organisasi dalam menjalankan roda organisasi dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan pastilah tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Disisi lain pasti selalu ada halang rintang dan badai yang menerpanya. Hal demikian pula yang nampaknya juga terdapat pada organisasi NU Kota Semarang. Adapun faktor-faktor tersebut sesuai data yang diperoleh dilapangan antara lain sebagai berikut: a. Faktor Pendukng 1. NU Kota Semarang pada umumnya memiliki para tokoh Kyai yang
kharismatik dimata masyarakat. Hal tersebut tentunya mendukung strategi dakwah NU, dikarenakan biasanya masyarakat akan cenderung menganut sosok Kyai sebagai panutan hidup. 2. NU Kota Semarang memiliki struktural kepengurusan mulai dari
tingkat cabang, hingga ranting. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai alat unuk menetapkan strategi sampai ke tataran masyarakat bawah. 3. NU Kota Semarang memiliki gedung yang dapat dijadikan sebai tempat
kesekretriatan untuk menyusun program-programnya. 4. NU Kota Semarang menerapkan nilai-nilai moderat yang dapat diterima
oleh semua lapisan masyarakat, disamping itu juga selalu memelihara
111
tradisi yang baik (Al Mukhafadzotu ‘Alal Qodim Al Solih Wa Al-akhdzu Bi Al-Jadidil Aslh), sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. b. Faktor Penghambat 1. Dalam masalah komunikasi, koordinasi dan konsolidasi antara pengurus
Cabang, MWC dan Ranting masih lemah. 2. Dalam tataran manajerial, pada umumnya pengurus NU masih lemah. 3. Banyaknya pengurus NU yang merangkap jabatan (double job),
sehingga kurang bisa fokus dalam melaksanakan amanat dan tugas yang diemban. 4. Dalam masalah kaderisasi, biasanya senior kurang bisa mewariskan
budaya organisasi yang telah dikuasainya untuk diajarkan kepada juniornya. 5. Pada umumnya masyarakat (pengurus, tokoh dan warga) NU sendiri
kurang memiliki disiplin yang tinggi terhadap peraturan organisasi. 6. Pada umumnya para tokoh atau Kyai memiliki sifat ananiyah
(egoisme). Hal tersebut akan berimbas ketika terjadi perbedaan pandangan maka hanya pendapatnya sendiri saja yang ia anggap benar. 7. Dalam penggalian dana yaitu antara I’anah syahriyah (dana bulanan)
dan I’anah tsanawiyah (dana tahunan), belum bisa berjalan. Dari data yang diperoleh peneliti sebagaimana diatas, selanjutnya peneliti mencoba menganalisa terhadap faktor pendukung dan pengambat
112
implementasi strategi yang kemudian disajikan sebagaimana tabel SWOT berikut: Tabel No.06 (Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Strategi Dakwah NU) Internal
1
Aspek
Kelembagaan dan Sosial
No
Kekuatan (Strengh)
Kelemahan (Weaknesse)
Eksternal
Peluang (Opportunities)
Ancaman (Threats)
- Memiliki - Komunik - Kota • Terdapat structural dari asi, Semarang paham cabang koordinas merupakan Wahabiyah hingga i dan kota industri dalam ranting konsolida dan jasa masyarakat - Memilki si antara - Mayoritas • Kemajuan banyak majlis pengurus masyarakat zaman telah ta’lim diniyah Cabang, adalah memunculka MWC - Memiliki pengikut dan n faham dan banyak pengamal Materialistic Ranting pondokajaran , dan pesantren dan masih Ahlussunnah Hedonistic sekolah yang lemah Wal Jama’ah berbasis NU - Manajeril ,pengurus NU masih lemah - Banyakny a pengurus NU yang merangka p jabatan
SDM dan SDA
113
2
- Memiliki • Memiliki • Kurang • Sumberdaya para tokoh kader-kader memiliki yang Kyai yang yang disiplin semakin kharismatik menjabat yang maju dimata posisi tinggi memungkink masyarakat strategis terhadap an adanya • Memiliki dalam peraturan kriminalitas gedung pemerintahan yang dapat organisasi sebagai pusat • Kyai menganggu penyusunan kader-kader memiliki agenda dan NU sifat kegiatan ananiyah (egoisme) .
Dari tabulasi analisa data di atas, dapat diketahui bahwasanya setiap organisasi termasuk di dalamnya NU, pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam menjalankan programnya. Faktor yang mempengaruhi tersebut bisa berasal dari lingkungan internal ataupun eksternal yang pada umumnya meliputi kondisi, situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh yang berada
disekitar
organisasi
dan
memberikan
pengaruh
terhadap
perkembangan organisasi. Dari tabulasi analisa di atas, maka faktor penghambat dan pendukung strategi NU Kota Semarang dapat didiskripsikan sebagai berikut: 1). Analisa Kekuatan – Kelamehan (S-W) Bila kita analisa dari tabel diatas, sebenarnya NU Kota Semarang memiliki kekuatan yang sangat strategis seperti para tokoh Kyai yang kharismatik dimata masyarakat. Kekuatan disini terletak pada kebiasaan masyarakat yang cenderung menganut sosok Kyai sebagai panutan hidup.
114
Akan tetapi dalam sisi lain seperti dalam tabel kelemahan, Kyai yang biasanya
memiliki
sifat
egois
akan
cenderung
membenarkan
pemahamanya sendiri sehingga dinamika organisasi NU dapat terhambat. Disisi lain NU Kota Semarang yang memiliki struktural kepengurusan mulai dari tingkat cabang, hingga ranting akan memudahkan dalam sosialisasi dalam menjalankan programnya. Akan tetapi banyaknya Double Job oleh masing-masing pengurus dan komunikasi antar lembaga dan fasilitas perkantoran yang tidak dimanfaatkan secara optimal akan dapat menghambat kinerja NU itu sendiri, oleh karena itu yang perlu diantisipasi yaitu bekerja secara profesinal dan proporsional.
2). Analisa Peluang – Ancaman (O-T) NU Kota Semarng yang memiliki kader-kader yang menjabat pada posisi strategis dalam pemerintahan seperti Kemenag dan KUA tentunya dapat dijadikan sebagai peluang untuk kemaslahatan NU baik dari segi finansial ataupun aspek lain. Akan tetapi seiring dengan kemajuan zaman telah memunculkan faham Materialistic, dan Hedonistic, apabila tidak diwaspadai dengan seksama dapat menyeret kader-kader NU menuju politik praktis yang tentunya berbahaya karena bertentangan dengan Khittoh NU itu sendiri. Dari segi lain Semarang yang merupakan kota yang berbasis perdagangan dan jasa dengan warganya yang banyak disana dapat
115
dijadikan sebagai peluang untuk menghimpun dana bagi NU itu sendiri. Selain itu heterogenitas warga Semarang yang mayoritas berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah semakin memudahkan NU Kota Semarang dalam memberikan pemahaman terhadap ajaran Aswajanya. Akan tetapi ketika kita lakukan analisis dari segi ancaman perkembangan tekhnologi yang semakin maju memungkinkan menggunakan kemajuan tersebut sebagai sarana kejahatan seperti Cyber Sex, disisi lain faham Wahabi yang semakin menjamur juga dapat mengrongrong terhadap ideologi kader-kader NU. Oleh karena itu sikap antisipatif dan tindak preventif harus senantiasa dilakukan, juga pengontrolan kader-kader harus terus ditingkatkan agar ancaman yang mungkin mncul dapat diatasi. Pada akhirnya kekuatan, peluang, hambatan dan tantangan yang ada pada NU Kota Semarang sejatinya merupakan keadaan nyata, yang harus dihadapi dalam menata dan memperjuangkan ideologi NU yang berlandaskan Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam rangka menangani radikaisasi agama yang ada. Oleh karena itu faktor-faktor baik itu yang bersifat positif atau negatif haruslah dapat dicermati sehingga dari faktor-faktor yang ada dapat dirumuskan menjadi sesuatu yang bisa diharapkan, sesuai dengan visi missi dan tujuan NU Kota Semarang.