BAB IV SEKILAS TENTANG BAHASA OIRATA DI PULAU KISAR
4.1 Sejarah Singkat Oirata 4.1.1 Nama Oirata Oirata berasal dari dua kata, yakni: oir yang artinya ‘air’ dan riata yang artinya ‘keruh’. Jadi, Oirata berarti ‘air keruh’. Nama Oirata itu diberikan oleh masyarakat penduduk di sekitarnya yang sebagian besar berbahasa Meher (lebih dikenal masyarakat luas sebagai bahasa Kisar). Artinya, kata Oirata itu sendiri bukan berasal dari bahasa Oirata, melainkan berasal dari bahasa Meher. Masyarakat Meher memberi nama Oirata tersebut berdasarkan fakta bahwa di tempat asal Suku Oirata terdapat dua sumur tua yang konon ceritanya merupakan sumber mata air bagi masyarakat di sekitarnya. Dua sumur tua itu letaknya berdampingan, satu sumur sebelah selatan berair jernih yang sampai sekarang masih berfungsi dengan baik dan sumur lainnya terletak tidak jauh (± 1,5 m) di sebelah utaranya berair sangat keruh dan diyakini oleh masyarakat di sana mengandung racun sehingga tidak seorang pun yang berani memanfaatkan air yang bersumber dari sumur tersebut (lihat lampiran foto-1). Sebelum nama Oirata diberikan oleh orang Meher, desa tersebut bernama negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat asal leluhur Suku Oirata. Letaknya di bagian selatan Pulau Kisar. Di antara kedua bukit Manheri dan Mauhara terdapat sebuah ngarai kecil atau lembah di antara dua jurang bertebing terjal. Di lembah itulah terdapat dua sumur tua yang
43
44
telah dijelaskan di atas. Di sebelah barat bukit Mauhara itu terdapat Pantai Kisar tempat pertama kali Belanda berlabuh yang kemudian menjadi nama pulau itu.
4.1.2 Asal-Usul Suku Oirata Zaman dahulu hidup suatu marga yang terdiri atas beberapa keluarga bermukim di Pulau We’ra dan We’ro. Kedua pulau itu terletak di sebelah selatan Pulau Damer, kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Maluku Tenggara Barat. Kedua pulau itu juga dikenal dengan nama Pulau Terbang Utara dan Terbang Selatan. Penghuni kedua pulau itu senantiasa mencukupi hidupnya dengan cara bertani dan nelayan. Akan tetapi, mereka tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena tidak ada sumber air (bersih) sebagai sumber kehidupan di kedua pulau itu. Mereka memutuskan untuk mencari pemumukiman yang baru. Berangkatlah mereka, meninggalkan kedua pulau itu secara berombongan dengan beberapa perahu kecil. Mereka berlayar berhari-hari mengikuti arah gelombang dan tiupan angin. Dalam pelayaran itu, mereka tiba-tiba disapu badai dengan gelombang besar. Mereka tidak mampu lagi bertahan, perahu terbalik dan rombongan kocar-kacir. Singkatnya, sebagian dari mereka terdampar di ujung timur Pulau Timor (konon keturunannya hingga kini berada di Lautem daerah pesisir timur laut Timor Leste), sebagian terbawa arus ke arah barat yang hingga kini tidak diketahui nasibnya, dan sebagian lagi terdampar di pantai selatan Pulau Karang yang sekarang bernama Pulau Kisar. Disebut Pulau Karang karena memang pulau itu berdiri di atas batu karang, dikelilingi batu karang terjal, dan dari kejauhan pulau itu terlihat memutih seperti kapur terutama pada siang hari.
45
Konon ceritanya, kelompok yang terdampar di Pulau Karang itu yang kemudian disebut-sebut sebagai keluarga Nampitu Ratu ‘sebuah keluarga dengan tujuh anak laki-laki’. Mereka terdampar di sebuah pantai kecil yang diberi nama Wilkaulu Sere. Kata wilkaulu ‘tiba dengan selamat’ dan sere ‘pantai’. Jadi, wilkaulu sere berarti ‘pantai sebagai tempat tiba dengan selamat’ yang selanjutnya dikenal dengan Wilkaulsere. Keluarga itu memilih tempat bermukim di atas pantai itu yang diberi nama Ili Kesi. Dalam bahasa Oirata, ili ‘tempat berbatu besar’ dan kesi ‘tetap kuat, tidak mudah goyang’. Mulailah mereka hidup di tempat yang baru dengan pola kehidupan lama, bertani, nelayan, dan berburu. Ketujuh anaknya sering membantu ayahnya berburu berjalan mengelilingi pulau yang konon belum ada penghuni yang lainnya. Suatu ketika, Sang Ayah memperoleh firasat bahwa suatu saat akan terjadi gelombang laut dahsyat yang akan menerpa Pulau Karang itu. Karena merasa dirinya sudah tua dan tidak mampu berlayar, dia menyuruh anak-anaknya untuk menyeberang menyelamatkan diri ke selatan menuju uma lapai. Dalam bahasa Oirata, uma ‘pulau atau tanah’ dan lapai ‘besar’. Uma lapai artinya ‘pulau yang kelihatannya besar’ yang terlihat dari Pulau Karang tempat mereka berada. Berangkatlah keenam anaknya menuju uma lapai yang tidak lain adalah Pulau Timor. Seorang saudaranya yang bungsu tidak turut dalam rombongan itu dengan alasan tidak tega dan ingin menjaga ayahnya yang sudah tua hidup di hutan belantara seorang diri. Tidak beberapa lama memang terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan itu. Orang Oirata menyebutnya dengan lulunpitu ‘gelombang tujuh lapis’
46
menghantam Pulau Karang itu dan memporakporandakan seluruh daratan yang ada. Kedua ayah dan anak itu selamat dan tidak lama berselang keenam anaknya juga kembali dari pengungsian dengan selamat. Keluarga itu berkumpul kembali melakukan aktivitas seperti sediakala. Waktu berjalan cepat, ayah tujuh anak itu makin tua dan tidak mampu lagi berjalan jauh, maka anaknyalah menggantikan tugas Sang Ayah untuk berkeliling pulau, berburu dan mencari nafkah untuk keluarga mereka. Tampaknya, gelombang lalunpitu itu tidak terjadi sekali itu saja. Orangtua itu kembali mendapat firasat akan terjadi gelombang yang sama. Orangtua itu kembali menyuruh semua anaknya mengungsi ke Pulau Timor. Ketujuh anaknya menginginkan orangtuanya turut serta dalam pengungsian itu. Akan tetapi, Sang Ayah tetap bertahan dengan pertimbangan sudah amat tua yang justru akan membuat repot dan dapat membahayakan pelayaran anak-anaknya. Dengan tawar-menawar yang amat alot, akhirnya terjadi kesepakatan yang sama, keenam bersaudara itu dengan sangat terpaksa dan rasa iba harus meninggalkan ayah dan adik bungsunya di Pulau Karang yang mungkin saja bahaya dapat menimpanya. Seperti halnya gelombang lalunlapai yang pertama, gelombang lalunpitu kedua ini pun menghancurleburkan seluruh dataran yang ada di Pulau Karang itu, dan bahkan gelombang tersebut lebih dahsyat dari sebelumnya. Semua daratan tergenang air laut sampai beberapa lama dan kedua ayah dan anak itu hanya bisa bertahan di atas bukit Ili Kesi. Selama beberapa bagian daratan tergenang air laut, orangtua itu tidak mampu mencari makan. Untuk dapat bertahan hidup, anak bungsunya yang bernama Ratu Usara tetap setia mencarikan makanan kesukaan
47
orangtuanya berupa hihiyotowa leura. Dalam bahasa Oirata, hihi ‘kambing’, yotowa ‘sejenis domba kecil berbulu tebal, binatang khas pulau itu’, dan leura ‘daging’. Jadi, hihiyotowa leura berarti ‘daging kambing domba khas pulau itu’ yang menjadi makanan kesukaan orangtuanya dan merupakan bentuk sesajian terpenting dalam setiap persembahan untuk memohon kepada leluhurnya demi keselamatan keluarga terutama keenam anak dan cucunya yang sedang mengungsi ke pulau seberang. Demikianlah aktivitas rutin mereka sampai beberapa lama sembari menunggu dengan sabar dan penuh harap kembalinya keenam anaknya dari pengungsian. Sementara itu, keenam anak bersama keluarga yang mengungsi di Pulau Timor telah berlayar kembali menuju Pulau Karang. Akan tetapi, di tengah laut mereka terbawa arus, akibat angin barat yang berhembus dengan kencangnya. Akhirnya, mereka terpaksa mendarat di Pulau Letti dan tinggal di sana sampai beberapa tahun lamanya. Kerinduan akan ayah dan adik serta kekhawatiran akan keselamatn mereka semakin berkecamuk di hati keluarga itu mendorong untuk secapatnya kembali ke Pulau Karang. Setelah bersepakat, beberapa orang dari keluarga itu berangkat terlebih dahulu dan yang lainnya segera menyusulnya. Setibanya di Pulau Karang, mereka bergegas menuju Ili Kesi tempat orangtua dan saudara bungsunya tinggal. Dengan perasaan galau dan khawatir, mereka mencari jejak kedua orang yang dicintainya. Akan tetapi, di sana tidak ditemukan tandatanda kehidupan mereka. Rupanya kedua ayah dan adik bungsunya telah lama meninggalkan Ili Kesi. Lalu mereka menyebar, mencarinya ke seluruh pelosok hingga beberapa hari. Atas bantuan anjing, kedua ayah dan anak itu ditemukan di
48
bukit sebelah barat tidak jauh dari Ili Kesi dalam keadaan sekarat dan sangat menyedihkan. Sang Ayah terbaring kaku, suaranya terbata-bata, tidak jelas, dan hampir tidak terdengar. Anak bungsunya duduk di sampingnya dalam keadaan membatu dan telah tidak bernyawa lagi. Mereka sangat sedih menyaksikan keadaan kedua orang yang sangat dicintainya dan sangat menyesal atas keterlambatannya tiba di Pulau Karang itu. Sang Ayah meminta salah seorang dari mereka mendekatkan telinganya, lalu berpesan tentang tiga hal. 1. “Terimalah setiap pendatang lain di pulau ini sebagai saudara kandung dan hiduplah bersama-sama dalam suka dan duka.” 2. “Janganlah tinggalkan lagi pulau ini karena keadaan telah normal.” 3. “Sajikanlah hidangan hihiyotowa leura pada suatu waktu tertentu.” Setelah mendengar pesan orangtuanya yang telah dianggapnya sebagai perjanjian wajib untuk dilaksanakan oleh anak cucunya, mereka segera mencari hihi yotowa ke daratan untuk segera dijadikan persembahan. Akan tetapi setelah tiba di daratan, betapa kaget mereka
karena yang terlihat di sana hanyalah
hamparan ipi-la ‘ulat’ memenuhi seluruh padang rumput yang ada di depannya. Mereka segera bergegas kembali menemui ayahnya dan menyampaikan kejadian aneh itu. Sang Ayah berpesan agar mereka bersabar selama seminggu, setelah itu ipi-lala ‘ulat-ulat’ itu akan berubah menjadi hihiyotowawa ‘banyak kambing domba’ di tempat itu. Setelah seminggu berselang, pergilah mereka ke tempat ulat-ulat itu. Aneh tapi nyata, tempat tersebut dipenuhi dengan hihiyotowawa yang sedang sibuk merumput. Segeralah mereka mengambilnya satu ekor untuk dijadikan persembahan. Tidak lama berselang setelah persembahan usai, orangtua
49
itu mengembuskan nafas sembari melafaskan “… yotowa, …yotowa…” dan itulah nafasnya yang terakhir. Jenazah kedua orang yang dicintainya itu lalu dikubur dalam bentuk la’u ‘tumpukan batu bersegi’ yang selanjutnya dipakai sebagai tempat persembahan oleh anak cucunya. Di sekitar tempat la’u itulah ditetapkan sebagai tempat pemukiman mereka, tepatnya di bukit Manheri. Selanjutnya, bukit itulah dikenal sebagai negeri asal Suku Oirata sebelum pindah ke dataran rendah sebelah utara (lihat lampiran foto-2 dan 3). Tidak lama setelah itu, mereka bersepakat untuk memberi nama pulau yang selama ini disebut Pulau Karang dengan nama Yotowa Uma ‘pulau kambing domba’ sesuai pesan terakhir orangtua yang mereka cintai. Akan tetapi, nama itu terus berubah. Ketika puak yang lain datang dan menetap di bukit bagian utara pulau ini, mereka memberi nama dengan Yotowawa-Daisuli. Yotowawa ‘banyak kambing domba’ dan Daisuli ‘bukit tinggi’ yang terletak di bagian utara pulau ini. Selanjutnya, setelah bangsa Belanda mendarat di sana, pulau itu bernama Kizar yang selanjutnya dilafalkan dengan Kisar sesuai nama pantai tempat Belanda mendarat untuk pertama kalinya.
4.2 Sosial Budaya Suku Oirata 4.2.1 Struktur Sosial Suku Oirata Negeri Manheri sebelum kedatangan bangsa Belanda merupakan sebuah negeri dengan kelompok masyarakat yang telah memiliki sistem pemerintahan tertentu yang relatif sederhana. Pada awalnya, struktur sosial masyarakatnya hanya terdiri atas lima kođo ‘mata rumah’ sebagai nama jabatan yang kemudian
50
dikenal dengan lima kursi dengan
fungsinya sesuai kedudukannya masing-
masing. Jabatan lima kođo tersebut terdiri atas 1) Sorlewen-Data nulu adalah jabatan yang terdiri dari lima keluarga laki-laki dan perempuan (Lewen maliAsamali) sebagai Ratu yang artinya ‘raja penguasa’ atau ‘tuan tanah terbesar’, 2) Le Lauwar(a) berkedudukan sebagai Tukang Ramal, 3) Le Soho (Kiklili-Warmau) berfungsi sebagai Tukang Hujan,
4) Le Asalono atau Lartai Tamindail(i)
berfungsi sebagai Tukang Kunci, dan 5) Le Resiara-Le Taluara) berfungsi sebagai Tukang Hujan lainnya. Dalam setiap pertemuan adat yang dilakukan masyarakat Oirata, kelima kođo itu selalu ditempatkan di depan. Tiga kursi diposisikan di depan bagian kanan, dua kursi lagi diposisikan di depan bagian kiri, dan posisi bagi rakyat biasa berada di bagian belakang balai pertemuan. Kedudukan lima kođo begitu penting, selain pertemuan adat dipimpin oleh Sarlewen, juga pertemuan tidak akan dimulai sebelum lima kođo itu lengkap hadir. Bahkan dapat terjadi, pertemuan akan batal manakala salah satu dari mereka tidak hadir. Pada zaman dahulu di Desa Oirata hanya dikenal ada dua strata sosial yang disebut marna, yaitu semacam kasta di Bali terdiri dari ratu dan atana yang sering disingkat ata atau atana. Ratu adalah ’penguasa’ atau ‘tuan tanah’ dan atana ‘budak’, ‘pesuruh’ atau ‘pembantu’. Sesungguhnya saat itu, strata sosial terjadi karena perbedaan tugas dan fungsi. Ratu adalah status orang yang dilayani yang berfungsi sebagai majikan dan atana merupakan pesuruh yang berfungsi memberikan pelayanan kepada majikannya.
51
Setelah bangsa Belanda menguasai pulau itu, strata sosial di Desa Oirata menjadi lebih kompleks. Marna atau strata sosial yang pada mulanya terdiri atas dua strata, kemudian berubah secara perlahan tapi pasti menjadi tiga strata. 1) Ratu merupakan status sosial tertinggi yang diberikan kepada penguasa atau tuan tanah di masa lalu dan sampai sekarang berlaku bagi keturunannya. 2) Rurin Kaka ‘saudara tua’ yaitu status sosial kedua yang diberikan kepada saudara Ratu sebagai Katkui Ratu ‘saudara empat dari ratu’ yang kawin dengan salah seorang dari saudaranya yang disebut Mumita sehingga status sosial yang bersangkutan diturunkan dan tidak lagi menjadi Ratu. Rurin Kaka juga diberikan kepada lakilaki keluarga ratu yang menikah dengan wanita keluarga bukan ratu, marnanya diturunkan satu tingkat dan status sosial ini terus berlaku bagi semua keturunannya sampai sekarang. 3) Rurin No’o-no’o ‘saudara kecil’ yaitu satatus sosial terendah di desa itu yang diberikan kepada setiap ata atau atana ‘pembantu’ atau ‘pesuruh’ dari marna yang lebih tinggi. Ketiga status sosial itu sampai saat ini masih berlaku dan saling mengakui dan menghargai satu sama lain. Seorang ata di masa lalu dari keluarga salah satu marna yang lebih tinggi dan sekarang sudah bukan lagi menjadi pembantu atau pesuruh karena keadaan ekonominya sudah menjadi lebih baik, maka yang bersangkutan masih tetap menghormati keluarga tersebut selaku strata sosial yang lebih tinggi. Selain itu, strata sosial juga berkembang lebih kompleks dengan terbentuknya klen yang terjadinya tidak diketahui secara pasti. Yang jelas sekarang di Desa Oirata terdapat klen atau kelompok kekerabatan yang berdasarkan atas keturunan unilinial yang dalam bahasa Oirata disebut pađa atau soa dalam bahasa di sekitarnya. Saat ini ada
52
tujuh pađa yang memiliki marna masing-masing, serta setiap marna terdiri dari beberapa kođo atau mata rumah. Berikut adalah strata sosial suku Oirata. Tabel 1: Strata Sosial Masyarakat Desa Oirata Timur Pađa (Soa)
1
2
3
4
Hano’o
Marna
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No’o-no’o
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No’o-no’o
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No-o-no’o
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No’o-no’o
Selewaku
Pamodo
Hunlori
Kođo (Mata Rumah) 1) Le Sorlewen-Le Tatanulu, 2) Le Soho-Le Radi, 3) Le Dursusu-Le Lapai, 4) Le Ka-Le Haisau, 5) Ira Uru-Wasairi, dan 6) Liulor-Wartana. 1) Waklono, 2) Kailono, 3) Seli, dan 4) Laipoporo. 1) Lewe Ta’ara, 2) Ilile, 3) Semele, 4) Ođokaharana, 5) Airete Ara, 6) Samoro, 7) Kasweir Lamau, 8) Hala Isahuna, 9) Haituktuku, 10) Uhuloutu, 11) Ruskou, 12) Tanate, 13) Tawanasin Arawai, dan 14) Ara Kasarana. 1) Mildai, 2) Resimere, 3) Tenloro, 4) La’u Wara, 5) Le Lapai, 6) Le Eka, 7) Etehi Tiara, 8) Le Ru-Le Mawau, dan 9) Utnariene Samalare. 1) Loira Asanapi dan 2) Sokolai Larnata. 1) Nanauru, 2) Warwara, 3) Maroko, 4) Dai Lorlu’un, 5) Kasaula, 6) Umamraka, dan 7) Nukoko Ara. 1) Lewe Dalu, 2) Ruiwono, 3) Wakurau, dan 4) Leu Tua. 1) Meleten 1) Wimaha, 2) Le Lapai, dan 3) Kowolara. 1) La’ule Iyanini, 2) La’ule Aranini, 3) Polunu Wakulere, 4) Surui, dan 5) Tarlekrau 1) Horwata, 2) Laimođo, dan 3) O’omlau. 1) Nelkai dan 2) Loso Lapai.
53
Tabel 2: Strata Sosial Masyarakat Desa Oirata Barat Pađa (Soa)
5
6
7
Marna
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No’o-no’o
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No’o-no’o
1
Ratu
2
Rurin Kaka
3
Rurin No-o-no’o
Auđoro
Ira Ara (Irara)
Asatupa
Kođo (Mata Rumah) 1) Le Siara-Le Taluara, 2) Paknana-Wernana, 3) Surwei Nakaleki, 4) Semelee, 5) Huhuyeni, 6) Kinihi Warmaha, dan 7) Ilwaru. 1) Sese Wo’oro, 2) Hayapuru, 3) Tailara, 4) Le Hunra, 5) Ođopenunu, 6) Ilwaru, dan 7) Samodo. 1)Montuhaini, 2) Hihirina, 3) Lolowere, dan 4) Winu. 1) Mutoto, 2) Totomese, 3) Sama, 4) Eyaha Watalamana, 5) Noruhun, 6) Le Ilwali, 7) Ilwali Mođo Đaili, 8) Ilwali Lapai, dan 9) Iklailono. 1) Uplana Tein 1) Le Tari-Le Lawara, 2) Momo Roulu, 3) La Asalono, 4) Asalono Iyanini 5) Asalono Aranini, dan 6) Rahili. 1) Kirkiri Ara, 2) Leku, 3) Kularu Nailaru, 4) No’ihi Ara (Nohiara), dan 5) Haya Ara (Hayara). 1) Kikleki, dan 2) Lori Mimiraka (Lorimraka).
Menurut keterangan salah seorang tokoh masyarakat desa, mantan Kepala Desa Oirata Timur 6 kali berturut-turut Bapak Ruben Ratu Hunlori didampingi istrinya Ibu Gestia Ratu Hunlori Ratu Mali, setelah Belanda mendarat di pulau itu sekitar awal tahun 1700-an dan desa itu takluk pada Belanda, Desa Oirata dipindahkan ke dataran sebelah utara tempat yang lebih strategis untuk berladang
54
dan dibagi menjadi dua, yakni Desa Oirata Warat(a) (barat) dan Desa Oirata Timur. Ketika Belanda mendarat, Ratu mengutus dua orang kepercayaannya untuk menemui Belanda. Kedua utusan Ratu tersebut menerima: 1) sorot lapai ‘buku besar’ yakni sebuah kitab suci umat Kristen yang berbahasa Belanda, 2) Ladara sair(i) (Ladara ‘Belanda’, sair(i) ‘bendera’ yaitu sehelai bendera Belanda berwarna merah-putih-biru, 3) lodon ‘tongkat’ berjumlah dua buah, sebuah berhulu emas dan satunya lagi berhulu tanduk kerbau, dan 4) dua buah batu prasasti bertuliskan N-VOC.
Sebelum kedua utusan Ratu menerima keempat
benda tersebut di atas kapal, mereka menyatakan takluk dan bersumpah setia kepada Belanda. Selanjutnya, kitab suci pemberian Belanda tersebut tidak ada seorang pun yang dapat membacanya karena berbahasa Belanda dan tersimpan bersama bendera Belanda di negeri Manheri sampai hancur dimakan rayap. Kedua prasasti bertuliskan N-VOC yang pada mulanya tersimpan juga di negeri Manheri konon hilang saat terjadinya konflik antara Suku Oirata dengan Suku Meher sekitar tahun 1886. Kedua lodon ‘tongkat’ sebagaimana telah diuraikan di atas bahkan menjadi lambang pemerintahan kedua Desa Oirata Barat dan Desa Oirata Timur sampai sekarang. Belakangan, kedua orang utusan Ratu yang bertugas menemui Belanda itu lebih dikenal dengan nama Horsair(i) ‘penerima bendera yang lebih muda’ dan Mutasair(i) ‘penerima bendera yang lebih tua’ dan selanjutnya keduanya menjadi pejabat di negeri itu. Selang beberapa lama, konon kedua pejabat itu bertikai sehingga harus membagi kedua desa itu menjadi Desa Oirata Warat(a) dan Desa Oirata Timur. Kedua desa itu dibatasi nunu lapai ‘pohon beringin besar’ yang tumbuh di tengah-tengah desa itu. Akibat begitu
55
hebatnya konflik yang terjadi di antara kedua desa itu, mereka sampai harus terjadi putus hubungan antara kedua desa itu. Bahkan, sampai lahir ketentuan dalam pernikahan tidak diperkenankan untuk salang ambil di antaranya. Pemuda dari Desa Oirata Warata tidak boleh menikahi wanita dari Desa Oirata Timur dan begitu juga sebaliknya. Kondisi ini berlangsung lama. Akan tetapi, sekarang kedua desa itu telah akur, ketentuan tidak boleh saling ambil tidak lagi berlaku, dan telah menjadi desa bertetangga yang harmonis.
4.2.2 Wilayah Pakai Bahasa Oirata Pemakai bahasa Or pada umumnya terpusat di dua desa, yaitu Desa Oirata Warata dan Desa Oirata Timur. Mereka sangat jarang merantau, lebih-lebih untuk menetap. Jikalaupun bepergian, mereka hanya untuk berjualan dan segera kembali ke desanya. Pemakai bahasa Or di Desa Oirata Warata relatif sedikit, hanya berjumlah 509 jiwa yang terdiri dari 248 orang laki-laki dan 261 orang wanita. Mereka menempati desa dengan luas wilayah ± 3,25 km2 dengan lahan perladangan seluas 45%, dan sisanya berupa lahan kering yang tidak produktif. Pemakai bahasa Or di Desa Oirata Timur berjumlah 1.049 jiwa yang terdiri dari 530 orang laki-laki dan 519 orang wanita. Mereka menempati wilayah seluas ± 5,26 km dengan lahan 40% untuk perladangan dan sisanya merupakan lahan kering dan hutan berbatuan. Meskipun jumlah pemakai bahasa Or ± 1.568 orang, tetapi mereka pada umumnya pemakai bahasa Or pasif yang tidak lagi dapat menggunakannya dengan intens dan berbicara secara adat. Komunikasi seharihari, mereka cenderung menggunakan bahasa Or
bercampur dengan bahasa
56
Indonesia atau bahasa Meher dan bahasa lain di sekitarnya. Pemakai bahasa Or secara adat tinggal beberapa orang saja, yakni pemakai berusia 65 tahun ke atas yang jumlahnya ± 7 orang saja dan beberapa di antaranya tidak dapat berkomunikasi karena kurang pendengaran. Sesungguhnya Suku Oirata memiliki adat yang cukup kuat, dan seharusnya kondisi ini dapat memicu bagi kebertahanan bahasa Or. Sebagai contoh, sebuah pernikahan dipandang resmi dan sah secara hukum mana kala telah dilakukan upacara pernikahan secara agama di gereja. Akan tetapi, meskipun secara hukum dianggap sah karena telah dilakukan upacara di gereja, mereka belum menganggap sah dan belum boleh bersatu dalam satu rumah sebelum sah secara adat. Artinya, mereka harus melakukan upacara pernikahan secara adat juga. Ketika upacara pernikahan secara adat dilakukan, harus disaksikan oleh seluruh warga adat dengan dihadiri kelima kursi yang ada dan dipimpin oleh ratu sesuai
pađa atau garis keturunan yang menikah. Jika yang menikah adalah
keturunan Hunlori, maka upacara pernikahan dipimpin oleh Ratu Hunlori. Dalam upacara pernikahan adat wajib menggunakan bahasa Adat Oirata. Meskipun setiap pemimpin upacara adat wajib menggunakan bahasa adat, fakta membuktikan bahwa tidak semua keluarga ratu menguasai bahasa adat. Mereka umumnya menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai juru bicara yang dianggap paling mampu menggunakan bahasa adat. Secara turun temurun setiap keluarga ratu tidak banyak bahkan hanya satu orang yang menguasai bahasa adat. Menjelang yang bersangkutan pensiun dari tugasnya, dia hanya berkewajiban mengajari salah seorang yang siap akan menggantikan fungsinya sebgai juru
57
bicara adat. Itulah terjadi secara turun temurun, seorang juru bicara adat hanya akan mengajari seorang dan tidak akan lebih dari itu sebagai penggantinya kelak. Kalaupun toh ada seseorang yang berminat mempelajari bahasa adat, belum tentu kelak direstui menjadi pembicara adat menggantikan pembicara adat sebelumnya. Padahal jika mau, tentu hal itu dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Oirata. Berdasarkan fakta di lapangan ada beberapa faktor yang mengambat kebertahanan dan perkembangan bahasa Or. Di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Suku eksklusif Suku Oirata termasuk suku yang eksklusif. Mereka cenderung tidak bersedia menyebarluaskan hal-hal yang hakiki menjadi milik sukunya untuk dikenal secara luas oleh masyarakat suku lain. Akan tetapi, mereka bukanlah termasuk suku yang tertutup. Mereka bahkan cenderung surfive terhadap anasiranasir dari luar. Jika bertemu dengan Suku Meher yang sesungguhnya sudah mereka kenal, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa Meher daripada menggunakan bahasa Or. Apalagi terhadap orang yang belum dikenal,
mereka lebih memilih menggunakan bahasa
Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Or sebagai alat komunikasi secara eksklusif hanya antarsesamanya. Sebagai contoh, jika mereka berbicara sesama Suku Oirata akan menyebut polisi sebagai ihar-laware. Maksudnya, ihar(a) ’anjing’ dan laware ‘hitam’. Akan tetapi, mereka akan menyebut polisi jika ternyata ada orang ketiga yang suku lain ada di situ. Oleh karena itu, bahasa Or tidak banyak dikenal oleh suku-suku lain di sekitarnya. Bahkan menurut
58
pandangan suku lainya, bahasa Or adalah bahasa mati. Pandangan itu tidaklah berlebihan karena fakta menunjukkan bahwa suku-suku lain sebenarnya telah lama mengenal Suku Oirata, tetapi mereka tidak paham dengan bahasa Or. 2) Suku yang termarginalkan Dalam konteks sosial kemasyarakatan di kecamatan Wonreli, peran Suku Oirata relatif lebih rendah dibandingkan Suku Meher dan Suku Romang dalam pemerintahan. Selain jumlah desa dan penduduk Suku Oirata jauh lebih kecil dibandingkan Suku Meher di pulau itu dan Suku Romang di pulau lain dalam kecamatan itu juga partisipasi masyarakatnya kurang tampak dominan. Tokoh masyarakat yang lebih berperan dalam pembangunan di daerah itu cenderung lebih menonjol dari tokoh-tokoh Suku Meher dibandingkan Suku Oirata. Dominasi Suku Meher memang sangat menonjol. Hal itu diperkuat dengan fakta bahwa nama-nama tempat penting di daerah itu lebih memilih menggunakan bahasa Meher dibandingkan bahasa Or, seperti Pantai Kihar, Pantai Nama, Pantai Jawalang, Bukit Daisuli dan sebagainya. Bahkan untuk nama Desa Oirata atau Suku Oirata itu sendiri diberikan oleh Suku Meher. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa Suku Oirata adalah tergolong suku yang termarginalkan di wilayah itu. 3) Pengaruh bahasa Indonesia Faktor yang juga turut berpengaruh terhadap melemahnya pertumbuhan bahasa Oirata adalah adanya pengaruh bahasa Indonesia. Pemerintah termasuk berhasil dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia di Desa Oirata. Selain karena karekter Suku Oirata yang eksklusif juga karena pendatang menganggap bahasa
59
Or adalah bahasa yang sulit dipahami, maka para pemangku seperti camat, penyuluh pertanian, petugas KB, penggerak PKK terpaksa harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan masyarakat desa. Meskipun pada awalnya harus dipandu oleh penerjemah, lama-kelamaan masyarakat menjadi terbiasa dan familier berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. 4) Besarnya pengaruh Agama Kristen Faktor penting lainnya yang memberi andil besar terhadap ketidaksuburan pertumbuhan bahasa Or adalah peran bahasa agama. Aktivitas keagamaan di Desa Oirata begitu dominan. Gereja Imanuel yang ada di Desa Oirata merupakan pusat aktivitas keagamaan, pusat informasi, dan pusat perubahan bagi masyarakat desa. Pastor merupakan tokoh panutan yang sangat disegani oleh masyarakat desa. Selain kegiatan keagamaan dilaksanakan pada setiap hari Minggu dan hari penting lainnya yang dilaksanakan di Gereja Imanuel, juga dilakukan di rumah-rumah setiap hari Jumat dalam bentuk kebaktian. Sebagai pusat informasi, gereja memberi tanda-tanda tertentu untuk peristiwa tertentu. Misalnya, bunyi lonceng 1 kali panjang (lama) petanda ada warga yang meninggal, 2 kali pendek (jeda) petanda ada warga yang melahirkan, 1 kali pendek (terus-menerus): 3 x toki petanda ibadah di gereja setiap hari Minggu, dan 1x toki petanda ibadah kebaktian di setiap rumah warga. Sebagai pusat perubahan, gereja melalui Pastor memberi pencerahan kepada masyarakat yang dilakukan setiap selesai ibadah. Misalnya pentingnya MCK dalam setiap rumah, kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa yang sifatnya urgen untuk diketahui oleh warga. Untuk itu, para pastor dan tokoh agama berkomunikasi dengan masyarakat desa
60
menggunakan bahasa Indonesia, demikian juga Kitab Suci dan buku-buku sumber lainnya juga berbahasa Indonesia. Berdasarkan fakta yang terjadi, fenomena sosial kemasyarakatan, sikap eksklusivisme, dan rendahnya peran pemakai bahasa dalam pemerintahan sebagaimana tergambar dalam masyarakat Pulau Kisar dapat memberi andil besar bagi ketidakbertahanan bahasa Or di pulau itu. Jumlah pemakai bahasa Or khususnya sebagai bahasa adat selama ini terjadi stagnasi. Dari waktu ke waktu, jumlahnya semakin menurun dan tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk Suku Oirata. Kondisi menurunnya jumlah pemakai bahasa Or ini cukup memprihatinkan. Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan memberi peluang bagi punahnya bahasa itu. Padahal, bahasa Or merupakan salah satu dari sejumlah bahasa daerah yang ada sekaligus menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang patut dipertahankan keberadaanya.
4.2.3 Letak Desa Oirata di Pulau Kisar Desa Oirata terletak di Pulau Kisar dan merupakan dua desa dari sembilan desa yang ada di Pulau Kisar. Pulau Kisar merupakan pulau kecil yang jauh terpencil dari gugusan kepulauan Maluku yang pernah dijuluki “Provinsi Seribu Pulau”. Pulau ini tepatnya berada di wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan ini terdiri atas dua pulau, yakni Pulau Kisar dan Pulau Romang. Pulau Kisar merupakan pusat pemerintahan
Kecamatan Pulau-Pulau
Terselatan dengan ibu kota Wonreli. Kata Wonreli berasal dari bahasa Meher,
61
yaitu kata wo’or dan ili (wo’or-ili). Wo’or artinya ‘gunung’ atau ‘bukit’ dan ili artinya ‘negeri’ atau ‘desa’. Jadi, wo’or-ili berarti ‘negeri di kaki bukit’ yang sekarang popular menjadi Wonreli. Desa ini dipilih oleh Belanda sebagai pusat pemerintahan di Pulau Kisar. Letaknya lebih kurang satu kilometer dari Pantai Nama. Pantai Nama merupakan pantai tempat berlabuhnya Belanda yang kedua setelah Pantai Kihar. Pantai Nama diambil dari bahasa Meher dengan nama lengkap here namayulu. Here ‘pantai’, namayulu ‘kepala’ atau ‘hulu dari daratan sebagai pertemuan antara daratan dengan lautan’. Sekarang pantai itu sering disingkat penyebutannya dengan Pantai Nama. Di Pantai Nama, Belanda membangun dermaga kecil sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal yang singgah di pulau itu. Pantai Nama merupakan salah satu pintu masuk yang berada di sebelah barat Pulau Kisar dan kapal-kapal hanya dapat berlabuh pada musim angin timur. Pintu masuk sebagai alternatif kedua ke Pulau Kisar adalah Pantai Jawalang yang letaknya di bagian timur pulau itu dan hanya terjadi pada musim angin barat. Kapal-kapal yang berlabuh di pantai ini terpaksa mengapung di tengah laut karena tidak ada dermaga di pantai ini. Para penumpang terpaksa harus dianggkut dengan menggunakan perahu kecil atau sampan yang merapat di lambung kapal. Jadi, ada dua pintu masuk ke Pulau Kisar, yakni Pantai Nama dan Pantai Jawalang. Pada musim angin barat yaitu sekitar bulan November-April,
kapal-kapal berlabuh di Pantai Jawalang karena
di bagian barat angin sangat kencang dan kapal-kapal hanya bisa berlabuh di pantai sebelah timur. Sebaliknya, pada musim angin timur yakni pada bulan Mei-
62
Oktober, pintu masuk melalui Pantai Nama karena di pantai sebelah timur angin besar dan kapal-kapal hanya bisa berlabuh di sebelah barat. Sebagaimana telah disinggung sepintas di atas, bahwa Pulau Kisar terdiri atas sembilan desa, yaitu 1) Wonreli, 2) Lekloor, 3) Kota Lama, 4) Abusur, 5) Oirata Barat, 6) Oirata Timur, 7) Lebelau, 8) Purpura, dan 9) Nomaha. Luas wilayah Pulau Kisar seluruhnya adalah 117,07 km2 termasuk Desa Oirata Barat seluas 3,25 km2 dan Desa Oirata Timur seluas 5,26 km2. Wilayah tersebut dihubungkan dengn jalan raya sepanjang 143 km yang terdiri dari jalan beraspal sepanjang 53 km, jalan dengan kondisi pasir-batu (sirtu) sepanjang 25 km, dan jalan dengan kondisi masih tanah sepanjang 65 km. Jumlah penduduk Pulau Kisar sebanyak 12.151 jiwa dengan rincian sebagai berikut. Tabel 3: Jumlah Penduduk Pulau Kisar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Wonreli Lekloor Kota Lama Abusur Oirata Barat * Oirata Timur * Lebelau Purpura Nomaha Jumlah
Laki-Laki Perempuan 2.670 2.942 490 461 236 218 286 308 248 261 530 519 958 987 164 181 340 352 5.922 6.229
Jumlah 5.612 951 454 594 509 1.049 1.945 345 692 12.151
Sumber: Data Sespen Pulau Kisar tahun 2007
Pulau Kisar terletak sekitar 8,1º - 8,6º (LS) dan 127,5º - 127,7º (BT). Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut (Peta terlampir). Sebelah utara
: Pulau Romang (Selat Romang)
Sebelah timur
: Kecamatan PP- Lemola (Selat Letti)
63
Sebelah selatan
: Timor Leste (Selat Timor)
Sebelah barat
: Pulau Wetar (Selat Watar).
Nama Pulau Kisar sangat berkaitan dengan kehadiran Belanda di pulau itu.
Ketika kapal Belanda berlabuh di pulau itu dan disambut utusan Ratu
bernama Horsair(i) dan Mutasar(i), kapten kapal yang belakangan dikenal dengan nama Jean de Kleyn bertanya tentang nama pulau itu sambil menunjuk dengan tongkatnya ke arah pantai tempat mereka berlabuh. Kedua utusan itu saling pandang karena tidak mengerti bahasa Belanda, dan mengira kalau kapten kapal bertanya tentang nama pantai itu, lalu keduanya menyebut Kihar(a) … Kihar(a) beberapa kali dengan ucapan vokal di akhir yang lemah. Kapten kapal lalu mencatatnya pada buku hariannya dengan nama Kizar dan selanjutnya dalam dokumen-dokumen Belanda pulau itu diberi nama Kizar, kemudia lama-lama nama pulau itu lebih dikenal dengan nama Kisar sampai sekarang. Menurut versi orang Meher, kata kisar berasal dari nama pantai ‘Kisar’ yang terletak di bagian selatan pulau itu. Tempat itu sebenarnya tidak terlalu luas, tetapi memang terkenal karena berpasir putih dan sering dikunjungi oleh para penduduk pulau itu. Orangorang yang ada di pulau itu sangat familier dengan pantai itu. Suku Oirata menyebut tempat itu dengan kihar karena bunyi /s/ dalam bahasa Meher beralternasi dengan bunyi /h/ dalam bahasa Or. Tampaknya Suku Meher memperkenalkannya secara luas karena memang secara sosiologi masyarakat Meher lebih domiminan dibandingkan masyarakat Suku Oirata di Pulau Kisar sehingga terjadilah pulau itu lebih dikenal dengan sebutan Pulau Kisar sampai sekarang.
64
4.2.4 Musim Masyarakat di Pulau Kisar biasa menyebutnya ada tiga musim, yaitu Warathe ‘musim Barat’, Timurhe ‘musim Timur, dan misihe ‘musim tanam’. Sebenarnya masih ada musim panas atau kemarau, tetapi mereka sudah terbiasa dengan cuaca panas dan daerah kering sehingga cuaca atau musim itu tidak lagi dianggap penting dan tidak pernah disebut-sebut. Sebaliknya, musim yang dianggap penting adalah musim Angin Timur dan musim Angin Barat. Penamaan musim tersebut menunjukkan arah berhembusnya angin menuju daratan dan sekaligus memberi pengaruh luas terhadap penduduk pulau itu. Berikut ini digambarkan selintas dari musim yang ada di Pulau Kisar.
4.2.4.1 Musim timur (kimurhe) Kimurhe ‘musim timur’ berarti angin berembus dari arah timur. Musim ini terjadi antara bulan Mei sampai bulan November setiap tahunnya. Pada musim ini, gelombang laut di sebelah timur pulau menjadi lebih besar dari biasanya. Semua bentuk aktivitas masyarakat berpindah ke pantai bagian barat pulau, yaitu di Namsere (Namasere) ‘pantai Nama’. Kapal- kapal yang menuju atau singgah di pulau itu akan berlabuh di dermaga pantai Nama. Pada musim ini, pantai Nama menjadi pusat kegiatan. Semua perahu nelayan dan perahu transportasi berpindah ke pantai ini. Para nelayan dan para pencari ikan laut dangkal beraktivitas mencari ikan di laut sebelah barat pulau. Keistimewaan lain dari kimurhe ‘musim timur’ ini adalah musim yang paling ditunggu-tunggu oleh para penduduk pulau untuk
65
bepergian ke luar daerah. Alasan mereka menunggu kimurhe karena pada musim ini cuacanya lebih cerah, air laut lebih tenang dan alasan lainnya di pantai Nama terdapat dermaga tempat berlabuhnya kapal-kapal Perintis, sedangkan di pantai sebelah timur tidak terdapat fasilitas itu. Mereka menganggap lebih nyaman berlayar atau bepergian pada musim ini. Jadi, kimurhe diistilahkan sebagai musim bepergian penduduk Pulau Kisar. Bagi masyarakat pulau itu, bepergian jauh keluar pulau merupakan waktu yang ditunggu-tunggu karena kapal Perintis hanya singgah di pulau itu dalam waktu 21 hari sekali. Artinya, jika mereka bepergian ke Ambon, Tual, Kupang, atau daerah lainnya menggunakan kapal Perintis, maka mereka akan kembali ke pulau itu paling cepat dalam jangka waktu 21 hari kemudian.
4.2.4.2 Musim barat (warathe) Warathe ‘musim barat’ berarti angin berhembus dari arah barat yang terjadi pada bulan Desember sampai bulan April setiap tahunnya. Pada musim tersebut berhembus angin kencang disertai gelombang laut lebih besar dari biasanya. Karena di bagian barat pulau itu terjadi gelombang laut yang disertai angin kencang, maka aktivitas masyarakat berpindah ke Yawalasere ‘pantai Jawalang’ yang terletak di sebelah timur pulau itu. Semua perahu dipindahkan ke pantai sebelah timur, para nelayan mencari ikan juga di sebelah timur pulau. Kapal-kapal perintis juga berlabuh di pantai Jawalang ini. Karena di pantai Jawalang tidak ada dermaga, maka kapal-kapal membuang jangkar di tengah laut. Para penumpang menuju pantai atau ke kapal harus diangkut memakai jasa
66
perahu-perahu kecil. Begitu juga para pedagang menjajakan dagangannya di atas perahu-perahu yang tergoyang diterpa gelombang air laut. Meskipun musim barat ini gelombangnya besar dan rawan akan musibah, ada saja masyarakat bepergian karena berbagai kepentingan meskipun tidak seramai ketika musim timur. Pada musim barat ini selain gelombang besar dan angin kencang, biasanya mendung datang dari arah barat dan membawa hujan. Ciri umum musim barat ini adalah aktivitas masyarakat di laut berkurang sebagai konsekuensi logis dari angin dan gelombang besar. Turun hujan sering terjadi dan aktivitas masyarakat cenderung lebih banyak beralih dan terpusat di daratan. Karena sering turun hujan, aktivitas masyarakat adalah bercocok tanam. Inilah ciri lain dari musim barat ini yaitu terjadinya misihe ‘musim tanam’.
4.2.4.3 Musim tanam (mishe) Musim tanam, masyarakat Suku Oirata menyebutnya dengan mishe atau misihe (misi artinya ‘tanam’ dan he bermakna ‘musim’). Mishe ini terjadi pada musim hujan (aya uta). Aya ‘hujan’ dan uta turun (aya uta ‘turun hujan’), tetapi masyarakat di sana umumnya menyebut mishe ‘musim tanam’ bukan musim hujan. Dalam hal ini masyarakat di sana lebih cenderung
menamakannya
berdasarkan aktivitas yang mereka lakukan, bukan berdasarkan keadaan cuaca seperti pada kimurhe dan warathe. Bapak Yosep Kamanasa, salah seorang kepala Sekolah Dasar yang juga adalah tokoh masyarakat Suku Oirata memberi alasan bahwa ketika musim hujan di daerah itu curah hujannya tidak setinggi ketika musim hujan di daerah lain di Indonesia. Jadi, musim hujan tidak terlalu penting
67
dibandingkan aktivitas bercocok tanam yang mereka lakukan. Atas dasar itu, masyarakat di daerah itu menamakan musim itu dengan mishe. Mishe ‘musim tanam’ terjadi dua kali di daerah itu. Musim tanam yang pertama terjadi antara bulan Desember sampai Februari, bulan Maret terjadi masa tenggang, dan musim tanam kedua terjadi antara bulan April sampai bulan Juni. Meskipun musim tanam terjadi mulai bulan Desember, para petani mulai sibuk bekerja di ladang sekitar bulan November. Pada bulan itu, mereka menyiapkan winu ‘bibit’ dan membersihkan lahan. Untuk membersihkan lahan, dahulu mereka menggunakan dua cara. Pertama, ladang dibersihkan dengan cara halauhele. Istilah ini berasal dari kata hala ‘ladang’ dan uhele ‘mencabut’. Jadi, halauhele diartikan membersihkan ladang dengan cara mencabut semua usa ‘rumput’ yang ada. Alat cabut yang digunakan adalah ika yang terbuat dari bahan besi yang dibengkokkan. Kedua, ladang dibersihkan dengan cara halasahi (hala ‘ladang’ dan sahi ‘babat’). Istilah ini dimaksudkan adalah membersihkan ladang dengan cara membabat seluruh usa ‘rumput’ yang ada di sekitar ladang yang akan ditanami. Sekarang para petani menyiapkan lahannya kebanyakan menggunakan halatara (hala ‘ladang’ dan tara ‘cangkul’) yaitu membersihkan ladang dengan cara mencangkul seluruh lahan yang akan ditanami. Aktivitas menyiapkan ladang ini dilakukan setelah ada tanda-tanda akan mulai turun hujan. Tanda-tanda yang dipakai acuan oleh para petani adalah asasa (asa ‘daun’ dan sasa ‘berguguran’), umayamoi ‘awan’ mulai naik, muisara lawara ‘semut hitam’ mulai turun dari etelolon ‘batang-batang pohon ke uma ‘tanah’, tak lama kemudian turle’e ‘tunas’
68
tumbuh kembali, dan warathe ‘musim barat’ tiba, maka misihe pun akan segera tiba pula.
4.2.5 Mata pencaharian Mata pencaharian masyarakat Desa Oirata pada umumnya berladang, nelayan, tuapai, bertenun, dan menganyam. Berikut ini diuraikan secara singkat masing-masing jenis mata pencaharian penduduk Suku Oirata.
4.2.5.1 Berladang (halampai) Pekerjaan utama para namirai (namrai) ‘laki-laki’ adalah berladang (halampai). Kata hala berarti ‘ladang’ atau ‘kebun’ dan pai artinya ‘bekerja’. Jadi, halapai atau sering diucapkan halampai berarti ‘bekerja ladang’ atau ‘berladang’. Masyarakat Suku Oirata menyebut “halampai” yang diartikan ‘berladang’ atau ‘berkebun’ bukan ‘bertani’ karena semua lahan dalam bentuk perladangan yang hanya dapat ditanami pada waktu turun hujan (lahan tadah hujan). Wilayah itu termasuk daerah kering, bahkan di seluruh daratan pulau itu tidak ada lahan persawahan, tidak ada sungai yang airnya dapat mengalir sepanjang tahun. Sumber airnya hanyalah sumur yang umumnya dalam. Jenis tanaman dibedakan atas tanaman bermusim dan tanaman tahunan. Tanaman bermusim yaitu tanaman yang umurnya pendek yang bisa ditanam sampai dua kali dalam setahun dan setiap tahunnya secara terus menerus dapat ditanam kembali. Tanaman tahunan yaitu jenis tanaman yang umurnya mencapai puluhan tahun dan berbuah secara pereodik.
69
Jenis tanaman tahunan terdiri atas sahuraki ‘jeruk’, haya ‘mangga’, wata ‘kelapa’, mü ‘pisang’, etemana-mana ‘serikaya’ (Anona squamosa), airete ‘asam’ (Tamarrindus indica),
kösa ‘kesambi’ (Schleichera oleosa), dan ikliwene
‘siwalan’ (Borassus flebelliber). Tanaman bermusim yang utama bagi penduduk masyarakat Suku Oirata adalah đele ‘jagung’ dan tataunu ‘kacang-kacangan’ karena kedua jenis tanaman tersebut merupakan bahan makanan pokok Suku Oirata selain wađana ‘ketela’, lei ‘labu’ dan taunu ‘kacang tanah’. Cara bercocok tanam yang paling menarik dari jenis tanaman bermusim ini adalah cara menanam đele ‘jagung’ dan tataunu ‘kacang-kacangan’ digabung dalam satu lobang. Setelah lahan bersih dari berbagai jenis usa ‘rumput’, para namrai ‘laki-laki’ melakukan hala tu’e ‘menugal’ menggunakan alat tuika ‘tugal yang terbuat dari kayu yang dilancipkan ujungnya’ dengan jarak lakanauni ‘satu langkah’ ke depan, ke kanan, dan kiri. Para tuhurai ‘istri’ membantu mengisi masing-masing tuika narun ‘lobang tugal’ dengan đelewinu ‘bibit jagung’ empat biji dan taun hititi ‘kacang panjang putih’ atau taun tapmoto ‘kacang panjang hitam’ dua biji (satu lobang berisi empat biji jagung dan dua biji kacang). Setelah tiga hari berselang akan muncul putruku ‘tunas muda’ dan selama beberapa hari harus dijaga dari gangguan asa ‘ayam atau burung’. Kira-kira tanaman sudah setinggi lutut orang dewasa, dilakukan hula huile ‘membersihkan lahan’ dari usa kinkini ‘rumput kecil’ atau usatila-tila ‘rumput rambat’ sembari horon kaure ‘menimbun pangkal jagung’ dengan ika. Pada umur ± 40 hari đele ihi ‘jagung berbunga’ disertai keluarnya đele pupula ‘rambut jagung berwarna merah’ pada batangnya. Setengah bulan kemudian đelekorono ‘jagung muda’
70
dapat dipetik untuk dimakan dalam bentuk đelekoron huye ‘jagung rebus’, đelekoron isa ‘jagung bakar’, dimasak bersama-sama dengan kacang. Dalam waktu bersamaan kacang panjang juga berbuah taunkorono ‘kacang muda’ siap untuk dipetik. Para penduduk memasak jagung dan kacang panjang bersama-sama dalam satu belanga. Cara memasaknya adalah sebagai berikut. Đelakoron karare ‘kupas jagung muda’ dan tu’u ‘dipipil’ begitu juga taunkorono karare ‘kupas kacang panjang muda’ bersama-sama dimasukkan wase ‘campur’ ke dalam hu ‘belanga’ dan diaduk-aduk. Setelah campuran setengah matang lalu dimasukkan lei ‘labu’ yang sebelumnya dikupas dan dipotong-potong kecil sambil terus diaduk sampai jadi bubur padat sebagai ciri masakan itu telah matang dan siap dimakan. Mereka menyebut makanan itu dengan istilah đelekoron međen ‘makanan jagung muda’. Pada umumnya mereka makan selagi panas dituang ke dalam đau ‘piring’ diisi asiri ‘garam’ dan urika ‘cabe’ dan dimakan bersama-sama dengan wađan međen ‘makanan ketela’ yang direbus atau dibakar. Itulah makanan pokok mereka yang diolah dengan cara yang sama baik untuk jagung muda maupun jagung tua. Bedanya, kalau jagung tua harus dolah terlebih dahulu. Cara menyimpan dan mengolah jagung agar dapat disimpan dalam waktu lama adalah sebagai berikut. Setelah jagung tua dipetik dari pohonnya, đele wađe ‘jagung dijemur’ samapi reple ‘kering’. Đela tu’u ‘jagung dipipil’ dan đele kohon ‘tombongnya’ dibuang atau dipakai pengganti kayu bakar. Đela tapu ‘biji jagung’ dijemur kembali agar lebih kering dan disimpan dalam yehunlapai ‘bakul besar’ yang terbuat dari inan ‘anyaman’ daun rontal. Sebelum disimpan, jagung
71
dicampur dengan ilhua ‘abu tahi kerbau’. Ilhua diolah dengan cara mengeringkan tahi kerbau dan membakarnya sampai menjadi abu. Tujuan mencampur ilhua agar jagung tahan lama dan tidak dimakan đeleamin
‘kutu jagung’. Sebelum
digunakan atau dimasak, jagung harus dibersihkan dan đele tutua ‘ditumbuk’ menggunakan warahalapai ‘batu besar’ sebagai lumpang dan warahamođo ‘batu kecil’ sebagai alutu ‘alunya’. Begitulah kegiatan para tupurai ‘istri’ atau wanita setiap hari đele tutua ‘menumbuk jagung’ pagi-pagi menjelang memasak.
4.2.5.2 Nelayan (metipai) Para nelayan pada umumnya menangkap ikan di laut dangkal atau di laut dalam yang biasa mereka sebut sebagai meti ‘tempat mencari ikan di laut’. Metipai berasal dari kata meti dan pai ‘bekerja’. Jadi, metipai artinya ‘bekerja mencari ikan’ atau ‘nelayan’. Untuk menangkap ikan di laut dalam, para nelayan dapat melakukannya dengan cara ailume ‘memancing’. Alat yang mereka gunakan di antaranya losu ‘perahu’, lekro ‘alat timba air di perahu’, weiya ‘dayung’, loho ‘tempat duduk perahu’, päntaro ‘nilon kecil/tasi’, ailesu ‘mata kail’, päna ‘umpan’, seđuwaraha ‘batu pemberat’, dan hokolou ‘bungkus tempat batu pemberat’. Ikan (ahi) yang digemari oleh para nelayan untuk dicari di laut dalam (ikan laut dalam) antara lain: 1) haiyahi ‘ikan babi’ (hai ‘babi’ dan ahi ‘ikan’),
2) lira ‘gala-gala’ atau liraruri ‘gala-gala besar’, 3) kamata ‘hiu’.
Khusus ikan kamata, para nelayan umumnya lebih mementingkan sirip atau ekornya karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan dagingnya.
72
Alat yang digunakan untuk menangkap ikan laut dangkal adalah đari ‘jaring’. Jenis đari yang biasa digunakan adalah sebagai berikut. 1) Jaring taltaliđari untuk menangkap ikan momoro atau taltali ahi, lolo atau ikan lalusi merah-merah kecil, dan erenahi ‘ikan gora’. 2) Jaring leurđari untuk menangkap leuru ‘ikan terbang’ dan ususrui ‘ikan mulut panjang’. 3) Jaring ređiđari ‘jaring lingkar’ digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang khusus berada di sekitar bebatuan. 4) Jaring metititlanađari digunakan untuk menangkap ikan-ikan pada air surut, seperti ikan kupu-kupu. 5) Jaring đala ‘jala’ yang digunakan untuk menangkap ahi mođo-mođora ‘ikan kecil-kecil’. Para nelayan yang mencari ikan di laut dangkal dapat menggunakan alat lainnya, yaitu hü ‘bubu’. Alat tersebut terbuat dari bambu yang berbentuk keranjang dengan mulut atau moncong yang mengecil ke dalam sehingga ikan sulit keluar jika telah berada di dalam keranjang. Para nelayan memasang hü dengan cara mengikatkannya di batu pada kedalaman satu sampai dua meter di bawah permukaan laut. Setelah alat tersebut dipasang, para nelayan akan mengangkatnya tiga atau empat hari kemudian. Ikan yang menjadi sasaran dengan alat hü adalah yalau-lawara atau ikan gotana dalam bahasa Ambon, lolo atau ikan lolusi dalam bahasa Ambon, māsa atau ikan kakatua dalam bahasa Ambon, dan sisa atau ikan salmaneti dalam bahasa Ambon. Hasil tangkapan ikan umumnya dijual oleh para isteri mereka di pasar atau dijajakan berkeliling kampung dari
73
rumah ke rumah. Selain itu, sering juga dilakukan dengan sistem barter atau tukar-menukar dengan bahan makanan lainnya. Sering terjadi, ketika mendarat di pantai telah banyak pembeli menunggunya dan bisa jadi ikannya habis terjual. Jika tidak laku terjual, mereka bawa pulang untuk dimasak atau dibagi-bagikan kepada tetangganya.
4.2.5.3 Tuapai Mata pencaharian yang juga menjadi aktivitas pokok penduduk Suku Oirata adalah tuapai ‘membuat tuak’. Tuapai merupakan pekerjaan popular bagi masyarakat di sana karena sebagian besar para namrai mengerjakan tuapai. Bahkan para namrai yang pekerjaannya sebagai tuapai dijuluki sebagai tuapain ‘pekerja tuak’. Pohon sumber yang dipakai untuk membuat tuak adalah pohon lontar (tumbuhan palem) dan pohon kelapa. Setiap tuapain paling sedikit memiliki 10 pohon tuapai. Pada umumnya, mereka membuat tuak dengan beberapa tahapan. Pertama, para tuapain berkeliling mencari, memilih, dan menandai pohon yang memiliki tua urana ‘mayang’ yang baik dan layak untuk dikerjakan. Kedua, para tuapain membuat toi ‘tempat kaki untuk memanjat’ terbuat dari apatula ete ‘bambu ampel’ yang sebagian rantingnya dipotong dan pangkalnya disisakan sebagai tempat kaki serta diikat pada batang pohon lontar. Sebagai pilihan, para tuapain dapat menyiapkan müstaru ‘tali panjat’ (müse ‘panjat’ dan taru ‘tali) jika tidak ada ete yang layak. Ketiga, para tuapain melakukan tua urana wāre ‘membersihkan mayang’ (tua urana ‘mayang’ dan wāre ‘bersih’) dengan membuang bagian yang bengkok. Keempat, para tuapain
74
mengerjakan tua urana katamu ‘menghimpit-himpit mayang dengan katala’ alat terbuat dari belahan punggung bambu setiap dua hari sekali selama tiga kali. Kelima, pada hari keenam para tuapain mengikat tua urana wolore ‘menyatukan mayang’ dan mulai arupamu ‘diiris’ (2x sehari) pagi dan sore dengan menggunakan tua ululu. Keenam, dua hari kemudian tua ira ‘air tuak’ keluar dan mulai ayare ‘ditadah’ menggunakan tuatiha ‘timba’ terbuat dari daun rontal. Tua ira diambil setiap pagi dan sore sembari mengganti tuatiha. Tua ira pada umumnya dipakai sebagai bahan tua araka ‘arak’ atau lebih dikenal dengan nama sofi ‘minuman keras’ yang sangat populer dan khas daerah itu bahkan laris dijual sampai ke Ambon, Tual, Kupang, dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Tua ira juga dapat dipakai sebagai bahan kula tua ‘gula merah’ dan kula ira ‘air gula’. Proses pembuatan kula tua dan kula ira menempuh tahapan sebagai berikut. Pertama, tuapain menyiapkan kosawele ‘kulit kusambi’ (kosa ‘kusambi’ dan wele ‘kulit’) baik dengan dikeringkan atau begitu diambil langsung digunakan dalam keadaan basah lalu dituangkan ke dalam tuatiha dan siap digunakan untuk menadah tua ira. Kedua, tuapain melakukan arupamu sepagi mungkin na’u nonohe ( na’u ‘sangat’ dan none ‘pagi’, nonohe ‘pagi-pagi’) agar tua ira tidak terburu tua dan asam. Tua ira diturunkan dua kali sehari pada dini hari dan sore. Ketiga, Setiap pagi dan sore tua ira dimasak dengan mumina kawali ‘kuali besi’ sampai mendidih dan terus diaduk dengan waliri ‘alat aduk’ dilakukan dengan wei’i ‘memutar’. Keempat, jika ingin membuat kula ira maka tua ira dimasak hanya sampai mendidih atau sedikit mengental lalu disimpan dan siap digunakan
75
untuk kepentingan sehari-hari sebagai pengganti gula pasir. Akan tetapi, kalau untuk membuat kula tua, tua ira harus dimasak sampai ambue’e ‘kental’ lalu dituangkan ke dalam takaran kula toto kuru ‘tempurung kelapa’. Untuk mengetahui tua ira benar-benar ambue’e harus diuji dengan mengangkat waliri. Jika jatuhnya ruhu-ruhu ‘pelan-pelan’ atau ipipa ‘jatuhnya tidak terputus-putus’ maka tua ira telah dianggap ambue’e. Kelima, adonan didinginkan sampai reple ‘mengeras’ dan dilepas dari takarannya.
Kula tua dikumpulkan dan siap dijual
pada hari pasaran setiap harsalasa ‘hari Selasa, harkamisi ‘hari Kamis’, dan harsaputu ‘hari Sabtu’. Tua ira sebagai bahan dasar sofi berbeda proses pembuatannya dengan tua ira sebagai bahan kulatua atau kula ira. Jika tua ira untuk tujuan membuat sofi, maka tuatiha tidak diisi campuran bahan lain. Proses pembuatan sofi dilakukan dua kali sehari pada siang dan malam hari setelah menurunkan tua ira. Jika para tuapain menurunkan tua ira pada pagi hari, maka proses pembuatannya dilakukn pada siang hari. Akan tetapi, kalau para tuapain menurunkan tua ira pada sore hari, maka proses pembuatan sofi dilakukan pada malam hari. Setelah para tuapain memanjat dari pohon ke pohon, tua ira ditampung dalam hu lapai ‘belanga besar’ yang terbuat dari besi atau aluminium (yang penting tidak terbuat dari tanah untuk mengurangi penyerapan dari bahan itu). Setelah tua ira ditampung dilakukan proses penyulingan dengan cara memanaskan. Hu lapai yang penuh berisi tua ira ditutup rapat dengan hu mođo ‘belanga kecil’dan dilem menggunakan itlewen ‘buah siwalan’ dan ditaruh di atas lapuru ‘dapur atau tungku’ yang telah dipanasi dengan bara. Pada bagian hu mođo dibuat hu mođo
76
uru ‘lubang penutup’ dan dimasukkan ene ‘bambu wuluh’ sepanjang rēplime ‘lima depa’ (rēpe ‘depa’ dan lime ‘lima’)
yang telah dilubangi pada setiap
bukunya menggunakan aharapāna ‘alat lubang buku’ sebagai tempat saluran uap yang disebut tua araka atau sosfi. Sofi ditadah menggunakan oplese ‘stoples’ yang isinya ± 2,5 potole ‘botol’. Setiap hu lapai hanya menghasilkan oplese uani ‘satu stoples’ dengan menghabiskan waktu ± 2,5 jam. Demikianlah proses pembuatan tua araka atau sofi pada siang dan malam hari yang selanjutnya ditampung sampai cukup untuk dipasarkan ke luar pulau. Ciri-ciri sofi yang berkualitas baik adalah berwarna bening, tidak berbau, jika diminum terasa panas di lidah. Untuk membuat sofi lebih berkualitas, mereka memendamnya dalam tanah di bawah tempat tidur hingga beberapa bulan atau tahun lamanya. Makin lama sofi dipendam, maka kualitasnya akan semakin tinggi. Kualitas sofi juga mencirikan martabat keluarga karena sofi merupakan
bahan suguhan terhadap tamu
terhormat. Jika keluarga mampu memberikan suguhan sofi berkualitas tinggi kepada tamu terhormatnya, maka keluarga tersebut semakin bermartabat atau terpandanglah di mata masyarakat.
4.2.5.4 Bertenun (laumpai) wanita Laumpai ‘bertenun’ merupakan salah satu aktivitas para tuhurai ‘wanita’ atau para ‘ibu’ rumah tangga pada umumnya. Kata laumpai berasal dari dua kata, yaitu lau ‘tenun sarung wanita khas Suku Oirata’ dan pai ‘bekerja’. Masyarakat Suku Oirata meyakini bahwa lau merupakan kain sarung khas dari para leluhurnya. Untuk menghormati para leluhurnya, mereka menenun jenis kain yang
77
sama secara turun temurun dan sangat jarang mereka membuat kreasi baru. Mereka menenun umumnya untuk dipakai sendiri atau dijual di desanya sendiri dan sangat jarang dijual ke luar daerah. Salah seorang tokoh masyarakat Lautem Timor Leste Bapak RK. Yoap Haltere mengatakan bahwa kata lau berkaitan dengan kata lautem yaitu sebuah nama tempat yang terletak di ujung timur Timor Leste. Lautem dalam bahasa Ft sebagai bahasa yang dipakai di daerah Lautem berasal dari dua kata, yaitu lau ‘kain sarung’ dan tenu ‘tenung’ atau ‘sakral’ (magic). Vokal akhir /u/ umumnya diucapkan dengan lemah (seperti halnya terjadi pada bahasa Or) sehingga kata lautenu sering diucapkan lauten. Di daerah Timor Leste, bunyi /n/ sering beralternasi dengan bunyi /m/, seperti kata bahasa Tetun sering diucapkan bahasa Tetum. Jadi, lauten atau lautem dalam bahasa Fataluku berarti ‘kain sarung sakral’ yang diabadikan sebagai nama tempat di daerah itu. Suku Oirata meyakini bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan suku Fataluku yang terletak di Lautem Timor Leste. Bahkan, mereka yakin bahwa leluhurnya berasal dari Lautem. Oleh karena itu, mereka membuat laumpai merupakan wujud rasa hormat mereka terhadap para leluhurnya. Aktivitas lain yang sering dikerjakan oleh para tuhurai selain laumpai dan bekerja di dapur adalah membantu pekerjaan suami di kebun dan mencari air. Pekerjaan para tuhurai yang terhormat adalah menenun kain leluhur dan mencari air. Kedua pekerjaan para tuhurai itu dianggap sangat mulia. Bertenun berarti meneruskan tradisi leluhur dan air merupakan benda yang paling bernilai dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, Suku Oirata memanggil para tuhurai dengan sebutan 1) laumpain ‘penenun’ dan 2) iramaran ‘pencari air’ (ira ‘air’, mara
78
‘pergi’ dan n(a) adalah sebuah akhiran yang menyatakan ‘benda’ atau ‘yang’). Kedua sebutan para tuhurai diberikan karena itulah pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari yang tak terbandingkan nilainya. Sedangkan untuk para namrai, mereka memberi nama dengan sebutan 1) tuapain ‘pekerja tuak’, 2) halapain atau halampain ‘peladang’, 3) metipain ‘pencari ikan’, dan 4) inapain atau inampain ‘penganyam’.
4.2.5.5 Menganyam (inampai) Inampai juga merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Suku Oirata. Kata inampai berasal dari kata ina ‘anyam’ dan pai ‘bekerja’. Jadi, inampai berarti ‘menganyam’, dan inan berarti ‘anyaman’, serta inampain berarti ‘penganyam’. Pekerjaan inampai biasanya dilakukan oleh para namrai terutama untuk mengisi waktu-waktu luang ketika selesai halampai atau selasai tuapai. Bagi para nelayan, mereka akan mengerjakan inampai ketika tidak melakukan metipai yang biasanya disebabkan karena cuaca buruk atau saat warathe. Penduduk Suku Oirata membuat inan dengan menggunakan bahan dasar iklewene asa ‘daun lontar’ dan orowađan ete ‘pohon bambu tali’. Pohon lontar dan pohon bambu tali memang melimpah di daerah itu, sehingga penduduk Suku Oirata tidak kesulitan mencari bahan dasar anyaman.
Jenis anyaman yang
menggunakan bahan dasar iklewene asa di antaranya yehunina ‘anyaman tempat jagung’, leunina ‘anyaman bakul’, dan hetina ‘anyaman tikar’. Anyaman yang terbuat dari bahan dasar orowađan ete di antaranya wa’atanina ‘anyaman nyiru, leukarina ‘anyaman keranjang’, dll.
79
Masyarakat Suku Oirata melakukan aktivitas inampai selain untuk dipakai sendiri, dijual keliling desa dengan sistem barter, atau dijual di pasar kecamatan Wonreli. Mereka menganyam hanya untuk mengisi waktu. Jadi hasilnya tidaklah terlalu banyak dan belum tergolong usaha. Artinya, setiap inampain tidak memiliki sejumlah besar inan untuk dipasarkan. Kalaupun toh mereka akan menjual ke luar pulau, maka mereka harus mengumpulkan inan hingga setahun lamanya.
4.2.6 Pendidikan Data statistik kependudukan di kantor Kepala Desa Oirata Barat dan kantor Kepala Desa Oirata Timur tidak tersedia informasi terkini tentang jenjang pendidikan penduduk. Informasi tersebut justru terdapat pada papan statistik kota Kecamatan Wonreli. Data yang ada tampaknya masih bersifat global karena tidak dibedakan atas jenis kelamin laki-laki/perempuan. Demikian pula, klasifikasi berdasarkan umur hanya dibatasi atas empat klasifikasi. Untuk lebih jelasnya, data penduduk berdasarkan jenjang pendidikan dapat disajikan sebagai berikut. Tabel 4: Penduduk Desa Oirata Barat berdasarkan Pendidikan No 1 2 3 4
Usia (Th) 11 – ke bawah 12 – 24 25 – 40 41 – ke atas Jumlah
TT
SD
26 33 57 116
SLTP
57 66 84 207
21 18 05 44
SLTA 09 05 03 17
Dip/PT 02 02 04
Jlh. 121 115 124 149 509
Tabel 5: Penduduk Desa Oirata Timur berdasarkan Pendidikan No 1
Usia (Th) 11 – ke bawah
TT
SD -
SLTP -
SLTA -
Dip/PT -
Jlh. 268
80
2 3 4
12 – 24 25 – 40 41 – ke atas Jumlah
65 65 93 223
130 141 162 433
31 39 17 87
13 09 05 27
04 07 11
243 261 277 1.049
Tabel data di atas mengindikasikan bahwa penduduk Suku Oirata memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah bahkan tergolong sangat rendah. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan angka tidak tamat SD (TT) sebesar 21,76%. Tentu saja jumlah tersebut tergolong tinggi. Di samping itu, jumlah penduduk yang tergolong lulus wajib belajar sembilan tahun hanya sebesar 49,49%. Itu pun terdiri atas 41,08% tamat SD dan 8,41% tamat SLTP. Bahkan, penduduk yang tamat SLTA hanya sebesar 2,82% dan tamat Diploma (PT) sebesar 0,96% serta belum ada penduduk Suku Oirata yang tamat sarjana S1. Jadi, berdasarkan data statistik kependudukan tersebut harus diakui bahwa penduduk Suku Oirata memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah. Bahkan tergolong paling rendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan penduduk desa lainnya di kecamatan tersebut.
4.2.7 Agama Dari segi agama, penduduk Suku Oirata tergolong masyarakat yang homogen karena penduduknya 100% menganut agama Kristen. Mereka sangat taat menjalankan agamanya. Setiap hardominggo ‘hari Minggu’ mereka pasti berduyun-duyun datang ke ikreje ‘gereja’ Imanuel untuk mengadakan acara persembahyangan bersama. Suasana ikreje selalu penuh dengan para jema’at yang datang memadatinya. Selain persembahyangan bersama setiap hardominggo,
81
mereka juga mengadakan kebaktian dari rumah ke rumah setiap haryamutu ‘hari Jumat’. Mereka memiliki Pastor yang dianggapnya sebagai guru spiritual. Mereka akan datang ke Pastor di ikreje jika ada masalah meskipun bukan hardominggo. Gereja Imanuel selain berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah agama secara bersama-sama, juga merupakan tempat pemersatu masyarakat Oirata yang ada pada kedua desa itu. Pastor yang bertugas di gereja benar-benar memberikan pelayanan kepada umatnya dengan penuh kasih. Demikian sebaliknya, para penduduk sangat hormat dan patuh kepada Pastornya.
4.3 Ciri Umum Bahasa Oirata Bahasa Or adalah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi Suku Oirata. Bahasa Or hanya memiliki tradisi lisan dan tidak mememiliki tradisi tulis. Artinya, bahasa Or tidak memiliki huruf tertentu seperti bahasa Jawa dengan huruf Jawa, bahasa Bali dengan huruf Bali, dan lain-lain. Bahasa Or memiliki beberapa ciri umum sebagai berikut.
4.3.1 Ciri Fonologis 4.3.1.1 Bunyi akhir vokal (bahasa vokalis) Ciri umum bahasa Or yang paling menonjol dibandingkan dengan bahasabahasa yang lain di sekitarnya adalah semua kata berakhir dengan bunyi vokal. Dengan kata lain, bahasa Or termasuk bahasa vokalis. Beberapa contoh kata bahasa Or di antaranya iyahure ‘mengeram’, somone ‘mengangkat’, ira eme
82
‘mengambil air’, hahulu ‘mentimun’, ilikua (ilkua) ‘ketiak’, hore ‘kenyang’, maina ‘keras’, dan lain-lain. Jika dalam suatu percakapan ditemukan kata yang berakhir dengan konsonan, dapat dipastikan bahwa kata itu adalah berasal dari kosakata bahasa lain atau kosakata pinjaman. Berikut beberapa kata pinjaman yang ditemukan dalam bahasa Or, di antaranya berasal dari bahasa Meher: aur ‘kapur’, kukis ‘kue’, kawar ‘atap rumah’, hair ‘bendera’, lo’or ‘pedang’, dan kimur ‘timur’. Kosakata Oirata yang berasal dari bahasa lain seperti bahasa Romang: adur ‘tikus besar’, bahasa Indonesia: kartas ‘kertas’, kapal ‘kapal’, yampatan ‘jembatan’, gong ‘gong’, dan lain-lain. Kita harus cermat terhadap kosakata pinjaman dalam bahasa Or. Kosakata pinjaman dari bahasa lain pada umumnya diadaptasikan ke dalam pengucapan bahasa Or. Jika kosakata pinjaman itu berakhir dengan konsonan, kata tersebut akan diperlakukan dengan tiga cara. Cara pertama, konsonan akhir tersebut akan diperlakukan seperti apa adanya (tidak diubah). Cara kedua, konsonan akhir tersebut akan dihilangkan, terutama bunyi dorso-velar dan glottal. Contoh yang ditemukan di antaranya dalam bahasa Indonesia: tuak > tua ‘tuak’, susah > susa ‘susah’, salah > sala ‘salah’, penuh > penu ‘penuh’. Cara ketiga, pada kata tersebut akan
ditambahkan dengan vokal pada akhir kata. Vokal akhir yang
ditambahkan itu biasanya akan disesuaikan dengan vokal pada suku kata sebelumnya. Di antara kata yang ditemukan dalam bahasa Indonesia: kamar > kamara ‘kamar’, dapur > đapuru ‘dapur’, rakit > rakiti ‘rakit’, sabit > sabiti ‘sabit’, dan lain-lain.
83
Dalam hal pengadaptasian kosakata lain sebagai pinjaman ke dalam bahasa Or, selain dengan cara dibiarkan, penghilangan konsonan akhir, atau penambahan vokal akhir juga dilakukan penyesuaian dengan bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa Or. Sebagai contoh, bahasa Or tidak memiliki bunyi konsonan /b/, /g/, /j/, /c/, /d/, dan bunyi vokal /∂/. Jika dalam kosakata pinjaman mengandung unsur bunyi tersebut, maka bunyi-bunyi tersebut akan diganti dengan bunyi terdekat yang ada dalam bahasa Or. Beberapa contoh yang ditemukan di antaranya dalam bahasa Indonesia: budi > pudi ‘budi’, bata > pata ‘bata’, besar > pesara ‘besar’, gambir > kamir ‘gambir’, gasing > kasin ‘gasing’, rugi > ruki ‘rugi’,
jala > đala ‘jala’, jaring > đari ‘jaring’, jembatan >
yampatana ‘jembatan’, cina > sina ‘cina’, cita > kita ‘kain cita’, cui > kui ‘burung dara’, kuda > kuđa ‘kuda’, kerbau > karho ‘kerbau’, kertas > kartasa ‘kertas’, remas > ramasu ‘remas’, periksa > pĕrĕksĕ ‘periksa’, lemari > limara ‘lemari’, dan lain-lain. Pola adaptasi bunyi pinjaman yang diselaraskan dengan bunyi yang ada dalam bahasa Oirata: /b/ > /p/, /g/ > /k/, /j/ > /y/ dan /đ/, /c/ > /s/ dan /k/, dan /∂/ > /i, ĕ, a/. Berkaitan dengan bahasa vokalis, banyak orang yang berspekulasi bahwa eksestensi bahasa itu berkaitan dengan letak geografis pemakainya. Hal itu juga terjadi pada bahasa Or pada masa lalu. Sebelum Suku Oirata menempati desa sekarang ini, mereka tinggal di atas bukit bagian selatan pulau itu. Mereka tinggal berjauhan, bahkan mereka tinggal di atas dua bukit, sebagian di negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan sebagian lagi tinggal di negeri Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat asal leluhur Suku Oirata. Di antara kedua bukit Manheri dan
84
Mauhara terdapat sebuah ngarai atau lembah di antara dua jurang bertebing terjal. Belum lagi di musim gelombang besar, suara ombak memecah daratan membuat suasana menjadi lebih bising. Kondisi letak geografis pada masa silam seperti ini diyakini oleh para tokoh masyarakat Suku Oirata memberi andil bagi dominannya pemakaian bunyi vokal terutama pada kosakata akhir. Untuk memperlancar komunikasi, Suku Oirata sering menggunakan bunyi vokal belakang panjang /Ō/ dengan tekanan dari dalam yang kuat untuk memanggil orang pada jarak tertentu. Selain itu juga sering digunakan bunyi gabungan KV atau suku kata dengan bunyi vokal tinggi depan panjang pada akhir suku /kī/ dengan tekanan suara melengking. Bunyi-bunyi tersebut sampai sekarang masih kerap digunakan. Jika bunyi-bunyi itu tidak cukup kuat dipakai sebagai alat komunikasi akibat jarak atau suara debur ombak, Suku Oirata sering menggunakan tauria ‘kerang besar’ dengan cara meniupnya kuat-kuat. Tauria
biasanya dipakai sebagai alat
komunikasi umum, misalnya untuk berkumpul atau tanda penting lainnya. Yang jelas kondisi geografis negeri asal Suku Oirata seperti itu cukup memberi andil besar bagi penggunaan bunyi-bunyi bersuara atau vokal pada akhir kata.
4.3.1.2 Bunyi vokal akhir lemah Bahasa Or sebagaimana yang ada sekarang memiliki ciri bahwa bunyibunyi vokal pada akhir kata secara umum diucapkan dengan lemah disertai dengan nada menurun terutama pada komunikasi dengan jarak dekat. Berikut ini contoh nada bunyi dalam bahasa Or. ¯ \ a) ante ‘saya’
85
¯ \ b) auni ‘satu’ ¯ ¯ \ c) đođoli ‘sedikit’ ¯ ¯ \ d) Mara o ‘Pergi kah?’ Sebagai akibat lemahnya bunyi-bunyi vokal pada akhir kata, maka sering bunyi vokal itu tidak terdengar dan karena itulah vokal itu sering ditulis dalam kurung (…) yang maksudnya kadang-kadang terdengar dan kadang-kadang dilesapkan seperti pada beberapa contoh sebagai berikut. a) sair(i) ‘bendera’ b) aun(i) ‘satu’ c) al(a) ‘perang’ d) il(i) ‘perangkap’
4.3.1.3 Pelesapan bunyi dan pemendekan suku kata Bahasa Or juga memiliki kecenderungan dalam bentuk pelesapan bunyi dan pemendekan suku kata. Kecenderungan tersebut dapat dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama, berkaitan dengan bunyi vokal yang diucapkan lebih lemah pada akhir suku kedua atau akhir kata sebagaimana telah disinggung pada nomor 4.8.2 di atas. Kedua, faktor kebiasaan berbicara cepat pada masyarakat Suku Oirata, sehingga memungkinkan penggabungan dua kata menjadi satu kata. Ketiga, faktor lingkungan bahasa yang terjadi di kawasan tersebut. Di sekitar bahasa Or seperti kawasan masyarakat Ambon dan Nusa Tenggara Timur ada
86
fenomena pemakaian bahasa yang cenderung membuat lebih singkat dari biasanya. Berikut ini disajikan beberapa contoh pemakaian bahasa Indonesia yang disingkat dan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bentuk singkatan Dorang. Sapi main bola. Air sudekat. Sutan kecil. Ini busa aja.
Bentuk yang seharusnya Dia orang. Saya pergi main bola. Air sudah dekat. Susu Tante kecil. Ini buat saya saja!
Berdasarkan ketiga faktor di atas diyakini dapat berimplikasi pada pelesapan bunyi serta berimplikasi pula pada pemendekan suku kata bahasa Or. Berikut disajikan betuk-bentuk pelesapan yang ditemukan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bentuk yang seharusnya ilihua ‘abu’ walihia ‘antin-anting’ mumulai ihi ‘bunga pepaya’ isame halu ‘menyesal’ hari Selasa ‘hari Selasa’ ita ima ‘bersetubuh’ (manusia)
Bentuk pelesapan ilhua ’abu’ walhia ‘anting-anting’ mumlai ihi ‘bunga pepaya’ isamhalu ‘menyesal’ Harsalasa ‘hari Selasa’ itima ‘bersetubuh’ (manusia)
4.3.1.4 Bunyi alternasi Selain ciri-ciri di atas, bahasa Or juga memiliki ciri lain dalam bentuk bunyi alternasi. Artinya, dalam bahasa Or ada bunyi-bunyi tertentu dapat digantikan atau berubah menjadi bunyi lain dan atau dapat saling mengantikan satu sama lain. Perubahan bunyi dalam bentuk alternasi itu diyakini sebagai akibat proses sejarah dan perjalanan panjang bahasa tersebut menjadi bahasa Or seperti sekarang ini. Berikut ini disajikan beberapa bentuk bunyi alternasi yang ditemukan. 1) /p/ ~ /h/
87
Bunyi /h/ sangat dominan dalam bahasa Or. Artinya kosa kata dalam bahasa Or banyak mengandung bunyi /h/. Bunyi /h/ tersebut ternyata cukup banyak beralternasi dengan bunyi /p/. Setelah ditelusuri bunyi /h/ tersebut sangat besar kemungkinannya berasal dari /bunyi /p/. Berikut ini disajikan beberapa contoh sekaligus bukti bentuk perubahan itu. Contoh:
a) itaresi ‘saling rebut’, pai ‘kerja’ itaremhai ‘saling berebut’ b) a’a ‘(di) atas’, pale ‘menyatu’ a’ahale ‘menyiapkan makanan’ (kebiasaan memasak dengan mencampur bahan menjadi satu) c) ura ‘buka’, panu ‘depan/awal’, pate ‘musnah’ urahate panhate ‘membuat jadi berantakan, hancur lebur’ d) Ratupaira ‘nama orang dengan kasta Ratu di masa lalu’ Latuhaira, Resihaira, Lelhaira, dan Ratuhaira ‘nama sekarang’ (Nama-nama tersebut sebagai penghormatan terhadap leluhurnya)
2) /s/ ~ /h/ Bunyi /h/ juga beralternasi dengan bunyi /s/. Akan tetapi, alternasi bunyi itu umumnya terjadi pada nama diri. Berikut ini disajikan beberapa contoh nama diri pada masa sekarang yang dikaitkan dengan masa silam. Contoh:
a) Nama diri Soru yang ditemukan pada masa lalu, sekarang diabadikan nama-nama seperti Horu, Horlai, dan Horwata. b) Nama diri Saira yang ada pada masa lalu, sekarang ditemukan dengan nama-nama diri seperti Haira, Hairma’u, Lelihaira, Werhaira, dan Resihaira c) Nama diri yang ada sekarang: Sara beralternasi dengan Hara, Sarika beralternasi dengan Harika, dan Masa dengan Maha.
3) /t/ ~ /r/
88
Bunyi /t/ juga beralternasi dengan bunyi /r/. Berikut ini disajikan beberapa contoh berdasarkan fakta bahasa yang ditemukan. Contoh:
a) titimu ‘dorong’ iyaritimu ‘dorong lebih ke atas’ b) tapa ‘tusuk’ muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’
4) /đ/ ~ /l/ Selain bunyi-bunyi di atas, berikut ini juga ditemukan bunyi /đ/ beralternasi dengan bunyi /l/. Contoh:
a) /đapuru/ = /lapuru/ ‘dapur’ b) /đila/ = /lila/ ‘katak’ c) /Đailaru/ = /Lailaru/ ‘nama orang’
5) /l/ ~ /r/ Bunyi /l/ juga ditemukan beralternasi dengan bunyi /r/ yang dominan untuk nama orang atau nama keturunan. Contoh:
a) /Ratu Paira/ = /Latu Paira/ ‘nama orang’ b) /Ratusuai/ = /Latusuai/ ‘nama keturunan’ c) /Raihara/ = /Laihara/ ‘nama orang’
4.3.2 Ciri Morfologis 4.3.2.1 Akhiran (sufiks)
89
Dalam bahasa Or terdapat dua sufiks, yaitu -r(a) dan -n(a) yang masingmasing memiliki fungsi dan makna berbeda-beda. Berikut ini kedua sufiks tersebut diuraikan dengan beberapa contohnya. 1) Sufiks -r(a) Bentuk asal sufik ini adalah -ra, tetapi sering direalisasikan dalam bentuk -r sebagai akibat dari kecenderungan pelesapan vokal akhir kata pada bahasa itu. Sufiks -ra tidak berfungsi mengubah kelas kata. Sufiks ini hanya berfungsi membentuk makna ‘jamak’. Berikut ini disajikan contoh yang ditemukan. Contoh: No Bentuk asal a. mara ‘pergi untuk seorang’ b. mođo ‘anak’ c. rata ‘nenek moyang’ d. na ‘ibu’ e. ha ‘bapak’ Catatan:
Bentuk jadian marar(a) ‘pergi untuk orang banyak’ mođor(a) ‘anak-anak’ ratar(a) ‘nenek moyang semua’ nara ‘ibu-ibu’ hara ‘bapak-bapak’
Sufiks -r(a) di atas secara eksplisit dapat dirunut proses pembentukannya. Artinya, bentuk asal atau bentuk dasarnya dapat dikenali sebagai sesuatu yang bermakna ‘tunggal dan setelah dilekati sufiks -r(a) makna bentukan tersebut menjadi jamak. Berikut ini juga ditemukan bentukan yang berakhir dengan -ra atau -r
dengan makna jamak. Akan tetapi, bentukan itu tidak jelas bentuk
dasarnya. Maksudnya, apakah bentukan itu bersasal dari bentuk dasar yang memperoleh sufiks -ra atau -r atau bentukan itu memang berakhir dengan -ra atau -r. Bentukan tersebut adalah sebagai berikut. Contoh: ihar ‘anjing’ yang hidupnya berkelompok
90
iyar ‘jalan’ yang selalu bercabang-cabang asir ‘garam’ yang berbutir-butir uhur ‘lalat’ yang hidupnya berkelompok keer ‘tangga’ dengan banyak anak tangganya. pupur mara ‘pergi bersama-sama’ pupur lalare ‘berjalan bersama-sama’ pupur pun mere ‘duduk kumpul bersama-sama’ pupur međe ‘makan bersama-sama’ 2) Sufiks -n(a) Bentuk asal sufiks ini adalah -na. Pada bahasa Or setiap vokal di akhir kata selalu dilafalkan dengan sangat lemah, lebih-lebih jika kata itu diucapkan dengan cepat, maka vokal itu akan dilesapkan. Sufiks -na dapat berfungsi membentuk kelas kata benda dan memiliki makna ‘dibendakan’ atau ‘sesuatu yang seperti bentuk dasarnya’. Contoh: Kelas kata benda kerja
sifat
Catatan:
Bentuk dasar
Bentuk jadian (klas kata benda) ru’u ‘bunyi’ ru’u-ru’un ‘bunyi-bunyian’ ili ‘pantat’ ilin ‘buritan perahu/kapal’ ihile ‘terbang’ ihilen ‘yang terbang’ (burung, pesawat) međe ‘makan’ međen ‘makanan’ ina ‘anyam’ inan anyaman’ iramara‘mencari air’ ira maran ‘pencari air’ lause ‘pelihara’ mođo lausana ‘anak peluharaan’ halampai‘kerja ladang’ halampain ‘peladang’ uste ‘bertanya’ usten ‘yang bertanya’ alamara ‘pergi perang’ almara-maran ‘tentara’ ruri ‘kuat’ rurin ‘kekuatan’ ara ‘terang’ aran ‘yang menerangi’ (lampu, obor, dll.) hire ‘dusta, bohong’ hiren ‘pembohong’ atau ‘pendusta’ hanate ‘sakit’ hanatena ‘penyakitan’
91
Selain sufiks -n(a) sebagaimana memiliki fungsi dan makna di atas, ditemukan pula -n(a) yang menyatakan ‘kepunyaan’ atau ‘nya’ dalam bahasa Indonesia. Contoh:
umu ‘mayat’, waya ‘air’> umun waya ‘airnya mayat’ tara ‘cabang’, ete ‘pohon’ >taran ete ‘cabangnya pohon’.
Perhatikan juga contoh di bawah ini. 1)
semene ‘cadik/sayap perahu’, lapai ‘besar’ semen lapai ‘cadik besar’ > pelemahan /e/
2)
taanauni ‘sepuluh’, kapa ‘delapan’ taan kapa ‘delapan puluh’
3)
lalunu ‘gelombang’, pitu ‘tujuh’ lalunpitu ‘gelombang tujuh lapis’
4)
laruni ‘lipan’, mimreke ‘merah’ larun mimreke ‘lipan merah’
Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa sufiks -n memang berasal dari -na dan terjadi pelesapan vokal setelah bergabung dengan kata berikutnya.
4.3.2.2 Akar kata Bahasa Or sangat kaya dengan akar kata (root). Secara leksikal bentuk tersebut memiliki makna, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Artinya, dalam konteks pemakaian bentuk itu selalu berpasangan dengan bentuk lainnya. Fakta bahasa tersebut mungkin merupakan salah satu ciri dari bahasa Or sehingga dapat dikategorikan sebagai bahasa majemuk. Beberapa contoh bentuk akar kata yang ditemukan dapat disajikan sebagai berikut.
92
1) ani Bentuk ani memiliki makna yang menyatakan kepunyaan atau milik. Meskipun bentuk ani memiliki makna leksikal, tetapi bentuk tersebut selalu berpasangan dengan bentuk lainnya. Dalam konteks pemakaian sehari-hari bentuk ani kadang-kadang muncul secara eksplisit, tetapi juga dapat terjadi secara implisit. Meskipun implisit, kehadirannya dapat dirasakan berdasarkan makna yang ditimbulkannya. Selain itu, alasan ketidakhadirannya dapat dijelaskan secara sistematis. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan dengan beberapa contoh. Contoh 1: Berikut ini ditampilkan bentuk ani yang digunakan secara eksplisit. eta ani > etāni ‘kamu punya’ (‘milik kamu’ atau ‘milikmu’) ante ani > antāni ‘saya punya’ (‘milik saya’) inta ani > intāni ‘kami punya’ (‘milik kami’) apta ani > aptāni ‘kita punya’ (‘milik kita’) uweta ani > uwetāni ‘dia punya’ (‘milik dia’ atau ‘miliknya’’) waita ani > waitāni ‘mereka punya’ (‘milik mereka’) Contoh 1 di atas merupakan bentuk konstruksi-1 yang dengan mudah dapat diamati kehadiran ani sebagai bentuk yang menyatakan milik. Berikut ini juga ditemukan konstruksi-2 dari bentuk ani yang implisit tetapi tetap bermakna menyatakan kepunyaan atau milik. Contoh 2: a) antuhurai ‘istri saya’
93
Kata antuhurai terdiri dari tiga bentuk (ante ‘saya’, ani ‘punya’, tuhurai ‘istri’). Pada bentuk ante ani terjadi proses asimilasi regresif menjadi antāni tuhurai. Tahap selanjutnya terjadi proses penghilangan di tengah kata (syncope) sehinggga menjadi bentukan antuhurai ‘saya punya istri’ (‘istri saya’). b) anmođo tuhurai ‘anak perempuan saya’ Bentukan anmođo tuhurai terdiri atas empat bentuk asal (ante ‘saya’, ani ‘punya’, mođo ‘kecil’ dan tuhurai ‘perempuan’). Bentuk dasarnya adalah ante ani ‘saya punya’ dan mođo tuhurai ‘perempuan kecil’ atau ‘anak perempuan’. Pada bentukan ante ani mođo terjadi proses syncope sehingga membentuk anmođo. Proses selanjutnya terbentuklah anmođo tuhurai yang berarti ‘saya punya anak perempuan’ (‘anak perempuan saya’). Kedua contoh yang disajikan di atas menunjukkan bahwa konstruksi 2 terjadi proses syncope.
Artinya, konstruksi-2
lebih singkat dibandingkan dengan konstruksi-1. Selain itu, ditemukan juga konstruksi-3 yang lebih singkat dari yang telah ada. Contoh 3: Berikut ini disajikan konstruksi-3 yang juga mengimplisitkan bentuk ani sebagai akibat proses syncope. ele (etāni ‘kamu punya’, le ‘rumah’) > ‘kamu punya rumah’ (‘rumahmu’) ale (antāni ‘saya punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’ (‘rumah saya’) ile (intāni ‘kami punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’ (‘rumah kami’) aple (aptāni ‘kita punya’, le ‘rumah’) > ‘kita punya rumah’ (‘rumah kita’) ule (uwetāni ‘dia punya’, le ‘rumah’) > ‘dia punya rumah’ (‘rumahnya’) wale (waitāni ‘mereka punya’, le ‘rumah’) > (‘rumah mereka’).
94
2) ara Bentuk ara memiliki makna yang menyatakan ‘sesuatu yang berposisi rendah’ atau ‘di/ke bawah’. Dalam beberapa konteks bentuk ara berpasangan dengan bentuk-bentuk tertentu sebagai berikut. Contoh: a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > arahutrau ‘lempar/buang ke bawah’ b) kaure ‘pegang’ > arakaure ‘pegang pada bagian bawah’ c) ruale ‘tanam’(tiang) atau ‘tabcapkan’ > araruale ‘tancapkan di bawah’ d) noure ‘usir’ > aranoure ‘usir ke bawah’ e) ihile ‘terbang’ > aranihile ‘terbang menurun’ f) nasi ‘lihat’ > aranasi ‘tengok ke bawah’ g) kono ‘angkut/angkat’ atau ‘bawa’ > arakono ‘bawa ke bawah’ h) eme arakono ‘ambil bawa ke bawah’ 3) ita Bentuk ita memiliki makna ‘saling’. Bentuk ita juga dapat berpasangan dengan beberapa bentuk seperti pada konstruksi berikut ini. a) mi’e ‘cium’ > itami’e ‘saling cium’ atau ‘berciuman’ b) punu ‘muka’ > itampunu ‘saling pandang’ atau ‘berpandangan’ c) mire ‘duduk’ > itamire ‘duduk berdampingan’ d) ima ‘setubuh’ (manusia) > itanima ‘saling bersetubuh’ e) mese ‘setubuh’ (anjing) > itanamese ‘saling bersetubuh’ f) uđa ‘pukul’ > itauđa ‘saling pukul’ (pukul-pukulan) g) serle ‘tukar’ >itaserle ‘saling tukar’ (tukar-menukar)
95
h) hati ‘pisah’ > itahati ‘saling berpisah’ 4) iya Bentuk iya memiliki makna yang menyatakan ‘sesuatu yang berposisi ke atas dan dibuat lebih di/ke atas lagi’. Di bawah ini konteks pemakaiannya. a) ihile ‘terbang’ > iyanihile ‘terbang ke atas lagi’ b) ho’e ‘tempat’ > iyaho’e ‘tempat di atas lagi’ c) kono ‘angkat’ atau ‘bawa’ > iyakono ‘angkat lebih ke atas’ d) more ‘letakkan’ > iyamore ‘letakkan lebih di atas’ e) titimu ‘dorong’ > iyaritimu ‘dorong lebih ke atas’ (/t/ = /r/) f) nare ‘tombak’ > iyanare ‘tombak ke atas lagi’ g) āni ‘ada’ > iyāni ‘ke ataskan lagi’ Catatan: Selain bentuk iya sebagai akar kata, ditemukan juga bentuk iya sebagai kata yang menyatakan ‘telapak’ kaki atau ‘telapak’ tangan. Contoh: iya lapai ‘telapak kaki’ dan lapai ‘besar’, maksudnya ‘telapak kerbau’ 5) međe Bentuk međe memiliki makna ‘segala sesuatu yang memang masih di bawah untuk menjadikan lebih tinggi’ Cermatilah bentukan berikut ini. Contoh: a) kaure ‘angkat badan’ > međekaure ‘angkat badan agar tidak tenggelam’ b) name ‘ambil’ > međename ‘ambil dari tanah’ c) uare ‘lompat’ > međeuare ‘lompat dari bawah ke atas’ d) simu ‘lempar’ > međesimu ‘lempar dari bawah ke atas’
96
e) manđe ‘angguk’ > međemanđe ‘angguk ke atas’ atau ‘tengadah’ Catatan: Selain bentuk međe sebagai akar kata, ditemukan juga međe sebagai kata yang dapat berdiri sendiri dengan makna ‘makan’ Contoh: đele međe ‘makan jagung’, međen ‘makanan’ 6) pai Bentuk pai memiliki makna ‘bekerja’, ‘aktif’, ‘melakukan’, dan ‘membuat’ seperti pada bentuk dasar yang dilekatinya. Bentuk pai dapat berposisi di depan kata yang dilekatinya dan dapat pula di belakang kata yang dilekatinya. Berikut ini disajikan beberapa konstruksi bentukan yang ditemukan. Contoh: Posisi pai di depan kata yang dilekatinya. a) kaki ‘luka’ > paikaki ‘melukai’ b) lapane ‘banyak’ > pailapane ‘memperbanyak’ c) tepu ‘patah’ (tentang tongkat) > paitepu ‘mematahkan’ d) laire ‘nyala’ (obor, lampu) > pailaire ‘menyalakan’ (obor, lampu) Posisi pai di belakang kata yang dilekatinya. a) ilaka ‘gasing’ > ilakapai ’bermain gasing’ b) hala ‘ladang’ > halampai ‘berladang’ c) kasu ‘hutang’ > kasunpai ‘berhutang d) nelu ‘janji’ > nelunpai ‘berjanji’ e) waku ‘teriak’ >wakunpai ‘berteriak’ f) sala ‘berzina, dosa, dan salah’ >salampai ‘berzina, berdosa, bersalah’ g) ala ‘perang’ > alpai ‘berperang’
97
Catatan: Di samping bentuk pai sebagai akar kata yang bermakna aktif, ditemukan bentuk kata dasar yang memiliki suku pai, seperti lapai ‘besar’. Artinya, kata dasar lapai tidak berasal dari la dan pai. 7) muđu Bentuk muđu memiliki makna ‘masuk’ atau ‘dalam’. Berikut ini disajikan beberapa konstruksinya. Contoh: a) a’a ‘di’ > muđua’a atau muđa’a ‘di dalam’ b) halese ‘berlabuh’ > muđuhalse ‘berlabuh masuk ke dalam’ c) tapa ‘tusuk’ > muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’ d) ho’e ‘tempat’ > muđuho’e ‘masuk ke dalam tempat ruang sempit’ e) hutrau ‘buang’ > muđuhutrau ‘buang ke dalam’ f) iyalare ‘berjalan kaki’ > muđuyalare ‘berjalan kaki masuk ke dalam’ g) nate ‘berdiri’ > muđunate ‘berdiri di dalam’ h) kono ‘bawa’ > muđukono ‘bawa masuk ke dalam ruang luas’ i) name ‘ambil/terima’ > muđuname ‘terima di dalam’ 8) ua Bentuk ua memiliki makna yang menyatakan ‘di, dari, atau ke bawah’. Berikut ini ditemukan beberapa pasangannya. Contoh: a) suile ‘melangkah’ > uasuile ‘berjalan merunduk ke bawah’ b) kaure ‘jamah’ > uakaure ‘jamah dari bawah’
98
c) more ‘sembunyi’ > uamore ‘sembunyikan di bawah sesuatu’ 9) una Bentuk una memiliki makna yang menyatakan ‘tempat yang jauh’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan. a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > unahutrau ‘lempar jauh di sana’ b) mire ‘duduk’ > unamire ‘duduk jauh di sana’ c) lare ‘berjalan’ > unalare ‘berjalan jauh ke sana’ d) mara ‘pergi’ > unamara ‘pergi jauh ke sana’ e) na’aye ‘berenang’ > una’aye ‘berenang jauh ke sana’
10) ina Bentuk ina memiliki makna yang menyatakan ‘tempat yang dekat’ atau ‘di/ke sini ’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan. Contoh: a) mire ‘duduk’ > inamire ‘duduk dekat sini’ b) ihile ‘terbang’ > inaihile ‘terbang mendekat’ c) nate ‘berdiri’ > inanate ‘berdiri dekat-dekat’ d) lare ‘berjalan’ > inalare ‘berjalan mendekat, datang mendekat’ 11) utu Bentuk utu memiliki makna yang menyatakan ‘lebih dulu, sebelum, dan menghalangi’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan. Contoh:
99
a) raya ‘ingin meniduri pacar’ > utraya ‘mau meniduri pacar, tapi telah didahului oleh orang lain’ b) nuhele ‘batu untuk meringankan tugas teman’ > utnuhele ‘mendahului mengambil alih untuk meringankan tugas temannya’. c) ruri ‘kuat’ > utruri ‘mengakui lebih dulu milik orang lain dengan kekuatan karena merasa dirinya yang memilikinya’. d) hire ‘bohong atau dusta’ > uthire ‘merampas milik orang lain dengan sengaja membohonginya’. e) kođo ‘kandang’ > utkođo ‘menyekat sebuah kandang menjadi dua atau beberapa bilik’. f) rau ‘letak, ruang’ > utrau ‘menghalangi jalan masuk seseorang dengan sesuatu benda’. g) serkeđe ‘berhadapan’ > utserkeđe ‘serta merta menghalangi orang yang sedang berhadapan dengan sesuatu benda’.
4.3.2.3 Bentuk jamak Bentuk jamak dalam bahasa Or dinyatakan dengan empat cara. Keempat cara untuk menyatakan jamak itu terdiri atas: reduplikasi, sufiks -r(a), penyebutan angka, dan pemajemukan. Berikut diuraikan beberapa contohnya. 1) Reduplikasi a) le lapai ‘rumah besar’ > le-le lapai ‘rumah-rumah besar’ b) mođora ‘anak-anak’ > mođo- mođora ‘anak-anak semua’ c) nara ‘ibu-ibu’ > nara-ra ‘ibu-ibu semua’
100
d) hara ‘bapak-bapak’ > hara-ra ‘bapak-bapak semua’ 2) Sufiks -r(a) a) mođo ‘anak’ > mođora ‘anak-anak’ b) rat(a) ‘nenek moyang’ > ratara ‘nenek moyang semua’ c) na ‘ibu’ > nara ‘ibu-ibu’ 3) Penyebutan angka a) asa limi ‘ayam lima’ (lima ayam) b) hai taanauni ‘babi sepuluh’ (sepuluh babi) c) hihi ra’auni rianauni ‘kambing seratus sisa satu’ (seratus satu kambing).
4) Pemajemukan Bentuk jamak dengan cara pemajemukan hanya dipakai dalam bahasa adat dan sangat jarang dipakai untuk kepentingan sehari-hari. Bahasa ini biasanya digunakan untuk orang dalam atau bahasa khusus yang hanya diketahui oleh kalangan mereka. Di bawah ini beberapa contoh pemakaiannya. a) le ‘rumah (adat)’, natara ‘rumah’ > le-natara ‘semua rumah adat’ b) apupuru ‘kita-kita’, toutouru ‘semuanya’ > apupuru-toutouru ‘kita-kita sekalian’
4.3.2.4 Kata ulang Kata ulang dalam bahasa Or terdapat tiga bentuk, yakni kata ulang penuh dan kata ulang sebagian, dan kata ulang semu.
101
1) Kata ulang penuh Kata ulang penuh adalah kata yang diulang secara utuh tanpa mengalami perubahan. Fungsi pengulangan kata tersebut berimplikasi pada perubahan makna. Makna yang ditimbulkan akibat pengulangan kata tersebut adalah menyatakan ‘berkali-kali’, ‘banyak’, atau ‘sangat’. Berikut beberapa kata ulang penuh yang ditemukan. Bentuk dasar loi ‘guling’ taya ‘tidur’ mete ‘lompat’ rake ‘tengok’ yoni ‘jauh’ sa ‘daun jatuh’ 2) Kata ulang sebagian
Bentuk ulang loi-loi ‘guling-guling’ taya-taya ‘tidur-tiduran’ mete-mete ‘lompat-lompat’ rake-rake ‘tengak-tengok’ yoni-yoni ‘jauh-jauh’ sa-sa ‘banyak daun jatuh’
Kata ulang sebagian adalah kata yang pengulangannya dilakukan tidak penuh atau hanya sebagiannya diulang. Akan tetapi, makna akibat pengulangan tersebut lebih variatif dibandingkan dengan makna kata ulang penuh. Bentuk dasar taile ‘pelan’ sirkete ‘licin’ kaisuile ‘belok’ iliare ‘putar’ lare ‘berjalan’ alamara ‘pergi perang’ nohe ‘pagi-pagi’ maro ‘orang’ 3) Kata ulang semu
Bentuk ulang tail-taile ’pelan-pelan’ sir-sirkete ‘licin-licin’ kai-kaisuile ‘berbelok-belok’ iliar-iliare ‘berputar-putar’ lalare ‘berjalan-jalan’ almara-maran ‘tentara’ nonohe ‘pagi-pagi buta’ mamaro ‘patung’
Kata ulang semu adalah kata yang bentuknya berulang. Akan tetapi, jika bentuk itu tidak diulang maka kata tersebut tidak mempunyai makna. Kalaupun kata itu memiliki makna, maka maknanya tidak berhubungan dengan jika kata tersebut diulang. Contoh:
lua ‘kera’, tetapi lua-lua ‘lipas’
102
asa ‘ayam’, tetapi asa-asa (asa-sa) ‘kupu-kupu’. Berikut beberapa contoh kata ulang semu yang ditemukan dalam bahasa Or. hoko-hoko ‘empedu’, kara-kara ‘dahak’, kira-kira ‘berpikir’, kita-kita ‘bendera kecil’ la’u-la’u ‘tempat tidur’, luku-luku ‘ngobrol’, no’o-no’o ‘tembuni’, sai-sai ‘paman dari ibu’, tei-tei ‘upacara sakral’, wa’u-wa’u ‘ganteng’. 4) Kata Ulang berubah fonem
hire-hire ‘berbohong’, Kele-kele ‘cincin’, kiri-kiri (kir-kiri) ‘jamur’, kui-kui ‘burung pipit’, lua-lua ‘lipas’, mau-mau ‘kucing’, rua-rua ‘pondok’, taya-taya ‘berbaring’, tahi-tahi ‘kira-kira benar’, dan
Kata ulang berubah fonem adalah kata ulang yang mengalami perubahan pada beberapa fonemnya. Fungsi pengulangan bentuk tersebut adalah untuk menyatakan ‘sangat’ atau ‘sekalian’. Bentuk ulang berubah fonem ini biasanya hanya dipakai dalam bahasa adat atau bahasa dalam terutama pada upacaraupacara sakral. Berikut beberapa contoh yang ditemukan. Bentuk dasar laitara ‘kuno’, haupupuru ‘bapak-bapak’ naupupuru ‘ibu-ibu’ rurinupupuru ‘adik-adik’
Bentuk ulang laitara-haitara ‘sangat kuno’ naupupuru-haupupuru ‘bapak-bapak sekalian’ naupupuru-urenpupuru ‘ibu-ibu sekalian’ rurinupupuru-me’enupupuru ‘adik-adik sekalian’
4.3.2.4 Kata majemuk Bahasa Or memiliki kecenderungan memajemukkan setiap kata untuk memperjelas makna. Pada bahasa lain, umumnya cukup dengan sebuah kata untuk menyatakan sebuah makna, kecuali memang sangat diperlukan untuk itu. Berikut disajikan bebrapa contoh bentuk pemajemukan dalam bahasa Or. Bentuk majemuk ete lausana
Makna harfiah ‘bambu tumbuh’
Maksudnya ‘rebung’
103
wata losiri tua u’uraka unut wirana (unutu wiräna) ihar pulami
‘rambut tongkat’ ‘tuak mentah’ ‘kepala terkelupas’ ‘anjing kemaluan’
hai pulami
‘babi kemaluan’
uma eru
‘tanah cakar’
uma kaure
‘tanah gali’
walin waye iya nare ina wetke (ina wetike) isa wawara isa hanate tana kupa huhume
‘telinganya pindah’ ‘kaki tahan napas’ ‘mata bercabang’ ‘hati bersih/senang’ ‘hati panas’ ‘tangan jari tiup’
‘jamur’ ‘tuak’ ‘botak’ ‘kebiri’ (untuk anjing) ‘kebiri’ (untuk babi) ‘kais’ (untuk ayam) ‘gali’ (untuk manusia) ‘mengelak’ ‘melompat’ ‘kedip’ ‘bersorak’ ‘sedih’ ‘bersuit’
Selain itu, bentuk majemuk dapat juga membentuk makna kias. Bentuk majemuk na-ha (nale-hale) ihar laware ihar-asa hele kula u’ule ina koholasa sau-saurana sama yalu ira timini
Makna harfiah ‘ibu-bapak’ ‘anjing hitam’ ‘anjing-burung’ ‘teman gula’ ‘hijau wajah’ ‘peti menangis’ ‘sama laki-laki’ ‘air panas’
Maksudnya ‘tuhan’ ‘polisi’ ‘pertanda’ ‘karib’ ‘tentara’ ‘radio’ ‘mandul’ ‘teh’
4.3.3 Ciri Sintaksis 4.3.3.1 Kata ganti orang Kata ganti orang dalam bahasa Or direalisasikan dalam dua bentuk, yakni bentuk panjang dan bentuk singkat. Berikut ini beberapa kata ganti orang yang ditemukan dalam bahasa Or.
104
No 1 2 3 4 5 6 7
Kata Ganti Ante/anri Inte Apte /apre Ere (Ate) Iu Uwe Waiye
Bentuk Singkat A(n) I(n) Ap E I U Wa
Menyatakan ‘saya/aku’ ‘kami’ ‘kita’ ‘kamu/kau’ ‘kalian’ ‘dia’ ‘mereka’
Sebagai orang keI-tunggal I-jamak eksklusif I-jamak inklusif II-tunggal II-jamak III-tunggal III-jamak
Bentuk singkat biasanya dipakai sebagai kata ganti untuk menyatakan ‘milik’. Pemakaian bentuk singkat yang menyatakan ‘milik’ itu dapat dijelaskan dalam contoh berikut. Kata hala bermakna ‘kebun’. Untuk menyatakan bawa ‘kebun’ itu adalah milik orang tertentu, maka akan direalisasikan dalam bentuk singkat sebagai berikut. Realisasi Ahala Inhala Aphala Ehala Ihala Uhala Wahala
Menyatakan ‘kebun milik saya/ kebunku’ ‘kebun milik kami/kebun kami’ ‘kebun milik kita/kebun kita’ ‘kebun milik kau/kebunmu’ ‘kebun milik kalian/kebun kalian’ ‘kebun milik dia/kebun dia/kebunnya’ ‘kebun milik mereka/kebun mereka’
4.3.3.2 Kelompok kata dengan hukum MD Kelompok kata merupakan salah satu proses pembentukan kata untuk memperkaya ranah struktur suatu bahasa. Struktur kelompok kata umumnya terdiri dari unsur yang diterangkan (D) dan unsur yang menerangkan (M). Dalam bahasa Or, unsur yang menerangkan (M) diposisikan atau terletak sebelum unsur yang diterangkan (D). Fenomena bahasa dengan hukum MD ini sangat dominan terjadi pada bahasa Or, sekaligus hal ini merupakan ciri tersendiri bahasa tersebut. Berikut ini disajikan beberapa contoh yang ditemukan.
105
Contoh: a) hai ‘babi’, kođo ‘kandang’ hai kođo ‘babi-kandang’ (kandang babi) b) nomoro ‘desa’, luturu ‘tugu batas’ nomor lutur ‘desa-batas’ (batas desa) c) warata ‘barat’, he ‘musim’ warathe ‘barat musim’ (musim barat) d) ira ‘air’, tara ‘cabang’ irataran ‘air cabangnya’ (aliran air yang bercabang) e) pepele ‘busur’, taru ‘tali’ pepeltaru ‘busur tali’ (tali busur). Kelompok kata yang menyatakan kepemilikan dan pemiliknya disebutkan, maka konstruksinya juga mengikuti hukum MD. Contoh: a) Ilwali ‘nama istri’, namrai ‘suami’ Ilwali namrai ‘Ilwali suami’(suami Ilwali) b) Ilwaru ‘nama ibu’, mođo ‘anak’ Ilwaru mođora ‘Ilwaru anak-anak’ (anak-anak Ilwaru) c) Horwata ‘nama orang’, natara ‘rumah’ Horwata natara ‘Horwata rumah’ (rumah Horwata) d) Leweđalu Ratu Hunlori ‘nama suami keturunan Ratu’, tuhurai ‘istri’ Leweđalu Ratu Hunlori tuhurai ‘Leweđalu Ratu Hunlori istri’ (istri Leweđalu Ratu Hunlori) e) Wakulono ‘nama’, tauria ‘terompet kerang untuk memanggil warga’ Walkulono tauria ‘Walkulono terompet kerang’ (terompet kerang milik Walkulono)
4.3.3.2 Postposisi
106
Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa Austronesia umumnya memiliki struktur preposisi atau kata depan. Sebaliknya, bahasa-bahasa Papua (nonAustronesia) umumnya memiliki struktur postposisi. Bahasa Or sebagaimana bahasa-bahasa non Austronesia memiliki struktur postposisi. Berikut beberapa contoh dalam bahasa Or. 1) hala muđuna’a (hala muđu a’a). ‘kebun dalam di’(di dalam kebun). 2) ira inana’a (ira ina a’a). ‘sumur di’(di sumur). 3) Halana’a (hala a’a), ante ali pasar marana’a (mara a’a) ‘Kebun dari, saya lagi pasar pergi ke’. (Dari kebun, saya lagi pergi ke pasar.) Catatan: na’a (a’a) sering dihilangkan dalam konteks kalimat. 4.3.3.4 Tata urutan kalimat dasar Bahasa Or Kalimat berita bahasa Or memiliki struktur dasar dengan tata urutan S, O, K mendahului Verba. Dengan demikian, struktur dasar kalimat berita bahasa Or dapat mengikuti pola:
SV, SOV, OSV, SKOV, atau KSKOV. Berikut ini
disajikan beberapa pola urutan kalimat bahasa Or. Kalimat Berita 1) Antaya. (Ante taya.) S V ‘Saya tidur’ 2) Wama’u. (Waiye ma’u). S V ‘Mereka datang’. 3) Apnaye mutümoro.
107
(Apte nale iye matu umuro.) S V ‘Kamu punya ibu itu sudah meninggal’ (Ibumu itu sudah meninggal.) 4) Ante mü tahule. S O V ‘Saya pisang beli’. ‘Saya beli pisang’. 5) Enaye đale tahule. (Ere nale iye đale tahule.) S O V ‘Kamu punya ibu itu jagung beli’. (Ibumu itu membeli jagung). 6) Sahurakite anteme. (Sahuraki tie ante eme.) O S V ‘Jeruk itu saya ambil’. 7) Đaute anwau. (Đau tie ante wau.) O S V ‘Piring itu saya cuci’. 8) An ira inana’a nesrau hale. (Ante ira ina a’a nesrau hale.) S K O V ‘Saya sumur di pakaian mencuci’. (Saya mencuci pakaian di sumur.) 9) Anhala muđuna’a haya nawa. (Ante hala muđu a’a haya nawa.) S K O V ‘Saya kebun dalam di mangga makan’ (Saya makan mangga di dalam kebun.) 10. Woina’a nohe anaye pasarna’a ahi tahule. (Woina’a nohe ante nale iye pasarna’a ahi tahule.) K S K O V ‘Kemarin pagi saya ibu itu pasar di ikan beli’. (Kemarin pagi, ibu saya itu di pasar beli ikan.) Kalimat Tanya
108
Siapa? a) Umanta tua yamoina?
(Umantale tua yamoina?) ‘Siapa tuak memanjat?’ (Siapa yang memanjat tuak?) b) Umanta meti marana?
(Uman tale meti marana?) ‘Siapa cari ikan pergi?’ (Siapa yang pergi cari ikan?) c) Umanta imirena?
(Uman tale ina mirena?) ‘Siapa dekat duduk?’ (Siapa yang di sini duduk?) d) Umanta mara hanatsurana?
(Uman tale mara hanate surana?) ‘Siapa pergi orang sakit mengunjungi?’ (Siapa yang pergi mengunjungi orang sakit?) Mengapa? a) Ina hai to atele una mirena?
‘Mengapa kamu jauh (di sana) duduk?’ (Mengapa kamu duduk di sana (jauh)?) atau Ate ina hai to una mirena? ‘Kamu mengapa jauh duduk?’ (Kamu mengapa duduk jauh?) b) Ina hai to ate mara pe’ena?
‘Mengapa kamu pergi?’ atau Ate ina hai to mara pe’ena? ‘Kamu mengapa pergi?’ c) Ina nai to ate saurena?
‘Mengapa kamu menangis?’ atau Ate ina hai to saurena? ‘Kamu mengapa menangis?’
109
Bagaimana? a) Ino’onhai to apte međe pe’ena?
(Ina o’onhai to apte međe pe’ena?) ‘Bagaimana kita makan?’ b) Ino’onhai to uwe tipare pe’ena?
(Ina o’onhai to uwe tipare pe’ena?) ‘Bagaimana dia lari?’ c) Ino’onhai to ante sirwisi asi pe’ena? (Ina o’onhai to ante sirwisi asi pe’ena?) ‘Bagaimana saya dapat kerja?’ d) Ino’onhai to inte ihilele penu pe’ena? (Ina o’onhai to inte ihilele penu pe’ena?) ‘Bagaimana kami terbang pulang?’ Apa? a) Ina ta le kaurena? (Ina ita le kaurena?) ‘Apa yang gonggong?’ b) Ina ta le una’a saurena? Ina ita le una’a saurena? ‘Apa yang di sana (jauh) menangis? c) Ina tahulena? ‘Apa beli?’ (Beli apa?) atau Ate ina tahulena? ‘Kamu apa beli?’ (Kamu beli apa?) d) Ina ōyena? ‘Apa curi?’ (Curi apa?) atau Ume ina ōyena? ‘Dia apa curi?) (Dia curi apa?) Kapan?
110
a) Tartei uwe mara pe’ene? ‘Kapan dia pergi?’ b) Tartei na’a Horlewen te umana? ‘Kapan Horlewen itu mati?’ c) Tertei una’a hala ta pai saile pe’ena? ‘Kapan (jauh ) kebun itu kerja selesai?’ (Kapan kebun itu selasai dikerjakan?) d) Tartei ira ina te kaure saile pe’ena? ‘Kapan sumur itu gali selesai?’ (Kapan sumur itu selesai digali?) e) Tartei una’a natara te pai saile pe’ena? ‘Kapan (jauh) rumah itu kerja selesai? (Kapan rumah itu selesai dikerjakan?) Kalimat Perintah (tekanan pada akhir kalimat) a) Una’a đele ti kono ma’u! ‘(jauh) Jagung itu bawa datang! (Jagung itu bawa kemari!) b) Pana ina’a đele ti kono ma’u! (jauh) Jagung itu bawa datang! (Jagung itu bawa kemari!) c) Pana ina ira ina kaure! ‘(jauh) Sumur gali!’ (Gali sumur (di sana)!) d) Nale, pasar marā! (Nale, pasar marana’a!) ‘Ibu, pasar pergilah! ‘Ibu, pergi ke pasarlah! Berdasarkan sejumlah data, kalimat di ats mengindikasikan bahwa bahasa Or memiliki struktur kaliamat dasar dengan pola unsur-unsur S, O, K mendahului Verba. Dengan demikian, Verba atau kata kerja sebagai predikat kalimat bahasa
111
Or umumnya berposisi di bagian akhir kalimat, baik pada kalimat berita, kalimat tanya, maupun kalimat perintah.