BAB IV PERBEDAAN STRATEGI PEMIMPIN ANGKATAN BERSENJATA JERMAN (HITLER DENGAN DOENITZ) : PERANAN U-BOAT DALAM BLOKADE INGGRIS DI LAUTAN ATLANTIK 1939-1944
Pada bab ini akan dikaji mengenai beberapa aspek penting yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul “Perbedaan Strategi Pemimpin Angakatan Bersenjata Jerman (Hitler dan Dönitz) : Peranan U-boat Dalam Blokade Inggris di Lautan Atlantik 1939-1944 ”. Adapun sistematika dalam bab ini dibagi ke dalam tiga subjudul diantaranya latar belakang yang menyebabkan perbedaan sudut pandang antara Hitler dan Dönitz mengenai taktik dan strategi perang, jalannya blokade Inggris di lautan Atlantik tahun 1939-1944, dan dampak yang ditimbulkan dari perbedaan taktik strategi militer antara Hitler dan Dönitz. Sumber-sumber untuk mengkaji permasalahan di atas diperoleh melalui studi literatur. Sub bab pertama mengenai latarbelakang perbedaan strategi Hitler dan Dönitz, penulis menonjolkan mengenai strategi perang menurut Hitler dan Dönitz, perbandingan gaya kepemimpinan Hitler dan Dönitz, dan juga perbedaan pandangan antara Hitler dan Dönitz mengenai taktik U-boat pada pertempuran Atlantik tahun 1939-1944. Pada pembahasan pertama ini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner dengan mengambil sebuah konsep perang, yang
62
63
didalamnya terdapat konsep taktik strategi perang digunakan sebagai alat untuk menunjang materi kajian tentang perbedaan taktik dan strategi perang antara Hitler dan Dönitz. Konsep perang mengacu pada perbedaan latar belakang Hitler dan Dönitz yang tentu saja berpengaruh pada sebuah keputusan yang akan diambil ketika perang berlangsung. Tidak mudah rupanya menyatukan dua pemikiran yang berbeda pandangan taktik strategi untuk bersama-sama berjuang memperoleh satu tujuan. Karena konsep perang pada akhirnya akan menentukan sejauh mana keberhasilan taktik dan strategi sebuah negara untuk menghadapi taktik strategi lawan. Hitler dengan konsep Libensraum dengan menggunakan perang kilat (Blitzkriegs) mampu untuk menaklukan hampir sebagian daratan Eropa, tetapi inti dari PD-II yaitu konsentrasi Jerman hanya terfokus pada Inggris. Persiapan taktik strategi perang Hitler ternyata menunjukan ketidaksiapan, ia menyadari bahwa kekuatan AL Jerman tidak cukup kuat untuk menghadapi Inggris. Berbanding terbalik dengan Hitler, Dönitz menggunakan suatu konsepsi perang di laut, ia sangat antusias mencoba untuk mengalahkan Inggris di lautan Atlantik dengan kemampuan Kriegsmarines menggunakan armada U-boat. Hitler dan Dönitz keduanya memang memakai taktik maupun strategi andalannya, tetapi yang harus diperhatikan apakah hal itu dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi musuh. Ilmu psikologi (teori kepemimpinan) digunakan untuk menggambarkan karakteristik kepemimpinan Hitler maupun Dönitz, sehingga akan terlihat perbedaan masing-masing gaya kepimimpinan dari Hitler dan juga Dönitz. Konsep kepemimpinan mengacu pada bagaimana seorang pemimpin melakukan tugasnya untuk memimpin sekelompok prajurit untuk berlaga di
64
medan tempur.
Unsur-unsur dari segi psikologi terutaman pada segi
kepemimpinan bisa mempengaruhi perintah atasan kepada bawahan. Karena kharisma seorang pemimpin pasti akan merubah situasi maupun kondisi para awak kapal. Sama halnya dengan peristiwa Scapa Flow, perintah seorang Dönitz kepada kaptennya untuk menembus benteng pertahan Inggris. pada mulanya para awak U-47 ragu akan kemampuannya sendiri. Tetapi dengan gaya kepemimpinan Dönitz yang penuh wibawa dan dedikasi, menjadikan modal utama untuk memberikan kemampuan militer terbaiknya. Pada sub bab kedua berjudul tentang blokade Inggris di lautan Atlantik yang berisi mengenai jalannya blokade ditinjau dari segi geopolitik. Konsep blokade menurut ilmu politik yaitu, pengepunga (penutupan) atas suatu daerah atau negara (pelabuhan atau pantai) dengan kapal-kapal perang sehingga orang-orang dan barang, kapal dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas, atau bida juga pengepungan atas pertahanan musuh. Alasan penulis menggunakan konsep blokade dari ilmu politik, karena Dönitz menggunakan blokade semata-mata untuk tujuan politik yang mengarahkan target utama pada aspek ekonomi guna melumpuhkan seluruh potensi Inggris dalam segi pertahanan. Konsep geopolitik yang diambil dari ilmu politik digunakan karena sub bab ini memang membahas bagaimana cara Dönitz Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, subjudul ini menggunakan konsep politik yaitu geopolitik yang mengacu pada sebuah pemahaman letak geografis suatu negara yang akan menjadi kata kunci untuk mengatahui kelemahan lawan. Dalam hal ini, geopolitik dalam kajian penulis membahas bagaimana Dönitz mencari kelemahan Inggris melalui aspek letak
65
wilayah, dan karakteristiknya. Karena Inggris sebagai negara kepulauan yang segala kebutuhan nasionalnya sangat mengandalkan jalur pengiriman laut, sehingga mudah saja bagi Jerman untuk memblokade jalur tersebut. Dengan menggunakan taktik U-boat, blokade Inggris hampir saja dapat mencapai titik kejayaan. Pada sub bab ketiga membahas mengenai dampak dan upaya Dönitz dalam meyakinkan Hitler untuk mendukung kekuatan armada U-boat Kriegsmarines. Konsep yang digunakan pada sub bab ini yaitu taktik dan strategi perang yang mengacu pada pertempuan yang digunakan Dönitz yan memakai taktik wolfpack. Taktik tersebut diaplikasikan karena erat kaitannya dengan konsep geopolitik yang digunakan pada sub bab sebelumnya. Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan bagaimana dampak dari perbedaan taktik strategi perang antara Hitler dan Dönitz. Perbedaan ini mempunyai efek yang besar pada angkatan bersenjata Jerman, sebab jika suatu misi pertempuran akan mencapai sebuah kemenangan mutlak maka negara tersebut harus mempunyai grand teory. Grand teory ini, maksudnya konsep taktik yang digunakan sebagai landasan dari angkatan bersenjata bagi sebuah negara. Karena sebagai negara yang telah berhasil menguasai sebagian wilayah Eropa, Jerman seharusnya memiliki landasan teori perang. Walaupun pada dasarnya Jerman menganut kekuatan darat melalui tank-tank lapis baja yang sangat disukai Hitler, tetapi sebuah perbedaan muncul dari intern Jerman sendiri yaitu dengan munculnya prinsip yang dipegan Dönitz dengan yakin menggunakan konsep kekuatan laut. Konsep Dönitz tersebut disebabkan karena ia berupaya meyakinkan Hitler bahwa Jerman harus
66
memfokuskan penyerangan pada jalur laut, sehingga memberikan efisiensi waktu dan biaya, juga bisa tepat memotong urat nadi Inggris. Paparan mengenai sub bab-sub bab yang telah disebutkan di atas menggunakan pendekatan interdisipliner dimana penulis menggunakan disiplin ilmu lain yang serumpun untuk membantu menganalisis permasalahan agar tingkat analisis penulis lebih tajam pada kajian bab IV ini, sehingga nantinya hasil pembahasan bab IV ini tidak cenderung deskriptif-naratif namun lebih deskriptifanalitis. 4.1.
Perbandingan Perbedaan Pandangan Hitler Dengan Doenitz Dalam Tubuh Angkatan Bersenjata Jerman Berdasarkan hasil kajian interdisipliner dengan menggunakan konsep
perang yang berhubungan dengan taktik dan strategi perang, karena disiplin ilmu militer akan banyak di bahas pada subjudul ini. Latar belakang perbedaan pandangan strategi perang Hitler dan Dönitz merujuk kepada konsep Libensraum dan teori Alfred Thayer Mahan. Kedua teori besar tersebut menjadi fondasi strategi yang akan digunakan Jerman untuk melawan Inggris dan Sekutunya. Hitler dengan konsep Libensraum, meyakini bahwa jika ingin membesarkan sebuah negara maka seorang pemimpin harus memberi ruang untuk tumbuh dan kembangnya negara tersebut. Karena Libensraum menurut Haushofer ialah sebuah justifikasi untuk menginvasi dengan alasan sebuah kebutuhan negaranya. Maksud dari konsep tersebut adalah jika menguasai dunia dengan cara politik gagal maka langkanh lebih lanjut harus menempuh jalur perang (Hayati, 2007). Mempunyai
67
landasan pemikiran tentang konsep perang yang akan menjadi strategi dan taktik utama pada perang, serta selalu memikirkan seberapa besar kemampuan angkatan perang yang dimiliki. Pemikiran Clausewitz terhadap Hitler yang dipengaruhi oleh sebuah teori dari Heinz Guderian yang mempercayai taktik strategi secara cepat serang tank-tank lapis baja (Waldman, 2009). Menurut Clausewitz konsep perang adalah perang tidak akan pernah cukup hanya menggunakan kekuatan saja, tetapi perang juga harus menggunakan taktik yang sesuai dengan karakteristik lawan. Hal itu bertujuan untuk memaksa lawan untuk menyerah tanpa perlawanan yang berarti. Clausewitz juga menerapkan pertempuran yang fokus pada satu titik dan akan menyerang bagian jantung dari lawan. Karena jika menyerang pada titik jantung lawan, maka kekuatan akan tertuju pada satu titik dimana akan berjalan secara singkat dan berlangsung cepat, sebuah pemikiran Guderian tersebut akhirnya membuat Hitler terpacu mengembangkan taktik pertempuran darat yang nantinya akan disebut ‘Blitzkriegs’. Berbeda halnya dengan konsep taktik strategi Hitler pada pertempuran laut, ia terpengaruh oleh kedekatannya dengan Admiral Erich Raeder. Raeder meyakini dengan menandingi Royal Navy harus dengan kapal-kapal tempur berukuran jauh lebih besar dan juga fungsional. Sedangkan Dönitz yang menganut teori penganjur laut yaitu Alfred Thayer Mahan yang diaplikasikan oleh taktik dan strategi perang U-boat yang mengatakan bahwa; menurut Mahan (Sumida, 1997) jika ingin menguasai dunia maka negara tersebut harus mempunyai kekuatan laut yang besar. Dua keyakinan itulah yang akan menjadi latar belakang pada subjudul ini.
68
Sepak terjang Jerman pada kancah PD-I dan PD-II menjadi salah satu negara terkuat angkatan militernya. Jerman memiliki mesin tempur, kendaraan perang, serta pasukan yang terlatih dan memiliki kecenderungan terbiasa melatih kemampuan diri dalam menciptakan inovasi selama perang berlangsung. Selama PD-I tank lapis baja dan U-boat menjadi salah satu penunjang kekuatan Jerman, bahkan tidak jarang pasukan sekutu mengalami kesulitan dalam mengahadapi pasukan Jerman. Munculnya orang-orang kuat dalam tubuh angkatan bersenjata Jerman, membuat Hitler semakin bersemangat menaklukan daerah-daerah sekitar, dan tidak terkecuali sekutu. Kekalahan Jerman pada PD-I yang diakhiri dengan dilaksanakannya perjanjian Versailles (1919), yang isinya menyatakan bahwa melarang pihak Jerman untuk membangun dan mengoprasikan armada kapal selam (U-boat). Dalam perjaijian Versailles menitik beratkan ketakutannya pada armada U-boat, sudah terbukti ketangguhan U-boat dalam menenggelamkan kapal-kapal perang dan kapal-kapal dagang yang ukurannya jauh lebih besar mampu menenggelamkannya. Sejak kekalahannya pada PD-I Jerman tidak lantas berkecil hati untuk bisa membalas rasa sakit hati pada pasukan Sekutu. Di bawah kepemimpinan Hitler yang tegas dan penuh disiplin, Jerman sedikit demi sedikit mulai memperbaiki aspek politik dan juga militer. Karena pada saat itu kondisi politik Jerman mengalami kekacauan sehingga berimbas pada sistem dan mekanisme militer. Tetapi masa-masa sulit Jerman segera teratasi oleh pesatnya penelitian dan teknologi serta kepiawaian Hitler sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan Hitler pada PD-II tidak hanya mengubah tatanan pemerintah melainkan juga
69
mengenai konsepsi politik, dan sebuah strategi baru pada kekuatan militer. Hal tersebut ditegaskan oleh Karl von Clausewitz (Farago, 1942:5-14) dalam bukunya yang berjudul The Axis Grand Strategy, bahwa dalam peperangan aspek politik tidak bisa diabaikan, karena politik merupakan suatu pendorong kekuatan jika negara mempunyai semangat yang kuat. Politik juga menjadi suatu alat pembatas jika kekuatan sebuah negara mengalami kemunduran. Tidak hanya aspek politik, pemimpin pemerintahan harus mempunyai kemampuan dalam membangkitkan semangat rakyatnya hingga mencapai satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Kemajuan teknologi perkapalan khususnya kapal selam (U-boat) dan juga teknik strategi menjadi faktor yang paling dominan digunakan Jerman pada PD-II yang secara intensif melawan Inggris. Pertempuran di lautan Atlantik antara Jerman dan Inggris, merupakan pertempuran yang sangat mengandalkan kecermatan serta peluang dalam setiap penyerangan. Pada tahun 1936 – 1938 Jerman hampir selesai merampungan armada Kriegsmarines (angkatan laut) yang nantinya akan digunakan pada PD-II. Karena Jerman menyadari bahwa Inggris satu-satunya lawan yang cukup handal dalam kekuatan angkatan laut, sehingga dapat mengantisipasi jika Inggris secara mendadak menyatakan perang. Keberadaan kekuatan laut Jerman pada PD-I dan PD-II memiliki faktor pendorong dari masa Kaiser William II, yang menyatakan bahwa : “Masa depan kami berada diatas air”. Pernyataan tersebut menjadikan tolok ukur Laksamana angkatan laut Tirpitz selaku pimpinan dari Kriegsmarines (1897), untuk mempelajari dan menandingi kekuatan yang dimilki kerajaan Inggris (Earle, 1943).
70
Scafide (2007:1-2) dalam bukunya yang berjudul Germany and The U-boat : How Naval Ineptitude and Politicking Crushed The Hope Of Its Greatest Weapon, menambahkan bahwa Jerman menghabiskan satu dekade menjelang PDI dalam bersaing kekuatan armada laut dengan Inggris. Tujuannya adalah menandingi dan menghancurkan Inggris dengan kapal perang, dan ada juga proyek pengembangan dan produksi U-boat dalam mengambil kekuatan pada garis belakang pertempuran. Pada PD-I U-boat yang diproduksi memang sedikit lebih rendah tingkat kecanggihannya dibandingkan dengan kapal-kapal tempur milik Inggris. Hal itu menandakan dimulainya proses pertentangan pemikiran strategi antara militer dan politik Jerman yang pro dan kontra dengan potensi keberadaan U-boat di kancah Perang Dunia. Berbeda dengan Overette O Lemons (2002:181) dalam buku yang berjudul The Third Reich A. Revolution Of Ideological Inhumanity Vol.1 The Power Of Perception, menyatakan bahwa dalam kepemimpinan Hitler tidak ada yang bertentangan strategi didalam politik maupun militer yang terlalu mencolok pada aspek pemerintahan politik, khususnya pada perintah militer. Pertentangan dalam penentuan strategi hampir tidak akan mungkin terjadi, hal itu disebabkan oleh karakter Hitler yang tidak mudah percaya akan pemikikan dan pandangan orang lain begitu juga dalam menentukan keputusan strategi perang. Adapun pernyataannya Overette O Lemons (2002: xvii) dalam buku yang berjudul The Third Reich A. Revolution Of Ideological Inhumanity Vol.1 The Power Of Perception sebagai berikut : “Dönitz adalah seorang kepercayaan Hitler untuk mengirimkan sebuah strategi besar dalam suatu pertempuran. Pengabdian terhadap Hitler tdak perlu diragukan lagi, karena Dönitz memiliki ideologi yang sependapat
71
dengan Hitler baik pandangan politik maupun strategi militer. Hitler tidak menunjuk Dönitz sebagai kaki tangannya, melainkan Dönitz sendiri yang membuktikan dengan cara menunjukan kemampuan serta pengabdian terbaiknya pada Hitler” (2002:xvii).
Perbedaan pandangan mengenai strategi perang Hitler dan Dönitz memang masih terlihat samar. Beberapa literatur menyatakan bahwa Dönitz merupakan perwira kepercayaan Hitler, bahkan diakhir hayatnya Hitler menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Dönitz sebagai satu-satunya calon yang akan menggantikan dirinya. Disisi lain beberapa literatur mengatakan bahwa kedekatan Hitler dan Dönitz bukan berarti mereka mempunyai pemahaman yang sama tentang strategi perang. Sebagai sebuah gambaran tersirat jelas dari suatu peristiwa penting pada PD-II, dimana Dönitz sangat yakin akan kekuatan armada U-boat Kriegsmarines. Keyakinan Dönitz tidak serta merta mempengaruhi keputusan Hitler agar mendukung pengembangan dan produksi U-boat. Perbedaan pemikiran masingmasing perwira selaku anak buah Hitler, tidak serta merta menjadikan Jerman semakin terpuruk. Semakin heterogennya sebuah pemikiran dalam satu lembaga kemiliteran, maka akan membentuk sebuah kekuatan baru yang akan mempengaruhi jalannya pertempuran. Pernyataan tersebut senada dengan Robert J. O’Neill (Howard, 1965: 145-149) dalam bukunya yang berjudul The Theory and Practice of War, menyatakan bahwa walaupun tentara atau pasukan Jerman memiliki banyak keinginan dalam menuangkan ide-ide dalam pertempuran, disisi lain memiliki jiwa pengabdian yang cukup besar pada Hitler. Tentara Jerman memiliki suatu pemahaman yang besar efek dari majunya teknologi di medan
72
perang, dan memiliki keinginan yang kuat untuk menguji dan terobsesi ingin mengalahkan Sekutu dari hasil penemuannya tersebut. Sehingga menghasilkan inovasi yang sangat memuaskan dan bisa diandalkan. 4.1.1. Strategi Perang Menurut Adolf Hitler Pada pembahasan ini akan dijelaskan bagaimana suatu latar belakang pendidikan militer bisa mempengaruhi sebuah taktik dan strategi yang akan digunakan seseorang dimasa depan. Ditinjau dari teori Libensraum yang dikembangkan oleh Haushofer, strategi perang Hitler memiliki kecenderungan kepada mengandalkan justifikasi teori tersebut demi menguasai dunia (Hayati, 2007). Pemahaman Hitler pada kekuatan tank-tank lapis baja yang berhasil melumpuhkan Polandia menjadi modal utama yang menjadi prinsip penyerangan selanjutnya demi mencapai misi Libensraum Jerman. Ia memiliki pemikiran yang matang tentang sebuah konsep negara, dimana negara yang ia tempati harus berada diposisi paling puncak agar memiliki banyak kekuasaan, ia juga seorang ahli dalam menimbulkan perpecahan dikalangan negara-negara lain. Hal tersebut guna menciptakan kekacauan, kepanikan, pandangan pro dan kontra, sehingga menimbulkan keragu-raguan dalam bertindak. Sejak berhasil berkuasa di Jerman, Hitler merubah semua sistem pemerintahan Jerman. Pada aspek politik Hitler banyak mengadakan kerjasama dengan dengan negaranegara tetangga, maksud dari tujuan tersebut agar kekuatan yang dalam segi politik bisa bertambah (Srivanto, 2008:viii).
73
Pemahaman Hitler pada konsep kekuatan laut yang dugunakan pada pertempuran melawan Inggris di lautan Atlantik dipengaruhi oleh pandangan Erich Raeder. Kedekatan mereka akan mempengaruhi dukungan terhadap Kriegsmarines khususnya pada armada kapal-kapal tempur permukaan. Menurut Raeder untuk mencegah Inggris masuk pada PD-II dengan cara menampilkan keperkasaan sebuah armada, dengan cara itu diharapkan Inggris sedikit sungkan dan akan mengurungkan niatannya untuk terlibat dalam pertempuran. Hitler pun tertarik dengan ide Raeder dan kemudian akan melanjutkan pemilihan taktik juga strategi pertempuran. Taktik yang dipilih adalah duel, dimana sebuah kapal tempur Jerman menemukan kapal-kapal tempur maupun kapal dagang yang dilengkapi persenjataan lengkap maka harus segera dihampiri. Sedangkan taktik dalam menggunakan U-boat, Hitler lebih memilih U-boat sebagai armada pelengkap yang bisa membantu kapalkapal perang permukaan ketika sedang mengalami kesulitan. Erich Raeder selaku Oberbefehlshaber der Kriegsmarine (laksaman besar angkatan laut Jerman), mengajukan rencana taktik strategi kepada Hitler. Ia menyebutkan bahwa perang sudah diambang pintu dan Jerman pun harus mempersiapkan diri khususnya pada kekuatan laut, hal tersebut akan diaplikasikan pada blokade jalur perdagangan Inggris oleh kapal-kapal tempur permukaan. Rencana kedua yang lebih polpuler dengan sebutan Z Plan. “Z Plan, merupakan program jangka panjang Jerman yang didasarkan pada asumsi perang yang akan berlangsung selama sepuluh tahun lebih. Berdasarkan rencana ini, Jerman akan membangun armada kapal permukaan sehingga unggul daripada Royal Navy (Angkatan Laut Inggris). Rencana Z ini juga ingin menegaskan bahwa Jerman bisa
74
merebut predikat penguasaan lautan dari tangan Inggris. Menurut Raeder yang memberikan nasehat kepada Hitler, bahwa ia harus melanjutkan berdasarkan Z Plan. Pada akhirnya keputusan ini, sangat keliru pada waktu yang akan datang, dan hal ini sulit untuk dimengerti. Alasan Hitler menghargai kapal-kapal besar adalah untuk tujuan politik, karena dengan mempunyai kapal-kapal yang bisa menandingi kapal-kapal milik Inggris maka kekuatan Kriegsmarines Jerman akan berpengaruh pada seluruh Eropa. Perhatian Hitler juga tampaknya telah disita dengan keinginannya untuk meniru dan mungkin melampaui kekuatan laut milik Inggris, ia sedikit mengantisipasi bahwa rencana ini akan melibatkan dirinya dalam pertempuran melawan Jerman. (Farago, 1942: 2).
Sedangkan pada aspek militer Hitler banyak melakukan upaya-upaya perbaikan sistem maupun hal-hal teknis. Pengembangan yang paling rahasia dan yang paling ditakutkan oleh negara-negara sekutu adalah produksi U-boat dalam berbagai tipe dan ukuran, serta pada kapasitas teknologi yang dimilki. Pernyataan diatas senada dengan Robert J. O’Neill yang mengatakan bahwa : “Tentara Jerman, di sisi lain memiliki pemahaman yang lebih besar dari efek teknologi di medan perang, dan pergi untuk menguji hasil-hasil penemuannya untuk melawan rasa ketakutan melawan kekalahan yang akan dihadapi. Tentara Jerman tidak berarti sendirian di memahami kekuatan unit mekanik untuk memecahkan kebuntuan saat ini disebabkan oleh dominasi pertahanan bahkan ide-ide terbaik datang dari luar negeri juga tidak kurangnya kelompok berat dari konservatif yang berpegang teguh pada kavaleri gagasan Perang Besar. Keuntungan Jerman cukup yakin, bahkan nyaris tidak cukup kombinasi, faktor, dan sebagian yang disengaja, untuk membawa ide untuk berbuah” (Howard, 1965: 149).
Masuknya Hitler pada partai Nasional Deutsche Arbeiterpartei sozialistische (Nazi), memberikan banyak pengaruh pada sistem kerja prajurit militer. Pengalaman Hitler dalam barisan depan membuat pandangan akan strategi perang ikut mengalami perubahan. Kerja keras dalam menentukan dan menciptakan taktik strategi menghasilkan inovasi yang sangat brilian. Konsep
75
Blitzkriegs yang diciptakan oleh Hitler, menjadi tolok ukur semua angkatan bersenjata Jerman. Apapun jenis taktiknya, maka konsep blitzkriegs harus tetap menjadi fondasi utama dalam penyerangan dan tidak terkecuali penyerangan oleh armada U-boat. Kesuksesan Jerman terhadap Polandia, Norwegia, negara-negara di dataran rendah Eropa, dan Perancis sebagian besar adalah hasil kombinasi efektif yang sangat luar biasa dari strategi militer maupun strategi politik yang penuh daya cipta dan berani. Dengan kata lain, teknik-teknik militer yang baru digabungkan dengan keberanian yang revolusioner untuk menciptakan kekuatan raksasa yang mampu mengahancurkan pertahanan Eropa Barat bak seperti krikil-krikil tajam yang mudah disingkirkan. Pada dasarnya yang menjadi inti strategi Hitler adalah seorang yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain, dan Hitler sendiri tidak mempercayai penerus ataupun pendahulunya karena mereka adalah orangorang yang bersikap lunak. Hitler hanya mempercayai dirinya sendiri, hal tersebut disebabkan oleh rencana strategi besarnya, dimana visi, pengetahuan militer dan politik yang sangat luas, serta memahami peninggalan-peninggalan historis. Oleh karena itu seluruh program penaklukan dari awal sampai akhir harus dilakukan atas ide dan perintah dia sendiri. Hitler pun cukup cermat mengerti bahwa kunci sukses dari semua rencananya ialah mencapai kesepakatan dengan Inggris yang akan memegang peranan besar didalam menetukan sikap Amerika terhadap Jerman Nazi.
76
Kendatipun tampaknya ia mengerti akan kepentingan yang vital dari sokongan Inggris terhadap Jerman, namun Hitler melaksanakan strategi politik yang lambat laun akan melibatkan ia didalam peperangan melawan Imperium Inggris. Bagi kaum Nazi angkatan perang Jerman hanya mearupakan mata pemotong yang tajam dari mesin perangnya didalam strategi totaliter mereka, operasi-operasi militer dan perang bukan merupakan langkah pertama yang dituduhkan pada musuh melainkan senjata terakhir yang sangat disanjung dan tak terelakan. Keyakinan Hitler akan ampuhnya penyerangan darat dapat mudah menghancurkan kekuatan musuh dilatar belakangi oleh latar belakang pendidikan militernya. Masuknya Hitler pada angkatan bersenjata Jerman khususnya angkatan darat dan pengalaman pada barisan depan, membuat kuatnya taktik strategi Blitzkriegs yang mengandalkan teror-teror dan juga perang dengan kendaraan lapis baja yang canggih dan berukuran besar. Karena dengan memperlihatkan kekuatan armada dengan ditonjolkannya kendaraankendaraan yang mampu mencerminkan sosok raksasa pemangsa manusia yang jahat dan kejam yang akan menghabiskan musuh-musuhnya dengan sekali telan. Penjelasan diatas diperkuat oleh Edwar Mead Earle (1943:407) dalam buku yang berjudul Makers Of Modern Strategy, mengatakan bahwa : “Inti dari strategi Hitler dimasa damai maupun dimasa perang ialah dengan cara strategi teror. Untuk mencapai kekuasaan di Jerman ia memenangkan pertarungan untuk memenangkan jalan-jalan Raya...”.
77
4.1.2. Strategi Perang Menurut Dönitz Melihat kegigihan dan keberhasilan Dönitz sebagai pemimpin armada Uboat yang berhasil mencetak sebuah prestasi yang mengagumkan, penulis merasa perlu menjelaskan bagaimana latar belakang yang mempengaruhi taktik dan strategi yang akan ia gunakan pada pertempuran bawah laut melawan Inggris. merujuk pada teori penganjur kekuatan laut dari Alfred Thayer Mahan (Sumida, 1997), Doenitz selalu berupaya mengmbangkan kekuatan untuk mempersiapkan armada U-boat dalam pertempuran melawan Inggris. Sama halnya dengan latar belakang Hitler, taktik dan strategi Dönitz pun dipengaruhi oleh pemahaman dan pendidikan militernnya. Prestasi-prestasi Dönitz pada Kriegsmarines membuat persaingan antar petinggi angkatan bersenjata Jerman, yaitu Heinz Guderian (Macht Heer), Erich Raeder (Kriegsmarine) dan Herman Goring (Luftwaffe). Tidak hanya persaingan secara keras, kritik-kritik pedas tidak bisa dihindari oleh Dönitz yang bersikukuh ingin membuktikan bahwa kapal selam (U-boat) memiliki kemampuan yang luar biasa dalam melumpuhkan lawan, khususnya kekuatan super power AL Inggris. Pada pihak tank lapis baja yang dipimpin oleh Heinz Guderian telah menciptakan hasil yang luar biasa dalam menggempur dan menaklukan Polandia, Belanda, Belgia, Cekoslovakia, dan juga Perancis. Dukungan Hitler terhadap strategi Guderian sangat besar, sehingga proses penyerangan secara ofensif terus dilakukan hingga mencapai puncak kejayaan PD-II. Masa keemasan tidak hanya milik angkatan darat saja, angkatan udara pun tidak luput dari perebutan
78
perhatian sang Fuhrer. Angkatan udara menggoreskan prestasi yang gemilang pada pertempuran melawan Inggris (The Battle Of Britany), karena pasukan Luftwaffe dikenal dan ditekuti oleh pihak sekutu dengan pesawat Stuka. Dibalik prestasi-prestasi yang sudah diraih oleh AD dan AU Jerman, Dönitz mulai memperlihatkan diri dengan kemampuannya menciptakan taktik baru dan mampu menggantikan doktrin yang telah lama dipercaya. Salah satu prestasi yang paling cemerlang yang dihasilkan Dönitz yaitu suatu konsep taktik baru yang dikutip sebagai berikut : “Sejak bulan November 1937 di kepala Dönitz sudah bersarang konsep baru mengenai tugas dan fungsi armada kapal selam Jerman sebagai sistem persenjataan yang efektif dan juga efisien untuk mengalahkan armada AL Inggris. Dengan konsep barunya itu, Dönitz ingin mengubah sudut pandang dan pemikiran kolot para petinggi AL Jerman selama ini yang kerap memandang sebelah mata potensi dan kemampuan kapal selam. Menurut Dönitz, kapal selam haruslah menjadi sebuah armada tersendiri yang terpisah dari armada kapal perang permukaan. Sama halnya seperti Jenderal Guderian yang menginginkan tank-tank Jerman menjadi satu kesatuan tersendiri yang terpisah dari unit infantri” (Subiakto, 2010:209).
Untuk memperkuat penjelasan diatas, Menurut Jhon Keegan Hamlyn (1977:74) dalam buku yang berjudul Encyclopedia Of World War II, menjelaskan bahwa Laksamana Karl Dönitz adalah seorang perwira angkatan laut yang disiplin dan penuh dedikasi pada Nazi (Hitler). Ia Seorang perwira Angkatan Laut kekaisaran, di mana ia ditugaskan pada tahun 1910. Dönitz diangkat menjadi kepala pelayanan kapal U-boat oleh Hitler pada tahun 1939, yang diarahkan sampai Januari 1943. Kemampuan dan pengalaman yang
79
dimiliki, menjadikan Dönitz sebagai perwira yang memiliki talenta dalam memimpin sebuah misi penyerangan. Pemikiran Dönitz yang peka terhadap potensi armada U-boat mengeluarkan
sebuah
argumen,
bahwa kekuatan
kapal-kapal
tempur
permukaan yang digambarkan bagaikan sosok raksasa tidak akan ada artinya dan tidak akan sanggup melawan serangan armada U-boat. Hasil pemikiran tersebut tidak hanya dipendam dalam lubuk hati, tetapi Dönitz aplikasikan pada taktik dan strategi yang ia kembangkan pada PD-II. Sesuai dengan kemampuan yang ia miliki, sedikitnya Dönitz memainkan bagian penting dalam membangun dan merencanakan armada U-boat. Dalam rencananya Dönitz berkeyakinan bahwa Jerman akan mempekerjakan armada U-boat pada PD-II. Dönitz sangat menyadari bahaya dan kesulitan yang akan dihadapi U-boat dalam perang melawan Inggris. Setidaknya ia akan meminta bantuan dari Luftwaffe untuk membantu mengintai U-boat dalam memblokade kapal-kapal dagang dari serangan kapal perusak milik Sekutu. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Clair Blair (Schaeffer 2005) yang berjudul The U-boat Campaign, menyatakan bahwa bahwa : “This conviction derived from a close study of Germany U-boat records, official and unofficial naval histories of World War I, and his own Uboat experiences. In his view, the small, primitive Imperial Navy U-boat force had come very close to imposing a warwinning blockade against Great Britain. Had Germany build large numbers of U-boats rather than big sgips for the High Seas Fleet, and had the Kaiser authorized unrestricted U-boat warfare in the first year of the war, Doenitz concluded, Germany could have achieved an early and decisive naval victory over the Allies. With proper organization and planning and
80
modern submarines and news tactics, he believed victory could be realized in the war he saw coming”. Yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut : “Keyakinan ini mengacu pada belajar dari dekat mengenai catatan U-boat German, baik secara resmi maupun tidak resmi mengnai sejarah angkatan laut pada PD-I, dan untuk pengalaman U-boat sendiri. Dalam pandangannya itu, berfikir dangkal dan primitif armada angkatan laut Kekaisaran telah datang sangat dekat dengan menerapkan suatu konsep kemenangan perang dengan memblokade Inggris Raya. Apakah Jerman membangun selumlah U-boat dalam ukuran besar daripada sebuah sgips besar untuk kelompok elit angkatan laut (kapal perang), dan memiliki wewenang terbatas dari Kaisar untuk kapal perang pada tahun-tahun pertama perang, Dönitz menyimpulkan bahwa, Jerman bisa mencapai kemenangan dengan armada angkatan lautnya pada dan akan menentukan jalannya situasi perang atasa Sekutu. Dengan perencanaan dan kapal selam berteknologi canggih serta taktik baru, Dönitz percaya dengan cara tersebut kemenangan bisa diwujudkan pada perang kali ini (PD-II)”.
4.1.3. Perbandingan Gaya Kepemimpinan Antara Hitler dan Doenitz Pada hasil kajian interdisipliner melalui ilmu psikologi yaitu dengan teori Kepemimpinan
(http://www.scribd.com/doc/51270756/TEORI-
KEPEMIMPINAN), maka akan diketahui bagaimana seorang Hitler mengolah keterampilan memimpin dan kharismanya supaya mendapat dukungan penuh dari para prajurit. Untuk memulai penilaian gaya kepemimpinannya penulis harus mengamati secara teliti bagaimana karakter Hitler pada setiap peristiwa sejarah yang telah dibukukan, hal tersebut dimulai dari serah riwat hidup Hitler. Hitler lahir pada 20 April 1889 di Braunau Am Inn Austria, ia dibesarkan oleh keluarga berkecukupan karena ayahnya adalah seorang pegawai bea cukai dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Hitler semenjak kecil tidak begitu menyukai ayahnya, karena sikap dan perilakunya sedikit
81
tegas. Ketika usia remaja Hitler mengalami kesulitan dalam pendidikannya, ia sosok siswa yang kurang menonjol dalam beberapa bidang, hanya saja impian terbesarnya ingin menjadi seorang seniman. Pada tahun 1913 Hitler pindah ke Munich. Disaring untuk layanan militer Austria pada Februari 1914, ia diklasifikasikan sebagai tidak layak karena semangat fisik yang kurang memadai, tetapi ketika Perang Dunia I pecah ia segera menawarkan diri untuk tentara Jerman dan bergabung dengan Bavaria ke-16 Resimen Infanteri cadangan. Ia melayani sepanjang perang, terluka pada bulan Oktober 1916, dan digas dua tahun kemudian. Dia dirawat di rumah sakit ketika konflik berakhir. Selama perang, dia terus menerus di garis depan sebagai seorang pelari markas; keberaniannya dalam aksi itu dihargai dengan Iron Cross, Kelas Kedua, pada bulan Desember 1914, dan Iron Cross, Kelas Pertama (hiasan langka untuk kopral), pada bulan Agustus 1918. Dia disambut dengan antusiasme perang, sebagai bantuan besar dari frustrasi dan tanpa tujuan hidup sipil. Dia menemukan disiplin dan persahabatan yang memuaskan dan dikonfirmasi pada keyakinannya dalam kebijakan heroik perang. Pada tahun 1920 ia dimasukkan ke dalam biaya propaganda partai dan meninggalkan tentara untuk mengabdikan dirinya untuk meningkatkan posisinya dalam partai, yang pada tahun itu berganti nama menjadi Nasional Deutsche Arbeiterpartei sozialistische (Nazi). Kondisi yang matang untuk pengembangan partai semacam itu (http://www.biography.com/articles/Adolf-Hitler-9340144). Adolf Hitler ialah seorang jenius berdarah dingin yang memiliki idealisme yang kuat untuk mencapai sesuatu demi kejayaan bangsanya. Ia
82
seorang yang disiplin, tegas, memiliki visi dan misi yang kuat, berprinsip, tegas, dan
juga tenang. Selain memiliki kelebihan yang luar biasa dalam
menjunjung tinggi derajat Negara dan Bangsanya, kepribadian Hitler pun memiliki kelemahan yang mampu menbuat ia terpuruk. Bagaimanapun jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang menakjubkan pasti terselip sebuah kelemahan, dan kelemahan terbesar Hitler berasal dari dalam dirinya sendiri. Kelemahan Hitler yaitu sulitnya menerima saran ataupun kritik dari orangorang disekitarnya (Braunbeck, 1997:1). Sama halnya dengan gaya kepemimpinan Hitler, Dönitz pun memiliki karakteristik tersendiri jika sedang memimpin sebuah pasukan. Hasil dari studi literatur penulis mencoba mengamati bagaimana gambaran umum sebuah tokoh pada setiap buku-buku rujukan. Dengan demikian pengamatan dimulai dengan memaparkan secara singkat mengenai riwayat hidup Karl Dönitz. Laksaman Besar Karl Dönitz dilahirkan di Grunau, sebuah wilayah di Berlin, Jerman pada 16 september 1891. Karirnya dimulai sejak ia mendaftar sebagai kadet perwira AL Jerman (Seekadett) yang saat itu bernama Kaiserliche Marine (Imperial German Navy) pada usia 19 tahun. Pada tahun 1913 Dönitz lulus sebagai perwira AL dengan pangkat letnan dua laut (Leutnant zur See). Pada pecahnya Perang Dunia I, Doenitz ditempatkan di
sebuah kapal
penjelajah ringan Jerman yaitu kapal Breuslau yang bertugas di laut Mediterenia. Setelah mendaftar menjadi perwira angkatan laut Jerman, dan menjadi salah satu lulusan yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam
83
mengambil keputusan taktik dan strategi perang. Bakat Dönitz memang terlihat jelas saat menjalani pendidikan militernya. Ia memberikan banyak inovasiinovasi yang segar dan mampu menjadi tolok ukur kualitas suatu starategi. Keberanian Dönitz dalam menciptakan taktik dan strategi baru, yang pada saat itu angkatan bersenjata Jerman sangat mempercayai kekuatan tank-tank lapis baja, serta menganut paham yang dicetuskan oleh Afred T. Mahan. Doktrin tersebut pada intinya mempercayai kekuatan laut yang terdiri dari kapal-kapal perang permukaan, dan kapal selam hanyalah bagian dari unit pendukung serangan terhadap kapal perang musuh (Sumida, 1997). Pada tanggal 22 Maret Dönitz dipromosikan menjadi Letnan satu laut (Oberleutnant zur See), dan ia meminta izin untuk ditransfer ke kesatuan armada kapal selam Jerman. Dönitz kemudian mulai bertugas di kapal selam U-39 sebagai Perwira Pengamat Satu pada Oktober 1916. Ia baru dipercaya memimpin sebuah kapal saelam pada bulan Februari 1918, yaitu sebagai komamndan U-61 yang juga beroparasi di laut Mediterenia. Pada tanggal 4 Oktober 1918 kapal selam yang dipimpin oleh Dönitz berhasil ditenggelamkan oleh Sekutu, dan beruntung Dönitz berhasil selamat dan baru dibebaskan pada bulan Juli 1919, dan kembali ke Jerman pada tahun 1920. Perjuangan Dönitz tidak berhenti sampai disana, Dönitz pun melanjutkan karir angkatan lautnya dengan bergabung pada angkatan laut Jerman (Vorlaufige Reichsmarine), dan pada tanggal 10 januari 1921 ia pun diangkat menjadi
kapten
(Kapitanleutnant)
di
sebuah
kapal
motor
torpedo.
Kepemimpinan Dönitz pada kapal motor torpedo, melainkan karena pasca
84
Perang Dunia I, AL Jerman dilarang untuk memiliki dan mengoprasikan kembali armada U-boat oleh Sekutu, hal tersebut tertulis pada perjanjian Versailles tahun 1919. Pelarangan U-boat dalam kancah Perang Dunia II tidak lantas meruntuhkan semangat Dönitz untuk membuat gebrakan-gebrakan baru pada perang bawah laut. Perbandingan mengenai gaya kepemimpinan Hitler dan Dönitz adalah sama-sama didasari oleh teori kepemimpinan berdasarkan atribut pemimpin. Seperti halnya yang sudah dipaparkan pada bab dua mengenai teori kepemimpinan
berdasarkan
atribut
pemimpin,
penulis
menyimpulkan
kesamaan gaya kepemimpinan antara Hitler dan Dönitz berdasarkan pada aura kharismatik yang mereka miliki. Kharismatik itu sendiri muncul akibat dari sebuah atribusi dari proses interaktif antara pemimpin dan pengikut. Atributatribut kharisma tersebut diantaranya ialah, rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut. Jika diperhatikan secara seksama perbedaan antara Hitler dan Dönitz terletak pada bagaimana kedua pemimpin tersebut melakukan interaksi, melakukan perintah, dan menangani suatu masalah yang harus dihadapi. Sosok Hitler adalah seseorang yang ambisius, tenang, selalu teguh pada pendiriannya walaupun ia mengetahui bahwa hal tersebut keliru. Karakteristik itu lah yang membuat pemikiran/pandangan Hitler kurang begitu berkembang, dan menjadikan ketidaknyamanan bagi bawahannya. Sehingga banyak para jendral
85
yang kecewa, dan berupaya melakukan percobaan pembunuhan pada Hitler, dan dampak terburuk adalah berkurangnya rasa loyalitas para bawahan yang membuat angkatan bersenjata Jerman semakin terpuruk. Sedangkan Dönitz sosok seorang pemimpin cerdas, optimistis, tenang, suka mengambil resiko, dan suka mencoba hal-hal baru. Karakteristik tersebut memberikan pengaruh yang cukup baik pada PD-II dimana segalanya bisa terjadi secara tak terduga, dan juga ia harus bisa menyesuaikan taktik sesuai dengan situasi dan kondisi medan pertempuran. Contohnya pada misi U-47 yang dipimpin Gunther Prien yang diberi tugas berbahaya yaitu menembus benteng pertahanan Inggris di Scapa Flow, walaupun secara teori hal itu sulit di tembus oleh U-boat, tetapi komandan dan para awaknya bersedia dengan sepenuh hati menjalankan misi tersebut. Secara mengejutkan misi yang dipimpin Prien berhasil, dan hal itu berdampak langsung pada kepopuleran kepemimpinan Dönitz dimata dunia. Kharisma Dönitz tidak hanya membuat para prajurit patuh dan loyal pada dirinya, seorang pemimpi besar sekaliber Hitler pun mempercayai dan menyerahkan tahtanya kepada Dönitz untuk meneruskan kepemimpinannya hingga berakhirnya PD-II yang membuat trauma psikis yang sangat dalam.
4.1.4. Perbedaan Pandangan Antara Hitler dan Doenitz Mengenai Taktik U-boat Di Lautan Atlantik 1939-1944 Pada sub bab ini merujuk pada teori strategi perang yang diyakini oleh Hitler dan Dönitz, yang telah disinggung pada bab dua dan diaplikasikan pada
86
taktik pertempuran melawan Inggris di lautan Atlantik. Masing-masing dari kedua teori tersebut akan mengarahkan materi pada anak subjudul ini. Sehingga akan mampu menggambarkan uraian materi dimana Hitler pada dasarnya menganut teori Libensraum. Pada dasarnya Libensraum merupakan sebuah pemahan tentang suatu justifikasi untuk menginvasi negara-nagara disekitarnya untuk kebutuhan sebuah negara yang ingin berkembang. Semua srtategi Hitler merujuk pada konsep Libensraum. Pada kekuatan darat yang juga dipengaruhi oleh Guderian, Hitler menggunakan taktik serangan secara cepat/kilat yang disebut Blitzkriegs (Waldman, 1997). Konsep Blitzkriegs yang dianut Hitler memang dipakai diberbagai angkatan bersenjata Jerman, mulai dari angkatan darat, angkatan udara, dan angkatan laut. Alasan Hitler sangat fanatik menggunakan taktik secara cepat tersebut disebabkan oleh efisiensi dari segi waktu dan biaya, Hitler menganggap bahwa akan terasa sangat sulit jika Jerman harus melalui peperangan dengan koalisi yang sangat besar (Sekutu) dalam jangka waktu panjang. Oleh karena itu untuk mencegah banyaknya gesekan pada lawan, maka Hitler melakukan serangan seminimal mungkin tetapi dapat hasil yang maksimal, fleksibel, dan cepat. Cara lain yang digunakan Hitler adalah, menghancurkan musuh melalui kelemahannya serta menyerang secara cepat dan mengejutkan agar kondisi psikologis musuh menurun. Masuknya Inggris pada PD-II membuat Hitler panik mempersiapkan taktik serangan, hal itu sangat wajar mengingat Hitler tidak mempunyai basic untuk pertempuran di laut. Pada awalnya Hitler memang takut untuk
87
menghadapi kekuatan AL Inggris yang begitu kuat dan besar. Hitler menyadari Jerman tidak akan mampu untuk menandingi Royal Navy dalam waktu singkat. Tetapi Hitler memiliki perwira-perwira yang dapat diandalkan untuk mencari solusi terbaik melawan kekuatan AL Inggris. Kedekatan Hitler dengan laksamana besar Erich Raeder selaku pemimpin Kriegsmarines, membuat pemahaman Hitler terbuka mengani kekuatan laut. Raeder secara intensif memberikan pengarahan dan penjelasan mengenai taktik kekuatan laut, sehingga pada akhirnya Hitler percaya bahwa jika Jerman ingin mengalahkan Inggris di lautan, maka Jerman harus menandingi kekuatan Royal Navy. Karena dengan semakin besarnya kapal yang dimiliki itu akan membuktikan betapa kuatnya Kriegsmarines dimata Inggris, dan Jerman berharap Inggris segera menyerah pada PD-II. Masuknya pemikiran Hitler mengenai taktik serangan pertempuran laut tidak lepas dari pengaruh konsep dasarnya Raeder. Konsepsi dari taktik yang dipahami Raeder lebih cenderung pada aspek kuantitas, dan tidak mengacu pada segi kualitas yang fungsional. Walaupun pertempuran laut adalah lebih kepada efisiensi waktu dan jumalah kerugian yang akan dirasakan Jerman, taktik Hitler tersebut adalah melakukan serangan dengan menggunakan kapalkapal tempur berukuran besar dan U-boat sebagai alat tambahan sekaligus cadangan jika mengalami keadaan darurat. Menurut Hitler U-boat belum pantas dipercaya untuk melakukan serangan secara mandiri karena ukuran yang jauh lebih kecil dari kapal-kapal tempur Inggris. Tetapi taktik Hitler tidak membuahkan hasil yang signifikan, melainkan hasil yang maksimal diperoleh
88
dari armada U-boat pimpinan Dönitz dengan taktik Wolfpack nya. Serangan menggunakan kapal-kapal tempur Jerman dilakukan secara individual untuk blokade kapal dagang Inggris dan menenggelamkannya. Taktik yang digunakan Hitler adalah taktik ofensif, tetapi tidak sepenuhnya ofensif. Karena kebanyakan serangan yang dilakukan kapal-kapal tempur permukaan Kriegsmarines dengan cara menunggu mangsanya datang, setelah jarak cukup memungkinkan barulah mendekat dan langsung menembakan torpedo kearah lawan. Sikap gaya pertempuran seperti itu tidak mewakilkan segi ofensif yang diperankan oleh Hitler pada angkatan darat, pertempuran di lautan memaksa Hitler untuk berpura-pura tegar dan berani. Pertempuran di lautan membuat Hitler kehilangan jatidirinya dalam segi konsep ‘blitzkriegs’ nya, dimana ia sangat begitu yakin dan bersemangat melakukan serangan-serangan jalur darat dengan tank-tank lapis baja. Bagaimana tidak, pertempuran dengan cara duel sangat memudahkan Jerman untuk dikalahkan, hal tersebut dikarenakan kesalahan pada taktik yang digunakan. Seharusnya jika ada suatu konvoi yang akan melintas perairan Atlantik, maka kapal-kapal tempur Jerman segera berkumpul untuk mendiskusikan suatu formasi untuk memecahkan formasi lawan dan juga tanpa pandang bulu segera megnirimkan torpedo-torpedo hingga tidak ada satu kapal pun terlihat mengambang ( Howard, 2007). Berbeda halnya dengan Hitler, Dönitz memiliki pengalaman dan pengamatan secara intensif kepada kelemahan-kelemahan Inggris yang nantinya akan digunakan sebagai senjata pada pertempuran di lautan Atlantik 1939-1944. Taktik yang digunakan Dönitz mengacu pada teori kekuatan laut
89
Alfred Thayer Mahan dan Liddle Hart, tetapi Dönitz mengembangkan teori tersebut dan mengaplikasikannya kepada armada U-boat. Fungsi U-boat menurut Dönitz adalah menjadi peran utama dalam blokade Inggris di lautan Atlantik dengan cara menyerang konvoi kapal-kapal dagang Inggris dengan formasi tertentu, untuk memudahkan proses kerjasama team. Prestasi armada U-boat dengan taktik Wolfpack menoreh banyak hasil yang memuaskan Hitler di awal PD-II. Hal itu manjadikan satu-satunya alasan utama Dönitz untuk terus mengupayakan produksi dan pengembangan armada U-boat (Lemons, 2003). Taktik yang digunakan Hitler tidak sepenuhnya gagal secara keseluruhan. Walaupun tidak maksimal dalam menambah jumlah tonase kapal-kapal dagang yang berhasil ditenggelamkan, tetapi perubahan pandangannya mengenai kekuatan laut akan sangat berpengaruh pada dukungannya terhadap U-boat dan akan menghasilkan kolaborasi yang brilian antara taktik wolfpack dengan konsep blitzkriegs. Penggabungkan dua konsep jadi satu (wolfpack dan blitzkriegs) pada taktik pertempuran bawah laut, mengantarkan U-boat kepada puncak kejayaan yang sesungguhnya.
4.2.
Jalannya Blokade Inggris Di Lautan Atlantik Tahun 1939-1944 4.2.1.
Letak Geografis Inggris Raya Ditinjau Dari Segi Geopolitik
Pada subjudul ini dengan mengunakan kajian interdispliner pada ilmu politik (geopolitik) yang akan menjelaskan tentang arti penting dari sebuah geopolitik yang berpengaruh pada taktik dan strategi sebuah negara. Teori
90
geopolitik menurut Alfred Thayer Mahan, pada dasarnya mendukung keberhasilan suatu negara berdasarkan memanfaatkan letak geografis negara secara alamiah, dan juga dapat dimanfaatkan bagi petinggi-petinggi militer maupun para petinggi politik. Merujuk pada konsep blokade yang penulis pinjam dari ilmu politik dan telah dijelaskan pada bab dua, bahwa penyergapan kapal-kapal dagang milik musuh akan membuat negara tersebut menjadi kollapse, dan jika sebuah negara mengalami kollapse maka akan mengacaukan seluruh sistem (ekonomi, sosial, politik, dan militer). Konsep blokade yang diterapkan pada subjudul ini adalah tentang bagaimana taktik penyerangan guna mempermudah blokade terhadap kapal-kapal dagang milik Inggris. Sama halnya dengan konsep blokade, taktik Wolfpack yang diterapkan Dönitz pada pertempuran laut pada PD-II merupakan konsep pengembangan dari blokade. Berdasarkan letak geografisnya Inggris berada pada posisi yang sangat strategis di sekitar daratan Eropa. Inggris dikelilingi oleh lautan yang besar dan dapat dijadikan suatu pertahanan yang dapat menimimalisir penyeranang yang dilakukan musuh. Maka dari itu Inggris berusaha memperkuat kekuatan dan kedudukannya di laut, dengan melatih dan
mengembangkan
armada
angkatan
lautnya.
Berdasarkan
letak
geografisnya, maka Inggris Raya menganut Teori Geopolitik Kekuatan Laut menurut Alfred Thayer Mahan dan Liddle Hart, yang sudah dijelaskan pada bab dua. Imam Hidayat dan Mardiyono dalam skripsi Fauzi Fahri (2010) menulis :
91
“Inggris berdasarkan geopolitiknya pada posisi kekuatan dan kekuasaan negara-negara di sekitar daratan Eropa. Oleh karena negara Inggris dikelilingi oleh lautan yang besar, maka Inggris berusaha memperkuat kedudukannya di laut. Dan untuk mencegah agar jangan sampai di daratan Eropa ada kekuatan yang mengimbangi, maka Inggris selalu berusaha untuk menjalankan politik perimbangan kekuasaannya/kekuatannya di Eropa. Dengan demikian Inggris tetap menjaga stamina kekuasaannnya di Eropa dan dunia.
Sejak dahulu dengan kekuatan armada angkatan lautnya Inggris mampu menjelma menjadi negara yang terkenal dengan kekuatan Royal Navy. Faktor keuntungan secara alamiah, adalah letak geografis Inggris yang merupakan negara kepulauan, dan terpisah dari daratan utama Eropa. Inggris berada di sebelah barat Perancis, dipisahkan oleh selat Channel. Selat yang memisahkan daratan Eropa dengan Inggris menjadi halangan yang cukup berati bagi kekuatan angkatan laut Jerman, keuntungan lain ialah cuaca di selat tersebut seringkali tidak menguntungkan bagi musuh. Penjelasan diatas diperkuat oleh Liddle Hart dalam skripsi Fauzi Fahri (2010:47), mengatakan bahwa : “Another German handicap was the weather, and that in a double sense : The Weather over the English Channel was often unfavourable for the attacking side, and as it usually came from the west, the British usually knew about it first. The German had broken the cipher of the British radio meteorological reports from the Atlantic, but they profited little from it, and often caught out. “(Hambatan lain yang dimiliki oleh Jerman adalah cuaca, dan ini dalam dua hal : cuaca di atas Selat Channel (Inggris) seringkali tidak mendukung bagi pihak penyerang, da biasana muncul dari sebelah barat, serta Inggris biasanya mengetahui hal ini lebih dulu. Jerman telah memecahkan kode laporan meteorologi dari radio Inggris dari Atlantik, tapi Jerman tidak bisa banyak memanfaatkannya).
92
Sedangkan bagi Jerman yang letak geografisnya berada di daratan Eropa, menjadikan arah pergerakannya menjadi terbatas. Karena sempitnya ruang gerak tersebut dan banyaknya negar-negara yang ada, sulit bagi negara-negara yang berada di daratan Eropa menjaga stabilitas negaranya dalam segi kesejahteraan dan keamanan. Pertempuran Atlantik adalah perjuangan untuk kontrol Atlantik Utara selama Perang Dunia II. Bahkan dimasa damai Inggris harus selalu mengimpor bahan-bahan kebutuhan pokok, hal ini menjadikan betapa pentingnya akan keberadaan jalur laut. Untuk mempertahankan upaya perang Inggris memerlukan pengiriman barang-barang penting (keperluan militer) dari Sekutu untuk keperluan perang, satu-satunya cara instan untuk mendapatkan bahan tersebut yaitu dengan pengiriman jalur laut. Dan jika Jerman berhasil memblokade pasokan-pasokan dari Sekutu kepada Inggris, maka dengan sendirinya kekuatan Inggris akan runtuh. Senjata utama Jerman untuk memutuskan aliran suplai ini tertumpu pada armada U-boat. Beruntung kala itu Kriegsramarines memiliki seorang Karl Dönitz. Mantan komadan kapal selam selama PD-I itu tahu betul cara paling ampuh untuk menekan Inggris tanpa harus menggelar operasi militer besar-besaran. Tidak hanya sekedar teori umum belaka, ia bahkan menjabarkan hingga ke detail taktik pertempuran laut yang seharusnya dilakukan. Taktik penyergapan kapal Sekutu dengan kapal selam ini lazim dinamai Wolfpack.
93
Begitu Dönitz naik menjadi panglima tertinggi armada kapal selam Kriegsmarines, kemudian ia menjabarkan tipe U-boat yang seharusnya dibuat secara massal. Baik untuk keperluan opersasi jarak jauh maupun jarak dekat. Tidak hanya itu, jumlah armada yang dianggap paling ideal juga disodorkan ke pusat. Tapi sayangnya ide ini dipendang sebelah mata oleh Berlin (Hitler). Dari 300 unitU-boat yang dianggap sebagai kekuatan ideal, tercatat pada awal pecah PD-II Jerman hanya mempunyai 56 unit saja, tetapi hanya 22 yang mampu beroperasi di lautan lepas. Keterbatasan yang dimiliki oleh Kriegsmarines tidak menjadi sesuatu yang membebani Dönitz sebagai panglima tertinggi U-boat. Pengalaman yang ia peroleh pada PD-I, membuat ia terus berusaha untuk menarik perhatian Berlin (Hitler) sehingga mendapat dukungan yang penuh atas keberadaan Uboat. Dan disinilah kerja keras dan pemikiran cerdas Karl Dönitz menjadikan dirinya sebagai pencetus doktrin perang yang disegani dan sangat tekenal dalam pertempuran di lautan Atlantik (The Battle Of Atlantic). Teori atau taktik itu adalah Wolfpack atau juga disebut Rudeltaktik. Taktik yang telah dirumuskan Dönitz ini sangat jauh berbeda dengan taktik tradisional mengenai U-boat dalam pertempuran yang pada umumnya beroperasi sendirian, yaitu dengan cara menunggu kapal yang datang atau keluar dari suatu pelabuhan. Taktik ini cukup sukses diterapkan oleh armada U-boat untuk memutuskan jalur masuk dan keluarnya kapal-kapal dagang milik Inggris untuk mengangkut kebutuhan berbagai macam kebutuhan (ekonomi, politik, dan militer) atau sering disebut blokade.
94
Teori Wolfpack yang dibuat oleh Dönitz berbunyi sebagai berikut: “Apabila sebuah U-boat yang tengah berkeliaran di Samudra Atlantik menjumpai konvoi kapal dagan Sekutu di tengah laut, maka U-boat tersebut wajib untuk melaporkan hasil temuannya lewat radio ke pihak BDU (Befehlshaber der U-boote). U-boat pelapor atau penemu itu disebut sebagai Shadower (mata-mata) dan tidak diperkenankan untuk langsung menyerang, melainkan hanya sebagai pengintai sambil tetap menjaga jarak, agar tidak terdeteksi olrh kapal erang yang mengawal konvoi. Sesampainya pihak BDU kengordinasikan serangan dengan menghubungi sejumlah U-boat lain yang berada paling dekat dengan target sasaran dan memandunya untuk segera menuju kesana. Ketika sejumlah U-boat telah berkumpul dan berada pada posisinya masing-masing, maka serangan akan segera dilancarkan dan biasanya taktik ini dilakukan ada malam hari. Selain dengan U-boat, Doenitz juga mengkoordinasi serangan menggunakan pesawat intai maritim jarak jauh sebagai “Shadower”. Serangan U-boat biasanya dilakukan pada malam hari dan tanpa pemberitahuan, hal tersebut agar mengefektifkan taktik serangan” (http://www.uboataces.com/tactics-wolfpack.shtml).
Kelebihan armada U-boat tidak hanya terletak pada taktik Wolfpack saja, melainkan strategi yang bisa dilakukannya yaitu, ofensif dan defensif. Karakteristik ofensif sebuah U-boat yang paling terpenting terletak pada kecepatan dan manuvernya pada saat bergerak dipermukaan, juga jangkauan daya jelajahnya, serta jumlah torpedo yang mampu dibawa atau dilepaskannya. Sedangkan karakteristik defensifnya adalah terletak pada kecepatan saat menyelam secara tiba-tiba, dan kedalaman laut yang mampu dicapainya. Penjelasan tersebut dikuatkan oleh Steven Schwinghamer (2005), dalam bukunya yang berjudul The Battle Of Atlantik : Materials For Educators yang mengatakan bahwa; “Perjuangan di jalur laut adalah pertempuran tunggal terpanjang pada Perang Dunia II. Dalam pertempuran ini Sekutu menderita lebih dari seratus ribu korba di laut dan juga kehilangan dua ribu limaratus kapal dagang. Pada pihak Jerman kehilangan lebih dari tujuh ratus kapal selam
95
dan tiga puluh ribu personil angkatan laut. Mempertahankan jalur laut untuk melintasi laut Atlantik sangat penting bagi Sekutu, karena basis kekuatan Sekutu ada pada Inggris. Dan apabila Inggris dapat berhasil diblokade, maka dapat dipastikan Jerman akan keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II” (Schwinghamer, 2005: 9).
Menggunakan taktik serangan jalur laut tidak terlepas dari pentingnya keberadaan konvoi. Konvoi merupakan sekelompok kapal dagang yang bepergian secara bersama-sama. Kelompok konvoi dilengkapi dengan suatu formasi yang merupakan bentuk pertahanan dari jangkauan serangan musuh, dan sebuah konvoi pasti akan dikawal oleh beberapa kapal perang. Dalam PDII hanya sebagian kecil jumlah kapal-kapal perang yang mengawal konvoi kapal dagang yang selamat dari serangan U-boat. Sebagai negara kepulauan Inggris mengandalkan pengiriman/impor untuk memasok kebutuhan pokok dan juga kebutuhan militer, baik dalam kondisi damai meupun kondisi perang. Ketika Jerman menaklukan sebagian besar Eropa, Inggris menjadi terisolasi dari semua pengiriman dan pengimporan bahan-bahan pokokpun mulai terancam oleh rencana blokade Jerman. Hal ini tidak hanya mengancam aspek psikologis masyarakat, melainkan juga mengancam melemahnya kekuatan militer Inggris. Dengan adanya blokade tersebut sedikitnya Jerman medapatkan sedikit keuntungan yang bisa membuat Inggris berfikir untuk menuruti segala apa yang Hitler inginkan.
96
Pendapat diatas senada dengan Leonard S. Cooley, Jr.(2004) dalam tesisnya yang yang berjudul What Next? The German Strategy Crisis During The Summer Of 1940. Cooley menjelaskan bahwa setelah Jerman menginvasi Polandia pada 1 september 1939, rasa takut Hitler akan terlibatnya Inggris dalam kancah PD-II terus menghantui Hitler. Kekuatan AL Inggris yang memiliki ratusan kapal-kapal perang yang berkekuatan besar dan juga modern, tidak bisa diimbangi oleh Jerman Kriegsmarines. Maka dari itu satu-satunya strategi Hitler melumpuhkan kekuatan Inggris adalah dengan cara blokade. Walaupun Hitler menyadari kemampuan yang Kriegsmarines miliki tidak sebanding dengan apa yang AL Inggris miliki (2004: 3). 4.2.2.
Prestasi U-boat Pada Pertempuran Di Lautan Atlantik
Pembahasan pada sub bab ini sangat menarik, karena banyak hal-hal mengejutkan yang dilakukan U-boat pada pertempuran di Atlantik melawan Inggris. Penulis pun merasa kagum pada sosok mungil U-boat yang dengan gagah berani menyerang dan menenggelamkan kapal-kapal dagang yang ukurannya jauh lebih besar. Tidak mengurangi rasa objektif dalam penulisan, prestasi
U-boat
di
kancah
PD-II memang
benar-benar menunjukan
kemampuannya. Hingga pada tanggal 1 September 1939 Hitler melakukan invasi ke Polandia, dan sejak saat itu Inggris dan Perancis menyatakan perang. Kabar tersebut sangat mengejutkan Dönitz. Bagaimana tidak, armada U-boat yang dipimpin Dönitz hanya memiliki 57 U-boat. Bahkan dari jumlah tersebut hanya 38 U-boatlah yang masih terbagi dalam tugas yang berbeda, yaitu ada yang sedang berpatroli, dan ada yang sedang dalam perjalannan menuju
97
pangkalan utamanya sebagian lagi sedang diperbaiki. Ini artinya bahwa U-boat yang tengah beroprasi di lautan Atlantik tidak lebih dari satu lusin saja. Dengan kekuatan sekecil itu jelas sangat sulit untuk membuat pengaruh besar terhadap perkapalan Inggris. Sementara Inggris memiliki jumlah kapal perang sepuluh kali lipat dari armada U-boat yang Jerman miliki. Pada tanggal 3 September 1939 U-boat (U-30) menembakan torpedo pertamanya pada pertempuran di lautan Atlantik yang dikomamdani oleh Fritz Julius Lemp, U-30 merupakan jenis U-boat tipe VIIA. Kejadian ini terjadi pada sore hari ketika U-30 sedang berpatroli sekitar 250 mil sebelah barat laut Irlandia, atau sekitar 60 mil sebelah selatan karang Rockall. U-30 salah satu sari 14 U-boat tipe VIIA produksi angkatan pertama. Beberapa jam sebeluh pihak BDU (Befehlshaber der U-boote) yang artinya sebuah pusat informasi bagi armada U-boat, pihak BDU mengirimkan pesan penting kepada sejumlah U-boat yang sedang berada dilautan terasuk kepada U-30. Pesan tersebut berisikan pemberitahuan tentang permusuhan dengan Inggris segera dimulai, dari perintah tersebut U-boat yang paling dekat dengan sasaran dan harus segera menenggelamkannya. Penyerangan yang dilakukan U-30 dimulai pada pukul 19.00 malam, melalui periskopnya komandan Lemp mengamati secara seksama situasi sekitar. Dibawah cahaya langit sore yang mulai temaram, Lemp mengamati kapal sasarannya yang berada tepat didepan U-boatnya. Kapal tersebut cukup mencurigakan karena untuk ciri-ciri kapal penumpang sangat aneh jika melakukan gerakan zig-zag, kecuali jika mereka adalah kapal perang pengawal. Berdasarkan pengamatan, Lemp menyimpulkan bahwa kapal
98
itu pastilah kapal penjelajah milik angkatan bersenjata Inggris yang telah diubah menjadi kapal penumpang sipil. Beberapa saat kemudian setelah mengamati gerak-gerik kapal tersebut, tepatnya pada pukul 19.40 Lemp segera meluncurkan torpedo ke sasarannya. Kapal yang diserang U-30 adalah SS Athenia, sebuah kapal penumpang sipil yang mengankut imigran asal Amerika yang akan keluar dari inggris. Insiden tersebut membuat malu Jerman, tetapi Hitler tidak menanggapinnya dengan serius, tetapi Hitler memanfaatkan kesalahannya yang dilakukan U-30 untuk
mempropaganda
Inggris.
Hitler
menuduh
Inggris
sengaja
menenggelamkan SS Athenia untuk menarik simpati Amerika untuk bergabung pada kancah PD-II ini. Walaupun U-30 dibawah komandan Lemp mengakui kesalahanya pada Doenitz yang telah menggempur SS Athenia, tetapi Dönitz telah meilhat sebuah prestasi yaitu dengan berhasil menenggelamkan 3 kapal (dua diantaranya adalah kapal dagang, yaitu SS Blairlogie dan SS Fanad Head) termasuk SS Athenia dan juga berhasil menembak jatuh dua pesawat perusak milik Inggris. Sehingga pada akhirnya Dönitz memutuskan untuk menutup kasus yang memalukan ini kepasa tim investigasi pusat. Peristiwa ketidaksengajaan U-30 yang menyerang SS Athenia, namun hal ini telah membawa teror tersendiri bagi kapal-kapal Sekutu terhadap keberadaan U-boat yang berkeliaran di lautan Atlantik yang siap mencari mangsadan menimbulkan dampak psikologis bagi Sekutu.
99
Setelah berhasil menyerang SS Athenia milik Inggris, armada U-boat yang dipimpin oleh Dönitz segera menyebarkan U-boat ke seluruh lautan Atlantik. Pada tanggla 15 september 1939, sebuah konvoi kapal besar terlihat diperairan selat Cannel Inggris, yang merupakan jalur pelayaran yang cukup sibuk bagi kapal-kapal dagang. Jalur ini sangat ideal bagi perburuan armada Uboat Jerman mencari mangsanya. Untuk membuktikan kemampuan AL Inggris dalam melindungi armada kapal dagangnya, Royal Navy mengirimkan 1 kapal induk yang berumur cukup tua, yaitu HMS Courageous bersama 4 kapal perusak untuk mengawal jalur laut Selat Channel, sekitar 200 mil sebelah barat daya Irlandia sekaligus untuk memimpin patroli antikapal selam di wilayah tersebut. HMS Courageous sebenarnya adalah kapal penjelajah (battle cruiser) pertama yang Inggris miliki, dan mulai beroprasi pada tahun 1917, dan pada tahun 1928 HMS Courageous berubah fungsi menjadi kapal induk. Pencarian konvoi tersebut dimulai pada tanggal 17 september 1939, Dönitz menerima laporan adanya sebuah konvoi armada kapal Inggris, ia segera memerintahkan semua U-boat yang berada di perairan dekat konvoi terebut untuk kumpul ke suatu titik sasaran guna mempemudah penyergapan. U-29 yang dipimpin kapten Otto Schuhart tidak sengaja melihat sebuah pesawat Fairey Swordfish (pesawat anti kapal selam berukuran kecil) melintas diatas U-29. Schuhart berasumsi bahwa tidaklah mungkin sebuah Swordfish terbang landai di tengah lautan, dengan asumsi yang akurat tidak lama kemudian Schuhart berhasil menemukan letak HMS Courageous.
100
Sekitar pukul 18.00 sore Schuhart segera memerintahkan seluruh awaknya untuk siaga perang dengan menempati posisinya masing-masing. U29 pun segera melakukan aksi penyergapannya. Misi yang dijalankan U-29 cukup sulit dilewati, karena sejumlah Swordfish siap menyerang siapapun demi melindungi HMS Courageous. Namun pelajaran yang terpenting bagi U-29 adalah berusaha tetap dekat dengan sasaran agar mempermudah proses penyergapan. Pukul 19.40 U-29 berada pada posisi yang sangat ideal untuk penyerangan, dan Schuhart pun bergegas menembakan tiga torpedo da berhasil menenggelamkan target. Ketika torpedo lainnya masih diluncurkan kearah sasarannya, Schuhart melihat pengawal HMS Courageous bergerak menuju ke arahnya, kondisi U-29 tidak memungkinkan untuk menyerang kapal perusak itu, dan Schuhart pun memutuskan untuk menghindar dengan cara menyela sedalam-dalamnya agar menggindar dari deteksi radar Sonar milik Sekutu. Keesokan harinya tanggal 18 september 1939, berita tenggelamnya HMS Courageous milik Inggris tersebar ke seluruh penjuru dunia. HMS Courageous adalah kapal perang pertama milik AL Ingrris yang berhasil tenggelam oleh Uboat. Tenggelammya kapal induk yang berbobot sekitar 22.500 ton itu segera mendesak pihak AL Inggris untuk menarik mundur tiga kapal induknya yang masih tersisa di perairan Selat Channel. Sejak saat itulah kapal induk Inggris tidak ada yang berani berkeliaran di perairan laut Atlantik selama hampir empat tahun. Hal tersebut secara taktis dan strategis menegaskan bahwa pertempura antara armada U-boat dan armada AL Inggris jelas dimenangkan oleh Jerman. Total keseluruhan jumlah bobot yang berhasil ditenggelamkan U-
101
boat pada satu bulan pertama adalah sebesar 150.000 ton ditambah sebuah kapal induk, sedang Jerman hanya kehilangan 2 U-boat saja. Tenggelamnya HMS Courageous milik Inggris merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi Dönitz. Keberhasilan U-29 membuat Dönitz semakin yakin dan percaya diri akan kemampuan armada U-boatnya. Tetapi kebanggaan Dönitz atas kesuksesan U-boat sangat berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Hitler. Prestasi U-29 yang memukau tidak mendapat reaksi apa-apa dari Hitler. Karena Hitler masih menginginkan jalus diplomasi dengan Inggris. pernyataan tersebut senada dengan Ari Subiakto dalam bukunya yang berjudul U-boat The Battle Of Atlantic mengatakan bahwa : “Tenggelamnya HMS Courageous adalah sebuah contoh tepat dari apa yang diinginkan oleh Doenitz kepada armada kapal selamnya. Penarikan mundur armada kapal induk Inggris memberikan ruang yang cukup bagi armada U-boat Jerman untuk bebas beraksi, meneruskan perburuannya, menenggelamkan kapal demi kapal dagan milik Sekutu tanpa dapat dicegah. Sekalipun sekses secara strategis, namun secar politik keberhasilan awak kapal selam U-29 tidak mengundang reaksi apa-apa dari Hitler. Hitler tidak marah, namun juga tidak terkesan. Ia masih berharap solusi diplomatik akan dapat memperlunak sikap Inggris terhadapnya, dan tidak segera menganggapnya terlalu antagonis karena pihaknya telah menenggelamkan sebuah kapal perang besar milik Inggris” (2010: 41-42).
Tenggelamnya
kapal
induk
HMS
Courageous
adalah
prestasi
membanggakan yang berhasil dicapai armada U-boat Jerman diawal perang. Beberapa waktu kemudian menyusul sebuah kemenangan lainnya yang begitu terkenal dan melegenda seperti kemenangan mereka di Scapa Flow. Dipilihnya
102
Scapa Flow karena merupakan pangkalan kapal perang sekaligus benteng terkuat armada AL Inggris yang berada di pesisir pantai utara Skotlandia. Dönitz
selaku
panglima
tertinggi
armada
U-boat
sudah
lama
menginginkan sebuah penetrasi kapal selam menembus pertahanan di Scapa Flow untuk memberi pukulan telak kepada AL Kerajaan Inggris. Dönitz telah menyusun rencana selama beberapa hari yang mencakup dua pukulan strategis terhadap AL Inggris. Strategi pertama ialah dengan melakukan serangan Uboat langsung ke Scapa Flow. Jika serangan ini sukses, maka akan memaksa armada pertahanan dalam negeri Inggris (Home Fleet) untuk mundur mengamankan perairan dekat wilayah sendiri. Akibatnya penarikan mundur tersebut akan menyebabkan lemahnya blokade Inggris di laut Utara, sehingga bisa mengurangi ancaman terhadap kapal-kapal rampok Jerman. Strategi kedua adalah membuat bagaimana supaya AL Inggris menyebarkekuatannya ke sejumlah pelabuhan lain sampai Scapa Flow dapat dianggap aman kembali, dan Dönitz pun dapat memasang jebakan ranjau pada jalur pelayaran mereka dan menggiring kapal-kapal Inggris itu mundur kesana. Penelusuran demi penulusuran informasi tentang Scapa Flow akhirnya terkumpul, setelah terkumpul dengan lengkap Dönitz bergegas mempelajari informasi tentang letak, kondisi keamanan, cuaca, serta ancaman-ancaman yang mungkin bisa ditemukan disana. Dönitz pun akhirnya menyimpulkan bahwa masih ada kemungkinan sebuah U-boat masuk lewat sana, dan penetrasi ke Scapa Flow melalui terusan sempit di sebelah timur itu harus dilakukan oleh kapal selam yang berlayar dipermukaan, pada malam hari selama kondisi air
103
laut berada pada air pasang tertinggi, yaitu saat dimana perairan dangkal itu dapat dilalui kapal selam. Keputusan Dönitz memilih Gunther Prien ialah karena pengalaman dan kemampuan Prien. Gunther Prien sendiri adalah seorang perwira muda berusia 31 tahun. Ia bergabung dengan partai NAZI pada tahun 1932 dan kemudian masuk Kriegsmarines pada tahun 1933. Prien telah berhasil menenggelamkan 3 kapal dagang Inggris dengan total nilai 66.000 ton dalam operasi pertamanya. Prien dikenal sebagai seorang pelaut yang menonjol dan juga pemberani, karena alasan itulah Dönitz mantap memilih Gunther Prien sebagai orang yang pantas menjalankan sebuah misi yang berbahaya ini (Jean, & Philippe, 1996:26-27). Tiba saatnya Gunther Prien dan para awak U-47 berangakat menuju Scapa Flow untuk menjalankan misi besarnya. Hari minggu tanggal 8 oktober 1939 Prien dan para awak U-47 bertolak ke benteng pertahanan paling berpengaruh bagi AL Inggris yang berada di kepulauan Orkney. Setibanya di Scapa Flow Prien dan awak U-47 segera mengamati keadaan di sekitar, Prien menginginkan misi ini berhasil. Tepat pukul 24.55 lewat tengah malam, U-47 semaki mendekati posisi mangsanya, 3.500 yard dari Royal Oak. Masih dalam keadaan mengintai di permukaan, keempat laras tabung torpedo dibagian depan telah dipersiapkan dengan baik. Wakil komandan juga mengamati seluruh permukaan target sasaran, serta mengamati bagian yang dirasa paling pas untuk diterkam. Rencana setelah Royal Oak berhasil diteggelamkan, dua torpedo lainnya akan dihadiahkan pada Rapulse sebuah kapal perang permukaan. Setelah meluncur selama lebih dari tiga menit, sebuah ledakan kecil terdengar.
104
Sementara itu dua torpedo lainnya yang diluncurkan tidak berfungsi dengan baik, melesetnya target tembakan torpedo disebabkan karena produksi yang digunakan U-47 termasuk salah satu produksi lama Jerman. Torpedo pertama menghantam ujung kapal sebelah kanan, meledak dan menciptakan sebuah lubang yang berjarak dekat dengan lubang rantai jangkar Royal Oak. Hampir semua dari 1200 awak kapal yang sedang tidur tiba-tiba terbangun karena merasakan adanya guncangan. Seorang pelaut melihat cipratan air yang deras masuk ke atas dek kapal. Namun kapten kapal yang bertugas di Royal Oak, William Benn merasa bahwa sepertinya itu berasal dari ledakan di dalam kapal. Ada beberapa isu yang beredar mengenai peristiwa ledakan itu, adanya yang menyebutkan refrigator di dalam kapal meledak, dan ada juga yang beranggapan bahwa sebuah bomber Jerman telah menjatuhkan bom diatas kapal mereka. Para awak Royal Oak tidak ada yang menyangka bahwa ledakan tersebut berasal dari serangan U-boat. Serangan torpedo yang pertama tidak membuat para awak Royal Oak panik ataupun mengantisipasi masalah tersebut. Sementara itu ditengah kegelapan U-47b bersiap-siap untuk mengambil posisi yang ideal untuk menembakan torpedo ke arah sasaran. Prien mengira bahwa sebuah torpedo tersebut telah menghantam Repulse dan dua lainnya tidak mengenai Royal Oak. Tepat pukul 01.25 ketiga tabung torpedo telah terisi, dan tabung keempat telah rampung diperbaiki dan siap untuk diisi kembali. Sambil bergerak mendekati sasarannya lagi, Prien memerintahkan untuk kembali menembakan tiga torpedo ke arah Royal Oak yang mereka kira belum terkena tembakan
105
torpedo.
Tetapi
sebenarnya
ketiga
torpedo
tersebut
masing-masing
menghantam tepat pada sasarannya, dan kemudian selang beberapa detik ledakan hebatpun terjadi yang menciptakan tiga lubang besar di lambung kapal tempur Inggris itu. Ledakan torpedo itu segera memicu serangkaian ledakan lainnya di dalam kapal, kemungkinan di ruang penyimpanan mesiu menciptakan sebuah bola api raksasa yang menggelembung cepat di atas dek kapal dan beberapa jam kemudian Royal Oak karam ke dasar laut. Seketika itu suasana di pelabuhan Scapa Flow menjadi ramai oleh aktivitas manusia. Sejumlah kapal pengawal mulai mulai melakukan operasi penyelamatan, lampu-lampu sorotpun diaktifkan untuk mengamati dan juga berjaga-jaga. Pada peristiwa itu hampir semua pasang mata melihat pandangannya ke arah atas, mereka mengira pesawat pembom Jerman yang telah menyebabkan semua kehancuran ini. Prien dan para awak U-47 segera pergi keluar dari area Scapa Flow, dan berhati-hati melewati terusan sempit penuh ranjau blockship. Pada pukul 02.15 Prien berhasil membawa U-47 keluar dari lubang jarum dan berarus kencang dengan selamat. Namun dibalik keberhasilan U-47 membobol dan membantai Royal Oak di Scapa Flow, pihak AL Inggris masih meragukan peristiwa naas tersebut. Dampak keberhasilan U-47 secara psikologis sangat besar, selain dapat meningkatkan mental dan kepercayaan diri, juga dapat membalaskan dendam harga diri bangsa Jerman yang telah dipermalukan oleh Inggris. Serangan ke Scapa Flow telah membuktikan yang sebenarnya pada dunia termasuk pada angkatan bearsenjata Jerman yang selama ini memandang rendah kemanpuan
106
U-boat. Akibat dari keberhasilan U-47 kapal tempur (battleship) daam PD-II tidak lagi menjadi lambang superpower bagi negara yang memilikinya. Kapal selam atau U-boat yang pada mulanya dianggap sebagai mesin perang laut yang primitif dan bermasalah, tetapi dengan adannya peristiwa Royal Oak Uboat mampu membuktikan keefektivitasan dan keefisienannya. Bila hanya sebuah U-boat yang berukuran kecil yang berisi sekitar 40 awak orang mampu menenggelamkan kapal tempur yang berukuran besar dengan ratusan awak kapalnya seperti Royal Oak, maka apa jadinya bila hal tersebut dilakukan oleh Uboat yang berkekuatan besar, pasti akan mengasilkan prestasi yang sangat luar biasa. Keberhasilan serangan U-47 ke Scapa Flow ini membuat Laksamana Besar Erich Raeder mempromosikan Karl Doenitz menjadi Laksamana Muda (laksaman bintang dua). Tetapi yang lebih penting yaitu, kini Dönitz dan armadanya mendapat perhatian yang besar dari Hitler. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Dönitz untuk meminta kepada Hitler untuk memprioritaskan pembuatan kapal selam (U-boat) lebih banyak lagi. Hitler pun tidak bisa menolak permintaan Dönitz, sehingga pada tanggal 17 November 1939 Hitler memulai kebijakan baru yang berisi tentang perintah terhadap seluruh armada U-boat untuk menyerang dan menghabisi kapal-kapal dagang maupun kapal tempur milik Inggris tanpa pandang bulu. Sontak keputusan Hitler itu mengejutkan dan menakutkan pihak AL Inggris yang tidak bisa mencegah atau menhindari serangan U-boat yang semakin mengganas. Selain keberhasilan U-29 yang menenggelamkan HMS Couregeous, dan juga U-47 yang berhasil memasuki benteng pertahanan AL Inggris Scapa Flow
107
dan juga berhasil menenggelamkan Royal Oak masih banyak lagi prestasiprestasi yang cemerlah samapai akhir awal tahun 1943. Diantarannya adalah; U-25 yang dikomandani Korvettenkapitan Victor Schutze tercatat berhasil menenggelamkan delapan kapal Sekutu dengan bobot lebih dari 50000 ton; U26 berhasil menenggelamkan 3 kapal Sekutu, 1 kapal perang Inggris, 4 kapal barang Inggris; U-9 berhasil menenggelamkan 3 kapal perang Inggris, yaitu penjelajah lapis baja (armoured cruiser), HMS Aboukir, HMS Cressy, dan HMS Hogue; dan masih banyak lagi U-boat yang mengsilkan prestasi. Diantaranya, U-35, U-48, U-30, U-100, U-31, dll. Kerugian Inggris akibat blokade mencapai ratusan juta Poundsterling, bahan-bahan yang berhasil di blokade diantaranya, bahan kebutuhan pangan, bahan mentah untuk industri, biji-biji logam pertambangan (timah, baja, besi, tembaga, dll) untuk kepentingan militer Inggris. Kemenangan Kriegsmarines tidak hanya berasal dari armada U-boat saja, melainkan juga berasal dari Pocket Battleship (kapal tempur berukuran kecil) yaitu Graf Spee, serta didukung oleh bantuan dari armada Luftwaffe. Pada awal keberangkatan Graf Spee dan tujuan dirahasiakan baik-baik, hal tersebut ditujukan agar pihak Inggris yang berusaha mengintainya tidak mengetahuinya. Admiral Graf Spee yang dikomandani oleh Kapten Langsdorff berlayar dengan kecepatan penuh kira-kira 30 mil dari pantai Norwegia. Keberadaan Graf Spee sangat misterius, karena setiap dari jauh terlihat lampu kapal lain maka ia akan secepat mungkin menghilang dan pergi denga cara memutar haluan di kegelapan malam. Tugas utama Graf Spee adalah untuk meneror dan
108
menenggelamkan kapal-kapal dagang milik Inggris. Pada tanggal 26 september barulah Berlin mengizinkan Admiral Graf Spee untuk melakukan aksinya. Untuk menyamarkan keberadaanya Graf Spee sesekali mengganti namanya dengan Admiral Sheer, hal tersebut untuk mengacaukan pelacakan musuh. Pada tanggal 30 september Graf Spee menemukan mangsanya yang pertama yaitu kapal dagang yang bernama Clement yang beratnya sekitar 5050 ton. Setelah melihatnya dari jauh, segera Admiral Graf Spee melepaskan pesawat terbangnya mulai mengintai dari atas permukaan. Setelah melakukan pengintaian dan pemeritahuan kepada yang kapten Clement, bahwa Graf Spee ditugaskan untuk menenggelamkan kapal-kapal dagan milik Inggris, dan beberapa waktu kemudian Clement pun berhasil ditenggelamkan oleh meriam berkaliber 5.9 inci milik Graf Spee. Penjelasan diatas senada dengan Ojong dalam bukunya yang berjudul Perang Eropa Jilid I, mengatakan bahwa keberadaan Graf Spee dimata Inggris sangat membingungkan. Hal itu dikarenakan dengan identitas yang disembunyikan, nama yang digunakan kerap bergani-ganti menjadi Admiral Sheer maka dari itu perburuan Admiral Graf Spee semakin sulit ditemukan. Dalam perburuan Admiral Grap Spee oleh AL Inggris mengerahkan sekitar 23 kapal perang untuk menemukannya, walaupun demikian Graf Spee tetap sulit untuk ditemukan. Berkat kemahirannya dalam berkamuflase, tak kurang dari sembilan kapal dagang milik Inggris yang berhasil ditenggelamkan oleh Graf Spee, total jumlah perburuannya adalah seberat 50.089 ton (Ojong, 2009: 88).
109
Untuk memperkuat penjelasan dari P.K Ojong, hal senada dengan pendapat yang penulis baca di sebuah majalah yang membahas tentang informasi dunia militer yaitu Majalah Angkasa Edisi koleksi yang berjudul The NAZI’S War Machines. Dalam majalah tersebut mengatakan bahwa, untuk mensiasati keunggulan AL Inggris, Jerman harus mengakalinya dengan cara melakukan perang gerilya terhadap kapal-kapal dagang milik Inggris. Strategi Jerman yang memutuskan untuk mengambil taktik perang gerilya sebenarnya sudah disiapkan jauh sebelum PD-II pecah. Kemampuan Graf Spee yang mahir berkamuflase yang model bentuknya berupa kubah kanon mirip kapal penjelajah Inggris, serta kecepatan jalu hingga 26 knot, dapat membuat kapalkapal dagang Inggris mudah untuk ditumbangkan. Akibat ulah dari kecerdasan Graf Spee, kapal-kapal milik Inggris semakin banyak yang menjadi korban. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Graf Spee sulit untuk ditumbangkan, drama pertempuran sengit melawan 2 kapal penjelajan milik Inggris yaitu Exeter dan Ajax. Berakhirnya riwayat Graf Spee di pertempuran Atlantik bukan karena tenggelam oleh 2 kapal penjelajan Inggris, melainkan dengan cara ditenggelamkan oleh para awaknya sendiri. Hal itu dikarenakan Jerman tidak ingin sistem teknologi yang dimiliki Graf Spee jatuh dan dimanfaatkan oleh Sekutu (1998: 62-63). Kerjasama antara seluruh personil Kriegsmarines tidak luput dari bantuan AU Jerman dengan mensertakan armada Luftwaffe pada blokade Inggris di lautan Atlantik.
110
4.3.
Dampak Yang Ditimbulkan Dari Perbedaan Pandangan Strategi Militer (Hitler Dengan Doenitz) Pembahasan pada subjudul ini akan menjelaskan tentang dampak yang akan
ditimbulkan dari perbedaan mengenai perbedaan pandangan strategi antara Hitler dan Dönitz, khususnya pada Jerman. Beberapa diantaranya akan penulis jelaskan secara universal meliputi beberapa faktor. Dampak yang ditimbulkan perang dunia tidak hanya berimbas pada negara yang terlibat perang, walaupun tidak ikut terlibat negara-negara di seluruh dunia pasti mendapatkan imbasnya. Pecahnya PD-II tidak hanya menimbulkan kekacauan dalam segi sosial dan ekonomi, kekacauan ini jiga melanda ankatan bersenjata NAZI (Jerman). kegagalan dalam segi politis, mengharuskan Jerman memutuskan untuk membuka kancah PD-II demi memuaskan hasrat meraih kemenangan dan menjadi negara yang berkuasa. Perbedaan pandangan strategi militer antara pemimpin tertinggi angkatan bersenjata Jerman menjadi salah satu penyebab kalahnya Jerman pada PD-II. Munculnya Jerman sebagai negara yang bergaya ofensif menimbulkan efek yang sangat besar bagi strategi dan taktik yang digunakan pada masing-masing angkatan bersenjata. Pertempuran di lautan Atlantik menjadi kunci utama timbulnya perbedaan yang mencolok antara kubu yang mendukung kekuatan kapal-kapal perang permukaan dengan kubu yang fanatik mendukung kekuatan kapal selam (U-boat). Bukti nyata perbedaan stategi militer antara perwira tinggi pada Kriegsmarines adalah dengan adanya program “Z-Plan”. Program Z-Plan adalah pengembangan baik kapal-kapal perang pearmukaan maupun kapal-kapal selam (U-boat). Z-Plan sendiri menjadi ajang sebuah diskusi keyakinan akan
111
strategi yang dianut oleh masing-masing jendral Kriegsmarines. Dalam program Z-Plan terdapat 2 kubu yang berbeda pandangan strategi, kubu yang pertama adalah kelompok perwira yang fanatik ingin mengembangkan dan juga memproduksi U-boat secara masal, salah satu pendukung fanatiknya adalah Grand Admiral Karl Dönitz. Sedangkan kubu yang ke-dua yaitu kelompok perwira yang lebih suka dengan kekuatan kapal-kapal perang permukaan. Kedekatan Hitler dengan perwira tertinggi Kriegsmarines Erich Raeder memperburuk posisi Dönitz yang mendukung keberadaan U-boat. Hitler lebih memilih mendukung Raeder dalam mengembangkan dan memproduksi kapalkapal tempur permukaan, dibandingkan mendukung produksi U-boat. Walaupun Hitler sangat menginginkan kekuatan kapal-kapal perang permukaan, tetapi Hitler tidak menutup kemungkinan sewaktu-waktu akan berbalik mendukung U-boat. Pecahnya
Kriegsmarines
menjadi
dua kubu
mengakibatkan
konsentrasi
penyerangan menjadi buyar. Sehingga di dalam tubuh Kriegsmarines ada dua sosok yang sama-sama ingin menunjukan kemampuan terbaiknya dari armada yang dipimpinnya. Perang Dunia kali ini disadari Hitler sangat tergantung pada kekuatan Kriegsmarines, tetapi untuk seorang Pemimpin seperti Hitler, ia tidak cukup memahami akan pentingnya sebuah strategi laut yang bisa menjadikan dirinya sebagai pemenang PD-II. Setelah menjalai proses yang cukup alot hasil dari proyek Z-Plan berusaha yaitu menjembatani dua kubu yang berbeda pandangan itu. Hasil keputusan dari proyek Z-Plan adalah sebagai berikut; Kriegsmarines akan dibekali 8 buah battleship, 5 battlecruiser, 4 kapal induk, 15 pocket battleship, 23 penjelajah
112
(cruiser), 22 destroyer, 249 kapal selam (U-boat) dan proyek ini diharapkan selesai pada tahun 1948. Walaupun pada kenyataannya program Z-Plan tidak akan rampung sepenuhnya (Angkasa, edisi ke empat). Menurut Jhon Michael dalam bukunya yang berjudul Axis Grand Strategy mengatakan bahwa, di awal Perang Dunia II, Kriegsmarines terdiri dari beberapa kapal-kapal permukaan dan juga U-boat, diantaranya adalah; dua unit kapal perang Scharnahorst dan Gneisenau; 2 unit kapal induk Bismarck dan Tirpitz; 2 unit kapal perang kecil Deutschland/Scheer dan Graf Spee; 3 unit kapal penjelajah Hipper, Prinz Eugeun, dan Bliicher; 5 unit kapal penjelajah ringan Koln, Leipzig, Niirnberg, Emden, dan Koningsberg; 26 kapal dagang yang dipersenjatai; juga terdapat kapal perusak; kapal torpedo, kapal penyapu ranjau; dan yang terpenting dari 56 U-boat hanya setengahnya saja yang masih layak beroprasi (1960: 2-3). Kapal-kapal
perang
permukaan
tidak
menunjukan
hasil
yang
membanggakan bagi Hitler, tetapi disisi lain sepak terjang U-boat di pertempuran Atlantik menunjukan hasil yang signifikan. Selama rentan waktu empat tahun Kriegsmarines mengorbankan hampir 700 U-boat dan 26000 awak kapal, sedangkan kerugian yang harus dibayar pihak Sekutu (Inggris) yaitu lima belas juta ton dan 70000 awak kapal/pelautpedagang. Keterlambatan Hitler dalam mendukung rencana besar Kriegsmarines sangat berakibat fatal. Tidak hanya itu, minimnya anggaran yang dimiliki Jerman untuk membangun kekuatan militernya menjadi salah satu faktor utama kekalahan Jerman pada PD-II. Tidak hanya itu, jatuhnya Enigma atau mesin kode rahasia
113
Jerman beserta dokumen berisi kuncinya jatuh ke tangan Inggris yang kemudian di pelajari habis-habisan, dan pada akhirnya pihak Inggris berhasil memecahkan kode rahasia mesin Enigma tersebut. Keberadaan Enigma ditangan Inggris mengakibatkan penurunan tonase yang dihasilkan dari menenggelamkan kapalkapal dagang Inggris, serta ditambah dengan keikutsertaan Amerika menjadi kelompok Sekutu memperparah kiprah U-boat dalam mengembalikan kejayaan blokade Inggris. Hal tersebut, menjadi faktor utama penyebab kekalah Kriegsmarines pada PD-II, dan juga penyesalan seumur hidup Hitler yang telah mengabaikan sebuah teori besar dari perwira setianya yaitu Dönitz. Karena teori Dönitz lah yang bisa mengantarkan Jerman menjadi pemenang di perhelatan akbar sepanjang masa yang banyak menelan jutaan korban. Dan satu-satunya cara untuk mengakhiri penyesalannya itu, Hitler memilih membunuh dirinya sendiri daripada melihat proses jatuhnya Jerman untuk kedua kalinya pada Sekutu.
4.3.1. Upaya Karl Dönitz meyakinkan Hitler Untuk Mendukung Kekuatan Kriegsmarines (U-boat) Dalam Blokade Inggris Di Lautan Atlantik Keberhasilan
armada
U-boat
mencetak
sebuah
prestasi
yang
mengagumkan di awal PD-II tidak lantas membuat Hitler langsung tertarik untuk mengembangkan dan memproduksi U-boat dalam jumlah besar. Tetapi Doenitz masih harus berupaya untuk tetap meyakinkan Hitler untuk berubah pikiran dan berada disisi laksamana besar Karl Doenitz untuk mendukung Uboat. Kemenangan Inggris dalam pertempuran Atlantik menjadi sesuatu hal yang dianggap biasa saja. Perbandingan jumlah perangkat perang AL Inggris
114
memang jauh lebih banyak dan lebih siap dibandingkan dengan Kriegsmarines Jerman. Pokok utama pada PD-II di wilayah Eropa adalah pertempuran antara Jerman dan Inggris. Inggris sendiri merupakan negara kepulauan yang sangat bergantung pada impor koloninya (Amerika) untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan bahan mentah untuk keperluan perang. Melihat dari sisi geografisnya Dönitz merasa bahwa dengan menghentikan jalur perdagangan yang akan dikirim ke Inggris akan berpengaruh sangat besar pada kestabilan negara, dan akan membuat Inggris lemah. Satu-satunya armada angkatan perang yang bisa menjalankan dan dapat diandalkan adalah armada U-boat Kriegsmarines saja. Setelah melewati diskusi secara singkat maka para periwa Kriegsmarines memutuskan untuk menggagas konsep blokade, orang pertama yang menyetujui taktik ini dan berniat untuk terus mengembangkan taktik blokade adalah Dönitz. Misi-misi yang dilakukan U-boat tampaknya berjalan dengan mulus dibawah komando Dönitz. Pada PD-II ini Dönitz telah menyiapkan taktik yang sangat jenius dalam memblokade Inggris, ia telah menciptakan taktik “Wolf Pack”. Penjelasan diatasa dikuatkan oleh pendapat Henry Dresael W. Dalam bukunya yang berjudul Grand Admiral Erich Reader My Life (1960) mengatakan bahwa, Dönitz pun sebagai panglima angkatan tertinggi Submarines U-boat sempat mengalami kecemasan akan terjadinya perang melawan Inggris, tetapi para personil armada Submarine U-boat terus berlatih dan mencoba taktik yang Dönitz kembangkan. Hasilnya sangat mengejutkan
115
bahwa hasil dari latihan secara intensif berbuah manis, kemampuan teknik mereka dalam menjalankan U-boat berjalan dengan baik, serta taktik yang dikembangkan Dönitz sangat efisien dalam melakukan penyerangan pada konvoi kapal-kapal dagang milik Inggris (Drasael, 1960: 276-277). Pelatihan-pelatihan seluruh personil Kriegsmarines terutama armada Uboat sebelum jatuhnya PD-II, semakin hari semakin menujukan kemampuan dan kesungguhannya. Doktrin yang diterapkan oleh Dönitz terus menerus di tanam dan di praktekan agar mencapai kekompakan yang sempurna. Sekalipun armada U-boat Jerman memiliki nasib yang sangat menyedihkan, tapi para awak gugus armada ini memiliki motivasi dan semangat yang tinggi, mereka terlatih dengan baik serta memiliki keyakinan dan rasa percaya diri yang besar terhadap kemapuan persenjataannya dan kepemimpinan Laksamananya. Mereka juga memiliki tugas dan fungsi yang jelas sehingga bisa mempersiapkan diri mereka secara lebih maksimal. Taktik yang diciptakan Dönitz ini menjadi formasi andalan armada U-boat dalam blokade Inggris. Kunci kesuksesan dari taktik Wolfpack ini adalah kekompakan dan kerjasama antara sebuah tim, karena taktik ini merupakan sebuah penyergapan di jalur pelayaran dengan sebuah serangan massal alias keroyokan yang terorganisir. Dengan taktik ini, hasil yang dicapai lebih maksimal dalam menghancurkan konvoi kapal dagan Sekutu dibandingkan serangan yang hanya dilakukan oleh satu U-boat saja. Selain itu, kapal-kapal perang yang mengawal konvoi tersebut akan kesulitan oleh serangan tiba-tiba sari sejumlah U-boat yang datang dari berbagai arah. Cara tersebut dapat memberikan efek destrusktif yang luar biasa
116
bagi konvoi kapal dagang Sekutu dan membingungkan kapal pengawal. Dan ketika kapal pengawal berupaya untuk mengatasi sebuah U-boat, maka U-boat yang lain akan dapat leluasa beraksi menyerang dari lokasi dan arah yang berbeda sambil menciptakan kebingungan dan kekacauan. Tak jarang sejumlah U-boat dalam kawana Wolfpack ada yang bertugas sebagai pengambil alih perhatian kapal pengawal konvoi agar keluar dari jalurnya. Sementara Uboatlain menelinap dan menyerang ke tengah-tengah jalur konvoi dan membantai anggota konvoi satu-persatu. Alhasil, kapal pengawal yang sedianya bisa menjadi pengawal bagi konvoi kapal dagang, tidak ada yang bisa dilakukan selain melihat kapal kawalannya dimangsa dan diseret ke dasar laut. Tidak hanya dari armada U-boat saja, Dönitz juga mengkoordinasikan serangan dengan menggunakan pesawat intai maritim jarak jauh sebagai “Shadower”, dan biasanya serangan dilakukan pada malam hari dan secara mendadak tanpa peringatan terlebih dahulu agar hasilnya lebih efektif (Williamson, 2002: 10-15). Pada pertempuran di Atlantik akan sangat mengandalkan sumber daya industri yang besar, tenaga kerja, koordinasi dengan faktor logistik, serta efisiensi kecanggihan teknologi akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa besar. Sepanjang pertempuran berlangsung, Karl Dönitz selalu mencari titik kelemahan AL Inggris. Mendengar pandangan strategi Dönitz, Hitler sangat menolak keras. Hitler beranggapan bahwa kekuatan Kriegsmarines tidak akan sebanding dengan kekuatan Royal Navy. Ketakutan Hitler cukup beralasan,
117
pengalaman ia di PD-I menjadi trauma tersendiri yang bisa menjatuhkan harga diri bangsa untuk kedua kalinya. Kecemasan Hitler akhirnya berkurang ketika mendengar keberhasila Uboat dalam menenggelamkan kapal-kapal dagang milik Inggris. karena dengan kekuatan armada yang begitu kecil, U-boat Jerman yang dipimpin Dönitz mencatat prestasi yang sangat besar. Tentu tidak dapa dibayangkan apabila armada U-boat Jerman ini mendapat prioritas utama dari pihak Kriegsmarines atau bahkan mungkin dari Hitler sendiri. Sementara armada kapal perang permukaan yang diagung-agungkan dan begitu dibanggakan, seperti halnya kapal tempur raksasa Jerman Bismarck atau Graf Spee, justru menemui ajalnya secara tragis, dengan diburu dan ditenggelamkan oleh AL Inggris di awal perang tanpa hasil yang signifikan ataupun memuaskan. Kesuksesan armada U-boat dalam blokade Inggris tidak terlepas dari suatu taktik pengembangan yang dilakukan Dönitz selaku perwira tertinggi armada U-boat juga pengembangan pihak para ilmuan Kriegsmarines dalam menciptakan teknologi ranjau yang sangat mematikan. Ketersediaan anggaran yang minim, tidak membuat Dönitz patah semangat dalam mengeksplor kemampuan U-boat. Dengan ketekunan, kerja keras, dan inovasi dibawah pimpinan Dönitz keberuntungan armada U-boat mulai terasa dalam blokade jalur perdagangan Inggris. Selama hampir 3 tahun ia berhasil menenggelamkan kapal-kapal Sekutu seberat hampir memaksa Inggris untuk bertekuk lutut padanya. Tetapi tidak adanya dukungan politik dan industri, pengorbanan U-
118
boat akan terasa sia-sia. Sehingga dikemudian hari akan menimbulkan akibat yang luar biasa besar pada U-boat Kriegsmarines. Seiring dengan majunya teknologi yang diciptakan Sekutu untuk menghancurkan U-boat, maka semakin nampak kekalahan yang akan dihadapi. Perlindungan udara yang dilakukan Sekutu secara intensif membuat kesempatan U-boat dalam beraksi menenggelamkan kapal-kapal dagang Inggris semakin sedikit. Kombinasi berbagai macam kapal yang secara bersamaan dan terus-menerus berpatroli di laut Atlantik sangat berpotensi untuk melumpuhkan U-boat dengan serangan dari udara dan permukaan. Formasi anti kapal selam yang dikembangkan Sekutu juga tidak mengenal rasa belas kasihan dalam memburu mangsanya. Mereka akan terus-menerus memburu targetnya sampai berhari-hari lamanya tanpa kenal lelah, dan memaksanya U-boat keluar dan muncul ke permukaan untuk mengambil persediaan udara dan mengisi batere akinya, serta pada saat itulah mereka akan menyerang dan menghabisi U-boat buruannya layaknya seperti para pemburu ikan paus. Kecermatan para intelejen pihak Sekutu mampu melumpuhkan beberapa misi U-boat dalam menenggelamkan kapal-kapal dagang Inggris. Pada bulan Mei 1943 armada U-boat mulai mengalami titik balik kemunduran dalam pertempuran di Lautan Atlantik, pihak Inggris yang dibantu Amerika mulai bangkit untuk menguasai jalur perdagangan. Dengan menggunakan cara kombinasi yang dinamis antara serangan udara dan permukaan, menyebabkan belasan U-boat dapat ditenggelamkan. Peristiwa tersebut bahkan menelan korban dari putra laksamana Dönitz, yaitu Peter
119
Doenitz. Akhir dari riwayat armada U-boat ditandai dengan meningkatkanya produksi perkapalan Sekutu, yaitu sebesar 1,3 juta ton per bulan, sementara prestasi U-boat semakin hari semakin menurun. Dengan berpindahnya kekuasaan Samudra Atlantik dari pihak Jerman ke pihak Sekutu (Inggris), jutaan toon peralatan perang, jutaan personil tentara, dan bantuan suplai dari Amerika ke daratan Inggris posisi Jerman semakin tersudut. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh armada U-boat untuk menyelamatkan Jerman dari kekalahan dan kehancuran. Pergeseran posisi penguasa Atlantik yang jatuh ke tangan Sekutu, memaksa Jerman untuk kembali lagi ke panngkalannya di Norwegia atau pesisir pantai utara wilayah Jerman sehingga otomatis semakin menyurutkan kemampuan operasional U-boat di Laut Atlantik. Awal tahun 1945 merupakan titik darah penghabisan bagi armada Uboat, pertempuran bawah laut yang dicanangkan Dönitz semakin terasa mahal bagi pihak Jerman untuk tetap bisa dilanjutkan. Apalagi sejumlah pelabuhan penting yang tersisa di pantai barat Eropa telah jatuh satu-persatu ke tangan pasukan Sekutu (Inggris), namun Dönitz masih berupaya untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa dari kekuatan armada U-boatnya untuk melakukan serangan penghabisan, tetapi rencana itu berhasil digagalkan pihak Amerika. Pada tanggal 30 April 1945 tersiar kabar bahwa sang Fuhrer (Hitler) telah menghembuskan nafas terakhirnya, ha tersebut menimbulkan kekacauan rakyat Jerman yang sedang terpuruk. Dan pada tanggal 4 Mei 1945, Laksamana Besar Karl Dönitz atas nama bangsa Jerman akhirnya mengakui kekalahannya dan
120
menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu (Inggris), dan pertempuran berakhir dengan hancurnya armada U-boat Kriegsmarines.