BAB IV PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dan analisis mengenai bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di indonesia, maka dalam bab IV yang merupakan bab penutup ini, Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan Penulis serta permasalahan yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Adanya ketidak konsistenan pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia. Karena kurang komprehensifnya Indonesia terhadap pelaksanaan arbitrase asing itu sendiri, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pihak yang mempunyai wewenang dalam pemberian Penetapan exequatur tidak melaksanakan isi atau substansif dari UU No.30 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainya. Terlebih Pengadilan Negeri merupakan pihak yang tidak mempunyai kewenangan dalam mengintervensi isi dari putusan arbitrase yang telah bersifat final dan binding. Hal tersebut dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan pihak lain kepadanya, padahal putusan yang di pertimbangkan tersebut telah bersifat final dan binding, dan juga telah disetujui para pihak dalam perjanjian, hal tersebut dapat dilihat bentuk intervensi dari sebuah putusan final and binding 101
SIAC. Tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melanggar asas due process of law (proses yang wajar), karena pengadilan Jakarta Pusat mempertimbangkan permohonan exequatur sebagai suatu perkara, dan hal itu merupakan kekeliruan dan seharusnya tidak dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
melampui
kewenangannya
dengan
melakukan
penetapan
pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, dan Pengadilan Negeri melihat bahwa permohonan exequatur arbitrase asing sebagai suatu perkara yang harus dipertimbangkan pelaksanaannya, padahal jelas dikatakan dalam Pasal 62 Ayat (4) UU No.30 Tahun 1999 menyatakan Ketua Pengadilan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Ketidak tegasan UU No.30 Tahun 1999 tersebut merupakan hal yang yang dapat merugikan salah satu para pihak yang terikat perjanjian. 2. Ketidak konsistenannya hakim terhadap UU No.30 Tahun 1999 serta Konvensi-konvensi yang telah diratifikasi sehingga mengakibatkan terjadi salah penerapan terhadap pelaksanaan putusan abitrase asing yang dilakukan oleh para Hakim. Hal tersebut dapat dilihat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang juga mengadili kasus yang sama, sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap UU No.30 Tahun 1999, dan melanggar akan kewenangan dari lembaga arbitrase yang telah disepakati para pihak. Tidak hanya itu saja Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrae asing yang akan
102
dilaksanakannya di Indonesia, hal tersebut beralaskan ketertiban umum (public policy). Sedangkan pengaturan dan policy) itu tidak diatur
ketertiban umum (public
secara jelas pengaturan dan definisinya di
Indonesia. Definisi ketertiban umum tidak disebutkan secara tegas, sehingga seperti yang dikatakan Sudargo Gaotama bahwa ketertiban umum atau open bare orde seharusnya tidak dapat diinterpretasikan secara luas, sehingga sesuatu yang berlainan saja dengan apa yang dianggap melanggar konsep hukum di Indonesia dianggap melanggar ketertiban umum (pubic Policy). Definisi dan pengaturan terhadap pelanggaran ketertiban umum belum diatur secara jelas dan dibatasi akan pemaknaannya di Indonesia. Dengan demikian luasnya pengertian ketertiban umum mengakibatkan tidak adanya
kepastian hukum
khususnya bagi para pelaku usaha, maka akan tidak akan menimbulkan kemanfaatan hukum dari arbitrase tersebut sehingga para investor-investor asing merasa ragu untuk menanamkan modal sehingga berdampak negatif pada perkembagan perkembangan perekonomian di Indonesia 3. Adanya UU No.30 Tahun 1999 tentang arbitrase serta Perma No.1 Tahun 1990 sebagai peraturan pelaksana, dan adanya peratifikasian konvensi New York 1958 dengan UU No.34 Tahun 1981, serta diratifikasinya konvensi wangshington (wangshington convention) dengan UU No.5 Tahun 1968 tidak tidak menjamin akan kepastian Pengakuan, pelaksanaan dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa, hal-hal yang telah disebutkan kurang memberikan kepastian tentang pelaksanaan
103
dan pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia. Hal itu dikarenakan adanya factor-faktor penghambat yang dimana aparat hukum kurang mendukung akan pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia. Hakim kurang mengerti akan akan pemaknaan dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang bersifat final dan binding. Hakim dalam hal pelaksanaan
arbitrase
tersebut
seolah-olah
tidak
melihat
secara
keseluruhan dalam penerapan akan pengaturan tentang pelaksanaan dan pengakuan akan arbitrase asing. 4. Untuk hal pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing di Indonesia harus berdasarkan dengan Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 yang dimana pasal tersebut sejalan dengan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 Tentang arbitrase. Dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 tersebut terdapat unsurunsur untuk diakuinya dan dilaksanakannya putusan arbitrase asing, yang dimana antara lain adalah terikatnya perjanjian (konvensi) Indonesia dengan Negara lain baik secara bilateral dan multilateral atau yang lazim disebut sebagai asas resiprositas, putusan arbitrase tersebut harus dalam bentuk sengketa dagang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), dan mendapat perolehan exequatur dalam dari Mahkamah Agung di Indonesia. Sehingga salah satu saja tidak terpenuhinya unsur tersebut maka pelaksanaan dan pengakuan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini adanya konvensi belum tentu sebagai jaminan terlaksananya putusan arbitrase asing di indonesia, bahkan diketahui bersama batasan public policy itu
104
sendiri tidak diberikan batasan di Indonesia sehingga bersifat unlimited. Hal tersebut dapat berdampak buruk yang dimana tidak memberikan kepastian hukum dari arbitrase tersebut, karena bisa saja setiap putusan asing di Indonesia dikatakan melanggar ketertiban umum (public policy) dalam alasan yang kurang jelas, karena penafsiran public policy selalu berdasarkan pendapat Hakim. Di dalam Pasal 3 Perma No.1 Tahun 1990 Ayat (2) mengatakan bahwa putusan arbitrase harus dalam lingkup perdagangan, di dalam putusan arbitrase SIAC dalam kasus ini tentu termasuk dalam lingkup sengketa dagang karena memang permasalahan tersebut terjadi karena gagalnya kerjasama usaha patungan (joint venture). Dan dalam pelaksanaan exeuatur juga baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur dari mahkamah Agung yang dimana hal tersebut seusai dengan Pasal 3 Ayat (4) Perma No.1 Tahun 1990. 5. Ada pun Indonesia membatasi pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing di Indonesia hal tersebut bertujuan untuk membatasi pengaruh dominasi pihak asing di Indonesia, dan memang suatu negara berhak membatasi akan pihak asing, akan tetapi akan lebih baik pembatasan tersebut diberikan
atau
diakomodir
kepastian
hukum
khususnya
tentang
pelaksanaan dan pengakuan abitrase asing, yang bertujuan untuk lebih memberikan
jaminan
dan
perlindungan
menyelesaiakan melalui jalur arbitrase.
105
kepada
pihak
yang
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan Penulis, Penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Hendakanya dalam Undang-Undang Arbitrase perlu dicantumkannya pengertian dan batasan (public policy) dan kepentingan nasional (national interest), untuk kemudian secara jelas dijabarkan dalam perjanjian. Negara Indonesia seharusnya memberikan pembatasan dan pengaturan
akan
ketertiban umum tersebut, dan sejalan dengan pendapat sudargo gaotama, Penulis menyarankan agar penggunaan ketertiban umum (public policy) digunakan seefesien atau seirit mungkin dan negara tidak perlu manfsirkan pengertian dari ketertiban umum (public policy ) terlalu luas, hingga hal yang demikian menurut penulis menghambat pelaksanaan dan pengakuan arbitrase asing di Indonesia, hingga menimbulkan dampak negatif ke negara yang menolak pelaksanaan arbitrase asing tersebut. 2. Hakim sebagai pelaksana UU arbitrase perlu mengikuti perkembanganperkembangan arbitrase international, agar bertujuan untuk aparat hukum atau para hakim lebih berkompeten untuk memutus suatu arbitrase terlebih pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. 3.
Di dalam UU No.30 Tahun 1999 diperlukan adanya penegakan dan pengaturan yang lebih jelas, dan perlu adanya sinkronisasi antara UU No.30 Tahun 1999 dengan praktek pelaksanaanya, agar setiap hakim dapat melaksanakan dan menegakkan sebagaimana semestinya yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-undang Arbitrase.
106
4. Keunikan dalam hukum acara diminta untuk ditulis oleh Penulis lain. Sebagaimana Penetapan exequatur oleh Mahkamah Agung tapi penetapan tersebut menjadi pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menerima atau dilaksanakannya eksekusi.
107