BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Membicarakan dua tokoh dalam tesis ini berarti juga membicarakan bagaimana hubungan mereka sebagai individu hasil kreasi pengarang dengan mitos kecantikan. Melalui tebaran narasi dalam cerpen, terlihat bahwa mitos kecantikan mengopresi kedua tokoh dengan bentuk intimidasi yang rapi dan terorganisir. Mula-mula mitos kecantikan memasuki bisnis media massa dan mempengaruhi para konsumen. Media kemudian menampilkan batasan-batasan dan indikator yang demikian ketat demi menciptakan sosok perempuan yang konon ideal sesuai dengan mimpi pasar industri. Dalam kasus kedua cerpen ini, peran media massa lebih nyata tampak mengarahkan
perempuan
sebagai
konsumen
berita
tentang
cara-cara
mempercantik diri. Mitos kecantikan pada gilirannya dengan sangat halus hadir menjadi bagian dari dunia medis. Media menghadirkan informasi teranyar dalam dunia kesehatan yang berkaitan dengan keinginan perempuan mengubah tampilan demi mencapai maksud mereka—mengubah tampilan mereka lebih “cantik” dari pada sebelumnya. Sampai di sini, jelas terlihat bahwa mitos kecantikan telah membentuk interpretasi perempuan tentang bagaimana bentuk tubuh yang seharusnya mereka ikuti, atau paling tidak apa yang seharusnya mereka
lakukan—misalnya dengan melakukan tindakan operasi—demi mencapai kebahagiaan. Setelah berhasil menggiring perempuan dalam bentuk interpretasi yang sesat, mitos ini kemudian secara bertubi-tubi mengopresi perempuan. Dengan beragam bentuk, opresi itu hadir, salah satunya melalui timbunan rasa cemas dan rendah diri yang menindas. Kedua tokoh perempuan dalam TPI dan KYJ pada akhirnya tersengat rasa cemas terhadap kondisi tubuh mereka sendiri. Tokoh istri dibuat rendah diri karena harus bersaing dengan tahi lalat di punggungnya sendiri. Ia mengakui bahwa tahi lalat itu lebih memiliki aura sensualitas yang tinggi karena mampu menstimulus gairah badaniah suaminya. Keadaan itu memaksanya untuk melakukan satu tindakan operasi demi mengangkat tahi lalat di punggungnya. Sementara itu, tokoh Kaka dibuat merasa sangat cemas dengan keadaan dirinya yang invalid. Sebagai pribadi, ia meyakini bahwa keadaan cacat seseorang tidak akan memiliki nilai lebih di mata orang lain. Ketika ia berhasil mengalahkan rasa cemas itu, rasa cemas yang lain kembali datang merongrong dirinya. Tetangganya mempergunjingkan keberhasilannya di dunia model dengan hanya bermodal satu kaki; suaminya didengar selingkuh olehnya. Mitos kecantikan kemudian tidak berhenti hanya bermain-main dengan rasa cemas yang menindas. Ia juga menawarkan rasa sakit dan/atau meminta bayaran finansial dari para perempuan. Dalam kasus ini, rasa sakit dirasakan oleh Kaka demi memenuhi keinginan Bibim. Ia rela menderita rasa sakit yang menyiksa demi menghindari konflik dalam rumah tangganya. Sementara itu,
tumbal finansial mesti dibayar oleh tokoh istri demi mengoperasi dan mengangkat tahi lalat di punggungnya. Ia memang memanfaatkan kecanggihan teknologi dunia medis demi mencapai maksudnya. Berbeda dengan Kaka, pada prinsipnya ia tidak merasakan sakit, tetapi harus membayar mahal untuk operasi itu. Bentuk-bentuk opresi konsep ideal tuhan kecantikan melahirkan satu gerakan yang disadari penuh oleh kedua pengarang: redefinisi mitos kecantikan. Untuk menandingi mitos kecantikan, kedua pengarang membuat citra ideal mereka sendiri yang berbeda dengan citra yang berlaku konvensional dalam mitos kecantikan.
Kedua
pengarang
merayakan
pertandingan-pertandingan
dan
benturan-benturan konsep kreasi mereka dengan apa yang tuhan kecantikan telah takdirkan. Hasilnya, Kumala dan Noor menciptkan satu bentuk redefinisi yang nyata bertentangan dengan indikator kecantikan yang berlaku umum dalam dinamika masyarakat. Kumala dengan ekstrem mengangkat sejumput tahi lalat sebagai lawan tanding mitos kecantikan. Kalau mitos kecantikan menasbihkan tubuh model sebagai konsep ideal perempuan cantik, Kumala membaptis setitik tahi lalat di punggung perempuan menjadi apa yang ia rumuskan sebagai cantik. Kumala bertekad tidak akan tunduk pada paham mitos kecantikan yang menciptakan konsep cantik yang paten, baku, kaku, dan berlagak seolah itu sebagai bentuk kebenaran mutlak yang niscaya. Menurutnya, dalam diri setiap perempuan melekat kecantikan selama mereka percaya bahwa mereka cantik. Paham yang dilahirkan mitos kecantikan itu pada perkembangannya Kumala asumsikan
sebagai bentuk standar kecantikan yang nisbi, relatif, bahkan tidak berdasar sekalipun. Tidak pernah ada aturan yang tetap dan bertahan selamanya. Kumala mereposisi bentuk cantik perempuan dari keseluruhan tubuh menjadi sebentuk tahi lalat. Ia menyandingkan, membandingkan, kemudian memenangkan tahi lalat dalam pertarungan yang ia wacanakan sebagai lawan tanding konsep ideal cantik versi masyarakat umum. Hampir sama dengan Kumala, Noor juga membuat satu bentuk lawan tanding konsep ideal yang berlaku kolektif. Ia menghadirkan kaki Kaka yang diaku sebagai bagian tubuh yang sangat kharismatik dengan serta-merta meruntuhkan patron cantik yang telah ada sebelumnya. Bentuk redefinisi oleh kedua pengarang menghasilkan bentuk yang lain dibandingkan standar cantik sebelumnya. Mereka membuat satu bentuk redefinisi yang akhirnya hasil redefinisi itu diredefinisi kembali oleh kedua tokoh dalam kedua cerpen teranalisis. Tokoh istri dalam cerpen Kumala mengangkat tahi lalat di punggungnya karena cemburu dengan cara operasi. Di lain pihak, Kaka dalam cerpen Noor bertekad memotong sebelah kakinya yang menjadikannya sebagai bahan pergunjingan tetangga dan perselisihan dengan suaminya. Selain muncul redefinisi oleh para tokoh, data juga menawarkan sebuah fakta bahwa pada kenyataannya kedua pengarang tidak benar-benar lepas dari mitos kecantikan. Mereka boleh saja dikatakan telah membuat satu konsep cantik yang baru. Akan tetapi, mereka tetap terkurung dalam ruh mitos kecantikan yang selalu berusaha membuat batasan konsep cantik bagi perempuan. Hal ini tentu
merugikan perempuan, karena mereka terus dipaksa untuk menyesuaikan tampilan fisik mereka dengan standar cantik yang baru.
4.2 Saran Materi dalam tesis ini memusatkan pengkajiannya pada usaha redefinisi pengarang dalam membuat wacanan tandingan dengan konsep ideal mitos kecantikan yang telah lama membayangi paradigma sosial yang ia rasuki. Penelitian ini tidak sebatas menghadirkan kembali konsep-konsep ideal dalam mitos kecantikan yang sekiranya sesuai dengan teks teranalisis. Lebih jauh dari itu, di sini terdapat bentuk upaya penggantian fokus kecantikan dengan standar yang baru. Meskipun pada kenyataannya pengarang belum mampu lepas dari jiwa mitos kecantikan, paling tidak mereka telah berupaya untuk membuat lawan tanding bagi konsep cantik yang telah matang. Penelitian ini tentu saja perlu diikuti penelitian-penelitian lain yang sejenis agar dapat memperkaya variasi temuan yang lebih bermanfaat. Penulis berasumsi bisa jadi di dalam tesis ini banyak hal yang masih kurang yang penulis tidak sadari.
Penulis
berharap
agar
kekurangan
tersebut
dapat
diteliti
dan
disempurnakan oleh penulis-penulis selanjutnya. Dengan begitu, karya ini dapat ditelaah lebih dalam dan semakin mendekati kesempurnaan—meskipun kita ketahui kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai—sehingga dapat membawa manfaat dalam bidang kesastraan.