BAB IV PENDEKATAN KRITIK SENI PADA SENI RUPA MODERN INDONESIA BERNAFASKAN ISLAM: FESTIVAL ISTIQLAL I 1991 DAN FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
Telah diurai dan dijelaskan sebelumnya, jika Festival Istiqlal I dan II merupakan tonggak penting berkibarnya gagasan seni Islam pada perkembangan sejarah seni rupa modern Indonesia. Pada kenyataannya, baik peristiwa Festival Istiqlal I dan II, di samping upaya untuk memperkenalkan hasil- hasil kebudayaan dan kesenian Islam yang telah diperoleh dari masa lalu hingga zaman modern yang terjadi di bumi nusantara. Secara teoritis, Festival Istiqlal juga merupakan sebuah tawaran wacana dari kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari apa yang disebut sebagai gerakan gagasan seni Islam, khususnya yang terjadi di Indonesia (A.D Pirous, Kertas Kerja Tim 7 Pada Bagian Seni Rupa Modern Indonesia, 1991).
Adalah suatu kenyataan praktik, jika landasan yang diacu dalam peristiwa Festival Istiqlal I dan II merupakan rumusan formulasi gagasan seni Islam secara konseptual. Rumusan tim 7 conto hnya, merupakan landasan bagaimana praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara bertujuan bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Asumsi dari persoalan ini, menegaskan bahwa masalah ekspresi estetik seni Islam di Indonesia sesungguhnya berbeda dengan ekspresi estetik di negara- negara Islam lainnya, begitu pun sebaliknya. Ada situasi faktor-faktor sejarah budaya dan sosial yang jelas berbeda menaungi terhadap masalah- masalah tersebut. Dasar dari masalah ini, bertumpu pada keyakinan bahwa ekspresi seni Islam yang berlaku di negara-negara Islam tersebut, hanyalah bagian dari ekspresi kultural yang meniscayakan perbedaan satu-sama lainnya. Di situlah perlu ditekankan perbedaan bukan pada nilai Islam yang diacunya , melainkan perbedaaan pada ekspresi kultural yang terjadi di masing- masing negara Islam.
80
Masalah dinamika ke-Islaman pada seni rupa kontemporer Indonesia itu sudah lama berlangsung, muncul dan terjadi tidak kurang dari 30 tahun. Meskipun demikian, kecenderungan ke-Islaman itu, hingga kini masih belum dipahami maknanya dalam konteks perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia (Tradisi dan Inovasi KeIslaman Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Kaligrafi hingga Representasi, Bayt AlQur’an & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, 20 April-20 Juli 1997). Pengertian seni rupa kontemporer sendiri adalah jenis seni rupa yang saat ini telah menjadi fenomena internasional. Dalam beberapa catatan diterangkan, bahwa jenis seni rupa ini pada mulanya tumbuh dan berkembang bersama gelombang perubahan yang lebih luas, mencakup bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya semenjak awal abad 20. Proses perubahan itu, di negara- negara berkembang sering disebut dengan istilah modernisasi, industrialisasi dan pembangunan.
Oleh karena itu, jenis seni rupa ini juga sering disebut dengan istilah seni rupa modern. Istilah seni rupa kontemporer, bisa dikatakan muncul dan menunjuk pada kecenderungan pada dinamika jenis seni rupa yang ’sezaman’ dengan gelombang perubahan yang berskala global. Masalah- masalah ini muncul diakibatkan seni rupa kontemporer menjadi fenomena dunia, dalam konteks tersebut bias budaya Barat nampak kuat.
Wacana-wacana
intelektual
dalam
paruh
ini
mengelilingi
misalnya:
mempertentangkan Barat-Timur, Universal- Nasional, Modern-Tradisi.
Di Indonesia perkembangan seni rupa kontemporer yang mempunyai gagasan Islam, berkembang pada tahun 1970. Seni rupa kontemporer Islam ini memunculkan kecenderungan baru, yaitu masuknya unsur-unsur ke-Islaman seperti kaligrafi Islam dan pilihan gaya seni abstrak. Kecenderungan ini makin meluas memasuki dekade 80-an dan 90-an, melibatkan banyak seniman muda. Demikian pula, pilihan gaya pada kecenderungan seni rupa kontemporer bernafas Islam itu tidak terbatas pada gaya kaligrafi Islam dan abstrak meditatif saja, tetapi meluas pada gaya ekpresif, simbolis, hingga instrumental (baik realisme maupun surealisme).
81
Rupanya tidak hanya di Indonesia, gelombang gagasan seni Islam itu secara serentak terjadi juga di kawasan Asia Tenggara lainnya misalnya di Mala ysia, yang secara lamat-lamat sudah mulai nampak pada awal tahun 1970. Kemudian, secara terbuka tumbuh pada akhir 1970 (Rezda Piyadasa :1993). Fenomena ini diawali oleh perkembangan policy baru dalam bidang ekonomi dari pihak pemerintah Malaysia. Awal kejadiannya pada tahun 1971, lewat sebuah kongres nasional kebudayaan, yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, yang pada saat itu hadiri sejumlah kaum intelektual, akademisi, seniman, arsitek, musisi, penulis, dan para profesional. Mereka telah sepakat untuk merumuskan policy baru terhadap praktik budaya yang sedang terjadi di Malaysia . Hasilnya, adalah kesepakatan tentang masyarakat multi-etnis (multiracial-society).
Kecenderungan gerakan gagasan seni Islam di Malaysia, diakibatkan oleh munculnya ketidakpuasan para seniman-seniman muslim Malaysia terhadap modernisme Barat yang dinilai materialistis sehingga bisa membahayakan pandangan dunia Islam (Islamic world-view ) (Rezda Piyadasa :1993). Pada kenyataan situasi seperti itu, bisa dimaknai bahwa perkembangan seni rupa modern baik yang terjadi di Indonesia maupun yang terjadi di Malaysia, merasakan adanya upaya dominasi dari modernitas Barat yang secara umum juga melanda kawasan Asia Pasifik. Bagi kritikus seni Apinan Poshyananda persoalan perkembangan seni rupa demikian tidak mungkin dipahami lewat jendela paradigma Eropa dan Amerika (Caroline Turner :1993).
Dalam perjalanan panjang sejarah seni rupa modern Indonesia selanjutnya . Gagasan ke-Islaman mulai menancapkan fenomena yang besar pada saat peristiwa Festival Istiqlal I tahun 1991 yang kemudian disusul Festival Istiqlal II tahun 1995. Festival Istiqlal merupakan peristiwa pameran seni rupa modern yang memuat isu keIslaman dan identitas Islam, yang pada masa orde baru dilaksanakan secara bergilir dan tetap sebagai peristiwa budaya dan seni yang digiatkan 4 tahun sekali.
Masalah- masalah pokok dan substantif yang terangkum dan dapat dianalisa pada tampilnya kedua Festival Istiqlal tersebut, pada akhirnya bagi penulis sendiri bisa diteliti
82
dalam dua arah sekaligus. Pertama, Festival Istiqlal sebagai pergulatan konteks masalah internal yang bertaut pada pokok-pokok estetik karya seni rupa meliputi: medium, teknik , tema dan karya seni rupa serta gagasan seni/estetika Islam. Pada pokok estetik ini – meskipun tidak seluruhnya diulas—penulis akan meninjau beberapa kasus karya seniman yang tampil pada kedua Festival Istiqlal. Pemilihan seniman-seniman tersebut, dipertimbangkan dengan alasan keikutsertaan pada kedua pameran Festival Istiqlal I 1991 & II 1995, dan kecenderungan tawaran estetik yang ditampilkan. Kedua, dalam konteks eksternal atau non-estetik, Festival Istiqlal dilihat sebagai hasil dari konstruksi-konstruksi kepentingan yang meliputi persoalan publik Islam, panitia Istiqlal, politik kekuasaan, serta persoalan identitas Islam dalam modernitas.
Estetik
Non-Estetik
1. Medium
1. Publik Islam
FESTIVAL
2. Teknik
2. Panitia Istiqlal
ISTIQLAL
3. Tema dan Gagasan 3. Politik
I 1991 DAN II 1995
4. Karya seni rupa
4. Identitas Islam dan Modernitas
Gambar 4.1 Konteks Penelitian Festival Istiqlal 1991 dan 1995
4.1 Pendekatan Kritik Seni pada Pameran Seni Rupa Modern Islam Festival Istiqlal
Sudah dipaparkan pada bab sebe lumnya apa yang bisa kita maknai dari tampilnya kedua Festival Istiqlal tersebut yaitu adalah persoalan makna kebedaan dalam memaknai gagasan seni rupa modern Islam di tanah air. Masalahnya , baik pada Festival Istiqlal I 1991 dan Festival Istiqlal II 1995, ditemukan keragaman corak ekpresinya yang tidak terkira dan kepelbagaian kecenderungan estetiknya ternyata juga memperlihatkan bahwa karya-karya ini tidak lahir dari sumber pandangan atau wawasan estetika Islam yang tunggal.
83
Pada pameran seni rupa modern di Festival Istiqlal I 1991, para seniman muslim sudah menamp ilkan karya lama dan karya baru, yang ternyata tidak terbatas hanya pada kaligrafi, arabesque (ragam hias tetumbuhan) dan geometri. Seperti apa yang sering dikemukakan oleh peneliti seni Islam orientalis Thomas W. Arnold, bahwa subject matter seni Islam kerap berdekatan pada masalah- masalah kaligrafi, arabesque, dan geometri (Thomas Arnold :1965). Sementara, dalam kedua Festival Istiqlal tersebut, karya seni rupa Islam berbagai medium dan gaya kemudian tampil seperti: lukisan- lukisan figuratif dan pemandangan alam, yang realis maupun semirealis juga dipamerkan. Di temukan juga ada di antaranya yang cenderung impresionis dan ekspresionis. Soal demikian, pada kenyataannya tidak semuanya dapat diakui sebagai bentuk-bentuk ekspresi estetik seni Islam, tetapi semua itu membuktikan keanekaragaman wawasan estetika Islam yang mendasari penciptaannya.
84
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995 Konsep
Konsep 1. Seni rupa modern yang hendaknya dipahami sebagai suatu bagian kepentingan dari konstelasi dunia seni rupa secara menyeluruh. 2. Indonesia dalam bagian kepentingan yang menyangkut masalah kebudayaan dan pola keseniannya.
1. Pendalaman yang berkesinambungan dalam memahami materi pemikiran budaya Islam yang berkembang di Indonesia secara filosofis dan konseptual. 2. Penggalian yang terus-menerus dalam keragaman materi tata nilai Islami yang mewujud dalam khasanah kesenian Indonesia, khususnya seni rupa Kontemporer.
Islam sebagai salah satu agama dan sepak terjangnya pengaruhnya terhadap 3. Perluasan wawasan yang menjangkau titik kebudayaan Indonesia. Sehingga temu proses kreatif antar negara, dengan pengucapan Seni Rupa Modern mengundang seniman muslim dari beberapa Indonesia yang bernafaskan Islam negara Islam. sesungguhnya menjadi tiga kepentingan dalam satu kepaduan. Visualisasi Karya Seni Rupa Visualisasi Karya Seni Rupa 3.
1. Materi karya: seni lukis, seni grafis, seni keramik, fotografi, tapestri dan seni patung.
1. Materi karya: seni lukis, seni keramik, fotografi, tapestri, performance art dan seni patung.
2. Kecenderungan tematik para seniman umumnya mengangkat tema -tema: kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape, alam benda (still life), lukisan photo-realism, arabesque dan geometri.
2. Kecenderungan tematik para seniman mengangkat tema-tema: kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape , alam benda (still life), lukisan photo realism, arabesque dan geometri.
3.
Pada Festival Istiqlal I 1991, subject matter visualisasi karya seni yang dilakukan oleh para seniman, ditengarai masih banyak didominasi oleh representasi karya-karya yang merujuk paa konsep abstrak, abstraksi, dan kaligrafi. Utamanya, dengan kecenderungan tematik yang digali dari sumber-sumber kitab suci.
3. Pada Festival Istiqlal II 1995, subject matter visualisasi karya seni yang dilakukan oleh para seniman. Ditengarai telah banyak melakukan pergeseran makna yang kontekstual. Ditemukan dalam karya-karya yang menggunakan alternatif media lain yang banyak digunakan seperti seni fotografi, instalasi dan happening art. Hal ini telah menandakan juga, bagaimana ekspresi kultural representasi seni rupa Islam nusantara ternyata juga mengangkat tematema sosial dan kemanusiaan.
Gambar 4.2 Konsep & Visualisasi Karya Seni pada Festival Istiqlal I 1991 & II 1995
85
TABEL SAMPEL KASUS SENIMAN PADA FESTIVAL ISTIQLAL I & II
NO.
1.
SENIMAN
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
Acep Zamzam Noor
Ikan-ikan, akrilik di kanvas, 80x100cm, 1990
2.
Aku berdiri di atas meja, Mix media & collage, 160x100cm, 1995
Agus Kamal
Shalat Berjama’ah Cat minyak di kanvas, 140x10 0cm,199 1
3.
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
Jam terbakar Cat minyak di kanvas, 110x90cm,1995
Amrizal Salayan
Tumbuh berkembang Fiberglass lapis tembaga, 129x104cm,1995
Batang Palma Copper glass, 70x50x220cm, 1995
ANALISA VISUAL Medium dan Teknik: Menggunakan mix media & teknik collage di kanvas. Tema: Kedua karya baik dalam FI I maupun FI II. Acep Zamzam mengangkat tema figuratif dengan kecenderungan gaya ekspresionis. Karya: lukisan 2 dimensional. Subject matter: kritik masalah sosial & kemanusiaan.
Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Figuratif dengan kecenderungan gaya surealistik. Karya: lukisan, 2 dimensional. Subject matter: persoalan sosial-religi dalam konteks kemanusiaan. Medium dan Teknik: Menggunakan medium fiberglass berlapis tembaga, ukuran 129x104cm, th.1991 Tema: Gagasan abstraksi alam/pohon pada karya trimatra. Karya: patung, tiga dimensional/trimatra. Subject matter: persoalan sosial, isu lingkungan hidup.
86
NO
4.
SENIMAN
Anas Siregar
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
Minal Mahdi Ilallahdi/Sejak Buaian Hingga Akhir Hayat, Black-White Photo , 50x60cm, 1991
5.
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
Seudati Dance photography, 60x80cm,1995
Arsono
Al-Fathara Painted Iron, Bending & Corrosy, tinggi 120cm, 1995 Qaf, Hanya Allah Yang Mengetahui Painted steel, 50x50cm, 1991
6.
Barli Sasmitawinata
ANALISA VISUAL
Medium dan Teknik: Menggunakan medium fotografi Tema: Mengangkat pesan-pesan dalam hadits dan petuah. Karya: Fotografi, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam sebagai lokalitas.
Medium dan Teknik: Menggunakan painted steel dan painted iron. Tema: Gagasan abstraksi kaligrafi arab dalam wujud trimatra Karya: patung, tiga dimensional/trimatra. Subject matter: persoalan nilai-nilai religi Islam.
Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Gagasan figuratif. Karya: Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Wajah Islam dan atribut Islam dalam kegiatan ibadah.
Membaca Al-Qur’an, cat minyak di kanvas, 145x125cm, 1991 Wukuf di Arafah Cat minyak di kanvas, 145x90cm,1995
87
NO
7.
SENIMAN
Dede Eri Supria
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
Balada Penarik Becak Cat minyak di kanvas, 140x120cm,1991
8.
Hendrawan Riyanto
Lima Waktu, Keramik, 1990
9.
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
ANALISA VISUAL
Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Gagasan figuratif dengan citra realistik/photo realism Karya : Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam dalam makna kritik sosial, urban dan kemanusiaan. Labirin Cat minyak di kanv as, 140x90cm,1994
Empty Space Mix media Burning temperature 950 centigrade
Medium dan Teknik: Medium tanah liat, teknik pembakaran keramik. Tema: Gagasan abstraksi dalam karya keramik. Karya : patung, tiga dimensional/trimatra. Subject matter: persoalan nilai-nilai religi Islam.
Pramono Ir
Peci baru buat Thole Cat minyak di kanvas, 85x113cm,1991
Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Gagasan figuratif dengan citra realistik/photo realism Karya : Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam dalam kehidupan seharihari dan sosial. Thole Ingin Membaca Cat minyak di kanvas, 94x135cm,1995
88
NO
10.
SENIMAN
Risman Marah
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
Refleksi Print Colour, 50x60cm,1991
11.
Menunggu Takbir Print Colour, 80x60cm,1995
Setiawan Sabana
Gerbang Alam Etsa Akuatin, 31x41cm,1991
12.
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
Aku dan Semesta Grafis, 96x150cm ,1995
Sjuaibun Iljas
Tadarrus Bass relief, 50x60cm, 1991
Dzikir seorang Sufi Stright Print, 60x80, 1995
ANALISA VISUAL
Medium dan Teknik: Print Colour & teknik Fotografi. Tema: Gambaran pengalaman kehidupan dan kegiatan ibadah. Karya: Fotografi, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam dalam makna sosial dan kemanusiaan. Medium dan Teknik: Teknik etsa dan grafis Tema: Gambaran konsep-konsep dalam dimensi esoteris antara individu dengan alam kosmos. Karya: Grafis, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Nilai-nilai Islam pada pokok religi dan kemanusiaan.
Medium dan Teknik: Print Colour & teknik Fotografi. Tema: Gambaran pengalaman kehidupan keseharian dan kegiatan ibadah. Karya: Fotografi, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam dalam makna sosial dan kemanusiaan.
89
NO
SENIMAN
13.
Srihadi Soedarsono
FESTIVAL ISTIQLAL I 1991
Allah Yang Maha Mengetahui Cat minyak di kanvas, 130x200cm,1991
14.
Tapip Bachtiar
Permohonan Hamba Lukisan kaca, 50x6 0c m,1991
15.
FESTIVAL ISTIQLAL II 1995
Gema Illahi Cat minyak di kanvas, 200x150cm,1995
Kekuasaan-Nya II Lukisan kaca, 120x50cm,1995
Widayat
Perahu Nabi Nuh Cat minyak di kanvas, 225x175cm, 1991
Pohon Flamboyan Cat minyak di kanvas, 95x140cm,1995
ANALISA VISUAL
Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Gagasan abstrak dan abstraksi. Karya: Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam pada pokok-pokok nilai religi dan hubungannya dengan ke-Illahian. Medium dan Teknik: medium lukisan kaca. Tema: Gagasan kaligrafi yang diambil dari sumber Qur’an / Hadits. Karya: Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam pada pokok-pokok nilai religi, individu dan hubungannya dengan ke -Illahian. Medium dan Teknik: Menggunakan medium cat minyak di kanvas. Tema: Gagasan figuratif dan dekoratif. Karya: Lukisan, 2 dimensional/dwimatra Subject matter: Representasi Islam pada pokok mite-mite dalam kisah nabi. Hubungan antara individu dengan alam.
90
Festival Istiqlal merupakan peristiwa pameran seni rupa modern Islam Indonesia yang bertaraf nasional sekaligus internasional. Sebagai kegiatan Festival seni rupa modern Islam di Indonesia, Festival Istiqlal pada hasilnya berbuah akan pengamatan sekaligus pertanyaan. Pengamatan dan pertanyaan yang dimaksud mengandung arti bahwa kegiatan Festival Istiqlal tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan: bagaimana praktik seni Islam tumbuh di Indonesia ? Kemudian bagaimana juga sesungguhnya ia hidup dalam kenyataan sejarah seni rupa modern Indonesia ?
Bagi sejarawan seni Wiyoso Yudoseputro berpendapat, kritik pemakna an kepada Festival Istiqlal tersebut muaranya akan berhadapan dengan persoalan perumusan kriteria untuk memilih karya seni rupa kontemporer Indonesia-Islam itu sendiri yang akan berhadapan dengan dua hal pokok. Pertama, pada kenyataannya bahwa Festival Istiqlal merupakan keadaan secara substansial seni rupa Islam. Kemudian kedua, Festival Istiqlal merupakan bagian dari kenyataan konteks perjalanan seni rupa kontemporer Indonesia di sisi lain (Wiyoso Yudoseputro :1993).
Seringkali diungkap jika problem estetik seni rupa Islam ditautkan pada segi agama Islam itu sendiri. Dalam konteks itu seni pun dihubungkan dan berkait erat dengan pokok-pokok agama. Namun demikian, seni rupa Islam untuk kepentingan agama pada dasarnya tidak member ikan teori atau ajaran terperinci tentang seni dan estetika. Dalam hal ini pengertian estetik biasanya dihubungkan dengan fungsi dari keindahan yang sering ditafsirkan sebagai inheren untuk mensyukuri nik mat Tuhan.
Jika keindahan itu suatu yang niscaya maka mencipta keindahan dalam kesenian Islam merupakan tugas ibadah. Hal ini dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan berkenaan dengan fungsi dan hakekat keindahan dalam Islam, keindahan dengan tuntunan etis sesuai dengan ajaran agama Islam. Jadi bagaimana hubungan seni rupa dengan agama Islam dalam perkembangan seni rupa kontemporer tergantung seberapa jauh agama berperan untuk mengembangkan seni rupa kontemporer atau seberapa jauh
91
ekspresi seni rupa tidak bertentangan dalam kehidupan agama (Wiyoso Yudoseputro :1993).
Di pihak lain bagi Wijdan Ali mengemukakan, bahwa prinsip seni Islam memusat pada penyajian figuratif dan objek ruhaniah, bukan kualitas material atau materi daripada bentuk itu. Dengan demikian, pilihan setiap seniman muslim untuk memilih karya 2 dimensional atau bentuk stilisasi untuk menghadirkan formatnya secara total sudah tidak mementingkan lagi daripada tiruan mimesis objek yang sesungguhnya. Begitu pun masalah seni abstrak dalam seni Islam bukanlah mengingkari ketidakterampilan seniman muslim untuk melukis secara mimetik. Akan tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah penolakan dari prinsip materialismenya dan kualitas temporer sekaligus dengan sifat kesementaraannya (Widjan Ali :1989).
Para ahli dan peminat pengkaji seni Islam seperti al-Faruqi sering menyebut jika seni Islam mempunyai wawasan dengan seni pola-pola infinit atau seni infinit (Ismail Raji al-Faruqi :1999). Wujud ini diekspresikan ke dalam corak ’arabesk’ (arabesque). Bagi al-Faruqi arabesque ini mampu memberi kesan kepada pe ngamatnya suatu instuisi sifat-sifat ketakterhinggaan (infinitas), yang melampaui ruang-waktu, tanpa harus disertai –bagi Muslim—klaim absurd bahwa pola-pola itu sendiri berada di luar ruang-waktu. Melalui kontemplasi atas pola-pola infinit ini, jiwa penga mat akan diarahkan kepada yang illahi, dan seni menjadi suatu penguat dan penegak keyakinan agama.
Dalam pernyataan yang paling tegas, al-Faruqi pun mengungkapkan bahwa ekspresi estetis Islam pada muaranya akan berpangkal pada masalah Tauhid. Masalah Tauhid ini secara tidak langsung akan menstimulasi kesan infinitas dan transendensi melalui isi dan bentuk estetis. Bagian-bagian unsur yang memanifestasikan masalah Tauhid di seni rupa itu bagi al-Faruqi sendiri pada akhirnya akan berpangkal bahkan terwujudkan kepada pokok-pokok estetik seperti: abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, dinamisme, dan kerumitan.
92
Memang sering dinyatakan jika paradigma Islam yang tertinggi (the ultimate yardstick ) ialah al-Tauhid. Namun, pemahaman dan makna Tauhid itu sendiri perlu diperluas dan sangat kontekstual. Tidak hanya upaya manusia menyangkut hubungannya dengan Tuhan, tetapi upaya manusia hubungannya dengan alam dan sesama manusia. Dalam Islam, tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Bagi, budayawan Kuntowijoyo selajutnya menyebut dengan istilah struktur dalam (deep structure), yaitu akidah, ibadah, akhlak, syari’ah, dan muâmalah (Kuntowijoyo :2004).
Gambar 4.3 Paradigma Tauhid Sumber: Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Mizan, 2004, hal. 36
Sementara kebudayaan dan kesenian yang mengatur kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal- hal yang sifatnya sekunder batasannya yakni akhlâkulkârimah (Ali Audah :1999). Di permukaan, yang dapat diamati, berturut-turut akan nampak keyakinan, shalat/puasa dan sebagainya, moral/etika, perilaku normatif, dan perilaku sehari- hari.
Pengamat seni Islam lain seperti Seyyed Hossein Nasr, penting dinyatakan bahwa dalam seni Islam untuk membedakan mana yang disebut dengan ’seni suci’ dan mana
93
yang disebut dengan ’seni tradisional Islam ’. Seni suci berhubungan langsung dengan praktik -praktik utama agama dan kehidupan spiritual, yang mencakup seni-seni seperti kaligrafi, arsitektur mesjid, dan tilawah Al-Qur’an. Maka seni tradional Islam, bagaimana pun juga meliputi setiap bentuk seni yang dapat dilihat dan didengar mulai dari seni pertamanan hingga puisi, seluruh bentuk seni tradisional yang juga melukiskan prinsip prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam namun da lam cara yang lebih tidak langsung. Lebih jauh pada masalah ini, Nasr menuliskan:
”Dalam beberapa hal, seni suci merupakan inti dari seni tradisional, yang secara langsung menggambarkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang justru direfleksikan secara tidak langsung dalam seni tradisional”. (Nasr :1993). Selanjutnya, bagi Seyyed Hossein Nasr, masalah cika l-bakal seni Islam dan kekuatan-kekuatan
serta
prinsip -prinsip
yang
mendasarinya
betapapun
harus
dihubungkan dengan pandangan dunia Islam (wold-view of Islam) itu sendiri, dengan wahyu Islam, yang mempengaruhi seni suci secara langsung dan seluruh seni Islam pada umumnya. Pada persoalan ini Nasr menambahkan:
”Selain itu, hubungan kausal antara wahyu Islam dengan seni Islam dibuktikan oleh hubungan organis antara seni ini dengan ibadah Islam, antara kontemplasi tentang Tuhan seperti dianjurkan dalam al-Qur’an dengan sifat kontemplatif dari seni ini. Antara mengingat Allah (dzikrullah) yang merupakan tujuan akhir dari seluruh ibadah Islam, dengan peran yang dimainkan oleh seni Islam baik pada seni plastis maupun seni suara dalam kehidupan individu masyarakat Muslim, atau al-ummah sebagai suatu keseluruhan. Seni itu tidak dapat memainkan suatu fungsi spiritual apabila ia tidak dihubungkan dengan bentuk dan kandungan wahyu Islam.” (Nasr :1993)
Seseorang mungkin mengabaikan hubungan seperti itu tetapi malah menggali cikalbakal seni Islam dalam kondisi sosiopolitik yang diciptakan oleh Islam. Pandangan ini adalah sesuatu yang sepenuhnya modern tidak Islami, sungguhpun sekarang orang-orang Muslim tertentu berusaha menandinginya, karena melihat sumber batin pada bentuk lahirnya dan mereduksi seni suci dengan kekuatan interiorisasi menjadi bentuk yang 94
sederhana, sosial, dan, menurut sejarahwan Marxis, sesuai dengan kondisi-kondisi ekonomi (Nasr :1993).
Nasr tidak setuju jika peluang yang dibicarakan dalam konteks seni Islam, membicarakan juga kepentingan-kepentingan instrumental di luar agama seperti menjelaskan pokok masalah sosialpolitik dan ekonomi. Ia terus menj elaskan: ”Pandangan seperti ini dengan mudah ditolak dari sudut pandang metafisika dan teologi Islam yang melihat cikal-bakal seluruh bentuk seni berasal dari Tuhan, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu telah memperoleh hakikatnya dalam intelek Illahi. Pemikiran Islami tidak membolehkan adanya reduksi dari atas ke bawah, yang intelektual ke tingkat korporeal, atau yang suci ke tingkat duniawi.”(Nasr: 1993)
Keyakinan dan pengamatan Nasr pada masalah seni Islam ini, pada ujungnya harus segera dicari dalam ’diri’ agama Islam sendiri. Lebih gamblang, ia menuliskan: ”Bahkan dari sudut pandang non-Islami pun, sifat dasar seni Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan serta realisasi spiritual itu sangat dibutuhkan supaya penciptaannya dapat mudah dipahami oleh pengamat yang jujur – tidak dibutakan oleh berbagai ideologi yang kini memukau dunia menggantikan agama tradisional—bahwa apa pun hubungan yang ada antara seni Islam dan wahyu Islam tidaklah dapat disederhanakan pada tingkat perubahan-perubahan sosiopolitik yang ditimbulkan oleh Islam. Jawabannya harus dicari dalam agama Islam itu sendiri” (Nasr :1993) Bukan tanpa perdebatan, jika kesimpulan bahwa substansi seni Islam pada ujungnya yang paling ’dalam’ bertemu dengan esensi kewahyuan dan menghasilkan seni yang absolut tersebut telah di nilai sepihak. Di arus yang berbeda, pemikir Islam kontemporer lainnya seperti Abdulkarim Soroush asal Iran secara radikal mewakili kalangan ’Islam Liberal’, persepsi itu perlu dikaji dalam-dalam. Karena pada hakikatnya masalah esensi kewahyuan tersebut perlu diakui sebagai dan hanya penafsiranpenafsiran. Oleh sebab itu harus didefinisikan sebagai semata-mata interpretasi terhadap firman Tuhan dan sebagai sesuatu yang tidak lain dan tidak bukan adalah makna dan
95
kandungan yang dipahami dari firman Tuhan oleh berbagai komentator dan penafsir. Pada pokok masalah esensi kewahyuan itu sendiri, Soroush memaparkan:
”Agama adalah wahyu Tuhan dan sebagai demikian, ia bersifat murni dan absolut. Meskipun demikian, agar bisa dipahami, agama harus melewati berbagai saluran daya-daya komunikatif manusia yang bekerja di dalam satu kompleks susunan hubungan-hubungan sosial manusia. Karena pemahaman agama dan penempatannya dalam konteks manusiawi yang tepat melibatkan suatu proses yang rumit, agam a yang bersifat ke-Illahian itu pun menjadi tercerai-berai, menjadi tidak lengkap dan kehilangan kemurnian serta keabsolutannya.” (Abdul Karim Soroush :2000).
Pandangan apa yang dikemukakan Soroush jelas rasional, ia melihat agama tidak hanya melulu sebagai sesuatu yang terberi (given). Pada pokok ini Soroush, melihat jika manusia diberikan daya -daya kreatif sekaligus komunikatif untuk memahami agama dalam hubungan sosial manusia.
4.2 Festival Istiqlal: Kritik Medium dan Teknik Seni Rupa Lalu, apa yang sesungguhnya tampil dalam kedua Festival Istiqlal tersebut, adalah kenyataan yang tidak bisa dielak. Bahwa karya-karya seni rupa modern Islam yang hadir sudah tidak bisa lagi diamati dalam satu pengamatan perspektif saja, contohnya: gagasan seni tradisonal Islam saja atau seni suci Islam saja. Begitu pun sebaliknya pada tingkatan estetik meliputi: medium, teknik, tema dan gaya, serta karya seni rupa. Karya-karya seni rupa yang hadir pada pameran tersebut menyorongkan kebedaan karya seni rupa modern Islam Indonesia yang secara khas.
Dalam penggunaan medium karya -karya yang tampil dalam kedua Festival Istiqlal, apa yang tampil bisa segera diteliti, yaitu para seniman muslim dalam aspek kreasi karya seni rupa, mereka tidak lagi terbatas pada dua atau tiga kecenderungan medium saja. Ini membuktikan jika masalah medium dalam praktik seni Islam sudah tidak lagi mempercayai konsep-konsep sejarah modernisme Barat, yang percaya pada
96
hirarkis medium seni rupa. Sebaliknya , kecenderungan yang tampil baik pada Festival Istiqlal I dan II, menandakan bahwa seni Islam lebih terbuka pada kreasi-kreasi baru dan bahkan menerima segala pluralisme estetik baik yang berasal dari khazanah seni tradisi maupun yang berasal dari khazanah seni rupa kontemporer. Penjelasan demikian bis a disimak, apa yang terangkum dan tercatat di bawah ini:
Materi Karya
Medium dan Teknik
Tema
Festival Istiqlal I 1991 seni lukis, seni grafis, seni keramik, fotografi, tapestri, dan seni patung cat minyak, akrilik, kanvas, water colour, kertas, ballpoint, crystal coat, silkscreen, kayu, lino, hardboard cut, kaca, batik, tapestri, tanah liat, perunggu, tembaga, fiberglass, kulit, nikel, cetak warna.
Peserta
kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape, alam benda (still life), lukisan photorealism, arabesque dan geometri. Nasional (lokal)
Jumlah
140 Seniman
Festival Istiqlal II 1995 seni lukis, seni grafis, seni keramik, fotografi, tapestri, performance art dan seni patung cat minyak, akrilik, kanvas, water colour , kertas, ballpoint, crystal coat, silkscreen, kayu, lino, hardboard cut, kaca, batik, tapestri, tanah liat, perunggu, tembaga, fiberglass, kulit, nikel, painted iron (patung), marble, collage, waste, duco pa int, tempera, almunium, engraving, etsa, metal, colour print, montage, cetak warna. kaligrafi Qur’an dan Hadits, abstrak, figuratif, landscape, alam benda (still life), lukisan photo-realism, arabesque dan geometri. Nasional-Internasional Pakistan, Mesir, Libanon, Malasyia, Singapura, Palestina, Sudan, Tunisia, Bangladesh dan Jordan. 167 seniman
Bagan 4.3 Perbedaan dan Persamaan Festival Istiqlal 1991 dan 1995
Jika pemaknaannya bahwa ide Festival Istiqlal serta- merta menyorongkan ide pluralisme estetik, yang menghargai pada hasil- hasil seni tradisi. Sesungguhnya penjelasan ini sebaliknya berbeda dengan prinsip modernisme Barat yang ingin meninggalkan sekaligus memutuskan rantai dengan aspek-aspek peninggalan seni tradisi. Sebaliknya, dalam perkembangan seni rupa modern di luar Barat, justru kekayaan tradisi lebih banyak ditemukan di kawasan-kawasan luar Eropa yang pernah dikolonisas i oleh bangsa Barat.
97
Bisa ditarik kemudian dengan melihat kenyataan dari berbagai karya seni rupa yang tampil, dalam Festival Istiqlal I dan II, khususnya pada persoalan kategori medium dan teknik tersebut. Penulis melihat bahwa pluralitas medium yang hadir pada kedua Festival Istiqlal tersebut, telah menandakan bagaimana seni rupa Islam modern Indonesia tidak mengenal perbedaan secara hirarkis pada klasifikasi medium. Perbedaan dan digunakannya pluralitas medium tersebut, telah mencuatkan bahwa konsep atau dasardasar seni Islam memiliki jalan yang lain dengan sejarah modernitas Barat dalam pandangan modernisme. Sebaliknya, ditemukannya upaya menghadirkan pluralitas medium tersebut, seolah meyakinkan bahwa seni rupa modern Islam telah menimpali ide pluralisme estetik yang dimunculkan dalam gagasan post-modern.
Seperti yang diyakini, bahwa dalam gagasan seni rupa post-modern, tanda pluralisme estetik ini menjadi penting. Dalam pandangan demikian pluralisme mengandung
pengertian keserbaragaman
proses-proses budaya
dan seni serta
pengungkapannya, dan keanekaragaman bentuk-bentuk keberadaan individu (Alexandra Kuss
:2003:69). Pluralisme merupakan penolakan terhadap norma. Pluralisme
membebaskan penggunaan dari semua tawaran budaya dan semua bentuk budaya, baik yang berasal dari tradisi modern maupun historis. Sementara fenomena pluralisme di bidang seni postmodern dibentuk oleh berbagai ciri-ciri: pengutipan bebas dan fragmentasi (kolase) serta ironi, pematahan dan permainan lapisan makna, konstruksi sebagai prinsip penggambaran dan tidak lagi pencerminan kenyataan, minat seniman terhadap mite-mite dan hal yang tidak rasional, pengabaian batasan antara jurusan seni dan kategori ’seni atas’ dan ’seni bawah’ (Alexandra Kuss :2003).
Dalam kasus pada karya Festival Istiqlal I 1991, tanda-tanda orientasi perubahan estetik atau jalan lain dari gagasan seni Islam itu terjadi. Karya pelukis Widayat, yang bertajuk ’Perahu Nabi Nuh’ pada Festival Istiqlal I 1991, layak menjadi amsal. Dalam lukisan Widayat berjudul ’Perahu Nabi Nuh’ tersebut (cat minyak di atas kanvas), pelukis Widayat mencoba melukiskan dimana sebuah perahu besar nabi Nuh hendak menyelamatkan kawanan binatang di sebuah tepian hutan. Lukisan Widayat tampil
98
dengan karakteristik gaya dekoratif yang tampil rumit bahkan digarap dengan sangat intens. Karya Widayat yang memuat representasi tentang kisah Nabi Nuh tersebut, seolah menampilkan gambaran bagaimana nilai-nilai representasi yang hadir telah menyodorkan terjadinya pertukaran nilai- nilai. Yakni antara ide cerita nabi Nuh yang dianggap sebagai kisah mite- mite dan dongeng, dengan cerita nabi Nuh dalam Islam yang dinilai sebagai suatu kenyataan tarikh.
Gaya ungkap Widayat yang demikian malah menghampiri kebedaaan dalam tradisi seni rupa modern Barat. Lebih- lebih saat tidak ditambahkannya atau tidak ditonjolkannya adanya dimensi perspektif yang biasanya ditemukan dan lazim ditemukan dalam ajaran seni rupa modern Barat yang mengandalkan fokus dan perspektif. Sebaliknya, lukisan yang ia hadirkan, nyaris menghilangkan dan tidak menghadirkan apa yang dinamakan sebagai komposisi atau kaidah naturalis-perspektif -momen opname meminjam istilah peneliti seni rupa Primadi Tabrani, yang biasanya menjadi kaidah do minan dalam ajaran seni rupa Barat.
Absennya perspektif tiga dimensi dalam lukisan Widayat tersebut, seolah menyelaraskan dengan kaidah dari nilai-nilai estetika dan seni Islam yang juga menerapkan nilai-nilai rupa yang menghilangkan wujud (appearance) tiga dimensi dalam lukisan (Jale Nejdet Erzen, Islamic Aesthetics: An Alternative Way to Knowledge, dalam Global Theories of the Arts and Aesthetics, Faculty of Architecture, Middle East Technology University, Ankara Turkey, hal. 71).
99
Gambar. 4.4 Perahu nabi Nuh, karya Widayat pada Festival Istiqlal upaya representasi mite-mite dalam Islam
Akibatnya, dengan gaya ungkap yang demikian, lukisan Widayat seolah memainkan imajinasi dan persepsi dimana batas antara ruang dan waktu menjadi kabur, tidak tetap, bergerak sekaligus tak terbatas. Seperti apa yang pernah diungkap oleh estetikus seni Islam asal Turki, Jale Nejdet Erzen: ”Begitulah, sebuah dunia dalam pandangan Islam itu diterima sebagai perubahan terus - menerus, dimana kebebasan ungkapan bukanlah satu isu yang penting bagi seni atau bagi seniman”, atau apa yang kerap diungkap hal yang sama oleh Oliver Leaman sebagai: ”Sesuatu yang bergerak dan berubah dapat mewakili aktivitas dan ketakterbatasan Illah” (Oliver Leaman: 2004:32).
Karya lain Srihadi Soedarsono, bisa disimak. Lukisannya berjudul: ’Allah Yang Maha Mengetahui’ (130x200 cm, cat minyak di kanvas). Mencoba mengangkat idiom kaligrafi sebagai bahasa rupa mendekati abstraksi. Srihadi mencoba mengangkat kaligrafi menunjuk kepada representasi pada dimensi yang lebih vertikal. Sebuah teks kaligrafi pun ditulis: alif-lam-mim (diambil dari ayat Al-Qur’an). Sekilas mungkin sebuah simbolisme yang menyerupai gambaran bentang alam, bentang alam tersebut seolah menyambungkan sekaligus titik dimana bertemunya antara langit biru, matahari dan bumi.
100
Gambar. 4.5 Allah Yang Maha Mengetahui, karya Srihadi pada Festival Istiqlal, menghadirkan upaya empati dan komunikasi dengan pengamat lewat gambaran abstraksi.
Tidak seperti halnya apa yang terjadi dalam seni rupa kontemporer Barat dimana bentuk karya seni rupa bisa juga disebut artistik, tanpa sama sekali menghadirkan fenomena keindahan rupa (seperti apa yang terjadi dalam lukisan abstrak, atau sebagaimana yang terjadi dalam prinsip estetika modern Barat yang menolak segi keindahan). Akan tetapi di masa lalu (baik dalam tradisi dan Islam) pemikiran dan ide tentang makna keindahan (beauty) sesungguhnya memainkan sensasi yang sangat penting (Alija Bejtic: 1976). Dalam konteks seperti itu, kendati pun bergaya abstrak. Lukisan Srihadi Soedarsono masih tetap memainkan segi beauty dalam lukisannya masih menjadi pokok utama. Oleh karena itulah, lukisan Srihadi kian menjadi penting sebab dalam estetika Islam ditemukan pula jika upaya mewujudkannya prinsip -prinsip hubungan keindahan, komunikasi sekaligus empati antara pengamat dengan karya menjadi hal yang sangat inheren (Alija Bejtic: 1976).
Penghadiran medium alternatif seperti tanah liat dalam karya keramik lewat Festival Istiqlal, seakan membuat pemaknaan ulang kembali terhadap wujud alternatif sekaligus medium alternatif dalam tawaran gagasan seni Islam, bukanlah hal yang 101
dikasta-kastakan apalagi dilarang. Bagi orang Barat yang memiliki kepekaan terhadap seni, seni Islam, malah merupakan salah satu media paling baik untuk dapat memahami jiwa Islam. Argumentasi filosofis mengapa benda-benda di alam materi yang terbuat dari bata, lapisan semen, dan batu memainkan peran yang begitu rupa bisa diketahui dari ungkapan Hermetik yang terkenal: ”Benda-benda yang tingkatannya paling rendah tersebut menyimbolkan sesuatu yang paling tinggi.” Karena keadaannya sebagai sebuah realitas pada tingkat fisik, seni-seni soneta dan kerajinan plastik mampu melambangkan dan menggambarkan realitas tertinggi, yaitu Alam (realm) Tuhan” (Nasr :2003).
Gambar. 4.6 Lima Waktu, karya keramik Hendrawan pada Festival Istiqlal, menyorongkan kebedaan pada tingkatan medium.
Karya keramik berjudul ’Lima Waktu’ yang dibuat Hendrawan Riyanto demikian mengapungkan persoalan tersebut. Elemen-elemen kontras warna pada glatsir karyanya serta garis diametral yang membelah pada karya keramiknya menuntut dikemukakannya berbagai persepsi dan tanggapan. Apalagi saat Hendrawan sengaja mendedah wadah keramiknya menjadi lima bagian yang terbelah. Sebuah asosiasi segera terbangun, katakanlah lima bagian keramik yang terbelah semacam anjuran amanat. Lima waktu dan
102
lima perkara sering diungkap dalam pesan Islam sebagai keutamaaan sekaligus juga sebagai kerugian. Dalam hidup manusialah jua yang kemudian menentukan melakoninya hingga kemudian memilihnya. Begitulah, dalam berbagai pendekatan lain, gagasan seni rupa modern Islam Indonesia pada Festival Istiqlal, memusatkan perhatian pada hal yang historis dan pengaruh-pengaruh pada berbagai gaya dan teknik kemudian muncul. Karya lain lagi yang menawarkan gagasan medium dan teknik alternatif dalam gagasan seni Islam ditemuka n dalam karya grafis seniman Setiawan Sabana, bertajuk ’Gerbang’ pada Festival Istiqlal I 1991. Penjelajahan medium alternatif, gagasan dan teknik menjadi kesatuan yang terpadu dalam karya grafis yang berjudul: ’Gerbang’. Setiawan Sabana mencoba mengangkat representasi simbolisasi ’Gerbang’ pada tingkat spiritual yang lebih esoteris. Laksana sebuah makna metaforis, gerbang adalah pintu. ’Gerbang’ merupakan pintu masuk perjalan hidup, dimana manusia kemudian dilahirkan sekaligus keluar menuju bumi. Menjalani berbagai segi kehidupan. Sebelum masanya tiba, ’Gerbang ’ kemudian menjemput seolah hendak mengantar manusia untuk kembali.
103
Gambar. 4.7 Gerbang, karya Grafis Setiawan Sabana pada Festival Istiqlal 1991 mengangkat gagasan yang lebih esoteris.
Disisi lain karya-karya yang tampil pada Festival Istiqlal I 1991, sejumlah karya menampilkan karya yang sudah tidak lagi bertumpu pada suatu prinsip kecenderungan gaya kaligrafi atau gaya lukisan abstrak saja. Sejumlah seniman sudah menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru bahwa seni rupa modern Islam bisa dipersepsi melalui pendekatan mimetik, tepatnya gaya lukisan realistik. Seperti apa yang terjadi dalam lukisan Dede Eri Supria, Agus Kamal dan Pramono.
104
Gambar. 4.8 Lukisan karya Pramono gaya realistik, Peci untuk Thole, pada Festival Istiqlal I 1991
Tidak ketinggalan pula sejumlah karya lain yang justru menghadirkan 3 dimensi dalam wujud patung dan keramik juga telah dihadirkan. Menandakan bahwa konsep seni Islam, diwujudkan ke dalam berbagai ekspresi personal seorang individu muslim. Konsep ini membangun kesadaran bahwa seni Islam tidak cukup dibaca sebagai teks agama yang formalistik dan terkesan dibakukan. Seni Islam dala m taraf ini, memunculkan wacana baru bahwa ia hidup dalam pemaknaan bathin setiap individu muslim lewat pemikiran agama bukan pada agama. Jika agama karena sumbernya dari kitab suci memerintahkan secara jelas apa yang seharusnya dilakukan atau dilarang. Betapa pun ada distorsinya maka pemikiran agama menuntut adanya keberpihakan pena fsiran masing-masing individu muslim terhadap nilai Islam itu sendiri. Dengan demikian, upaya ini mengandung persepsi bahwa walaupun seni Islam bisa berdampingan dan bersanding dengan agama. Tetapi kegiatan dan fungsi seni sesungguhnya berbeda dengan kegiatan agama.
105
Memang terjadi dan tidak dapat dihindari, pada Festival Istiqlal I 1991 tersebut, karya-karya seni rupa yang hadir masih terbatas; baik pada lingkup medium maupun gaya. Demikian pula dengan subject matter karya seni rupa yang mau diangkat ciri dominan kaligrafi dan tema yang mengangkat masalah trasendental ternyata masih menguasai. Apalagi kejadiannya pada karya seni rupa, beberapa seniman yang ikut pada Festival Istiqlal I 1991, masih terjebak pada berbagai ungkapan pendekatan simbolisasi agama sebagai atribut kerap dijadikan referensi untuk merepresantasikan gagasan seni rupa modern Islam di Indonesia. Akibatnya beberapa karya menjadi tampil ’kering’ dengan penafsiran-penafsiran Islam yang sangat sederhana. Di sisi lain, terdapat banyak juga
karya
seni
rupa
yang
mengangkat
tema
ketuhanan
yang
bersifat
transendental/metafisis.
Sesungguhnya persoalan gagasan ke-Islaman khususnya yang mengangkat masalah transendental ini, dibanding perkembangan seni rupa perkembangan di bidang sastra relatif lebih awal kemunculannya. Hal ini bisa dilihat dalam sastra transendental yang dipakai oleh orang-orang seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M dalam puisi. Sementara dalam cerita pendel dilakukan oleh Danarto. Ketiga pengarang itu memakai masalah- masalah spiritual, masalah ketuhanan, sebagai tema. Sementara dalam seni rupa kontemporer seni transendental dicoba diangkat oleh Ahmad Sadali, A.D Pirous, Amang Rahman, dan Amri Yahya. Dalam pada ini seni transendental mereka mengungkap alam malakut (keruhanian) dengan meninggalkan alam syahadah (alam nyata) (Abdul Hadi W.M: 1998).
Berbeda dengan Festival I 1991, jumlah karya yang menyorongkan kebedaan melalui teknik, medium dan gaya relatif masih sedikit. Pada Festival Istiqlal II 1995 orientasi perubahan gagasan, teknik, gaya dan medium seni rupa yang tampil semakin melebar dan hampir tidak dibatasi. Apalagi dengan penambahan karya instalasi dan performance art yang dipadukan dengan karya sastra sebagai bentuk ekspresi gagasan seni rupa modern Islam Indo nesia. Hal demikian bisa dilihat dalam karya Tisna Sanjaya, Narsen Afatara, Putut H Pramana, W. Christiawan, Hendrawan Riyanto, Agusman, Dede
106
Nuryaman, Teddy S. Octora, Sankis, Agus Jolly, Rahmayani dan lain-lain. Tidak ketinggalan dalam karya sastra juga menampilkan seniman lain seperti: W.S Rendra, Taufiq Ismail, Putu Wijaya, Zawawi Imron, Sitok Srengenge dan lain sebagainya.
Gambar. 4.9 Karya Instalasi, Perfomer dan sastra yang dipadukan dalam Festival Istiqlal II 1995 , menjadikan representasi dan makna seni rupa modern Islam Indonesia lebih beragam
107
Gambar. 4.10 Karya Instalasi Tisna Sanjaya pada Festival Istiqlal II 1995. Melebarkan kebedaan medium
Gambar. 4.11 W. Christiawan lewat pertunjukkan perfomance art-nya pada Festival Istiqlal II 1995.
108
Gambar. 4.12 Lukisan karya Dede Eri Supria gaya realistik-fotografis , Labyrinth, pada Festival Istiqlal II 1995
Ditemukan pula pada Festival Istiqlal II 1995 berbagai lukisan- lukisan yang tidak lagi terikat kepada tema-tema seni Islam yang mengangkat kaligrafi maupun tema abstrak yang sering dijadikan pernyataan paling absah dalam mengangkat gagasan seni Islam. Karya Dede Eri Supria, Pramono, Agus Kamal secara jelas memperlihatkan kecenderungan teknik fotografis dengan pendekatan mimetik (meniru objek), lukisan yang mendekati realitas kenyataan yang nampak –penggayaan ya ng demikian kerap dituduh bukanlah gagasan seni Islam karena diduga merupakan dasar-dasar prinsip materialisme Barat yang berpijak pada tradisi Yunani.
109
Gambar. 4.13 Lukisan karya Agus Kamal lewat pendekatan mimetik gaya surealistik, pada Festival Istiqlal II 1995
Di samping itu pula di Festival Istiqlal II 1995 tersebut, berbagai pelebaran dan penjelajahan medium pada karya seni rupa pun muncul. Karya-karya Anusapati, Adhy P dan Hendrawan Riyanto pada karya 3 dimensional bisa dijadikan contoh kasus atas intensi tawaran kebedaan medium gagasan seni rupa modern Islam; dengan menggunakan material kayu dan tanah liat. Begitu pun dengan karya 2 dimensional yang tidak terbatas pada lingkup medium lukisan. Tampilnya karya fotografi pada Festival Istiqlal II 1995, lebih banyak ditemukan dibanding pada Festival Istiqlal I 1991.
110
Gambar. 4.14 Anusapati memanfaatkan material kayu pada karya patung di Festival Istiqlal II 1995
Gambar . 4.15 Karya keramik Hendrawan Riyanto di Festival Istiqlal II 1995
111
Gambar. 4.16 Karya keramik Adhy P di Festival Istiqlal II 1995 Untitled, 1995, tanah liat, 110 x 130 x 4 cm
Gambar. 4.17 Risman Marah, Waiting Fot The Call of Prayer, 80x60 cm, 1995 menggunakan teknik dan medium colour print di Festival Istiqlal II 1995
112
Gambar. 4.18 Karya fotografi R.M Roy Suryo, Prosesi Gunungan Sekaten, 40x60 cm, 1995 pada Festival Istiqlal II 1995
Gambar. 4.19 Karya fotografi Sjuaibun Iljas, Dikir Seorang Sufi, 60x80 cm, 1995 pada Festival Istiqlal II 1995
113
Pokok pentingnya ialah bahwa prinsip estetika atau gagasan seni Islam menerima segala aspek keterbukaan akan kreasi-kreasi baru dalam seni (rupa). Begitu pun dengan pengungkapan estetik; gaya, teknik dan medium tidaklah ada batasan bahkan diberikan kreativitas kepada individu sepenuhnya. Seperti apa yang diungkap oleh Jale Nejdet Erzen yang pernah menyatakan bahwa: ”seni Islam merupakan perubahan terus-menerus di dalam ketetapan.”
4.3 Festival Istiqlal 1991 dan 1995: Hubungan antara Islam, Politik dan Kekuasaan
Perlunya dikaji bahwa dalam konteks non-estetik atau masalah eksternal, Festival Istiqlal juga merupakan produksi kultural. Pengertian produksi kultural ini mempunyai arti, bahwa Festival Istiqlal juga merupakan bertemunya ruang publik dan kepentingan, antara Islam, politik dan kekuasaaan. Masalah kepentingan antara Islam, politik dan kekuasaan tersebut bisa disebut sebagai depolitisasi ruang publik Islam (Kenneth M. George: 2005). Pengandaian ruang publik Islam ini berlaku sebagai kesadaran akan minat
pada budaya dan seni.
Di sisi lain Festival Istiqlal I 1991 dan II 1995 tersebut rupanya kegiatannya tidak bisa dilepaskan kepada faktor- faktor non-estetik yang meliputi bagaimana keterhubungan sebuah perhelatan pameran seni rupa modern Islam berkait erat dengan kondisi sosial politik pada zamannya. Pada tingkat seperti inilah perlunya pendekatan kritik seni bagaimana konteks peran kekuasaan sangat relevan untuk dilakukan. Seperti diketahui masalah munculnya Festival Istiqlal itu digelar pada muaranya berpangkal pada persoalan peran kekuasaan yang sangat berpengaruh. Pengertian kekuasaan sendiri bisa dibagi ke dalam dua kategori: pertama, apa yang disebut sebagai kekuasaan individual misalnya: otoritas yang dimiliki oleh figur- figur penting tertentu, seperti pemikir seni rupa, pendidik seni rupa, pengusaha dan seniman berpengaruh. Kedua, kekuasaan organisasional yang berupa otoritas yang dimiliki oleh organisasi atau lembaga tertentu atau panitia pameran (Sumartono :2000).
114
Pada tataran seperti itu otoritas perumus tim 7 dalam Festival Istiqlal, ditengarai merupakan berlakunya praktik peran kekuasaan secara individual dilakukan, yakni direkrutnya serta dilibatkannya sejumlah kaum intelektual muslim dalam mengagendakan sebentuk ’politik kebudayaan’ dari rezim orde baru secara tidak langsung. Dalam hal ini memformulasikan
sekaligus
menyelenggarakan
sebuah
pameran
kesenian
dan
kebudayaan yang bernuansa Islam. Meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah persoalan demikian disebut sebagai kecerdasan orde baru yang melibatkan dan merekrut kaum intelektual. Mereka didekatkan pada kekuasaan, tanpa ikut langsung memegangnya (Taufik Abdullah: 1993). Pola demikian ditengarai juga merupakan reorientasi dan restrukturisasi pemerintahan orde baru dalam memelihara kestabilan politik dengan memelihara pemikiran dan perilaku politik Islam.
Kenyataan tidak bisa diingkari, bagaimana pun juga Festival Istiqlal adalah sebuah peristiwa monumental tentang perjalanan seni rupa modern Indonesia yang bernafaskan Islam. Kenyataan juga, peristiwa tersebut hidup pada masa orde baru, yang digelar tahun 1991 dan kedua digelar tahun 1995. Bagi peneliti sendiri, rupanya persoalannya Festival Istiqlal merupakan hasil dari interaksi antara kekuatan gagasan intelektual dengan kekuasaan negara, dimana praktik kedua-duanya menghasilkan operasi kekuasaan yang beredar. Kedua hal inilah yang kemudian menghasilkan sebuah kontruksi bagaimana hubungan antara Islam, politik dan kekuasaan satu-sama lain saling memberikan pengaruh.
Secara sosio-historis munculnya awal Festival Istiqlal I 1991 bisa dilacak dari awal munculnya gagasan pembangunan mesjid Istiqlal di Jakarta. Namun demikian pembangunan mesjid Istiqlal itu sendiri dibuat pada dasarnya sarat dengan upaya pertimbangan sosial-politis pada saat zamannya. Sebagai catatan bagaimana landasan awal mesjid Istiqlal itu dibuat, yaitu atas pertimbangan yang dikonsepkan oleh presiden Soekarno tahun 1950-an yang berpikir bahwa negara Indonesia merupakan mayoritas penduduk muslim yang terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia. Tetapi ironisnya,
115
dalam pengerjaannya sendiri, presiden Soekarno justru memerintahkan sekaligus memercayakan pengerjaan tanggung jawab proyek mesjid Istiqlal tersebut kepada salah seorang anak bangsa yang bernama Silaban1 asal Sumatera yang sebaliknya bukan seorang muslim.
Upaya untuk memahami bahwa konsep mesjid Istiqlal tidak saja hanya berlaku sebagai representasi ruang publik umat Islam jelas tercermin. Bagi Soekarno, dalam konteks demikian bangunan mesjid juga merupakan sebuah pertimbangan sekaligus tujuan dimana upaya mewujudkan rasa nasionalisme dan rasa menumbuhkan solidaritas serta sikap inklusif diantara warga negara masing- masing seolah menjadi pilihan dalam rangka menjaga keutuhan sebagai bangsa dan republik. Itulah sebabnya pengambilan seorang arsitek seperti Silaban yang bukan non-muslim, bukanlah rintangan yang bisa menghambat. Namun, sebaliknya potensi perbedaan seperti suku, ras, agama, dan kepercayaan tersebut bahkan bisa menjadi potensi dalam membangun republik Indonesia.
Pada proses selanjutnya belasan tahun telah berlalu semenjak era pemerintahan Soekarno berakhir, kenyataan yang terjadi ternyata proyek pembangunan mesjid Istiqlal tersebut selesai juga. Pada akhirnya ketika tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Soeharto, proyek pembangunan mesjid Istiqlal pun kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan orde baru. Akibat pembuatan mesjid Istiqlal yang diteruskan oleh kekuasaan orde baru tersebut, dalam konteks nasional tentunya tidak lepas daripada kisah perjalanan republik yang memaknai bahwa pada fase orde baru itulah bisa dikatakan ’kesuksesan’ dalam tataran pembangunan baik di tingkat ekonomi maupun sosial telah mengalami perubahan drastis. Seperti apa yang diceritakan oleh penulis M.C Ricklefs tentang masa tahun 1950-1965 menyebutnya juga sebagai situasi perbedaan setting sosial antara orde baru dengan periode kolonial kekuatan Islam. Pada fase ini juga bisa ditandai sebagai identifikasi komitmen publik religius Islam dan publik non-Islam (M.C Ricklefs: 2001:342). Dalam fase orde baru pula kekuatan Islam atau Islam dibawa orde baru
1
Arsitek Silaban merupakan figur penting dalam dunia arsitek di Indonesia, selain pernah membuat desain mesjid Istiqlal ia juga pernah membuat gedung Polar di Jalan Pegangsaan, Jakarta.
116
kekuatannya kerap di mobilisir dalam rangka penumpasan PKI, pada saat jatuhnya rezim Soekarno. Dalam konteks tersebut Islam menjadi sekutu alamiah dari pemerintah baru yang dikuasai oleh militer (Niels Mulder: 2001:78).
Sementara itu, kisah unik pembuatan mesjid Istiqlal itu sendiri dalam pemakaian bahan material yang digunakannya, hampir mengambil semua bahan dari batu marmer gunung Tulung Agung. Kejadian tersebut sampai-sampai bagi A.D Pirous mengibaratkan seperti memindahkan gunung batu marmer Tulung Agung ke Jakarta.
2
Saat pemerintahan orde baru mulai mekar, saat itu pula kemudian ada seseorang atau tokoh lain yang ikut berperan dalam pembangunan mesjid Istiqlal tersebut yaitu Joop Ave. Sebagai sosok yang bergelut dengan masalah hubungan kebudayaan luar negeri dan juga pernah menjabat ketua rumah tangga istana Joop Ave sering disebut orang dekat Soeharto. Joop Ave sendiri dikemudia n hari, dia menjabat sebagai menteri seni dan pariwisata dalam era pemerintahan Soeharto. Secara kronologis konsep Festival Istiqlal dibuat, sesungguhnya tidak hanya dibuat dengan satu kali cetusan konsep rumusan ide yang dirumuskan. Akan tetapi pada dasarnya melalui beberapa tahap dan proses yang berangsur-angsur lamanya. Titik paling krusial memaknai masalah ini diakibatkan oleh perjalanan panjang pembangunan mesjid Istiqlal itu sendiri yang memakan waktu yang sangat lama dan tidak tahu persis kapan sesungguhnya dinyatakan selesai dalam arti dipertunjukkan secara seremonial ke publik. Karena pada prinsipnya Festival Istiqlal juga pada gagasan awal yang dicetuskan oleh Joop Ave dan Pirous upayanya ingin menjadi momentum dimana pembangunan mesjid Istiqlal telah dinyatakan selesai.
Lalu, kisah awal bagaimana terlontar gagasan Festival Istiqlal –yang pada awalnya sebenarnya bukanlah dinamakan Festival Istiqlal tetapi acara pameran kesenian (seni rupa) Islam biasa yang akan diselenggarakan di mesjid Istiqlal –kisahnya pada saat itu dimulai ketika pembangunan mesjid Istiqlal hampir mendekati selesai. Tibalah lewat
2
A.D Pirous, Wawancara dengan penulis pada tangg al 16 April 2007 pukul: 15,00 WIB, Rumah Kediaman, Dago-Pakar, Bandung.
117
perkenalan awal melalui telepon pertemuan antara dua tokoh penting Joop Ave dan perupa A.D Pirous bertemu. Perkenalan Joop Ave dengan A.D Pirous, tidak lepas daripada figur Pirous sendiri yang selain dikenal sebagai seorang pengajar seni rupa ITB dan sosok pemikir seni rupa. Dia juga dikenal sebagi sosok pelukis modern Indonesia yang secara intens menggarap seni kaligrafi atau seni rupa Islam sebagai pokok subject matter karyanya.
Hasil perbincangan antara A.D Pirous dan Joop Ave tersebut kemudian memunculkan dua pertimbangan sekaligus rumusan konsep besar apa yang harus dibuat ketika mesjid Istiqlal tersebut akan mulai rampung. Pertama, soal mesjid Istiqlal itu selesai, masyarakat Indonesia butuh sebuah acara perayaan besar sebagai tanda dibukanya mesjid Istiqlal tersebut kepada publik muslim. Seme ntara yang kedua, pada perayaan acara tersebut, akan dibuat pula pembuatan mushaf Al-Qur’an. Di sisi lain, cetusan ide pembuatan mushaf Al-Qur’an itu sendiri, dan pengambilan judul Pameran Seni Rupa Modern Indonesia : Yang Bernafaskan Islam, asalnya tidak lain dari ide yang dilontarkan oleh Soeharto.
Masalah kedua pertimbangan ini, diduga oleh perupa A.D Pirous merupakan praktik pertimbangan yang kental dengan aroma politis pemerintah Indonesia pada saat itu. Pertama, pada persoalan penyelasaian fisik mesjid Istiqlal yang diperkenalkan kepada publik muslim tersebut, yaitu sebagai bukti salah satu wujud impian presiden Soekarno terhadap masyarakat muslim Indonesia. Sementara kedua, ide konsep mushaf Al-Qur’an itu dibuat sebagai manifestasi isi atau konsep bathin /spirit dari mesjid Istiqlal itu sendiri, yang direncanakan oleh presiden Soeharto. Bisa dianggap kemudian, konsep pembangunan mesjid Istiqlal tersebut mengandung maksud kedua sisi tersebut; gabungan antara konsep fisik sekaligus dengan konsep isi. Konsep fisik yang dibangun oleh Soekarno, sementara konsep isi mushaf Al-Qur’an dibuat oleh Soeharto. Dalam konsep seperti itu kita perlu menengok, jika masalah analisa ruang publik seperti mesjid Istiqlal tersebut pada dasarnya tidak bisa lepas dari kontrol kekuatan dan kekuasaan negara. Di mana gerak-gerik konsep ruang publik dihasratkan sebagai konsep kultural dan menjadi
118
korelasi masyarakat madani. Seperti apa yang diungkap Kenneth M. George mengutip filsuf Habermas sebagai ruang publik adalah korelasi diskursif dan kultural masyarakat madani; sebuah tempat orang-orang privat berkumpul bersama-sama sebagai sebuah kesatuan publik untuk mendiskusikan dan menelaah masalah- masalah sosial, budaya, dan politik yang muncul di bawah kekuasaan negara (Kenneth M. George: 2003). Pada awalnya bukanlah dinamakan sebagai Festival Istiqlal. Akan tetapi dinamakan sebagai pameran kebudayaan Islam Indonesia. Sementara istilah Pameran Seni Rupa Modern Indonesia Yang Bernafaskan Islam itu sendiri, lontaran gagasan idenya awalnya tidak lain dari Soeharto. Karena bagi Soeharto kebudayaan Indonesia dengan berdasar pada Pancasila sangat kaya dan beranekaragam, tidak hanya Islam saja, kebudayaankebudayaan lain juga hidup sudah lama hidup; baik Hindu, maupun Budha dan Kristen serta kepercayaan yang lainnya.
Namun, akibat proses yang lama dan berangsur-angsur, nama pameran kebudayaan Islam Indonesia tersebut mengalami banyak perubahan. Jika memang rencana kegiatan insidental tentang pameran kebudayaan Islam tersebut dihasratkan mengambil momentum dibukanya dan sebagai dinyatakannya telah selesai mesjid Istiqlal pada ujungnya tidak dapat dikatakan telah selesai dalam arti dinyatakan sebagai opening ceremony. Meskipun pada kenyataannya sebagai hakikat fungsi mesjid yang tidak lain digunakan untuk beribadah sehari- hari, tahun 1989 mesjid Istiqlal sebagai ruang publik sudah banyak dipakai oleh publik muslim Indonesia. Di sinilah pengambilan momentum acara pameran kebudayaan dan kesenian Islam tersebut yang ingin berbarengan tampil dengan dibukanya mesjid Istiqlal tersebut. Pada akhirnya tidaklah tepat dan tidak dapat terjadi.
Kemudian pada saat Joop Ave dalam posisinya yang sudah strategis sudah menjadi Dirjen pariwisata dan kesenian. Joop Ave kemudian menelpon lagi A.D Pirous dengan menyatakan bahwa pameran kebudayaan Islam yang dulu sempat tertunda dan tidak dapat terjadi, akan segera direalisasikan. Bahkan sebaliknya, pada momen kali ini skalanya lebih besar yaitu dengan sebutan Festival Istiqlal, yang didalamnya segala
119
ekspresi budaya dan seni Islam di hadirkan mulai dari seni tradisional, seni modern, seni pertunjukkan, arsitektur hingga acara seminar. Namun, pada kali ini momentum yang diambil bukan lagi mengambil titik-tolak launchin g-nya mesjid Istiqlal, tetapi menjadi pengambilan momentum tahun kunjungan Indonesia yaitu: ’Visit Indonesian Year’, 1991. Sementara diketahui juga pada tahun sebelumnya tahun 1990 di Asia Tenggara juga, tepatnya di negara Malasyia telah dilangusngkan Festival Tamaddun (Festival kebudayaan) yang berbarengan juga dengan pencanangan ’Visit Malasyian Year’ 1990. Dalam konteks seperti itu Festival Istiqlal juga dapat ditengarai muatannya lebih erat dengan nuansa pertimbangan ekonomi serta konsumsi dalam hal aspek pariwisata di Indonesia.
Ide gagasan seperti pameran kesenian Islam Indonesia yang direncanakan akan ditampilkan di mesjid Istiqlal yang digagas dan dicita-citakan oleh Joop Ave yang mewakili kekuasaan masa orde baru dan Pirous mewakili figur intelektual seniman muslim. Ditengarai juga pada Festival Istiqlal tersebut telah menimbulkan bagaimana relasi antara kebudayaan dan kesenian acapkali ditunggangi oleh kekuasaan dan politik demikian sangat teralami. Bagi Gus Dur kajian ini memiliki perspektif yang berbeda, dia memberi tanggapan: ”Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan, kebudayaan lahir di dalam interaksi antar pribadi-pribadi, kelompok-kelompok sambil menjamin kemerdekaan setiap peserta kebudayaan. Masalah kultur seharusnya menjadi tugas utama masyarakat untuk memperkuat masyarakat secara keseluruhan dan tidak untuk memperkuat negara.” (Abdurrahman Wahid: 2001)
Festival Istiqlal pada dasarnya hidup dala m kenyataan masa pemerintahan orde baru. Sering diungkap jika orde baru dikatakan sebagai orde pemerintahan dimana kebangkitan negara dan kemenangannya melawan masyarakat dan bangsa (Benedict Anderson: 1990). Pemerintahan orde baru juga mencatat berbagai tanda kesuksesan di berbagai bidang kehidupan antara lain: meningkatnya pembangunan di bidang ekonomi, stabilitas politik dan keamanan negara. Sementara penyelenggaraan Festival Istiqlal dan pembuatan mushaf al-Qur’an Istiqlal itu sendiri, telah menimbulkan efek, di salah satu
120
pihak Festival Istiqlal merupakan upaya dari suatu publik seni Islami yang dipinggirkan di masa orde baru untuk memberdayakan diri. Sedang dipihak lain pihak pemerintah membentuk dua hal itu sebagai komoditas budaya yang diproduksi dan dikonsumsi oleh ’counterpublic religius’ (yang sebenarnya juga merupakan suprapublik transnasional) yang sangat memerlukan lambang moralitas sekaligus modernitas, dan menjadikannya perangkat pendukung kebudayaan nasional dan patriotisme (Amir Sidharta: 2005).
Masa orde baru pada pemerintahan Soeharto berupaya untuk menjadikan ideologi mirip dengan seni tanpa menjadikan seni mirip dengan ideologi. Soeharto berkepentingan untuk memperluas aparatus negara ke dalam masalah- masalah religius. Bagi Kenneth M. George, Soeharto lebih suka melihat umat Islam sibuk mengurusi dirinya sendiri dengan masalah- masalah kebudayaan daripada dengan politik yang eksplisit (Kenneth M. George: 2003). Begitu pula apa yang terjadi pada Festival Istiqlal tersebut, sesungguhnya interaksi- interaksi antara kepentingan dan ideologis yang tak kasat itu kemudian muncul.
Begitulah, baik Festival Istiqlal I tahun 1991 maupun Festival Istiqlal II 1995, selain upaya memberikan apresiasi terhadap ruang publik terbuka serta menumbuhkan prinsip multikultur dan globalisasi yang tak hanya diperuntukkan pada publik Islam saja. Akan tetapi diperuntukkan juga bagi ruang nasional yang lebih terbuka serta lebih luas dengan melepaskan sekat-sekat berbagai ekspresi dan geografis budaya nusantara.
Dalam konteks tersebut, Festival Istiqlal I 1991 dan Festival Istiqlal II 1995 sebagai kegiatan budaya berhasil mencairkan kepentingan-kepentingan domain di luar term kesenian sekaligus berhasil mempertemukan berbagai segi ekspresi kultural masingmasing seniman muslim dengan publik secara tak terbatas. Di situlah, Festival Istiqlal telah membuka makna kebebasan dalam arti sesungguhnya; dimana makna konteks keIslaman dan nilai-nilai Islam diterima sebagai arus kemajuan sekaligus perubahan dalam konteks pasca- modernitas.
121