134
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karawang 4.1.1. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kabupaten Karawang mencapai 1.934.274 jiwa pada tahun 2004 yang terdiri dari 968.514 jiwa laki-laki dan 965.760 jiwa perempuan. Dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) dari tahun 2003 hingga tahun 2004 sebesar 0,91% dan rata-rata kepadatan penduduk 1.083 jiwa / km². Diperlukan perhatian dari pemerintah daerah dalam hal pegendalian jumlah dan kepadatan penduduk termasuk persebarannya berkaitan dengan fertilitas penduduk baik menyangkut tingkat kelahiran dan kematian penduduk atau tingkat urbanisasi. Gbr. 4.1. Jumlah Penduduk Dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Karwang Tahun 2001 - 2004 980,000 970,000 960,000 950,000 940,000 930,000 920,000 910,000 900,000 890,000 880,000 2000
2001
2002
LAKI-LAKI
2003
2004
PEREMPUAN
Sedangkan berkaitan dengan produktivitas penduduk perlu diupayakan peningkatan kualitas penduduk agar dapat dioptimalkan sebagai salah satu modal 132
135
pembangunan. Adapun gambaran komposisi penduduk menurut struktur umur dan jenis kelamin, terdapat penurunan fertilitas selama kurun waktu 5 tahun terakhir, hal tersebut terlihat dari perbedaan panjang batang piramida kelompok umur 0 – 4 tahun yang sedikit lebih pendek dibandingkan kelompok umur 5 – 9 tahun. Gbr. 4.2. Piramida Penduduk Kabupaten Karawang Tahun 2004
0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 +
(120.000)
(90.000)
(60.000)
(30.000)
Laki-Laki
0
30.000
60.000
90.000
120.000
150.000
Perempuan
Dari gambaran tersebut, tercatat penduduk perempuan saat ini berjumlah lebih besar dari penduduk laki-laki, akan tetapi jumlah tersebut berbanding kontras dengan tingkat kualitas hidup penduduk perempuan, kualitas sumber daya perempuan masih rendah dibandingkan penduduk laki-laki pada berbagai bidang pembangunan. Hal tersebut perlu diantisipasi dengan kebijakan – kebijakan pembangunan yang mengupayakan peningkatan kualitas hidup perempuan.
136
4.1.2. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang termasuk dalam wilayah pantai Utara Pulau Jawa dengan luas wilayah 1.753,27 Km2 atau 175.327 ha, dengan skala perbandingan dengan luas Provinsi Jawa Barat 3,73%, serta memiliki laut seluas 4 mil x 57 Km. Gbr.4.3. PETA KARAWANG U
Secara geografis Kabupaten Karawang terletak antara 107002-107040 BT dan 5056 – 6034 LS, termasuk daerah dataran yang relatif rendah, mempunyai variasi kemiringan wilayah antara 0 – 50 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan wilayah 0-2%, 2-15%, 15-40% dan di atas 40% dengan suhu rata-rata 270C. Secara administrasi Kabupaten Karawang mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut: - Di sebelah Utara: Batas laut jawa
137
- Di sebelah Timur: Berbatasan dengan Kabupaten Subang - Di sebelah Tenggara: Berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta - Di sebelah Selatan: Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur - Di sebelah Barat: Berbatasan dengan Kabupaten Bekasi Wilayah Kabupaten Karawang terdiri dari dataran dan pantai serta sebagian perbukitan dan pegunungan, kondisi tersebut mengandung sumber daya yang potensial berupa kawasan hutan, lahan pertanian, perkebunan, dan kawasan pesisir pantai. Secara garis besar, kondisi sumber daya alam yang menjadi potensi Kabupaten Karawang tidak terlepas dari keberadaannya yang dilalui oleh 2 (dua) sungai besar yaitu Sungai Citarum dan Sungai Cilamaya yang merupakan sumber air utama. Selain itu terdapat pula tiga buah saluran irigasi yang besar yaitu; Saluran Induk Tarum Utara, Tengah, dan Barat yang dimanfaatkan oleh penduduk Karawang untuk keperluan pengairan sawah, tambak, industri, dan kebutuhan lain baik langsung maupun tidak langsung.
4.1.3. Visi, Misi, dan Indikator Makro Rumusan Rencana strategis dan Kebijakan Umum Kabupaten Karawang telah disusun melalui mekanisme penelaahan dan pengkajian, dan sebagai tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dirumuskan formulasi Visi Kabupaten Karawang, yaitu: “Kabupaten Karawang maju, sejahtera dan tangguh ditunjang dengan pembangunan perekonomian yang berkeseimbangan dan berwawasan lingkungan berlandaskan iman dan taqwa.”
138
Pencapaian visi, diperlukan pemahaman dan pengertian dari seluruh rumusan visi tersebut agar dapat menggambarkan tata nilai dan falsafah yang dianut bersama. Dari rumusan tersebut dan sejalan dengan landasan filosofis “DASA KARYA MANGUN RAHARJA”, maka pernyataan visi dijabarkan pada 10 (sepuluh) rumusan Misi Kabupaten Karawang sebagai berikut: 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah; 2) Memberdayakan potensi lembaga keuangan untuk mendorong peningkatan ekonomi kerakyatan, perdagangan, jasa dan koperasi; 3) Meningkatkan
produktivitas
sektor
pertanian,
agroindustri,
industri
manufaktur serta mengembangkan industri kepariwisataan yang berorientasi eksport dan berbasis sumber daya lokal; 4) Melindungi masyarakat dari timbulnya dan dampak bahaya penyakit sosial; 5) Meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan serta kualitas SDM yang dilandasi nilai-nilai agama dan budaya luhur daerah; 6) Memberdayakan masyarakat dengan membuka peluang kerja melalui pemanfaatan teknologi tepat guna; 7) Memantapkan stabilitas politik, sosial keamanan, hukum dan dalam kerukunan hidup beragama; 8) Mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab melalui pelayanan prima dan kepemerintahan yang baik (Good Governance); 9) Mengembangkan kemampuan keuangan pemerintahan daerah; dan 10) Mewujudkan keseimbangan dan keserasian tata ruang wilayah serta kelestarian lingkungan hidup.
139
Rumusan Visi dan Misi yang merupakan target jangka panjang masih bersifat abstrak, maka perlu dijabarkan menjadi suatu yang konkrit dan dapat diukur keberhasilan dan kegagalannya. Oleh karena itu perlu adanya suatu indikator yang merupakan acuan pencapaian Visi secara makro dalam kurun waktu jangka menengah dan jangka pendek. Tabel.4.1. Pencapaian Indikator Makro Visi Dan Misi Kabupaten Karawang Tahun 2001 – 2004 No Indikator Makro 2001 2002 2003 2004 1
62,18 64,04 87,65 5,70 518,00
63,08 65,70 87,82 6,01 524,20
64,37 65,77 87,84 6,42 526,40
65,05 65,77 87,98 6,61 530,56
3
IPM • AHH • AMH • RLS • PPP LPE PDRB • Tk ADHB • Tk ADHK Inflasi (Persen)
5,39 5.477.890 1.714.540 12,95
5,44 6.084.187 1.734.366 11,39
3,11 6.637.956 1.771.755 4,80
5,46 7.664.044 1.860.455 11,18
4
Jumlah Penduduk
1.789.525
1.837.930
1.882.025
1.899.216
5
LPP
1,53
1,74
1,06
1,93
6
Keluarga (%)
9,27
8,95
8,91
28,67
7
Investasi
8
Laju investasi
5
5
5
5,98
9
Angkatan kerja
755.527
830.404
848.185
753.270
10
Jumlah penduduk 678.335 yang bekerja
669.408
670.314
608.490
11
Jumlah Pra ALEK
136.141
134.128
135.862
2
miskin
3.542.368.2 3.576.986.000. 5.134.388.0895.234.359.42 37.700 000 .791 7.500
Keluarga Sejahtera 131.102
140
4.1.4. Strategi Pembangunan Strategi yang digunakan oleh Pemerintah Karawang dalam mencapai tujuannya adalah sebagai berikut: 1) Revitalisasi ekonomi melalui peningkatan investasi diberbagai sektor, terutama sektor industri, perdagangan dan jasa. 2) Meningkatkan produktivitas dan nilai tambah komoditas hasil pertanian melalui pengembangan teknologi produksi tepat guna dan pengembangan jaringan pemasaran. 3) Penanggulangan kemiskinan melalui pemerataan, pendapatan, pengembangan kesempatan kerja, dan pemerataan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian serta penerapan teknologi, produksi tepat guna. 4) Meningkatkan kualitas pendidikan dan derajat kesehatan serta kultur masyarakat untuk menghadapi tantangan persaingan nasional maupun global melalui peran serta stakeholders. 5) Pembangunan ekonomi yang tangguh dan berkeseimbangan antara sektor industri, perdagangan, dan jasa dengan sektor pertanian. 6) Peningkatan penegakkan supremasi hukum dalam rangka memantapkan stabilitas polsoskam daerah. 7) Pemantapan iklim yang kondusif dan stabilitas polsoskam, agama daerah untuk menarik investasi industri perdagangan dan jasa melalui pemanfaatan zona kawasan dan kota industri. 8) Pemantapan nilai keimanan dan ketakwaan serta budaya luhur daerah untuk menangkal pengaruh budaya luar yang negatif.
141
9) Meningkatkan kompetensi dan profesionalitas aparatur pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan efektivitas dan efisiensi kinerja penyelenggaraan OTDA. 10) Meningkatkan pembangunan infrastruktur perekonomian daerah dalam rangka terwujudnya kemampuan daya saing daerah. 11) Inovasi kebijakan insentif fiskal untuk menarik investasi diberbagai sektor. 12) Pengembangan Kabupaten Karawang sebagai kawasan transito ekonomi melalui pemanfaatan jaringan transportasi darat dan infrastruktur industri yang tersedia. 13) Peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan kelestarian lingkungan hidup. 14) Peningkatan kemampuan penegakkan hukum, lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam.
4.1.5. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kondisi sosial-budaya masyarakat merupakan gambaran terpenting yang memperlihatkan kualitas sumber daya manusia dan hal tersebut akan terukur melalui variabel – variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Ukuran-ukuran variabel kondisi sosial masyarakat selain menggambarkan karakteristik dan budaya masyarakat yang berkembang saat ini maka akan berkaitan dengan aspekaspek: 1) Perilaku masyarakat dalam pola hidup bersih dan sehat, hal tersebut akan memperlihatkan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang tidak
142
sehat yang saat ini diindikasikan terjadi di Kabupaten Karawang adalah rendahnya konsumsi makanan yang sehat bagi anak dan balita termasuk kurangnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, sehingga menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi lebih pada anak balita. Kondisi tersebut berdampak pada Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita serta Angka Kematian Ibu (AKB) melahirkan masih tinggi, termasuk Angka Kesakitan Masyarakat. 2) Rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, sehingga berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar, sebagian besar masyarakat Karawang lebih banyak menggunakan potensi air pada saluran irigasi. Kondisi tersebut lebih mempertajam disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi masyarakat, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. 3) Tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Dengan rata-rata anak perempuan sekolah 5,7 tahun dan anak laki-laki 7,1 tahun dengan drop out dari sekolah dasar ke SLTP hampir 36%.Hal ini sangat berhubungan dengan tingginya pernikahan wanita dibawah 15 tahun sekitar 38,5% dengan perceraian yang tinggi dan sebagaian besar menjadi TKW keluar negeri. Keadaan ini mengakibatkan rendahnya kualitas TKW kita. Kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi perkembangan dan persaingan global, sehingga secara langsung kondisi masyarakat tersebut mempengaruhi pengembangan perekonomian yang berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Kondisi tersebut diperburuk dengan dengan rasio penduduk yang
143
bersekolah menurut kelompok usia sekolah – untuk penduduk usia 7-12 tahun belum optimal termasuk tingginya usia sekolah yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 4) Persepsi masyarakat yang masih menilai bahwa aspek pendidikan belum menjadi kebutuhan dan hal tersebut sejalan dengan kondisi obyektif pemenuhan terhadap pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan atau sebanding dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu pendidikan belum menjadi pilihan investasi, meskipun SPP telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain di luar iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, seragam, uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Beban masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi lebih berat apabila anak mereka turut bekerja membantu orangtua.
4.1.6. Kondisi Tingkat Pendidikan Secara umum perkembangan bidang pendidikan di Kabupaten Karawang sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada indikator perkembangan yang meliputi point-point sebagai berikut:
144
4.1.6.1. Angka Partisipasi Pendidikan (APK) Angka Partisipasi Pendidikan Kabupaten Karawang pada kurun waktu 2001 sampai tahun 2004 menunjukan trend kenaikan walaupun masih relatif kecil. Pada tahun 2004 APK SD mencapai 106,67% dengan APM 88,54% mengalami kenaikan rata-rata 4 sampai 6% dari tahun 2001, 2002, dan 2003. Sedangkan APK SLTP pada tahun 2004 mencapai 70,53% dengan APM 69,66% dengan rata-rata kenaikan 3% petahun dihitung sejak tahun 2001. Adapun APK SMU/SMK pada tahun 2004 mencapai 34,45% dengan APM SMU/SMK 26,68% rata-rata mengalami kenaikan antara 2% sampai 3% dari tahun 2001. Rata-rata sekolah anak perempuan pada tahun 2004 adalah 5,7 tahun dan anak laki-laki adalah 7,1 tahun, dengan drop out tinggi dari SD ke SLTP sekitar 36% tidak melanjutkan dan dari SLTP ke SLTA hampir 35,8% tidak melanjutkan jadi hanya sepertiganya yang masuk SLTA. Kemana mereka, umumnya menikah 38,5% menikah dibawah 15 tahun. Walaupun demikian pencapain APK khususnya untuk SD dan MI termasuk Kejar Paket A masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan keseluruhan penduduk usia 7 -12 tahun yang berjumlah 235.246 jiwa. Kondisi tersebut memerlukan upaya-upaya yang intensif dari dinas terkait untuk meningkatkan akses pelayanan pendidikan dasar karena terkait erat dengan tingkat Angka Melek Huruf (AMH).
145
Gbr. 4.4. APK dan APM SD dan MI di Kabupaten Karawang Tahun 2004
240,000
229969
220,000 193443
200,000 Jumlah Penduduk 7-12 Th
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 16972 20,000
11887 180
120
0 Seluruh
7-12 Th Siswa SD
Seluruh
7-12 Th Siswa MI
Seluruh
7-12 Th
Siswa Kejar Paket A
4.1.6.2. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka partisipasi sekolah untuk tingkat Sekolah Dasar (7 sampai 12 tahun) di Kabupaten Karawang dari tahun 2001 sampai 2004 rata-rata mencapai 83 sampai 96%. Untuk anak tingkat SLTP (13 sampai 15 tahun) partisipasi sekolah menunjukan angka 47 sampai 50%., Sedangkan partisipasi sekolah anak usia 16 sampai 18 tahun (usia SLTA) mencapai kisaran 23 sampai 25%. 4.1.6.3. Tingkat Drop Out (DO) Angka drop out di Kabupaten Karawang untuk tingkat SD, SLTP dan SMU/SMK umumnya masih sangat besar yaitu untuk tingkat SD/Mi tingkat Drop Out mencapai angka 0,4 sampai 0,50%. Tingkat SLTP mencapai 1,50 sampai 1,85% dan tingkat SMU/SMK mencapai angka 1,28 sampai 1,54 dengan trend yang menunjukan kenaikan tingkat drop out dari tahun ke tahun. Dan tingginya anak yang tidak melanjutkan sekolah dari SD 36% tidak melanjutkan ke SLTP dan 35,8 lulusan SLTP tidak melanjutkan ke SLTA.
146
4.1.6.4. Fasilitas Pendidikan Perkembangan sarana pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten Karawang dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2004 menunjukan trend penurunan. Tahun 2001 jumlah bangunan SD/MI Negeri tercatat 1.068 unit turun menjadi 1.065 pada tahun 2002, kembali turun pada tahun 2003 menjadi 1.056 pada tahun 2004 tercatat 1.050 unit. Angka ini menjadi sangat kontra produktif dengan angka partisipasi kasar (APK) dan Angka partisipasi Murni (APM) SD/MI yang setiap tahun justru mengalami kenaikan. Sedangkan untuk jumlah bangunan SD/MI swasta mengalami kenaikan dari tahun ke tahun yaitu 9 unit pada tahun 2001, 13 unit pada tahun 2002 dan 2003 dan 142 unit pada tahun 2004. Angka ini menunjukan bahwa peran swasta di bidang pendidikan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga merupakan kekuatan tersendiri yang harus dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.
Gbr. 4.5. Perkembangan Jumlah Prasarana Pendidikan Tahun 2001 - 2004 300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
2001
2002 SD
2003 SM P
SM A
2004
147
Untuk fasilitas pendidikan di tingkat SLTP jumlah bangunan SLTP yang ada di Kabupaten Karawang pada tahun 2004 mencapai 2.027 unit SLTP Negeri dan 571 SLTP Swasta. Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah dibanding tahuntahun sebelumnya yang berjumlah 1.838 unit SLTP Negeri dan 407 SLTP swasta di tahun 2001, 1.892 unit SLTP Negeri dan 426 SLTP Swasta di tahun 2002, dan 5.191 unit SLTP Negeri dan 500 SLTP Swasta di tahun 2003. Perkembangan yang cukup signifikan ini dimungkinkan dengan adanya pembangunan unit sekolah baru (USB) dan pembangunan ruang kelas baru (RKB) SLTP. Untuk fasilitas pendidikan di tingkat SLTA pun seiring dengan tumbuhnya lembaga pedidikan yang dikelola oleh sektor swasta, maka jumlah sarana bangunan SLTA mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2001 berjumlah 57 unit, tahun 2002 67 unit, tahun 2003 turun menjadi 66 unit, dan tahun 2004 naik kembali menjadi 69 unit. Untuk kegiatan pendidikan luar sekolah yang dilaksanakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Kabupaten Karawang mengalami pertumbuhan yang cukup positif. Pada tahun 2000 jumlah PKBM yang ada di Kabupaten Karawang masih 3 unit, naik menjadi 8 unit pada tahun 2001, tahun 2002 naik lagi menjadi 16 unit, tahun 2003 naik menjadi 28 unit dan tahun 2004 tercatat 34 unit.
4.1.7. Kondisi Tingkat Kemiskinan Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Karawang yang relatif masih cukup tinggi walaupun perkembangan laju pertumbuhannya mengalami
148
penurunan dari tahun ke tahun, namun perkembangan tersebut belum disertai dengan pertumbuhan pendapatan perkapita penduduk, sehingga mengakibatkan masih cukup tingginya angka keluarga miskin yang ada di Kabupaten Karawang yang pada tahun 2004 dari 523.505 KK.ada 182.310 KK yang pra KS dan 140.687 KK termasuk KS 1 sehingga Keluarga miskin mencapai 322.997 KK atau 64% Penduduk miskin jauh dari angka nasional yang hanya 39%. Angka beban ketergantungan (defendency ratio) merupakan perbandingan penduduk yang berusia tidak produktif (usia < 15-64 tahun). Pada tahun 2004 menunjukkan angka 52,12 yang berarti dari seratus orang usia produktif akan menanggung beban sekitar 52 orang yang tidak produktif. Angka beban ketergantungan (defendency ratio) merupakan perbandingan penduduk yang berusia tidak produktif (usia < 15 dan 64 tahun ke atas) terhadap usia penduduk produktif (usia < 15 - 64 tahun). Pada tahun 2003 menunjukan angka 49,32 yang berarti dari seratus orang usia produktif akan menanggung beban sekitar 49 orang yang tidak produktif. Perkembangan Pentahapan Keluarga Sejahtera dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel.4.2. Pentahapan Keluarga Sejahtera Tahun 2001-2004 Pra KS Tahun
Non
Jumlah
KS I Jumlah
ALEK
Non
Pra KS
ALEK
KS
KS
II
III
III +
seluruh
Jumlah
ALEK ALEK
KS
KK
KS I
2001
131.102
44.873
175.975
67.750
57.602
125.352
82.259
68.645
22.221
474.452
2002
136.141
44.173
180.314
70.205
57.900
128.105
86.473
70.184
23.375
488.451
2003
134.128
45.205
179.333
78.288
56.295
134.583
96.541
71.645
24.221
506323
149
2004
135.862
46.448
182.310
82.124
58.563
140.687
100.267
75.781
24.460
523.505
Berdasarkan data diatas terjadi peningkatan jumlah Keluarga Pra Sejahtera disebabkan antara lain: 1) Karena adanya pertambahan keluarga secara alami. 2) Masuknya kaum pendatang yang tidak diimbangi dengan jumlah/keadaan rumah/tempat tinggal yang tidak memadai.
4.1.8. Migrasi Penduduk Migrasi penduduk yang terjadi di Kabupaten Karawang meliputi migrasi penduduk yang masuk dan yang keluar dan termasuk pada kategori yang sangat tinggi khususnya untuk migrasi masuk karena adanya daya tarik dari kawasan industri yang ada di Kabupaten Karawang. Namun sisi lain keberadaan kawasan industri yang menerapkan standar kualifikasi ijasah minimal SMA tidak menarik minat mereka yang hanya tamatan SD dan SMP yang akhirnya memilih pekerjaan di luar negeri dengan menjadi TKW/TKI. Dalam arti bahwa selain sebagai daya tarik bagi mereka yang mencari pekerjaan dalam sektor industri, migrasi yang terjadi di Kabupaten Karawang khususnya migrasi keluar daerah juga tinggi, sektor yang dipilih adalah menjadi TKI/TKW.
4.1.9. Transformasi Struktural
150
Kehadiran Kabupaten Karawang sebagai suatu kawasan Industri berdampak pada identitas Kabupaten Karawang yang semula sebagai daerah agraris dan merupakan lumbung padi Jawa Barat, dengan kehadiran kawasan Industri di Kabupaten Karawang statusnya menjadi daerah semi industri. Dari pengamatan di lapangan data yang tersaji dari beberapa penelitian Kabupaten karawang dalam 20 tahun terakhir mengalami transformasi struktural, hal ini terlihat dari perubahan sektor ekonomi unggulan yang berperan besar dalam peningkatan PDRB Kabupaten Karawang dan pengaruh sektor tersebut pada lapangan pekerjaan. Dari Hasil penelitian Pemda Kabupaten Karawang dengan menggunakan LQ menunjukkan bahwa yang termasuk dalam kategori sektor unggulan dalam pengertian basis di Kabupaten Karawang tahun 1986-2004 dengan klasifikasi 9 sektor terdapat 6 sektor unggulan. Adapun yang termasuk dalam kategori sektor unggulan ini antara lain sektor pertanian (subsektor tanaman bahan pangan dan subsektor
perikanan),
sektor
pertambangan
dan
penggalian
(subsektor
penggalian), Sektor industri pengolahan (subsektor industri tanpa migas), sektor perdagangan hotel dan restoran (subsektor perdagangan), sektor pengangkutan dan
komunikasi
(subsektor pengangkutan),
dan sektor jasa
(subsektor
pemerintah). Kehadiran sektor industri pengolahan dan sektor-sektor pendukung lainnya sebagai sektor unggulan di Kabupaten Karawang telah memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB Kabupaten Karawang dalam beberapa tahun terakhir.
151
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 21 dan 22 tahun 1991 tentang Pengembangan Kawasan Industri di Kabupaten Karawang telah menunjukkan hasilnya. Sebuah hasil penelitian dengan menggunakan metode regresi linier menunjukkan bahwa variabel PDRB sektor pertanian, PDRB sektor nonpertanian dan Dummy Otonomi Daerah memiliki pengaruh yang signifikan dan berhubungan positif terhadap penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Karawang. Variabel total akumulasi modal dan dummy Peraturan Daerah berhubungan negatif dengan penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Karawang Hal ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kemungkinan hal ini terjadi karena total akumulasi modal ditanamkan dalam bentuk investasi yang bersifat capital intensif. Apabila dilihat secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa dalam periode 1986-2004, di Kabupaten Karawang telah terjadi transformasi struktural, dimana pada awalnya perekonomian bertumpu pada sektor pertanian dan pertambangan (penggalian pasir) kini telah bergeser pada sektor nonpertanian terutama sektor pengolahan, perdagangan, dan pengangkutan. Transformasi tersebut akibat adanya perda tahun 1991 yang telah mendorong terjadinya penyerapan tenaga kerja melalui sektor non pertanian tersebut. Sayangnya penyerapan tenaga kerja tersebut lebih banyak menyerap tenaga kerja pendatang. Sementara tenaga kerja lokal yang sebelumnya bertumpu di sektor pertanian tidak terserap karena kalah bersaing. Hal inilah yang mendorong peningkatan jumlah penduduk lokal yang menjadi tenaga kerja migran.
152
4.2. Dinamika Masyarakat Kabupaten Karawang Dari hasil temuan lapangan terungkap bahwa secara umum dalam dua puluh tahun terakhir ini di Kabupaten Karawang telah terjadi perubahan pola kehidupan masyarakat dari kehidupan pertanian menjadi pengirim tenaga kerja wanita (TKW) keluar negeri. Sehingga Kabupaten Karawang termasuk kedalam salah satu di antara sejumlah Kabupaten pengirim TKW terbanyak di Indonesia dan diindikasikan sebagai daerah sumber perdagangan anak di Indonesia. Temuan ini diuraikan sebagai hasil penelitian untuk lebih memahami latar belakang penelitian dan kondisi yang terjadi seputar perdagangan anak di Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang terletak di Pantai Utara Jawa Barat yang terkenal sebagai lumbung padi utama nasional sejak tahun 1960. Hal ini terjadi seiring dengan pembangunan Waduk Jatiluhur dan terbangunnya irigasi teknis Tarum Barat dan Tarum Timur yang mengalirkan air ke seluruh daerah ini. Kabupaten Karawang selama ini dikenal sebagai daerah pertanian unggulan nasional yang memiliki irigasi teknis terluas di Indonesia dan memiliki luas areal persawaan hampir 80% luas keseluruhan Kabupaten. Kondisi ini telah merubah situasi desa-desa dan kecamatannya menjadi subur makmur dan serba kecukupan. Namun demikian, sejak tahun 1990 sampai sekarang telah terjadi perubahan yang mendasar dalam kehidupan masyarakat khususnya pola pendapatan keluarga dan ekonomi keluarga yang semula bersumber dari sektor pertanian sebagai petani, buruh tani, dan sektor pendukung pertanian lainnya menjadi bersumber pada pengiriman TKW keluar negeri dengan memanfaatkan
153
anak-anak khususnya anak perempuan sebagai aset keluarga dan pencari nafkah keluarga yang umumnya bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di luar negeri maupun di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hal ini terjadi dalam kehidupan masyarakat desa di Kabupaten Karawang akibat adanya perubahan manajemen pola tanam; manajemen pasca panen; meningkatnya harga pupuk; makin sulitnya memperoleh pupuk; harga gabah yang relatif tetap; meningkatnya
harga-harga kebutuhan petani dan bertani;
berkurangnya areal sawah; menurunnya kemampuan irigasi teknis dan terjadi perkembangan industri yang menyebabkan berubahnya areal sawah menjadi pabrik dan lahan-lahan industri, sehingga secara keseluruhan 35% luas areal pertanian telah berubah fungsi. Akibat dari kondisi di atas banyak keluarga yang tadinya mengandalkan pendapatan keluarganya pada usaha-usaha yang terkait dengan pertanian, berubah menjadi mengirim anak-anak-nya, khususnya anak perempuan ke luar negeri menjadi TKW di berbagai negara dan hal ini terus meningkat dan menjadi pilihan utama anak-anak perempuan di Karawang. Pengiriman TKW baik yang keluar negeri maupun kota-kota besar di Indonesia umumnya menjadi pekerja rumah tangga, penjaga orang sakit, buruh di industri dan perkebunan di berbagai negara di Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Saudi Arabia, Hongkong, Taiwan, dan Eropa. Banyak dari mereka yang berhasil dan mengirimkan uangnya untuk pemenuhan kebutuhan keluarganya. Para TKW mengirimkan uangnya rata-rata Rp 800.000,- Rp 1 juta setiap bulan. Selain itu di antara mereka yang berhasil
154
dapat membangun rumah, membeli kendaraan roda dua dan roda empat, menyekolahkan adik-adiknya, membiayai orang tua, membiayai berobat keluarga maupun untuk biaya pesta kemerdekaan RI, puasa dan Hari Raya sampai memberangkatkan orang tua untuk naik haji. Sehingga TKW menjadi contoh dan panutan bagaimana seseorang mengabdi kepada keluarga, atau terbangun persepsi di masyarakat bahwa anak perempuan adalah aset keluarga yang mampu mengangkat harkat keluarga. Karena itulah persoalan TKW keluar negeri ini sudah menjadi sikap budaya masyarakat Kabupaten Karawang. Akan tetapi dari balik gambaran keberhasilan di atas, ada terjadi beberapa kasus perdagangan anak, antara lain ada TKW yang berangkat tidak memenuhi syarat umur; adanya pemalsuan dokumen KTP; pemalsuan paspor - KTP Karawang paspornya Pontianak; pemalsuan umur - umur 13 tahun ditulis dalam KTP 18 atau 19 tahun; gambaran kerja yang tidak jelas; maraknya percaloan; dan berangkat tidak melalui Perusahaan pengerah tenaga kerja yang resmi; di tempat transit dan tujuan mereka tidak dilatih, dan justru para TKW tersebut diperkosa, dan mengalami pelecehan seksual, penganiayaan, dan dari beberapa kasus calon TKW diberangkatkan, sebelumnya harus melayani calo atau pelatih; TKW terjerat utang karena semua biaya dari Karawang sampai daerah tujuan adalah utang yang harus dibayar dengan pemotongan gaji oleh Calo atau Perusahaan yang memberangkatkan, di daerah tujuan tidak langsung bekerja menunggu bermingguminggu dan adapula yang sampai berbulan-bulan dengan biaya akomodasi dan konsumsi yang dibebankan pada calon TKW, gaji tidak dibayar, dan banyak yang dipekerjakan tidak sesuai gambaran kerja yaitu menjadi pekerja seks komersial,
155
menjadi pelayan tempat hiburan, panti pijat, karaoke, dan hiburan lainnya tanpa sepengetahuan calon TKW dan umumnya mereka memilih bungkam dan tidak menceritakan kepada keluarganya. Asih, 18 tahun Asih usia 18 tahun, tamat SD, pertama bekerja pada usia 15 tahun. Awalnya diajak tetangga (calo) untuk bekerja di Malaysia. Semua persyaratan – KTP, Paspor, dan dokumen lain disediakan oleh calo. Asih dijanjikan oleh calo untuk bekerja di pertokoan dan atau PRT dengan gaji besar. Berangkat ke Malaysia melalui jalur Jakarta – Batam – Johar. Sebelum berangkat ke Malaysia, Asih ditampung di penampungan TKW di Jakarta selama satu minggu. Selama di penampungan, Asih mengikuti pelatihan kerumah-tanggaan. Selama di penampungan Asih tidak diperbolehkan untuk menghubungi keluarga dan keluar dari tempat penampungan. Tiba di Malaysia, awalnya Asih bekerja sebagai PRT selama 3 bulan tanpa menerima gaji, karena telah diserahkan kepada agen untuk membayar hutang. Selama menjadi PRT, Asih mendapat perlakuan kasar dari majikan, dan bahkan akan diperkosa. Asih tidak betah, kemudian kabur. Kemudian Asih ditampung oleh germo, selanjutnya dipekerjakan di rumah bordir sebagai pekerja seks komersil. Semua gaji atau tips diambil oleh germo. Karena tidak betah Asih kabur dan melapor ke KBRI Kualalumpur dan kembali ke Karawang. Sumber: Wawancara dengan Korban. 5 Mei 2006
Dari hal tersebut di atas, Kabupaten Karawang sebagai daerah sumber perdagangan anak mempunyai potensi dan jumlah korban yang cukup banyak, walaupun yang melapor dan ditangani oleh aparat berwenang dan terkait perdagangan dan pengiriman TKW tidak sebanyak kasus yang terjadi. Umumnya TKW enggan melapor dengan berbagai sebab dan hal ini jelas menunjukkan fenomena gunung es, yang tampak hanya sebagian kecil dari kasus yang muncul. Namun di balik fenomena tersebut ada persoalan-persoalan yang perlu mendapat
156
perhatian khusus agar masa depan anak-anak Karawang terlindungi dari pola-pola kejahatan dan pelanggaran hak anak yang mengancam martabat bangsa. Pemerintah
telah
mengeluarkan
kebijakan
nasional
penghapusan
perdagangan anak (Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak) yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Karawang dalam melakukan berbagai Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak. Temuan di lapangan terungkap bahwa: pertama, Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak belum menjadi kekuatan yang mampu mendorong lahirnya kebijakan publik di Kabupaten Karawang mengenai penghapusan perdagangan anak. Kedua, Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak belum menjadi pendorong utama yang memotivasi untuk melakukan tindakan dan menjadikan perdagangan anak sebagai isu strategis pemerintah Kabupaten Karawang. Ketiga, belum adanya pemahaman yang sama pada
pemerintah
Kabupaten
Karawang
mengenai
Kebijakan
Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak, sehingga isu perdagangan belum menjadi isu strategis dan utama Kabupaten Karawang. Keempat, belum adanya pemahaman pemerintah daerah terhadap isu perlindungan Anak. Hal ini, menyebabkan berkurangnya daya dorong untuk melakukan kebijakan publik Pemerintah Daerah dalam penghapusan perdagangan anak. Selain itu, pada unsur pelaksana di Kabupaten Karawang belum memahami secara menyeluruh isi, materi, dan tujuan kebijakan nasional tersebut.
157
Kesamaan pemahaman antara pelaksana kebijakan di tingkat nasional dan di tingkat kabupaten mutlak diperlukan agar tujuan dan sasaran dapat tercapai. Sehingga dalam melaksanakan suatu kebijakan menjadi syarat awal ketika mereka akan bekerja dalam sebuah Tim Kerja harus dipahami apa yang menjadi isi, materi, dan tujuan dari kebijakan tersebut. Suatu kerjasama ataupun koordinasi tidak akan berlangsung secara baik apabila tidak ada kesamaan pemahaman di antara pelaksana dalam melaksanakan suatu kebijakan. Demikian juga diperlukan kemauan yang kuat dari pelaksana kebijakan dalam mengoperasionalkan suatu kebijakan. Kemauan yang kuat ini terwujud dengan berkonsultasi ketika menghadapi suatu kendala, penggunaan skala prioritas dan melihat urgensi serta kegawatan yang terjadi dalam menyelesaikan tugas, kepatuhan terhadap petunjuk dan perintah pelaksanaan kebijakan, kerjasama, dan koordinasi yang kurang baik di antara pelaksana kebijakan menyebabkan keberhasilan pelaksanaan kebijakan menjadi kurang optimal dan dapat menyebabkan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Menurut Winarno (2002: 143): Banyak kebijakan masuk ke dalam “Zona ketidakacuhan.” Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandanganpandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang mereka tidak setujui atau kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakan terjadi, yakni antara keputusan-keputusan kebijakan dan pencapaian kebijakan.
158
Untuk menjawab identifikasi masalah, maksud, dan tujuan penelitian, serta mengenal latar belakang lokus penelitian di Kabupaten Karawang di atas maka berikut ini diuraikan hasil yang diperoleh dari penelitian ini.
4.3. Kondisi Karawang dalam Perdagangan Anak Kabupaten Karawang merupakan bagian dari kawasan pantai Utara Jawa Barat menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2004 merupakan sumber perdagangan khususnya perdagangan anak. Untuk tahun 2004 telah terjadi perdagangan untuk dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja migran ke luar negeri, Dari tahun 2001 sd 2005 rata-rata ada 2500 TKW yang dikategorikan sebagai korban Trafiking di KBRI Malaysia 40% berasal dari Karawang (Gugus Tugas P3A, 2005). Dari temuan di lapangan ada enam Desa yang melaporkan banyak terjadi korban Trafiking,salah satunya adalah desa di kecamatan Rawamerta diperoleh data bahwa 300 anak menjadi korban perdagangan. Data-data lain menunjukkan angka yang berbeda-beda tergantung dari laporan masyarakat dan kasus yang ditangani oleh penegak hukum seperti Polres Karawang, Kejaksaan, dan Pengadilan, yang jumlahnya masih berkisar rata-rata ratusan setiap tahun. Namun dari wawancara dengan para informan, bahwa rata-rata 10% dari TKW Indonesia yang keluar negeri asal Karawang kembali dengan berbagai masalah seperti, tertipu, mendapat kekerasan, gaji tidak dibayar, pekerjaan tidak sesuai dengan gambaran kerja, kehilangan paspor, dan banyak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial maupun pekerja di tempat hiburan. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Mirna,17 tahun.
159
” sebelum saya bekerja di Arab Saudi sebagai Pekerja Rumah Tangga, selama di penampungan, pada setiap malam saya harus bekerja di tempat hiburan di sekitar kawasan Mangga Besar.” Selain itu korban Perdagangan asal Karawang juga sangat terkait dengan perkembangan sejarah munculnya Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang dimulai sejak tahun 1980, beberapa warga desa mulai mengadu nasib menjadi TKI ke Arab Saudi baik laki-laki maupun perempuan, berbondong-bondong pergi menjadi TKI dengan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga, sopir dan penjaga toko. Pada saat itu yang berangkat ke Arab Saudi adalah mereka yang berumur diatas 18 tahun atau telah menikah. Namun tahun 1997/1998 terjadi perkembangan yang sangat mengkhawatirkan, kesuksesan yang dialami oleh warga yang lebih dahulu berangkat dan didesak dengan kondisi ekonomi keluarga sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Tidak sedikit ibu-ibu rumah tangga yang berbondong-bondong pergi ke luar negeri menjadi TKI/TKW. Banyak orang tua yang mempunyai anak perempuan mendorong dan mendukung anak perempuannya untuk pergi keluar negeri karena terpacu melihat keberhasilan yang diperoleh oleh tetangganya yang sudah dapat membeli barang elektronik, membangun rumah, dan membeli tanah/sawah. Perempuan biasanya lebih berpeluang menjadi pekerja rumah tangga daripada laki-laki. Perempuan bekerja dalam keluarga sehingga biaya makan dan biaya hidup sudah terjamin dan uang gaji secara utuh dikirimkan, tetapi pekerja laki-laki meskipun gajinya lebih besar dari para pekerja perempuan namun mereka harus membiayai hidup sendiri, membeli rokok, dan keperluan pribadi
160
sendiri sehingga gaji yang diterima itu kotor dan sisanya baru dikirimkan ke keluarganya. Munculnya PRTA di desa-desa adalah disebabkan oleh faktor kemiskinan keluarga, selain itu ditunjang oleh daya tarik tersendiri seperti: 1) Keberhasilan tetangga yang berangkat ke Arab Saudi. 2) Tingginya minat kerja. Menurut Bapak Tedi (36 tahun) aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat di Karawang: ”Banyak yang menjadi PRT dari Rawamerta sebenarnya dikarenakan rata-rata anak di sini hanya lulus SD, sehingga kalau mau jadi buruh pabrik tidak mungkin, karena syaratnya harus lulusan SMA. Faktor lainnya ada dari tetangga yang sukses, oleh orang tuanya dipaksa untuk menjadi PRT di Jakarta”. Hal ini seperti disampaikan oleh salah satu korban (Mina, 16 tahun): ”...saya dipaksa papa dan mama untuk bekerja, agar dapat membantu membiayai kebutuhan keluarga dan membantu untuk menyicil hutang papa...” Kasus perdagangan anak dan pekerja rumah tangga anak dan perempuan di Kabupaten Karawang secara nyata sebenarnya ada, akan tetapi data pendukung yang memperkuat kondisi tersebut belum memadai, menurut Bapak Asep (45 tahun) disebabkan oleh: 1) Adanya rasa keengganan dari masyarakat khususnya keluarga masalah untuk melaporkan dan melimpahkan kasus kepada kepolisian; 2) Data Polres Karawang terkait dengan perdagangan terbatas hanya pada kasuskasus yang dilaporkan terkait dengan tindak kekerasan pelecahan seksual dan
161
kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah rata-rata dalam tahun 2003-2005 sebanyak 18 kasus; 3) Data perdagangan di Kabupaten Karawang dapat dijelaskan pada tabel berikut ini:
Tabel. 4.3. DATA PERDAGANGAN TAHUN 2004 Tindak Jumlah Lokasi Kejadian No Jenis Kekerasan Kasus 1. Perlakuan salah 15 Kec. Karawang, Majalaya, Batujaya, Kutawaluya, Cilamaya Wetan, Lemahabang 2. Tekanan Psikologis 8 Kec. Batujaya, Cilamaya Wetan, Tempuran, Majalaya, Rengasdengklok 3. Pelecehan Seksual 8 Kec. Telukjambe, Majalaya, Rengasdengklok, Batujaya, Kutawaluya 4. Dipaksa Bekerja 7 Kec. Karawang, Batujaya Jumlah 38 Sumber: Polres Karawang, 2005 Menurut informan khususnya terkait dengan yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak di Kabupaten Karawang bahwa sebagian besar masih mempunyai persepsi yang berbeda terhadap perdagangan sebagai isu strategis yang menimbulkan keniscayaan dan kenestapaan secara fisik dan atau psikis terhadap anak di Kabupaten Karawang. Mereka menganggap bahwa persoalan Perdagangan Anak adalah persoalan pengiriman tenaga kerja keluar negeri, mereka tidak mengerti bahwa hal tersebut dianggap sebagai perdagangan, karena persoalan pengiriman tenaga kerja keluar negeri ini sudah terjadi puluhan tahun dan meningkat sejak tahun 1980, kalau terjadi masalah mereka menganggap hal tersebut sebagai hal biasa dan
162
sering terjadi dan mereka setuju bahwa TKW yang mendapat masalah harus ditolong dan mereka adalah korban dan harus dilindungi oleh seluruh pihak baik pemerintah, perusahaan yang mengirim, masyarakat dan keluarga secara bersamasama. Dari hasil wawancara dengan para informan diindikasikan bahwa para pelaksana kebijakan belum memahami secara mendalam pengertian perdagangan anak dan belum mengerti bahwa perdagangan itu adalah – segala tindakan pelaku (trafiker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan – orang (manusia) – dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, orang (manusia) digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pekerja rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Menurut Informan (Bp. Sanusi, 45 tahun): “…tidak ada yang tahu apa itu perdagangan, yang ada anak-anak yang kerja ke Arab jadi TKW, atau bekerja di Jakarta dan Bekasi jadi pembantu rumah tangga… anak-anak itu disuruh orang tuanya, supaya bisa membantu keluarga. Kalau ada yang jadi korban, sial
163
saja. Banyak yang berhasil, tapi dianya yang sial saja disiksa majikan…”
Penjelasan diberikan oleh Informan lain (Bp. Ujang, 35 tahun): “…kami di sini itu baru tahu perdagangan orang itu jahat, dari radio YKAI, yang kami tahu itu ada anak yang bekerja di Malaysia, tetapi karena disiksa, tidak bayar gajinya oleh majikan. Selain itu, ada kasus di desa kami, PRT yang bekerja di Jakarta dipaksa oleh majikannya untuk melayani hidung belang, namun dengan keberanian anak tersebut, kabur, dan sampai saat ini kapok bekerja di Jakarta…”
Para informan pun mengindikasikan bahwa para pelaksanaan kebijakan belum mengerti secara mendalam bahwa perdagangan manusia merupakan kejahatan
terhadap
kemerdekaan
yang
melanggar
hak
asasi
manusia,
menghancurkan kehormatan manusia serta harapan korban untuk dapat hidup layak. Pada beberapa kasus, terindikasi modus operandi melalui jeratan hutang (debt bondage), dan kejahatan ini melibatkan organisasi kejahatan transnasional. Dan yang menjadi korban perdagangan manusia yang terbanyak adalah perempuan dan anak. Para korban mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual, sehingga berakibat terganggunya kesejahteraan mereka. Hal ini seperti diutarakan oleh Informan (Bp. Ujang, 35 tahun):
164
“… orang Pemda atau DPRD jarang yang tahu warganya jadi korban sindikat perdagangan orang, yang mereka tahu itu kalau ada korban, karena disiksa majikan. Atau ada kasus pembantu dari Arab harus dirawat di rumah sakit, karena dipukul dan disiksa majikan. Selain itu gajinya tidak dibayar…”
Terindikasi pula bahwa pelaksana kebijakan belum mengerti sepenuhnya tentang kelompok yang rentan terhadap perdagangan. Seperti kelompokkelompok anak-anak, gadis, dan perempuan yang berasal dari kelompok keluarga miskin yang tinggal di daerah pedesaan atau kumuh perkotaan; Anak yang putus sekolah; Mereka yang berasal dari anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, dan atau meninggal dunia; Anak korban kekerasan dalam rumah tangga; Para buruh migran; Anak jalanan; Bayi; Janda cerai akibat pernikahan dini; dan Mereka yang mendapat tekanan dari orang tua untuk bekerja. Umumnya beranggapan bahwa faktor kemiskinan,ekonomi,dan budaya meniru serta ingin mengabdi kepada keluarga menjadi dasar perginya anak-anak bekerja ke luar negeri. Dari hasil diskusi kelompok terfokus mengindikasikan bahwa “Para pelaksana kebijakan mengerti dan tahu adanya peran orang ketiga yaitu para sponsor atau calo tenaga kerja yang menawarkan dan mengiming-imingi para calon TKW/I untuk berangkat menjadi TKW/I keluar negeri.” “Para sponsor atau
165
calo tersebut berkeliaran di desa-desa di Kabupaten Karawang untuk mendapatkan para gadis baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, para trafiker menjalankan berbagai modus operandi.” Pada diskusi kelompok terfokus juga, para peserta
mengindikasikan bahwa “Beberapa modus operandi yang biasa
dilakukan para calo atau sponsor yang berhasil diendus oleh Kepolisian dan temuan penelitian lapangan adalah melalui Penipuan; Bujuk rayu; Jebakan dan ancaman penyalahgunaan wewenang; Jeratan hutang; Jeratan jasa; Duta budaya – entertainment; Adopsi ilegal; Penculikan; dan Pemalsuan identitas.” Selain itu cara kerja para trafiker dengan melibatkan agen atau calo. Agen atau calo mendekati korban di pedesaan, pusat keramaian, mall, kafe, dan restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam kelompok dan seringkali merayu sebagai remaja yang sedang bersenang-senang mencari pacar. Temuan lain yang sangat menarik dan baru pada peristiwa eksodus besarbesaran Tenaga Kerja Indonesia dari Malaysia pada tahun 2005. Para trafiker mengembangkan kerjasama antara trafiker Malaysia dan Pengirim dari kabupaten pantai utara jawa barat, Medan dan Jakarta melalui cara-cara sebagai berikut: Trafiker Malaysia membujuk tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bermasalah yang mendekam di kamp Semenyih, Selangor Malaysia. Trafiker menguruskan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), dan selanjutnya memulangkan TKW ini ke Indonesia melalui Medan dan Jakarta termasuk yang dari Karawang. Pada saat sampai di Medan, dan Jakarta. Para TKW ini dengan bantuan trafiker Medan dan Jakarta menguruskan paspor dan visa. Kemudian
166
trafiker Medan dan Jakarta mengirimkan TKW tersebut ke Malaysia menjadi pelacur. Terungkap pula bahwa selain itu pola lain yang dikembangkan para trafiker untuk menjebak korban, terutama anak-anak, gadis, dan perempuan di daerah yang mengalami situasi darurat. Masih segar dalam ingatan kita, kejadian gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias akhir tahun 2004, banyak warga Aceh yang kehilangan rumah dan keluarganya: suami, isteri, anak-anak, orang tua, dan kerabat dekat. Dalam suasana yang tidak menentu, ada individuindividu dengan mengatasnamakan keluarga atau lembaga yang berasal dari luar Aceh/Nias mengaku ditugaskan oleh lembaga tertentu atau dari pihak keluarga membawa anak-anak yatim piatu Aceh keluar dari lokasi bencana untuk diadopsi, atau ada juga yang bersimpati dan ingin mengawini janda-janda muda tsunami dan membawa ke kehidupan baru di luar Aceh. Upaya membongkar tindak pidana perdagangan ini, perlu juga kita mengetahui bagaimana pola-pola yang dikembangkan trafiker setelah memperoleh sasaran. Jika trafiker berhasil merekrut korban, maka kegiatan selanjutnya dari trafiker (calo) membawa korban ke daerah tujuan melalui daerah transit secara perorangan dan atau rombongan dengan menggunakan moda transportasi darat, udara, dan laut. Untuk tujuan luar negeri, korban melengkapi diri dengan paspor dan visa turis/umroh. Seluruh biaya perjalanan dan dokumen menjadi tanggungan agen/calo. Akan tetapi pada intinya seluruh biaya perjalanan dan dokumen menjadi beban atau hutang korban pada agen. Itulah yang sehari-hari terjadi di desa-desa di Kabupaten Karawang dan sulit untuk diberantas mengingat
167
jaringannya dan pola kerjanya yang memasyarakat dan meluas serta telah terjadi puluhan tahun nyaris diterima masyarakat sebagai alternatif pendapatan keluarga. Hal ini seperti yang disampaikan warga masyarakat kepada informan bahwa anakanak mereka yang pergi menjadi TKW adalah tulang punggung keluarga, rata-rata ada 11 orang yang menjadi tanggungan keluarga TKW, mereka mengirim uang sekitar delapan ratus sampai satu juta dalam satu atau dua bulan. Banyak yang dipergunakan untuk membangun rumah, membiayai sekolah adik-adiknya dan bagi kehidupan keluarga tersebut. Sehingga umumnya mengganggap TKW adalah pahlawan keluarga. Mereka enggan ketika ditanya tentang kaitannya dengan perdagangan dan permasalahannya. Selain itu didapat pula bahwa untuk mencapai daerah tujuan, trafiker telah menyusun agenda perjalanan secara teratur. Di tempat tujuan, agen menempatkan korban di rumah penampungan untuk beberapa waktu, sebelum korban mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan. Selama penampungan inilah, agen mempekerjakan korban di bar, pub, salon kecantikan, rumah bordir, dan rumah hiburan lain. Pada beberapa kasus, korban mulai terlibat pada kegiatan pelacuran. Selama proses ini, agen melakukan intimidasi – mengancam korban untuk tidak kabur; jika mereka ingin keluar dari kekuasaan agen, korban harus mengembalikan biaya perjalanan dan dokumen. Lalu siapa sebetulnya yang menjadi trafikernya. Para trafiker di Indonesia yang terindentifikasi adalah orang tua korban, paman korban, agen, calo, germo, majikan, dan pengelola tempat hiburan. Mereka ini terorganisasi dalam organisasi
168
kejahatan transnasional. Sedangkan menurut Ruth Rosenberg, pelaku Perdagangan manusia adalah melibatkan lembaga dan perseorangan (Rosenberg, 2003). Sedangkan untuk menjerat para korban, menurut International Catholic Migrant Commission, para trafiker menerapkan cara-cara yang antara lain memberikan pinjaman secara halus sehingga korban terjebak dalam jeratan hutang; menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; menahan paspor, visa, dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi, jika mereka berusaha kabur; mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; membuat korban tergantung pada pelaku Perdagangan manusia dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempatkan di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib; dan memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman.
4.3.1. Akar Masalah Seperti yang banyak ditemukan dalam laporan penelitian dan laporan negara bahwa akar masalah perdagangan manusia antara lain disebabkan oleh kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua yang memaksa anak-anaknya untuk bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) untuk merekrut anak-anak desa bekerja di kota. Hal inipun terjadi di Kabupaten
169
Karawang, dari hasil penelitian kami mendapatkan hal yang hampir sama bahwa Kebutuhan akan biaya hidup beralih dari Pertanian sebagai buruh tani menjadi tenaga kerja keluar negeri, Dari hasil wawancara ternyata mereka menerima hasil yang jauh lebih banyak bila mereka menjadi TKW keluar negeri dengan gaji sekitar delapan ratus – satu juta rupiah sebulan sedangkan menjadi buruh tani hanya Rp 300 ribu sampai Rp 450 ribu perbulan. Selain itu berkurangnya lahan sawah, berkurang-nya pekerjaan di desa, dan bertambahnya jumlah penduduk usia kerja menjadi dasar utama mereka terpaksa berangkat keluar negeri, selain itu faktor daya tarik, dari pendahulu-pendahulu yang menjadi TKW banyak yang berhasil menjadi kaya dan mampu membiayai keluarga menjadi faktor dominan yang sekarang terjadi, budaya panutan. Mereka tidak mempermasalahkan jenis pekerjaan. Umumnya menganggap sebagai pekerja rumah tangga. Menurut Informan (Bp. Asep, 45 tahun): ”...sebetulnya awalnya di desa kami ini setiap orang mempunyai sawah atau menjadi buruh tani, namun dengan adanya beberapa perempuan desa bekerja di Arab, dan kembali ke desa. Rata-rata mereka berhasil dan kehidupan keluarga mereka lebih beruntung, karena mereka mempunyai rumah permanen dan sepeda motor. Namun orang tuanya yang tidak memberikan anaknya ke calo atau agen, kehidupannya melarat, terutama kalau musim kering datang. Mereka yang tidak tahan ini tergoda dan memenuhi keinginan calo atau agen untuk mengizinkan anaknya ke Arab...”
Informan lain (Ibu Emy, 36 tahun):
”...daya tarik ke Arab atau Malaysia sebagai TKW, setelah mereka di sana setahun mengirim uang, oleh orang tua atau suaminya uang tersebut dipergunakan untuk membeli sebidang tanah atau membangun rumah, makanya mengapa rumah di desa ini rata-rata
170
permanen, karena uang dari TKW... Namun dari yang berhasil ada juga satu dua yang mengalami nasib sial, gajinya tidak dibayarlah atau disiksa oleh majikannya...”
Keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa miskin untuk mempengaruhi orang tua agar mengijinkan anaknya untuk bekerja di kota sebagai pekerja rumah tangga, pelayan restoran, buruh pabrik, dan buruh perkebunan, atau menikahkan anaknya dengan orang asing. Agen selalu menjanjikan biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain di tanggung oleh agen. Yang pada proses selanjutnya uang yang dikeluarkan oleh agen diperhitungkan sebagai hutang yang harus dibayar oleh korban. Selain itu perdagangan manusia terjadi karena adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia – pernikahan dini, kawin siri; konflik dan bencana alam; putus sekolah; pengaruh globalisasi; lemah sistem hukum dan penegakan hukum; dan keluarga yang tidak harmonis. Untuk alasan terakhir ini banyak anak-anak yang menjadi korban, karena kelalaian keluarganya sendiri. Karena ketika keluarga menjadi berantakan, anak-anak tidak betah tinggal di rumah, mereka lebih senang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari keluarga satu ke kelurga lain, intinya mereka menghindari bertemu dengan orang tua mereka yang sering bertengkar. Pada situasi ini, anak-anak rentan terhadap perdagangan manusia oleh keluarga atau orang yang ada di sekitarnya.
171
Mirna (17 tahun). Lulusan SD, diberikan ayahnya ke calo untuk dipekerjakan di Malaysia. Pada saat terjadinya pengusiran oleh pemerintah Malaysia, Mirna merupakan salah satu korban yang dideportasi, karena tidak mempunyai dokumen resmi (asli tapi palsu). Malapetaka sebetulnya terjadi sejak awal keberangkatan, pada saat pengurusan dokumen, Mirna telah memalsukan usia 16 tahun menjadi 21 tahun. Pengurusannya di desa di kabupaten lain. Berbekal dokumen dari desa tersebut, dokumen – paspor dapat diurus. Di Malaysia dijanjikan bekerja sebagai PRT, namun sebelum dideportasi, Mirna bekerja di pub, selain itu dipaksa untuk melayani tamu – dieksploitasi seksual. “…saya dipaksa untuk melayani 1 – 2 tamu setiap hari, saya tidak bisa menolak, kalau berani mendapat perlakukan kasar dari penjaga. Meskipun datang bulan…” Sumber: Wawancara dengan Korban, 5 Mei 2006
Menurut informan (Bp Asep, 45 tahun): “…di desa kami calo atau agen-agen TKW tumbuh subur, mereka hanya berbekal informasi dari Jakarta, dengan sungguh-sungguh mencari anak-anak yang akan menjadi TKW. Mereka masuk dusun ke luar dusun mencari gadis yang dirayu agar mau jadi TKW atau PRT di Jakarta, dengan iming-iming pekerjaan dan gaji yang mengiurkan …” Hal yang sama juga ditegaskan oleh Informan lain (Bp. Sanusi, 45 tahun): “…agen-agen di desa lahir bagaikan jamur pada musim hujan. Mereka banyak merekrut anak-anak usia antara 15-18 tahun. Para agen ini rata-rata dapat merekrut 2-3 anak perbulan…”
4.3.2. Karawang dalam Peta Perdagangan Anak
172
Dari hasil penelitian berbagai pihak ternyata jelas bahwa Kabupaten Karawang telah dinyatakan sebagai sumber perdagangan anak di Indonesia. Hal ini dapat kita baca dalam Laporan Indonesia ke berbagai forum internasional dan selain Karawang masih banyak pula daerah-daerah lain seperti kabupaten di Pantai Utara Jawa, Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, dan hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasikan sebagai daerah asal – transit – penerima perdagangan orang. Seperti yang tergambar dalam peta perdagangan orang di wilayah Indonesia tahun 2006. Yang menjadi daerah asal adalah Nangroe Aceh Darussalam; Sumatera Utara: Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, Dairi, Binjai; Sumatera Barat: Padang; Jambi; Riau; Kepulauan Riau; Sumatera Selatan: Palembang, Martapura, Peracak; Bengkulu; Lampung: Bandarjaya, Negeri Ratu; Banten; DKI Jakarta; Jawa Barat: Sukabumi, Tangerang, Bekasi, Indramayu, Bandung, Karawang, Bogor, Cianjur, Ciroyom, Bekasi, Depok, Cirebon, Kuningan; Jawa Tengah: Banyumas, Magelang, Purwokerto, Cilacap, Wonosobo, Semarang, Pekalongan, Tegal, Purwodadi, Grobogan, Jepara, Boyolali; Jawa Timur: Banyuwangi, Nganjuk, Madiun, Kediri, Surabaya, Blitar, Jember, Gresik; Bali: Denpasar, Trunyan, Karangasem, Kintamani, Bangli; Kalimantan Barat: Pontianak, Singkawang; Kalimantan Selatan: Banjarbaru; Kalimantan Timur: Samarinda; Sulawesi Utara: Manado; Gorontalo; Sulawesi Tengah: Banggai; Sulawesi Selatan; Sulawesi Tenggara; Nusa Tenggara Barat; Nusa Tenggara Timur; Maluku.
173
Daerah Transit adalah Belawan, Medan, Padang Bulan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Tanjung Balai (Medan), Kabupaten Labuhan Batu, Tanjungbalai Karimun, Dumai, Batam, Tanjung Pangkor, Tanjung Pinang, Lampung Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan. Bandung, Losari-Cirebon, Cilacap, Solo, Surabaya, Denpasar, Entikong,
Pontianak, Badau Kapuas Hulu, Senaning/Ketungau Sintang,
Balikpapan, Nunukan, Tarakan, Bitung, Pare-pare, Makassar, Sengkang, Watampone, Mataram, Ternate, dan Serui. Sedangkan Daerah Penerima adalah Deli Serdang, Medan, Belawan, Serdang Bedagai, Simalungun, Jambi, Tanjung Balai Karimun, Dumai, Pekanbaru, Batam, Tanjung Pinang, Sungailiat, Lampung Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Bandung, Pantai Utara, Sukabumi, Sawangan Depok, Baturaden, Solo, Surabaya, Denpasar, Gianyar, Legian, Nusa Dua, Sanur, Tuban, Kuta, Ubud, Candi Dasa dan Denpasar, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Pantai Senggigi, Sumbawa, Kupang, Biak, Fak-fak, Timika, Sorong, Mappi, Jayapura, dan Merauke.
Gbr.4.6. Peta Perdagangan manusia di Wilayah Indonesia Tahun 2006
174
Medan, Belawan Tg.Balai Karimun
Nunukan Tarakan Batam
Dumai
Balikpapan
Entikong T.Pinang Pontianak
Bitung
Ternate Sorong
Parepare
Serui Fak-fak
Jakarta
Jayapura Timika
Karawang Cirebon
Lampung
Surabaya
Makassar
Merauke
Bandung Cilacap
Solo Denpasar Mataram
Kota
Daerah Sumber
Temuan lapangan lainnya, Karawang disebut sebagai daerah asal, namun banyak pula yang menyatakan bahwa Karawang dalam dua tahun terakhir justru menjadi daerah tujuan, hal ini terkait dengan dibangunnya daerah-daerah industri baru dan hampir 50 pabrik baru muncul di Karawang semuanya memerlukan tenaga kerja dan kehidupan baru disekitarnya dan ternyata banyak menyerap tenaga kerja dari luar daerah Karawang. Dan tentunya banyak pula korban yang tertipu dan diperdaya oleh para calo dan sponsor untuk bekerja di Karawang, dan terjadi perdagangan manusia di Karawang yang harus ditangani oleh pemerintah daerah. Karena itu Pemerintah Kabupaten Karawang telah mengeluarkan Instruksi Bupati agar semua Pabrik dan Industri maupun Perusahaan yang berdomisili di Karawang untuk merekrut pekerjanya minimal 30% adalah tenaga kerja asal Karawang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh salah satu informan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Kebijakan penghapusan Perdagangan di Karawang, bahwa Karawang selain menghadapi isu strategis terjadinya perdagangan anak, korban dari pengiriman tenaga kerja asal Karawang keluar negeri, juga menghadapi persoalan datangnya pekerja di luar Karawang ke
175
Kabupaten Karawang yang menjadi korban dan berdampak serta dapat dikatagorikan sebagai korban perdagangan manusia. Menurut Informan (Bp.Asep, 45 tahun): ”...Karawang saat ini telah menjadi daerah tujuan anak-anak yang dilacurkan, kasus di lapangan telah diungkap oleh Polres Karawang. Pada awalnya mereka bekerja sebagai buruh pabrik, namun dengan meningkatnya kebutuhan, terutama membeli HP, jadi jalan satusatunya adalah menjadi PSK. Hal ini juga karena Karawang dekat dengan Patok Besi (Pusat Pelacuran di daerah pantai utara)...” Informasi lain juga disampaikan oleh Informan (Ibu Emy, 36 tahun): ”...Karawang ini tidak seperti dulu lagi, sekarang ada anak-anak dari luar Karawang yang menjajakan diri di Mal Karawang. Selain itu, mereka secara sembunyi-sembunyi praktik di daerah kos-kosan...”
4.4. Implementasi Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak Dari penelitian kuantitatif ditemukan bahwa Kebijakan penghapusan perdagangan anak hanya memiliki kekuatan 25,9% terhadap persepsi Pemerintah daerah Kabupaten Karawang, sehingga diperlukan pengaruh lain agar Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang mempunyai pemahaman yang sama dan motivasi yang kuat agar Kebijakan penghapusan perdagangan anak ini dioperasionalkan. Secara kualitatif dari informan dan pengamatan lapangan ditemukan halhal sebagai berikut.
4.4.1. Input Dari sisi input atau masukkan yang diperlukan untuk memahami persepsi yang sama terhadap kebijakan penghapusan perdagangan anak ternyata, walaupun
176
pemerintah daerah sudah menyusun rangkaian tindak lanjut kebijakan tersebut. Namun belum berjalan sesuai rencana, karena kebijakan tersebut terhenti oleh adanya pergantian kepemimpinan Bupati dan Tim yang ditunjuk mengalami perubahan dan pergantian personil sehingga ditemukan adanya perbedaan pemahaman dan menunggu instruksi untuk menjalankan kembali. Artinya, kebijakan nasional untuk menghapus perdagangan anak dalam implementasinya atau operasionalisasinya dari sisi input sudah diterima oleh pemerintah daerah, namun terhenti, karena harus menunggu pembaharuan dan petunjuk lebih lanjut dari pimpinan. Uraian terekam melalui kesimpulan diskusi kelompok terfokus, bahwa: ”tim belum dapat menindak-lanjuti hasil Tim kerja sebelumnya, karena pergantian personil di BPMS, dan Bupati belum menerima hasil kerja tim sebelumnya. Perlu ada pertemuan lanjutan untuk mematangkan hasil tim sebelumnya.” Hal ini senada dengan pernyataan informan (Bp. Nuh, 37 tahun). ”Kepala BPMS perlu menyesuaikan diri dengan visi dan misi Bupati, selain itu perlu penyegaran, karena sebagian besar Tim sebelumnya sudah berpindah posisi.” Walaupun sudah ada informasi dan komunikasi serta motivasi yang dilakukan dalam berbagai bentuk sosialisasi, ternyata sangat berpengaruh pada siapa yang memegang posisi kunci dan struktur pemerintahan daerah Kabupaten Karawang apakah mereka mempunyai persepsi dan pemahaman yang sama bahwa perdagangan anak adalah isu strategis dan mendesak. Hasil Diskusi Kelompok Terfokus merekomendasikan bahwa ”Pejabat baru menunggu petunjuk dan arahan pimpinan.” Selain, disepakati bahwa ”pemahaman yang sama dan persepsi yang
177
sama terhadap materi dan isi serta tujuan dan sasaran dari suatu kebijakan sangat diperlukan bagi kelanjutan operasionalisasinya.”
4.4.1.1. Kebijakan Penghapusan Perdagangan Anak Dari temuan lapangan bahwa di Kabupaten Karawang belum mempunyai Kebijakan
tentang Penghapusan
Perdagangan
Anak.
Sehingga
program
penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang belum terarah. Hal ini, tergambar dari belum adanya program pencegahan, perlindungan, pemulihan, dan reintegrasi yang berjalan sesuai kebijakan nasional. Seperti yang dijelaskan oleh informan (Bp. Muchayat, 48 th): “Kami belum mempunyai peraturan daerah khusus untuk perdagangan anak, sehingga dalam program pencegahan, perlindungan, pemulihan, dan reintegrasi belum terlaksana secara terarah. Untung ada YKAI dan ILO, yang secara terus menerus mendorong kami, agar menjadikan isu trafiking, menjadi isu yang perlu mendapat perhatian pemerintah Karawang, baru belakangan ini kami mulai tertarik dan membahas masalah perdagangan anak.”
Hal ini senada disampaikan oleh informan lainnya (Ibu. Neni, 45 th): “Dengan dibentuknya Tim Kerja, kami di Karawang sudah mulai melakukan pertemuan untuk menyusun rancangan Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak, akan tetapi Tim ini terhenti untuk membahas, karena adanya pergantian pimpinan dan bupati.” 4.4.1.2. Isu Perdagangan Anak Perdagangan anak merupakan fenomena di Kabupaten Karawang. Hal ini berhubungan dengan Karawang menjadi salah satu daerah asal perdagangan anak
178
untuk Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh informan (Bp. Sofyan, 44 tahun): “Banyak anak-anak Karawang yang dikirim ke Timur Tengah sebagai PRT dengan menggunakan KTP daerah lain, sehingga menjadikan kami sulit mengawasi mereka, namun kami baru ketahui, jika mereka telah menjadi korban. Selain, itu saya banyak mendapat informasi dari TV dan koran, bahwa Karawang sebagai salah daerah asal trafiking. Namun pemerintah daerah belum banyak melakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban.”
Hal serupa disampaikan oleh Informan Bapak Karni, 50 tahun bahwa “Karena masalah perdagangan anak yang menjadikan Kabupaten Karawang tersohor sebagai pemasok.” Akan tetapi, di tingkat legislatif belum mempunyai sensitivitas. Hal ini sebagaimana yang terekam dari dokumen-dokumen materi bahasan DPRD yang tidak diketemukan materi bahasan tentang isu perdagangan anak. Sedangkan di tingkat eksekutif sensitivitas tentang isu perdagangan anak sudah mulai terbangun. Menurut BPMS – Karawang, tercatat dari beberapa kegiatan sebagai berikut: 1) Sosialisasi tentang perdagangan anak dan kebijakan penghapusan perdagangan anak dan perempuan; 2) Konsultasi publik tentang strategi penghapusan perdagangan anak; 3) Dialog publik tentang upaya penghapusan perdagangan anak; 4) Penyusunan paper akedemik dan draf Peraturan Daerah Pemerintah Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak;
179
5) Pertemuan untuk membentuk Kelompok Kerja Penghapusan Perdagangan Anak; 6) Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak; dan Uraian serupa seperti disampaikan oleh Informan (Bp. Ujang, 35 tahun). “…saya pernah ikut sosialisasi tentang perdagangan anak di Kantor Bupati saat itu ada paparan tentang kebijakan penghapusan perdagangan anak menurut presiden. Saat itu juga diceritakan tentang maraknya kasus perdagangan anak sebagai akibat dari pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia dan Timur Tengah… Saya mengerti perdagangan anak dapat mengakibatkan anak-anak Karawang menjadi budak-budak seks di luar negeri maupun menjadi pemuas seks dan pemijat dip anti pijat, seperti di Jakarta dan Bandung. Setelah memperoleh informasi isu tersebut, saya mengajak teman-teman, tokoh masyarakat, dan aparat desa, serta tokoh pemuda berdiskusi ternyata anak-anak perempuan yang menjadi TKW di kota Jakarta, tetapi setelah mereka ditanya lebih mendalam ternyata mereka bukan menjadi PRT, tetapi sebagai pekerja di tempat pijat dan tempattempat hiburan. Mereka bisa membantu keluarga setiap bulan antara 2 juta sampai 4 juta dan uang tersebut dipergunakan oleh keluarga untuk kebutuhan makan, pakaian, perbaikan rumah, beli sawah, beli motor, dan beli kulkas…”
4.4.1.3. Kepemimpinan, Organisasi dan Manajemen Dalam melaksanakan kebijakan ada tiga unsur yang terpenting yaitu personil, kelembagaan atau organisasi dan tata laksana atau prosedur yang dapat kita artikan sebagai manajemen dan teknologi. Ketiga unsur tersebut akan saling berinteraksi dan mengarahkan kepada kebijakan dan isu strategis apa yang dihadapi. Dengan adanya interaksi antara personil, organisasi dan manajemen tersebut harus berjalan dengan baik agar tujuan dan sasaran tercapai. Unsur
180
personil pada hakekatnya adalah personil yang memiliki unsur kepemimpinan peduli anak, yang harus dimiliki oleh seseorang yang melaksanakan kebijakan penghapusan perdagangan anak yaitu unsur kepemimpinan peduli anak sehingga dari seseorang yang memiliki kepekaan terhadap anak akan dilahirkan kebijakan yang peduli anak atau Child frendly policy. Menurut Informan (Bp Hery, 50 tahun) bahwa “Kepemimpinan peduli anak belum dimiliki oleh para pelaksana kebijakan di Kabupaten Karawang, umumnya kepemimpinan diarahkan untuk melaksanakan pembangunan fisik dan belum sepenuhnya berorientasi kepada pembangunan bernuansa kemanusiaan dan sejalan dengan kepedulian yang tinggi untuk melindungi anak-anak termasuk melindungi dari perdagangan anak. “…sulit untuk mencari pemimpin di Kabupaten Karawang yang peduli kepada kemanusiaan, khususnya kepada hal-hal yang berkaitan dengan non fisik, seperti perempuan, anak, hak asasi manusia. Mungkin mereka terbawa oleh budaya selama pemerintahan Orde Baru lalu, yang mengutamakan pembangunan fisik dan kita dikejar oleh target yang bersifat kuantitatif sebagai indikator kinerja, sehingga ketika jaman reformasi seperti sekarang, gejala-gejala non fisik memerlukan perhatian yang lebih banyak, sulit untuk melakukan perubahan paradigma.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibu Marni (45 tahun) “saya kalau pemimpin di Kabupaten memperhatikan anak. Karena anak adalah masa depan bangsa. Sayangnya belum terlihat kepedulian pimpinan di Karawang yang fokus pada anak… yang saya rasakan Bapak Bupati dan jajaran memprioritaskan penanggulangan banjir di sungai Citarum, perbaikan infrastruktur jalan ke semua kecamatan dan sedikit untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Belum terlihat ada perhatian kepada perempuan, gender, dan anak…”
181
Perdagangan anak baru menjadi isu baru yang sedang menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Karawang. Masih terjadi pemahaman yang berbeda-beda terhadap isu perlindungan dan penghapusan perdagangan anak. Sehingga diperlukan seorang pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi terhadap anak. Walaupun unsur pembangunan dan penghormatan kepada Kualitas Hidup Manusia dijadikan Visi dan Misi yang kelima bukan menjadi Misi pertama maka jelas menunjukkan kepada kita bahwa prioritas pembangunan Kabupaten Karawang adalah membangun perekonomian yang kuat dan hasilnya ditujukan untuk kemaslahatan umat.bukan membangun kualitas sumber daya manusia terlebih dahulu tapi justru membangun perekonomian terlebih dahulu sehingga dianggap bahwa pembangunan yang berorientasi kepada ekonomi harus diprioritaskan. Dengan demikian secara organisasi Pemerintah daerah Kabupaten Karawang telah memperhatikan persoalan hak-hak anak termasuk hak untuk melindungi anak, terlihat dari visi Pemerintah Kabupaten Karawang, yakni “Kabupaten Karawang maju, sejahtera dan tangguh ditunjang dengan pembangunan perekonomian yang berkeseimbangan dan berwawasan lingkungan berlandaskan iman dan taqwa. “ Arah kebijakan ini diterjemahkan ke misi Pemerintah Kabupaten Karawang, yakni: 1) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah 2) Memberdayakan potensi lembaga keuangan untuk mendorong peningkatan ekonomi kerakyatan, perdagangan, jasa dan koperasi
182
3) Meningkatkan
produktivitas
sektor
pertanian,
agroindustri,
industri
manufaktur serta mengembangkan industri kepariwisataan yang berorientasi eksport dan berbasis sumber daya lokal 4) Melindungi masyarakat dari timbulnya dan dampak bahaya penyakit sosial 5) Meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan serta kualitas SDM yang dilandasi nilai-nilai agama dan budaya luhur daerah 6) Memberdayakan masyarakat dengan membuka peluang kerja melalui pemanfaatan teknologi tepat guna 7) Memantapkan stabilitas politik, sosial keamanan, hukum dan dalam kerukunan hidup beragama 8) Mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab melalui pelayanan prima dan kepemerintahan yang baik (Good Governance) 9) Mengembangkan kemampuan keuangan pemerintahan daerah 10) Mewujudkan keseimbangan dan keserasian tata ruang wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Dari sisi manajerial baik perencanaan, pelaksanaan dan penilaian masih belum dilaksanakan, demikian pula bila ditinjau dari sisi sumber daya, biaya, dan prosedur manajemen terhadap perlindungan anak dan penghapusan perdagangan anak belum berjalan. Sehingga jelaslah bahwa isu perdagangan anak ini belum terespon dengan adanya mata anggaran khusus. Menurut informan (Bp Arifin, 49 tahun) bahwa “Sampai saat ini pemerintah kabupaten belum mempunyai program
183
perlindungan secara khusus, yang ada baru program beasiswa, kesehatan gratis bagi anak dan keluarga miskin, serta bantuan korban TKW yang bermasalah berupa biaya perjalan dari Jakarta ke Karawang.” Pemerintah Kabupaten Karawang belum mempunyai lembaga khusus untuk menangani permasalahan perdagangan anak, namun sudah dua tahun terakhir (2005-sekarang), menurut Informan (Bp. Harun, 53 tahun) bahwa “Pada kepemimpinan Bupati Ahmad Dadang tahun 2005 telah menetapkan BPMS sebagai penjuru dalam penghapusan perdagangan anak.” Karena pergantian Bupati baru – Dadang Muchtar tindak lanjut implementasi kebijakan perdagangan anak belum dilaksanakan kembali, karena ada pergantian jabatan. Namun demikian pada tahun 2007, kami menganggarkan kegiatan yang dikelolah oleh BPMS untuk mempersiapkan Tim Kerja, draf Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan, dan draf Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan. Sedangkan dalam penyebaran informasi tentang bahaya perdagangan anak, BPMS bersama Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mengembangkan Radio Komunitas di Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta. Intinya, dengan adanya Radio Komunitas, masyarakat memperoleh informasi mengenai akibat dan dampak perdagangan anak.
4.4.1.4. Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Motivasi
184
Di Kabupaten Karawang, sosialisasi tentang perdagangan anak sudah dilaksanakan beberapa kali dari hasil temuan lapangan dan menurut Informan (Marzuki, 40 tahun) bahwa “Pelaksanaan sosialisasai bahaya, akibat, dan dampak perdagangan anak di Kabupaten Karawang sejak Novermber 2004.” Program sosialisasi ini terkemas dalam beberapa kegiatan. Pertemuan regular dengan Task Force Anti Perdagangan Anak Kabupaten Karawang untuk mendiskusikan isu-isu perdagangan. Pada pertemuan tersebut dihadiri oleh peserta berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, BPMS, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, UNSIKA, dan organisasi masyarakat. Untuk menemukenali permasalahan perdagangan anak di Kabupaten Karawang, dari sumber informan (Bp. Marzuki, 40 tahun) menyatakan bahwa Pemda Karawang bekerjasma dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dengan dukungan International Labor Organization (ILO) Jakarta telah melakukan Lokakarya Pemangku Kepentingan pada tanggal 19 April 2005. Dalam pertemuan terseb hadir wakil-wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, BPMS, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Biro Kesejahteraan Sosial – Setda Kabupaten Karawang, UNSIKA, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Pertemuan tersebut mendiskusikan permasalahan, kebijakan, dan program penghapusan perdagangan anak. Untuk memperkuat dukungan para pemangku kepentingan terhadap pernghapusan perdagangan
anak,
pada
pertemuan
tersebut
merekomendasikan
untuk
mempengaruhi kebijakan publik untuk Peraturan Daerah tentang Pekerja Migran
185
yang termasuk di dalamnya tentang Perdagangan Anak untuk Pekerja Rumah Tangga. Untuk penyebarluasan informasi tentang perdagangan anak di pedesaan, menurut informan (Ibu Andri, 40 tahun), bahwa “Pemda Karawang bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia antara lain dengan BAPEDA, Pemerintah Kecamatan Rawamerta, dan Pemerintah Desa Panyingkiran mendirikan Radio Komunitas. Melalui Radio Komunitas ini program pendidikan, kesehatan lingkungan, dan program lainnya yang mengarahkan orang tua untuk tidak mempekerjakan anak menjadi Pekerja Rumah Tangga.” Intinya pada sosialisasi penghapusan perdagangan anak, pemerintah dan masyarakat mengetahui Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Secara teoritis dalam setiap implementasi kebijakan faktor kejelasan materi, kesesuaian materi kebijakan perlu disosialisasikan kepada seluruh jejaring kelembagaan yang terkait . menurut Edwar III ada empat unsur yang perlu diperhatikan antara lain ;Komunikasi, Struktur birokrasi , Disposisi dan lingkungan. Karena itu dalam menyamakan persepsi materi kebijakan faktor-faktor tersebut harus kita perhatikan.
4.4.2. Proses 4.4.2.1. Informasi
186
Dari temuan lapangan tentang kejelasan informasi mengenai materi, tujuan, sasaran dari kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak ternyata banyak yang menyatakan sampai saat ini belum mengetahui secara mendalam tentang informasi tersebut. Walaupun beberapa informan menyatakan sudah mengikuti sosialisasi, namun informasi tersebut kurang jelas, dan bukan menjadi kewenangan dan tidak ada keterkaitan dengan uraian tugas, struktur organisasi, dan program dari informan. Karena umumnya mereka beranggapan bahwa persoalan perdagangan anak bukan masalah mendesak dan strategis, hanya sebagai akibat dan korban dari ketidak-telitian dan ketidaktahuan dari calon-calon tenaga kerja. Jika mereka teliti dan tidak ikut bujuk-rayu para calo dan sponsor, maka mereka tidak menjadi korban perdagangan anak. Uraian ini seperti disampaikan oleh Informan (Bp. Hery, 50 tahun) “… saya ikut dua kali rapat tentang Perdagangan Anak di Kantor Bupati dan Bapeda, saya kurang mengerti, kenapa anak-anak yang menjadi PRT dan TKW dikatakan masuk perdagangan anak. Padahal mereka itu pergi tanpa paksaan, diantar oleh orang tua dan menjadi tumpuan keluarga, karena menghasilkan uang…” Hal senada juga disampaikan oleh informan lain (Ibu Euis, 34 tahun) “Banyak sekali perempuan berumur 15 tahun sampai 18 tahun yang meminta ijin ke kantor kami untuk bekerja ke luar negeri, ada yang ke Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan banyak pula menjadi PRT di Jakarta… Walaupun sering dengar bahwa mereka bermasalah di luar negeri, mereka tidak pernah menghubungi kami, dan mereka kembali ke rumah masing-masing tanpa melapor apa yang terjadi dengan mereka. Sehingga jarang sekali kasus perdagangan anak kami ketahui.”
187
Dari temuan lapangan terungkap pula bahwa mereka tidak mengetahui dan tidak paham tentang definisi perdagangan anak, mereka menganggap hal tersebut sebagai persoalan biasa, dan hanya korban pengiriman TKW. Di Karawang, tidak ada korban perdagangan anak, yang ada hanya calon TKW yang tertipu oleh calo dan sponsor. Hal ini seperti diutarakan oleh Informan (Ibu Euis, 34 tahun dan Bp Hary, 50). Menurut Ibu Euis perdagangan anak tidak ada di Karawang; yang ada itu TKW ke Arab, Malaysia, dan Singapura. Hal serupa disampaikan oleh Bapak Hery: “… TKW yang pulang dan jadi korban oleh calo, karena sial saja; buktinya ada warga kami yang jadi korban pergi lagi bersama tetangganya ke Malaysia.”
Lebih
lanjut
tentang kejelasan
materi
kebijakan
nasional
yang
mengintruksikan untuk menyusun rencana aksi, membentuk tim kerja, menyediakan anggaran, dan melakukan kegiatan pencegahan, perlindungan, pemulangan, dan reintegrasi, serta penuntutan sama sekali tidak diketahui oleh para informan. Dari temuan lapangan yang berkait dengan sumber materi awal adalah adanya proses sosialisasi tentang kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak pada tanggal 1 Juni 2005 dan umumnya mereka tidak ingat lagi apa yang seharusnya mereka lakukan. Namun demikian tentang kesesuaian situasi dan kondisi daerah umumnya para informan setuju bahwa pemerintah daerah harus segera menyusun rencana aksi, khususny untuk membantu pemulangan korban perdagangan anak.
188
Sedangkan fasilitas dan advokasi kebijakan yang dilakukan para informan mengharapkan bantuan dari sponsor, karena belum adanya mata anggaran di APBD mengenai program penghapusan perdagangan anak. Uraian ini seperti disampaikan informan (Bp. Farid, 50 tahun). “Seharusnya pemerintah Karawang melakukan program utama, pertama menyusun rencana aksi daerah dalam bentuk sebuah Peraturan Daerah, menyediakan anggaran pada ABPD-nya, membentuk organisasi yang menangani penghapusan perdagangan anak – apakah berbentuk gugus tugas, satuan tugas, kelompok kerja, panitia tetap, atau suatu badan koordinasi yang bersifat operasional meliputi seluruh unsur terkait. Pada kenyataan belum ada kegiatankegiatan yang seharusnya diselenggarakan, walaupun demikian ada penjelasan dari Bupati dan staf ahli bupati serta kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Kepala Bapeda bahwa masalah tersebut pernah disosialisasikan pada tahun 2005 ketika bupati Ahmad Dadang. Saat itu dibentuk kelompok kerja untuk menyusun perda. Sudah rapat beberapa kali, ada daerah uji coba di Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta. Desa ini dipilih, karena banyaknya perempuan dibawah 15 tahun hampir 60 persen menjadi pembantu rumah tangga atau bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja wanita.”
4.4.2.2. Komunikasi Dari temuan lapangan bahwa dengan adanya sosialisasi tentang kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak sudah mulai ada ditindak lanjut dengan mengadakan pertemuan untuk membahas masalah perdagangan anak, namun upaya ini terhenti sama sekali dengan adanya pergantian bupati dan pimpinan dinas instansi. Menurut Bapak Henky (45 tahun) dan Ibu Meila (40 tahun) hal ini sangat berdampak pada pada tertundanya penyusunan naskah akademis dan rancangan peraturan daerah tentang penghapusan perdagangan anak dan penetapan keputusan Bupati tentang tim kerja penghapusan perdagangan anak.
189
Selain itu belum tersusunnya mata anggaran khusus, belum tersusunnya rencana aksi daerah tentang penghapusan perdagangan anak, dan belum tersusunnya secara sistematis proses manajemen, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kebijakan dan program penghapusan perdagangan anak. Uraian ini seperti disampaikan oleh informan (Bp Henky, 45 tahun): “…adanya pergantian Bupati Ahmad Dadang ke Bupati Dadang Muchtar, berakibat terhentinya sosialisasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak kepada masyarakat. Selain itu rencana kerja yang disusun bersama YKAI dan Jarak untuk mempercepat penyusunan Perda Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak terhenti total. Memang banyak faktor yang menyebabkan terhentinya, namun yang dominan menurut saya adalah belum adanya acuan langsung Perda tersebut. Akibat dari hal ini, Karawang belum dapat melangkah lebih jauh, untuk menangani isu perdagangan anak.” Hal ini berbeda dengan pernyataan Bapak Henky, menurut Ibu Meila (40 tahun): “sebetulnya terhentinya pembahasan masalah perdagangan anak di Kabupaten Karawang, karena belum adanya mata anggaran yang dapat mendanai kegiatan. Belum adanya Rencana Aksi Daerah dan Tim Kerja.”
4.4.2.3. Dampak Yang Terjadi Dari temuan lapangan, terungakap bahwa kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak belum dilaksanakan dengan baik dan belum memiliki dampak terhadap persepsi, motovasi, dan kepedulian terhadap para pihak yang terkait khususnya unsur pemerintah daerah, agar mampu dan paham terhadap materi, tujuan, dan arah dari kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak agar terjadi peningkatan dari peran pemerintah daerah sebagai penyusun kebijakan
190
publik, pemberdayaan masyarakat, dan meningkatnya fungsi pelayanan publik. Selain itu dengan kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak akan terjadi dampak terhadap meningkatnya perlindungan korban, meningkatnya kegiatan pencegahan, meningkatnya penanganan kasus, dan meningkatnya pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya akan terjadi pada penurunan jumlah korban, dan tercapaianya perlindungan anak terhadap terjadinya perdagangan anak. Menurut informan (Bp. Henky, 45 tahun): “…karena kurangnya sosialisasi isu perdagangan anak dan kelengkapannya, menjadikan isu perdagangan anak belum terlalu mendapat perhatian, apalagi untuk bertindak dan mengajak orang lain untuk menentang perdagangan anak…supaya Pemda dapat peduli…”
4.4.2.4. Harapan Pemerintah Daerah Dari temuan lapangan diperoleh informasi bahwa kasus perdagangan anak telah terjadi di Kabupaten Karawang, namun adanya perbedaan persepi dan perbedaan pemahaman tentang pengertian perdagangan anak berakibat pada berkurangnya motivasi dan kepedulian Pemerintah Kabupaten Karawang untuk mengoperasionalkan penghapusan perdagangan anak. Dan terjadinya pergantian kepemimpinan baik bupati dan jajaran dinas/badan terkait berakibat menurunnya pemahaman dan berkurangnya kegiatan tentang penghapusan perdagangan anak. Namun demikian, sebagian informan mengharapkan Bupati Karawang segera mengeluarkan instruksi, supaya proses sosialisasi, dan tindak lajut dari kebijakan tersebut segera dapat dioperasionalkan.
191
4.4.3. Keluaran Dari temuan lapangan di sisi keluaran bahwa terjadi rendahnya persepsi Pemerintah Kabupaten Karawang terhadap kebijakan nasional Penghapusan perdagangan anak karena: 1) Sosialisasi yang kurang; 2) Materi sosialisasi yang kurang jelas dan belum operasional; 3) Adanya pergantian kepemimpinan bupati dan dinas/badan di jajaran Pemerintahan Kabupaten Karawang; 4) Belum adanya undang-undang penghapusan perdagangan anak, belum adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Penghapusan Perdagangan Anak; 5) Adanya pemahaman dan persepsi yang berbeda mengenai pengertian, tujuan, dan sasaran kebijakan nasional Penghapusan perdagangan anak; Dari temuan ini terungkap bahwa belum terlaksananya kebijakan nasional, belum tersusunnya rencana aksi daerah, belum terbentuknya kelembagaan resmi, dan belum adanya peraturan daerah, program, dan anggaran tentang penghapusan perdagangan anak, sehingga percepatan proses operasionalisasi penghapusan perdagangan anak belum terlaksana, persepsi, motivasi, dan kepedulian Pemerintah Kabupaten Karawang belum terarah dalam penghapusan perdagangan anak. Sehingga jejaring kelembagaan, dukungan masyarakat dan rencana aksi daerah tidak akan berjalan dengan baik, hal ini berakibat pada visi dan misi, tujuan dan sasaran tidak tercapai yaitu: Kabupaten Karawang menjadi kabupaten yang terbebas dari perdagangan anak. Sehingga anak-anak Karawang menjadi
192
anak yang sehat, cerdas, berahlak mulia, dan tidak kawin muda, berubah pandangan keluarga, masyarakat, dan pemerintah terhadap posisi anak sebagai aset keluarga dan penghasil devisa daerah dari pekerjaan di luar wilayah Karawang. Pemerintah berharap Kabupaten Karawang bebas pekerja anak dan tidak ada lagi anak yang bekerja, baik di dalam maupun di luar Kabupaten Karawang. Dengan demikian, maka jumlah tenaga kerja wanita ke luar negeri akan berkurang dan anak tidak lagi dijadikan tumpuan keluarga sebagai sumber pendapat keluarga, karena itu perlu segera dibuatkan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak dengan fokus utama mengembalikan anak ke sekolah, menunda perkawinan, dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, dengan memberdayakan kemampuan masyarakat, seperti melatih garmen, elektronik, dan keterampilan lainnya. Pemerintah hendaknya mampu menyediakan pendidikan dan pelatihan yang murah dan berkualitas bagi anak-anak, sehingga anak-anak akan bersekolah selama 9 atau 12 tahun dan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup, sehingga anak-anak akan mempunyai keterampilan dan kemampuan sebagai modal bagi pekerjaan yang mampu menghasilkan pendapatan yang cukup dan memenuhi standar minimal untuk hidup layak, tidak perlu mencari pendapatan di luar Karawang sampai keluar negeri.
193
4.5. Peranan Pemerintah Daerah dalam Penghapusan Perdagangan Anak 4.5.1. Kegiatan Yang Dilakukan Dari hasil temuan lapangan ternyata Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak telah diimplementasikan oleh pemerintah Kabupaten Karawang dengan melakukan serangkaian kegiatan yang sistematis antara lain: 1) Sosialisasi tentang perdagangan anak dan kebijakan penghapusan perdagangan anak. Pemerintah Kabupaten Karawang bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan JARAK melakukan serangkaian kegiatan dalam mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Penghapusan Perdagangan Anak. Sosilisasi ini dikemas dalam kegiatan antara lain: Pertama, konsultasi publik tentang strategi penghapusan perdagangan anak. Konsultasi ini dilakukan di Kantor Bupati Karawang, pada tanggal 1 Juni 2005. Konsultasi ini menghadirkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono, Direktur ILO Jakarta, dan Bupati Karawang Ahmad Dadang. Konsultasi ini dihadiri oleh para wakil dari sektor pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi non pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perguruan tinggi. Kedua, dialog publik tentang upaya penghapusan perdagangan anak. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Bupati Karawang pada tanggal 1 Juni 2005. Kegiatan
194
ini menampilkan wakil dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan JARAK sebagai narasumber. Dialog ini dihadiri oleh para wakil dari sektor pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi non pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perguruan tinggi. Kegiatan ini merekomendasikan bahwa “Pemerintah Kabupaten Karawang dengan segera menyusun Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak” dan Pembentukan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak. 2) Pembentukan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak. Untuk mempercepat tersusunnya Peraturan Daerah dan program penghapusan perdagangan anak, Pemerintah Kabupaten Karawang menyusun Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak. Tim ini melibatkan wakil dari Kantor Sekretaris Daerah, khususnya Biro Kesejahteraan Sosial dan Biro Hukum, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BAPEDA, BPMS, Kantor Imigrasi Wilayah IV Jawa Barat, dan wakil perguruan tinggi. Tim ini pasca pembentukannya telah melakukan berbagai kegiatan antara lain menyiapkan naskah akademik dan draf Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak. Karena terjadinya pergantian Bupati pada bulan Desember 2005, Tim ini belum dapat bekerja secara optimal, selain belum ditetapkan oleh Surat Keputusan Bupati, adanya perubahan personal di setiap dinas dan lembaga pemerintahan sejak dipimpin oleh Bupati terpilih yang
195
baru yang dilantik pada tanggal 16 Desember 2005. Sehingga tindak lanjut dari penghapusan perdagangan anak banyak mengalami hambatan. 3) Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak: Penyusunan Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak baru tersusun naskah akademisnya, sedangkan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak belum disususn dan belum ditindaklanjuti menjadi rancangan Peraturan Daerah sebagai bahan pengajuan Pemerintah Daerah ke DPRD Kabupaten Karawang. Karena itu kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak belum ditindaklanjuti sebagai Peraturan Daerah. Perda ini sangat dibutuhkan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
kegiatan
operasionalisasi
kebijakan
nasional
penghapusan
perdagangan anak. Pemerintah Kabupaten Karawang dengan dukungan International Labor Organization (ILO) Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan JARAK bersama Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak menyusun naskah akademik dan draf Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 29 – 30 Juli 2005. Draf yang dihasilkan selanjutnya telah mengalami masukan dari dinas, badan, dan lembaga masyarakat. Untuk mensosialisasikan draf tersebut ke publik, Tim Kerja telah menyusun rencana kegiatan. Akan tetapi sampai penelitian dilakukan, sosialisasi terhadap draf tersebut belum berhasil dilaksanakan, selain karena adanya pergantian bupati dan pimpinan dinas dan badan, juga karena dukungan dana dari ILO telah melampaui waktu.
196
Meskipun demikian, sejak adanya Bupati dan Ketua BPMS yang baru, draf tersebut akan dibahas oleh Tim Kerja dan akan diteruskan ke DPRD Kabupaten Karawang. Selain itu, Biro Hukum Sekretaris Daerah Kabupaten Karawang, BPMS, dan BAPEDA telah mengkonsultasikan draf Peraturan Daerah tersebut ke Biro Hukum Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat. 4) Pendirian Radio Komunitas yang menyiarkan topik pencegahan perdagangan anak. Untuk penyebaran informasi tentang akibat dan dampak perdagangan anak kepada masyarakat luas, Pemerintah Kabupaten Karawang dengan dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mendirikan Radio Komunitas. Radio ini ditempatkan di desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta. Awal pengoperasian Radio Komunitas oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan DR. Meutia Hatta Swasono pada tanggal 1 Juni 2005. Radio ini beroperasi setiap hari dari jam 07.00-24.00. Supaya penyebaran informasi tentang perdagangan anak ini sampai ke seluruh masyakat Kabupaten Karawang, BAPEDA telah mengajukan pada APBD tahun 2006-2007 untuk mendirikan 4 Radio Komunitas baru untuk 4 desa di 4 kecamatan. 5) Pendirian Sanggar Pencegahan Perdagangan Anak. Untuk mempercepat perdagangan anak di Kabupaten Karawang, melalui program pencegahan perdagangan anak, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dengan dukungan ILO Jakarta mendirikan Sanggar Asyifa di Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta.
197
6) Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak; dan 7) Pengiriman Anak Perempuan Karawang mengikuti pelatihan garmen di International Garmen Trainning Center (IGTC).
4.5.2.Hambatan Yang Dihadapi Perdagangan Anak
Dalam
Implementasi
Penghapusan
Hasil temuan lapangan yang berkaitan dengan hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dalam mengoperasionalkan kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak adalah: 1) Pembentukan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak tidak berjalan dengan baik, karena adanya pergantian personil yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang berbeda dan menunggu instruksi selanjutnya dari Bupati maupun Instruksi Gubernur Jawa Barat, karena belum adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Penghapusan Perdagangan Anak yang dijadikan dasar hukum; 2) Rencana Aksi Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak baru disusun oleh Tim Kecil yang diketuai Kepala BPMS dan masih memerlukan waktu dan pembahasan yang cukup lama; 3) Tidak
tersedianya anggaran khusus untuk penanganan penghapusan
perdagangan anak, yang ada hanya anggaran yang tidak memadai untuk membantu pemulangan TKW yang bermasalah dari Jakarta ke Karawang atau
198
dari Bandung ke Karawang. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan bahwa “Telah ada kesepakatan antara Badan Pemberdayaan Masyakarat Jawa Barat dengan BPMS Kabupaten Karawang, anggaran untuk pemulangan dari Provinsi lain atau dari luar negeri ke Ibu Kota Provinsi menjadi tanggung jawab APBD Provinsi Jawa Barat, sedangkan pemulangan dari Jakarta atau Bandung ke Karawang menjadi tanggung jawab APBD Kabupaten Karawang; 4) Prosedur kerja – walaupun beberapa informan mengaku telah mendapat pelatihan tentang prosedur kerja pemulangan korban perdagangan manusia dari daerah tujuan/transit ke daerah asal yang dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial, namun pada pelaksanaannya tidak tersedia anggaran dan tidak ada bahan, termasuk naskah prosedur kerja, sehingga sosialisasi maupun operasionalisasi menjadi tidak berjalan; 5) Program penanganan kasus terbatas hanya pada kasus yang dilaporkan oleh masyarakat kepada Polres Karawang, di Polres Karawang telah terbentuk RPK di unit Reserse Kriminal Umum yang ditangani bersama Kepala Bagian Operasi. Informasi yang diperoleh pelatihan RPK hanya dilakukan di tingkat Polda untuk dua angkatan, tidak ada anggaran khusus dan Kepala Unit RPK bukan jabatan struktural di Kepolisian, sehingga tidak menarik minat untuk berkarier;
199
6) Proses reintegrasi, reunifikasi, dan pemulangan korban belum terkoordinasi dengan baik; 7) Proses pencegahan di daerah sumber terbatas baru dilakukan di Desa Penyingkiran, Kecamatan Rawamerta sebagai daerah ujicoba. Walaupun model pemberdayaan masyarakat dan model pemberdayaan korban, serta mencegah anak-anak masuk dalam sindikat perdagangan anak telah disosialisasikan ke beberapa kecamatan yang diindikasikan menjadi sumber perdagangan anak mengalami hambatan. Oleh karena itu ketidak tersediaan anggaran, adanya pemahaman dan persepsi yang berbeda terhadap korban perdagangan anak, meluasya jaringan calo dan sponsor yang mengimingimingi anak-anak dan keluarga sulit diberantas, karena mereka berbaur dengan masyarakat luas dan dianggap sebagai dewa penolong keluarga dari himpitan ekonomi dan kemiskinan; 8) Belum adanya petunjuk dan arahan pimpinan kepada para pejabat terkait menyebabkan semua anggota tim kerja maupun pejabat yang terkait menunggu respon dan instruksi.
4.6. Kondisi E-V-R pada Implementasi Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak 4.6.1. Faktor Lingkungan (Environment) 4.6.1.1. Ideologi Dari temuan lapangan terungkap secara ideologi yang berkembang di Kabupaten Karawang bahwa Pancasila merupakan asas utama Pemerintah
200
Kabupaten Karawang. Sehingga ideologi bukan lagi menjadi masalah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Karawang, terutama, jika dihubungkan dengan program penghapusan perdagangan anak yang menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan kesejahteraan sosial rakyat Karawang.
4.6.1.2. Politik Salah satu penyebab yang memperlambat proses percepatan penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang, terutama terkait dengan percepatan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak, penyusunan Rencana Aksi Dareah tentang Penghapusan Perdagangan Anak, penetapan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak adalah terjadinya pergantian pucuk pimpinan di Kabupaten Karawang yaitu Bupati, Kepala Dinas, dan Kepala Badan. Karena berdasarkan temuan lapangan bahwa penyusunan rancangan perda, rencana aksi daerah, dan pembentukan tim kerja pada periode kepemimpinan Bupati Ahmad Dadang, yang kemudian digantikan oleh Bupati Dadang Muchtar pada tanggal 16 Desember 2005. Pada saat pasca pemilihan dan sebelum pelantikan Bupati, anggota Tim Kerja yang sebelumnya bersemangat untuk mempercepat lahirnya kebijakan daerah, menjadi kendur, dengan menerapkan prinsip menunggu dan melihat keputusan dari Bupati terpilih. Selain itu Tim Kerja khawatir, jika rancangan Peraturan Daerah, Rencana Aksi Daerah, dan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak tetap didorong untuk menjadi kebijakan dan program dari Bupati lama, akan tidak dilaksanakan oleh Bupati terpilih. Namun demikian,
201
kekhawatiran tersebut, pada akhirnya berdasarkan temuan lapangan dan penjelasan beberapa informan, bahwa program penghapusan perdagangan anak mendapat dukungan dari Bupati terpilih.
Menurut informan (Bp Hilmi, 58 tahun): ”...Bupati sangat mendukung upaya-upaya yang telah dirintis pada masa Bupati sebelumnya, terkait dengan ”Penghapusan Perdagangan Anak,” intinya Bupati mendukung sepenuhnya...”
Dari sisi lingkungan politik ternyata suksesi kepemimpinan bupati memegang peran utama dalam implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang yang memerlukan rencana tindak lebih lanjut agar berkesinambungan dan peran kepemimpinan bupati mampu mempercepat implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak.
4.6.1.3. Sosial Budaya Dari temuan lapangan ditemukan bahwa mengirimkan anak perempuan keluar negeri menjadi tenaga kerja dan pekerja rumah tangga di luar Karawang menjadi salah satu solusi dalam menekan angka kemiskinan. Selain itu, dari mereka yang berhasil di luar negeri mengirimkan uang untuk membantu keberlangsungan kehidupan keluarga, mendirikan rumah, dan membantu membiayai pembangunan mesjid dan jalan desa. Dan menurut beberapa informan menyatakan bahwa ”Anak perempuan adalah aset keluarga yang dapat membantu
202
orang tua dengan mengirimkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga dan membangun rumah. Dari sisi sosial budaya amat berhubungan dengan faktor perekonomian dimana transformasi struktural yang terjadi dari perekonomian berstruktur pertanian bergeser ke manufaktur telah menggeser struktur tenaga kerja dari petani menjadi buruh pabrik. Akibat persaingan yang tinggi dengan kaum pendatang maka masyarakat mulai tertekan dan menjadi miskin. Untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan cepat akibat arus budaya perkotaan yang masuk seiring transformasi struktural terjadi, masyarakat setempat memilih jalan untuk menjadi kaum migran (TKI). Namun biasanya kaum perempuan lebih diminati sebagai TKI dan menghasilkan uang yang banyak sehingga lahirlah fenomena luruh duit, dimana masyarakat mulai mengeksploitasi anak perempuan ataupun istri mereka untuk mendapatkan uang dengan cepat. Hal dasar dari kegiatan luruh duit ini adalah bagaimana memperoleh uang cepat dengan berbagai motif kebutuhan dengan menjual anak perempuannya atau istrinya. Karena dengan mengirim saja mereka ke luar negeri, penghasilan yang diperoleh dari bekerja sebagai pembantu atau buruh sudah tinggi apalagi bila anak mereka dijual sebagai PSK maka penghasilan yang diperoleh bisa mencapai 8 juta rupiah sebulannya.
4.6.1.4. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Berdasarkan temuan lapangan bahwa proses pengiriman anak-anak perempuan menjadi TKW keluar negeri dan pekerja rumah tangga ke Jakarta dan
203
kota tujuan lainnya, melibatkan calo-calo dan para sponsor yang beroperasi di desa-desa. Mereka ini telah banyak membantu dan menanamkan jasa budinya kepada orang tua yang mempekerjakan anak perempuan menjadi TKW ke luar negeri dan pekerja rumah tangga. Sehingga, dengan adanya pembatasan kegiatan mereka terkait dengan program penghapusan perdagangan anak dikhawatirkan akan berdampak terganggunya keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat. Namun menurut informan (Bp. Budi, 40 tahun): ”...sampai saat ini, adanya keributan yang diakibatkan oleh calo atau sponsor belum terdengar. Akan tetapi, bisa saja, jika usaha mereka terganggu, tidak tertutup kemungkinan mereka akan berulah, dan akan menimbulkan kegaduhan di kampung...”
4.6.1.5. Ekonomi Dari
sisi ekonomi
sebenarnya
sangat terkait dengan terjadinya
transformasi struktural dari perekonomian berstruktur pertanian bergeser ke manufaktur, akibat pergeseran ini maka struktur tenaga kerja berubah dari petani menjadi buruh pabrik. Menurut Mudrajad Kuncoro (2000) selama proses transformasi tidak berarti segalanya berjalan mulus. Suatu proses yang sedang terjadi tentunya akan membawa konsekuensi negatif yakni meningkatnya arus urbanisasi akibat sejalan dengan derajat industrialisasi. Menurutnya industrialisasi dan urbanisasi membawa beberapa hal justru menghambat proses pemerataan hasil pembangunan
204
di mana daerah industri akan mengalami peningkatan pendapatan dan daerah sektor pedesaan mengalami pertumbuhan yang lambat. Dengan persaingan dari kaum pendatang maka terjadi pemiskinan terhadap warga setempat. Hal ini yang membuat mereka tertarik menjadi pekerja migran. Menjadikan anak perempuan sebagai aset keluarga, maka berdasarkan temuan lapangan bahwa mengirimkan mereka menjadi TKW ke Timur Tengah, Malaysia, Brunei, Hongkong, dan negara tujuan lainnya, serta mempekerjakan di Jakarta atau kota lainnya sebagai pekerja rumah tangga merupakan salah satu solusi upaya dalam mengurangi pengangguran dan membantu perekonomian keluarga. Namun, hal ini terjadi, karena terjadinya perubahan pola sumber pendapatan keluarga yang berubah dari bertani menjadi tidak bertani, karena menyempitnya lahan pertanian yang menjadi lahan industri. Yang kemudian tidak diikuti oleh peningkatan sumber daya manusia untuk menjadi buruh pabrik. Mereka yang berpendidikan rendah dan tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar kota, akhirnya mereka mundur dan memilih menjadi TKW atau Pekerja Rumah Tangga yang tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus.
4.6.2. Faktor Nilai (Value) Ada beberapa alasan yang mendasar orang tua mengirimkan anak perempuannya untuk bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di luar negeri. 1) Kemiskinan
205
Kemiskinan merupakan salah satu alasan orang tua mengirimkan anakanaknya untuk bekerja di kota. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) merekrut anak-anak desa untuk bekerja di kota. Keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa miskin yang penduduknya tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Para agen berusaha mempengaruhi keluarga untuk mengirimkan anak-anak ke kota bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak. Biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain di tanggung oleh agen. Orang tua PRTA biasanya senang mengirimkan anak-anaknya dan mereka percaya anaknya akan mendapat pekerjaan dan majikan yang baik. Sehingga orang tua berharap, anaknya dapat mengirimkan uang ke kampung. 2) Diskriminasi gender Masyarakat masih menempatkan laki-laki lebih tinggi statusnya dibandingkan perempuan. Anak perempuan dan perempuan mengalami pemiskinan, pekerjaan rumah tangga dibebankannya, suaranya diabaikan, dan hak untuk dilindungi dari kekerasan terlanggar. Di samping itu adanya pembatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan. Beberapa kasus anak perempuan dinikahkan secara dini. Kondisi ini membuka pintu lebar (memposisikan) anak perempuan untuk dieksploitasi untuk pekerja rumah tangga atau seksual komersial (ke dalam keadaan yang sulit dan rentan terhadap eksploitasi). 3) Globalisasi
206
Era informasi dan rezim ekonomi global telah memberi berbagai kemudahan akses dan masuknya produk asing ke dalam negeri, dan alih tehnologi juga memberikan kemudahan mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, termasuk perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan. Hal yang tidak diperkirakan sebelumnya bahwa deregulasi yang dipersyaratkan dalam globalisasi tidak dapat diadaptasikan suatu negara berdampak negatif pada masyarakat, seperti pengangguran, kehilangan gaji, dan meningkatnya biaya sosial yang membuat keluarga miskin. Munculnya persaingan kerja dan lemahnya
harga
komoditi
yang
diproduksi
di
daerah
berkembang
menumbuhkan permintaan tenaga murah dan buruh anak. 4) Lemah sistem hukum dan penegakan hukum Selain belum adanya undang-undang yang memberikan jaminan dan perlindungan hukum, lemahnya hukum dan kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran mempekerjakan anak, menjadikan anak sebagai target para agen, penyalur, dan majikan untuk direkrut sebagai pekerja, khusus pekerja rumah tangga anak. 5) Kurang berfungsinya keluarga Ketika keluarga tidak berfungsi lagi sebagai pengasuh, perawat anak-anaknya karena berbagai sebab, seperti kemiskinan, tidak harmonis, atau perceraian, akan berakibat pada terganggunya kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dan tidak sedikit bermuara pada tindakan-tindakan yang berbahaya, termasuk terpaksa melakukan pekerjaan yang membahayakan.
207
Faktor lain yang juga perlu dilihat ikut mempengarui adanya PRTA adalah adanya penawaran dan permintaan. ILO-IPEC mengambarkan sisi penawaran dan permintaan pada PRTA sebagai berikut: Tabel. 4.4. Permintaan dan Penawaran PRTA Penawaran (Orang tua)
Permintaan (Majikan)
Amat membutuhkan uang
Upah rendah
Pekerjaan yang diberikan tampaknya Lebih patuh dan mudah di”didik” untuk ringan dan tidak terlalu sulit menerima aturan-aturan yang diberikan dibandingkan bila bekerja di bangunan atau pertanian Ada jaminan untuk memperoleh Majikan tempat si anak bekerja pendapatan secara teratur Orang tua memandang pekerjaan Suatu cara untuk membantu keluarga sebagai pekerja rumah tangga sebagai miskin dan terlihat murah hati peluang bagi anak perempuan untuk mendapatkan ketrampilan dan peluang yang lebih baik Akses untuk mendapatkan lebih banyak Pekerja rumah tangga anak melakukan peluang pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dilakukan oleh orang dewasa Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi Sumber: ILO, 2001 Selain alasan mendasar di atas para orang tua kurang mengetahui apakah anak-anak mereka yang bekerja di luar negeri itu menjadi korban perdagangan. Karena, orang tua sudah menaruh kepercayaan kepada agen atau calo yang merekrut anak mereka. Sehingga mereka tidak perlu untuk mencari informasi
208
yang jelas tentang jenis pekerjaan anak mereka. Yang terpenting adalah setelah anak bekerja sekian bulan, berapa kiriman yang akan mereka terima. Orang tua kurang menyadari apakah agen dan perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut mempunyai kredibilitas atau dapat dipercaya. Sehingga mereka, baru menyadari jika anak mereka kembali telah menjadi korban. Anak perempuan dalam keluarga dipandang sebagai aset keluarga. Sehingga sudah sewajarnya anak perempuan bekerja ke luar negeri untuk membantu dan sekaligus menghidupi keluarga. Oleh karenanya, jika anak perempuan yang bekerja di luar negeri dan mengirimkan uang ke orang tua dipandang sebagai anak yang tahu diri dan berbakti kepada orang tua. Untuk meluruskan pandangan ini Pemerintah Karawang mulai menyadari bahwa pentingnya sosialisasi bahaya perdagangan anak kepada orang tua. Sehingga orang tua menyadari bahwa apa yang telah mereka lakukan terhadap anak mereka merupakan sesuatu hal yang perlu dikoreksi, terutama untuk tidak mengeksploitasi anak.
4.6.3. Faktor Sumberdaya (Resource) 4.6.3.1. Sumberdaya Manusia Dari temuan lapangan menunjukan bahwa kualitas sumber daya manusia Kabupaten Karawang sangat tidak mendukung untuk mempercepat proses penghapusan perdagangan anak. Hal ini, selain dikarenakan belum siapnya aparat pemerintah daerah dalam program penghapusan perdagangan anak – pencegahan, perlindungan, pemulihan, pemulangan, dan reintegrasi. Adalah rendahnya kualitas
209
sumber daya manusianya yang diukur melalui angka partisipasi sekolah yang menunjukkan gejala tidak melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi setampat SD -
Desa P, Kecamatan R, Merupakan salah satu desa sumber perdagangan anak untuk tujuan Pekerja Rumah Tangga ke Arab, Malaysia, dan Jakarta. Dari desa ini melalui para calo-calo mengirimkan rata-rata 300 TKI /TKW pertahun. Dari angka ini sekitar 40% adalah anak usia antara 15-18 tahun. Anak-anak ini sebagian besar berpendidikan SD, dan sebagian lainnya putus sekolah. Orang tua mereka sangat mendukung anak-anak-nya bekerja keluar daerah atau luar negeri, karena untuk membantu membiayai kebutuhan keluarga. Setiap bulan orang tua dikirim uang antara Rp 1-8 juta. Bagi orang tua yang menjadi TKW, pengasuhan anak-anaknya diserahkan kepada nenek atau mertua, sehingga yang terjadi anak-anak mereka terlantar baik dari segi perawatan maupun pengasuhan. Berdasarkan temuan lapangan rata-rata anak ini tidak mengikuti Pendidikan Usia Dini; temuan lain anak usia kelas IV lemah kemampuan membaca dan menghitung, sehingga angka gagal naik kelas tinggi. Sumber: YKAI, 2006. dan wawancara 8 Mei 2006
partisipasi sekolah SMP angka 47-50%; partisipasi sekolah SLTA angka kisaran 23-
25%. Artinya, potensi anak untuk diperdagangkan ke luar negeri sanggat tinggi untuk menjadi TKW atau PRT.
4.6.3.2. Anggaran Adanya mata anggaran di APBD merupakan salah sarat mutlak bagi dinas atau badan untuk melaksanakan program peningkatan kesejahteraan rakyat, salah satunya program penghapusan perdagangan anak. Karena tidak ditetapkannya
210
program penghapusan perdagangan anka dalam mata anggaran dalam APBD Kabupaten Karawang, maka menurut informan (Bp. Dedy, 48 tahun): “Program Penghapusan Perdagangan Anak sangat sulit dilaksanakan, sehingga hal yang mendasar untuk mewujudkan program tersebut, perlu ada kesepakatan bersama antar dinas dan badan di Kabupaten Karawang untuk mengajukan program Penghapusan Perdagangan Anak, pendanaannya bersumber dari APBD, sehingga bisa didesak, dilaksanakan, dan dipantau... Karena saat ini belum ada mata anggarannya, maka sangat sulit untuk mewujudkannya. Untuk itu perlu ada political will dari Bupati...”
4.6.3.3. Dukungan Masyarakat dan Sarana Penunjang Penghapusan perdangan anak di Kabupaten Karawang telah mendapat perhatian beberapa pihak, terutama dari mereka yang pernah mendapatkan informasi tentang kasus pedagangan anak melalui tv, koran, dan sosialisasi kebijakan
penghapusan
perdagangan
anak.
Dari
beberapa
informan
mengungkapkan bahwa mereka sangat mendukung adanya program penghapusan perdagangan anak. Akan tetapi, mereka kurang yakin, akan upaya tersebut, jika tidak didukung oleh sarana dan prasarana pendukung. Menurut informan (Bp Dedy, 48 tahun): “...saat ini kami belum mempunyai tempat penampungan untuk korban-korban trafiking yang dikirimkan dari luar negeri, namun untuk penuntutan terhadap pelaku, di Polres Karawang tersedia Ruang Khusus Pemeriksaan (RPK), yang bersedia membantu melayani para korban trafiking. Dan untuk mensosialisasikan program penghapusan trafiking, kami dibantu oleh YKAI dari Jakarta yang telah mendirikan Radio Komunitas di Panyingkiran – Rawamerta. Radio ini sangat membantu orang tua untuk mengetahui pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya...”
4.6.3.4. Piranti Pendukung
211
Salah prasyarat dalam upaya penghapusan perdagangan anak, menurut temuan lapangan baik itu dari hasil wawancara dengan para informan dan diksusi kelompok terarah adalah adanya Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak, Rencana Aksi Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak, dan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak. Selain itu peraturan lain dan anggaran. Namun pada kenyataan pra-syarat tersebut tidak tersedia dan terdapat pada Pemerintah Kabupaten Karawang. Walaupun program penghapusan perdagangan anak telah mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak. Hal ini menurut informan (Bp. Dadang, 46 tahun): ”... Meskipun ada UU dan Keppres, kebijakan itu tidak akan berjalan, jika tidak jelas sumber pendanaan, belumnya ada Perda-nya. Jadi, jika terbebasnya Karawang sebagai daerah asal perdagangan anak, maka perlu adanya Perda khususnya dan anggarannya di ABPD Kabupaten Karawang...” Hal senada juga disampaikan oleh Informan lainnya (Bp. Dedy, 48 tahun): “…Pemerintah kami belum begitu serius dalam mencegah anakanak dipekerjakan ke luar daerah, buktinya di Karawang belum ada Peraturan Daerah dan Tim Kerja. Sehingga ada saja anak-anak yang menjadi korban perdagangan orang.
212
4.6.4. Keterkaitan antara Lingkungan, Nilai, dan Sumberdaya Teori
E-V-R
terkait
dengan
implementasi
Kebijakan
Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak dapat digambarkan sebagai berikut:
V
Succes Organizations
E
R Walaupun jumlah, kemampuan, dan pengalaman aparatur Pemda cukup kuat dan memadai, namun dari segi pemahaman terhadap KNPPA masih perlu ditingkatkan, anggaran, SDM khusus, lembaga khusus, birokrasi dan tata laksana belum tersedia
Kapasitas pimpinan dan kepemimpinan peduli anak dan tatakepemerintahan yang baik peranan pimpinan dan aparat pelaksanan dalam mengoperasionalisasikan Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak Unconsciously Competent Organization Unconsciously Competent Organization Perubahan lingkungan strategis sangat berperan terhadap operasionalisasi KNPPA, lingkungan yang eksploitatif dan tidak peduli anak, anak dijadikan sumber keuangan keluarga, kepedulian yang rendah terhadap korban menjadi ancaman bagi martabat anak dan operasionalisasi KNPPA tidak berjalan sebagaimana mestinya, peluang pasar yang menjanjikan, dan dorongan ekonomi yang mendesak akibat kemiskinan, pendidikan rendah, dan gaya hidup.
Gbr.4.7. Keterkaitan E-V-R
Dari gambar di atas ditarik suatu kesimpulan bahwa kondisi EVR di Kabupaten Karawang berada di kuadran kiri bawah, berarti baik lingkungan,
213
sumber daya maupun nilai merupakan kelemahan dan tantangan sehingga sangat tidak kondusif bagi implementasi kebijakan penghapusan perdagangan orang. Pada sisi lingkungan, terjadi kompleksitas antara ekonomi, sosial dan budaya yaitu akibat terjadinya proses transformasi struktural dari pertanian ke manufaktur yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di Karawang dimana sebelumnya bekerja di sektor pertanian bergeser menjadi pekerja migran. Hal ini menyebabkan bergesernya nilai-nilai budaya agamais yang patuh menjadi nilai-nilai budaya yang menghalalkan pekerjaan seperti menjadi PSK. Menurut Dananjaya (1986) pengaruh nilai-nilai terungkap pada cara dan perilaku seseorang atau sekelompok orang karena dipengaruhi oleh lingkungan. Nilai-nilai adalah produk dari suatu proses sosial psikologis dan merupakan hasil interaksi antara orang-orang dan atribut yang mempengaruhinya sehingga menimbulkan suatu fenomena. Dengan demikian akibat transformasi struktural di Karawang telah menimbulkan fenomena anak dijadikan aset dan komoditas untuk kepentingan keluarga, anak dieksploitasi untuk kepentingan keuangan keluarga dan anak tidak perlu berkualitas sehingga lingkungan Karawang sulit menerima perubahan nilainilai yang dianut kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak. Sementara itu dari segi sumber daya walaupun secara kuantitatif dan kualitatif pemerintah daerah kabupaten Karawang memiliki resources yang baik, terpelajar dan berpengalaman namun karena aparat belum siap dan memahami dengan baik ditambah dengan terjadinya suksesi kepemimpinan bupati menyebabkan implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak tidak
214
berjalan. Dari sisi proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat ketika pertama kali mensosialisasikan kebijakan nasional tersebut dilakukan pada akhir kepemimpinan bupati lama sehingga momentumnya menjadi tidak tepat dan ketika kepemimpinan bupati baru perlu dilakukan kembali proses pemahaman terhadap nilai-nilai dari penghapusan perdagangan anak yaitu korban harus dilindungi, pelaku harus dikriminalisasi, implementasi kebijakan harus melibatkan seluruh komponen dalam bentuk aliansi secara global. Titik
persoalan
bahwa
kondisi
EVR
implementasi
penghapusan
perdagangan anak di kabupaten Karawang merupakan kelemahan dan memiliki banyak tantangan, diperkuat oleh suksesi kepemimpinan dan pemahaman yang rendah terhadap nilai-nilai kebijakan penghapusan perdagangan orang. Oleh karena itu diperlukan kepemimpinan pemerintah daerah yang peduli pada anak, memiliki pemahaman yang sama dengan nilai-nilai penghapusan perdagangan orang dan mampu memadukan lingkungan, sumberdaya dan nilainilai yang diikat oleh suatu kepemimpinan yang peduli pada penghapusan perdagangan anak. Kalau saja kepemimpinan tersebut dapat dimiliki oleh kepemimpinan pemerintah Kabupaten Karawang, maka kondisi EVR tersebut dapat digeser ke kuadran kanan atas. Implementasi Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak di Kabupaten / Kota belum berjalan sebagai mana mestinya karena Peran Pemerintah daerah Kabupaten / kota yang lemah, perdagangan anak belum dijadikan isu strategis dan tidak menjadi masalah prioritas, masih terjadinya perbedaan interpretasi dan persepsi terhadap isu perdagangan anak, Pemerintah daerah
215
maupun masyarakat menganggap bahwa perdagangan anak adalah hal biasa yang terjadi sehari-hari dan sudah puluhan tahun dan hal ini terkait pengiriman Tenaga Kerja, para TKW termasuk korban perdagangan anak dianggap sebagai pahlawan keluarga, sehingga perdagangan anak tidak dianggap sebagai masalah serius. Yang apabila dibiarkan akan dapat mendorong meningkatnya korban perdagangan anak. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
implementasi
Kebijakan
Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak dapat dipengaruhi oleh: faktor lingkungan strategis, faktor sumberdaya yang diperlukan dan faktor nilai yang mendasari Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak sehingga diperlukan peran pemerintah daerah sebagai pelindung rakyat yang mampu menterpadukan ketiga faktor EVR (lingkungan, nilai dan sumber daya). Keterkaitan ketiga faktor EVR di Kabupaten Karawang dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak dapat dilihat sebagai berikut: 1)
Kondisi lingkungan strategis (environment) dalam mengimplementasikan kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak kurang mendukung di Kabupaten Karawang secara politis dapat disimpulkan bahwa proses penyusunan berbagai program serta peraturan daerah yang menyangkut perdagangan anak terhambat oleh suksesi kepemimpinan bupati Desember tahun 2005. Kondisi lingkungan pun tidak mendukung dari segi sosial budaya, telah terjadi pergeseran kultur sehingga banyak masyarakat setempat menjadikan anak perempuan sebagai aset dan komoditas untuk meningkatkan
pendapatan
keluarga.
Transformasi
struktural
telah
216
menyebabkan pergeseran pandangan masyarakat dan keluarga terhadap posisi Anak yaitu: Anak adalah sumber keuangan keluarga (aset dan properti). ; Banyak Keluarga lebih mengharapkan anak perempuan dibanding laki-laki ; Keluarga melarang anak perempuan melanjutkan sekolah (terjadinya diskriminasi gender), ; Pengaruh globalisasi, lemahnya hukum dan tidak kuatnya peran keluarga mendorong budaya yang eksploitatif terhadap anak.Hal ini didukung pula oleh lingkungan ekonomi masyarakat yang mulai bergeser sumber pendapatannya akibat terjadinya transformasi struktural berupa menurunnya lahan pertanian dan rendahnya daya saing sumber daya manusia dibandingkan pendatang sehingga perdagangan anak menjadi jalan keluar untuk peningkatan pendapatan. 2)
Untuk
melihat
faktor
nilai-nilai
(value)
yang
dipegang
dalam
mengimplementasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak perlu diperhatikan
adanya
pergeseran
pandangan
di
masyarakat
dalam
perdagangan anak akibat kemiskinan, diskriminasi gender, globalisasi, lemahnya hukum dan tidak kuatnya peran keluarga. Namun hal ini disadari oleh pemerintah daerah Kabupaten Karawang dengan mengupayakan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak untuk mensosialisasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak. Dengan demikian Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak telah menjadi nilai yang dianut oleh pemerintahan
daerah
Kabupaten
pengimplementasian kebijakan ini.
Karawang
dalam
proses
217
3)
Sumber daya (resources) yang ada dalam mengimplementasikan kebijakan penghapusan
perdagangan
anak
sangat
tidak
mendukung
proses
implementasi Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak. Dari sisi sumber daya manusia di kabupaten Karawang, tampak di lapangan bahwa aparat belum siap dalam program penghapusan perdagangan anak – pencegahan, perlindungan, pemulihan, pemulangan, dan reintegrasi. Begitu pula dari sisi anggaran belum ada anggaran khusus untuk program penghapusan perdagangan anak. Begitu pula dukungan masyarakat dan sarana penunjang yang amat rendah ditambah pula dengan tidak kunjung selesainya piranti pendukung berupa peraturan daerah yang khusus meregulasikan penghapusan perdagangan anak. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengikat lingkungan setempat dan sumber dayanya dengan nilai-nilai yang harus dianut dalam kebijakan penghapusan perdagangan menunjukkan bahwa kondisi EVR kepemimpinan pemerintah setempat masih berada pada kuadran bawah kiri yakni organisasi yang tidak menyadari kompetensinya (the unconsciously competent organization). Hal ini berarti ketika organisasi dibawa untuk selalu mengambil posisi strategis yang menguntungkan dirinya sendiri tetapi tidak mampu menjaga nilai-nilai organisasi maka pemimpin hanya mampu memadukan environment dan resources namun tidak mampu menyertakan values dalam kebijakannya. Peran
pemerintah
daerah
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
penghapusan perdagangan anak belum mampu mengikat kondisi lingkungan setempat dan sumber daya yang ada dengan nilai-nilai yang dianut dalam
218
kebijakan penghapusan perdagangan anak sehingga tidak tercapai suatu pemerintahan yang peduli anak.
4.7. Pemahaman Pemerintah Daerah Terhadap Isu Perdagangan Anak Perdagangan anak merupakan fenomena di Kabupaten Karawang. Hal ini berhubungan dengan Karawang menjadi salah satu daerah asal perdagangan anak untuk Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh informan (Bp. Sofyan, 44 tahun): “Banyak anak-anak Karawang yang dikirim ke Timur Tengah sebagai PRT dengan menggunakan KTP daerah lain, sehingga menjadikan kami sulit mengawasi mereka, namun kami baru ketahui, jika mereka telah menjadi korban. Selain itu saya banyak mendapat informasi dari TV dan koran, bahwa Karawang sebagai salah daerah asal trafiking. Namun pemerintah daerah belum banyak melakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban.”
Hal serupa disampaikan oleh Informan (Bp. Karni, 50 tahun) bahwa “Karena masalah perdagangan anak yang menjadikan Kabupaten Karawang tersohor sebagai pemasok.” Akan tetapi, di tingkat legislatif belum mempunyai sensitivitas. Hal ini sebagaimana yang terekam dari dokumen-dokumen materi bahasan DPRD yang tidak diketemukan materi bahasan tentang isu perdagangan anak. Sedangkan di tingkat eksekutif sensitivitas tentang isu perdagangan anak sudah mulai terbangun. Hal ini terekam dari beberapa kegiatan sebagai berikut: 1) Sosialisasi tentang perdagangan anak dan Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak dan perempuan;
219
2) Konsultasi publik tentang strategi penghapusan perdagangan anak; 3) Dialog publik tentang upaya penghapusan perdagangan anak; 4) Penyusunan paper akademik dan draf Peraturan Daerah Pemerintah Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak; 5) Pertemuan untuk membentuk Kelompok Kerja Penghapusan Perdagangan Anak; 6) Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak. Perdagangan anak baru menjadi isu baru yang sedang menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Karawang. Masih terjadi pemahaman yang berbeda-beda terhadap isu perlindungan dan penghapusan perdagangan anak. Sehingga diperlukan seorang pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi terhadap anak. Walaupun unsur pembangunan dan penghormatan kepada Kualitas Hidup Manusia dijadikan Visi dan Misi yang kelima bukan menjadi Misi pertama maka jelas menunjukkan kepada kita bahwa prioritas pembangunan Kabupaten Karawang adalah membangun perekonomian yang kuat dan hasilnya ditujukan untuk kemaslahatan umat.bukan membangun Kualitas Sumber daya manusia terlebih dahulu tapi justrru membangun perekonomian terlebih dahulu sehingga dianggap bahwa pembangunan yang berorientasi kepada ekonomi harus diprioritaskan. Pemerintah Kabupaten Karawang belum mempunyai lembaga khusus untuk menangani permasalahan perdagangan anak, namun sudah dua tahun
220
terakhir (2005-sekarang), Pemerintah Karawang menetapkan BPMS sebagai penjuru dalam penghapusan perdagangan anak. Badan ini telah mempersiapkan Tim Kerja Penghapusan Perdagangan Anak, draf Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan, dan draf Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan. Sedangkan dalam penyebaran informasi tentang bahaya perdagangan anak, BPMS bersama Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mengembangkan Radio Komunitas di Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta. Intinya, dengan adanya Radio Komunitas, masyarakat memperoleh informasi mengenai akibat dan dampak perdagangan anak. Walaupun sosialisasi sudah dilaksanakan beberapa kali dari hasil temuan lapangan dapat diuraikan bahwa: pelaksanaan sosialisasi bahaya, akibat, dan dampak perdagangan anak di Kabupaten Karawang sejak Novermber 2004. Program sosialisasi ini terkemas dalam beberapa kegiatan. Pertemuan regular dengan Task Force Anti Perdagangan Anak Kabupaten Karawang untuk mendiskusikan isu-isu perdagangan. Pada pertemuan tersebut dihadiri oleh peserta berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, BPMS, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, UNSIKA, dan organisasi masyarakat. Untuk menemukenali permasalahan perdagangan anak di Kabupaten Karawang,
Yayasan
Kesejahteraan
Anak
Indonesia
dengan
dukungan
International Labour Organization (ILO) Jakarta melakukan Lokakarya Pemangku Kepentingan pada tanggal 19 April 2005. Pertemuan ini menghadirkan wakil-
221
wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, BPMS, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Biro Kesejahteraan Sosial – Setda Kabupaten Karawang, UNSIKA, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Pertemuan ini mendiskusikan permasalahan, kebijakan, dan program penghapusan perdagangan anak. Untuk memperkuat dukungan para pemangku kepentingan terhadap
pernghapusan
perdagangan
anak,
pada
pertemuan
tersebut
merekomendasikan untuk mempengaruhi kebijakan publik untuk Peraturan Daerah tentang Pekerja Migran yang termasuk dalamnya tentang Perdagangan Anak untuk Pekerja Rumah Tangga. Sedangkan untuk penyebarluasan informasi tentang perdagangan anak di pedesaan, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia bekerjasama dengan BAPEDA, Pemerintah Kecamatan Rawamerta, dan Pemerintah Desa Panyingkiran mendirikan Radio Komunitas. Melalui Radio Komunitas ini program pendidikan, kesehatan lingkungan, dan program lainnya yang mengarahkan orang tua untuk tidak mempekerjakan anak menjadi Pekerja Rumah Tangga. Intinya pada sosialisasi penghapusan perdagangan anak, pemerintah dan masyarakat mengetahui Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Dari temuan lapangan tentang kejelasan informasi mengenai materi, tujuan, sasaran dari kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak ternyata banyak yang menyatakan sampai saat ini belum mengetahui secara mendalam tentang informasi tersebut.
222
Walaupun beberapa informan menyatakan sudah mengikuti sosialisasi, namun informasi tersebut kurang jelas, dan bukan menjadi kewenangan dan tidak ada keterkaitan dengan uraian tugas, struktur organisasi, dan program dari informan. Karena umumnya mereka beranggapan bahwa persoalan perdagangan anak bukan masalah mendesak dan strategis, hanya sebagai akibat dan korban dari ketidaktelitian dan ketidaktahuan dari calon-calon tenaga kerja. Jika mereka teliti dan tidak ikut bujuk-rayu para calo dan sponsor, maka mereka tidak menjadi korban perdagangan anak. Dari temuan lapangan terungkap pula bahwa mereka tidak mengetahui dan tidak paham tentang definisi perdagangan anak, mereka menganggap hal tersebut sebagai persoalan biasa, dan hanya korban pengiriman TKW. Di Karawang, tidak ada korban perdagangan anak, yang ada hanya calon TKW yang tertipu oleh calo dan sponsor. Lebih menintruksikan
lanjut untuk
tentang kejelasan menyusun
materi
rencana
aksi,
kebijakan
nasional
membentuk
tim
yang kerja,
menyediakan anggaran, dan melakukan kegiatan pencegahan, perlindungan, pemulangan, dan reintegrasi, serta penuntutan sama sekali tidak diketahui oleh para informan. Dari temuan lapangan yang terkait dengan sumber materi awal adalah adanya proses sosialisasi tentang kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak pada tanggal 1 Juni 2005 dan umumnya mereka tidak ingat lagi apa yang seharusnya mereka lakukan. Namun demikian tentang kesesuaian situasi dan kondisi daerah umumnya para informan setuju bahwa pemerintah daerah harus
223
segera menyusun rencana aksi, khususnya membantu pemulangan korban perdagangan anak. Sedangkan fasilitas dan advokasi kebijakan yang dilakukan para informan mengharapkan bantuan dari sponsor, karena belum adanya mata anggaran di APBD mengenai program penghapusan perdagangan anak. Dari temuan lapangan bahwa dengan adanya sosialisasi tentang kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak sudah mulai ada tindak lanjut dengan mengadakan pertemuan untuk membahas masalah perdagangan anak, namun upaya ini terhenti sama sekali dengan adanya pergantian bupati dan pimpinan dinas instansi. Sehingga hal berakibat pada tertundanya penyusunan naskah akademis dan rancangan pertauran daerah tentang penghapusan perdagangan anak; penetapan keputusan Bupati tentang tim kerja penghapusan perdagangan anak; belum tersusunnya mata anggaran khusus; belum tersusunnya rencana aksi daerah tentang penghapusan perdagangan anak; belum tersusunnya secara sistematis proses manajemen, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kebijakan dan program penghapusan perdagangan anak. Dari temuan lapangan, terungkap bahwa kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak belum dilaksanakan dengan baik dan belum memiliki dampak terhadap persepsi, motivasi, dan kepedulian terhadap para pihak yang terkait khususnya unsur pemerintah daerah, agar mampu dan paham terhadap materi, tujuan, dan arah dari kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak agar terjadi peningkatan dari peran pemerintah daerah sebagai penyusun kebijakan publik, pemberdaya masyarakat, dan meningkatnya fungsi pelayanan publik.
224
Selain itu dengan kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak akan terjadi dampak terhadap meningkatnya perlindungan korban, meningkatnya kegiatan pencegahan, meningkatnya penanganan kasus, dan meningkatnya pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya akan terjadi pada penurunan jumlah korban, dan tercapainya perlindungan anak terhadap terjadinya perdagangan anak. Dari temuan lapangan diperoleh informasi bahwa kasus perdagangan anak telah terjadi di Kabupaten Karawang, namun adanya perbedaan persepi dan perbedaan pemahaman tentang pengertian perdagangan anak berakibat pada berkurangnya motivasi dan kepedulian Pemerintah Kabupaten Karawang untuk mengoperasionalkan penghapusan perdagangan anak. Dan terjadinya pergantian kepemimpinan baik bupati dan jajaran dinas/badan terkait berakibat menurunnya pemahaman dan berkurangnya kegiatan tentang penghapusan perdagangan anak. Namun demikian, sebagian informan mengharapkan Bupati Karawang segera mengeluarkan instruksi, supaya proses sosialisasi, dan tindak lanjut dari kebijakan tersebut segera dapat dioperasionalkan. Dari temuan lapangan dari sisi keluaran bahwa terjadinya rendahnya persepsi
Pemerintah
Kabupaten
Karawang
terhadap
kebijakan
nasional
Penghapusan perdagangan anak karena: 1) Sosialisasi yang kurang; 2) Materi sosialisasi yang kurang jelas dan belum operasional; 3) Adanya pergantian kepemimpinan bupati dan dinas/badan di jajaran Pemerintahan Kabupaten Karawang;
225
4) Belum adanya undang-undang penghapusan perdagangan anak, belum adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Penghapusan Perdagangan Anak; 5) Adanya pemahaman dan persepsi yang berbeda mengenai pengertian, tujuan, dan sasaran kebijakan nasioanl Penghapusan perdagangan anak; Dari temuan ini terungkap bahwa belum terlaksananya kebijakan nasional, belum tersusunnya rencana aksi daerah, belum terbentuknya kelembagaan resmi, dan belum adanya peraturan daerah, program, dan anggaran tentang penghapusan perdagangan anak, sehingga percepatan proses operasionalisasi penghapusan perdagangan anak belum terlaksana, persepsi, motivasi, dan kepedulian Pemerintah Kabupaten Karawang belum terarah dalam penghapusan perdagangan anak. Sehingga jejaring kelembagaan, dukungan masyarakat dan rencana aksi daerah tidak akan berjalan dengan baik, hal ini berakibat pada visi dan misi, tujuan dan sasaran tidak tercapai yaitu: Kabupaten Karawang menjadi kabupaten yang terbebas dari perdagangan anak. Sehingga anak-anak Karawang menjadi anak yang sehat, cerdas, berahlak mulia, dan tidak kawin muda, berubah pandangan keluarga, masyarakat, dan pemerintah terhadap posisi anak sebagai aset keluarga dan penghasil devisa daerah dari pekerjaan di luar wilayah Karawang. Pemerintah berharap Kabupaten Karawang bebas pekerja anak dan tidak ada lagi anak yang bekerja, baik di dalam maupun di luar Kabupaten Karawang. Dengan demikian, maka jumlah tenaga kerja wanita ke luar negeri akan berkurang dan anak tidak lagi dijadikan tumpuan keluarga sebagai sumber pendapat
226
keluarga, karena itu perlu segera dibuatkan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan Anak dengan fokus utama mengembalikan anak ke sekolah, menunda perkawinan, dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, dengan memberdayakan kemampuan masyarakat, seperti melatih garmen, elektronik, dan keterampilan lainnya. Pemerintah hendaknya mampu menyediakan pendidikan dan pelatihan yang murah dan berkualitas bagi anak-anak, sehingga anak-anak akan bersekolah selama 9 atau 12 tahun dan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup, sehingga anak-anak akan mempunyai keterampilan dan kemampuan sebagai modal bagi pekerjaan yang mampu menghasilkan pendapatan yang cukup dan memenuhi standar minimal untuk hidup layak, tidak perlu mencari pendapatan di luar Karawang sampai keluar negeri. Keterlibatan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Karawang dalam jenis penelitian demikian membesarkan hati mereka. Hal tersebut terungkap dari antusiasme mereka dalam menggambarkan berbagai keadaan seperti kebijakan pemerintah daerah, kondisi daerah, dan isu perdagangan anak. Kemampuan mereka menggambarkan situasi di atas menandakan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Karawang peka terhadap anak, khususnya korban perdagangan anak dalam batas-batas kemampuan dan pemahaman tentang perdagangan anak. Untuk merangsang kepekaan berfikir dalam mengidentifikasi persoalan yang ada di Kabupaten Karawang, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk mempercepat penghapusan perdagangan anak di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2002 tentang
227
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Selain itu membentuk Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Keputusan Presiden ini harus diterjemahkan baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
kabupaten/kota dalam program konkrit penghapusan perdagangan anak. Namun pada kenyataan lapang seperti di Kabupaten Karawang bahwa Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak belum diimplementasikan sebagai mana mestinya. Belum
diimplementasikannya
Kebijakan
Nasional
Penghapusan
Perdagangan Anak disebabkan oleh belum berperannya pemerintah kabupaten dalam melakukan fungsinya untuk melindungi rakyat, termasuk menghapus perdagangan anak, hal ini ditunjukkan oleh belum selesainya peraturan daerah penghapusan perdagangan anak (fungsi legislasi), belum terbentuknya tim kerja penghapusan perdagangan anak (fungsi pelayanan) dan belum dianggarkannya anggaran khusus untuk penghapusan perdagangan anak (fungsi anggaran) serta belum dikembangkannya model daerah ujicoba dalam berbagai program pencegahan, perlindungan, penyidikan dan penyelidikan ke seluruh wilayah (fungsi pemberdayaan).