A. MAKNA TARAd}in a. Q.S. an-Nisa[4]: 29 . “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang batil.Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu.Dan janganlah kamu membunuh diri kamu; sesungguhnya Allah terhadap kamu Maha Penyayang.” b. Mufradat Tara>d}in Tara>d}inberasal dari kata ﯾﺮﺿﻰ ر ﺿﻰ- di dalam lisanul arab, artinya suka, rela, setuju, lawannya sakhati artinya marah. Rida dan marah adalah termasuk dari sifat hati,sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati.1. Menurut kamus al-munawwirر ﺿﻲ
artinya senang, suka atau
relaTara>d}in( ٍ )َﺮ َ اضdalam ﺗ kamus al-Munawwir artinyapersetujuan dari kedua belah pihak atau saling menerima.2 Tara>d}}inmenurut para mufassir mengenai makna mufradat yaitu:
1
Lihat Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, h. 1663-1664. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progeressif, 1997, h. 363. 2
66
1) Menurut Quraish Shihab mengartikan tara>d}}in adalah kerelaan kedua belah pihak.3 2) Menurut Qurthubi tentang an tara>d}inyaitu dengan suka sama suka.4 3) Menurut Hamka, tara>d}}in adalah ialah rida, suka sama suka dalam garis yang halal. 5 4) Menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, tara>d}}in adalahkerelaan antara kedua belah pihak.6 5) Menurut Sayyid Quthb, tara>d}}in yaitu saling rida.7 6) Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghy,tara>d}}inadalah saling meridai. 8 7) Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tentang ٍ َ اضadalah ﺗ َﺮ “suka sama suka”. 9 Kata ٍ َﺮ َ اضtermasuk ﺗ dalam jenis kata benda. Adapun yang dimaksud dengan kata benda meliputi kata yang menerangkan tempat, barang, nama, waktu, kondisi serta kata yang menerangkan sifat
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah Jilid 2 “Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 499. 4 Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Terjemahan Ahmad Rijali Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 357. 5 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h.26. 6 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 635. 7 Sayid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Quran (terjemahan) jilid III, Terjemahan: Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Sayfril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 51. 8 Ahmad MushthafaAl-Maraghi, Tafsir Al-Maraghy, Terjemahan: Bahrun Abu Bakardkk., Semarang: Toha Putra, 1986. h. 27. 9 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terjemahan: Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 787
67
seperti kesenangan. Kata benda ini bentuk dan formatnya tidak dipengaruhi oleh waktu, baik waktu yang lalu, waktu sekarang atau waktu yang akan datang.10Kata ٍ َﺮ َ اضini ﺗmerupakan jenis kata benda yang berakhiran dengan
ٌ ٍ ◌ ً ◌(tanwin) ini dapat memiliki akhiran ً ◌(an),
ٍ ◌(in) atau ٌ ◌(un).
Untuk kata ini akhirannya adalah in, bentuk akhiran (apakah an, in atau un) ini tergantung pada kata sebelumnya. Akhiran ini ditujukan untuk menujuk kata benda tunggal sembarang atau yang mana saja, tetapi dapat juga digunakan untuk menerangkan suatu kata benda jamak yang tidak beraturan. Hal ini tergantung pada kata yang digunakan. Kata ٍ َﺮ َ اضini ﺗ masuk dalam jenis kata benda pelaku aktif dari suatu perbuatan, yang dicirikan dengan adanya tambahan alif panjang di huruf pertama. Dalam tata bahasa arab kata benda pelaku aktif ini sering disebut dengan isim fail. Berdasarkan hal di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa makna mufradat tara>d}in adalah saling rida, saling rela, saling setuju, saling senang, saling menerima, saling sepakat, saling suka dalam garis yang halal atau saling halal. Makna tara>d}in juga tidak terpengaruh oleh waktu yang artinya tara>d}in disini saling berkelanjutan. c. Definisi Tara>d}inMenurut Mufassir 1) M. Quraish Shihab
Berkaitan dengan makna tara>d}in dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29, menurut Quraish Shihab kerelaan kedua belah pihak atau yang diistilahkannya dengan ‘an tara>d{in minkum.11Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, indikator dan tandatandanya dapat terlihat. Ijabkabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat istiadat sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.12Indikasi dari rasa suka sama suka menurut Ulama Syafi’iyyah, Syi’ah, dan Dzhahiriyah memahami bahwa indikasi suka sama suka diterapkan dalam bentuk ucapan lisan, karena mereka mewajibkan adanya akad dalam jual beli. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan kerelaan kedua belah pihak dalam konteks ‘an tara>d{in minkum merupakan hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syariat yang mengikat, serta sanksi yang yang menanti, merupakan tiga hal yang selalu berkaitan dengan bisnis dan, di atas ketiga hal tersebut, ada etika yang menjadikan pelaku bisnis tidak sekadar menuntut keuntungan materi yang segera, tetapi melampauinya hingga seperti tuntutan Alquran: “Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)” (Q.S al-Hasyr [59]: 9)13
11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah., h. 499. Ibid. 13 Ibid. 12
69
Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat M. Quraish Shihab mengenai tara>d}in adalah rida merupakan hal-hal yang tersembunyi dan tanda-tandanya melalui ijab kabul, adanya timbal balik yang harmonis, peraturan dan syariat yang mengikat, dan sanksi yang menanti, dan adanya etika didalam akad jual beli. 2) Al-Qurthubi Menurut Qurthubi firman Allah Q.S an-Nisa [4]: 29 tentang makna an tara>d}in minkum “Dengan suka sama suka di antara kamu” , yaitu dengan suka sama suka, hanya ungkapan ini menggunakan pola mufa’alah (timbal balik dari dua pihak) karena perniagaan terdiri dari dua pihak.Lebih lanjut Qurthubi para ulama berbeda pendapat tentang suka sama suka:Sekelompok ulama berpendapat, kesempurnaan dan keputusannya dengan berpisahnya kedua pihak secara fisik setelah akad jual beli, atau salah seorang mengucapkan kepada pemiliknya. “pilihlah,” lalu ia menjawab, “aku telah memilih,” sekalipun dikatakan setelah akad, dan sekalipun belum keduanya belum berpisah. 14Hal ini merupakan pendapat kelompok sahabat dan tabi’in, serta pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al-Laits15, Ibnu Uyainah, Ishak dan yang lainnya. 16Al Auza’i berkomentar, “Keduanya
14
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi., h. 357. Al-Laits berpendapat, bahwa berpisahnya adalah dengan berdirinya salah satu pihak 16 Ahmad bin Hanbal pernah bependapat, bahwa keduanya punya hak memilih selamya belum berpisah secara fisik, baik keduanya mengatakan, “kami telah memilih” ataupun tidak 15
70
mempunyai hak memilih sebelum berpisah, kecuali jual beli yang tiga: (1) Pemimpin yang menjual ghanimah (harta rampasan perang), (2) orang yang berserikat dalam hal warisan dan (3) orang yang berserikat dalam perniagaan. Apabila bertransaksi pada yang tiga ini maka wajib jual beli dan keduanya tidak boleh memilih padanya.”Ia juga berpendapat, batas berpisahnya yaitu jika salah satunya terhalang dari pihak yang lainnya. Ini juga merupakan pendapat penduduk Syam. Lebih lanjut Qurthubi menjelaskan bahwa dalam suatu riwayat Imam Malik dari Abu Hanifah berkata, “Kesempurnaan akad jual beli adalah adanya akad jual beli secara lisan maka terhapuslah hak memilih.” Muhammad bin Al-Hasan berpendapat, makna sabda Nabi SAW dalam hadis:“Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama belum berpisah”(HR. Bukhari tentang jual beli) Menurut maksud hadis tersebut apabila penjual berkata, “Aku telah menjual kepadamu” maka dia mempunyai hak menarik kembali selama pembeli belum mengucapkan “aku terima.”Ini pendapat Abu Hanifah
dan
Imam
Malik.Juga
dikisahkan
oleh
Ibnu
Khuwazimandad.17
mengucapkannya, sampai keduanya berpisah secara fisik dari tempatnya. Ini juga merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i dan ini pendapat yang shahih dalam bab ini karena terdapat hadits-hadits tentang hal itu, yaitu diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Barzah dan sekelompok para ulama. 17 Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi., h. 360.
71
Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Al-Qurthubi mengenai tara>d}in adalah suka sama suka dengan menggunakan istilah mufalaah atau timbal balik antara penjual dan pembeli dengan menggunakn jalan khiyar. 3) Hamka Menurut Hamka dalam Tafsirnya Al-Azhar, menurutnya tentang redaksi Q.S an-Nisa [4]: 29 tentang tara>d}in yaitu: “kecuali bahwa ada dalam perniagaan dengan rida di antara kamu.” Kalimat perniagaan yang berasal dari kata tiaga atau niaga, yang kadangkadang disebut pula dagang atau perdagangan adalah amat luas maksudnya.Segala jual dan beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, impor dan ekspor, upah-mengupah, dan semua menimbulkan peredaran tentang harta benda, termasuk dalam bidang perniagaan. Dengan jalan perniagaan itu beredarlah harta kamu, pindah dari satu tangan kepada tangan yang lain dalam garis yang teratur. Pokok utamanya ialah rida, suka sama suka dalam garis yang halal. 18Menurut ajaran Islam mengenai harta kamu ini nampaknya terdapat apa yang sekarang dinamakan sosialisme, penafsiran bisa diperpanjang dan diperluas.
Maka segala kecurangan, korupsi19 berbeda mutu barang yang sebenarnya dengan reklame iklan yang berlebih-lebihan, tidak tepat menyelesaikan barang yang dibuat dengan janji yang telah diperbuat, mengurangi mutu pekerjaan yang telah diupahkan, mencuri, memeras dan sebagainya, semuanya itu adalah termasuk memakan harta benda kamu di antara kamu dengan jalan yang batil. Orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat, tidak berderma, berwakaf, bersedekah, dan bekurban untuk kepentingan umum, adalah memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang batil.Bahkan hidup yang sangat menonjolkan kemewahan, sehingga menimbulkan iri hati dan benci terhadap orang miskin, juga termasuk memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang batil. Kemajuan ilmu pengetahuan ekonomi modern di zaman sekarang telah sampai kepada intisari maksud ayat ini.Ekonomi telah diartikan dengan kemakmuran.Ekonomi yang kacau balau ialah memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang batil, di mana yang kaya sudah sangat kaya berlimpah dan yang miskin sampai menanggung lapar.20
19
Perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri (sepertt menggelapkan uang atau menerima uang sogok) yang asalnya katanya korup ialah buruk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi), lihat dalam Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008, h. 733. 20 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h.27.
73
Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Hamka mengenai tara>d}in adalah pokok utamanya ialah rida, suka sama suka dalam garis yang halal mengenai peredaran harta, tidak bolehnya ada kecurangan, ketidak sesuaian untuk menjaga keridaan. 4) Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy Menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam tafsirnya Al-Qur’anul Masjid An-Nuur dalam Q.S an-Nisa [4]: 29 tentang tara>d}in pada akad jual beli menjelaskan bahwa janganlah orang-orang mukmin tamak (rakus) terhadap hak orang lain dengan mengambil hak-hak itu tanpa melalui jalur yang benar. Karena itu, janganlah kamu memakan harta kamu saudara-saudaramu dan jangan pula kamu bersengketa karena masalah harta yang diperoleh dengan jalan yang batil. 21 Sebagaimana pada redaksi ayat Illa an taku>na tijara>tan ‘an tara>d{in minkum (kecuali dengan jika dengan jalan perniagaan atau bisnis yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak di antara kamu).Cara harta benda itu dengan jalan perniagaan (bisnis) yang ditegakkan atas dasar kerelaan di antara kedua belah pihak atau lebih. Dengan tegas ayat ini memberi pengertian bahwa: 21
Jalan yang batil menurut syara’, adalah mengambil harta orang atau pihak lain dengan cara yang tidak diridai oleh pemiliknya, atau membelanjakan harta bukan pada tempatnya. Termasuk ke dalam jalan batil ialah: berbuat curang, menipu, riba, korupsi, berlaku boros (tidak efisien, membengkakkan atau mark updana proyek dan sebagainya) dan membelanjakan harta pada jalan-jalan yang haram.
74
1) Jual beli dilakukan atas dasar persetujuan bersama oleh kedua belah pihak atau lebih. 2) Jual beli itu bukanlah hal yang abadi, karena itu jangan sampai melupakan urusan akhirat. 3) Mencari keuntungan dengan jual beli yang diperbolehkan, dengan cara yang benar dan tidak merugikan pihak lain. 22 Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Teungku Muhammad
Hasbi
Ash-Shieddiqy
mengenai
tara>d}inyang
didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak di antara kamu, menyangkut peredaran harta janganlah mengambil hak-hak itu tanpa melalui jalur yang tidak benar, karena jual beli bukanlah hal yang abadi jangan sampai melupakan urusan akhirat. 5) Sayyid Quthb Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsirnya Fi-zhilalil Quran menjelaskan tentang keridaan adalah istitsna’ munqathi’… artinya, seandainya kamu mendapatkan harta tersebut melalui perniagaan yang dilakukan atas dasar saling rida di antara kamu, berarti tidak masuk dalam ketentuan ayat tersebut. Tetapi menyebutkannya dengan gaya bahasa Alquran seperti ini mengisyaratkan adanya kemiripan antara perniagaan dengan bentuk-bentuk transaksi lainnya yang dinyatakan oleh Alquran sebagai memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Kita dapat mengetahui adanya kemiripan ini bila kita baca ayatayat mengenai pelarangan riba dalam Q.S al-Baqarah [2]: 275. Orang-
22
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur.,h. 636.
75
orang
yang
melakukan
praktik
riba
dengan
mengatakan:
“…sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba … “ 23 Kemudian perkataan mereka ini dijawab dengan Allah dengan firmannya masih dalam ayat yang sama: “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” Para pelaku riba mencampuradukkan masalah ini untuk mempertahankan sistem ekonomi yang mereka jalankan.Mereka beralasan bahwa jual beli, atau perniagaan, menghasilkan pertambahan harta dan keuntungan. Karena itu, jual beli sama saja dengan riba. Jadi tidak ada artinya menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 24 Perbedaan antara tabiat amaliah perniagaan dan amaliah riba itu jauh sekali.Begitu pula antara pelayanan yang diberikan oleh perniagaan terhadap industri dan masyarakat, dengan bencana yang ditimbulkan oleh riba terhadap perniagaan dan masyarakat. Perniagaan adalah perantara yang sangat efektif antara produsen dan konsumen.Perniagaan berfungsi mendistribusikan dan memasarkan produk sekaligus mempromosikan dan mempermudah konsumen
untuk
mendapatkannya.Jadi perniagaan
memberikan
pelayanan kepada kedua belah pihak, keuntungan dari jasa pelayanan tersebut. Suatu keuntungan yang diperoleh melalui keterampilan dan
23 24
Sayid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Quran (terjemahan) jilid III., h. 51. Ibid.
76
usaha tetapi pada waktu yang sama bisa mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian. Sementara riba bertolak dari semua itu.Riba membebani industri dengan bunga riba yang dikenakan atas biaya pokok (modal). Sekaligus membebani perniagaan dan konsumen karena harus membayar bunga yang dikenakan terhadap produsen. 25 Pada waktu yang sama, sebagaimana terlihat jelas dalam sistem kapitalis, riba menggiring industri dan investasi secara keseluruhan ke arah tidak lagi memikirkan kepentingan industri dan para konsumen. Tetapi tujuan utamanya adalah bagaimana menambah keuntungan agar nantinya bisa melunasi bunga pinjaman. Sekalipun masyarakat
mengkonsumsi
barang-barang
mewah
dan
tidak
mendapatkan kebutuhan utama! Sekalipun investasinya pada proyekproyek
murahan
yang
merangsang
hawa
nafsu
dan
dapat
menghancurkan eksistensi manusia, bahkan lebih dari itu. Keuntungan ini selalu di tangan pemilik modal. Ia tidak ikut mendapat giliran rugi seperti halnya dalam perniagaan dan sangat sedikit melibatkan tenaga manusia sebagaimana dalam perniagaan, hingga akhir tuduhan daftar hitam yang bisa dibebankan ke pundak sistem ribawi yang layak dijatuhi hukuman mati sebagaiman ditetapkan oleh Islam. 26
25 26
Ibid., h.52. Ibid.
77
Barangkali karena adanya kemiripan antara riba dan perniagaan itulah disampaikan penjelasan sususan (pengecualian) ini: “... kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling rida di antara kamu..” (Q.S. an-Nisa [4]: 29) sesudah larangan memakan harta secara batil, sekalipun istitsna munqathi sebagaimana dikatakan para ahli nahwu. 27 Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Sayyid Quthb mengenai tara>d}inyang saling rida di antara kamu, menggunakan istitsna’ munqathi’ diartikan bahwa rida dalam jual beli apabila tidak melakukan hal-hal yang perbuatan jual beli yang batil. Merupakan perantara produsen dan konsumen sebagai pelayanan dari kedua belah pihak. 6) Ahmad Musthafa Al-Maraghy Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghy dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29 dasar perniagaan adalah saling meridai. Ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah: 1) Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridai antara pembeli dan penjual. Penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan. 2) Segala yang ada di dunia ini berupa perniagaan dan apa yang tersimpan di dalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap, hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
27
Ibid.,h. 53.
78
3) Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung makna memakan harta dengan batil. Sebab, pembatasan nilai sesuatu dan menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang lurus, hampirhampir merupakan sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, di sini berlaku toleransi jika salah satu di antara dua benda pengganti lebih besar daripada yang lainnya, atau jika yang menjadi penyebab tambahnya harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang dagangannya, dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa pemalsuan dan penipuan. Sering orang membeli sesuatu, sedangkan dia mengetahui bahwa dia mungkin membelinya di tempat lain dengan harga yang lebih murah. Hal ini lahir karena kepandaian pedagang dalam berdagang. Ia termasuk kebatilan dalam kebatilan dalam perniagaan yang dihasilkan karena saling meridai, maka hukumnya halal. 28 Hikmah dari pembolehan seperti adalah anjuran supaya menyenangi perniagaan, karena manusia sangat membutuhkannya, dan perniagaan agar menggunakan kepandaian dan kecerdikan di dalam memilih barang-barang serta teliti di dalam bertransaksi, demi memelihara harta, sehingga tidak sedikit pun daripadanya keluar dengan kebatilan atau tanpa manfaat. Apabila di dalam perdagangan terdapat keuntungan yang banyak tanpa penipuan dan pemalsuan, melainkan dengan saling meridai antara kedua belah pihak, maka di sini tidak ada kesempitan.Sebab, tanpa hal itu nicaya tidak akan ada seorang pun yang senang berniaga, dan tidak akan ada seorang pun di antara ahli
28
Ahmad Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, h. 27
79
agama yang akan sibuk dengannya, padahal kehidupan sangat sangat membutuhkannya. 29 Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Ahmad Musthafa al-Maraghy mengenai tara>d}inadalah dasar halalnya perniagaan adalah saling meridai antara pembeli dan penjual, dan yang tidak diperbolehkan dalam jual beli seperti penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang diharamkan. 7) Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari tentang ٍ “ﺗ َﺮ َ اضsuka sama suka.” Maknanya adalah: jual beli harus didasarkan pada asas suka sama suka antara dua orang yang melakukan transaksi jual beli, sebelum keduanya berpisah dan meninggalkan tempat transaksi, atas dasar suka sama suka dari keduanya atas akad yang disepakati antara keduanya, dan adanya hak pilih untuk masingmasing dari keduanya. Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah: Ya’qub bin Ibrahim mencertiakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Ulyah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ayyub mengabarkan kepada kami, Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Qahab menceritakan kepada kami dari Nafi, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasullulah SAW bersabda, “Dua orang yang bertransaksi jual beli boleh menjadikannya jua beli dengan hak memilih.” Dan sepertinya beliau juga bersabda, “Atau masing-masing mengatakan kepada yang lainnya, ‘pilihlah’. 29
Ibid.,h. 29.
80
Masih menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari jika riwayat ini benar dari Rasulluluah SAW, maka perkataan masingmasing dari dua orang yang melakukan transaksi jual beli kepada yang lainnya, “pilihlah”, itu pasti terjadi sebelum melakukan akad jual beli, bersamaan dengan akad, atau setelahnya. Jika terjadi sebelumnya, maka ucapan sesudahnya tidak berarti baginya karena dia belum memiliki sebelum terjadinya akad jual beli. Masing-masing tidak ada yang tidak mengetahui bahwa memilih dalam kepemilikan atas barang bukan miliknya dengan ganti yang dibayarkan, maka dikatakan kepadanya, ‘kamu bebas memilih apa yang kamu inginkan untuk membeli atau tidak, atau jika dibatalkan atas dasar pilihan dengan akad transaksi, maka makna dari memilih dalam kondisi demikian adalah lawan dari memilih sebelumnya, karena kondisi tersebut, bahwa kepemilikan tersebut ada pada pemiliknya \, atau hal itu juga terjadi setelah akad jual beli yang merusak dua makna ini. Dengan demikian, jelaslah kekeliruan orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “Selama keduanya belum berpisah” adalah sebelum berpisah dengan ucapan. Dengan demikian, maka benarlah apa yangdikatakan, hak memilih dan berpisah adalah dua makna yang menjadikan jual beli itu sempurnas etelah dilangsungkan akad di antara keduanya, dan benar
81
pula pendapat yang mengatakan bahwa makna firmannya “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu,” adalah kecuali harta yang dimakan oleh sebagian dari kalian dari sebagian lainnya dari milik kalian yang didapatkan dengan jalan perniagaan yang kalian lakukan; kalian berpisah darinya atas dasar suka sama suka setelah akad jual beli di antara kalian secara langsung, atau dengan memilih sebagian kalian kepada sebagian lainnya. 30 Dari paparan di atas dapat disimpulkan pendapat Ibnu Jarir ath Thabari mengenai tara>d}inadalah harus didasarkan pada asas suka sama suka antara dua orang yang melakukan transaksi jual beli, baik sebelum akad, bertepatan dengan akad, atau sesudah akad, yang artinya terus-menerus berkelanjutan. b. Asbabun Nuzul Menurut riwayat yang diterangkan olehAbu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabaridalam Tafsir ath-Thabari, bahwa: Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Wahab menceritakan kepada kami, ia berkata: Daud menceritakan kepada kami dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, tentang seseorang yang membeli pakaian lalu berkata, “Jika Puas maka kamu ambil, sedangkan jika tidak puas maka kamu kembalikan, dengan tambahan satu dirham.”
30
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari., h.800-801.
82
Berdasarkan pendekatan tafsir yang penulis gunakan melalui asbabun nuzul yaitu sebab-sebab turunnya Q.S. an-Nisa [4: 29] dalam konteks penelitian ini, berkenaan dengan kondisi masyarakat muslim Arab.Hal ini karena masyarakat muslim dalam praktek jual beli mencari harta dengan cara yang batil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan berbagai macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syariat. Sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas, menjelaskan maksud turunnya ayat tersebut dalam riwayat Ibnu Jarir, seseorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikan dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Berkenaan dengan maksud tara>d}in dalam Q.S an-Nisas [4]: 29 tentang jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya. 31 Menurut Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan tentang turunnya ayat ini, dia tidak dapat memastikan apakah ayat ini turun setelah turunnya ayat yang mengharamkan riba atau sebelumnya.Jika ayat ini turun sebelum ayat riba, maka berarti ayat ini sebagai persiapan bagi pelarangan riba. Riba merupakan cara yang paling nyata dalam memakan harta orang lain secara
31
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, pener: Akhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 787 dan Afinz, Ayat-Ayat Tentang Prinsip Berekonomi, afinz.blogspot.com/2010/05/ayat-ayat-tentang-prinsip-berekonomi.html, online 11-02-2013.
83
batil. Tetapi seandainya ayat ini turun setelah ayat riba, berarti ayat ini meliputi segala bentuk cara memakan harta orang lain secara tidak sah. 32 Hadis lain yang menunjukkan tentang pelarangan jual beli batil yaitu:
ﰱ ِ اﻟْﺒـ ُ ﻴ ُﻮ َﳜُْﺪ ُ اَ ﻧﱠﻪُ ع، َ ْﺪ ِ ﺮ اَ ﺳ ُ ﻮ لِ ا ﷲِ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ا ﷲ ُ ﻋَ ﻠَﻴ ْ ﻪِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ ﻋَ ﺒَ ﻟ ﻋَﻦذَْ ﻛَﺮ ًاَ نﱠ ر َﺟ ُ ﻼ ﻜَﺎ نَ اﻟﺮﱠ:َ ﻗَﺎ لَﻓ،َﻼَ ﺑ َ ﺔ:ِـَﻘُﻞ ْﺧ َ ﻌ ْﺖ َ ﻓ ﻻ:َ ﻋَ َﻠَﻴﻠﱠْ ﻪِ و اَِ ﺳذَاَ ﺑ َﻠﱠﻢﺎ َﻳـ ﷲِ ﺻ ُ ﻓـَﻘَ ﺎ لَ ﻟ ِ ﺮ َ ﺳ ُ ﻮ لِﻰ اا ﷲ، ِع َِ ﻼَ ﺑ َ ﺔ:ﺟ ُ ﻞ ُ ا ِ ذَا ﺑ َ ﺎَ ﻳ َﻊ َ ﻳـ َ ﻘُﻮﻻَلُﺧ Bersumber dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya ada seorang laki-laki menuturkan kepada Rasullulah SAW, bahwa dirinya kena tipu dalam jual beli, Rasullulah SAW, lalu bersabda: “Kalau kamu melakukan akad jual beli, maka katakan tidak boleh ada penipuan”. Semenjak saat itulah setiap kali mengadakan akad jual beli, laki-laki itu selalu bilang: “Tidak ada boleh ada penipuan”. (H.R. Imam Malik). 33
Berdasarkan konteks penelitian penulis, makna tara>d}in dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29 menurut pendekatan tafsir melalui sebab turunnya ayat adalah larangan memakan harta secara batil dalam jual beli tetapi harus berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli sesuai dengan Q.S. an-Nisa [4: 29]. Sehingga penulis berpendapat makna tara>d}in dapat dijadikan prinsip dalam akad jual beli karena sesuai dengan konteks turunnya ayat pada kondisi
32
Sayid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Quran (terjemahan) jilid III, pener: Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Sayfril Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 52. 33 Adib Bisri Musthofa, Tarjamah Muwaththa’ Al-Imam Malik R.A, Semarang: CV. Asy Syifa, 1992, h.289. di riwayat lain disebutkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Ada seorang lelaki mengadu kepada Rasullulah SAW bahwa dirinya telah tertipu dalam jual beli.” Janganlah salimg menipu.” (HR. Bukhari dan Muslim), lihat juga Al-hafizh Ibnu Hajar Asqalani, Terjemah Bulughal Maram, Semarang: Pustaka Nuun, 2011, h. 226.
84
masyarakat Muslim dan dapat diberlakukan pada zaman sekarang khususnya di Indonesia. c. Munasabah Ayat Ayat-ayat yang lalu menerangkan syariat orang-orang dahulu dan penerimaan tobat bagi orang yang memohon ampun kepada Allah. Ayat ini menerangkan bagaimana seharusnya setiap orang yang beriman bersikap terhadap hak dan milik orang lain. 34 Larangan memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, dan larangan membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri (bunuh diri).Ayat sesudahnya tentang ancaman dan peringatan terhdap dosa besar. Munasabah selanjutnya terkait dengan Q.S. an-Nisa [4]: 29 mengenai masalah perolehan harta secara batil: a. Melalui kegiatan riba dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 273-281 dan Q.S. AliImran [3]: 130-132 serta Q.S. an-Nisa [4]: 161 dan dalam Q.S. ar-Rum [30]: 49. b. Jual beli barang yang haram dalam Q.S. al-Maidah [5]: 90-91, mencuri dan merampok dalam Q.S. al-Maidah [5]: 38. c. Curang dalam takaran dan timbangan dalam Q.S. al-Muthaffifin [83]: 1-6. d. Melalui cara-cara yang batil dan merugikan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 188.
34
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6, Jakarta: Lembaga Percetakan Alquran Kementrian Agama, 2010, h.153
85
Surat-surat dalam Alquran tersebut berhubungan dengan Q.S. anNisa [4]: 29 mengenai segala bentuk cara memakan harta orang lain secara tidak sah atau kebatilan yang diharamkan oleh Alquran. Munasabah selanjutnya berhubungan dengan Q.S an-Nisa [4]: 29 tentang prinsip tara>d}in, terkait masalah tentang rida dijumpai sebanyak 51 ayat dalam 30 surat,yaitu: 1) Dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 207, 265, 272, 282 ayat 207, 265 dan 272 perihal mencari keridaan Allah dan 282 mengenai orang yang kamu ridai. 2) Dalam Q.S. Ali-Imran [3]: 15, 19, 162, 174 ayat 15 dan 16 mengenai rida Allah, ayat 162 dan 174 mengenai mengikuti keridaan Allah. 3) Dalam Q.S. an-Nisa [4]: 114 mengenai mencari keridaan Allah. 4) Dalam Q.S. al-Maidah [5]: 2, 3,16, 119 ayat 2 mengenai mencari keridaan Allah, ayat 3 dan 119 mengenai rida Allah, ayat 16 mengenai mengikuti rida Allah. 5) Dalam Q.S. al-An’a>m [6]: 1 mengenai menghendaki rida Allah. 6) Dalam Q.S. at-Taubah [7]: 21, 59, 62, 72, 96, 100, 109 ayat 21 mengenai keridaan Allah dan surga, ayat 59 mengenai rida manusia kepada Allah, ayat 62 tentang rida kepada manusia dan lebih baik rida kepada Allah, ayat 72 tentang rida Allah lebih utama, ayat 96 mengenai rida terhadap orang fasik maka Allah tidak meridainya, ayat 100 tentang rida orang mukmin Allah pun rida terhadap mereka, ayat 109 mengenai rida kepada Allah dalam hal yang baik.
86
7) Dalam Q.S. Yusuf [12]: 52 mengenai Allah tidak meridai tipu daya orang yang berkhianat. 8) Dalam Q.S. ar-Ra’d [13]: 22 mengenai mencari keridaan Allah. 9) Dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 28 mengenai mengharap keridaan Allah. 10) Dalam Q.S. Maryam [19]: 6, 55 ayat 6 mengenai rida Allah, ayat 55 mengenai orang yang ahli shalat dan zakat adalah orang yang diridai di sisi Allah. 11) Dalam Q.S. Taha> [20]: 84, 109 ayat 84 mengenai permohonan rida kepada Allah, ayat 109 tentang rida Allah. 12) Dalam Q.S. al-‘Anbiya> [21]: 28 mengenai syafaat yang diberikan Allah kepada orang yang diridainya. 13) Dalam Q.S. al-Haj [22]: 37 mengenai mencapai rida Allah dengan ketakwaan. 14) Dalam Q.S. an-Nu>r [24]: 55 mengenai agama yang diridai Allah. 15) Dalam Q.S. an-Naml [27]: 19 mengenai rida Allah. 16) Dalam Q.S. al-Ankabu>t [29]: 69 mengenai orang yang berjihad mencari keridaan Allah. 17) Dalam Q.S. ar-Ru>m [30]: 38, 39 mengenai orang yang mencari dan mencapai keridaan Allah. 18) Dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 29 mengenai keridaan Allah dan Rasul. 19) Dalam Q.S. az-Zumar [39]: 5 mengenai Allah tidak meridai orang yang kafir dan Allah meridai orang yang bersyukur.
87
20) Dalam Q.S. al-Ahqaf [46]: 15 tentang rida Allah terhadap orang yang berbuat baik kepada orang tua. 21) Dalam Q.S. Muhammad [47]: 28 mengenai orang yang membenci keridaan Allah maka Allah menghapus semua amalnya. 22) Dalam Q.S. al-Fath [48]: 18, 29 ayat 18 mengenai rida Allah terhadap orang mukmin, ayat 29 tentang mencari keridaan Allah. 23) Dalam Q.S. an-Najm [53]: 26 mengenai rida Allah membuka syafaat. 24) Dalam Q.S. al-Hadi>d [57]: 20, 27 ayat 20 mengenai rida Allah dan ampunannya, ayat 27 mengenai orang yang mencari keridaan Allah. 25) Dalam Q.S. al-Muja>dilah [58]: 22 mengenai rida Allah. 26) Dalam Q.S. al-Hasyr [59]: 8 mengenai keridaan Allah. 27) Dalam Q.S. al-Mumtahanah [60]: 1 mengenai keridaan Allah 28) Dalam Q.S. al-Ha>qqah [69]:21 mengenai keridaan Allah terhadap orang ahli kitab. 29) Dalam Q.S. al-Jinn [72]: 27 mengenai rasul yang diridai. 30) Dalam Q.S. al-Insa>n [76]: 9 mengenai mengharapkan keridaan Allah. Berdasarkan ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip tara>d}in sebagaimana munasabah ayat tentang rida yang berhasil dihimpun penulis dalam Alquran terdapat. Munasabah ini mengisyaratkan bahwa keridaan terbagi menjadi: rida Allah kepada manusia, dan rida manusia terhadap sesama manusia dan juga sebaliknya. Menurut konteks ayat Q.S. an-Nisa [4]: 29 tentang keridaan kedua belah pihak dan dikaitkan dengan munasabah
88
tentang keridaan yang lain dalam Alquran yang disertai dengan harapan diperolehnya keridaan Allah SWT. 2. Analisis Terhadap Term Tara>d}in Tentang makna Tara>d}in Berdasarkan paparan di atas tentang tara>d}in, maka penulis merumuskan makna yang menurut penulis sesuai dengan konteks penelitian, maka penulis mengurainya sebagai berikut: Makna yang pertama tentang tara>d}in yaitu adalah adanya timbal balik antara kedua belah pihak atau yang bisa juga dengan kesepakatan yang saling menguntungkan tidak merugikan kedua belah pihak.Tara>d}in( اﻟﺘ ﱠﺮ َا )ﺿ ِﻲdalam kamus al-Munawwir artinyapersetujuan dari kedua belah pihak, atau ر ﺿﻲartinya senang, suka atau rela. 35Makna saling rida juga ditunjukkan dalam hadis nabi: Ibnu Hibban dan Ibnu Majah:
( و َ ا ِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ضٍ ) روﻩ ا ﻟﺒﻴﺤﻘﻰ وا ﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ Jual beli harus dipastikan harus saling meridai(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
ٍا ِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ض
Sesungguhnya jual beli adalah yang dilakukan dengan suka sama suka. (H.R Muslim dari Abu Daud dari hadits Abu Sa’id, dari Nabi SAW).36
ﻻَ ﻳـ َ ﺘـَ ﻔَﺮﱠ قُ ﺑـ َ ﻴـ ْ ﻌ َ ﺎ نِ إِ ﻻﱠ ﻋَﻦ ْ رِﺿً ﺎ Tidaklah dua orang yang melakukan transaksi jual beli berpisah kecuali setelah saling meridai. 37 35
Hal ini yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab beliau menjelaskan adanya timbal balik yang harmonis yang artinya adanya kesepakatan antara si penjual maupun si pembeli. Hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan oleh Al-Qurthubi dengan menegaskan bahwa suka sama suka ini menggunakan pola mufa’alah yaitu timbal balik dari kedua belah pihak karena perniagaan terdiri dari dua pihak. Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy juga menyatakan hal yang sama tentang hal ini jual beli dilakukan atas dasar persetujuan bersama oleh kedua belah pihak atas dasar kerelaan.Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari mengenai tara>d}injual beli harus didasarkan pada asas suka sama suka antara dua orang yang melakukan transaksi jual beli, sebelum keduanya berpisah dan meninggalkan tempat transaksi, atas dasar suka sama suka dari keduanya atas akad yang disepakati antara keduanya, dan adanya hak pilih untuk masing-masing dari keduanya. Makna selanjutnya tentang peraturan dan syariat yang mengikat dalam jual beli tentang tara>d}in yang tidak bisa terlihat atau tersembunyi di lubuk hati.Tara>d}inakar katanya dari kata ﯾﺮﺿﻰ ر ﺿﻰ- di dalam lisanul arab artinya suka, rela, setuju, lawannya sakhati artinya marah, rida dan marah adalah termasuk dari sifat hati,sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati.Tetapi indikatornya dapat terlihat yaitu ijab Kabul. Ijab Kabul yaitu penyertaan dari
37
Maksud dari Mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain, lihat Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 44.
90
penjual dan pembeli, seperti peryataan penjual, “Kujual benda ini” dan perkataan pembeli “Kubeli benda ini”. 38Wujud dariijab Kabul yang dilandasai rasa suka sama suka itu, Ulama Syafi’iyyah, Syi’ah, dan Dzhahiriyah memahami bahwa wujudnya adalah dalam bentuk ucapan lisan, karenanya mereka mewajibkan adanya akad dalam jual beli. Berbeda dengan mereka, jika dilihat dari sisi struktur bahasa, kalimat tara>d}>in dalam ayat di atas mengambil bentuk nakirah. Sehingga wujud dari tara>d}>inbisa beragam jenisnya sesuai dengan perkembangan zaman, dan karenanya tidak mutlak terbatas dengan lisan. Orang boleh mengungkapkannya dengan cara lain, seperti dengan isyarat, tulisan, dan sebagainya asalkan dapat membuktikan rasa suka sama suka. Menurut Imam al-Syaukani mengatakan bahwa prinsip yang paling fundamental dalam jual beli adalah suka sama suka antara penjual dan pembeli. Orang dapat mengungkapkan perasaannya dengan berbagai cara, seperti dengan isyarat, tulisan, perantara berita dan sebagainya, yang terpenting maksudnya tercapai. Jadi, bukan hanya terikat ungkapan lisan saja. Karena itu, al-Syaukani menolak pendapat jumhur ulama yang memandang sah jual beli hanya dengan ijab kabul secara lisan dan dengan ungkapan tertentu.
Penolakannya
didasarkannya
pada
lafal
amm
(umum)
tijarah(perniagaan) yang mengandung makna “segala bentuk jual beli”, yang wajib dilakukan atas dasar suka sama suka. Perasaan suka sama suka tidak 38
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah.., h. 35.
91
mutlak hanya terucap dengan ucapan lisan, tetapi dapat juga dilakukan dengan cara lain, asal dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, penjual dengan pembeli. 39 Keridaan tentang ijab kabul yang banyak dimaknai oleh para ahli tafsir mempunyai hak khiyar atau memilih sebelum terjadinya akad seperti yang dijelaskan oleh Al-Qurthubi. Khiyar ini memberikan kita gambaran agar lebih berhati-hati dalam berjual beli agar tidak ada yang merasa dirugikan. Ijab Kabul berlandaskan rida kembali kepada pendapat M.Quraish Shihab tentang harus adanya etika dan peraturan syariat yang mengatur hal ini.Sayyid Quthb dengan metode historisnya mengungkap bahwa ayat ini berkenaan dengan masalah riba sehingga turunlah ayat ini perihal tentang riba tetapi masih tidak bisa dipastikan apakah ayat ini turun setelah atau sebelum pelarangan riba, yang harus sesuai dengan prinsip keridaan. Maksud dari Sayyid Quthb ini ialah adanya larangan memakan harta secara batil dan harus dengan keridaan makna secara batil ini selaras dengan memakan harta orang lain dengan mengambil keuntungan berlipat atau riba yang merugikan orang lain. Berkaitan dengan hal ini dalam kaidah fikih mengenai keridaan yaitu:
Sebetulnya jauh sebelum al-Syaukani, pendapat dikemukakan oleh Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hanbal.Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, jilid II, pener: MA. Abdurrahman, A. Haris Abulah, Semarang: Asy-Syifa, 1990, h. 96.lihat juga Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: Refika Utama, 2011, h. 205.
92
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan” Keridaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridai, tetapi kemudian salah satu pihak tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.40 Berkaitan dengan masalah kebatilan dan keridaan.Hamka menjelaskan tentang keridaan ini dengan dengan tidak adanya unsur kecurangan, pengicuhan atau penipuan dalam berjual beli itu dilarang.Hal ini senada juga dengan pendapat Ahmad Musthafa al-Maraghy dengan mengatakan bahwa penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal yang haram yang sangat berlawanan dengan keridaan.Dalam kaidah fikih pun mempertegas dengan perihal ini tidak sah apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridai, tetapi kemudian salah satu pihak tersebut bisa batal. Harus ada alternatif atau media lain yang mengarah kepada aspek ini. Media atau pun administratif yang lain yang mesti dikembangkan, karena perdagangan zaman sekarang sudah sangat komplek sekali. 40
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis), Jakarta: Kencana, 2007, h. 130-131.
93
Untuk menghindari hal tersebut menurut M. Quraish Shihab harus ada etika yang menjadikan pelaku bisnis baik penjual maupun pembeli tidak sekedar menuntut keuntungan materi semata. M. Quraish Shihabjuga menekankan harus adanya peraturan dan syariat yang mengikat, serta sanksi yang menanti, dengan ada etika di dalamnya, yang mengharamkan segala sesuatu praktek yang tidak dibenarkan oleh syariat. Tidak boleh adanya praktek kecurangan, penipuan, riba, merugikan salah satu pihak, harus ada etika di dalamnya. Menurut Muhammad dalam Islam, istilah yang paling dekat dengan etika41 di dalam Alquran adalah khuluq. 42Etika di dalam Alquran yang berhubungan secara langsung al-khuluq.Al-khulu>q dari kata dasar khaluqakhulu>qan, yang berarti tabi’at, budi perkerti, kebiasaan, kesatriaan, keprawiraan.Kata dasar khulu>q yaitu khaluqa sangat berdekatan sekali dengan
kata
dasar
khalaqa-khalqan
yang
berarti
menjadikan,
menciptakan. 43Dari kata khalaqa diciptakan, dari kata khalaqa berubah-rubah dalam bentuknya menjadi al-kha>liq yang menciptakan dan al-makhlu>q
41
Menurut Issa Rafiq Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang normative karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang individu. Lihat Muhammad, Etika Bisnis Islam.., h. 38. 42 Di dalam Alquran kata khuluq ini disebutkan dua kali pada Q.S asy-Syu’ara [26]: 137 dan Q.S. al-Qalam [68]: 4, dalam pengertian berbudi pekerti yang luhur. “..dan Sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung”. Makna berbudi pekerti yang luhur inilah yang disebut dengan akhlak.Seperti dalam hadis nabi yang terkenal, “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR. Ahmad), lihat Muhammad, Etika Bisnis Islam.., h. 39, lihat juga di Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis Islam, Jakarta: Kencana, 2007, h.6. 43 Muhammad, Etika Bisnis Islam.., h. 40.
94
yang diciptakan. Sedangkan dari khaluqa-khulu>q perubahannya menjadi alakhla>q yang kemudian dikenal menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Masih menurut Muhammad menarik diperhatikan tentang adanya kedekatan bahkan kesamaan asal dan perubahannya antara akhla>k-khulu>q dan khalaqa-khulu>qan. Hal ini memunculkan pertanyaan apa hikmah yang terkandung didalamnya. Jika lebih diperhatikan bahwa dalam Alquran lebih banyak menggunakan khalaqa dan derivasinya, sementara hanya dua kali menyebut dalam bentuk khulu>q. Adakah hubungan khalaqa yang berarti mencipta,
membuat,
dengan
khulu>q
yang
berarti kebiasaan
atau
perangai.Hal ini dalam kajian akhlak pada hakikatnya harus ada kehendak dan iktikad manusia dalam menciptakan perbuatannya. Dengan demikian akhlak sebagai perangai tidak akan terwujud bila, manusia tidak berupaya untuk “menciptakannya” baik dengan niat dan iktikad maupun dengan usaha terus menerus, yang dari proses ini kemudian akan menjadi kesadaran dan perangai secara otomatis.44Ini sesuai dengan kaidah fikih yaitu:
Selanjutnya bila dikaitkan dengan Q.S. an-Nisa [4]: 29 ini maka ayat ini termasuk dalam ketegori ayat madaniyah46 ayat yang banyak berhubungan 44 45
Muhammad, Etika Bisnis Islam.., h. 40. Ibid., h. 34.
95
dengan hukum ibadah maupun muamalah yang diperuntukkan untuk kaum muslim sebagai aturan atau tata cara dalam beribadah maupun bermuamalah. Pada waktu ayat ini turun menurut riwayat Ibnu Jarir dikarenakan pada waktu itu masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang batil, meraup keuntungan dengan berbagai macam tipu daya. Sayyid Quthb pun berpendapat ayat ini turun berkenaan dengan masalah riba semakna dengan memakan harta orang secara batil. Sehingga dengan turunnya ayat ini menegaskan tentang perihal jangan memakan harta orang lain dengan cara yang batil kecuali dengan suka sama suka. Suka sama suka disini merupakan perintah untuk mentaati aturan syariat yang dibuat yang tidak merugikan salah satu pihak, menyangkut masalah hati, tidak bisa dilihat tetapi bisa diterapkan. Kembali kepada masalah etika dan penerapan rida ini dari etika yang yang diurai di atas yakni sebagai proses untuk membentuk akhlak harus adanya kehendak dan iktikad untuk menciptakan perbuatan yang kemudian akan menjadi perangai akhlak yang baik. Dengan adanya ayat ini rida yang dimaksud sebagai bentuk manifestasi diri yang ada di lubuk hati, apabila dikaitkan harus dimulai dengan niat yang baik atau iktikad yang baik. Berdasarkan paparan di atas maka dapat ditarik benang merah yang sesuai dengan konteks pendekatan yang dipakai pendekatan Hukum Ekonomi 46
Ciri-ciri ayat madaniyah adalah: - mengandung ayat-ayat yang panjang dan memiliki kedalaman bahasa, - mengandung isi seputar kewajiban, sanksi (had), hukum ibadah, muamlah, berkenaan masalah hubungan sosial dan kenegaraan, - mengandung dialog yang dilakukan dengan ahli kitab, - mengandung kalimat kecuali surat al-Jin. Lihat http://www.bimbie.com/makki-dan-madani.html, online 1-8-2013.
96
Islam yaitu tentang asas atau prinsip yang ada dalam makna tara>d}in dalam akad jual beli. Maknanya adalah perihal tentang makna kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu sesuai dengan hubungan manusia dengan sesamanya manusia berupa perjanjian atau kontrak yang secara konstekstual ayat membicarakan masalah ini yaitu berupa hubungan timbal balik yang harmonis atau kesepakatan bersama. Makna selanjutnya yang tertuang dalam ayat ini yang sesuai dengan konteks pendekatan Hukum Ekonomi Islam dan Kajian tafsir yang hampir keseluruhan ulama tafsir menafsirkan masalah tara>d}in dengan dilarangnya segala transaksi yang merugikan salah satu pihak, atau melakukan kecurangan yaitu mengenai dilarangnya praktek mal bisnis. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mempertegas harus ada etika yaitu bila diterjemahkan kembali adalah adanya asas iktikad baik yang sesuai dengan syariat. Berdasarkan analisis penulis terhadap makna taradin pada akad jual beli dalam Q.S an-Nisa [4]: 29 adalah iktikad baik dan kesepakatan di antara kedua belah pihak dalam praktek jual beli, melalui jalan kesepakatan berupa akad.
B. KRITERIA TRANSAKSI DALAM PRINSIP TARAd}in Sebagaimana
uraian penulis di atas, mengenai makna tara>d}in
dalam Alquran Q.S. an-Nisa [4]: 29 maka berdasarkan kandungan ayat
97
tersebut terdapat makna secara umum berupa konsep iktikad baik yaitu dasarnya adalah suka sama suka, rela sama rela, setuju sama setuju. Berdasarkan anailis penulis mengenai makna tara>d}in dalam Alquran Q.S. an-Nisa [4]: 29 terdapat kesesuaian makna dalam konteks akad jual beli yaitu temporalitas antara makna tara>di}n yaitu tidak mengambil keuntungan secara berlebihan, tidak boleh adanya unsur kebatilan berupa penipuan, paksaaan dan tekanan. Selain itu juga tercapainya kesepakatanyang tidak merugikan kedua belah pihak. Berdasarkan makna tara>d}in dalam Alquran Q.S. an-Nisa [4]: 29 penulis merumuskan kriteria dalam prinsip tara>d}in, sebagai berikut: a. Niat yang baik pada transaksi jual beli. Manusia memilki unsur jasmani dan rohani, jasmani adalah sesuatu yang tampak dan kelihatan berupak fisik manusia, sedangkan rohani adalah ruh atau penggerak jiwa manusia. Rohani bisa berupa akal dan qalb atau hati, hati adalah sentral dan penentu aktivitas badan. Hati bisa menggerakkan aktivitas mulia seperti sakha (dermawan), haya (pemalu), sabar, tawakkal, rida (rela), dzikir, syukur, afwun (pemaaf), tawadhu (sopan atau santun), khusyu, ikhlas, khauf (takut), raja (harap) dan sebagainya. 47 Sebagaimana pendapat Wahbah Zuhaili yang mendukung Mazhab Maliki, Hambali, Zahiri dan Syi’ah mengenai pentingnya niat dalam 47
Mamin Sukur, Tasawuf bagi Orang Awam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 240.
98
berjual beli. Pendapat tersebut mempertimbangkan maksud niat, atau pendorong (motivasi) dalam akad.Pendapat tersebutakan membatalkan aktivitas yang didorong oleh maksud yang tidak dibenarkan oleh syara.Pendapat tersebut mengamalkan teori sebab atau teori keinginan batin.48Maksud pendapat ini adalah untuk melindungi dimensi moral, akhlak dan agama.Sehingga pendorong (motivasi) akad dibenarkan sesuai syara, maka akadnya sahih.Namun jika pendorong (motivasi) akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara, maka akadnya batal dan haram. 49 Niat merupakan ruh dan inti perbuatan. Tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini atau beriktikad di dalam hati, itu pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas atau makna seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh agama atakah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja. 50Mazhab Maliki dan Hanafi
48
Yaitu teori yang mensyaratkan sebab yang ada dibalik akad harus sebab yang dibenarkan oleh syara.Apabila sebab tersebut tidak dibenarkan oleh syara, maka akadnya tidak sah. 49 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu 1 (Pengantar Ilmu Fikih, Tokoh-Tokoh Mazhab Fikih, Niat, Thaharah, Shalat) jilid 1, Terjemahan: Abdul Hayyie al-Katani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2010, h. 188. 50 H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih ..., h. 34.
99
menegaskan bahwa niat mempunyai efek terhadap shighat akad.51 Apabila niatnya baik yang dibenarkan oleh syara maka akan menimbulkan keridaan karena akad memerlukan kerelaan di antara kedua belah pihak. b. Menolak unsur kebatilan. Allah melarang jual beli yang batil, karena kebatilan dapat merugikan orang lain, yang dimaksud kebatilan itu berupa paksaan, tekanan, penipuan, jual beli dengan sistem riba dan pernyataan yang salah. Seorang muslimtidak dibenarkan menjadi tamak atau rakus terhadap hak orang lain mengambil hak-hak itu dengan cara kebatilan tanpa melalui jalan yang benar. Penipuan, pendustaaan dan pemalsuan merupakan unsur kebatilan
adalah
hal-hal
yang
diharamkan.Setiap
transaksi
yang
mengandung unsur kebatilan baik sedikit atau banyak, tersembunyi atau terang-terangan seperti penipuan, pemalsuan, pendustaan dan tindakan batil lainnya.Transaksi ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Menimbulkan akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya, baik menurut hukum agama maupun hukum positif,.Akibat-akibat demikian bukan hanya dari tinjauan kehidupan dunia, melainkan pula semua yang beefek buruk akibatnya bagi kehidupan kelak. 52 c. Sikap Jujur dalam Transaksi Jual Beli.
51 52
Ibid.,h. 189. Muhammad, Etika Bisnis Islam., h. 232.
100
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam transaksi, maka akan merusak legalitas transaksi itu sendiri, juga menimbulkan perselisihan di antara pihak. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan transaksi dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya.Sedangkan perbuatan perbuatan yang menimbulkan mudharat agar dihindari atau ditinggalkan. 53 Nilai-nilai
terpenting
sebagai
landasan
transaksi
adalah
kejujuran.Hal ini merupkan puncak moralitas iman dan karekteristik yang paling menonjol dari orang-orang beriman. Tanpa kejujuran, kehidupan yang agamis tidak akan berdiri dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik. Sebaliknya kebohongan adalah pangkal cabang kemunafikan, dan ini sangat dilarang dalam agama.Hal yang paling banyak memperburuk citra jual beli adalah kebohongan, manipulasi, dan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.Berdusta dalam menerangkan sfesifikasi barang dagangan dan mengunggulkannya atas yang lainnya, dalam memberitahukan penawaran, banyaknya pemesanan, dan sebagainya.Oleh
53
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, h.37.
101
karena itu, sifat terpenting bagi transaksi jual beli yang diridai Allah adalah kejujuran.54 2. Transaksi dalam Prinsip Tara>d}in Transaksi dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka atau kerelaan antara masingmasing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaaan, penipuan. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil (al-aqd bi al-ba>t}il). Ayat ini menunjukkan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan bahwa suatu perbuatan muamalat, jual beli misalnya, dilakukan dengan pemaksaan ataupun penipuan.Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan.Unsur sukarela ini menunjukkan keikhlasan dan iktikad baik dari para pihak. 55 Dari hal ini akan melahirkan kesepakatan bersama yang dilandasi atas keridaan. a. Iktikad Baik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan
54
Hadis Hasan yang diriayatkan At-Tirmidzi sebagaimana dikemukakan di atas jelas menegaskan bahwa pedagang yang jujur dan dapat dipercaya adalah bersama dengan para nabi, shiddiqin, dan para syuhada’. Lihat Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah., h. 33. 55 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, h.36-37.
102
(yang baik).56Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Agus Yudha memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”. 57 Sementara itu Black’s Law Dictionary memberi rumusan: “Good faith an intangible and abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and it compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the absensce of design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and individual’s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded by his protestations alone. … In common usage this term is ordinarily used to describe that state of mind denoting honest of purpose, freedom from intention to defraud, and, generally speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.58 Intinya dalam pernyataan ini adalah dalam iktikad baik menggambarkan keadaan pikiran yang menunjukkan sifat yang jujur, bebas dari niat untuk menipu.Selanjutnya dalam hukum perdata pengertian iktikad baik dapat dilihat di Pasal 1338 (3) BW dan Pasal 1963 BW.Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, “…Perjanjian-Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”59Maksudnya perjanjian itu harus dilaksakan menurut kepatutan dan keadilan. Pasal 1963 BW, memberikan pengertian iktikad baik adalah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia mengira
56
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Idonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 543. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Jakarta: Kencana, 2010, h. 134.. 58 Ibid.,h.138-139. 59 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Ketiga–Perikatan, Bab II –Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Persetujuan, Bagian 3, Akibat Persetujuan. 1458. (KUHPerd. Pada Pasal 751, 1066, 1243 dst., 1266 dst., 1335 dst., 1363, 1603, 1611, 1646-3, 1688, 1813.). 57
103
bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah terpenuhi. Pengertian iktikad baik dalam Pasal 1338 (3) BW yang berarti melaksanakan
perjanjian
dengan
iktikad
baik,
adalah
bersifat
dinamis.Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan orang lain. Iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak.Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut normanorma objektif. 60 b. Kesepakatan Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau berkesesuaian dengan pernyataan kehendak pihak lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus
60
Salim, H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h. 11.
104
dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak. 61 Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk
oleh
dua
unsur,
yaitu
unsur
penawaran
dan
penerimaan.Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esensialia62 perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak yang ditawari. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan atau akad transaksi antara Hukum Islam dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua
(merupakan
kedua
tahap),
baru
kemudian
lahir
perikatan.63Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan diantara mereka. Menurut A. Gani Abdullah yang dikutip Gemala Dewi dkk, dalam Hukum Perikatan Islam titik tolak yang paling
61
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Jakarta: Kencana, 2010, h. 162. 62 Unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian. 63 Terjadinya suatu perikatan menurut Abdoerraoef melalui tiga tahap yaitu: Al ‘Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain, Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama, tahap terakhir apabila dua buah janji dilaksankan maksudnya oleh para pihak maka terjadilah yang dinamakan ‘akdu’ yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu, tetapi ‘akdu atau perikatan. Lihat Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, h. 46.
105
membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan Kabul), maka terjadilah ‘aqdu (perikatan) atau yang dinamakan kesepakatan.64 Menurut Syamsul Anwar tercapainya kata sepakat adalah adanya persesuaian antara ijab dan Kabul. Ijab, seperti disinggung adalah pernyataan pertama yang diajukan oleh salah satu pihak menurut mazhab Hanafi dan oleh pihak pertama (pihak yang memindahkan hak milik) menurut ahli-ahli hukum mazhab lain). Di satu sisi, ijab berisi hal tertentu yang ditawarkan, sedangkan di sisi lain ditunjukkan kepada pihak lain. Sementara itu, Kabul harus sesuai dengan isi yang terkandung dalam ijab itu, yaitu penerima penawaran yang yang menyatakan menerima terhadap apa yang ditawarkan kepadanya dengan imbalan yang diminta oleh pemberi penawaran. Tidak terjadi pertemuan ijab dan kabul apabila keduanya berbeda dalam hal objeknya, atau objeknya sama akan tetapi kabul hanya mencakup sebagian. Dengan kata lain, tidak tercipta akad apabila kabul berisi penambahan, pengurangan atau perubahan terhadap ijab.65 3. Kriteria Transaksi Tara>d}in pada Akad Jual Beli
64 65
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam .. h. 47. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah..., h. 144.
106
Kegiatan ekonomi dalam Islam yang meliputi produksi, konsumsi, distribusi dan saving atau tabungan merupakan suatu aktivitas ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang sering dilakukan adalah berkenaan dengan transaksi, transaksi dalam aktivitas ekonomi merupakan cara untuk melakukan mekanisme pertukaran, salah satu mekanisme pertukaran adalah jual beli. Transaksi jual beli dalam Islam memiliki sejumlah aturan, aturan jual beli suatu yang sudah ma’ruf bahwa setiap orang membutuhkan sesuatu melalui proses jual beli. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya aktivitas ini karena setiap hari dibutuhkan. Namun patut diketahui bahwa seorang muslim punya kewajiban untuk memilih yang halal dan meninggalkan yang haram. Seorang muslim tidak boleh asal-asalan dalam melakukan aktivitas ibadah dan juga dalam transaksi jual beli. Ada aturan dalam jual beli yang mesti diperhatikan, semacam mengetahui rukun-rukunnya. Jikarukun ini tidak terpenuhi, tentu jual beli tersebut bermasalah. Di dalam fikih muamalah rida atau sukarela merupakan salah satu rukun dari setiap transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Rida sendiri merupakan persoalan hati yang tidak bisa dilihat dan diketahui, 66 tetapi indikasinya bisa dilihat dengan jalan ijab kabul dengan melakukan akad jual beli yang sesuai tuntutan syariat.
66
1502.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichbar Baru Van Hoove, 1996, h.
107
Kriteria transaksi dalam prinsip tara>d}in yang penulis dapatkan melalui pendekatan tafsir dan pendekatan hukum ekonomi Islam, kriteria transaksi dalam prinsip tara>d}in adalah dasar suka sama suka, saling kerelaan dengan tidak mengambil keuntungan secara berlebihan, dan menolak adanya unsur kebatilan berupa penipuan, paksaan dan tekanan. Kriteria suka sama suka atau kerelaan dengan niat baik yang diindikasikan melalui sikap jujur dan penuh keikhlasan yang menunjukkan etika dalam muamalah. C. PENERAPAN PRINSIP TARA
67
2010, h.v.
Muammar Nas, Kedahsyatan Marketing Muhammad, Pustaka Iqro Internasional: Bogor,
108
oleh para ahli sejarah maupun agama yaitu sisinya sebagai seorang pebisnis ulung. Padahal manajemen bisnis yang dijalankan Rasulullah SAW hingga kini maupun di masa mendatang akan selalu relevan diterapkan dalam bisnis modern. Setelah kakeknya yang merawat Muhammad SAW sejak bayi wafat, seorang pamannya yang bernama Abu Thalib lalu memeliharanya. Abu
Thalib
yang
sangat
menyayangi
Muhammad
SAW
sebagaimana anaknya sendiri adalah seorang pedagang.Sang paman kemudian mengajari Rasulullah SAW cara-cara berdagang (berbisnis) dan bahkan mengajaknya pergi bersama untuk berdagang meninggalkan negerinya (Makkah) ke negeri Syam (yang kini dikenal sebagai Suriah) pada saat Rasulullah SAW baru berusia 12 tahun.Tidak heran jika beliau telah pandai berdagang sejak berusia belasan tahun.Kesuksesan Rasulullah SAW dalam berbisnis tidak terlepas dari kejujuran yang mendarah daging dalam sosoknya. Kejujuran itulah telah diakui oleh penduduk Makkah sehingga beliau digelari Al S}iddi>q.Al S}iddi>qartinya benar atau jujur, jujur merupakan salah satu sifat yang dalam diri para nabi, tidak mungkin nabi pernah melakukan kedustaan. Al S}iddi>qbenar lahir dan batin, benar hati, benar perkataan dan benar perbuatan. 68Selain itu, Muhammad SAW juga dikenal sangat teguh memegang kepercayaan (amanah) dan tidak
68
Yunahas Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LIPI, 2007, h. 81, lihat juga Amru Khalid, Tampil Menawan dengan Akhlak Mulia, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008, h. 90.
109
pernah sekali-kali mengkhianati kepercayaan itu.69 Tidak heran jika beliau juga mendapat julukan Al-Ami>n(Terpercaya).70Al-Ami>n(Terpercaya) dalam pengertian yaitu memelihara titipan dan mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. 71 Menurut sejarah, telah tercatat bahwa Muhammad SAW melakukan lawatan bisnis ke luar negeri sebanyak 6 kali diantaranya ke Syam (Suriah), Bahrain, Yordania dan Yaman. Dalam semua lawatan bisnis, Muhammad selalu mendapatkan kesuksesan besar dan tidak pernah mendapatkan kerugian. Lima dari semua lawatan bisnis itu dilakukan oleh beliau atas nama seorang wanita pebisnis terkemuka Makkah yang bernama Khadijah binti Khuwailid. Khadijah yang kelak menjadi istri Muhammad SAW, telah lama mendengar reputasi Muhammad sebagai pebisnis ulung yang jujur dan teguh memegang amanah.Lantaran itulah,
69
Prinsip perdagangan menurut Islam adalah adanya unsur kebebasan dalam melakukan transaksi tukar-menukar, tetapi kegiatan tesebut tetap disertai dengan harapan diperolehnya keridaan Allah SWT, dan melarang terjadinya pemaksaaan Q.S An-nisa [4: 29].Oleh karena itu, agar diperoleh suatu keharmonisan dalam sistem perdagangan, diperlukan suatu “perdagangan yang bermoral”.Rasullulah SAW secara jelas telah banyak memberi contoh tentang sistem perdagangan yang bermoral ini, yaitu perdagangan yang jujur dan adil serta tidak merugikan kedua belah pihak. Sabda Rasullulah Saw, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id mengegaskan: Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, golongan orang-orang jujur, dan golongan para syuhada. Hadis tersebut menunjukkan bahwa dalam setiap transaksi perdagangan diperintahkan untuk lebih mengutamakan kejujuran dan memegang teguh kepercayaan yang diberikan orang lain. Selain itu, dalam setiap transaksi perdagangan dituntut harus bersikap sopan dan bertingkah laku baik sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari: Rahmat Allah atas orang-orang yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli serta ketika ia menjual dan membeli serta ketika membuat keputusan. Lihat Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, Bumi Aksara: Jakarta, 2008, h. 46 dan Thetruthislamicreligion.wordpress.com/2010/03/24/belajar-bisnis-dan-berdagang-caranabi-muhammad-saw/, online 15-04-2013. 70 Muammar Nas, Kedahsyatan Marketing Muhammad.,h. vi. 71 Yunahas Ilyas, Kuliah Akhlak., h. 96.
110
Khadijah lalu merekrut Muhammad sebagai manajer bisnisnya. Kurang lebih selama 20 tahun sebelum diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, Muhammad mengembangkan bisnis khadijah (yang menikahinya pada saat beliau berusia 25 tahun) hingga pada saat pengangkatan kenabian Muhammad adalah bisnis konglomerat.72 Ternyata jauh sebelum para ahli bisnis modern seperti Frederick W. Taylor dan Henry Fayol pada abad ke-19 mengangkat prinsip manajemen sebagai
sebuah
disiplin
ilmu,
ternyata
Rasulullah
SAW
telah
mengimplementasikan nilai-nilai manajemen modern dalam kehidupan dan praktek bisnis yang mendahului masanya. Berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern, Rasulullah SAW telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Seperti dikatakan oleh Aflazul Rahman dalam bukunya “Muhammad: A Trader” bahwa Rasulullah SAW adalah pebisnis yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya mengeluh. Dia sering menjaga janjinya dan menyerahkan barang-barang yang dipesan dengan tepat waktu.Muhammad SAW pun senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi dalam berbisnis. Dengan kata lain, beliau melaksanakan prinsip manajemen bisnis modern yaitu kepuasan pelanggan (customer satisfaction), pelayanan yang unggul (service 72
Ibid.,h. vii.
111
exellence), kemampuan, efisiensi, transparansi (kejujuran), persaingan yang sehat dan kompetitif. Dalam menjalankan bisnis, Muhammad SAW selalu
berbisnis, beliau selalu jujur dalam menjelaskan keunggulan dan kelemahan produk yang dijualnya.Ternyata prinsip transparasi beliau itu menjadi pemasaran yang efektif untuk menarik para pelanggan.Beliau juga mencintai para pelanggannya seperti mencintai dirinya sehingga selalu melayani mereka dengan sepenuh hatinya (melakukan service exellence) dan selalu membuat mereka puas atas layanan beliau (melakukan prinsip customer satisfaction).73 Nabi Muhammad SAW dalam melakukan bisnisnya tidak pernah mengambil margin keuntungan sangat tinggi seperti yang biasa dilakukan para pebisnis lainnya pada masanya.Beliau hanya mengambil margin keuntungan secukupnya saja dalam menjual produknya.Ternyata kiat mengambil margin keuntungan yang dilakukan beliau sangat efektif, semua barang yang dijualnya selalu laku dibeli. Orang-orang lebih suka membeli barang-barang jualan Muhammad daripada pedagang lain karena bisa mendapatkan harga lebih murah dan berkualitas. Dalam hal ini, beliau melakukan prinsip persaingan sehat dan kompetitif yang mendorong bisnis semakin efisien dan efektif.
73
Ibid.,h. viii.
112
Boleh dikatakan Rasulullah SAW adalah pelopor bisnis yang berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang adil dan sehat.Beliau juga tidak segan mensosialisasikan prinsip-prinsip bisnisnya dalam bentuk edukasi dan pernyataan tegas kepada para pebisnis lainnya.Ketika menjadi kepala negara, Rasulullah SAW mentransformasikan prinsip-prinsip bisnisnya menjadi pokok-pokok hukum.Berdasarkan hal itu, beliau melakukan penegakan hukum pada para pebisnis yang nakal.Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan perjanjian.Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan transaksi bisnis yang dibangun atas dasar saling setuju. 74 Pada saat di Mekkah, Rasullulah hanya seorang pemuka agama. Di Madinah, keadaan berubah. Pada waktu yang singkat, beliau telah menjadi pemimpin suatu komunitas yang kecil yang terdiri dari pengikutnya meningkat dari waktu ke waktu.Madinah berkembang cepat dan dalam waktu sepuluh tahun telah menjadi Negara sangat besar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya seluruh jazirah Arab, lengkap dengan aparatur Negara yang jumlahnya sesuai dengan luas dan keadaan pada waktu itu.Sepuluh tahun menjelang wafatnya, Rasullulah telah memimpin seluruh pusat pemerintahan Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam
pemerintahan dan organisasi, membangun institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin. Islam setelah penaklukkan kota Mekkah telah membuang sebagian besar tradisi, ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda-tanda, dan patungpatung dari masa lampau dan memulai yang baru dengan Negara yang bersih. Segala aspek keluarga, komunitas, institusi, dan pemerintahan berubah menuju prosedur-prosedur yang baru, semua peraturan dan regulasi disusun berdasarkan Alquran, dengan memasukkan karakteristik dasar dari Islam, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Salah satu kebiasaan bangsa arab dalam melakukan jual beli yaitu sering melakukan keuntungan berlebih, salah satunya senang jual beli dengan menggunakan sistem riba. Hal ini berlangsung sampai ada pelarangan dari Allah tentang masalah riba yang terdapat dalam Q.S. alBaqarah [2]: 275-281 dan Q.S. ali-Imran [3]: 130. Secara umumnya lagi melarang perniagaan dengan cara yang batil terdapat dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29. Rasullulah SAW merubah sistem ekonomi dan keuangan Negara, sesuai dengan ketentuan Alquran.Dalam Alquran telah dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat manusia.Prinsip Islam yang dapat
114
dijadikan poros adalah bahwa “kekuasaan paling tinggi adalah hanyalah milik Allah SWT.75 b. Pada Masa Sekarang Transaksi bisnis yang berlaku di Indonesia hingga sekarang masih menggunakan aturan-aturan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang peninggalan zaman Hindia Belanda. Memang ada sebagian dari Undang-Undang tersebut mengalami perubahan, tetapi ketentuan itu masih mengacu kepada hukum barat, tidak mengacu kepada ketentuan hukum Islam.Oleh karena ketentuan baik yang lama maupun yang baru masih berdasarkan kepada hukum barat, walaupun ada beberapa bagian disesuaikan dengan hukum adat.76 Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas nama barang, sedangkan pihak lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari pihak yang lain dinamakan membeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus
75
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, pener : Tim IIIT Indonesia, Jakarta: The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2002, h. 22. 76 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah di Indonesia, Bandung: Penerbit Pustaka, 2006, h. 114.
115
cukup tersedia dan tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak milknya kepada pembeli. 77 Menurut hukum perdata barat (BW) yang menganut asas Konsensualitas bahwa suatu transaksi jual beli sudah dilahirkan pada saat tercapainya “kata sepakat” mengenai barang dan harga, karena unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sifat konsensual dari jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 BW yaitu: Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah seketika mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 78 Praktek jual beli di Indonesia masih menerapkan ketentuan hukum barat. Sehubungan dengan itu ketentuan jual beli berdasarkan BW atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 1) Kewajiban penjual a) Menyerahkan hak milik yang dijual Kewajiban menyerahkan hak milk meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. 79BW menganut sistem bahwa perjanjian jua beli hanya
77
Ibid. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 1, Ketentuan-Ketentuan Umum. 1458. (KUH Per. 1340, 1474, 1513; Rv.102). 79 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah di Indonesia., h. 115 78
116
obligatoir80 saja.Perjanjian dalam jual beli menurut BW ini belum memindahkan hak milik, adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya “levering” atau penyerahan. Dalam hal levering (penyerahan) berlaku ketentuan sebagai berikut: Pasal 1476 biaya penyerahan diikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebelumnya. 81 Pasal 1482 kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap,beserta surat-surat bukti milik jika itu ada.82 b) Kewajiban menanggung kenikmatan tenteram dan Cacat-cacat tersembunyi. Kewajiban
untuk
menanggung
kenikmatan
tenteram
merupakan konsekuensi dari para jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak.
80
Artinya bahwa perjnajian jual beli itu meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan di sebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan hak untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. 81 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 2, Kewajiban-kewajiban. 1476. (KUHPer. 1466, 1495.). 82 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 2, Kewajiban-kewajiban. 1482. (KUHPer. 507, 584, 588, 612 dst., 1235 dst., 1338 dst., 1481, 1533.).
117
Mengenai penanggungan ini ada ketentuan yang perlu diiperhatikan oleh pembei, yaitu pasal 1503: Penanggungan terhadap penghukuman menyerahkan barangnya kepada seseorang lain berhenti jika si pembeli telah membiarkan dirinya dihukum menurut suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak memanggil si penjual, sedangkan pihak ini membuktikan bahwa ada alasan-alasan yang cukup untuk menolak gugatan.83 Mengenai
kewajiban
tersembunyi dapat
untuk
diterangkan
menanggung
bahwa si
cacat-cacat
penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat tersebut, ia sama sekali tidak akan membelinya selain dengan harta yang kurang. Si penjual diwajibkan menaggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun ia tidak mengetahui adanya cacat-cacat tersebut kecuali jika ia dalam hal yang demikian telah diminta perjanjian bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesesuatu apapun.84
2) Kewajiban-kewajiban pembeli Kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian pada
83
waktu
dan
tempat
sebagaimana
ditetapkan
menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 2, Kewajiban-kewajiban. 1503. (KUHPer. 1496, 1865; Rv. 70c.). 84 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah di Indonesia., h. 117.
118
perjanjian.Harga harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seseorang pihak ketiga.Dalam hal demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian. 85 Jika pembeli tidak membayar harta pembelian maka itu merupakan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada si penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatan pembelian menurut pasal 1266 dan 1276.86 3) Resiko dalam Perjanjian Jual Beli Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian atau peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak.Peristiwa ini dalam hukum perjanjian dinamakan dengan “keadaan memaksa” (overmach, Force Majeur). Mengenai resiko dalam jual beli menurut BW ada tiga peraturan, yaitu: a) Mengenai barang tertentu (pasal 1460 BW) Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. 87
85
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 1, Ketentuan-Ketentuan Umum. 1465. (KUH Per. 1458, 1634.). 86 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah di Indonesia., h. 117. 87 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 1, Ketentuan-Ketentuan Umum. 1460. (KUHPerd. 1237, 1266, 1444, 1462, 1481, 1513.)
119
b) Mengenai Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran (pasal 1461 BW). Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah atau ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan si penjual sampai ditimbang, dihitung atau diukur.88 c) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462 BW). Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur.89. 2. Pentingnya Prinsip Tara>d}in pada akad Jual Beli Allah melarang jual beli yang batil seperti jual beli najasyi atau praktek menimbun barang dagangan adalah supaya tidak terjadinya distorsi pasar.Sebagaimana yang dikatakan oleh Adiwarman rekayasa penawaran (false supply) lebih dikenal sebagai ihtika>r (menimbun) dan rekayasa permintaan (false demand) lebih dikenal sebagai bai najasyi.Distorsi pasar ini menggangu berjalannya mekanisme pasar secara alamiah.Hal ini mendzalimi salah satu pihak yang bertransaksi, karena itu Islam mengharamkannya.90 Prinsip keridaan dalam KHES diartikan dengan kesepakatan.Dalam pasal 59 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dijelaskan bahwa kesepakatan dalam jual beli dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat. Ketiganya 88
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 1, Ketentuan-Ketentuan Umum. 1461. 89 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab V – Jual Beli, Bagian 1, Ketentuan-Ketentuan Umum. 1462. (KUHPerd. 1460.) 90 Ibid.,h. 266.
120
memilki hukum yang sama. Dalam jual beli tetap berlaku khiya>r. 91 Hal ini disyariatkan agar tidak terjadi unsur menzalimi dan menerapkan prinsip jual beli harus suka sama suka (rida). Prinsip suka sama suka dalam jual beli, secara implisit mengandung larangan jual beli secara paksa. Dalam diskursus fiqh ada beberapa bentuk jual beli secara paksa, di antaranya ba’y al-hasa, ba’y al-muna>bazah dan almula>samah.92 Menurut Pasal 29 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dijelaskan bahwa akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur g{ala>t} atau khila>f, dilakukan di bawah ikra>h atau paksaan, tag{rib atau tipuan, dan gubn atau penyamaran. Salah satu ciri yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis maupun sosialis adalah adanya aturan syarak seperti halal dan haram.Jual beli dalam Islam harus memperhatikan aspek syar’i dan tidak syari’nya jual beli. Ketika seorang pedagang atau penjual menjual barangnya, maka ia harus memperhatikan apakah barang yang dijualnya termasuk barang 91
Khiyar menurut Pasal 20 Ayat 8 KHES yaitu hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatakan akad jual beli yang dilakukan.Khiyar terbagi menjadi tiga macam, yaitu khiyar majelis yaitu tempat transaksi, khiyar syarat yaitu kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan khiyar dalam waktu tertentu, dan khiyar ‘aib yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat paa barang yang mengurangi harganya. Lihat Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: Refika Utama, 2011, h. 206. 92 Ba’y al-hasa adalah seseorang melemparkan batu pada sejumlah barang dan barang yang terkena batu wajib dibeli, ba’y al-munabazah adalah seseorang melempar bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga melemparkan bajunya kepadanya, maka antara keduanya wajib terjadi jual beli meskipun pebeli tidak tahu kualitas barang tersebut dan al-mulasamah adalah jika seseorang menyentuh suatu barang, maka barang itu wajib dibelinya meskipun barang itu tidak disukainya.
121
yang boleh diperjual belikan atau tidak diperbolehkan untuk dijual dengan niatan yang baik atau iktikad baik. Jual beli harus berdasarkan saling rela (‘an tara>d}in), dalam Q.S anNisa [4]: 29 secara tekstual dan konstektual keridaan itu haruslah ada iktikad baik didalamnya dan kesepakatan di antara dua belah pihak dengan melakukan ijab Kabul dan khiyar menurut ketentuan syariat yang ada supaya benar-benar tercipta suatu keridaan. Lebih lanjut menurut Aji Haqqi sebagaimana yang dikutip oleh Adiwarman dalam konsep Islam pertemuan antara kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran harus terjadi rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa atau tertipu atau adanya kekeliruan objek transaksi. Keadaan rela sama rela ini merupakan kebalikan dari keadaan aniaya, yaitu keadaan di salah satu pihak senang di atas kesedihan pihak lain. 93 Menurut Akram Khan sebagaimana yang dikutip oleh Adiwarman, dengan demikian, Islam menjamin pasar bebas dimana peran pembeli dan para penjual bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar94. Konsep diatas merupakan situasi ideal perdagangan atau jual beli dimana tidak ada pihak yang didzalimi atau dirugikan baik itu individu
93 94
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007,h. 152. Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, h. 264
122
maupun masyarakat.Ini adalah salah satu tujuan mengapa disyariatkannya jual beli berlandaskan keridaan dan dilarangnya jual beli yang batil. 3. Penerapan Prinsip Tara>d}in pada Akad Jual Beli Transaksi jual beli pada masa sebelum Rasullulah banyak dilakukan praktik kecurangan, sering mencari keuntungan berlebih, berbeda dengan diri Rasullulah yang ketika beliau melakukan kegiatan transaksi perdagangan sudah banyak memberikan contoh suri teladan yang baik dengan kejujuran beliau dalam berdagang. Sifat-sifat arab jahiliyah inipun dirubah total oleh Nabi Muhammad SAW setelah penaklukkan kota makkah atau fath alMakkah atau Islam sudah benar-benar diterima oleh penduduk Arab. Nabi Muhammad SAW banyak memberikan fatwa hukum termasuk dalam bidang muamalah khususnya jual beli, dengan turunnya ayat pelarangan riba maupun ayat tentang perniagaan yang batil kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka yang sudah banyak dicontohkan oleh Rasullulah SAW, yaitu jual beli yang sesuai dengan tuntunan yang ada dalam Alquran dan Hadis. Perdagangan yang dicontohkan oleh Rasullulah SAW yaitu perdagangan yang jujur dan adil serta tidak merugikan kedua belah pihak, melarang terjadinya pemaksaan. Menurut H. Hasan Edi bahwa dalam jual beli baik sebagai penjual, maupun sebagai pembeli, haruslah memiliki budi yang mulia, sehingga barang dagangan menjadi laris, dan semua mitra dagang senang, adapun budi mulia sebagai penjual adalah sopan santun, berlaku jujur, tidak suka menimbun,
123
Sadar mengeluarkan harta zakat, menjauhi kecurangan dalam menakar dan menimbang, Sadar sepenuhnya bahwa menjadi pelaku ekonomi sebagai penjual adalah mulia. 95 Sementara pada zaman sekarang khususnya di Indonesia terkait masalah jual beli menerapkan sistem yang ada pada peninggalan pada zaman hindia belanda, sistem ini menggunakan aturan yang ada pada Kitab Undangundang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang masih berlaku pada jaman sekarang yang diterapkan dalam hukum perikatan. Perjanjian jual beli dalam hukum perikatan itu hanya sebatas timbal balik antara menjual dan membeli dengan aturan yang mengikat. Konsep tara>d}inpadaakad jual beli relevan dengan konsep maslahah atau maqa>s}id asy syariahsebagaimana uraian di atas, terkait masalah menjaga agama (li h}ifdz al din), jiwa manusia (li h}ifdz an nafs), akal (li h}ifdz al ‘akl), keturunan (li h}ifdz al nasl) dan menjaga kekayaan atau harta material (li h}ifdz al ma>l). Untuk konsep tara>d}in ini lebih dekat kepada yang terakhir yaitu menjaga kekayaan atau harta material (li h}ifdz al ma>l). Hal ini diperkuat oleh pendapat Hamka dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiqy bahwa tara>d}in ini tentang peredaran harta. Hamka berpendapat dengan jalan perniagaan itu beredarlah harta kamu, pindah dari satu tangan kepada tangan yang lain dalam garis yang teratur. Pokok utamanya ialah rida, suka sama suka dalam garis yang halal. 95
H. Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam, Bandung: Alfabeta, 2007, h.61.
124
Menurut Teugku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy cara harta benda itu dengan jalan perniagaan (bisnis) yang ditegakkan atas dasar kerelaan di antara kedua belah pihak atau lebih. Lebih lanjut beliau memberikan pengertian bahwa jual beli dilakukan atas dasar persetujuan bersama oleh kedua belah pihak atau lebih, jual beli itu bukanlah hal yang abadi karena itu jangan sampai melupakan urusan akhirat mencari keuntungan dengan jual beli yang diperbolehkan, dengan cara yang benar dan tidak merugikan pihak lain. 96 Menurut Abdul Rahman Ghazaly bahwa harta itu segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dan dapat dimanfaatkan.Juga segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya. Berdasarkan analisis penulis di atas, penerapan tara>d}in dengan melakukan iktikad baik dengan tidak melanggar aturan syara dan juga tercapainya kata sepakat yang tidak merugikan kedua belah pihak juga terkait juga masalah menjaga harta dalam konsep maslahah. Harta merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini.Oleh karena itu Allah SWT, memerintahkan manusia supaya berusaha mencari
96
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Masjid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 636.
125
harta. Usaha mencari harta adalah dengan cara yang halal yang sesuai aturan syariat. Menjaga harta antara penjual dan pembeli, sebagai penjual pentingnya untuk selalu memaksimalkan kepuasaan konsumen terhadap harta yang dijualnya.Seperti yang dicontohkan nabi Muhammad SAW tentang kepuasaan konsumen yaitu pelayanan yang unggul (service excellence), kemampuan, efisiensi, transparansi (kejujuran), persaingan yang sehat dan kompetitif. 97 Berdasarkan analisis penulis
melalui pendekatan tafsir
dan
pendekatan hukum ekonomi Islam, penerapan prinsip tara>d}in pada akad jual beli adalah penyesuaian tehadap hukum ekonomi Islam, sehingga prinsip tara>d}in pada akad jual beli diterapkan berdasarkan hukum perikatan atau hukum perjanjian secara perdata. Akad jual beli dijamin kepastiannya melalui kepastian hukum yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam agama, khususnya kerelaan atas dasar suka sama suka dengan iktikad baik dengan kesepakatan jual beli yang tidak melanggar aturan hukum yang berlaku. Penerapan prinsip tara>d}inpada akad jual beli merupakan refleksi nilai-nilai ilahi dalam transaksi ekonomi pada akad jual beli yang telah dicontohkan nabi Muhammad SAW. Keberlakuan prinsiptara>d}in diakui secara hukum pada
97
Ketika sedang berbisnis, Nabi selalu jujur dalam menjelaskan keunggulan dan kelemahan produk yang dijualnya.Ternyata prinsip transparasi beliau itu menjadi pemasaran yang efektif untuk menarik para pelanggan.Beliau juga mencintai para pelanggannya seperti mencintai dirinya sehingga selalu melayani mereka dengan sepenuh hatinya (melakukan service exellence) dan selalu membuat mereka puas atas layanan beliau (melakukan prinsip customer satisfaction).Lihat Muammar Nas, Kedahsyatan Marketing Muhammad., h. viii.
126
akad jual beli yang melahirkan kesepakatan dengan berdasarkan iktikad baik, namun pada kenyataannya di masyarakat prinsip tara>d}in akad jual beli hanya dipahami sebagai kesepakatan dalam konteks etika bisnis, sehingga secara konkret dalam Q.S. an-Nisa [4]: 29 membantah adanya kesepakatan jual beli yang dianggap hanya menitik beratkan kesepakatan sebagai formalitas dalam transaksi jual beli. Jual beli yang berlandaskan asas rida yang berlaku di zaman sekarang belum mengenai substansi dari Q.S. an-Nisa [4]: 29, karena terkikis formalitas transaksi jual beli masyarakat yang menitikberatkan keuntungan materi. Padahal jual beli yang seharusnya menurut Q.S. an-Nisa [4]: 29 adalah mengutamakan aspek saling rela berdasarkan prinsip tara>d}in yang berlaku bagi pelaku ekonomi. Sebagai umat Islam yang melakukan transaksi, baik sebagai penjual dan pembeli penting untuk memperhatikan aspek ini agar jual beli yang dilaksanakan benar-benar menunjukkan keridaan di antara kedua belah pihak yang tidak terikat oleh waktu saling berkelanjutan, yang berujung kepada mencari keridaan Allah SWT dalam menjalankan aktivitas di dunia maupun di akhirat.