BAB IV KESIMPULAN Tari Bongkel adalah komposisi tari kerakyatan duet berpasangan sebagai bentuk ekspresi pergaulan muda-mudi dan hiburan bagi masyarakat Banyumas. Sebagai bentuk koreografi tari duet berpasangan, tarian ini menceritakan tentang sepasang muda-mudi yang asyik bercanda sambil menikmati indahnya bulan purnama, sehingga tariannya sendiri berkarakter romantik dan riang gembira. Tari Bongkel diciptakan oleh Supriyadi pada tahun 1986. Tari ini terinspirasi dari instrumen Angklung Bongkel yang terdapat di Desa Gerduri Kecamatan Purwajati Banyumas. Alat ini dimainkan dengan cara digoyang bilah bambunya. Penari putra dan putri merepresentasikan pemain Angklung Bongkel dan instrumen Angklung Bongel yang bergoyang karena dimainkan. Estetika merupakan cerapan indra kemudian penikmat melakukan persepsi atas tarian tersebut. Estetika dipandang tidak hanya dari teks tari yang terbaca namun juga konteks yang berada dibalik tarian tersebut. Keindahan suatu benda seni dapat berbeda antara satu orang dengan yang lain, maka pada tulisan ini keindahan yang dianalisis berdasarkan latar belakang pengetahuan, budaya, dan bekal estetis Supriyadi sebagai koreografer tari Bongkel. Tari Bongkel, dicerap oleh penonton dari penglihatan dan pendengaran. Hayes telah memaparkan dengan prinsip-prinsip dari bentuk seni untuk dapat dilihat estetikanya. Bentuk menjadi komponen pertama yang dilihat oleh penonton.
94
Tari Bongkel yang ekspresif dan dinamis memudahkan penonton untuk menangkap kegembiraan, sendau gurau, gecul, dan ramai (gayeng). Segi visual yang ditangkap dari gerak-gerak tari dan busana yang disajikan telah memunculkan ekspresi kewes (putri) dan gecul (putra), meskipun masing-masing orang memiliki pembawaan pribadi yang akan membedakan penjiwaan dan cara menyikapi kedua ekspresi tersebut. Iringan tari dari gendhing Banyumasan yakni Surung Dayung dengan senggakan khasnya juga memiliki peran penting dalam membangun suasana dan ekspresi yang tertuang dalam karya ini. Supriyadi menggunakan idiom-idiom budaya Banyumas dalam sebagai ide penciptaan tari Bongkel ini. Karakter dan watak orang Banyumas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan hadir untuk „menghidupkan‟ jiwa tarian ini agar tidak menjadi teba gerak yang „mati‟. Budaya Banyumas tercermin dalam tari ini baik dari akulturasi budaya, gaya, perilaku, karakteristik orang banyumas, dan busananya. Bentuk, ekspresi, dan latar budaya yang ada dalam tari Bongkel saling terkait satu sama lain. Bentuk tari Bongkel sebagai hal yang pertama kali ditangkap oleh penonton mengantarkan untuk melihat ekspresi dan latar belakang penciptaan karya ini. Tari Bongkel yang ekspresif dan dinamis merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat Banyumas. Koreografer yang merupakan putra daerah Banyumas dengan bekal pengetahuan akademis dan pengalaman estetisnya melahirkan bentuk tari gaya Banyumas, salah satunya tertuang dalam tari Bongkel. Aspek pandang dengar, ekspresi, dan cerminan karakteristik masyarakat
95
Banyumas menjadi fokus yang dilihat untuk menemukan estetika yang terdapat dalam tarian ini. Tari Bongkel, objek kajian yang dipilih sebagai sample tari Banyumasan karya Supriyadi yang lain, tari ini memiliki rasa gerak „ke atas‟ seperti ketika gerak encot memiliki penekanan ke atas seolah-olah ada tali imajiner yang menariknya. Konsep yang membangun nilai estetisnya adalah cablaka, blaka suta, dan glogog seog ketiganya memiliki arti yang sama sehingga menjadi ungkapan hiperbolis untuk menyatakan sifat yang sangat terus terang tanpa tedheng alingaling (tanpa ada sesuatu yang menghalangi atau menutupi). Luget dan mbleketaket dimaknai sebagai kental dan mengasyikkan, seperti ketika mendengar orang Banyumas berbicara dalam dialek Banyumas terdengar gemluthuk akibat penekanan pada sistem glotal, begitu pula yang tercermin di dalam tariannya. Ngombak beled adalah istilah yang dipakai Supriyadi untuk mengungkapkan bahwa tarian itu bergulung seperti ombak dalam lumpur yang mengalir namun kental. Tari ini dianggap indah dan baik apabila memenuhi konsep tersebut. Tari gaya Banyumas hingga saat ini belum menemukan pakem dan aturan yang pasti, berbeda dengan gendhing Banyumas yang telah memiliki ciri khusus dan matang. Koreografer melakukan interpretasinya masing-masing dalam menyikapi gaya tersebut. Belum ada penelitian yang dilakukan mengenai bagaimana tari gaya Banyumasan itu. Hal ini akan menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya mengenai estetika tari gaya Banyumas.
96
SUMBER ACUAN
A. Sumber Tercetak Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djelantik,AAM. 1999. Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung. Hayes, Elizabeth R. 1955. Dance Composition and Production, New York, The Ronald Press Company. Hadi, Y. Sumandiyo. 1996. Aspek-Aspek Dasar Koreografi Kelompok, Yogyakarta: Manthili. ___________________. 2007. Kajian Tari Teks dan Konteks. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher. ___________________. 2011. Koreografi: Bentuk, Teknik, Isi. Yogyakarta: Cipta Media. Haviland, William A. 1985. Antropology 4th Edition. CBS College Publishing. terj. Penerbit Erlangga. 1999. Antropologi edisi keempat jilid 1. _________________. 1985. Antropology 4th Edition. CBS College Publishing. terj. Penerbit Erlangga. 1999. Antropologi edisi keempat jilid 2. Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta: LkiS. Jazuli, M. 2001. Paradigma Seni Pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tri, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta: Yayasan Lentera Budaya. Kawruh Rasa Sejati. 1999. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka. Kresna, Ardian. 2010. Semar dan Togog Yin Yang dalam Budaya Jawa. Jakarta: PT Suka Buku. Langer, Suzanne K. 1956. Problem of Arts. terj. FX Widaryanto. 2006. Problematika Seni. Bandung: Sunan Ambu Press.
97
Martono, Hendro. 2008. Sekelumit Ruang Pentas Modern dan Tradisi. Yogyakarta: Cipta Media. MD, Slamet dan Supriyadi PW. 2007. Begalan Seni Tradisi Upacara Penganten Masyarakat Banyumas. Surakarta: ISI Press. Morris, Desmond. 1977. Manwatching A Field Guide to Human Behavior. Harry N. Abrams, Inc, New York. Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Parmono, Kartini. 2008. Horizon Estetika. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM dan Penerbit Lima. Poerwadarminta, W.J.S., 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Prasetyo, Anindito. 2010. Batik: Karya Agung Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta: Pura Pustaka. Ramelan, Tumbu, dkk. 2010. The 20th Century Batik Masterpieces. KR Communication. Ratna, I Nyoman. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo. Sastroatmodjo, Suryanto. 2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Sedyawati, Edi. 2014. Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor, sampai Industri Budaya. Yogyakarta: Komunitas Bambu. Semiaji, Trubus. 2007. Dwi Karsa. Pertanggungjawaban Tertulis Penciptaan Seni untuk Mencapai Derajat Magister bidang Seni, Minat Utama Musik Nusantara. Yogyakarta: Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia. Smith, Jacqluine. 1985. Dance Composition: a Practical Guide for Teachers. London: A & Black terj. Ben Suharto. Komposisi Tari : Petunjuk Praktis Bagi Guru. Soedarsono ed., 1976. Mengenal Tari-tarian Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia. Stockdale, John Joseph. Island of Java. terj. progresif book, Eksotisme Jawa: Eksotisme Sejarah Pulau Jawa. 2010. Yogyakarta: Progresif Book.
98
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB. _____________. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. Sumarsam. 2003. Gamelan Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumaryono. 2011. Antropologi Tari dalam perspektif Indonesia, Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta Sutrisno, Mudji. 2006. Oase Estetis : Estetika dalam Kata dan Sketza. Yogyakarta: Kanisius. Waluyo, Kuat. 1993. Gambangan Calung Ki Namiardja dalam Penggarapan Gending-Gending Banyumasan. Tugas Akhir Program Studi S-1 Karawitan Jurusan Seni Karawitan Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. B. e-Journal Chappell, Kerry, etc. 2009. “Dance Partners for Creativity: Choreographing Space for Co-partisipative Research into Creativity and Partnership in Dance Education”. Research in Dance Education, 10:3, p 177-197. Cooper, Nancy I. 2004. “Tohari‟s Trilogy : Passages of Power and Time in Java”. Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 35, No.3 (Oct.,2004) pp 531-556. Published by Cambridge University Press on behalf of Department of History, National University of Singapore. Lysloff, Rene TA. Autumn, 2001 – Winter, 2002. “Rural Javanese „Tradition‟ and Erotic Subversion : Female Dance Performance in Banyumas (Central Java)”. Asian Music, Vol. 33, no.1. Published by University of Texas Press. Sparshott, Francis. 1993. “The Future of Dance Aesthetics”. The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 51, No.2. p. 227-234. Published by Wiley and American Society for Aesthetics.
C. Webtografi http:/wikipedia.org/karesidenan-banyumas diakses pada 25 November 2013, pukul 15.20 WIB http://kbbi.web.id/karakteristik diakses pada 21 April 2015, pukul 12.25 www.jatengprov.go.id/id/newsroom/pakaian-adat-cerminkan-cinta-budaya diakses pada 22 April 2015, pukul 10.15 WIB.
99
D. Narasumber Nama : Drs. Supriyadi PW M.Sn Umur : 68 tahun Sebagai koreografer tari Bongkel Informan : 1. Endang Tri Wijayati, 64 tahun, penata rias busana dan penari 2. Sentot Sudiharto, 70 tahun, Kepala Laboratorium Tari Direktorat Kesenian Jakarta periode 1974-1998 3. FX. Widaryanto, 65 tahun, Seniman, Penerjemah buku Problematika Seni 4. Suwarno, 68 tahun, mantan staf pengajar SMKI Banyumas 5. Atmono, 55 tahun, mantan staf pengajar SMKI Banyumas dan pegawai Dinas Kebudayaan Banyumas 6. Narsih, 54 tahun, penari Lengger Banyumas 7. Ida Sulistyarini, 45 tahun, pengampu mata pelajaran tari Banyumas di SMKN 3 Banyumas 8. Yuli Fitriani, 40 tahun, pengampu mata pelajaran tari Banyumas di SMKN 3 Banyumas
100