63
BAB IV KEBIJAKAN EKONOMI PROGRAM BENTENG TAHUN 1950-1957
4.1 Latar Belakang Program Benteng Suatu negara yang merdeka harus mempunyai bagian yang terpenting dalam perekonomian negerinya sendiri, meskipun tidak berarti harus menguasai seluruhnya. Jadi bukan suatu hal yang mengherankan apabila di negara-negara yang baru bebas dari kekuasaan kolonial mempunyai suatu tujuan yang kuat untuk menguasai ekonomi bangsanya. Pembentukan ekonomi nasional merupakan syarat mutlak bagi pembangunan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Ekonomi nasional mempunyai fungsi yang mengabdi kepada masyarakat dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Sebagaimana tercermin pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Keberhasilan pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan politik mendorong pemerintah untuk menciptakan sistem ekonomi nasional dengan cara mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi nasional
adalah perekonomian suatu negara yang
dikuasai oleh warga negaranya sendiri (Gunadi, 1985: 326). Sementara itu, Oey (t.t.:
64
132) menggambarkan ekonomi nasional sebagai sistem ekonomi yang menunjukkan siapa yang memegang kekuasaan dan peranan utama dalam penyelenggaraan aktivitas ekonomi, dan seiring dengan itu, bagaimana dan kepada siapa saja “kueh nasional terutama dibagikan”. Ketika kemerdekaaan telah dicapai bangsa Indonesia, perekonomian bangsa ini pada dasarnya masih bercorak kolonial, yaitu bahwa perekonomian bangsa Indonesia masih dikuasai oleh orang-orang asing. Hinggins (Thee, 2004: 41) menggambarkan bahwa. Sebagian sektor besar modern Indonesia (perkebunan, pertambangan, industri padat modal, jasa modern seperti perbankan dan perdagangan besar serta jasa pelayanan publik seperti listrik, air, gas, komunikasi, dan transportasi masih dimiliki atau dikuasai oleh Belanda. Selain itu, banyak jabatan senior dan pentingnya dalam birokrasi diduduki oleh orang Belanda, misalnya jabatan Bank Java (Javasche Bank) dan kepala direktorat dewan pengendalian devisa. Hal di atas merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia, melihat keadaan tersebut tidak mengherankan bila aspirasi utama nasionalisme ekonomi Indonesia adalah merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, dimana orang pribumi menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Pemerintah Belanda mengarahkan dan membentuk masyarakat pribumi untuk terjun dalam birokrasi pemerintahan atau menjadi pegawai, disamping menjadi petani, buruh, nelayan, dan pedagang eceran. Pemerintah Belanda sengaja tidak membentuk golongan pengusaha pribumi yang tangguh di kalangan masyarakat pribumi, karena apabila terbentuk golongan pengusaha pribumi yang tangguh berarti masyarakat pribumi memperoleh
65
suatu kekuatan ekonomi. Hal tersebut merupakan suatu ancaman bagi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang Belanda mengendalikan sektor perdagangan besar dan orangorang non pribumi menguasai kegiatan perdagangan dalam negeri sementara masyarakat pribumi hanya menjadi kelas ekonomi paling rendah. Politik kolonial di bidang ekonomi telah mendorong orang-orang non pribumi untuk bergerak lebih mudah di bidang perdagangan, karena mereka mendapat perlindungan dari pemerintah kolonial. Hal tersebut dilakukan pemerintah kolonial karena di antara keduanya ada saling ketergantungan, yaitu pengusaha non pribumi diperlukan oleh Belanda dan pengusaha non pribumi pun memerlukan kekuasaan Belanda. Dalam hal ini para pengusaha non pribumi merupakan agen pemasaran dan agen pembelian yang sangat diperlukan oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Fungsi dari para pengusaha non pribumi untuk perusahaan-perusahaan Belanda adalah pertama, mereka merupakan jaringan dagang yang dibutuhkan untuk memasarkan barang jadi yang diimpor dari luar negeri ke daerah-daerah pedalaman. Kedua, mereka adalah pengumpul barang hasil bumi penduduk untuk selanjutnya mengangkut dan dan menyalurkannya ke gudang-gudang pusat penimbunan yang dimiliki perusahaanperusahaan Belanda. Sejalan dengan yang diungkapkan Booth (1988: 446) bahwa, “pengusaha-pengusaha lokal hampir seluruhnya orang-orang Cina dan bukan orangorang Indonesia”. Pemerintah Belanda menerapkan sistem perekonomian yang didasarkan pada “ekonomi ekspor” yaitu dengan menggalakan dan meningkatkan produksi komoditi-
66
komoditi pertanian untuk diperdagangkan di pasar dunia. Hal ini didasarkan atas sektor perkebunan yang merupakan aspek terpenting dalam ekonomi Indonesia pada masa penjajahan (Booth, 1988: 147). Sementara itu untuk pasaran di dalam negeri diabaikan karena tidak mendapat keuntungan yang besar. Struktur perekonomian Indonesia menjadi tidak berimbang, karena tidak diimbangi dengan pengembangan di sektor industri. Hal ini dikarenakan Belanda merupakan sebuah negara agraris dan bukan negara industri, dengan demikian dalam menjalankan kebijakan ekonomi di negara jajahannya pemerintah Belanda tidak memajukan industrialisasi. Barang-barang hasil industri yang dibutuhkan untuk kebutuhan dalam negeri dapat dengan mudah diimpor dari luar negeri, yaitu dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara Asia. Hal ini mengakibatkan tidak terkendalinya impor karena para pengusaha perkebunan besar lebih senang mengimpor barang-barang industri yang dibutuhkannya. Sebagai akibatnya adalah pertumbuhan industri di dalam negeri yang masih kecil dan tidak mendapat perlindungan menjadi terhambat. Tahun 1930 pemerintah Belanda melakukan pengembangan usaha pada sektor industri. Sebagian besar perusahan industri tersebut lebih banyak berkonsentrasi pada kegiatan pengolahan bahan pangan, tenunan, industri kimia, besi dan bangunan (Djojohadikusumo, 2007: 137). Tujuan dari pembangunan industri tersebut adalah untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat pribumi yang bertambah banyak, mengurangi ketergantungan Indonesia pada barang-barang hasil industri luar negeri. Tetapi usaha pemerintah Belanda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
67
pribumi melalui industri tidak berkembang dengan baik. Akibatnya adalah sebagian besar dari rakyat di Indonesia nafkah penghidupannya tetap tergantung pada pertanian dan perkebunan. Sebab-sebab kegagalan pengembangan industri di Indonesia menurut Wirodihardjo (1956: 183-184), antara lain adalah. 1. Politik kolonial di waktu jang lampau menghambat bagi industri keradjinan. 2. Pemupukan modal rakjat sangat kurang, rakjat Indonesia pada umumnja tidak dapat menjimpan dan menabung bahkan seringkali mengadakan utang untuk konsumsi. 3. Berhubungan dengan beberapa hal maka di waktu-waktu jang lampau sebagian besar dari orang terpeladjar lebih suka mendjadi pegawai dalam lingkungan administrasi. 4. Dilapangan keradjinan pengusaha-pengusaha dan tukang-tukang pada umumnja hidup sangat sederhana. Keahlian teknis sangat mengecewakan, meskipun bangsa Indonesia dengan mudah dapat menjesuaikan diri dengan keahlian di lapangan tehnik. 5. Terutama industrialisasi tidak dapat berkembang karena investasi modal disalurkan kepada perkebunan, berhubung dengan kebutuhan dunia atas bahanbahan mentah ini di waktu jang lampau. Maka oleh sebab itu dapat dimengerti bahwa kesempatan untuk memperluas industrialisasi di Indonesia pada waktu tersebut sangat sulit sekali. Faktor-faktor di atas merupakan penghambat pertumbuhan industri di Indonesia. Politik pemerintah kolonial yang menghambat pada kemajuan masyarakat serta keterbatasan kemampuan dalam masyarakat menjadi faktor utama yang menghambat industrialisasi di Indonesia. Namun tidak semua industrialisasi yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial mengalami kegagalan, ada beberapa sektor industri yang dapat berkembang dan bertahan. Mengenai industri di Indonesia Sitsen (Burger, 1970: 190-191) membagi sektor industri menjadi tiga golongan, antara lain adalah.
68
1. Industri rumah (ottage industry) jang diusahan oleh penduduk desa dalam waktu luang sebagai pekerdjaan sambilan disamping pertanian, dengan maksud untuk menghasilkan keperluan sendiri atau untuk didjual. 2. Industri ketjil (small scale industry) jang dikerdjakan sebagai usaha pokok dengan memakai kerdja tangan atau perusahaan ketjil jang memiliki pekerdja tidak lebih dari pada 50 orang dalam perusahaannja dan biasanja menggunakan tenaga mesin. 3. Industri pabrik jaitu perusahaan jang tidak termasuk dalam kategori industri 1 dan 2, perusahaan ini memakai tenaga mesin dan mempunjai lebih dari 50 orang pekerdja dalam setiap perusahaannja. Dua jenis industri pertama yaitu industri rumah dan industri kecil hampir seluruhnya dijalankan oleh masyarakat pribumi. Akan tetapi ada beberapa masyarakat non pribumi yang juga bergerak dalam industri-industri tersebut. Sedangkan untuk industri pabrik umumnya mereka dimiliki dan dijalankan oleh orang-orang barat. Berakhirnya pendudukan Belanda yang digantikan dengan pendudukan Jepang tidak membawa perbaikan bagi masyarakat pribumi. Kesempatan yang diberikan kepada masyarakat pribumi untuk bergerak dalam sektor industri dan perdagangan pada masa tersebut sangat terbatas. Kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia mendorong bangsa ini untuk menjadi tuan di negerinya sendiri dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya menjadi tuan di bidang politik saja tetapi juga di bidang ekonomi. Kemerdekaan bangsa haruslah memberikan jalan bagi bangsa Indonesia untuk memajukan ekonomi bangsanya sehingga bangsa Indonesia mempunyai peranan yang penting dalam membangun ekonomi negaranya. Untuk menjadi suatu bangsa yang kuat tidak hanya harus memiliki tentara yang kuat, tetapi juga harus memiliki para pengusaha yaitu golongan pengusaha pribumi sebagai salah satu pelaku dan pelaksana ekonomi yang kuat bagi negara. Tentara nasional yang kuat tidaklah akan banyak berarti apabila
69
perekonomian bangsa berada di bawah kendali bangsa lain. Ekonomi suatu bangsa akan berkembang dan maju jika bangsa tersebut memiliki golongan pengusahapengusaha yang tangguh. Dalam menumbuhkan dan menciptakan golongan pengusaha pribumi merupakan tugas dan kewajiban pemerintah Republik Indonesia, dan diharapkan pertumbuhan serta
perkembangan golongan pengusaha pribumi dapat bersaing
dengan golongan pengusaha lain (pengusaha-pengusaha asing). Meskipun kedaulatan bangsa dan negara telah diakui sebagai hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) 1949 tetapi perekonomian Indonesia masih berada di bawah perusahaan-perusahaan milik Belanda. Isi KMB yang berlangsung pada tahun 1949 lebih banyak menguntungkan kepentingan modal swasta Belanda tetapi terpaksa diterima karena posisi ekonomi Indonesia pada waktu itu masih lemah (Moedjanto, 1988: 7). Selain itu KMB juga sangat merugikan Republik Indonesia dalam bidang ekonomi, yaitu pengambil alihan utang luar negeri pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. Hasil KMB menjadi suatu dilema bagi Republik Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka dimana sebagian besar pendapatan negara tergantung pada kegiatan modal asing dengan menarik pajak, bea, cukai dan devisa dari perusahaan-perusahaan asing tersebut. Akan tetapi pasal-pasal finec dalam KMB dengan syarat-syarat tertentu memberikan izin nasionalisasi lembaga dan perusahaan ekonomi tertentu oleh pemerintah Indonesia. Selain itu pemerintah Indonesia mempunyai hak membuat peraturan-peraturan untuk melindungi kepentingan-kepentingan nasional dan
70
melindungi golongan ekonomi lemah. Golongan ekonomi lemah biasa diidentikkan dengan masyarakat pribumi, meskipun ada beberapa orang pribumi yang ekonominya kuat. Program untuk mengembangkan golongan pengusaha pribumi Indonesia adalah Program Benteng yang dicanangkan oleh Ir. Djuanda sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan merupakan pemimpin delegasi Indonesia dalam panitia urusan keuangan dan ekonomi KMB, pada bulan April 1950. Program Benteng merupakan sebuah kebijakan ekonomi untuk melindungi dan membantu pertumbuhan golongan pengusaha pribumi.
4.2 Pelaksanaan Program Benteng Program Benteng dilaksanakan sebagai kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam mengimbangi kekuatan ekonomi asing. Dengan menciptakan pengusaha-pengusaha pribumi melalui pembentukan dan pemupukan modal nasional. Program pemerintah ini dilakukan dalam sektor ekonomi yang paling penting yaitu perdagangan impor. Program Benteng diarahkan pada sektor perdagangan didasarkan karena perdagangan mempunyai peranan besar dalam susunan perekonomian Indonesia dimana sebagian besar pendapatan pemerintah tergantung pada pendapatan yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan jalannya perdagangan. Wirodihardjo (1956: 185) menegaskan bahwa “lebih kurang 80% dari hasil pendapatan negara seluruhnya berupa bea impor dan ekspor, cukai-cukai (accijnzenen
71
heffingen) serta
pajak-pajak perseroan
terdiri dari pendapatan
dilapangan
perdagangan”. Program Benteng difokuskan dalam sektor perdagangan impor dengan beberapa alasan, dintaranya. 1. Perdagangan impor paling mudah dikendalikan oleh negara melalui alokasi impor, yaitu pemerintah mempunyai kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan impor dibandingkan dengan pihak lain. 2. Perdagangan impor dianggap paling cocok untuk memajukan pengusaha pribumi karena membutuhkan modal dan berbagai sumberdaya usaha yang relatif kecil dibandingkan dengan kegiatan lain. Selain itu kegiatan ekonomi pada priode tahun 1950-an adalah kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan impor merupakan kegiatan perdagangan yang mudah mendatangkan keuntungan besar. 3. Sektor perdagangan impor mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian Indonesia, karena sejak zaman kolonial Indonesia mengekspor bahan mentah dan mengimpor barang-barang konsumsi serta barang-barang modal dari luar negeri. 4. Kegiatan perusahaan-perusahaan Belanda yang sudah mapan di Indonesia pada awalnya bergerak di sektor perdagangan impor yang cukup menguntungkan, selanjutnya memperluas usahanya ke sektor-sektor lain seperti pertanian, distribusi dalam negeri (Thee, 2005; Muhaimin, 1991: 29-31). Alasan-alasan di atas mendorong pemerintah untuk menjadikan sektor perdagangan terutama perdagangan impor sebagai jalan untuk menumbuhkan pengusaha pribumi dan menciptakan kekuatan ekonomi nasional. Walaupun golongan importir pribumi adalah sebagian kecil dari masyarakat pribumi namun kehadiran para importir pribumi ini dalam perdagangan Indonesia mempunyai arti yang penting, karena Indonesia masih memerlukan barang-barang dan bahan-bahan yang harus didatangkan dari luar negeri (impor). Oleh karena itu para importir pribumi harus dapat menjamin kelancaran pengiriman barang-barang dari luar negeri yang dibutuhkan oleh rakyat, sehingga rakyat dapat membeli kebutuhannya dengan harga
72
yang semurah-murahnya atau serendah-rendahnya. Selain itu, menurut Anspach (Thee, 2004: 45) diharapkan dengan modal yang dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan industri substitusi impor dengan begitu di Republik Indonesia lahir golongan-golongan pengusaha yang mampu bergerak di bidangbidang ekonomi yang selama itu masih dikuasai dan kendalikan bangsa asing. Dalam program ini pemerintah memberikan bantuan dan perlindungan kepada importir pribumi berupa pemberian lisensi impor berbagai jenis barang yang mudah dijual, membatasi impor barang-barang tertentu dan juga memberikan bantuan berupa kredit. Para importir yang mendapat bantuan dan perlindungan dari pemerintah melalui Program Benteng dinamakan importir-importir benteng. Barang-barang yang hanya boleh diimpor oleh para importir tersebut dikenal dengan sebutan barangbarang benteng. Syarat-syarat untuk menjadi importir benteng, diantaranya. 1. Mereka harus merupakan importir baru. 2. Mempunjai status jang sah sebagai badan hukum atau perseroan terbatas atau suatu kongsi. 3. Memiliki modal kerdja minimal Rp 100.000,00. 4. Mempunjai ruangan kantor jang tjukup luas untuk beberapa orang pegawai tetap, dalam arti bekerdja full time. 5. Memiliki pegawai jang telah berpengalaman dalam perdagangan atau kegiatan usaha lainnja. 6. Sekurang-kurangnja 70% dari modal kerdja jang dimiliki harus berasal dari golongan pribumi (bangsa Indonesia sendiri) sementara orang-orang asing atau orang-orang Indonesia keturunan asing lainnja diperbolehkan memiliki sebanjakbanjaknja 30% dari modal kerdja perusahaan. (Indonesia Raja, Djanuari 1953).
73
Syarat-syarat di atas merupakan syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi Program Benteng. Syarat-syarat tersebut ditentukan untuk menjamin dan melindungi importir-importir benteng tanpa memberatkan dan melebihi kemampuan mereka. Pelaksanaan Program Benteng menimbulkan sikap pro dan kontra dikalangan masyarakat. Sikap kontra ditunjukan oleh golongan masyarakat non pribumi yang memandang Program Benteng sebagai tindakan diskriminatif terhadap masyarakat non pribumi selain itu kebijakan tersebut bertentangan dengan cita-cita nasional dari setiap warga negara keturunan asing untuk menjadi patriot bangsa Indonesia. Selain itu masyarakat non pribumi merasa cemas dan khawatir karena kemapanan dan dominasi mereka dalam perekonomian akan runtuh. Sementara masyarakat pribumi merasa senang dengan dikeluarkannya kebijakan Program Benteng tersebut. Berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah untuk menunjang kebijakan tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat pribumi, banyak para pengusaha atau mereka yang bukan pengusaha berlomba untuk mendapatkan dan menikmati fasilitas-fasilitas tersebut. Sehingga tumbuh golongan-golongan pengusaha Indonesia dengan harapan dapat membangun ekonomi nasional. Pemerintah menentukan jenis-jenis komoditi (barang-barang benteng) yang bisa diimpor oleh perusahaan-perusahaan benteng. Barang-barang benteng tersebut merupakan hasil pilihan dan seleksi pemerintah yaitu meliputi barang-barang yang mudah diimpor dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan benteng yang baru didirikan.
Barang-barang tersebut dapat
dibeli
tanpa
banyak
memerlukan
74
pengetahuan khusus atau teknik dari para pengusaha serta mudah dijual kerena pasarnya sudah tersedia. Barang-barang yang disediakan untuk golongan importir benteng diantaranya. 1. Manufaktur (beludru, sutra tiruan, full and half voiles, cotton suitings, bahanbahan wol, dyed flanel, poplin dan fancies dari kwalitas jang lebih baik). 2. Benang tenun (benang tenun staple-fibre, barang-barang tenun). 3. Barang klontong (singlet dan kaos kutang, piring, selimut, piama, kemedja, pakaian olahraga, handuk, benang-benang bordir). 4. Kertas (pergamidjn, sulfite, kertas berkilat, kertas marmer, couverture) 5. Alat tulis-menulis ( lakban, djepitan kertas, busur deradjat, pena, paku, pinsil). 6. Korek (Wirodihardjo, 1956 :103) Penentuan barang-barang tersebut dilakukan
oleh pemerintah untuk
mempermudah perusahaan-perusahaan pribumi dalam melakukan usahanya serta untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan perusahaan-perusahaan pribumi tersebut. Pemerintah selain menentukan jenis barang-barang yang harus dan boleh diimpor serta menetapkan ayarat-syarat bagi para importir, pemerintah juga membentuk badan yang bertugas untuk mengorganisir dan memudahkan para impotir pribumi dalam pembelian barang-barang impor. Diantaranya Gapindo (Gabungan Pembelian Importir Indonesia), yang merupakan fusi dari Gindo (Gabungan Importir Indonesia) dan Persi (Persatuan Saudagar Indonesia). Para importir benteng yang belum mempunyai hubungan dengan luar, akan mendapatkan barang-barang impor yang dibutuhkannya melalui Gapindo. Selain itu, Gapindo bertugas menyalurkan sebagian besar kredit kepada anggota-anggotanya.
75
Sementara itu, kantor yang ditugaskan untuk menyelenggarakan impor adalah KPUI (Kantor Pusat Urusan Impor) di bawah pimpinan jawatan perdagangan dan kementrian pereknomian adapun tugas pokok KPUI adalah. 1. Menjusun rentjana import barang-barang dalam batas-batas tertentu. Selandjutnja rentjana tersebut diadjukan kepada Dewan Pengawas Lembaga Alat-Alat Pembajaran Luar Negeri, jang terdiri dari Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan dan Menteri Pertanian. KPUI dapat bekerdja setelah rentjana import tersebut disetudjui. Dalam rentjana tersebut, devisa jang tersedia dialokasikan untuk pembelian barmatjam-matjam barang. Terutama barang-barang untuk jang terpenting bagi masjarakat, seperti makanan, pakaian, tekstil dan bahan-bahan jang diperlukan untuk produksi dalam negeri mendapat alokasi devisa jang paling banjak. 2. Mengirimkan surat edaran kepada para importir jang memberitahukan import sudah dapat dilakukan. 3. Membagikan djumlah devisa jang tersedia kepada para importir jang berkepentingan. 4. Menetapkan dengan valuta mana dan di negara mana pembelian barang-barang boleh dilakukan (Wirodihardjo, 1956: 99-100). Tugas dan kewajiban KPUI yang terpenting adalah pembagian jatah-jatah devisa kepada importir dengan cara yang berpangkal pada kepentingan para konsumen, termasuk sektor produksi. Pengimporan barang-barang dari luar negeri ke Indonesia dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Importir menerima pengumuman dari KPUI, bahwa disediakan sedjumlah devisa untuk membeli barang dari luar negeri. Dalam pengunguman tersebut disebutkan bahwa importir bebas membelinja dari mana sadja atau disebutkan pula harus membeli dari negara-negara tertentu. Pembagian devisa jang tersedia dilakukan dengan tjara panggilan, artinja penawaran-penawaran hanja dapat disetudjui selama devisa jang dialokasikan untuk pembelian tersebut masih tersedia, atau untuk masing-masing importir disediakan djumlah tertentu. 2. Setelah importir mengetahui barang apa jang dapat diimport kemudian importir mengadakan hubungan dengan luar negeri (melalui surat atau kawat). Hasilnja, importir akan menerima penawaran tersebut berikut tjontoh-tjontohnja. 3. Importir mengadjukan penawaran kepada KPUI untuk meminta devisa
76
Peraturan KPUI adalah. a. Pembelian melalui kantor pembelian sendiri atau agen sendiri di luar negeri. b. pembelian melalui importir benteng lain, jang mempunjai kantor pembelian sendiri atau agen sendiri di luar negeri. c. Pembelian dengan perantara Gapindo atau organisasi pembelian Indonesia lainnja jang telah diakui. d. Pembelian melalui kantor pembelian asing jang berdiri sendiri dan jang tidak mempunjai kepentingan import di Indonesia. e. Kerdjasama atau akomodasi dengan jang bukan importir benteng hanja diperbolahkan setelah mendapat idjin dari KPUI. Apabila permintaan devisa tidak memenuhi sjarat-sjarat di atas, maka penawaran tidak dapat dikerdjakan. Surat menjurat asli mengenai hal itu, djika oleh KPUI dianggap perlu harus diperhatikan. 4. Djika penawaran diterima baik oleh KPUI, importir akan menerima Surat Idjin Devisa (SID) sementara. Dengan tjara apapun SID tersebut tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. 5. Dalam djangka waktu 14 hari, 40% dari djumlah devisa harus disetorkan ke Javache Bank, kemudian SID sementara ditukarkan dengan SID definitif. 6. Setelah menerima SID definitif, penetapan pesanan dapat dibuat pada kantor atau leveransier luar negeri. 7. Valuta contract harus ditutup oleh bank, jang mana bank itu membeli valuta asing di luar negeri atas hak dari SID. 8. Setelah valuta contract ditutup, letter of credit (L/C) dapat dibuka oleh bank jang menutupnja. Pembukaan L/C untuk importir pribumi dirasakan agak berat, karena harus membajar garansi jang tinggi djuga, sedangkan barang baru datang kira-kira dua bulan dari Singapura, Hongkong, dan Jepang, serta tiga sampai empat bulan dari Eropa. 9. Melalui bank di luar negeri, kantor atau leveransir pembelian menerima L/C tadi. Artinja, djika barang sudah dikirim sesuai dengan waktu pengiriman dalam L/C, leveransir dengan memberikan dokumen, wesel, dan sebagainja dapat menerima uang pembelian barang. 10. Dokumen tersebut diterima oleh bank di luar negeri dan dikirimkannja ke bank di Indonesia jang membuka L/C. 11. Pada waktu membuka L/C, importir harus sudah menjetorkan 70% dari harga barang. Setelah dokumen datang, importir harus melunasi sisanja. Apabila rekening impor pada bank negara (misalnja) tidak dapat melunasi sisanja tersebut, maka dokumen ditahan dan akan diberikan djika sudah dilunasi. 12. Importir membajar pada bank segala sesuatu jang harus dibajarnja dan menerima dokumen dari bank 13. Dengan dokumen itu, importir dapat mengambil barang dari pelabuhan setelah membajar segala matjam bea, indusemen, dan sebagainja.
77
14. Akhirnja, barang sampai di gudang dan dapat didjual kepada umum atau apabila pembelian pemerintah, maka barang tersebut dikirim menurut instruksi pemerintah atau kepada swasta (Berita Ekonomi, November 1953: 8-9). Berakhirnya pemerintahan RIS selanjut Indonesia menjadi negara kesatuan dimana Program Benteng dilaksanakan oleh beberapa kabinet yang berkuasa pada masa tersebut. Kebinet Natsir (September 1950-April 1951) melanjutkan Program Benteng sebagai salah satu kebijakan ekonominya, selain itu pada masa tersebut dibentuk Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Program Benteng dan RUP dilaksanakan secara bersamaan dan merupakan satu kesatuan yang integral dimana RUP terdiri dari program-program yang bersifat nasionalistis yaitu membangun industri kecil nasional (bumiputera) untuk menghasilkan barang-barang substitusi impor dengan harapan mengurangi ketergantungan pada perdagangan luar negeri, dengan bantuan modal kepada pengusaha pribumi, termasuk lisensi-lisensi impor khusus bagi importir pribumi (Sjahrir, 1986: 73). Pengaruh Program Benteng terhadap RUP dalam pelaksanaan rencana tersebut di dalam kebijaksanaan ekonomi negara sangat menentukan jalannya perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Pemerintahan
pada
masa
demokrasi
parlementer
cenderung
untuk
melanjutkan program kerja kebinet sebelumnya, begitu juga dengan Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) sebagai pengganti Kabinet Natsir melanjutkan pelaksanaan Program Benteng. Pemerintah melakukan sejumlah perbaikan dan perubahan terhadap tindakan dan peraturan yang berlaku sebelumnya yang dianggap tidak cukup baik.
78
Dalam usahanya untuk melindungi para importir pribumi, pemerintah mengeluarkan surat Indusemen baru atau bukti impor tambahan yang terutama digunakan untuk impor barang-barang mewah dan yang tidak termasuk pada barang esensial.
Selain
itu,
pemerintah
menggunakan
sistem
penawaran
dalam
mengalokasikan devisa untuk barang-barang benteng. Dengan sistem ini, ditetapkan suatu kuota untuk suatu komoditi tertentu. Selanjutnya para importir diberi kesempatan untuk mengajukan penawaran dengan sejumlah devisa tertentu. Apabila harga, mutu, dan waktu penyerahan barang dianggap cocok, maka selanjutnya lisensi dapat diberikan kepada imporitr. Pemberian kredit juga dilakukan secara mudah untuk memberi modal kepada para importir. Oey (t.t.: 172) mengungkapkan, pemerintah telah mengadakan beberapa kemudahan di sektor impor, termasuk perluasan pemberian kredit bagi golongan importir. Khususnya kepada “importir benteng” telah disediakan fasilitas kredit dengan cukup leluasa. Pelaksanaan Program Benteng dilanjutkan pada masa pemerintahan Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), pada masa ini Program Benteng dijalankan dengan peraturan-peraturan yang lebih diperketat. Pemerintah mengeluarkan peraturan baru dalam bidang impor pada tanggal 11 Agustus 1952, dikeluarkannya peraturan tersebut sebagai akibat dari menurunnya cadangan devisa negara setelah berakhirnya Perang Korea. Perubahan peraturan tersebut berisi mengenai pembagian golongan barang-barang yang akan diimpor, yaitu.
79
1. Golongan A, merupakan barang-barang kebutuhan pokok (esensial). Untuk pemasukan barang golongan ini tidak dipungut tambahan pembajaran import (TPI), jang termasuk dalam kategori barang golongan A, jaitu barang-barang untuk industri dalam negeri, tekstil, makanan pokok. 2. Golongan B, merupakan barang-barang jang dianggap kurang dibutuhkan (non esensial). Barang-barang golongan ini dibagi menjadi dua. a. Golongan B1, untuk pemasukan barang-barang golongan ini dikenakan TPI sebesar 33 1/3% dari harga pokok. Jang termasuk kategori barang golongan B1, jaitu tekstil (jang tidak termasuk dalam daftar barang golongan A), mesin pesawat, mesin djahit, perkakas, sepeda, kertas, makanan, alat-alat ketjantikan. b. Golongan B2, untuk pemasukan barang-barang golongan ini dikenakan TPI sebesar 100% dari harga pokok. Jang termasuk kategori barang golongan B2, jaitu makanan (mentega, biskuit, minuman, rokok dan tembakau), alat-alat ketjantikan, sabun, sepatu kulit, mebel, gorden. 3. Golongan C, merupakan barang-barang mewah. Untuk pemasukan barang-barang golongan ini dikenakan TPI sebesar 200% dari harga pokok. Jang termasuk dalam kategori barang-barang golongan C diantaranya mobil, auto radio, pesawat radio, mutiara dan permata. 4. Golongan D, merupakan barang-barang jang sangat mewah (luxe). Untuk barangbarang golongan ini tidak disediakan devisa. (Indonesia Raja, Agustus 1953: 2) Tambahan pembayaran impor harus dibayar sesuai dengan daftar golongan barang-barang yang telah ditentukan dan mulai berlaku sejak diberlakukannya peraturan tersebut. Namun penggolongan barang-barang impor tersebut sewaktuwaktu dapat dirubah yaitu menurut keperluan dan keadaan, maksudnya adalah apabila barang-barang dari golongan A ada yang sudah bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri, maka barang-barang tersebut dapat dipindahkan kegolongan B atau sebaliknya. Pemerintah memberikan kesempatan kembali kapada masyarakat pribumi untuk menjadi importir nasional, tanggal 30 Mei 1953 Departemen Perdagangan mengumumkan dibukanya pendaftaran untuk menjadi importir nasional dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya.
80
1. Mempunjai status jang sah sebagai badan hukum atau perseroan terbatas atau sebuah kongsi. 2. Mempunjai ruang kantor tersendiri jang tjukup luas minimal tiga orang pegawai, jaitu pegawai keuangan, djuru tik, dan pegawai tata usaha jang bekerdja fulltime. 3. Memiliki pegawai jang telah berpengalaman dalam perdagangan atau kegiatan usaha lainnja. 4. Seorang direktur perusahaan import tidak boleh merangkap djabatan di perusahaan import lainnja. 5. Memiliki modal kerdja minimal sebesar Rp 250.000,00 atau kekajaan perusahaan sekurang-kurangnja harus ada Rp 1.000.000. 6. Saham-saham jang dikeluarkan harus 100% dimiliki oleh orang-orang Indonesia dan saham-saham itu tidak boleh didjual kepada orang-orang asing dikemudian hari. 7. Mempunjai rekening di salah satu bank (Berita Ekonomi, Djuni 1953: 7) Setelah Kabinet Wilopo jatuh pemerintahan selanjutnya digantikan oleh Kabinet Ali I (Agustus 1953-Juli 1955), pada masa pemerintahn Ali ini politik Program Benteng tetap dilaksanakan. Sayangnya Kabinet Ali menghadapi keadaan ekonomi yang buruk dimana terjadi tekanan inflasi dan keadaan administrasi pemerintahan
yang
khaotis.
Soemitro
Djojohadikusumo
(Oey,
t.t.:
308)
menggambarkan keadaan ekonomi dan moneter pada pada masa tersebut. Suatu inflasi harga upah; penimbunan barang-barang; laba spekulatif yang luar biasa untuk para importir dan pedagang besar; beban berat atas rakyat konsumen; stagnasi dalam proses produksi dan kekurangan bahan mentah untuk industri dalam negeri; ketegangan pada ekspor karena disparitet antara tingkat harga dalam negeri dan ongkos produksi dalam negeri disatu pihak dan tingkat harga di luar negeri dilain pihak, berkurangnya persediaan devisa; pembatasan lebih lanjut pada impor; hubungan langsung secara ikatan antara impor dan ekspor; keadaan adaministrasi yang chaotis; perdagangan luar negeri; yang kacau balau; pembatasan impor lebih keras lagi; tekanan inflasi lebih lanjut; dan dengan demikian kita terbawa dalam suatu lingkaran yang tiada akhirnya. Keadaan demikian dapat dibandingkan dengan suatu spiral ke atas dari sudut inflasi harga upah dan suatu spiral ke bawah dari sudut kehidupan ekonomi.
81
Upaya pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan mengurangi volume impor serta meningkatkan ekspor, tindakan-tindakan tersebut diantaranya. 1. Pemerintah mengadakan pembatasan yang kuantitatif yang drastis terhadap impor berupa penyediaan hanya Rp50 juta seminggu untuk seluruh impor bukan pemerintah. 2. Penyetoran dimana yang harus dilakukan oleh importir dinaikkan dengan presentase yang cukup besar. 3. Dikenakan pungutan terhadap pembayaran jasa keluar negeri yang dinamakan tambahan pembayaran transfer (TPT) sebesar 66 2/3% atas jumlah yang diizinkan untuk di kirim (Oey, t.t.: 307). Hal-hal di atas dilakukan pemerintah untuk menekan pengeluaran negara yaitu dengan mengadakan penghematan atas pengeluaran di bidang jasa-jasa, sehingga kas negara dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting karena masalahmasalah pada masa tersebut sangatlah kompleks. Selain keadaan ekonomi yang buruk, pada masa pemerintahan Ali I keadaan diperburuk lagi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisoerjo. Ia mengubah struktur pembagian devisa alasannya adalah karena importir pribumi tidak memperoleh perlindungan cukup dan seharusnya mereka diberi proteksi yang lebih besar. Pada tanggal 8 September 1953 Menteri Perekonomian Iskaq mengeluarkan surat edaran yang dikenal dengan surat edaran P.41, dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa bagi para importir pribumi disediakan lisensi devisa sebesar 80% sampai dengan 90%. Selain itu dalam surat edaran tersebut dinyatakan bahwa pemerintah mengklasifikasikan barangbarang yang hanya boleh diimpor oleh importir pribumi, barang-barang tersebut
82
adalah tekstil, barang-barang klontong, alat-alat tulis, seng atap dan alumunium, semen, gelas, paku, ban mobil, suku cadang sepeda, sekrup dan kunci, kertas, kamera, karung goni, kaustik soda dan tepung terigu (Muhaimin, 1991: 78-79). Dikeluarkanya surat edaran P.41 menimbulkan sikap pro dan kontra dikalangan pejabat pemerintahan. Sikap kontra ditunjukan oleh Dewan Moneter yang beranggotakan, Menteri Keuangan Dr. Ong Eng Die, dan Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara sangat menentang surat edaran tersebut, karena dalam pengeluaran surat edaran tersebut Iskaq sebagai Menteri Perekonomian dan merupakan anggota Dewan Moneter tidak membicarakan dan berkonsultasi terlabih dahulu dengan Dewan Moneter, padahal segala kebijakan yang bersangkutan dengan ekspor dan impor serta distribusi devisa ada di bawah tanggung jawab Dewan Moneter. Karena desakan-desakan dari Dewan Moneter akhirnya pada tanggal 12 September 1953 Menteri Perekonomian Iskaq mencabut surat edaran P.41 tersebut. Sementara sikap pro terhadap surat edaran P.41 muncul dari M. Tabrani ketua Ikatan Importir Nasional Indonesia (Ikini), Kosasih Prawiranegara ketua Gapindo dan Dewan Indonesia Ekonomi Pusat (DEIP), yang berfungsi sebagai kamar dagang. Pada dasarnya mereka menyatakan penyesalan atas pencabuatan surat edaran P.41, karena
menurut
mereka
pengusaha-pengusaha
pribumi
harus
mendapatkan
perlindungan dari pemerintah. Dampak dari pencabutan surat edaran P.41 cukup menenangkan mereka yang kontra terhadap surat edaran tersebut dan di sisi lain pencabutan surat edaran P.41 hanya merupakan pormalitas semata. Dalam kenyataannya, sebagian besar peraturan
83
dalam surat edaran P.41 masih diberlakukan oleh Iskaq. Ia meneruskan politik Program Benteng dengan memberikan lisensi-lisensi istimewa kepada pedagangpedagang Indonesia (Gunadi, 1985: 336). Sekitar pertengahan tahun 1954 K.H. Tjikwan dan rekan-rekannya yang kontra dan tidak mempercayai kebijakan Menteri Perekonomian Iskaq mengajukan mosi mengenai tindakan-tindakan yang telah diambil oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), permasalahan pokoknya adalah kebijakan pemerintah di bidang ekspor-impor dengan persoalan surat edaran P.41 sebagai intinya. (Gunadi, 1985: 336). Menurut Tjikwan dan rekan-rekannya menjelaskan bahwa kementrian perekonomian tidak mempunyai program yang teratur mengenai pemberian lisensi devisa, mereka melakukan kesalahan besar dengan memberikan lisensi-lisensi atas dasar kepentingan pribadi dan partai politiknya. Kebinet Ali I jatuh dan penggantinya dalah Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-1956), di bawah kabinet ini Program Benteng tetap dilaksanakan, bahkan pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang drastis pada sistem impor yang dianggap sangat berbelit-belit. Tujuannya adalah untuk menjamin agar impor dapat berjalan lancar dan untuk menjaring golongan importir yang sehat dan tangguh. Tindakan-tindakan pemerintah tersebut dikenal sengan sebutah “Sumitro Reform” karena Sumitro Djojohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan yang mencanangkan dan mencetuskan langkah-langkah tersebut. Langkahlangkah dari pemerintah ini antara lain.
84
1. Penyederhanan prosedur pemberian izin impor dan menaikan bea-bea tambahan atas barang-barang impor. Barang-barang yang akan impor dibagi menjadi empat golongan, yiatu. a. Golongan I merupakan barang-barang impor esensial, yaitu barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang modal untuk keperluan industri, seperti beras, tepung terigu, susu, mesin-mesin, pisau, palu, kampak, dan sebagainya dikenakan TPI sebesar 50%. b. Golongan II merupakan barang-barang impor semiesensial, yaitu barangbarang kebutuhan yang sebagian besar telah dihasilkan oleh industri di dalam negeri, seperti jenis tekstil dikenakan TPI sebesar 100%. c. Golongan III merupakan barang-barang impor mewah, yaitu barang-barang yang sifatnya atau tujuan pemakaiannya tidak begitu penting bagi kebutuhan masyarakat pada umumnya, seperti beberapa macam peralatan rumah tangga, kosmetik dikenakan TPI sebesar 200%. d. Golongan IV merupakan barang-barang impor sangat mewah, yaitu barangbarang yang sifatnya hanya untuk kemegahan, seperti kendaraan bermotor dikenakan TPI sebesar 400%. 2. Penaikan pungutan atas barang impor (TPI). 3. Penghapusan sistem mengawinkan ekspor dan impor. 4. Pembayaran di muka untuk impor diperberat (Oey, t.t.: 309). Perubahan-perubahan
yang
dilakukan
Kabinet
Burhanuddin
Harahap
membawa dampak yang positif yaitu impor meningkat dan harga barang-barang impor menurun, selain itu harga emas dan kurs valuta asing di pasar bebas menurun hal ini menimbulkan kepercayaan akan nilai mata uang rupiah bertambah (Oey, t.t.: 310). Kabinet Burhanuddin Harahap digantikan oleh Kabinet Ali II, dalam pemerintahan Kabinet Ali II Program Benteng tidak begitu mendapat perhatian dari pemerintah. Perekonomian yang menggembirakan sebagai warisan dari pemerintahan Kabinet Burhanuddin pada pemerintahan Ali II mengalami keterpurukkan kembali, yang ditandai dengan perkembangan ekspor Indonesia yang mengalami kemunduran, pendapatan ekspor menurun dimana dari tahun 1954 ke tahun 1955 mengalami
85
kenaikkan yang berarti namun dalam tahun 1956 mengalami penurunan dengan jumlah Rp.400 Juta, kecenderungan inflasi cukup kuat, pengeluaran devisa untuk impor sangat meningkat dimana dalam tahun 1955 cadangan dan devisa bertambah Rp.659 Juta tetapi akhir tahun 1956 pemakaian cadangan dana devisa sebesar Rp.073 Juta, selain itu pengeluaran pemerintah bertambah besar sedangkan penerimaan tidak mencukupi, terjadi defisit anggaran belanja pemerintah akibatnya peredaran uang tahun 1956 talah bertambah dari 12,2 miliar menjadi 13,4 miliar. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi pada saat itu adalah pada bidang ekspor pemerintah melakukan pemberlakuan “sistem bukti pendorong ekspor” (BPE). Dengan memberikan BPE kepada eksporir yang jumlahnya berkisar antara 2% sampai 20% dari harga barang yang diekspor. Sementara di bidang impor pemerintah melakukan penggolongan baru dalam barang-barang yang diimpor dimana barang impor dibagi menjadi sembilan golongan yaitu dari golongan barang amat esensial (masuk dalam golongan 1) sampai dengan barang amat mewah (masuk dalam golongan IX). Selain itu penggolongan barang-barang impor dibagi ke dalam barang yang harus dibiayai dengan BPE dan barang impor yang boleh dibayar tanpa surat BPE. Kabinet Djuanda (April 1957-Juli 1959) sebagai pengganti Kabinet Ali II mewarisi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk sekali. Cadangan devisa menurun, ekspor minim, produksi rendah, dan keadaan diperburuk oleh tindakantindakan beberapa daerah yang melakukan perdagangan barter langsung dengan pihak luar negeri (Gunadi, 1985: 346). Usaha untuk membangun perekonomian negara
86
dengan mengalihkan kekuatan ekonomi asing ketangan bangsa Indonesia mengalami kegagalan. Program politik benteng pada waktu ini sudah tidak mendapat perhatian lagi, akhirnya Program Benteng diakhiri pada tahun 1957.
Dampak Pelaksanaan Program Benteng 4.3.1 Dampak Terhadap Pengusaha Pribumi dan Non Pribumi Pelaksanaan
Program
Benteng
sebagai
usaha
pemerintah
dalam
menumbuhkan dan membentuk pengusaha pribumi yang tangguh dapat dikatakan kurang berhasil, meskipun selama pelaksanaan program tersebut jumlah pengusaha pribumi bertambah dengan sangat memuaskan. Pertengahan tahun 1950-an kurang lebih 70% perdagangan impor sudah dilakukan oleh para pengusaha Indonesia Burger (Thee, 2004: 45). Selain itu, jumlah importir benteng meningkat dengan pesat pertangahan tahun 1953 sampai November 1954 yaitu dari 700 menjadi 4300 importir (Oey, t.t.: 136). Meningkatnya jumlah pengusaha pribumi antara lain karena adanya kemudahan-kemudahan
yang
diberikan
pemerintah
kepada
mereka
dalam
memperoleh lisensi, kredit serta fasilitas-fasilitas yang menunjang usahanya. Namun sangat disayangkan para pengusaha pribumi ini pada umumnya tidak mempunyai pengalaman dalam bidang perdagangan, banyak di antara mereka yang tidak memahami tata cara melakukan urusan impor, termasuk surat menyurat dan pembiayaan impor. Menurut Soedarpo (Thee, 2005) dengan alasan tersebut mereka harus meminta tolong kepada pedagang Cina yang tahu bisnis tersebut. Dengan
87
kekurangtahuan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh pengusaha pribumi memudahakan dan memberi jalan bagi para pengusaha non pribumi untuk memanfaatkan para pengusaha pribumi, akibatnya Program Benteng melahirkan “pengusaha aktentas”. “Pengusaha atau importir aktentas” merupakan pengusaha yang tidak memanfaatkan peluang baik untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman bisnis dalam perdagangan impor, melainkan justru menjual lisensi impor yang diperolehnya kepada importir non pribumi. Kerjasama yang dijalin antara pengusaha pribumi dan non pribumi tersebut menimbulkan perusahaan-perusahaan yang disebut dengan perusahaan “Ali-Baba” yaitu perusahaan yang secara resmi dimiliki “Ali” seorang Indonesia, namun dalam kenyataannya dimiliki dan dijalankan oleh “Baba” orang Cina (Sjahrir, 1986: 77). Pengusaha-pengusaha tersebut bekerja dengan tidak berdasarkan pada pasaran barang-barang dengan mencari kwalitas atau jenis barang yang baik dan dengan harga yang rendah, serta memperbaiki organisasi penjualan. Tetapi mereka menempuh jalan yang mudah, yaitu mencari keuntungan yang cepat dengan menjadi importir aktentas. Mereka bekerja dengan cara mendekati dan mangikat pemimpin-pemimpin atau pegawai-pegawai yang bekerja di pemerintahan untuk mendapatkan lisensi dengan mudah (Wirodihadjo, 1956: 76). Hal ini dipertegas dengan pernyataan Soemitro Djojohadikusumo (Thee, 2004: 45) bahwa “dari bantuan Program Benteng kepada 10 orang, tujuh orang ternyata adalah benalu, tiga orang lainnya masih bisa muncul sebagai wiraswata sejati”.
88
Kesempatan-kesempatan yang diberikan pemerintah lewat Program Benteng ini tidak dimanfaatkan secara benar oleh “pengusaha aktentas”. Padahal kesempatan tersebut merupakan jalan bagi mereka untuk menjadi pengusaha nasional, yang dapat memperkuat perekonomian negara. Sebaliknya dengan kesalahan-kesalahan dan penyimpangan yang mereka buat malah semakin memperkuat kedudukan pengusahapengusaha non pribumi dalam perekonomian Indonesia. Para pengusaha non pribumi dapat dengan mudah beroperasi lewat pemegang lisensi boneka pribumi Indonesia yaitu mereka para “pengusaha aktentas” Mackie (Thee, 2005). Akibatnya adalah para pengusaha pribumi yang baru tumbuh tidak dapat berkembang, selain itu merugikan pengusaha-pengusaha pribumi yang sudah mapan, karena mereka harus menghadapi persaingan yang cukup berat yaitu harus bersaing dengan pengusaha-pengusaha non pribumi yang mempunyai sukup modal dan memiliki jaringan yang luas. Program Benteng secara umum tidak membawa terjadinya pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi nasional. Karena sebagian besar dari pengusaha pribumi yang mendapatkan bantuan dari program tersebut cenderung untuk tidak menanamkan kembali modalnya pada bidang-bidang lain selain impor. Mereka lebih cenderung untuk menekuni kegiatan impor dengan alasan memperoleh keuntungan yang besar dan resiko-resiko yang harus dihadapi cukup kecil sedangkan untuk kegiatan-kegiatan lain, seperti industri tingkat kesulitannya lebih tinggi dan resikonya cukup besar. Alasan lainnya adalah karena perlindungan yang diberikan pemerintah lewat Program Benteng ini tidak mencakup sektor-sektor tersebut. Oleh kerenanya,
89
sektor-sektor tersebut tetap dikuasai oleh pengusaha-pengusaha Belanda dan non pribumi. Dampak dari Program Benteng ini sangat dirasakan oleh industri-industri dalam negeri yang dimiliki oleh pengusaha pribumi. Mereka pada umumnya bermodal kecil sehingga tidak dapat bersaing dengan para pengusaha non pribumi yang bemodal besar. Pengusaha pribumi ini kekurangan modal sehingga tidak dapat membeli lisensi untuk mengimpor bahan baku yang didatangkan dari luar negeri, akibatnya banyak di antara para pengusaha pribumi yang gulung tikar karena tidak dapat lagi berproduksi. Walaupun demikian, masih ada beberapa pengusaha pribumi yang berhasil membangun usahanya dengan mendirikan pabrik-pabrik modern dengan modal yang cukup besar. Sebagian kecil dari meraka berasal dari kalangan produsen tekstil muslim yang tradisional di daerah Pekalongan dan Majalaya. Sebagian lagi berasal dari kalangan pengusaha yang dapat memanfaatkan Program Benteng. Setelah diberlakukannya Program Benteng, secara keseluruhan perusahaanperusahaan baru yang muncul lebih banyak dimiliki oleh pengusaha pribumi daripada pengusaha-pengusaha non pribumi. Namun pengusaha-pengusaha non pribumi labih unggul di beberapa bidang ekonomi lainnya. Tumbuhnya pengusaha-pengusaha pribumi tidak terlepas dari adanya hubungan dengan aparat birokrasi pemerintahan, sementara semakin meningkatnya pengusaha-pengusaha non pribumi (Cina) dalam pembentukan perusahaan baru disebabkan oleh adanya hubungan antara mereka dengan perusahaan-perusahaan di Singapura, Taiwan, dan Hongkong. Bahkan ada
90
diantara mereka yang menjadi semacam perpanjangan dari perusahaan-perusahaan tersebut (Muhaimin, 1991: 219,269). Kekurang berhasilan Program Benteng dalam membangun pengusaha pribumi yang tangguh dan menciptakan perekonomian negara yang maju menimbulkan frustasi dikalangan pengusaha pribumi. Untuk itu diselenggarakan Kongres Nasional Importir Indonesia di Surabaya tanggal 19 Maret 1956, dalam kongres tersebut para importir nasional meminta pemerintah agar tetap memberikan perlindungan kepada mereka. Assaat, seorang tokoh politik yang beralih menjadi pengusaha pada kongres tersebut mengatakan pemerintah perlu mengaluarkan peraturan untuk melindungi pengusaha-pengusaha nasional pribumi, karena mereka ini tidak akan mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha non pribumi, Menurutnya. Ada tiga bidang besar dalam lapangan ekonomi: bidang produksi, bidang distribusi dan bidang konsumsi. Dari ketiga bidang ini, bidang kedua, yaitu bidang distribusi, hampir 100% bea ada dalam tangan orang-orang Tionghoa. Karena itu walaupun bangsa Indonesia mempunyai kedudukan yang penting dalam bidang produksi, tapi mereka belum secara penuh menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka. Akhirnya Assaat mengeluhkan orang-orang Indonesia membuat pakaian batik, tapi perdagangan batik berada dalam tangan orang-orang Tionghoa” (Gunadi, 1985: 345). Frustasi dikalangan pengusaha pribumi dan rasa kecewa terhadap orang-orang non pribumi, menjadikan kongres tersebut sebagai jalan untuk menyatukan fisi dan misi mereka dalam melawan kekuatan ekonomi pengusaha-pengusaha non pribumi. Akhirnya kongres tersebut melahirkan “Gerakan Assaat”, gerakan tersebut merupakan gerakan anti Cina. Gerakan tersebut hampir maluas dan sudah
91
manimbulkan gerakan anti Cina dibeberapa kota, dengan menimbulkan pengrusakan tarhadap milik orang-orang Cina antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo (Gunadi, 1985: 345). Program Benteng secara tidak langsung
menyebabkan beberapa kegiatan
usaha milik non pribumi mengalami penurunan. Dengan adanya pembatasan dalam alokasi devisa dan impor, beberapa pengusaha non pribumi mengalami kesulitan untuk memperoleh devisa. Sementara, pengaruh Program Benteng bagi rakyat Indonesia umumnya tidak banyak memperbaiki taraf kehidupan mereka. Hal ini digambarkan oleh Wirodhardjo (1956: 39) bahwa, Tingkat produksi dan penghasilan serta pendapatan negara terbatas dan sebagian besar tergantung pada pekerdjaan dilapangan pertanian khusus bahan makanan dan bahan-bahan mentah hasil bumi untuk keperluan negara-negara industri di dunia, proses dan roda perekonomian masih dikuasai golongangolongan tertentu, susunan produksi dan lapangan pekerdjaan belum stabil, sedangakan tingkat produksi dan pendapatan rakjat masih rendah. Namun secara tidak langsung pelaksanaan Program Benteng telah membuka kesempatan dan peluang kepada masyarakat pribumi untuk menjadi pengusaha, selain itu menambah lapangan perkerjaan bagi masyarakat umum. Hal ini tidak terlepas dari peran para pengusaha pribumi yang berhasil dengan memanfaatkan Program Benteng sehingga menjadi pengusaha yang tangguh, di balik kegagalan Program Benteng, ternyata kebijakan tersebut mampu melahirkan golongan pengusaha pribumi yang cukup tangguh, walaupun jumlahnya tidak cukup banyak. Kegagalan Program Benteng sendiri terutama disebabkan oleh lemah dan kurangnya kerja keras dari para pengusaha pribumi. Hal ini merupakan dampak dari
92
politik ekonomi kolonial Belanda, yang kurang memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada pengusaha pribumi untuk mengembangkan kemampuannya. Sehingga memungkinkan pengusaha non pribumi untuk berkembang dan menguasai perekonomian. Selain itu keberhasilan kaum non pribumi dalam perekonomian dikarenakan mereka memiliki keuletan, ketekunan, dan bekerja keras dalam melakukan usahanya. Wirodihardjo (Soesastro, 2005: 149)
mengungkapkan di
Indonesia keadaan jauh lebih menguntungkan para pengusaha yang mempunyai modal, sebab perkembangan negara pada zaman kolonial adalah demikian rupa hingga golongan ini dapat dipergunakan untuk kepentingan negara yang menjajah dan golongan ini dapat memperkokoh kedudukannya karena perlindungan yang diberikan padanya di zaman kolonial. Untuk
mengembangkan
pengusaha-pengusaha
pribumi
yang
tangguh
merupakan tugas berat bagi pemerintah dan para pengusaha sendiri, menurut Wirodihardjo (1956: 43) yang harus dilakukan adalah. 1. Merubah pola pikir rakjat agar dapat berpikir rasional. 2. Menambah kebahagiaan rakjat dalam arti meningkatkan pendapatan rakjat. 3. Memberikan djaminan bahwa semua golongan dari masjarakat mendapat bagian jang seadil-adilnja. 4. Mendapatkan dukungan dari rakjat agar dasar-dasar dan tudjuan perkembangan negara dapat tertjapai. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang berat bagi suatu negara bekas jajahan. Pola pikir masyarakat yang belum maju sebagai warisan kolonial akan sangat sulit untuk dirubah, meningkatkan tarap hidup rakyat akan sangat sulit dengan kondisi perekonomian negara yang masih dikuasai dan dikendalikan bangsa asing.
93
Hal-hal tersebutlah yang menjadi faktor penghambat bagi pemerintah RI untuk membangun masyarakat pribumi yang sejahtera. Dampak Bagi Pemerintah Republik Indonesia Pelaksanaan Program Benteng selama priode demokrasi parlementer dari satu kabinet ke kabinet yang lainnya, ternyata tidak membawa dampak yang baik bagi pemerintahan RI. Program Benteng sebagai salah satu kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah RI dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat kedudukan pengusaha pribumi, tidak sepenuhnya dapat tercapai. Penyabab kekurang berhasilan dari pelaksanaan Program Benteng ini adalah tidak terlepas dari kesalahankesalahan yang dilakukan oleh aparatur-aparatur pemerintahan. Mereka melakukan kesalahan dengan menyalahgunaan wewenang dan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang ada. Mereka melakukan politik pilih kasih dengan keputusan lisensi-lisensi khusus maupun kredit lunak yang diberikan tanpa adanya kriteria bisnis yang jelas yang hanya mengakibatkan adanya korupsi pada tingkat pemerintahan (Sjahrir, 1986: 76). Penyelewengan dalam pelaksanaan Program Benteng hampir dilakukan oleh semua kabinet yang berkuasa antara tahun 1950 sampai tahun 1957, terutama penyelewengan tersebut dilakukan pada masa Kabinet Ali I berkuasa. Kabinet tersebut dituduh telah memberikan lisensi-lisensi impor berdasarkan favoritisme dan pertimbangan-pertimbangan
partai
politik.
Menteri
Perekonomian
Iskaq
Tjokrohadisoerjo telah memberikan lisensi perdagangan yang tidak adil karena sebagian penerima lisensi tersebut adalah anggota-anggota Partai Nasional Indonesia
94
(PNI). Kritikkan terhadap kebijakkan ekonomi tersebut dikemukakan oleh Moh. Hatta, dalam Konferensi Ekonomi Seluruh Sumatera yang diadakan di Medan pada bulan November 1954. Berpuluh juta, ya...barang kali beratus juta rupiah uang negara yang diperoleh dari pajak rakyat sudah dikorbankan untuk kepentingan satu golongan kecil atas nama nasional yang beruntung hanya beberapa puluh atau ratus orang saja, tetapi masyarakat seluruhnya bertambah menderita, harga bertambah mahal, berbagai barang susah didapat, distribusi barang-barang kepada rakyat semakin kacau, keuangan negara semakin meluncur di jalan inflatoir (Deliar Noer, 1990: 421). Ungkapan Hatta menunjukan rasa kekecewaannya terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang berkuasa, dengan mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya tanpa memperdulikan nasib rakyat banyak. Selain itu priode benteng ditandai dengan yang menurut Wirodihardjo (1956: 75-76) lapangan perdagangan diisi banyak perusahaan-perusahaan impor baru yang dijalankan oleh aparat pemerintah dengan memperoleh cara-cara istimewa kerena sebagian besar dari perusahaan baru tersebut dekat dengan pemimpin-pemimpin dari beberapa partai politik. Penyalahgunaan wewenang aparat pemerintah dalam pelaksanaan Program Benteng, sangat berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan mereka dalam partai politik, dimana partai-partai politik tersebut memerlukan dana yang cukup besar terutama untuk persiapan pemilihan umum. Misalnya, PNI memerlukan dana cukup besar baik untuk kampaye maupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Jumlah dana yang cukup besar tersebut tentu dapat bergantung pada iuran anggota partai saja, dengan demikian PNI berusaha untuk mendapatkan dana dari sumber lain. Dengan
95
mendirikan Bank Umum Nasional (BUN) pada tanggal 2 September 1952, sebagai persiapan untuk menghadapi pemilihan umum. BUN dipimpin oleh Soewirjo (wakil ketua PNI) dengan wakilnya Ong Eng Die, dan Iskaq Tjokrohadisoerjo sebagai ketua dewan direksi. Sebagai ketua dan salah satu anggota panitia dana pemilihan PNI, Ong Eng Die dan Iskaq Tjokrohadisoerjo mengintruksikan pada beberapa badan pemerintah untuk menyimpan uangnya di Bank Umum Nasional. Selain itu sumber utama dana PNI berasal dari sumbangan para pengusaha yang bekerjasama dengan PNI. Sumbangan tersebut diberikan kepada partai sebagai imbalan atas lisensi, pinjaman dan bantuan khusus yang diberikan para menteri PNI dalam kabinet Ali Sastroamidjojo kepada para pengusaha di luar ketentuan Program Benteng. Selain PNI, partai-partai politik lainnya juga mempunyai keterkaitan dengan beberapa perusahaan dan cenderung melakukan hal yang sama. Program Benteng yang dilaksanakan sebagai kebijakan pribumisasi, umumnya sangat merugikan keuangan pemerintah RI. Dimana pada tahun 1954 terjadi inflasi yang cukup ganas dan akibatnya sangat maluas, dikarenakan kebijakan yang dilakukan pemerintah secara sepihak yang berakibat pada defisitnya anggaran belanja dan devisa negara. Selama pelaksanaan Program Benteng, Kantor Pusat Urusan Impor (KPUI) sebagai bagian dari pemerintah yang bertugas untuk mengurusi perdagangan impor banyak melakukan pelanggaran, yaitu korupsi yang sangat meluas. Hal itu dilakukan agar para importir dapat dilayani dan untuk mempercepat pemprosesan surat-surat permohonan pengeluaran lisensi impor, sehingga para importir perlu mengeluarkan
96
uang pelicin atau sogokan kepada para pegawai KPUI. Dengan keadaan yang seperti itu, banyak importir yang mempunyai hak atas lisensi tersebut tidak dapat memperolehnya karena tidak mampu membayar uang pelicin. Sebaliknya para importir yang tidak memenuhi persayaratan tetapi mempunyai uang untuk pelicin bisa memperoleh lisensi tersebut dengan mudah. Hal ini digambarkan oleh Wirodihardjo (1956: 76) sebagai berikut. Para pedagang mendekati dan mengikat pemimpin-pemimpin atau pegawaipegawai jang bekerdja dipemerintahan. Maka oleh sebab itu para pedagang demikian menitikberatkan aktivitasnja untuk mengerumuni kantor-kantor urusan import dari pada melaksanakan fungsinja dipasaran. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pedagang dengan bekerjasama dengan para pegawai pemerintahan dalam melakukan kecurangan, mencerminkan bahwa Program Benteng sebagai kebijakan pemerintah untuk menciptakan ekonomi masyarakat pribumi yang adil dan sejahtera tidak akan tercapai. Dikarenakan kecurangan yang dilakukan oleh segelintir orang tersebut merugikan masyarakat luas. Program Benteng menyebabkan pembagian devisa untuk seluruh wilayah di Indonesia menjadi tidak merata, terutama bagi daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah di luar Pulau Jawa. Menurut Oey (t.t.: 317) di daerah-daerah tersebut telah timbul perasaan tidak puas terhadap kebijakan pembangunan dan keuangan pemerintah pusat. Masyarakat di luar Pulau Jawa menuduh pemerintah pusat melakukan kecurangan, karena mereka merasa dirugikan. Menurut mereka apa yang mereka berikan kepada pemerintah pusat tidak seimbang dengan apa yang mereka peroleh dari pusat, untuk
97
pembangunan daerahnya. Dengan kondisi yang seperti ini mendorong masyarakat di luar pulau Jawa untuk melakukan perdagangan secara barter atau penyelundupanpenyelundupan. Akibatnya pemasokan devisa bagi pemerintah Indonesia banyak berkurang, sehingga pemerintah mengurangi dana untuk Program Benteng (Thee, 2004: 46). Dampak dari memuncaknya ketegangan antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah di luar Pulau Jawa, mendorong beberapa panglima di daerah untuk mengambil alih pemerintahan daerahnya. Diantaranya pengambilalihan daerah Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad dengan pembentukan Dewan Banteng yang disusul oleh beberapa daerah lainnya, yakni Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letnan Kolonel Samual. Pergolakan-pergolakan tersebut akhirnya menimbulkan pemberontakan PRRI-PERMESTA (Oey, t.t.: 317). Kegagalan Program Benteng disebabkan oleh beberapa hal di atas, namun selain itu pengaruh Belanda yang masih kuat dalam perekonomian menjadi salah satu faktor utama, sehingga pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di Indonesia pada Desember 1957 (Sjahrir, 1986: 76). Karena perusahaan-perusahaan tersebut talah menghalangi usaha menumbuhkan ekonomi nasional, dengan berakhirnya Program Benteng dan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda diharapkan dapat menciptakan ekonomi nasional yang maju.
98
Dapat disimpulkan, bahwa sepanjang dijalankannya Program Benteng antara kurun waktu 1950-1957 pembangunan ekonomi belum dapat terlaksana secara menyeluruh. Banyak faktor yang menyebabkan tidak berhasilnya pembangunan ekonomi tersebut, antara lain kurangnya modal pemerintah dan kondisi perpolitikan negara yang tidak stabil, selain itu disebabkan oleh sebagian besar anggota kabinet yang berkuasa lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan partai politiknya.