BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK
4.1 Lama Tinggal Pada umumnya, penduduk bertempat tinggal di suatu daerah mulai dari lahir sampai dewasa. Akan tetapi ada juga penduduk yang tinggal dari lahir sampai setelah menikah. Adapula penduduk yang tinggal dari lahir sampai dia mendapat pekerjaan di daerah lain, karena dekat dengan tempat aktivitas mereka bekerja. Tabel 4.1 Lama Tinggal Penduduk di Daerah Longsor Lama Tinggal di Daerah Longsor (Tahun)
Jumlah Persentase (%)
0 – 10
6
8.00
11 – 20
8
10.67
21 – 30
13
17.33
31 – 40
30
40.00
41 – 50
10
13.33
Diatas 50
8
10.67
75
100.00
Jumlah Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 4.1, sebagian besar penduduk tinggal di daerah longsor selama 31-40 tahun dengan persentase 40%. Jadi penduduk tersebut sering mengalami longsor pada setiap tahunnya. Mereka berusaha untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang rentan bahaya longsor, sehingga mereka tetap bertahan tinggal di daerah penelitian. “Ya sudah puluhan tahun. Saya sudah tinggal di sini sejak dari kecil sampai sekarang. Saya asli orang sini”. (Rec.08) Persentase terbesar kedua adalah penduduk yang tinggal selama 21-30 tahun dengan besar persentasenya 17,33%. Persentase ketiga adalah penduduk yang lama tinggal selama 41-50 tahun dengan persentase 13,33%. Kemudian penduduk yang telah bermukim selama 11-20 tahun sebesar 10,67%. Penduduk 46
yang telah lama tinggal diatas 50 tahun sebesar 10,67%, mereka rata–rata adalah orang tua yang telah berusia lanjut diatas 50 tahun yang telah tinggal sejak lama di Desa Soko. Selanjutnya, sebagian kecil penduduk tinggal di daerah longsor selama 0-10 tahun dengan persentase 2,67%. Sehubungan dengan itu, terdapat penduduk yang lahir di luar Desa Soko. Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagian banyak dari mereka merupakan penduduk asli. Penduduk asli tetap mau tinggal di daerah tersebut karena sudah tinggal sejak kecil dan banyak kerabat yang tinggal di daerah tersebut. Jadi keputusan pindah sangat sulit dilakukan meskipun ada bencana di daerah rentan bahaya longsor. Adapun pendatang yang tinggal di daerah tersebut karena ada yang mendapatkan suami atau istri yang tinggal di daerah tersebut dan mereka mendapatkan warisan sehingga tetap ingin tinggal.
4.2
Mata Pencaharian Identifikasi mata pencaharian penduduk perlu diketahui sebelum melakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada atau tidak hubungan antara mata pencaharian dengan tempat tinggal di daerah rentan bahaya longsor Desa Soko.
Tabel 4.2 Mata Pencaharian Penduduk di Daerah Longsor Mata Pencaharian
Jumlah
Persentase (%)
Swasta
27
36,00
Buruh
11
14,67
Petani
22
29,33
Pegawai Negeri
1
1,33
Ibu Rumah Tangga
3
4,00
Supir Angkutan Umum
3
4,00
Pedagang
8
10,67
Jumlah
75
100,00
Sumber: Data Primer
47
Keadaan penduduk di daerah ini didapatkan dari berbagai macam pekerjaan. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai swasta dengan 36%. Mata pencaharian terbesar kedua adalah petani dengan 28%. Swasta dan pertanian merupakan bidang yang memenuhi kebutuhan penduduk di daerah penelitian, melalui berbagai macam keterampilan dan hasil tanaman pertanian untuk diambil hasilnya. Oleh karena itu, penduduk harus memiliki modal dan tenaga kerja. Pekerjaan di bidang pertanian tidak selalu dilakukan oleh petani sendiri, tetapi dapat dilakukan oleh keluarganya sendiri atau tenaga-tenaga diluar keluarga petani. Mata pencaharian terbesar ketiga adalah buruh dengan 14,67%. Selanjutnya mata pencaharian terbesar berikutnya pedagang dengan 10,67%, ibu rumah tangga dengan 4%, dan supir angkutan umum dengan 4%. Sebagian kecil penduduk mempunyai mata pencaharian sebagai pegawai negeri dengan 1,33%. Dari data tersebut dapat dikemukakan bahwa penduduk yang kondisinya sangat rentan adalah mereka yang bekerja sebagai pedagang, ibu rumah tangga, dan supir angkutan umum. Sedangkan penduduk yang tidak rentan adalah penduduk yang sebagian bekerja dibidang swasta dan bekerja dibidang pertanian. Mata pencaharian penduduk dibidang swasta yang dimaksud adalah penduduk di daerah tersebut membuka lapangan pekerjaan sendiri.
4.3
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan penduduk di Desa Soko perlu diketahui untuk melakukan analisis lebih lanjut yaitu apakah ada hubungan atau tidak antara tingkat pendapatan dengan keinginan berpindah penduduk di lokasi penelitian. Dimana diketahui tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh kepada kemampuan seseorang untuk mengantisipasi bahaya longsor. Seseorang yang berpendapatan tinggi kondisinya cenderung tidak akan rentan dibanding mereka yang tingkat pendapatannya lebih rendah, sehingga dapat dikatakan seseorang yang mempunyai pendapatan tinggi akan cenderung berkeinginan tetap tinggal di daerah bahaya longsor, dibandingkan dengan mereka yang pendapatannya rendah.
48
Seperti apa tingkat pendapatan responden yang ada di Desa Soko dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Tingkat Pendapatan Penduduk di Daerah Longsor
Tingkat Pendapatan Setiap Bulan (Rupiah)
Jumlah
Persentase (%)
≤ 500.000
3
4.00
500.000 - 1.000.000
42
56.00
1.000.000 - 1.500.000
23
30.67
1.500.000 - 2.000.000
7
9.33
75
100.00
Jumlah Sumber: Data Primer
Berdasarkan tingkat pendapatan dari Tabel 4.3 maka tingkat pendapatan penduduk yang paling banyak adalah antara Rp 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,yaitu sebanyak 56%, kemudian penduduk dengan penghasilan antara Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,- sebanyak 30,67%, selanjutnya penduduk dengan penghasilan antara Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000 sebanyak 9,33%. Sedangkan penduduk yang penghasilannya sedikit yaitu pendapatan kurang dari Rp. 500.000 ada sebanyak 4% dan tidak ada penduduk yang penghasilannya diatas Rp. 2.000.000,-.
Dari
data
tersebut
dapat
diketahui
bahwa
mereka
yang
berpenghasilan di bawah Rp. 1.500.000,- adalah mereka yang kondisinya sangat rentan, sedangkan mereka yang penghasilannya antara Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.000.000,- dapat dikatakan tidak rentan.
4.4
Asal Kepemilikan Lahan Bagaimana asal kepemilikan lahan penduduk di Desa Soko dapat dilihat pada Tabel 4.4.
49
Tabel 4.4 Asal Kepemilikan Lahan Penduduk di Daerah Longsor Asal Kepemilikan Lahan
Jumlah Persentase (%)
Warisan
49
65,33
Membeli dari warga setempat
16
21,33
Menyewa dari warga setempat
2
2,67
Masih punya orang tua
8
10,67
Jumlah
75
100,00
Sumber: Data Primer
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa penduduk di daerah penelitian merupakan masyarakat asli di daerah tersebut yang sudah lama tinggal dan bermukim secara turun-temurun. Hal ini dapat dilihat dari asal kepemilikan tanah yang menjadi tempat tinggal mereka, bahwa sebagian besar asal kepemilikan lahan peduduk di Desa Soko adalah berasal dari warisan. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.4 ada sebanyak 65,33%, penduduk yang asal kepemilikan lahannya adalah berasal dari warisan. “Ini dulunya warisan dari orang tua saya”. (Rec.01) Sedangkan asal kepemilikan lahan penduduk dengan cara membeli dari warga setempat adalah sebanyak 21,33%. Penduduk yang membeli tersebut merupakan warga asli. Mereka membeli lahan dari warga karena masih tetap ingin tinggal di daerah tersebut. “Lahan ini dulu membeli dari tetangga”. (Rec.02) Adapula asal kepemilikan lahan dengan cara menyewa dari warga setempat yang sifatnya sementara yaitu sebanyak 2,67%, misalnya mengontrak. Penduduk yang menyewa tersebut juga merupakan warga asli karena mereka masih ingin tinggal didaerah asalnya. Dua kategori tersebut dapat dikatakan bahwa penduduk yang membeli ataupun menyewa merupakan penduduk yang mempunyai ikatan kekeluargaan karena mereka termasuk penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah dengan pendapatan di bawah Rp 1.000.000,-. Mereka memilih membeli atau menyewa walaupun mereka merupakan penduduk asli, karena penduduk di daerah tersebut ada yang tidak memperoleh warisan dan 50
hanya bisa membeli atau menyewa dari kerabat dekat atau orang yang tinggal di daerah tersebut. Selain itu juga ada yang masih tinggal bersama orang tua yaitu sebesar 10,67%.
4.5
Luas Kepemilikan Lahan Dalam penelitian ini, luas kepemilikan lahan adalah luas tanah keseluruhan yang dimiliki penduduk dan sebagian dibuat sebagai tempat tinggal. Luas kepemilikan lahan yang terkena longsor dan tingginya mobilitas penduduk sulit untuk didapatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan dengan mengetahui luas lahan yang dimiliki dan pola mobilitasnya. Bagaimana luas kepemilikan lahan penduduk di daerah tersebu dapat dilihat pada Tabel 4.5. Table 4.5 Luas Kepemilikan Lahan Penduduk di Daerah Longsor Luas Pemilikan Lahan (ha)
Jumlah
Persentase (%)
Tidak tahu
46
61.33
≤ 0,1
5
6.67
0,1 - 0,49
5
6.67
0,5 - 0,9
5
6.67
≥1
14
18.67
75
100.00
Jumlah Sumber: Data Primer
Dari Tabel 4.5, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk tidak mengetahui luas pemilikan lahan yang menjadi tempat tinggal mereka dengan persentase 61,33%, sedangkan banyak pula penduduk yang memiliki lahan seluas ≥1 ha dengan persentase 18,67%. Penduduk yang luas pemilikan lahannya sebesar ≤ 0,1 ha, 01-0,49 ha, dan 0,5-0,9 ha mempunyai besar persentase yang sama yakni 6,67%. Penduduk yang mempunyai lahan seluas ≤0,1 – 0,9 ha lebih banyak melakukan mobilitas untuk mencari pekerjaan diluar usaha dibidang pertanian. Semakin luas pemilikan lahan, semakin sedikit petani yang melakukan pekerjaan diluar bidang pertanian tersebut. Seperti apa hubungan asal kepemilikan lahan dengan luas kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.6. 51
Tabel 4.6 Hubungan Asal Kepemilikan Lahan dengan Luas Kepemilikan Lahan Luas Kepemilikan Lahan (%) Asal Kepemilikan Lahan
Tidak Tahu
Jumlah ≤ 0,1
0,1 - 0,49
0,5 - 0,9
≥1
Warisan
34,67
6,67
2,67
16,00
5,33
65,33
Membeli dari warga setempat
14,67
0,00
2,67
2,67
1,33
21,33
Menyewa dari warga setempat
1,33
0,00
1,33
0,00
0,00
2,67
Masih punya orang tua
10,67
0,00
0,00
0,00
0,00
10,67
Jumlah
61,33
6,67
6,67
18,67
6,67
100,00
Sumber: Data Primer
Sebagian besar penduduk yang asal kepemilikan lahannya dari warisan tidak mengetahui besarnya luas lahan yang mereka miliki. Kemudian sebesar 16% dapat dijelaskan bahwa asal kepemilikan lahan penduduk mempunyai luas lahan sekitar 0,5-0,9 ha. Asal kepemilikan lahan penduduk yang membeli dari warga setempat sebesar 14,67% mengatakan bahwa penduduk tidak mengetahui luas kepemilikan lahan mereka. Sedangkan asal kepemilikan lahan penduduk yang menyewa dari warga setempat sebesar 1,33% mengatakan tidak mengetahui luas lahannya dan sebesar 1,33% mengatakan luas kepemilikan lahannya adalah sekitar 0,1-0,49 ha. Asal kepemilikan lahan penduduk yang masih milik orang tua sebesar 10,67% mengatakan tidak mengetagui luas lahannya.
4.6
Fisik Lingkungan Fisik lingkungan pada penelitian ini adalah hal yang berkaitan dengan jenis rumah. Identifikasi terhadap jenis rumah di Desa Soko bertujuan untuk mengetahui ada berapa banyak jenis rumah yang rentan maupun tidak rentan terhadap bahaya longsor. Rumah dengan pondasi yang kuat tergolong jenis rumah yang tidak rentan. Sedangkan jenis rumah yang kondisinya rentan terhadap bahaya longsor adalah rumah dengan pondasi yang tidak kuat. Rumah dengan pondasi kuat adalah rumah yang tahan terhadap bahaya longsor, sedangkan rumah dengan pondasi tidak kuat adalah rumah yang tidak tahan terhadap bahaya 52
longsor. Alasan penduduk membuat rumah berpondasi adalah kesadaran mereka terhadap lingkungan daerah tempat tinggal mereka yang merupakan daerah rentan bahaya longsor. Jenis rumah penduduk pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Jenis Rumah Penduduk di Daerah Longsor Jenis Rumah
Jumlah Persentase (%)
Rumah dengan pondasi kuat
57
76.00
Rumah dengan pondasi yang tidak kuat
18
24.00
Jumlah
75
100.00
Sumber: Data Primer Dari Tabel 4.7 sebanyak 76% jenis rumah penduduk tergolong rumah dengan pondasi kuat. Sedangkan sebanyak 24% jenis rumah penduduk tergolong rumah dengan pondasi yang tidak kuat. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penduduk di Desa Soko yang rentan terhadap longsor adalah mereka dengan jenis rumah yang pondasinya tidak kuat, dan penduduk yang tidak rentan terhadap longsor yaitu mereka yang rumahnya mempunyai pondasi yang kuat. Seperti apa hubungan jenis rumah dengan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hubungan Jenis Rumah dengan Tingkat Pendapatan
Tingkat Pendapatan (%) Jenis Rumah
Rumah dengan pondasi kuat Rumah dengan pondasi tidak kuat Jumlah
Jumlah
≤
500.000 -
1.000.000 -
1.500.000 -
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2,67
34,67
29,33
9,33
76,00
1,33
21,33
1,33
0,00
24,00
4,00
56,00
30,67
9,33
100,00
Sumber: Hasil Analisis
53
Sebagian besar penduduk yang mempunyai jenis rumah dengan pondasi kuat adalah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,- yakni sebesar 34,67%. Kemudian sebesar 29,33% penduduk yang mempunyai rumah dengan pondasi kuat adalah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.500.000,-. Penduduk yang mempunyai jenis rumah dengan pondasi kuat, hanya sebesar 9,33% yang tingkat pendapatan penduduk Rp. 1.500.000,- s/d Rp.2.000.000,-. Selain itu, hanya sebesar 2,67% penduduk yang mempunyai rumah dengan pondasi kuat yang tingkat pendapatannya kurang dari Rp. 500.000,-. Sebagian besar penduduk yang mempunyai jenis rumah dengan pondasi tidak kuat adalah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,yakni sebesar 21,33%. Penduduk yang mempunyai jenis rumah dengan pondasi tidak kuat dengan tingkat pendapatan penduduk Rp. 1.500.000,- s/d Rp.2.000.000,-, masing-masing hanya sebesar 1,33%. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa penduduk yang pendapatannya besar tidak selalu membuat rumah dengan pondasi yang kuat karena sebagian besar dari mereka mendapatkan rumah yang berasal dari warisan beserta lahannya.
4.7
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk di Desa Soko perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis hubungan antara tingkat pendidikan penduduk dengan keinginan berpindah penduduk. Penduduk yang tingkat pendidikannya lebih tinggi tidak akan rentan terhadap bencana dibandingkan mereka yang pendidikannya lebih rendah. Karena penduduk yang pendidikannya lebih tinggi, mereka akan memikirkan bagaimana keadaan daerah bencana dan dampaknya nantinya. Sehingga kemungkinan seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi akan lebih dapat untuk melakukan adaptasi, misalnya penduduk lebih pintar bagaimana membangun rumah di daerah longsor. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.9 bahwa sebagian besar penduduk yang tingkat pendidikannya tinggi mempunyai jenis rumah dengan pondasi kuat sebesar 37,33%, sedangkan sebagian kecil penduduk yang tingkat pendidikannya rendah mempunyai jenis rumah dengan pondasi tidak kuat. Bagaimana hubungan jenis rumah dengan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.9. 54
Tabel 4.9 Hubungan Jenis Rumah dengan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan (%) Jenis Rumah
Jumlah
Tidak Tamat
Tamat
Tamat
Tamat
SD
SD
SMP
SMA
Rumah dengan pondasi kuat
13,33
5,33
20,00
37,33
76,00
Rumah dengan pondasi tidak kuat
12,00
0,00
8,00
4,00
24,00
Jumlah
25,33
5,33
28,00
41,33
100,00
Sumber: Hasil Analisis
Seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan akan membuat tingkat pendapatannya tinggi pula. Sebaliknya seseorang yang pendidikannya rendah cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak bagus dan pendapatannya juga rendah. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan akan berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Seperti apa tingkat pendidikan penduduk di daerah longsor dapat dilihat pada Tabel 4.10 Tabel 4.10 Tingkat Pendidikan Penduduk di Daerah Longsor Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
Tidak Tamat SD
19
25,33
Tamat SD
4
5,33
Tamat SMP
21
28,00
Tamat SMA
31
41,33
Jumlah
75
100,00
Sumber: Data Primer
Dari Tabel 4.10 diketahui persentase terbesar dari tingkat pendidikan penduduk di Desa Soko yaitu tamat SMA dengan 41,33%, selanjutnya persentase terbesar kedua dari tingkat pendidikan penduduk adalah tamat SMP yaitu sebanyak 28%, dan yang ketiga adalah tidak tamat SD dengan persentase 25,33%. Selain itu juga dapat dilihat ada penduduk yang berpendidikan tamat SD dengan persentase sebanyak 5,33%.
55
4.8
Partisipasi Sosial Penduduk di Daerah Rentan Bahaya Longsor Variabel partisipasi sosial yang akan diindentifikasi adalah yang berhubungan dengan ada atau tidaknya keikutsertaan penduduk dalam kegiatan kemasyarakatan yang ada di daerah tempat tinggalnya, seperti arisan, kumpulan warga atau pengajian warga. Identifikasi variabel partisipasi sosial bertujuan untuk mengetahui apakah variabel partisipasi sosial mempunyai hubungan atau tidak dengan keinginan berpindah penduduk. Penduduk yang ikut dalam suatu kegiatan kemasyarakatan akan merasa kondisinya tidak rentan dibanding dengan mereka yang tidak sama sekali ikut dalam kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya, karena penduduk yang ikut dalam kegiatan tersebut akan merasa lebih nyaman, tenteram, dan mempunyai hubungan partisipasi yang baik dengan lingkungannya. Jadi, masyarakat yang merasa nyaman dan tenteram tersebut akan lebih mengetahui bagaimana keadaan daerah yang rentan bahaya longsor apabila masyarakat lebih banyak mengikuti kegiatan kemasyarakatan tersebut.
Seperti
apa
komposisi
penduduk
yang
mengikuti
kegiatan
kemasyarakatan ataupun tidak dapat dilihat pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Interaksi Sosial Penduduk di Daerah Longsor Keikutsertaan Kegiatan Kemasyarakatan
Jumlah
Persentase (%)
Ya
42
56,00
Tidak
33
44,00
Jumlah
75
100,00
Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 4.11 dapat disimpulkan sebanyak 56% penduduk mengikuti kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya, sedangkan sebanyak 44% tidak mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Berdasarkan survei serta informasi dari hasil wawancara ada beberapa jenis kegiatan dan organisasi kemasyarakat yang ada di Desa Soko dan diikuti oleh penduduk, seperti arisan, pengajian, dan karang taruna.
56
“Ya jelas saya ikut dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti arisan biasanya 1 minggu sekali”. (Rec.01) Berdasarkan uraian tersebut dapat katakan bahwa seluruh responden di Desa Soko tidak rentan terhadap aspek partisipasi sosial.
4.9 Persepsi Penduduk Terhadap Daerah Rentan Bahaya Longsor Keadaan fisik, sosial dan ekonomi sangat erat hubungannya dengan penilaian terhadap daerah tempat tinggal. Lahan di daerah penelitian merupakan tempat sebagai sumber mata pencaharian penduduk yaitu swasta dan pertanian. Selain itu, kesempatan kerja di luar swasta dan pertanian dapat pula di lakukan di daerah ini. Maka dari itu keadaan ekonomi dapat dikatakan cukup baik sejalan dengan perkembangan kesejahteraan rumah tangga yang bertambah baik. Selain itu pula, dapat dikatakan jalinan kekerabatan atau hubungan kemasyarakatan cukup baik antar sesama warga. Lingkungan tempat tinggal yang baik akan membuat penduduk untuk dapat menilai keadaan daerah tempat tinggalnya. Walaupun di daerah penelitian pernah terjadi longsor, mereka tetap bertahan di daerah tempat tinggalnya. Namun, dapat dijelaskan persepsi penduduk di daerah penelitian pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Persepsi Penduduk Terhadap Daerah Longsor Persepsi Penduduk Terhadap Daerah Longsor
Jumlah
Persentase (%)
Perlu ada perhatian dari pemerintah
8
10,67
Harus ditinggalkan
5
6,67
Harus hati-hati dan waspada
3
4,00
Bahaya dan khawatir untuk menjadi tempat tinggal
38
50,67
Takut kalau terjadi longsor lagi
2
2,67
Sangat prihatin
8
10,67
Sudah terbiasa
1
1,33
Tidak tahu
10
13,33
67
89,33
Jumlah
57
Sumber: Data Primer
Sebagian besar penduduk di daerah penelitian yakni sebesar 50,67% mengatakan bahwa di daerah tempat tinggal mereka merupakan daerah yang berbahaya untuk menjadi tempat tinggal dan mereka merasa khawatir untuk tetap terus tinggal di daerah tersebut. “Bahaya itu, bagaimana ya...kalau malam sulit tidur takut kalau malam terjadi longsor”. (Rec.03) Jadi dapat dikatakan, mereka tetap ingin tinggal di daerah ini, namun selalu dibayangi bahaya longsor yang dapat terjadi kapanpun. Selanjutnya, 13,33% mengatakan tidak tahu mengenai daerah bahaya longsor, jadi dapat dikatakan penduduk tersebut kurang pengetahuannya tentang bahaya longsor. Kemudian, ada yang mengatakan bahwa perlu ada perhatian dari pemerintah dan dan sangat prihatin terhadap daerah bahaya longsor, masing-masing sebesar 10,67%. 6,67% penduduk mengatakan bahwa daerah longsor harus ditinggalkan, 4% penduduk mengatakan bahwa harus hati-hati dan waspada terhadap daerah longsor, dan 2,67 penduduk mengatakan bahwa takut kalau terjadi longsor lagi. Sebagian kecil penduduk di daerah penelitian yakni sebesar 1,33% mengatakan bahwa sudah terbiasa tinggal di daerah bahaya longsor. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa penduduk yang sudah terbiasa tinggal di daerah tersebut merupakan penduduk usia lanjut dan dapat hidup bertahan di daerah tersebut. Faktor kekerabatan merupakan salah satu penyebab mereka tetap ingin tinggal. Kebutuhan dasar untuk hidup juga merupakan faktor yang membuat penduduk terikat dengan daerah tempat tinggalnya. Banyaknya sumber pendapatan pada berbagai peluang kerja yang ada di daerah ini, meskipun bahaya longsor dapat terjadi kapanpun, mereka tetap ingin tinggal. Faktor penarik yang ada di daerah asal nampaknya terlihat lebih kuat daripada faktor penarik di daerah lain. Sebagian besar dari mereka merasa susah aman untuk tetap tinggal di daerah asal, meskipun dari penelitian tidak melihat hal tersebut.
58