perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 BAB IV JENIS-JENIS TINDAK TUTUR EKSPRESIF DAN DIREKTIF DALAM KTNS, DRNS, BNPA, RGPA PATHET SANGA DAN PATHETMANYURA
Bab ini merupakan pembahasan tindak tutur ekspresif yang selanjutnya disingkat dengan (TTE) dan tindak tutur direktif yang disingkat (TTD) sejalan dengan rumusan masalah TTE dan TTD dalam lakon yang dipentaskan oleh dua dalang, Nartasabda dan Purbo Asmoro. Lakon yang menjadi kajian objek penelitian ini adalah (1) lakon Karna Tandhing (KTNS), Dewaruci (DRNS) oleh Nartasabda; (2) dan Brubuh Ngalengka (BNPA), Rama Gandrung (RGPA), oleh Purbo Asmoro. Sajian wayang meliputi tiga babak, yakni pathet nem, pathet sanga (PS),dan pathet manyura (PM). Penelitian difokuskan pada PS dan PM karena dalam peristiwa tersebut disampaikan pesan-pesan lakon yang disajikan. Pesan yang disampaikandiharapkan berupa nilai-nilai kehidupan yang dapat ditangkap
oleh
penonton.
Sajian
kedua
dalang
masing-masingmemiliki
kemampuan sanggit atau garap yang berbeda-beda karena mereka berasal dari latar belakang kesenimanan yang berbeda. Salah satu unsur penting pada pertunjukan wayang kulit adalah catur yang diwujudkan dalam ginem (dialog tokoh wayang) dan kekuatan pertunjukan wayang dapat dicermati lewat catur (pocapan, janturan,dan ginem). Ginem (Gn) difokuskan pada adegan pathet sanga (PS) dan manyura (PM), khususnya tindak tutur ekspresif dan direktif. Dengan pengamatan dan mencermati ginem akan tampak bentuk-bentuk tuturan yang berwujud tuturan ekspresif dan tuturan direktif.Ginem yang disampaikan dalam pertunjukan wayang dilihat dari perspektif bahasa
mengandung tuturan memerintah atau direktif (directive).
Bentuk tutur inidimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra (mitratutur) tutur melakukan tindakan, Misalnya memesan (ordering), melarang (forbiding), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advise,) rekomendasi (recommending), dan melarang (forbid) (Nadar 2009:16). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 Kedua dalang mempunyai sanggit yang berbeda di dalam bertindak tutur lewat para tokohnya. Melalui pemakaian bahasa terungkap maksud dan tujuan dialog (ginem) yang berisi pesan yang disampaikan kepada masyarakat.Pesanpesan itu dapat ditangkap oleh penonton atau penghayat wayang. Demikian juga, pada saat dan cara memerintah akan terungkap berbagai cara memerintah. Misalnya memohon, meminta, mengajak, dan sebagainya. Demikian halnya, jenis TTE pada intinya adalah tindakan tentang apa yang dilakukan sebelumnya atau kegagalan tindakan dari pembicara atau mungkin hasil terakhir dari tindakan atau kegagalan itu. Ucapan ekspresif merupakan retrospektif dan pembicara terlibat. Kata kerja ekspresif yang umum (dalam konteks ekspresif) adalah mengesahkan, mengakui, menyangkal, dan memaafkan. Kondisi yang mendukung sama dengan tindak tutur verdiktif: tindakannya nyata, pembicara mampu melakukannya, pembicara berkata dengan yakin, dan lawan bicara memercayainya.Tindak tutur ekspresif
(expressives)merupakan
bentuk
tuturan
yang
berfungsi
untuk
menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap sesuatu keadaan, Misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf
(pardoning),menyalahkan
(blaming),
memuji
(praising),dan
berbelasungkawa (condoling). Dalam pembahasan digunakan teori Kreidler (1998) yang menitikberatkan kepada masalahtindak tutur ekspresif dan direktif. Di samping itu menggunakan teori pendukung dari Abdul Syukur Ibrahim (1993) sebagai pelengkap dalam teori Kreidler, ditegaskan bahwa TTE mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitratutur, baik yang berupa rutinitas ataupun yang murni. Perasaan dan pengekspresiannya cocok untuk jenis situasi tertentu. Misalnya, pencapaiansalam (greeting)
mengekspresikan rasa senang karena bertemu atau melihat
seseorang.Berterimakasih (thanking) mengekspresikan rasa syukur karena telah menerima sesuatu.Meminta maaf (apologuing)
mengekspresikan penyesalan
karena telah melukai atau mengganggu mitratutur. Belasungkawa (condoling) mengekspresikan simpati karena ketidakberuntungan atau musibah yang dialami mitratutur
(bukan
perbuatan Petutur). commit to user
Mengucapkan
selamat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 (congratulating)mengekspresikan rasa gembira karena mitratutur menerima kebahagiaan atau keberhasilan.
A. Tindak Tutur Ekspresif 1.
TTEPSdalam KTNS dan DRNS Sebuah ucapan ekspresif muncul dari tindakan sebelumnya, kegagalan
tindakan dari pembicara, atau mungkin hasil terakhir dari tindakan dan kegagalan itu. Ucapan ekspresif merupakan retrospektif yang melibatkan pembicara. Tuturan ekspresif
yang
umum
pencapaiansalam(greeting), (apologuing),
belasungkawa
(dalam
konteks
berterimakasih (condoling),
ekspresif)
(thanking), dan
meminta
mengucapkan
adalah maaf selamat
(congratulating). Kondisi yang mendukung sama dengan tindak tutur verdiktif: tindakannya nyata, pembicara mampu melakukannya, pembicara berkata dengan yakin, dan lawan bicara mempercayainya. Berikut pembahasan tentang TTE PS dalam lakon KTNS dan DRNS. TTE pathet manyura (PM) dan pathet sanga (PS) dalam KTNS ditemukan sebanyak 7 tuturan yang terdiri dari mengucapkan maaf 6 tuturan (42.85%) meliputi (PS sebanyak 1 tuturan dan PM sebanyak 5 tuturan), dan menolak ditemukan 1 tuturan (7.14%) meliputi PM 1 tuturan. TTE PM (PM) dan pathet sanga (PS) dalam DRNS ditemukan sebanyak 6tuturan menolak ditemukan 6 tuturan (37.50%) meliputi PS ditemukan satu tuturan dan PMsebanyak 5 tuturan. Berikut pembahasan tentang TTE dalam lakon DRNS. a. Mengucapkan Maaf TTE meminta maaf dapat dilihat ketika Basukarna meminta maaf kepada Bgw Dipayasa sebelum pembicaraan dimulai. Hal ini terlihat pada tuturan (KTNS.Gn.127S) berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 No. 001
(Dialog 127)
Tuturan: Bgw. Dipayasa: Karna, Karna, Basukarna : Lhoh, kula nuwun sewu. Nyuwun pangapunten wonten dhawuh?(KTNS.Gn.127S) Bgw. Dipayasa :Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pasthi, budi dayaning manungsa ora kuwawa ngungkuli garising kawasa. Nadyan sira sura sekti jayeng palugon nanging bakal dadi ringkih sabab nggonmu nyepelekake marang welinging gurumu... Terjemahan: Bgw. Dipayasa : „Karna, Karna‟ Basukarna : „Loh, saya mohon maaf, adakah perintah unutk saya‟ Bgw. Dipayasa : „Segala kodrat yang digariskan sudah tidak bisa dihalangi. Walaupun kamu kuat dan unggul namun akan dapat dipastkan lemah karena tidak menghiraukan pesan guru ...‟ Konteks : Penutur : Basukarna Petutur : Bgw. Dipayasa Tema : Tidak dihiraukannya sebuah nasehat akan membawa dampak yang tidak baik. Status : - Bgw. Dipayasa adalah tokoh sentral dan spiritual seorang pertapa dari Pertapaan Prasu salah seorang Begawan yang memiliki kemampuan di dalam olahperang atau strategi peperangan. - Basukarna seorang raja dari Awangga dan senopati atau panglima perang dari kerajaan Astina. - Hubungan keduanya adalah Dipayasa sebagai guru dan Basukarna sebagai murid. Tempat : Pertapaan Prasu Situasi Tuturan : Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Basukarna berbincang-bincang dengan Dipayasa. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai permohonan maaf. Kata nyuwun pangapunten dalam tuturan “…Nyuwun panganpunten wonten dhawuh?” ...‟Mohon maaf adakah perintah‟ merupakan tuturan ekspresif (TTE) menyatakan permohonan maaf atas apa yang akan dilakukan, yakni Basukarna yang dihadap oleh Dipayasa. Basukarna meminta maaf kepada Bgw commit to user Dipayasa sebelum memulai pembicaraan. Hal ini dapat dikatakan sebagai TTE
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91 permintaan maaf
dilihat dari adanya pemarkah kata nyuwun
„mohon maaf‟. Pemarkah nyuwun
pangapunten
pangapunten merupakan TTE yang
menyatakan permintaan maaf. 2. TTE PS dalam BNPA dan RGPA TTE pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam BNPA ditemukan sebanyak 9 tuturan menolak (75%) meliputi PS ditemukan 4 tuturan dan PM 5 tuturan. TTE PS dan PM dalam RGPA ditemukan sebanyak 1 tuturan yang terdiri mengucapkan maaf (33,33%). Berikut pembahasan tentang TTE dalam lakon BNPA dan RGPA.
a. Mengucapkan Maaf Tindak tutur ekspresif meminta maaf ditemukan 1 tuturan, yakni dapat dilihat ketika Marica meminta maaf kepada Dasamuka. Hal ini terlihat pada tuturan (RGPA.Gn.067S) berikut. No. 002
(Dialog 67)
Kalimat Dasamuka: Kowé kondhang wong pothèt kowé wong julik, piyé carane kowé bisa misah Ramawijaya karo bojoné. ... Marica :Adhuh…adhuh…adhuh..nyuwun panganpunten…nyuwun panganpunten… (RGPA.Gn.067S). Terjemahan: Dasamuka: „Kamu terkenal licik bagaimana caranya dapat memisahkan Ramawijaya dengan istrinya‟. Marica :Adhuh…adhuh…adhuh..mohon maaf‟ Konteks Penutur: Dasamuka Petutur : Marica Tema Dasamuka memberikan sanjungan kepada Marica bahwa sebagai orang yang pandai mengatur cara. Tujuan Agar Dasamuka mendapatkan Sinta untuk dijadikan istrinya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 Status - Dasamuka adalah seorang raja di Alengkadiraja yang berperangai jahat. Anaknya Raja Begawan Sarwa dengan ibu Dewi Sukeksi. mempunyai saudara Kumbakarna, Wibisana, dan Sarpakenaka - Marica, pembantu Dasamuka yang pandai membuat siasat dalam melakukan kejahan Dasamuka. - Hubungan Raja dengan abdi Tempat Tengah hutan Dandaka Situasi Tuturan Tenang formal saat Dasamuka berbincang-bincang dengan Marica perihal Sinta Analisis Tuturan Adhuh...adhuh...adhuh...nyuwun pangapunten nyuwun pangapunten… tuturan ini merupakan TTE karena ada pemarkah kata nyuwun pangapunten „maaf‟ yang merupakan salah satu indikator penanda lingual tindak tutur ekspresif. Hal ini dapat dilihat pada saat Dasamuka membeberkan dan mengakui Marica sebagai seorang tokoh yang sangat tahu cara. Hal ini dimaksudkan agar Marica dapat mengambilSinta dari Ramawijaya untuk dijadikan istri Dasamuka. b. Menolak Tuturan menolak ditemukan 4 tuturan, tetapi berikut hanya akan dikemukakan 3 tuturan saja, yakni ketika Wibisana merasa tidak membutuhkan akan pembicaraan dari Indrajit. Tuturan ini dikatakan menyangkal karena Indrajit dianggap terlalu banyak bicara yang membuat Wibisana tidak berkenan di hatinya. No. 003
(Dialog 031)
Kalimat : Indrajit Wibisana
: Inggih, dahat kapundhi paman. :Ora susah kakèhan gunêm kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun bapa ya nggèr! (BNPA.Gn.031S).
Terjemahan: Indrajit : „Iya yang terhormat Paman‟ Wibisana : ‘Tidak usah banyak bicara yang tiada gunanya sudah commit to user saatnya dengarkan apa yang menjadi ucapan Bapak ya Nak!‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 Konteks: Penutur :Indrajit Petutur : Wibisana Tema: Paman Wibisana melarang Indrajit untuk banyak bicara dan agar mendengarkan petunjuknya. Tujuan: Agar Indrajit melaksanakan dan mendengarkan apa yg dikehendaki Paman Wibisana bahwa manusia hidup harus bertanggung jawab. Status: - Wibisana ialah adik kandung Dasamuka,tetapi ia selalu berpihak kepada Ramawijaya karena tidak senang dengan perbuatan kakaknya yang telah mengambil Dewi Sinta-istri Ramawijaya. - Indrajit ialah anak Dasamuka. - Hubungan antara Wibisana dengan Indrajit adalah sebagai paman dan kemenakan. Dalam hal ini,Wibisana berhak melarang Indrajit untuk tidak perlu banyak bicara dan Arjuna mendengarkan petunjuknya. Tempat : Pasewakan Situasi Tuturan : Situasi tutur adalah formal. Situasi pada saat pisowanan dapat dirasakan kewibawaan dan keagungan seorang ratu yang dihadap para Punggawa dan kawula. Tuturan Ora susah kakéhan gunem kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun bapa ya nggèr! „Tidak usah banyak bicara yang tiada gunanya sudah saatnya saat ini dengarkan apa yang menjadi ucapan Bapak ya Nak!‟ (BNPA.Gn.31/S). Tuturan di atas termasuk jenis TTE.Hal itu terbukti dengan hadirnya pemarkah ora susah „tidak usah‟. TTE menyangkal merupakan bentuk ketidaksetujuan akan sesuatu hal. Untuk itu, kata ora susah dikategorikan ke dalam TTE menyangkal. Penyangkalan ini terjadi ketika Wibisana memberikan saran kepada Indrajit, tetapi saran itu selalu dibantahnya. No. 004
(Dialog 36)
Tuturan: Wibisana : Lho arep apa? Indrajit : Sampéyan wong tuwa, kula ngêrti sampéyan wong pintêr gunêman. Nanging jagad wis nêksèni lorèking pakartimu. ….(BNPA.Gn.036S) Terjemahan: Wibisana :‟Kau mau commit apa?‟ to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 Indrajit
:‟Kamu sebagai orang tua, saya tahu Kamu orang pandai bicara. Namun, dunia sudah mengetahi tindakanmu.‟
Konteks: Penutur: Wibisana Petutur : Indrajit Tema: Tindakan Wibisana dianggap sebagai pengkhianatan oleh Indrajit karena mengikuti Ramawijaya yang sebagai musuhnya. Status: - Wibisana ialah adik kandung Dasamuka, tetapi ia selalu berpihak kepada Ramawijaya karena tidak senang dengan perbuatan kakaknya yang telah mengambil Dewi Sinta – istri Ramawijaya. - Indrajit ialah anak Dasamuka. - Hubungan antara Wibisana dengan Indrajit, yakni sebagai paman dan kemenakan. Dalam hal ini Wibisana berhak melarang Indrajit untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya dan Arjuna mengutamakan keutamaan. Tempat: Peperangan medan pertempuran Situasi tuturan: Formal Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Indrajit berbincang-bincang dengan Wibisana. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pengakuan terhadap Wibisana oleh Indrajit. Tuturan Sampeyan wong tuwa, kula ngerti sampeyan wong pinter guneman. Nanging jagad wis nekseni loreking pakartimu. Indrajitterhadap Wibisana
(BNPA.Gn.36/S). Tuturan
tergolong jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari
pemarkah kata nekseni „mengakui seksama‟.Pemarkah nekseni merupakan TTE yang menyatakan pengakuan.Cara menyampaikan TTE adalah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 005
(Dialog 038)
Tuturan: : … Mula têkaku ing kéné kejaba arêp ngadili Ramawijaya sak munyuk-munyuké nanging klêbu qong kêparat kaya kowé paman Wibisana : … Pancen ora kênèk diêlus kowé. Aja nganti ana ingkang ngluputake Gunawan Wibisana yenta pun paman tega menyang anak. (BNPA.Gn.038S). Terjemahan: Indrajit : „Maka dari itu saya datang disini kecuali akan memberikan keadilan Ramawijaya bersama antek-anteknya termasuk commit to user kamu Paman‟ Indrajit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 Wibisana : „Memang sudah tidak bisa diingatkan. Jangan sampai ada yang menyalahkan Gunawan Wibisana bilamana sampai hati membunuh terhadap anaknya‟.Konteks: Penutur : Indrajit Petutur : Wibisana Tema: Wibisana terpaksa membunuh Indrajit karena tidak bisa mengindahkan nasihatnya. Status: - Wibisana ialah adik kandung Dasamuka namun ia selalu berpihak kepada Ramawijaya, karena tidak senang dengan perbuatannya kakaknya yang telah mengambil Dewi Sinta – istri Ramawijaya. - Indrajit ialah anak Dasamuka - Hubungan antara Wibisana dengan Indrajit, yakni sebagai Paman dan kemenakan. Dalam hal ini,Wibisana berhak melarang Indrajit untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya dan Arjuna mengutamakan keutamaan. Tempat: Medan perang Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Wibisana berhadapan dengan Indrajit. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pernyataan menyalahkan tentang Indrajit Tuturan Pancen ora kenek dielus kowe. Aja nganti ana ingkang ngluputakeGunawan Wibisana (BNPA.Gn.038S). Tuturan Wibisana
terhadap
Indrajit merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata ngluputake „menyalahkan‟. Pemarkah kata ngluputake merupakan TTE yang memiliki maksud menyalahkan Indrajit ketika Wibisana
memberikan
sarannya.Akan tetapi, saran itu tidak dihiraukan oleh Indrajit. Untuk itu, Wibisana memberikan penyangkalan dengan wujud pertuturan tersebut.
3. TTE PM dalam KTNS dan DRNS TTE PM
dalam lakon KTNS terbagi atas tuturan yang menyatakan
mengucapkan maaf sebanyak 5 tuturan, dan menolak sebanyak satu tuturan. TTE PM dalam DRNS menolak terdapat 5 tuturan. Berikut paparan tentang TTE dalam PM lakon KTNS dan DRNS. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 a.
Mengucapkan Maaf Tuturan yang menyatakan pengucapan maaf ditemukan sebanyak
5
tuturan.Namun,hanya akan dikemukakan 3 tuturan, yakni ketika Arjuna merasa tidak yakin terhadap permintaan maaf Basukarna kepada Dipayasa saat mendengarkan pesannya. Berikut tuturan yang dimaksudkan. No. 006
(Dialog 129)
: Dhuh penemban….Ooo…penemban, nyuwun pangapunten penemban (KTNS.Gn.129.M). Bgw Dipayasa :He….. Karno, Karno, nggonmu kepingin jaluk menang among kena tak upamakake kaya suket aking kang kepingin semi ing mangsa ketiga. Basukarna
Terjemahan: Basukarna
: „Dhuh penemban….Ooo…penemban, mohon maaf penemban’ Bgw Dipayasa : „He…Karna, Karna, hasratmu untuk menang bisa diibaratkan bagaikan rumput bersemi di musim kemarau‟ Konteks: Penutur : Bgw Dipayasa Petutur : Basukarna Tema: Karna minta maaf atas kesalahan dalam mengabaikan sang guru Status: - Basukarna: raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Bgw Dipayasa: seorang pertapa dari Prasu yang sangat sakti dan tahu halhal yang akan terjadi. - Hubungan guru dengan murid Tempat: Pertapaan Prasu Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Basukarna berbincang-bincang dengan Dipayasa.Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai permohonan maaf. Tuturan Dhuh pênêmban…Ooo……pênêmban, nyuwun pangapunten penemban (KTNS.Gn.129.M) adalah tuturan Basukarna terhadap Dipayasadan termasuk jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata nyuwun pangapunten ‘mohon maaf‟. Pemarkah nyuwun pangapunten merupakan TTE commit to user yang menyatakan permintaan maaf. Hal ini dilakukan ketika Dipayasa sedang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 berbicara Basukarnaagar Basukarna bersedia mendengarkan apa yang akan diputuskan. Kemudian, Basukarna mengucapkan permohonan maaf.
No. 007
(Dialog 219)
Tuturan: Prb Salya
Basukarna
Terjemahan: Prb Salya Basukarna
: O, ngaten ya wis yen dhasare aku kudu kon momong anakku kula lampahi nanging ngaten sing jeneng prabu Karna menika bisu apa bisa guneman? : Rama prabu kula nyuwun pangapunten ing sak agengagengipun, kalawau kula matur ing ngersanipun yayi prabu Duryudana menika boten dumuk sinten asmanipun tiyang ingkang kedah angayomi lampah kula. (Ns.KT.Gn.219.M) : „O, ya sudahlah jika memang saya harus menurutinya akan saya lakukan, namun Karna itu tidak bisa bicarakah?‟ :„Rama prabu maafkan saya yang sebesar-besarnya, tadi saya sudah mengatakan di hadapan prabu Duryudana bukan berarti menunjuk satu nama yang harus mengiringi perjalananku‟.
Konteks: Penutur : Salya Petutur : Basukarna Tema: Duryudana menunjuk Salya agar bersedia menjadi sais mengawal Karna. Status : - Prb Salya Raja di Mandraka yang mempunyai tiga anak– Salya Raja di Mandraka mempunyai anak Banowati-Duryudana, Surtikanthi –Basukarna - Basukarna raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Hubungan menantu (Basukarna) dan mertua (Prb Salya). Tempat: Astina Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Basukarna berbincang-bincang dengan Salya. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai permohonan maaf. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya prabu kula nyuwun pangapunten ing sak agengcommit to user agengiPuntadewa… adalah tuturan Basukarna kepada Salya yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 jenis
TTE.
Hal
ini
dapat
dilihat
dari
adanya
pemarkah
kata
nyuwunpangapunten‘mohon maaf‟. Pemarkah nyuwun pangapunten merupakan TTE yang menyatakan permintaan maaf. Cara menyampaikan TTE adalah sebagai perintah langsung dan lugas No. 008(Dialog 226) Tuturan: Prb Salya : Apa kaya ngono kuwi wong ngêrti tata krama, hé? karepmu piyé? Basukarna :Inggih nyuwun pangapunten Rama prabu déné kula rade sawetawis tilar kasusilan. (Ns.KT.Gn.226.M) Terjemahan: Prb Salya: ‘Apakah seperti itu tahu tata santun, bagaimana kamu he?‟ Basukarna:„Ya maafkanlah Ramawijaya Prabu apabila saya sudah lama meninggalkan kesantunan‟. Konteks: Penutur : Salya Petutur: Basukarna Tema: Salya merasa terganggu karenatidak dihormati oleh Karna. Status: - Prb Salya Raja di Mandraka yang mempunyai tiga anak–Salya Raja di Mandraka mempunyai anak Banowati-Duryudana, Surtikanthi –Basukarna - Basukarna: raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Hubungan menantu (Basukarna) dan mertua (Prb Salya) Tempat: Astina Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Basukarna berbincang-bincang dengan Salya. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai permohonan maaf. Analisis tuturan: Tuturan Inggih
nyuwun panganpunten Ramawijaya prabu déné kula
rade sawetawis tilar kasusilan … adalah tuturan Basukarna kepada Prb Salya yang merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata nyuwun pangapunten ‘mohon maaf‟. Pemarkah nyuwun pangapunten merupakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 TTE yang menyatakan
permintaan maaf. Cara menyampaikan TTE adalah
sebagai perintah langsung dan lugas b. Menolak Tuturan menyangkal dalam KTNS ditemukan satu tuturan dan dalam DRNS ditemukan 5 tuturan.Namun, hanya akan dikemukakan 3 tuturan, yakni ketika Salya tidak sependapat dengan pernyataan Duryudana bahwa dirinya diminta untuk menjadi kusir saat Basukarnaa maju perang melawan Pandawa. Berikut tuturan yang dimaksudkan. No. 009
(Dialog 216)
Tuturan: Prb Salya
Duryudana Terjemahan: Prb Salya Duryudana
: Nanging ora ana jamak lumrahé yen maratuwa ora wêlas karo anakké yèn anaké mantu mau jêjêg adêké. (KTNS.Gn.216M) : Rama prabu sêpisan mênika kemawon, Rama prabu sêpisan menika kemawon. :‘Namun tidak layaknya apabila mertua tidak belas kasihan jika anak menantu tahu diri‟. :‘Ramawijaya Prabu sekali ini saja, Ramawijaya Prabu kali ini sajalah‟.
Konteks: Penutur : Salya Petutur : Duryudana Tema: Tidak ada orangtua yang tidak memperhatikan anak menantu Status: - Prb Salya Raja di Mandraka yang mempunyai tiga anak– Salya Raja di Mandraka mempunyai anak Banowati-Duryudana Surtikanthi –Basukarna. - Duryudana adalah Raja dari Astina anak dari Destarastra. - Masih saudara Tempat: Astina Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Salya berbincang-bincang dengan Duryudana. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan dari Salya kepada Duryudana. Tuturan: Nanging ora ana jamak lumrahé yèn maratuwa ora wêlas karo commit to user anakké yèn anaké mantu mau jêjêg adêké (KTNSGn.216/M). Tuturan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 Salyaterhadap Duryudana merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata ora ana jamak lumrahé „tidak selazimnya‟.Pemarkah ora ana jamak lumrahé merupakan TTE yang menolak. Hal ini dapat dilihat ketika Salya menyatakan penolakan atas usulan Duryudana bahwa Salya dijadikan sais/kusir kereta bagi menantunya yang bernama Basukarna. No. 010
(Dialog 369)
Tuturan: Werkudara Dewi Kunthi
Terjemahan: Werkudara Dewi Kunthi
: Piyé? : Ngêndi ana jamak lumrahé wong ngudi kawruh lan ngilmu kudu sarana bêbatên ilanging nyawa.…! (DRNS.Gn.369M) : „Bagaimana?‟ : „Mana ada lazimnya orang mencari ilmu Arjuna bersaranakan dengan menghilangkan nyawa‟.
Konteks : Penutur : Werkudara Petutur : Dewi Kunthi Tema : Mencari ilmu tidak harus dengan mengorbankan nyawa orang lain. Status: - Werkudara atau Dewaruci atau Bratasena anak dari Dewi Kunti– mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Dewi Kunthi ibunya Werkudara - Hubungan anak dengan ibu Tempat: Amarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Dewi Kunthi berbincang-bincang dengan Werkudara. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan, yakni dalam kata ngendi ana jamake „dimanakah lazimnya‟. Analisis tuturan: Tuturan: Ngêndi ana jamak lumrahé wong ngudi kawruh lan ngilmu kudu sarana bêbatên ilanging nyawa. (DRNS.Gn.369M). Tuturan Dewi Kunthi terhadap Werkudaraini merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya commit toPemarkah user pemarkah kata ngêndi ana „dimanakah‟. ngêndi ana merupakan TTE
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 yang menanyakan tentang kelaziman. Dewi Kunthi menyangkal bahwa di dalam mencari ilmu kesempurnaan hidup apakah harus mengorbankan nyawa diri sendiri. No. 011
(Dialog 398)
Tuturan: Arjuna Kresna
: Kula kaka prabu. : …Wo mungguh aku dadi kowé, guru kaya ngono kuwi kuduné nak ora langgêng urip. (DRNS.Gn.398M) Terjemahan: Arjuna : ‟Saya, kakanda raja‟. Kresna : „Wow, andaikan saya menjadi dirimu, guru seperti itu seharusnya tidak lama hidup‟. Konteks: Penutur :Arjuna Petutur : Kresna Tema: Mengkhawatirkan keberadaan seorang guru. Status: - Arjuna orang ketiga dari Pandawa lima putra Dewi Kunthi mempunyai karakter ragu dan Dewaruci dalam bertindak walau mempunyai ilmu yang tinggi. - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakanya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Hubungan kakak beradik Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Kresna berbincang-bincang dengan Arjuna. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai hal yang disangkal. Analisis tuturan: Wo mungguh aku dadi kowé, guru kaya ngono kuwi kuduné nak ora langgêng urip (DRNS.Gn/398M). Tuturan Kresna terhadap Arjuna merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata mungguh aku dadi kowé ‟andai aku menjadi dirimu‟. Pemarkah mungguh merupakan TTE yang menyangkal terhadap sesuatu yang dianggap tidak benar. Tuturan ini dianggap sebagai TTE menyangkal karena kata mungguh merupakan satu penolakan terhadap apa yang dilakukan seseorang commit namun, to user hal itu tidak benar. Hal ini bisa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 diamati ketikaKresnaterhadap Arjuna
berujar agar tidak menerima kehadiran
Duryudana yang dianggap menyesatkan dalam memberikan ajaran. No. 012
(Dialog 420)
Tuturan: Werkudara Anoman Werkudara
Terjemahan: Werkudara Anoman Werkudara
: Kowé ki wong tuwa apa bocah? Kowé ki wong tuwa apa bocah? : Aku wong tuwa dhasaré pêndhita. : Pêndhita kok méncla-ménclé ki kêpiye hê? Aku sing dudu pêndhita waé kudu nuhoni janji, kowé pêndhita kok arêp mèngèng ing sêsanggêman. (DRNS.Gn.420M) : „Kamu itu orangtua atau anak-anak?‟ : „Saya sebagai orangtua apalagi pendita‟ : Pêndhita kok tidak berpendirian itu bagaimana? Saya saja yang bukan pendita harus menepati janji, kamu seorng pendita kok akan ingkar dalam kewajiban‟.
Konteks: Penutur : Werkudara Petutur : Anoman Tema: Werkudara mengingatkan Anomanagar sebagai pendeta dapat menepati janji melaksankan tugasnya. Status: - Werkudara atau Bratasena anak dari Dewi Kunti – mempunyai adik Arjuna, Nangkula, dan Sadewa sertamempunyai kakak Puntadewa - Anomanadalah seorang pendita kera dari Kendalisada yang merupakan saudara tunggal bayu atau Guru dengan Werkudara. Anomanpernah menjadi panglima Ramawijaya. - Hubungan (keduanya sama-sama siswanya Batara Bayu). Tempat: Di tengah perjalanan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Werkudara berbincang-bincang dengan Anoman. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai hal yang disangkal/disalahkan. Tuturan: Pêndhita kok méncla-ménclé ki kêpiye hê… (DRNS.Gn.420M). Tuturan Werkudara terhadap Anoman ini merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata mencla-menclé „plin-plan/tidak konsisten‟. Pemarkah mèncla-ménclé merupakan TTE commit to yang user bermaksud menyangkal. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 dapat diamati ketika
Werkudara berhadapan dengan Anoman.Werkudara
bertutur kepada Anoman bahwa seorang pendita Arjuna konsisten di dalam berkata.Namun,
Anoman dikatakan mencla-mencle „tidak konsisten‟ dan ini
merupakan bentuk penyangkalan Werkudara terhadap Anoman.
4. TTE PM dalam BNPA dan RGPA TTE PM dalam lakon BNPA dan RGPA dan menolak 6 tuturan. Dalam PM RGPA.
Berikut paparan TTE yang mengandung makna mengucapkan
belasungkawa. a. Menolak TTE dalam PM lakon BNPA terdapat 5 tuturan,tetapi hanya akan dikemukakan hanya 3 tuturan sebagaimana tercantum di bawah ini. No. 013
(Dialog 52)
Tuturan : Sinta : Kabèh wis dadi kurbaning angkaramu. Dasamuka : Pancen ora kênèk diêlus kowé. Aja nganti ana ingkang ngluputaké Gunawan Wibisana? …. (BNPA.Gn.005M) Terjemahan: Sinta : „Semua sudah menjadi kurban ketamakanmu‟. Dasamuka : „Memang kalau kamu sudah tidak bisa dihalusi. Jangan sampai ada yang menyalahkan Gunawan Wibisana‟ Konteks: Penutur : Sinta Petutur : Dasamuka Tema: Dasamuka merasa bahwa ia sebagai orang yang jahat. Status: - Sinta istri Ramawijaya yang berada di Alengka di Taman Argasoka ditemani Trijata keponakan Dasamuka. - Dasamuka ialah raja di Alengkadiraja dan yang merebut istri dari Ramawijaya.Dasamuka ialah raja Alengkadiraja yang dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan selalu mencari titisan Widawati untuk dijadikan istri. - Hubungan antara Sinta dan Dasamuka tidak ada kaitan, tetapi Dasamuka menganggap bahwa Sinta adalah titisan Widawati (bidadari istri Wisnu). Tempat: commit to user Taman Argosuka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Rmawijaya berhadapan dengan Dasamuka. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pernyataan menyalahkan Dasamuka. Tuturan: Pancèn ora kênèk diêlus kowe. Aja nganti ana ingkang ngluputaké
Gunawan
Wibisana(BNPA.Gn.052.M).
Tuturan
Ramawijaya
terhadap Dasamukaini merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata ngluputaké „menyalahkan‟. Pemarkah kata ngluputaké merupakan TTE yang menyalahkan.Hal ini dapat dilihat ketika Dasamuka bertemu dengan Sinta. Dasamuka menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Sinta disangkal oleh Dasamuka, yakni dalam kata ngluputke „menyalahkan‟. Hal ini dikategorikan sebagai bentuk penyangkalan atas diri Sinta oleh Dasamuka. No. 014
(Dialog 65)
Tuturan: Ramawijaya Dasamuka
: Nadyan kowe Sintauyutan nanging kabèh mau mung merga kêpêksa.(BNPA.Gn.065M) : Tekamu ngapa, hêm?
Terjemahan: Ramawijaya:‟Walau kamu disegani namun Semua itu hanyalah karena terpaksa‟. Dasamuka :„Datangmu mau apa, hem?‟ Konteks: Penutur : Ramawijaya Petutur : Dasamuka Tema: Peringatan Ramawijaya terhadap Dasamukabahwa yang telah dilakukan membuat orang lain rugi. Status: - Ramawijaya ksatria dan raja dari Ayodya beristrikan Sinta. - Dasamuka ialah raja di Alengkadiraja dan yang merebut istri dari Ramawijaya.Dasamuka dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan selalu mencari titisan Widawati untuk dijadikan istri. - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Ramawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Medan pertempuran Situasi tuturan: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat berhadapan dengan Dasamuka. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pernyataan menyalahkan tentang Dasamuka. Tuturan: Nadyan kowe sinuyutan nanging kabèh mau mung merga kepeksa (BNPA.Gn.65/M).Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka ini merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata Nadyan…nanging...‟walau dan namun‟. Pemarkah nadyan…nanging merupakan TTE yang menyalahkan atau menyangkal akan keberadaan
Dasamuka. Hal itu dapat diamati ketika
Ramawijaya dihadap Dasamukayang menyatakan penyangkalan bahwa kekuatan Dasamuka itu hanya karena semua orang merasa tunduk kepada Dasamuka yang hanya basa-basi saja. No. 015
(Dialog 095)
Tuturan: Lesmana: Botên, taunana windonana badhé kula srantos wontên mriki Sinta : … aku ra ngira jêbul nggonmu bêkti marang sêdulur tuwa ra kandhas ing batin. ... (RGPA.Gn.095M) Terjemahan: Lesmana: „Tidak, walau berapa tahun, dan windu akan Saya nanti di sini‟. Sinta :‟Tidak menyangka ternyata hormatmu kepada saudara tua tidak tulus sampai batin‟. Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Sinta Tema: Sinta menuduh Lesmana yang ingin mencintainya karena Lesmana Status: - Lesmanaadalah seorang kasatria dari Ayodya, adik Ramawijaya satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata)dengan beda ibu Dewi Sumitrawati. - Sinta putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili diperistri oleh Ramawijaya. - Hubungan saudara adik ipar Tempat: Di tengah hutan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Sinta berbincang-bincang dengan Lesmana. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai rasa menyalahkan Lesmana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 Tuturan: aku ra ngira jebul nggonmu bêkti marang
sêdulur tuwa ra
kandhas ing batin (RGPA.Gn.095/M). Tuturan Sinta terhadap Lesmana ini merupakan jenis TTE. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata ra ngira jêbul „tidak menyangka ternyata‟. Pemarkah ra ngira jêbul merupakan TTE yang menyatakan rasa penyangkalan terhadap Lesmana yang selama ini dianggap sebagai adik yang amat setia. Namun, Sinta menduga bahwa Lesmana mempunyai hasrat ingin menguasi cintanya karena Sinta telah lama ditinggal oleh Ramawijaya. Berikut pemakaian prosentasi dalam rekapitulasi TTE.
Tabel4.1. Prosentase TTE dalam Lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA.
LAKON DAN DALANG NO
JENIS TTE KTNS
1 2
DRNS
BNPA
RGPA
-
1(33.33%) S=0,M=1
Meminta Maaf
6(42.85%) S=1,M=5
-
Menolak
1(7.14%) S=0,M=1
6(37.50%) S=1,M=5
9(75%) S=4,M=5
-
Jumlah
7
6
9
1
B. Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur dimana si pembicara berusaha membuat lawan bicaranya melakukan sesuatu atau menanggapi sebuah tindakan atau mengulanginya. Direktif (directives) mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Apabila sebatas pengertian ini yang diekspresikan, direktif (directives) merupakan konstatif (constatives) dengan batasan pada isi proposisinya, yakni tindakan yang akan dilakukan ditujukan kepada mitratutur. Akan tetapi, direktif (directives)dapat mengekspresikan maksud penutur (keinginan) sehingga ujaran atau sikap yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitratutur. Pemakaian istilah itu disertai dengan catatan bahwa keduanya masih samar sebab terlalu luas untuk bisa mencakup keenam jenis tindak yang masuk dalam kategori ini. TTD dalam BNPA dan RGPA dalamPMterbagi atas tuturan yang menyatakan menolak yang menduduki posisi paling banyak,yakni sebanyak 8 (delapan) tuturan seperti terdapat dalam tuturan ora susah kakéhan, nanging jagad wis nêksèni loreking ngluputaké Gunawan.
1.
TTD PS dalam KTNS dan DRNS TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam KTNS ditemukan
sebanyak
57
tuturan:requestsebanyak
8
tuturan
(14.35%)
S=1,
M=7,questionsebanyak4 (7.17%) = 4, M=0,requirementsebanyak 18(31.57%) S=2,
M=16,prohibitiviessebanyak9(15.78%) S=4,M=5,permisifsebanyak 11
(19.29%) S=2, M=9, dan advisorsebanyak 7 (12.28%) S=1, M=6. TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam DRNS ditemukan sebanyak
40
tuturan:requestsebanyak
8
tuturan
8
(20%)
S=0,
M=8,questionsebanyak5 (12.5%) S=1, M=4, requirementsebanyak 12 (30%) S=1, M=11,prohibitiviessebanyak 3 (7.5%) S=0, M=3, permisif sebanyak 2 (5%) S=0, M=2,dan advisorsebanyak 10 (2.5%) S=0,M=10. a. Meminta No. 001 (Dialog 47) Tuturan: Semar : é….. kula ndara (e….ya ndara). Arjuna:Mêngko wisé ngancik Surya rumangsang dibacutaké manèh nggoné padha lumaku. (KTNS.Gn.047S). Terjemahan: Semar : „E….ya ndara‟. Arjuna:‟Nanti setelah sore berlalu dilanjutkan lagi yang pada berjalan.‟ Konteks: Penutur : Semar Petutur : Arjuna commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 Tema: Arjuna mengajak Semar setelah matahari tenggelam perjalanan akan dilanjutkan. Status: - Arjuna seorang ksatria Pandawa, adik Raja Darma Kusuma ibunya bernama Kunthi dan ayahnya Pandhu. - Semar adalah Punakawan yang di pihak baik dan benar/adalah dewa yang hidup penuturya sebagai pamong Pandawa. - HubunganSemar sebagai penasihat dan abdi, pemberi motivasi, pengendali, dan pendorong di pihak Pandawa. Tempat: Perjalanan antara Pesanggrahan Pandawa dan medan perang Tegal Kurusetra. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah informal/kekeluargaan (santai) antara seorang ksatria dengan pamongnya. Tuturanmengko wise ngancik surya
rumangsang dibacutaké manèh
nggoné padha lumaku. Tuturan Arjuna terhadap Semarini merupakan jenis TTD.Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah dibacutaké maneh „dilanjutkan lagi‟.Pemarkah dibacutaké manèh merupakan TTD memerintah danmerupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟. Selain itu, pemarkah ini berfungsi sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba di+bacut+ke. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung dan lugas. b.
Menanyakan
No. 002
(Dialog 101)
Tuturan: Surtikanthi : Inggih sampun kula cawisakên… Basukarna : Apa ra ana daharan kang (KTNS.Gn.101S) Terjemahan: Surtikanthi : „Iya sudah saya siapkan…‟ Basukarna : „Apa tidak ada makanan yang tersedia?‟ Konteks: Penutur : Surtikanthi Petutur : Basukarna Tema: Basukarna menanyakan apakah tidak commit totersedia user makanan.
sêmandhing?
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 Status : - Basukarna: raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi adalah putri Raja Mandraka, anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan: suami istri Tempat: Ngawangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih. Tuturan dapat dilihat pada saat Surtikanthi berbincang-bincang dengan Basukarna. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan. Analisis tuturan: Apa ra ana daharan kang sêmandhing.
Tuturan Basukarna terhadap
Surtikanthiini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata apa? Pemarkah apa? merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan dan ditandai dengan penanda lingual tanda tanya (?). Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 003
(Dialog 103)
Tuturan: Surtikanthi : Pun kula cawisakên Basukarna : Siadhi kok kêthul ya? Siadhi kok kethul?.… (KTNS.Gn.103S) Terjemahan: Surtikanthi : „Sudah saya sediakan‟. Basukarna : „Adinda kok bodoh ya? Adinda kok bodoh‟. Konteks: Penutur :Surtikanthi Petutur :Basukarna Tema: Karna mengingatkan ketidakpemahaman Surtikanthi Status: - Basukarna raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi putri Raja Mandraka, anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan suami-istri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 Tempat: Ngawangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih. Tuturan dapat dilihat pada saat Surtikanthi berbincang-bincang dengan Basukarna. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan. Analisis tuturan: Tuturan: Siadhi kok kêthul ya? Tuturan Basukarna terhadap Surtikanthi ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata kêthul ya? dalam kalimat Siadhi kok kêthul ya „Adinda tidak cerdik ya‟. Pemarkah kethul ya?merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan dan ditandai dengan penanda lingual tanda tanya (?). Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 004
(Dialog 141)
Tuturan: Yamawidura
: Kula botên maibên sungkawaning penggalih paduka kakang ratu. Kunthi Talibrata : …Ginanipun mênapa kula gêsang tansah mêkatên, aluwung pêjahpun botên ngraosakên pênandhang.(KTNS.Gn.141S). Terjemahan: Yamawidura : „Saya tidak bisa membayangkan sedihnya memikirkan paduka kakanda ratu‟. Kunthi Talibrata : „Apakah gunanya saya hidup yang selalu begini, lebih naik mati susah tidak merasakan kesedihan‟. Konteks: Penutur : Kunthi Petutur :Yamawidura Tema: Kunthi tidak tahan melihat situasi perang Bratayudha dan memilih lebih baik mati. Status: - Yamawidura adalah putra Abiyasa dan adik Pandu (suami Dewi Kunthi Talibrata), sedangkan anak Abiyasa adalah Pandu Dewanata, Destarastra Yamawidura. - Kunthi Talibrata adalah istri Pandu di Astina dan ibunya para Pandawa. - Hubunganya adalah adik ipar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 Tempat: Pasanggrahan Panggombakan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih. Tuturan dapat dilihat pada saat Kunthi berbincang-bincang dengan Yamawidura. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan. Analisis tuturan: Tuturan Ginanipun mênapa kula gesang tansah mêkatên. Tuturan Kunthi terhadap Yamawidura ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata menapa „apakah‟. Pemarkah menapa merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan. Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 005
(Dialog 283)
Kalimat: Hareksi: Kakang, aku luuwung lampus jiwa, luwung suduk jiwa lan lampus dhiri ngêndhat talumurda kakang, yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nuruti pênjalukku, yaitu dagingé wong bagus kakang kakang. Hareksa: Wah hê, biyèn wêtonmu apa hara?… .(DRNS.Gn.283S) Hareksi : Yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nyêmbadani. Terjemahan: Hareksi : „Kakak, aku lebih baik mati apabila tidak kesampaian hasratku yakni makan dagingnya orang bagus ya Kakanda‟ Hareksa:„Wah dulu hari lahirmu apa coba‟. Hareksi :„Kalau sampai Kakanda tidak mau menurutiku. Konteks: Penutur : Hareksa Petutur : Hareksi Tema: Permintaan dari Hareksi kepada Hareksatentang keinginannya. Status: - Hareksi adalah seorang wanita reinkarnasi Dewi Kumaratih yang terkena kutukan dari Dewa yang tertinggi. - Hareksa adalah dewa kumajaya yang sedang terkena kutukan. - Hubungan suami istri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 Tempat: Di Telenging Samodra Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan dapat dilihat pada saat Hareksa berbincang-bincang dengan Hareksi tentang keinginannya. Analisis tuturan: Tuturan Wah hê, biyèn wêtonmu apa hara? Tuturan Hareksa terhadap Hareksiini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata apa hari „apakah coba‟. Pemarkah apa hara? merupakan TTD yang menanyakan tentang sesuatu. Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas. c. Memerintah No. 006
(Dialog 27)
Tuturan: Prb Hardawalika : Eee…patih majua lungguhmu. (KTNS.Gn.27S). Patih Kridamanggala: Kawula noknon nun inggih .. Terjemahan: Prb Hardawalika : „Eeee, patih, majulah dudukmu‟. Patih Kridamanggala:.. „Saya laksanakan‟. Konteks: Penutur : Hardawalika Petutur : Kridhamanggala Tema: Raja Hardawalika menyuruh maju duduknya karena ingin bicara sesuatu yang penting. Status: - Prb Hardawalika adalah Raja di Gua Barong , raja Raksasa. - Kridhamanggala: patihnya Prb Hardawalika. - Hubungan: antara atasan dan bawahan, patih dan raja. Tempat: Di Kerajaan Gua Barong Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tenang (agung) karena acara pisowanan agung di keraton, yakni Patih sedang menghadap rajanya. Analisis tuturan: Eee…patih
majua
lungguhmu… Tuturan Hardawalika terhadap commit to user Kridhamanggala merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 pemarkah majua „majulah‟. Pemarkah majua merupakan TTD memerintahdan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟. Selain itu, pemarkah ini berfungsi sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba maju+a. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 007
(Dialog 40)
Tuturan: Patih Kridamanggala :… Arjuna dipun cucupa bun-bunanipun mangké tumuntén énggal dumugining pêjah. Prb Hardawalika : Wis ya patih mangsa boronga nggonmu rumêksa yuwananing praja aku pamit patih. (KTNS.Gn.40S) Terjemahan: Patih Kridamanggala :…‟Arjuna dikecup ubun-ubunya sampai pada ajalnya‟. Prb Hardawalika : „Sudah ya patih,terserahlah dirimu dalam menjaga diri, saya mohon diri patih‟. Konteks: Penutur : Hardawalika Petutur : Kridhamanggala Tema: Hardawalika meminta patih untuk menjaga keraton karena ditinggal pergi. Status: - Prb Hardawalika adalah Raja di Gua Barong, raja Raksasa. - Kridhamanggala patihnya Prb Hardawalika. - Hubungan antara atasan dan bawan, patih dan raja. Tempat: Di Kerajaan GuaBarong Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang karena Hardawalika akan segera membunuh Arjunabilamana ditemukan. Analisis Tuturan: Tuturan Wis ya patih mangsa boronga nggonmu rumê ksa yuwananing praja aku pamit patih. Tuturan Hardawalika terhadap Kridhamanggalaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah mangsa boronga „terserahlah‟. Pemarkah mangsa boronga merupakan TTD memohon dan merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟. Penanda ini berfungsi sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba commit to user borong+a. Cara memerintah sebagai perintah tidaklangsung dan lugas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 No. 008 (Dialog 305) Tuturan: Arjuna: Kula pukulun, wontên pêngêndika ingkang adhawuh. Kamajaya: …. Jêr kawruhana kulup, Pandhawa kang Sinêbut hantiga sapêtarangan.(DRNSGn.305S). Terjemahan: Arjuna: „Ya saya, adakah yang diperintahkan‟. Kamajaya: ….‟ selalu ketahuilah Nanda, Pandhawa yang disebut sebagai telur dalam satu wadahnya‟‟. Konteks: Penutur : Arjuna Petutur : Kamajaya Tema: Pemberian nasihat Kamajaya terhadap Arjuna agar tidak khawatir terhadap Werkudara yang sedang berguru kepada Durna. Status: - Kamajaya putera Batara Ismaya alias Semar ibunya bernama Dewi Kanestren. Kamajaya beristrikan Dewi Kamaratih, lambang kecantikan, Dewa kebagusan. - Arjuna adalah salah satu Pandawa yang sangat dikasihi oleh Kamajaya dan selalu melindungi para Pandawa ketika sedang dalam kesedihan atau sedang mendapat cobaan. - Hubungan anatara dewa dengan kasatria. Tempat: Di tengah hutan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal antara Kamajaya dengan Arjuna yang diberitahukan tentang hantiga sapetarangan? Analisis tuturan: Jêr kawruhana kulup. Tuturan ini diucapkan oleh Kamajaya kepada Arjuna. Terlihat penanda lingual TTD, yakni akhiran–ana dalam kata kawruhana „mengertilah‟. Pemarkah akhiran –na merupakan penanda yang menyatakan verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba kawruh (ka+weruh)+ana. Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung langsung dan lugas. d.
Melarang TTE melarang dalam lakon KTNS terdapat 4 tuturan, tetapi hanya akan
dikemukakan 3 tuturan. Berikut tuturan yang dimaksud. commit to user No. 009 (Dialog 57)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 Tuturan: Surtikanthi: Nuwun wontên pêngêndika ingkang adhawuh kanjêng Sinuwun. Basukarna:… aja nganti ana …tumuli ngêndikoa mêngko kabèh bakal tak tindakaké kang jumbuh klawan karsané siadhi. (KTNS.Gn.057S) Terjemahan: Surtikanthi : „Ada perintah apakah kanjeng Sinuwun‟. Basukarna :…‟jangan sampai ada… lebih baik bicaralah nantinya akan saya lakukan yang sesuai dengan maksud Adinda‟. Konteks: Penutur : Surtikanthi Petutur : Basukarna Tema: Permintaan Basukarna kepada Surtikanthi akan kejujurannya. Status: - Basukarna: raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi: putri Raja Mandraka, anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan: suami-istri. Tempat: Di kerajaan Awangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan suasana sedih karena Surtikanthi memikirkan suamimya (Basukarna) yang sedang menghadap Duryudana Analisis tuturan: Tuturan…aja nganti ana …tumuli ngendikoa mengko. Tuturan Basukarna terhadap Surtikanthi merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata aja „jangan‟ dan akhiran –a dalam kata ngéndikoa „mengertilah‟. Pemarkah aja merupakan TTD melarang, dan pemarkah ngéndikoa merupakan TTD memerintah. Pemarkah ini merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba (ng) (én) dika+a. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 010
(Dialog 75)
Tuturan: Surtikanthi
commit to user : Kang katingal anèng nétra.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 Basukarna : …. Mengko dhisik to, matur ya matur ning aja dlèwèran luhmu.(KTNS.Gn.075S) Terjemahan: Surtikanthi : „yang selalu tampak di mata‟. Basukarna : „Nanti dulu, bicaralah,tetapi jangan menangis‟. Konteks: Penutur : Surtikanthi Petutur : Basukarna Tema: Basukarna meminta kepada Surtikanthi agar dalam ketenangan. Status: - Basukarna raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi putri Raja Mandraka, anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna - Hubungan suami-istri. Tempat: Di Kerajaan Awangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih karena Surtikanthi selalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada suaminya (Basukarna) dalam perang Bratayudha. Analisis tuturan: Tuturan Mengko dhisik to, matur ya matur ning aja dleweran luhmu. Tuturan Basukarna terhadap Surtikanthi merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata aja „jangan‟. Pemarkah aja merupakan TTD melarang dan merupakan penanda yang menyatakan untuk
„melakukan
sesuatu‟serta sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ngendika+a. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 011
(Dialog 88)
Tuturan: Basukarna:…Kliruning tumindak kang ora diakoni lan ora didhadha mau wêkasan mahanani uripé dadi cilaka. Surtikanthi: Botên prêlu ngendika mênika kémawon. Pêjah gêsang mênika rèhning prabot ingkang kêdah dipun lampahi mbok inggih botên sah ngêndika bab mênika. (KTNS.Gn.088S). Terjemahan: Basukarna:… „Kesalahan berbuat yang tidak diakui dan tidak bertanggung jawab akan menjadikan hidupenuturya celaka‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 Surtikanthi: „Tidak perlu berbicara hal itu. Hidup mati merupakan sesuatu yang Arjuna dialami, lebih baik tidak perlu membicarakannya‟. Konteks: Penutur : Basukarna Petutur : Surtikanthi Tema: Bahwa orang harus konsekuen apa yang diucapkan haruslah dilaksanakan. Status: - Basukarnaadalah raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi adalah putri Raja Mandraka anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan mereka adalah suami-istri. Tempat: Di kerajaan Awangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan masih dalam keadaan sedih karena Surtikanthi mendengar penjelasan dari Basukarna tentang kematian. Analisis tuturan: Tuturan Botên prêlu ngendika menika kemawon. Pêjah gêsang menika rèhning prabot ingkang kêdah dipun lampahi mbok inggih botên sah ngêndika bab mênika. Pemakaian pemarkah botendan sah merupakan penanda lingual TTD melarang. Hal ini dapat dilihat pada saat Surtikanthi berbicara kepada Basukarna yang pada intinya Surtikanthi melarang untuk tidak berbicara masalah kematian karena bagi Surtikanthi kematian adalah hal sangat mengkhawatirkan Surtikanthi atas suaminya Basukarna yang akan maju perang ke medan laga. e. Meminta Izin No. 012
(Dialog 34)
Tuturan: Prb Hardawalika:… aku durung bisa malês pati marang Arjuna sak cindhilé abang Patih Kridamanggala:Dhuh gusti menawi kepareng andhahar atur kula prayogi kawurungna kepareng.(KTNS.Gn.34S) Terjemahan: Prb Hardawalika : …‟saya belum bisa membalas matinya ke Arjuna sampai ke turunannya‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 Patih Kridamanggala: ….‟Duh Gusti, andaikan diizinkan semua keinginan saya mohon dibatalkan‟. Konteks: Penutur : Hardawalika Petutur : Kridhamanggala Tema: Untuk membatalkan segala cara yang dianggap merugikan Status: - Prb Hardawalika adalah Raja di Guabarong raja Raksasa. - Kridhamanggala Manggala: patihnya Prb Hardadrawalika. - Hubungan atasan dan bawan, patih dan raja. Tempat: Di Kerajaan Gua Barong Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan dalam suasana Dasamuka karena ayahnya Hardawalika terbunuh oleh Arjuna dan akan membalas dendam. Analisis tuturan: Tuturan Dhuh gusti menawi keparêng andhahar atur kula prayogi kawurungna keparêng... Tuturan Kridhamanggala terhadap Arjuna ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kepareng „diizinkan‟. Pemarkah keparêng merupakan TTD memerintah sebagai penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟ dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ke+parêng. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 013
(Dialog 39)
Tuturan: Prb Hardawalika: …Dina iki aku nédya tinggal praja nggolèki ngêndi dununging Arjuna. Patih Kridamanggala: Inggih mênawi mêkatên keparênging penggalih kula. Kaparênga paduka ngambah ing pabaratan. Sampun dadak mawi arêringa tumuntên katindakna keparêng paduka (KTNS.Gn.039S). Terjemahan: Prb Hardawalika: … „Hari ini saya menunggu dimanakah tempat tinggalnya Arjuna‟ Patih Kridamanggala: ‘Ya kalau begitu izinkan pemikiran saya…..izinkan saya masuk dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 wahananya….tidak perlu menggunakan lebih baik bolehkah dilakukan „ Konteks: Penutur : Hardawalika Petutur : Kridhamanggala Tema: Kridamanggala memberikan saran kepada Hardawalika untuk pergi ke Kurukesetra karena sedang terjadi perang besar antara Pandawa dan Kurawa dan mencari Arjuna. Status: - Prb Hardawalika adalah Raja di Gua Barong raja Raksasa. - Kridhamanggala Manggala: patihnya Prb Hardawalika. - Hubungan atasan dan bawan, patih dan raja. Tempat: Di Kerajaan Gua Barong Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan suasana Dasamuka (tegang) karena Hardawalika berubah wujud menjadi ular besar ingin memangsa Arjuna. Analisis tuturan: Tuturan Inggih menawi mekaten kêparênging penggalih kula. Kaparênga paduka ngambah ing pabaratan. Sampun dadak mawi arêringa tumuntên katindakna kêparêng paduka. Tuturan Kridhamanggala terhadap Hardawalika merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kepareng „diizinkan‟. Pemarkah kepareng merupakan TTD memerintah. Pemarkahini merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ke+pareng+ing. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung dan lugas. f. Menasihati No. 014
(Dialog 44)
Tuturan: Arjuna: … Penandhang kang tumpuk matumpa-tumpa Semar: …. kêparênga mupus ing pênggalih. ... Prayogi sawêtawis wau angginakna pétang-pétang ingkang jangkê ampun ngantos klintu têmbé wingkingipun ndara (KTNS.Gn.044S). Terjemahan: Arjuna:„Kisah yang sangat bermacam-macam‟. Semar:„Perkenankan mengikhlaskan… lebih baik menggunakan hitungan commit to user yang cermat jangan sampai keliru pada akhirnya‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 Konteks: Penutur : Arjuna Petutur : Semar Tema: Semar memberikan peringatan kepada Arjuna agar selalu memperhitungkan yang matang. Status: - Arjuna seorang ksatria Pandawa, adik Raja Darma Kusuma ibunya bernama Kunthi dan ayahnya Pandhu. - Semar adalah Punakawan yang di pihak baik dan benar/adalah dewa yang hidupenuturya sebagai pamong Pandra. - Hubungan: Semar sebagai penasihat dan abdi, pemberi motivasi, pengendali, pendorong, di pihak Pandawa. Tempat: Perjalanan antara Pesanggrahan Pandawa dan medan perang Tegal Kurusetra. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih karena kehilangan orang yang sangat dicintainya (Abimanyu, Gatotkaca, Duryudana). Analisis tuturan: Tuturan …kêparênga mupus ing pênggalih. ... Prayogi
sawêtawis wau
angginakna pétang-pétang ingkang jangkêp …. Tuturan Semar kepada
Arjuna
merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah prayogi „sebaiknya‟ sebagai Indrajitikator penanda lingual TTD menasihati. Pembicaraan antara Semar dengan Arjuna merupakan TTD menasihati. Semar memberikan menasihati atau menyarankan agar Arjuna selalu menggunakan perhitungan yang tepat agar di kemudian Arjuna tidak salah dalam melangkah. 2. TTD PS dalam BNPA dan RGPA TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam BNPA ditemukan sebanyak 19 tuturan dengan rincian request2 (10.52%) S=1,M=1, question 2(10.52%) S=0,M=2, requirement 6 (31.57%) S=2,M=4, prohibitivies 9 (47.36%) S=4,M=5, permisif =0, dan advisor=0. TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam RGPA ditemukan sebanyak 56 tuturan dengan rincian adalah request 10 (17.85%) S=5,M=5,question 13 (23.21%) commit S=1,M=12, to userrequirement 25 (44.64%) S=13,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 M=12,prohibitivies
6
(10.71%)
S=1,M=5,
permisif
2
(3.57%)
S=0,
M=2,advisorsebanyak 0.
a.
Meminta
No. 015
(Dialog 48)
Tuturan: Sinta : Kabèh wis dadi korbaning angkaramu Dasamuka : hem…sawangên nganti êntèk ngalas êntèk ngomah, gagésing isih nggon ngêndi Ngalengka? (BNPA.Gn.048S) Terjemahan: Sinta : „Semua sudah menjadi ketamakanmu‟. Dasamuka : „Hem, lihatlah sampai habis hutan rumah, coba yang masih tersisa di Ngalengka yang mana?‟ Konteks: Penutur: Sinta Petutur : Dasamuka Tema: Dasamuka meminta kepada Sinta untuk melihat keadaan kerajaan Alengka yang sudah kehabisan kekuatan. Status: Dewi Sinta – istri Ramawijaya – yang telah diculik oleh Dasamuka secara paksa. Dasamuka raja di Alengkadiraja yang merebut istri Ramawijaya. - Hubungan antara Dasamuka dengan Sinta tidak ada kaitan, tetapi Dasamuka jatuh cinta kepada Sinta walaupun tidak ditanggapi. Tempat: Taman Harga Soka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Situasi pada saat Dasamuka berbincangbincang dengan Sinta saat suasana tegang dan mencekam karena Dasamuka telah banyak kehilangan para senapati. Analisis tuturan: Tuturan Dasamuka terhadap Sinta merupakan jenis TTD
memerintah
yang dapat diamati dengan adanya penanda akhiran –en dalam kata/kalimat: sawangênngantiêntek ngalas êntêk ngomah dan kata gagé „marilah/ayolah‟ yang mempunyai makna ajakan imperatif. Cara menyampaikan langsung dan lugas
commit to user
sebagai perintah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 No. 016
(Dialog 07)
Tuturan: Sinta : Wontên dhawuh ingkang pangandika paran Ramawijaya : Muga-muga jroning alas iki andadèkake suka sênênging atimu satêmah ora bakal nabêt apa-apa ingkang naté mbok lakoni jroning Kraton Manthilidirja, wong ayu.(RGPA.Gn.007S) Terjemahan: Sinta : ‘Ada apakah dengan yang dibicarakan‟. Ramawijaya : „Semoga di dalam hutan ini membuat bahagianya hatimu dan tidak membuat resah karena keadaan di dalam Kraton Manthilidirja yang dulu pernah dialami, si Cantik‟. Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Ramawijaya Tema: Keduanya (Ramawijaya dan Sinta) sedang berada di hutan. Status: - Sinta putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili diperistri oleh Ramawijaya. - Ramawijaya putra Raja Dasarata dari kerajaan Ayodya yang memperistri Sinta. - Hubungan keduanya sebagai suami istri yang sedang hidup di tengah hutan. Tempat: Di hutan Dandaka. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah informal/gembira antara Ramawijaya dengan Sinta,tetapi agak was-was karena di tengah hutan Dandaka banyak godaan terutama raksasa dari Alengka. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya kepada Sinta istrinya bahwa dalam kalimat Mugamuga jroning alas iki andadékake suka sênênging atimu … merupakan jenis TT mengharap yang dapat diamati adanya penanda muga-muga „semoga‟. Pemarkah kata muga-muga merupakan penanda yang menyatakan verba aktif langsung lugas bernada harapan.Tuturan itu disampaikan oleh Ramawijaya kepada Sinta. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 No. 017
(Dialog 31)
Tuturan: Barata : Mênika ingkang anjalari Ramawijaya :Adiku dhi adhiku Barata mara-mara gagé lungguha. (RGPA.Gn.031S) Terjemahan: Barata : ‘Inilah yang menyebabkan‟. Ramawijaya: „Adinda,AdindaBarata mari duduklah‟. Konteks: Penutur: Barata Petutur: Ramawijaya Tema: Barata meminta Ramawijaya kembali ke Ayodya menduduki tahta kerajaan Status: - Barata anak Dasarata dari Dewi Kekayi - Ramawijaya anak Dasarata dengan Dewi Ragu - Hubungan keduanya bersasudara satu ayah lain ibu (sedulur lanang) Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Sedih dan tegang karena Barata merasa salah dan tegang karena Ramawijaya dipaksa dan tidak bersedia kembali ke Ayodya. Analisis tuturan: Tuturan Adiku dhi adhiku Barata mara-mara gagé lungguha. Tuturan Ramawijaya terhadap Barata merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah mara gage „cepat kemarilah‟ dan akhiran –a dalam kata lungguha „duduklah‟. Pemarkah mara gagé dan lungguha merupakan TTD memerintah kepada mitra tutur. Penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba lungguh+a. Cara menyampaikansebagai perintah langsung dan lugas. No. 018
(Dialog 050)
Tuturan: Pendhita
: Raden-radèn kula nyuwun pangayoman. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 Ramawijaya : …. kula aturi lênggah ingkang prayogi yayi Sinta lan Lesmanaayo padha ngéndhangi lêlakon iki yayi. (RGPA.Gn.050S) Terjemahan: Pendhita :‘Raden-raden saya mohon pelindungan‟ Ramawijaya : „Saya persilakan duduk AdindaSinta dan Lesmana marilah kita berintrospeksi Adinda‟. Konteks: Penutur: Pendhita Petutur : Ramawijaya Tema: Para pendhita meminta bantuan kepada Ramawijaya karena tempat tinggalnya diganggu oleh raksasa. Status: - Ramawijaya sebagai kakak Barata - Barata sebagai adik Ramawijaya - Hubungannya sebagai saudara kakak beradik lain ibu satu ayah Tempat: Hutan kandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Suasana tegang, tergesa-gesa, dan formal karena Para pendhita mengetahui bahwa Ramawijaya adalah anak Raja Ayodya yang saat ini tinggal di hutan. Walaupun Ramawijaya adalah anak seorang raja, tetapi tetap menghormati para Pendhita. Analisis Tuturan Tuturan kula aturi lênggah … ayo padha ngéndhangi lelakon iki yayi. Tuturan Rmawijaya terhadap Pendhita merupakan jenis TTD. Hal ini ditandai dengan kata pemarkah aturi dalam kata aturi lênggah „dipersilakan duduk‟ dan kata aja „jangan‟. Pemarkah aturi merupakan TTD memerintah dan penanda lingual aja merupakan TTD melarang. Cara menyampaikansebagai perintah langsung dan lugas. b. Menanyakan No. 019
(Dialog 091)
Tuturan: Lesmana : Dhuh kakangmbok saking nétra jatining Ramawijaya Sinta : … ènèng ngapa kowe ora ngêrti Apa kowé sênêng yén commit toprapteng user pangéran Ramawijaya sédå(RGPA.Gn. 091S).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 Terjemahan: Lesmana : ..‟Duh kakak dari sudut pandang yang sebenarnya‟. Sinta : ‘Ada apa kamu tidak tahu…apa kamu suka kalau pangeran Ramawijaya wafat‟. Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Sinta Tema: Kesalahpahaman antara Sinta dengan Lesmana Status: - Lesmana seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu Dewi Sumitrawati. - Sinta putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili diperistri oleh Ramawijaya. - Hubungan saudara adik ipar. Tempat: Hutan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Tuturan dapat dilihat pada saat Sinta berbincang-bincang dengan Lesmana. Pembicaraan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan yang ditujukan kepada Lesmana. Analisis tuturan: Tuturan ènèng ngapa kowé ora ngêrti yènta ingkang raka nandhang sansaya. Apa kowé sênêng... Tuturan Sinta terhadap Lesmana merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata ngapa kowé ora ngêrti „mengapa kamu tidak tahu‟. Pemarkah ngapa kowé ora ngêrti merupakan TTD yang menanyakan kepada Lesmana. Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas. c. Memerintah TTE melarang dalam lakon BNPA terdapat 4 tuturan, tetapi hanya akan dikemukakan 2 tuturan.Dalam lakon RGPA terdapat 13 tuturan dan hanya akan dikemukakan 5 tuturan.Berikut adalah tuturan yang dimaksud. No. 020
(Dialog 047)
Tuturan: Togog Dasamuka
: Ingkang putra Drajit gugur : Kowé nyingkira dhisik (BNPA.Gn.047/S) commit to user
tak
tatané
atiku
Gog.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 Terjemahan: Togog : „Putra Drajit telah gugur‟ Dasamuka : „Kamu minggirlah akan saya tata hatiku. Gog‟. Konteks: Penutur : Togog Petutur : Dasamuka Tema: Kematian Indrajit Status: - Dasamuka ialah raja Alengkadiraja yang dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan mempunyai sifat serakah dan angkara murka. - Togog ialah Punakawan/pamong yang bertugas untuk menjaga, mengawasi, dan membimbing para senapati Alengka. - Hubungan antara Dasamuka dengan Togog, yakni sebagai raja dan pembantu. Dalam hal ini,Dasamuka setelah mendengar kematian anaknya.Ia merenung dan akan mengatur strategi perang, Togog diminta pergi. Tempat: Di Kerajaan Ngalengkadiraja Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Situasi pada saat Dasamuka menerima pelaporan Togog suasana tergesa-gesa atau tegang dan mencekam karena Dasamuka telah banyak kehilangan para senapati dan anak-anaknya sendiri. Analisis tuturan: Tuturan Dasamuka terhadap PunakawanTogog merupakan jenis TT memerintah yang dapat diamati adanya penanda/pemarkah –a dalam kata nyingkira. Pemarkah nyingkira merupakan penanda yang menyatakan tindakan langsung untuk minggir sebagai perintah langsung dan lugas. Cara menyampaikan adalah sebagai perintah langsung danlugas. No. 021
(Dialog 48)
Tuturan: Sinta : Kabèh wis dadi korbaning angkaramu Dasamuka: …hêm…sawangênnganti entek ngalas entek ngomah, gage Sing isih nggon ngendi Ngalengka? (BNPA.Gn.048S) Terjemahan: Sinta: „Semua sudah menjadi korban angkara murkamu‟. Dasamuka:„Hmmm, lihatlah semua habis kekayaan saya, baik di hutan maupun di rumah coba tunjukanlahdimana commit to user yang masih tersisa di Ngalengka‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
Konteks: Penutur: Sinta Petutur: Dasamuka Tema: Dasamuka meminta kepada Sinta untuk melihat keadaan kerajaan Alengka yang sudah kehabisan kekuatan. Status: - Dewi Sinta – istri Ramawijaya – yang telah diculik oleh Dasamuka secara paksa. - Dasamukaadalah raja di Alengkadiraja yang merebut istri Ramawijaya. - Hubungan antara Dasamuka dengan Sinta tidak ada kaitan, tetapi Dasamuka jatuh cinta kepada Sinta walaupun tidak ditanggapi. Tempat: Taman Arga Soka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Situasi pada saat Dasamuka berbincangbincang dengan Sinta.Suasana tegang dan mencekam karena Dasamuka telah banyak kehilangan para senapati. Analisis tuturan: Tuturan Dasamuka terhadap Sinta merupakan jenis TTD memerintah yang dapat diamati dengan adanya penanda akhiran –en dalam kata/kalimat: sawangên nganti entek ngalas entek ngomah dan kata gagé „marilah/ayolah‟ yang mempunyai makna ajakan imperatif. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 022
(Dialog 069)
Tuturan: Dasamuka Ramawijaya Terjemahan: Dasamuka Ramawijaya
: Kêblinger piyé hêm. : Ngêrtiya, têkaku ora mung ngrêbut bojoku, nanging bakal ngêndhêk angkaramu. (PA.BN.Gn.069S) : „Terkecoh bagaimana‟. : ‘Mengertilah kedatanganku tidak hanya meminta kembali istriku,tetapi juga akan menghentikan keangkaramurkaanmu„.
Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Ramawijaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 Tema: Masing-masingtokoh (Ramawijaya dan Dasamuka) mempunyai alasan tentang tindakan yang dilakukan. Status: - Ramawijayaadalah ksatria Ayodya yang bermukim di hutan. - Dasamukaadalah raja Alengka yang mencuri Sinta. - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Ramawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Di medan pertempuran Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Dalam suasana tegang dan Dasamuka antara Dsm dengan Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka bahwa Ngertiya dalam kalimat Ngertiya, tekaku ora mung ngrêbut bojoku, … merupakan jenis tindak tuturmemerintah yang dapat diamati dari adanya penanda –a dalam ngertiya „mengertilah‟. Pemarkah akhiran –a merupakan penanda yang menyatakan verba aktif imperatif dengan bentuk dasar
pangkal verba ngêrti + (-a). Cara
menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 023
(Dialog 013)
Tuturan: Lesmana :Kula wontên dhawuh kakang Mas. Ramawijaya : Lan sumurupa yayi sayêktiné walèh-walèh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira …( (RGPA.Gn.013S) Terjemahan: Lesmana : „Saya ada perintah apa Kanda‟. Ramawijaya : ‘Dan ketahuilah Adinda sebenarnya apa yang harus terbuka di hatimu‟. Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Ramawijaya Tema: Ramawijaya memberikan nasihat kepada Lesmana Status: - Lesmanaadalah seorang ksatria dari Ayodya adik Ramawijaya, satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata), tetapi beda ibu, yakni Dewi Sumitrawati. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 - Ramawijayaadalah seorang ksatria, kakak Lesmana, satu ayah (raja Ayodya bernama Dasarata ), beda ibu (Dewi Regu). - Hubungan antara Lesmana dengan Ramawijaya adalah keduanya bersaudara satu ayah, beda ibu.Hidup Lesmana penuh diabdikan ke Ramawijaya. Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, tenang, dan damai.Lesmana memahami petuah Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya kepada Lesmana,adiknya, bahwa dalam kalimat Lan sumurupa yayi sayêktiné walèh-walèh apa… merupakan jenis TTD perintah agar mengetahui atau memahami bahwa sebenarnya ia harus
terbuka hatinya.
Pemarkah kata sumurupa „mengertilah‟ merupakan penanda yang menyatakan verba aktif dari kata dasar sa(um)+urup+a. Penanda akhiran –a merupakan pemarkah perintah langsung lugas yang bermakna perintah agar mengetahui dan memahami. Cara menyampaikansebagai perintah langsung dan lugas. No. 024
(Dialog 020)
Tuturan: Lesmana Ramawijaya
Terjemahan: Lesmana
:Dhuh kakangmas….kawistingal barisan anggênggêng :Ulatana gêndéra ngêndi yayi? (RGPA.Gn.020S)
: „Dhuh kakanda…sudah terlihat jajaran semakin derap langkahnya‟. :‟Lihatlah bendera manakah Adinda‟.
Ramawijaya Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Ramawijaya Tema: Lesmana melaporkan bahwa dari jauh tampak prajurit Kerajaan Ayodya yang dipimpin Baratasedang mencari Rmawijaya. Status: - Lesmanaadalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya, satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata), beda ibu yakni Dewi Sumitrawati. - Ramawijaya adalah seorang ksatria, commit to userkakak Lesmana, satu ayah (raja Ayodya bernama Dasarata ), beda ibu (Dewi Regu).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 - Hubungan antara Lesmana dengan Rmawijaya adalah keduanya bersaudara satu ayah, beda ibu. Hidup Lesmana penuh diabdikan ke Ramawijaya. Tempat: Di hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal.Setelah Lesmana melihat barisan yang akan datang berubah menjadi gusar dan khawatir akan terjadi sesuatu yang menimpa Ramawijaya beserta dirinya. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya kepada Lesmana dalam kalimat Ulatanagendera ngendi yayi? Kata ulatana „amatilah‟ merupakan jenis TTD memerintah agar melakukan pengamatan terhadap objek yang ada. Tuturan Ramawijaya terhadap Lesmana merupakan jenis TTD memerintah. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran –na dalam kata ulatana. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 025
(Dialog 43)
Tuturan: Barata : Kula wontên dhawuh Ramawijaya : …Manungsa urip iku kudu bisa nguwasani kamardikaning …. Sinaua marang alam jagad …Mula hastha iku wolu brata iku laku nulat alam saisinaé iki bisoa dadi garaning panindak. .., jêjêkna tékadmu aja mangro .. (RGPA.Gn.043S) Terjemahan: Barata : ‘Ada perintah apakah‟. Ramawijaya : ‘Manusia hidup itu harus dapat menguasai kemerdekaan. Belajarlah kepada alam...Selebihnya hasta itu delapan brata itu tindakan...Luruskan tekadmu jangan ragu-ragu‟. Konteks: Penutur:Ramawijaya Petutur: Barata Tema: - Ramawijaya memberikan petuah tentang sifat seorang pemimpin yang baik seperti yang dijelaskan dalam ajaran asthabrata. Status: - Ramawijaya sebagai kakak Barata - Barata sebagai adik Ramawijaya - Hubungannya sebagai saudara, kakak beradik, lain ibu satu ayah. Hubungan kakak beradik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 Tempat: Hutan Kandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal agung karena Ramawijaya memberikan ajaran kepada Barata tentang asthabrata (astha: selapan; brata: laku/kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang raja). Analisis tuturan: Tuturan Manungsa urip iku kudu bisa …. Sinaua marang alam jagad …jêjêkna tékadmu aja mangro ...Tuturan Ramawijaya terhadap Barata merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kudu bisa, akhiran
–a
dalam
Sinaua
„belajarlah‟,
akhiran-na
dalam
jejekna
„luruskanlah‟,dan pemarkah kata aja „jangan‟. Pemarkah kudu bisa, sinaua, jejekna, dan aja merupakan penanda yang menyatakan „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba kudu bisa, sinaua+a ,jejek+na, danaja. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas.
d. Melarang TTE melarang dalam lakon BNPA terdapat 4 tuturan, tetapi hanya akan dikemukakan 2 tuturan saja. Berikut tuturan yang dimaksud. No. 026
(Dialog 26)
Tuturan: Lesmana
: Mbok mênawi utusaning Barata ingkang botên narimakakên sugêngipun kakangmas Ramawijaya. Ramawijaya : 'Yayi aja nduwèni panyakrabawa ala luwih dhisik maragagé ulatana dhimas. (RGPA.Gn.026S). Terjemahan: Lesmana : „Barangkali suruhan Barata yang tidak berterima akan keselamatan Kakanda Ramawijaya‟. Ramawijaya : „Adinda jangan mempunyai dugaan yang buruk marilah dan amatilah Dinda‟. Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Ramawijaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132 Tema: Jangan pernah berprasangka buruk terhadap keadaan yang ada. Status: - Lesmanaadalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya, satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu Dewi Sumitrawati. - Ramawijaya adalah seorang ksatria, kakak Lesmana, satu ayah (raja Ayodya bernama Dasarata), beda ibu (Dewi Regu). - Hubungan antara Lesmana dengan Ramawijaya adalah keduanya bersaudara satu ayah, beda ibu. Hidup Lesmana penuh diabdikan ke Ramawijaya. Tempat: Di hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, tenang yang berubah menjadi gundah gulana setelah melihat prajurit Ayodya akan datang menyerang. Analisis tuturan: Tuturan'Yayi aja nduwèni panyakrabawa ala luwih dhisik maragagé ulatana dhimasTuturan Ramawijaya terhadap Lesmana merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah aja „jangan‟ dalam kalimat ajanduweni. Kata ini termasuk kategori TTD melarang yang ditandai oleh penanda lingual aja. Cara menyampaikan tuturan ini adalah langsung dan lugas.
No. 027
(Dialog 33)
Tuturan: Indrajit : Inggih kados pundi Paman. Wibisana : mula åjå nganti kêbo gupak kêcipratan letuh. Kowé isih ênom milihå dalan rahayu. Rahayuning dêdalan ora anå liya kowé kudu nyingkur pakarti nistha.….Mula, nungkulå, nungkulå. (PA.BN.Gn.033/S) Terjemahan: Indrajit : ‘Ya bagaimana Paman‟ Wibisana : „Makanya jangan dekat-dekat dengan kejelekan. Kamu masih muda pilihlah jalan keselamatan tiada lain kecuali menghindar dari yang nista‟. Konteks: Penutur : Indrajit - kemenakan Petutur : Wibisana- paman Tema: Paman Wibisana memberikan petuah kepada Indrajit. Status: commit to user - Wibisana ialah paman dari Indrajit.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133 - Indrajit sebagai kemenakan. - Hubungan antara Wibisana dengan Indrajitadalah sebagai Paman dan kemenakan. Dalam hal ini, Wibisana memberikan saran agar Indrajit tidak mencoba membunuh Ramawijaya dan bertindak ksatria untuk memilih jalan yang benar. Tempat: Di tempat peristirahatan prajurit Ramawijaya. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Ketika Wibisana memberikan nasihat, Indrajit tidak menghiraukan bahkan tetap akan membunuh Ramawijaya, termasuk Wibisana yang akan menyeberang ke Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Wibisana terhadap Indrajit merupakan jenis tindak tutur menyarankan yang dapat diamati dari adanya penanda åjå, milihå, kudu nyingkur, dannungkulå.
Artinya:
åjå
„jangan‟,
milihå„pilihlah‟, kudu
nyingkur„
dannungkulå „menurutlah‟. Kata-kata ini merupakan pemarkah tindak tutur direktif melarang aja dan memerintah milihå. Akhiran –a dalam tata bahasa Jawa mempunyai makna perintah dan kudu nyingkur. Kata ini mempunyai makna perintah yang ditandai dengan kata kudu serta nungkulå yang berakhiran dengan –a. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 028
(dialog 55)
Tuturan: Dasamuka : …. Ayo sawangên iki gamanku, iki pepundhensing arep ngejur jagad iki, Ramawijaya apa aku sing mati. Ayo sêksènånå bangsat elek. (BNPA.Gn.055S) Sinta : Aku nêksèni yènta sêjatining Rahwana sêtya ngandêmi têkadé. Terjemahan: Dasamuka : ‘Ayo lihatlah ini senjataku yang akan menghancurkan bumi ini, Ramawijaya atau aku yang akan mati. Ayo saksikan bangsat jelek‟. Sinta : „Aku saksikan bilamana sebenarnya Rahwana hanya tekadnya saja‟. Konteks: Penutur : Sinta Petutur : Dasamuka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 Tema: Dasamukabersama tekadnya bahwa ia tetap mengukuhi Sinta. Status: - Sintaadalah istri Ramawijaya yang berada di Alengka di Taman Argasoka yang ditemani Trijata keponakan Dasamuka. - Dasamuka ialah raja di Alengkadiraja dan yang merebut istri dari Ramawijaya.Dasamuka ialah raja Alengkadiraja yang dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan selalu mencari titisan Widawati untuk dijadikan istri. - Hubungan antara Sinta dan Dasamuka tidak ada kaitannya, tetapi Dasamuka menganggap bahwa Sinta adalah titisan Widawati (bidadari istri Wisnu). Tempat: Taman Argasoka di Alengka Situasi tuturan: Situasi tutur adalah formal. Situasi pada saat Dasamuka berbincang-bincang dengan Sinta.Suasana tegang dan mencekam karena Dasamuka memberikan pilihan yang mati Dasamuka atau Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Dasamuka terhadap Sinta merupakan jenis TTDmemerintah. Hal itu dapat diamati dari adanya penanda ayo dan sawangên, serta ayo dan sêksènånå. Pemarkah kata ayo „marilah‟, sawangên „lihatlah‟, dan sêksènånå „saksikan‟ merupakan penanda yang menyatakan perintah langsung dan lugas. Tuturan tersebut disampaikan oleh Dasamuka kepada Sinta. Cara memerintah sebagai menyampaikan langsung dan lugas. 3.
TTD PM dalam KTNS dan DRNS TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam KTNS ditemukan
sebanyak 57 tuturan:request 8 tuturan (14.35%) S=1, M=7, question4 (7.17%) S=4, M=0, requirement 18 (31.57%) S=2, M=16, prohibitivies 9 (15.78%) S=4,M=5,permisif 11 (19.29%) S=2, M=9, dan advisor 7 (12.28%) S=1, M=6. TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam DRNS ditemukan sebanyak 40 tuturan:request 8 tuturan 8 (20%) S=0, M=8, question5 (12.5%) S=1, M=4,requirement 12 (30%) S=1, M=11, prohibitivies 3 (7.5%) S=0, M=3, permisif 2 (5%) S=0, M=2, dan advisor 10 (2.5%) S=0,M=10. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 a.
Meminta TTE melarang dalam lakon KTNS terdapat 7 tuturan,tetapi hanya akan
dikemukakan 3 tuturan.Dalam lakon DRNS, terdapat 8 tuturan, tetapi hanya akan dikemukakan 4 tuturan. Berikut tuturan yang dimaksud. No. 029
(Dialog 142)
Tuturan: Kunthi Talibrata: Eh…Yamawidura, mêngko piyé kang kudu tak tindakaké aboting rasaku ngungkuli keindahan bumi. Yamawidura : … Mugi dadosna ing kauningan bilih ing Tegalkuru sampun banjir gêtih (KTNS.Gn.142M) Terjemahan: Kunthi Talibrata: ‘Eh… Yamawidura nanti bagaimana yang harus dilakukan berat rasanya melebihi tertimpuk bumi‟. Yamawidura : ‘Semoga menjadikan pemahaman bahwa Tegalkuru sudah banyak korban‟ Konteks: Penutur : Kunthi Talibrata Petutur: Yamawidura Tema: Yamawidura melaporkan kepada Kunthi bahwa di Tegalkuru sudah terjadi pertempuran yangbanyak memakan korban. Status: - Yamawidura adalah putra Abiyasa dan adik Pandu (suami Dewi Kunthi Talibrata), sedangkan anak Abiyasa adalah Pandu Dewanata, Destarastra, Yamawidura) - Kunthi Talibrata adalah istri Pandu di Astina dan ibunya para Pandawa. - Hubunganya adalah adik ipar Tempat: Pasanggrahan Pangombakan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan bingung penuh kecemasan. Dipayasa dihadap Basukarna untuk meminta ajaran tentang ilmu perang dan menambah kekuatan dalam medan perang untuk mengalahkan Pandawa. Analisis tuturan: Tuturan Mugi dadosna ing kauningan bilih ing Tegalkuru sampun banjir getih. Tuturan Yamawidura terhadap Kunthi Talibrata ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah mugi dan akhiran –na dalam commit to user kata mugi dadosna „jadikanlah‟. Pemarkah mugi dan dadosna merupakan TTD
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136 mengharapkan dan memerintah yang menyatakan
„melakukan sesuatu‟dan
sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba dados+na. Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung dan lugas. No. 030
(Dialog 158)
Tuturan: Sengkuni : Duryudana:
Inggih. Kaparênga matur langkung rumiyin Sinuwun. Enggih, gagé arep gunêman apa sampéyan. (KTNS.Gn.158M).
Terjemahan: Sengkuni : ‘Iya izinkanlah saya bicara‟. Duryudana: ‟Iya, silakan akan bicara apa kamu? Konteks: Penutur : Duryudana Petutur : Sengkuni Tema: Sengkuni melaporkan kematian Duryudana yang dibunuh oleh Werkudara. Status: - Sengkuni adalah seorang patih kerjaaan Astina (tempat tinggal di Polosjenar).Dia adalah adik Gendari (ibunya Suyudana- Istri dari Destarastra). - Duryudana adalah Raja dari Astina, anak dari Destarastra. - Hubungan adalah Raja dengan patih Tempat: Pasanggrahan Manggala Yudha Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang.Situasi peperangan yang terjadi menimbulkan suasana menegangkan pada tuturan Sengkuni terhadap Duryudana. Analisis tuturan Tuturan … gagé arep gunêman apa sampéyan? Aja karo nangis …. Tuturan Duryudana terhadap Sengkuni ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat diamati dari adanya penanda kata gagé „cepatlah‟ dan penanda lingual åjå „jangan‟ dalam kata åjå karo nangis „jangan dengan menangis‟. Pemarkah gage merupakan TTD ajakan dan pemarkah åjå merupakan TTD melarang. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 No. 031
(Dialog 228)
Tuturan: Prb Salya
: Dosamu taun kepungkur waé durung tak ngapura kowé wis njaluk ngapura manèh, hé? Basukarna : Inggih Rama prabu mangga kula dhèrèkaken Ramaprabu. (KTNS.Gn.228M) Terjemahan: Prb Salya : ‘Dosamu tahun yang lalu saja belum termaafkan sudah meminta maaf lagi‟. Basukarna : ‘Ya Rama Prabu marilah saya antarkan Rama Prabu marilah‟. Konteks: Penutur : Salya Petutur : Basukarna Tema: Salya mengingatkan akan kesalahan Basukarna yang lalu. Status: - Prb Salyaadalah Raja di Mandraka yang mempunyai tiga anak– Salya Raja di Mandraka mempunyai anak Banowati-Duryudana Surtikanthi– Basukarna. - Basukarna adalah raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Hubungan: menantu (Basukarna) dan mertua (Prb Salya). Tempat: Kuru Mandalayudha (PasanggrahanDuryudana) Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan menengangkan karena masih terjadi perdebatan antara Salya dengan Basukarna dalam menjadi sais (kusir).Salya melarang kepada Basukarna untuk memerintah. Analisis tuturan: Tuturan … mangga kula dhèrèkaken Ramawijaya prabu…Tuturan Basukarna terhadap Salya ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah mangga „marilah‟ sebagai penanda lingual. Pemarkah mangga kula dhèrèkaken „marilah saya antar‟ merupakan TTD mengajak. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 032
(Dialog 331)
Tuturan: Kresna : Apa Pamadi?. Arjuna : kanjêng kaka prabu commitingkêng to user mênika borong anggèn paduka mênggalih boten sah ngendika bab menika. (DRNS.Gn.331M).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138 Terjemahan: Kresna : „Ada apa Permadi‟. Arjuna : „Kanjeng Kaka Prabu silakan di dalam memikirkan! Tidak perlu bicara masalah itu‟. Konteks: Penutur :Kresna Petutur : Arjuna Tema: Arjuna menyerahkan permasalahan yang dihadapi para pandawa kepada Raja Kresna. Status: - Arjunaadalah orang ketiga dari Pandawa lima, putra Dewi Kunthi yangmempunyai karakter ragu dan bimbang dalam bertindak walau mempunyai ilmu yang tinggi. - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra - Hubungan: Kakak ipar adik bukan kandung. Istrinya Arjuna (Lara Ireng) adiknya Kresna. Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih/prihatin.Tuturan antara Arjuna dengan Kresna berisi harapan agar Kresna turut memikirkan tentang keberadaan Pandawa. Analisis tuturan: Tuturan kanjêng kaka prabu ingkêng mênika borong anggèn paduka mênggalih! botên sah ngêndika bab mênika. Tuturan Arjuna kepada Kresna ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat diamati dari adanya penanda dalam kata borong yang
mempunyai makna menyerahkan sepenuhnya atas apa yang
menjadi permasalahannya. Hal ini dapat dicermati ketika Arjuna berhadapan dengan Kresna.Arjuna merasa tidak ada kekuatan dalam memikirkannya sehingga perlu menyerahkan kepada Kresna. Jenis TTD ini adalah memerintah untuk ikut memikirkan masalah yang ada. Cara menyampaikannya tidak langsung.
No. 033
(Dialog 373)
Tuturan: Werkudara:..wêkasan kêmrikil pangandikaning sang guru Durna Kresna : Dara! Èlingacommit yayi! Ya sanadyan pati uriping manungsa iku to user ora bisa ditêmtoké déning kang nyandhang…pètungên
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 nganggo nalar..! Aja nganti gêtun mburiné. Pètungên! Tuna lan bathiné ètungên dhisik! Aja kêsusu kêtarik .. Aja mung gêmrêgêting rasa …Dara! Mandhêga sêméné ya yayi! (DRNS.Gn.373M). Terjemahan: Werkudara :„Akhirnya mengalir terus berbicaranya sang Guru‟. Kresna :„Werkudara ingatlah,....Perhitungkan dengan logika...Jangan sampai kecewa di kemudian hari.Jangan terburu tertarik...Berhentilah sekian saja ya Dinda‟. Konteks: Penutur : Werkudara Petutur : Kresna Tema: Kresnamemberikan peringatan kepada Werkudara agar tidak gegabah. Status: - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakaknya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Werkudara atau Bratasena adalah anak dari Dewi Kunti yang mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Hubungan: saudara kakak beradik. Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih. Tuturan antara Kresna dengan Werkudara adalah memberikan petunjuk, mengingatkan, dan melarang Werkudara dalam tekadnya yang sangat kukuh. Analisis tuturan: Tuturan: Dara! Èlinga yayi! .. pètungên nganggo nalar, nalar Sing gênêp! Aja nganti gêtun mburiné. Pètungên! Tuna lan bathiné ètungên dhisik! Aja kêsusu ...Aja mung gêmrêgêting rasa.. Dara! Mandhêga sêméné ya yayi! Tuturan Kresna terhadap Werkudara ini merupakan TTD. Hal ini ditandai dengan adanya pemarkah atau penanda lingual seperti elinga „ingatlah‟, petungen „perhitungkan‟, etungen „hitunglah‟, aja „jangan‟, dan mandhega „berhentilah‟. Kesemua kata ini mempunyai ciri, yakni pemakaian akhiran –a dan -en menunjuk pada makna memerintah (petungen, etungen, mandhega), sedangkan elinga merupakan TTD menyarankan/mengingatkan. Pemarkah aja „jangan‟ mempunyai makna melarang. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 No. 034
(Dialog 420)
Tuturan: Anoman : Aku wong tuwa dhasaré pêndhita. Werkudara : Têtêp aku nuhoni dhawuhing sang guru nadi. Ora gêlêm sumingkir tak têndhang. (DRNS.Gn.420M). Terjemahan: Anoman :„Saya orang tua sebagai pandhita‟. Werkudara: „Saya tetap patuh akan pertintahnya sang guru tidak minggir saya tendang‟. Konteks: Penutur :Anoman Petutur : Werkudara Tema: Anomanmemeringatkan Werkudara agar tidak melanjutkan perjalanannya untuk masuk ke dasar laut. Status: - Werkudara atau Bratasena adalah anak dari Dewi Kunti yang mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Anomanadalah seorang pendita kera dari Kendalisada yang merupakan saudara tunggal bayu atau Guru dengan Werkudara. Anoman pernah menjadi panglima Ramawijaya dalam siklus Rama. - Hubungan saudara tunggal Bayu (keduanya sama-sama saswanya Batara Bayu). Tempat: Di tengah perjalanan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Tuturan antara Werkudara dengan Anomanyang saat itu Werkudara melaksanakan perintah gurunya ialah Durna dalam pencarian tirta pawitra mahening suci. Analisis tuturan: Tuturan …. Ora gêlêm sumingkir tak têndhang. Tuturan ini diucapkan oleh Werkudara kepada Anoman. Kalimat itu merupakan TTD memerintah yang terlihat dari penanda lingual (pemarkah) kata ora gêlêm
„tidak bersedia‟.
Pemarkah ora merupakan penanda yang menyatakan verba aktif imperatif. Cara memerintah sebagai perintah langsung langsung dan lugas. b. Menanyakan TTE melarang dalam lakon DRNS terdapat 6 tuturan.Namun, hanya akan commityang to user dikemukakan 3 tuturan. Berikut tuturan dimaksud.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 No. 035
(Dialog 325)
Tuturan: Kresna : Kula bibi. Dewi Kunthi : … Kaki prabu, srana apa ingkang kudu ditindakaké bisané dadi srana kadangmu Wêrkudara tumuli éling marang kêwajibaning praja sarta kulawargan kulup? (DRNS.Gn.325M). Terjemahan: Kresna : „Ya bibi‟ Dewi Kunthi : „Kakanda syarat apakah yang harus dilakukan agar sarana saudaramu Werkudara kembali ingat akan kewajiban keluarga‟. Konteks: Penutur : Kresna Petutur: Dewi Kunthi Tema: Dewi Kunthi minta saran kepada Kresna karena hatinya sedih ditinggal Werkudara. Status: - Dewi Kunthiadalah ibu dari Pandawa bersuamikan Pandu. - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura.Kakaknya bernama Baladewa. Ibunya bernama Dewi Mahendra. - Hubungan sebagai bibi dan kemenakan Tempat: Kerajaan Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih, tuturan antara Dewi Kunthi denganKresnayang saat itu Dewi Kunthi meminta saran (petunjuk) kepada Kresna perihal apa saja yang harus dilakukan agar Werkudara ingat kembali akan kewajibannya. Analisis tuturan: Tuturan … Kaki prabu, srana apa ingkang
kudu ditindakaké
bisané....Tuturan tokoh Dewi Kunthi kepada Kresna itu merupakan jenis TTD. Hal ini ditandai dengan pemarkah kudu dalam kata kudu ditindaké „harus dilaksanakan‟. Kata kudu ditindaké mempunyai makna memerintah agar melakukan tentang sesuatu dengan keharusan. Dengan demikian, kata kudu ditindaké
termasuk TTD memerintah. Cara memerintah ini adalah
perintah langsung langsung dan lugas. commit to user
sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 No. 036
(Dialog 348) Tuturan Dewi Kunthi: Hlo kok ngono? Priyé ta karêpmu kulup? Werkudara : Aku njaluk pamit ibu. (DRNS.Gn.348M). Terjemahan: Dewi Kunthi: „Loh bagaimana kehendakmu Nak‟. Werkudara: „Saya permisi Ibu‟. Konteks Petutur : Dewi Kunthi Penutur : Werkudara Tema Permintaan izin Werkudara kepada ibunya akan mencari tirta pawitra. Status
-
-
Werkudara atau Bratasena adalah anak dari Dewi Kunti yang mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa Dewi Kunthiadalah istri Pandu, ibunya para Pandawa. Hubungan antara ibu dengan anak
Tempat
Kerajaan Ngamarta
Situasi
Situasi tuturan adalah formal dan sedih.Tuturan Werkudarayang memohon izin (pamit) kepada ibundanya Dewi Kunthi.
Analisis Tuturan
Tuturan: Aku njaluk pamit ibu. Tuturan ini merupakan TTD. TTD ini sebagai permohonan izin ditandai dengan pemarkah aku njaluk „saya minta/mohon. Kata aku njalukmempunyai arti permintaan/permohonan agar yang dimintai memberikan sesuatu kepadanya. Cara menuturkan sebagai perintah langsung dan lugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143 No. 037
(Dialog 454)
Tuturan: Arjuna : Pênêmbahan, kaparênga paspaosakên! Ingkang kula caosakên mênika ukiraning dhuwung. Kaparênga angasta. Mênggahing wigatos: Pêrmadi kéwala kapêjahana! Durna : Hloh kok ngono? Apa ta sababé déné mêngkono kulup? Arjuna : Ginanipun mênapa para Pandhawa ingkêng sampun aprasêtya: kados déné hantiga sapêtarangan, mênawi ngantos gangsal namung kantun sêkawan, kula sakadang badhé ambyuk hambêbéla pêjah handêrpati. (DRNS.Gn.454M) Terjemahan: Arjuna : Penembahan perhatikan! Apa yang saya berikan, berukirkan keris. Silakan dibawa dengan catatan bunuhlah Arjuna! Durna :„Lho kokbegitu? Apakah sebabnya begitu ananda‟. Arjuna : „Gunanya apa para Pandawa yang sudah setia bagaikan telur dalam satu wadhnya, apabila tinggal empat dari lima bersaudara saya sesaudara akan turut mati.‟. Konteks: Penutur : Arjuna Petutur : Durna Tema: Kesetiaan dalam beladiri unutk kematian saudara. (tijitibeh- mati satu mati semua) Status: - Durna adalah guru sejati. - Arjuna adalah orang ketiga dari Pandawa lima putra Dewi Kunthi yang mempunyai karakter ragu dalam bertindak walau mempunyai ilmu yang tinggi. - Hubungan antara guru dan murid. Tempat: Astina Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, tenang, dan gembira. Tuturan dapat dilihat pada saat Drona berhadapan dengan Arjuna. Analisis tuturan: Tuturan Ginanipun mênapa para Pandhawa ingkêng sampun aprasêtya. Tuturan Duryudana kepada Arjuna ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata Ginanupun mênapa. Pemarkah ini merupakan salah satu Subtindak tutur direktif dalam kata tanya (question). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144 c. Memerintah TTE melarang dalam lakon KTNS terdapat 16 tuturan.Namun, hanya akan dikemukakan 3 tuturan.Dalam lakon DRNS, terdapat 11 tuturan dan hanya akan dikemukakan 3 tuturan. Berikut tuturan yang dimaksud. No. 038 Tuturan: Bgw Dipayasa :…Gunakna ucapan-ucapan kang surasane padha kaya karêbmu.(KTNS.Gn.120M) Basukarna :…. Baratayuda pêrang kula kalih Arjuna kula ingkang pinanggih unggul bapa. Terjemahan: Bgw Dipayasa :… ‘Pergunakan perkataan-perkataan yang isinya sama dengan kehendakmu‟. Basukarna :….‟Baratayuda perang, saya dengan Arjuna, saya yang akan menang, Bapak‟. Konteks: Penutur : Dipayasa Petutur : Basukarna Tema: Basukarna meminta kepada Bgw Dipayasa agar menang di dalam perang tanding dengan Arjuna pada perang Bratayudha. Status: - Bgw Dipayasa adalah seorang pertapa dari Pertapaan Prasu.Salah seorang Begawan yang memiliki kemampuan di dalam olahperang atau strategi peperangan. - Basukarnaadalah seorang raja dari Awangga dan senopati atau panglima perang dari kerajaan Astina. - Hubungan keduanya adalah guru (Bgw Dpayasa) dengan murid (Basukarna). Tempat: Pertapaan Prasu Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Suasananya agak cemas karena Basukarna akan maju perang. Dipayasa dihadap Basukarna untuk meminta ajaran tentang ilmu perang dan menambah kekuatan dalam medan perang untuk mengalahkan Pandawa. Analisis tuturan: Tuturan… Gunaknå ucapan-ucapan kang surasasané
pådhå kaya
karêbmu ..Tuturan Dipayasa terhadap Basukarnaitu merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya commit pemarkah akhiran –na dalam kata gunaknå to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145 „pergunakanlah‟. Pemarkah -na dalam kata gunaknå merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba guna+na.
Cara memerintah sebagai perintah
langsung dan lugas. No. 0 39
(Dialog 263)
Tuturan: Arjuna
:Mênapa mêkatên wau botên salah satunggaling prêlambang kula kêdah asoring adilaga. Prb Kresna :…Buktèkna dalane Pasopati Arjuna. (KTNS.Gn.263M) Terjemahan: Arjuna : ‘Apakah hal seperti itu bukan merupakan salah satu perlambang saya harus mengalah di awal perang‟. Prb Kresna :…’Buktikan keampuhannya senjata Pasopati Arjuna‟. Konteks: Penutur : Arjuna Petutur : Kresna Tema: Prb Kresna menyuruh membuktikan senjata Pasopati. Status: - Arjuna adalah salah satu Pandawa.Anak ketiga dari Kunthi yang bertempat tinggal di Madukara. - Kresnaa dalah raja di Dwarawati, anak Basudewa (saudara Kunthi kandung) sebagai penasihat perang Bratayudha di pihak Pandawa. - Hubungan keduanya sebagai anak kemenakan. Tempat: Kurukesetra Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal.Kresna menyuruh Arjuna agar dapat membuktikan keampuhan Pasopati Arjuna. Analisis tuturan: Tuturan Buktèknå dalane Pasopati Arjuna. Tuturan Kresna
terhadap
Arjunaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat diamati dari adanya penanda akhiran –na dalam kata
buktèkknå
buktikanlah‟. Pemarkah -na merupakan
penanda yang menyatakan memerintah untuk melakukan sesuatu. Verba bentuk – na termasuk verba aktif imperatif dengan bentuk dasar rungu+na pangkal verba. Cara memerintahnya adalah sebagai perintah langsung dan lugas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146 No. 040
(Dialog 331)
Tuturan: Kresna : Apa Pamadi?. Arjuna : ...kanjêng kaka prabu ingkêng mênika borong anggèn paduka mênggalih! botên sah ngêndika bab mênika. (DRNS.Gn.331M). Terjemahan: Kresna : „Ada apa Permadi?‟ Arjuna : „Kanjeng Kaka Prabu silakan di dalam memikirkan! Tidak perlu bicara masalah itu‟ Konteks: Penutur :Kresna Petutur : Arjuna Tema: Arjuna menyerahkan permasalahan yang dihadapi para pandawa kepada Raja Kresna. Status: - Arjunaadalah orang ketiga dari Pandawa lima, putra Dewi Kunthi yangmempunyai karakter ragu dan bimbang dalam bertindak walau mempunyai ilmu yang tinggi. - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakaknya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Hubungan kakak-ipar adik, bukan kandung. Istrinya Arjuna (Lara Ireng) adiknya Kresna. Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih/prihatin.Tuturan antara Arjuna dengan Kresna mengharapkan agar Kresna turut memikirkan keberadaan Pandawa. Analisis tuturan: Tuturankanjêng kaka prabu ingkêng mênika borong anggèn paduka mênggalih! botên sah ngêndika bab mênika. Tuturan Arjuna kepada Kresna ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat diamati adanya penanda dalam kata borong yang mempunyai makna menyerahkan sepenuhnya atas apa yang menjadi permasalahannya. Hal ini dapat dicermati ketika Arjuna berhadapan dengan Kresna.Arjuna merasa tidak ada kekuatan dalam memikirkannya sehingga perlu menyerahkan kepada Kresna. Jenis TTD ini adalah memerintah untuk ikut memikirkan masalah yang ada. Cara menyampaikannya tidak langsung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147 No. 041 (Dialog 373) Tuturan: Werkudara :..,wêkasan kêmrikil pangandikaning sang guru Durna. Kresna : Dara! Èlinga yayi! Ya sanadyan pati uriping manungsa iku ora bisa ditêmtokaké déning kang nyandhang…pètungên nganggo nalar..! Aja nganti gêtun mburiné. Pètungên! Tuna lan bathiné ètungên dhisik! Aja kêsusu kêtarik .. Aja mung gêmrêgêting rasa …Dara! Mandhêga sêméné ya yayi!. (DRNS.Gn.373M). Terjemahan: Werkudara:‟Akhirnya mengalir terus berbicaranya sang Guru‟. Kresna :„Dara ingatlah....Perhitungkan dengan logika...Jangan sampai kecewa di kemudian hari. Jangan terburu tertarik...Berhentilah sekian saja ya Dinda‟. Konteks: Penutur : Werkudara Petutur : Kresna Tema: Kresna mengingatkan Werkudara agar tidak pergi ke laut atau tidak masuk ke dasar laut. Status: - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakaknya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Werkudaraatau Bratasena anak dari Dewi Kunti yang mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Hubungan saudara kakak-beradik. Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih. Saat itu, Kresna memberikan petunjuk, mengingatkan, dan melarang Werkudara dalam tekadnya yang sangat kukuh. Analisis tuturan: Tuturan Dara! Èlinga yayi! .. pètungên nganggo nalar, nalar sing gênêp! Aja nganti gêtun mburiné.
Pètungên! Tuna lan bathiné ètungên dhisik! Aja
kêsusu .. Aja mung gêmrêgêting rasa .. Dara! Mandhêga sêméné ya yayi! Tuturan Kresna terhadap Werkudara ini merupakan TTD. Hal ini ditandai dengan adanya pemarkah
atau
penanda
lingual
seperti
èlinga
„ingatlah‟,
pètungên
„perhitungkan‟, ètungên „hitunglah‟, aja „jangan‟, dan mandhêga „berhentilah‟. Kesemua kata ini mempunyai ciri, yakni pemakaian akhiran –a dan -en menunjuk commit to user kepada makna memerintah (pètungên, etungên, mandhêga), sedangkan èlinga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148 merupakan TTD menyarankan/mengingatkan. Pemarkah aja „jangan‟ mempunyai makna melarang. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 042 (Dialog 420). Tuturan: Anoman :Aku wong tuwa dhasaré pêndhita Werkudara : … Têtêp aku nuhoni dhawuhing sang guru nadi. Ora gêlêm sumingkir tak têndhang. (DRNS.Gn.420M). Terjemahan: Anoman : „Saya orang tua sebagai pandhita‟. Werkudara: „Saya tetap patuh akan pertintahnya sang guru. Tidak mau menepi akan saya tendang‟. Konteks: Penutur :Anoman Petutur : Werkudara Tema: Anoman memperingatkan Werkudara agar tidak melanjutkan perjalanannya untuk masuk ke dasar laut. Status : - Werkudara atau Bratasena adalah anak dari Dewi Kunti yang mempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Anoman adalah seorang pendita kera dari Kendalisada yang merupakan saudara tunggal bayu atau Guru dengan Werkudara. Anoman adalah pernah menjadi panglima Ramawijaya dalam siklus Rama. - Hubungan saudara tunggal Bayu (keduanya sama-sama saswanya Batara Bayu). Tempat: Di tengah perjalanan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Werkudara harus melaksanakan perintah gurunya, Durna, dalam pencarian tirta pawitra mahening suci. Analisis tuturan: Tuturan …. Ora gêlêm sumingkir tak têndhang. Tuturan ini merupakan TTD memerintah. Hal itu terlihat dari penanda lingual (pemarkah) kata ora gêlêm„
tidak bersedia‟. Pemarkah ora merupakan penanda yang menyatakan
verba aktif imperatif. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149 d. Melarang No. 043 (Dialog 93) Tuturan: Basukarna : Punkakang duwé wêwênang kanggo milih, Surtikanthi : Sampun ngantos ngraosi séda Sinuwun.(KTNS.Gn.93M). Terjemahan: Basukarna : ‘Kakanda mempunyai hak untuk memilih‟. Surtikanthi :„Jangan sampai merasa akan meninggal, Sinuwun‟. Konteks: Penutur : Basukarna Petutur : Surtikanthi Tema: Pembicaraan mengenai kematian sebagai pahlawan Status: - Basukarna raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi putri Raja Mandraka, anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan suami-istri. Tempat: Di kerajaan Awangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih karena Surtikanthi akan ditinggal suaminya ke medan pertempuran. Analisis tuturan: Tuturansampun ngantos ngraosi séda Sinuwun. Tuturan Surtikanthi terhadap Basukarna merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran sampun ngantos „jangan sampai‟. Pemarkah kata sampun ngantos merupakan TTD melarang yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 044
(Dialog 192)
Tuturan: Prb Duryudana
Basukarna Prb Duryudana
: Menapa paduka kepareng kula caosi ngampil kreta inten ingkang turangga wolu minangka titihan paduka : Kinten kula commit toboten user kemawon : Gajah Kyai pamuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150 Basukarna Prb Duryudana Basukarna
Terjemahan Prb Duryudana Basukarna Prb Duryudana Basukarna Prb Duryudana Basukarna
: Kula boten kulina numpak gajah. : Kuda Kyai Bandhangangin : Kirang prigel anggen kula nglampahaken kuda ... Sampun ngantos kuciwa wonten madyaning paprangan wontena keparenging penggalih yayi prabu minangkani atur panyuwun kula, kula diparingana kusir ingkang samukawisipun boten kawon kaliyan kaka prabu ing Dwarawati. (KTNS.Gn.192M) : „Apakah mau saya pinjami kereta berkuda delapan?‟ : „Saya kira tidak perlu‟ : „Gajah Kyai pamuk‟ : „Saya tidak terbisa dengan gajah‟. : „Kuda Kyai Bandhangangin : ‘Saya tidak mahir berkuda ... Jangan sampai mengecewakan dalam peperangan nantinya, mohon perkenannya saya diberikan kusir (sais) yang serba bisa tidak kalah dengan Kaka Prabu Dwarawati‟..
Konteks: Penutur :Basukarna Petutur : Duryudana Tema: Permintaan Basukarna tentang sis yang mahir dan berkualitas baik. Status: - Duryudana adalah Raja dari Astina anak dari Destarastra. - Basukarna seorang raja dari Awangga dan senopati atau panglima perang dari kerajaan Astina. - Hubungan masih saudara karena istri Basukarna (Surtikanthi) anak dari raja Salya, sedangkan Duryudana istrinya Banowati anak dari Salya. Tempat: Kuru Mandalayudha (Pasanggrahan Duryudana) Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan menegangkan karena Basukarna bersiap diri akan memimpin barisan Kurawa untuk memerangi Pandawa di Tegal Kurusetra. Analisis tuturan: Tuturan ...sampun ngantos kuciwa … kêparênging pênggalih yayi prabu …,Tuturan Basukarna terhadap Duryudana merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah sampun ngantos „jangan sampai‟ dan dalam kata commitkata to user Kaparênging „atas seizin‟. Pemarkah sampun ngantos merupakan TTD
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151 melarang terhadap sesuatu jangan sampai terjadi serta kata kaparêning merupakan penanda yang menyatakan untuk „memohon izin terhadap sesuatu telah dilakukan‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+parêng. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 045
(Dialog 241)
Tuturan: Prb Kresna
Arjuna
: Arjuna, ora prêlu nggrèwès bathanging ula, sawangên…… ingkang raka ing Ngawanggan wus ngawéawé kêpéngin kêtêmu siadhi (KTNS.Gn.241M). : Nyuwun pengestu kaka prabu
Terjemahan: Prb Kresna :„Arjuna, janganlah menghiraukan ular…lihatlah..kakanda di Ngawangga sudah mengajak ingin bertemu Adinda‟ Arjuna : „Mohon maaf Prabu‟ Konteks: Penutur : Arjuna Petutur : Kresna Tema: Jangan pernah menghiraukan sesuatu yang akan mengganggu satu keberhasilan. Status: - Kresna Raja Dwarawati, reinkarnasi Wisnu, Ayahnya Basudewa yang merupakan saudara atau kakaknya Kunthi. - Arjuna adalah ksatria Pandawa, adik Raja Darma Kusuma, ibunya bernama Kunthi dan ayahnya Pandhu. - Hubungan kakak-beradik Tempat: Kurukesetra Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. saat ditemui seekor ular,Kresna melarang Arjunaagar tdk menghiraukan binatang itu dan meyuruhnya untuk segera melihat raka Ngawangga yang ingin bertemu dengan Arjuna. Analisis tuturan: TuturanArjuna, ora prêlu nggrèwès bathanging ula,sawangên… Tuturan Kresna terhadap Arjuna merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari penanda lingual ora dalam kata ora prêlu „tidak perlu‟ dan akhiran –en dalam kata commit to user sawangên „lihatlah‟. Penanda lingual ora prêlu dan sawangên merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152 penanda yang menyatakan „tidak boleh melakukan sesuatu‟ dan pemakaian akhiran -en termasuk verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba sawang „lihat‟. Cara memerintahnya adalah sebagai perintah langsung dan lugas. No.045 (Dialog 343) Tuturan: Werkudara Kresna
: Jlithêng kakangku apa? :… Aja dipindho ya! Ngêmungna kang kêtêmbèn kêlakon waé, kang uwis. Tlitinên kang pêrmati, sawangên kang cêtha, ètungên kang gênêp! … (DRNS.Gn.343M)
Terjemahan: Werkudara : „Si Hitam kakanda ada apakah?‟ Kresna : „Janganlah diulangi ya! Pahamilah yang sudah berlalu. Telitilah yang cermat, lihatlah yang jelas, perhitungkanlah dengan tepat‟. Konteks: Penutur : Werkudara Petutur : Kresna Tema: Kresna mengingatkan Werkudara agar tidak mengulang berguru kepada Durna. Status: - Kresna Raja Dwarawati adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakaknya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Werkudara (anaknya Pandu), ibunya Werkudara masih satu kandung dengan ayahnya Kresna. - Hubungan paman dengan kemenakan Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal tegang.Kresna selalu memesan/menyarankan agar Werkudara berhati-hati terhadap ajaran dan ajakan Duryudana. Analisis tuturan: Tuturan … Aja dipindho ya! Ngêmungna kang kêtêmbèn kêlakon waé, … Tlitinên kang pêrmati, sawangên kang cêtha, ètungên kang gênêp!
Tuturan
Kresna terhadap Werkudara tersebut merupakan TTD.Hal ini ditandai dengan adanya pemarkah atau penanda lingual seperti, Ngêmungna „berpikirlah ke depan‟, tlitinên „telitilah‟, sawangên „lihatlah‟, etungen „hitunglah‟, dan pemarkah to user aja „jangan‟. Kesemua kata ini commit mempunyai ciri, yakni pemakaian akhiran –na
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153 dan -en menunjuk kepada makna memerintah (ngêmungna, tlitinên, sawangên, etungen), sedangkan pemarkah aja „jangan‟ mempunyai makna melarang. Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung dan lugas.
No. 047
(Dialog 456)
Tuturan: Durna: Hlo hlo kosik ta kosik! Wé hla dalah. Ngono ta karêpmu....Wrangkakna dhisik kêrismu hê! (DRNS.Gn.456M). Arjuna : Inggih ngèstokakên dhawuh. Terjemahan: Durna :„Hlo nanti dulu! ough begitu kehendakmu...kembalikan kerismu dulu‟ Arjuna : „ Ya laksanakan perintah‟. Konteks: Penutur :Arjuna Petutur : Durna Tema: Arjuna diperintahkan untuk memasukkan kembali kerisnya ke dalam sarungnya (warangka). Status: - Durna adalah guru sejati, gurunya Pandawa dan Kurawa. - Arjunaadalah orang ketiga dari Pandawa lima putra Dewi Kunthi, yang mempunyai karakter ragu dan Dewaruci dalam bertindak meski mempunyai ilmu yang tinggi. - Hub guru dan murid Tempat: Tepi laut Pinangkalbu Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan agung (sakral). Saat itu,Durna memerintahkan pusaka Arjunasegera dikembalikan pada tempatnya. Analisis tuturan: Tuturan Hlo hlo kosik ta kosik!. .. Wrangkakna dhisik kêrismu hê! Tuturanyang diucapkan oleh Durna kepada Arjuna merupakan TTD. Tuturan tersebut dapat dilihat dalam kata kosik ta dari perpanjangan kata mêngko disik „nanti dulu‟ yang merupakan TTD permohonan dan ditandai dengan pemarkah mengko disik yang bermakna agar memberikan waktu walaupun sejenak. Selain commit to user–na itu, ditandai pula oleh pemarkah akhiran
dalam kata wrangkakna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154 „masukkanlah ke dalam kerangka (keris)‟. Cara memerintah TTD sebagai perintah langsung dan lugas.
e. Meminta Izin No. 048
(Dialog 96)
Tuturan: Basukarna : … Upamané mengkono prasida iki ingkang tak pilih Surtikanthi : Sangêt-sangêt ing panyuwun kula, kaparênga paduka ngêndika sêpisan malih hanjabêl prêkawis sêda nanging têtêp jaya. (KTNS.Gn.096M) Terjemahan: Basukarna : „Seandainya begitu mati terhormat yang saya pilih‟. Surtikanthi : „Sangat dalam terima kasih, perkenankan Kakanda sekali lagi mencabut masalah kematian namun tetap jaya‟. Konteks: Penutur : Basukarna Petutur : Surtikanthi Tema: Pembicaraan tentang kematian sebagai senopati. Status: - Basukarna: raja di Awangga dan senopati kerjaaan Astina yang akan maju ke medan perang sebagai panglima. - Surtikanthi adalah putri Raja Mandraka anaknya Prabu Salya yang diperistri Basukarna. - Hubungan: suami-istri Tempat: Di kerajaan Awangga Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang karena permintaan Surtikanthi untuk menarik kembali ucapan Basukarna tentang kematiaannya. Analisis tuturan: Tuturan Sangêt-sangêt ing panyuwun kula, kaparênga paduka ngêndika sêpisan malih hanjabêl prêkawis sêda nanging têtêp jaya. Tuturan Surtikanthi terhadap Basukarna itu merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah panyuwun kula „permintaan saya‟ dan kaparênga „izinkanlah‟, akhiran –a dalam kata kaparênga „mempersilakan‟. Pemarkah keparênga merupakan penanda yang menyatakan untuk „mempersilakan‟dan sebagai verba aktif commit to user imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+parêng+a. Kata panyuwun kula
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155 merupakan TTD permintaan dan kata keparênga merupakan TTD mempersilakan. Cara memerintah sebagai perintah tidak langsung dan lugas. No. 049 (Dialog 182) Tuturan: Duryudana Basukarna
Terjemahan: Duryudana Basukarna
: Enggih : Menapa pangandikanipun yayi prabu Duryudana ingkang mekaten wau boten prayogi dipun tuweni malih, dipun tuweni malih.…Yayi kaparênga maspaosakên… Kula anggadhahi gêgayuhan mangké sampun ngantos sêraping surya kula kêdah sampun sagêd nyowanakên mustakaning para Pandhawa. (KTNS,Gn.182M). : „Iya‟. : „Apakah perkataan yayi prabu Duryudana yang begitu tidak lebih baik dilihat kembali, dilihat lagi...Dinda, perkenankan mengecamkan...Saya mempunyai keinginan nanti setelah Matahari tenggelam...„.
Konteks: Penutur : Basukarna Petutur : Duryudana Tema: Basukarna mempunyai satu tekad dalam melawan Pandhawa. Status: - Duryudana Raja di Astina.Dia mempunyai istri bernama Banowati (anak dari Raja Salya, Irawati-Baladewa). - Basukarna menantu Prabu Salya Raja di Mandraka - Hubungan Raja dan patih. Tempat: Kuru Mandalayudha Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan menegangkan karena Basukarna bersiap diri dan akan memimpin barisan Kurawa untuk memerangi Pandawa di Tegal Kurusetra. Analisis tuturan: Tuturan…Yayi kaparênga maspaosakên… Tuturan Basukarna terhadap Duryudana ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran –a dalam kata kaparênga „silakan‟. mempersilakan.
Kaparênga
Pemarkah -a merupakan TTD
merupakan commit to user penanda
yang
menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156 „mempersilakan terhadap sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+parêng+a. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 050
(Dialog 200)
Tuturan: Duryudana Sengkuni
Terjemahan: Duryudana Sengkuni
: Hem… pripun paman? : Mênawi paduka ingkang Sinuwun kêparêng nanggapi atur kula jagad mênika botên jangkêp kalih ... (KTNS.Gn.200M). : „Hem bagaimana Paman‟. : „Kalau diperkenankan menanggapi semua perkataan saya, dunia ini tidak genap dua...‟.
Konteks: Penutur : Duryudana Petutur : Sengkuni Tema: Sengkuni menjelaskan kepada Duryudana tentang pendamping Basukarna Status: - Duryudanaadalah raja di Astina.Dia mempunyaiistri bernama Banowati (anak dari Raja Salya ) Irawati-Baladewa. - Sengkuni adalah seorang patih kerjaaan Astina (tempat tinggal di Polosjenar). Dia adik Gendari (ibunya Suyudana- Istri dari Destarastra). - Hubungan antara Ratu dengan patih Tempat: Kuru Mandalayudha (PasanggrahanDuryudana) Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, menegangkan karena Duryudana dan Sengkuni sedang mengatur strategi perang yang akan dilakukan. Analisis tuturan: Tuturan menawi paduka ingkang Sinuwun kêparêng nanggapi atur kula…Tuturan Sengkuni terhadap Duryudana ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran –a dalam kata kaparêng „silakan‟. Pemarkah kata kapareng merupakan penanda yang menyatakan „minta izin terhadap sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ka+parêng. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157 No. 051
(Dialog 321)
Tuturan: Puntadewa : Nggih nggih kaka prabu, kaparênga paring dhawuh. (DRNS.Gn.321M) Kresna : Ngungun raosing manah putra paduka ing Dwarawati. Terjemahan: Puntadewa : „Ya ya kakanda berikanlah perintah‟. Kresna : „Sedih rasanya hati anakanda di Dwarawati‟. Konteks: Penutur : Puntadewa Petutur : Kresna Tema: Kresna merasa sedih dengan keadaan Puntadewa. Status: - Puntadewa putra sulung Dewi Kunti, raja Ngamarta dengan Pandu sebagai anak pertama Puntadewa berhasil membunuh raja jin. - Kresna adalah putra kedua Prabu Basudewa dari negeri Mandura kakaknya bernama Baladewa, ibunya bernama Dewi Mahendra. - Hubungan kakak beradik kemenakan (Puntadewa – adik) dan Kresna (kakak), Ibunya Pandawa (Kunti) adalah adiknya Ayah Kresna, yakni Basudewa. Tempat: Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal.Saat itu, Puntadewa sedang minta izin untuk diberi petuah oleh Kresna. Analisis tuturan: Tuturan…Nggih nggih kaka prabu, kaparênga paring dhawuh..Tuturan tokoh Puntadewa kepada Kresna itu merupakan jenis TTD. Hal ini ditandai dengan pemarkah akhiran –a dalam kata keparênga „izinkanlah‟. Kata keparenga mempunyai makna memerintah agar yang diajak bicara memberikan izin tentang sesuatu. Dengan demikian, kata keparênga termasuk TTD meminta izin. Cara memerintah ini adalah sebagai perintah langsung langsung dan lugas. No. 052
(Dialog 348)
Tuturan: Dewi Kunthi : Hlo kok ngono? Priyé ta karêpmu kulup? Werkudara : Aku njaluk pamit ibu. (DRNS.Gn.348M) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158 Terjemahan: Dewi Kunthi : „Loh begitukah? Bagaimana kehendakmu Nak‟. Werkudara : „Saya mohon diri Ibu‟. Konteks: Penutur : Dewi Kunthi Petutur : Werkudara Tema: Permintaan izin Werkudara kepada ibunya untuk mencaritirta pawitra. Status: - Werkudara atau Bratasena adalah anak dari Dewi Kunti yangmempunyai adik Arjuna, Nangkula, Sadewa dan mempunyai kakak Puntadewa - Dewi Kunthiadalah istri Pandu, ibunya para Pandawa. - Hubungan antara ibu dengan anak Tempat: Kerajaan Ngamarta Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan sedih.Saat itu Werkudara mohon izin (pamit) kepada ibundanya Dewi Kunthi. Analisis tuturan: Tuturan Aku njaluk pamit ibu.Tuturan yang diucapkan Werkudara kepada ibunya Dewi Kunthiini merupakan TTD. TTD ini sebagai permohonan izin yang ditandai
dengan pemarkah
aku njaluk
„saya
minta/mohon. Kata
aku
njalukmempunyai arti permintaan/permohonan agar yang dimintai memberikan sesuatu kepadanya. Cara menuturkan sebagai perintah langsung dan lugas.
f. Menasehati No. 053
(Dialog 119)
Tuturan: Basukarna
: …Begawan Dipayasa wontêna suka rilaning pênggalih kaparênga nambal gêmapaling manah. Bgw Dipayasa : …apa ra sayogyané tok jabêl. Gunakna ucapan-ucapan kang surasané padha kaya. (KTNS.Gn.119M) Terjemahan: Basukarna : ‘Begawan Dipayasa perkenankanlah dalam mengobati sakit hati‟. Bgw Dipayasa : ‘Apa tidak seyogyanya cabutlah. Gunakanlah perkataan yang sesuai„. Konteks : commit to user Penutur : Basukarna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159 Petutur : Dipayasa Tema: Basukarna merasa kehilangan semua kesaktian. Status: - Basukarna senopati Astina yang akan maju ke medan perang. - Dipayasa seorang pertapa dari Prasu yang sangat sakti dan tahu hal-hal yang akan terjadi. - Hubungan Dipayasa adalah gurunya ilmu dari Basukarna dalam meminta kesaktian dalam perang Barataayudha agar unggul. Tempat: Di Pertapaan Prasu Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Dipayasa dihadap Basukarna untuk meminta ajaran tentang ilmu perang dan menambah kekuatan dalam medan perang untuk mengalahkan Pandawa. Analisis tuturan: Tuturan apa ra sayogyané tok jabêl. Gunakna ucapan-ucapan …Tuturan Dipayasa terhadap Basukarnaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah tok sebagai prefiks verba. Bentuk dasarnya verba maka bermakna dikenai perbuatan yang menyatakan bentuk dasarnya. Kata sayogyané tok jabel„sebaiknya Anda cabut‟ dan akhiran –na dalam kata gunakna „pergunakan‟.Pemarkah tok dan -na merupakan TTD memerintah. Selain itu, pemarkah ini merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba guna+na. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No.054
(Dialog 310)
Tuturan: Kamajaya : Rama pukulun kula nyuwun pamit. Semar : É iya Kamajaya, bok ya mampir nyang Karangkêdhêmpêl. Ibumu kangên hè! (DRNS.Gn.310M) Terjemahan: Kamajaya : „Ayahanda, saya mohon diri‟. Semar : „E iya Kamajaya, mampirlah ke Karangkedhempel.‟ Konteks: Penutur : Kamajaya Petutur : Semar Tema: commit to user Semar memberikan saran kepada Kamajaya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160 Status: - Semar biasanya disebut Ki LurahSemar adalah panakawan utama, sebagai dewa ngejawantah, dewa yag mengubah dirinya sebagai manusia. Semar adalah perwujudan dari Batara Ismaya yang beristrikan Dewi Kanestren. - Kamajaya adalah anak Semar dan sebagai seorang dewa yang tinggal di Cakrakembang istrinya Kumaratih. - Hubungan antara anak dengan ayah. Tempat: Di tengah hutan Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal antara Semar dengan Kamajaya yang menyarankan agar Singgah ke Karangkedhempel karena ibunya rindu. Analisis tuturan: Tuturan É iya Kamajaya, bok ya mampir nyang Karangkêdhêmpêl. Ibumu kangên hè! Tuturan Semar kepada Kamajaya ini merupakan jenis TTD. Hal ini ditandai dengan pemarkah mbok „alangkah‟ dalam kata mbok yamampir „alangkah baiknya singgah‟…. Kata mbok mempunyai makna memerintah secara halus agar yang diajak bicara melakukan sesuatu seperti apa yang diharapkan atau disarankan
oleh
penutur.
Partikel
mbok
mempunyai
arti
perintah
halus/permintaan. Dengan demikian, kata mbok ya matur termasuk TTD mengharapkan/menyarankan. Cara memerintah ini adalah sebagai perintah langsung langsung dan lugas. 4. TTD PMdalam BNPA dan RGPA
TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam BNPA ditemukan sebanyak 19 tuturan dengan rincian request 2 (10.52%) S=1,M=1, question 2 (10.52%) S=0,M=2, requirement 6 (31.57%) S=2,M=4, prohibitivies 9 (47.36%) S=4,M=5, permisif 0, dan advisor 0. TTD pathet sanga (PS) dan pathet manyura (PM) dalam RGPA ditemukan sebanyak 56 tuturan dengan rincian request10 (17.85%) S=5,M=5; Q uestion
13(23.21%) S=1,M=12; requirement 25 (44.64%)
S=13,M=12;
prohibitivies 6 (10.71%) S=1,M=5; permisif 2 (3.57%) S=0.M=2, dan advisor 0. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161 a. Meminta No. 055 (Dialog 69) Tuturan: Dasamuka Ramawijaya
: Kêblingêr piyé hêm. : Ngêrtiya, têkaku ora mung ngrêbut bojoku, nanging bakal ngêndhêk angkaramu. (BNPA.Gn.069M)
Terjemahan: Kamajaya : „Terkecoh bagaimana?‟. Semar :„Ketahuilah kedatanganku tidak hanya merebut kembali istriku namun juga akan menghentikan keangkaramurkannmu‟ Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Ramawijaya Tema: Ramawijaya akan menghentikan keangkaramurkaan Dasamuka Status: - Ramawijaya adalah ksatria Ayodya yang bermukim di hutan. - Dasamuka adalah Raja Alengka yang menculik Sinta. - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Ramawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Di Medan pertempuran. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Dalam suasana tegang antara Dasamuka dengan Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Rmawijaya terhadap Dasamuka bahwa dalam ngêrtiya, têkaku ora mung ngrêbut bojoku … merupakan jenis TT meminta untuk mengerti. Hal itu dapat diamati dari adanya penanda –a dalam ngertiya „mengertilah‟. Pemarkah akhiran –a merupakan penanda yang menyatakan verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ngerti + (-a). Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 056
(Dialog 098)
Tuturan: Sinta : Apa mbok kira aku gumun. Lesmana : …kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt panyuwun kula papan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162 mênika badhé kula rajah, kakangmbok mugi ngantos mêdal saking rajah. (RGPA.Gn.098M)
sampun
Terjemahan: Sinta : Apa dikira saya heran‟. Lesmana : „Perkenankan saya akan mengupayakan namun saya harus dengan sangat agar tempat yang saya rajah jangan sampai kakanda keluar dari tempat ini.‟ Konteks: Penutur : Sinta Petutur : Lesmana Tema: Ketidakpercayaan Sinta terhadap Lesmana Status: - Sinta adalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh Ramawijaya. - Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya adik Ramawijaya satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati). - Hubungan keduanya adalah saudara ipar. Tempat: Hutan kandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang karena Sinta tidak percaya kepada Lesmana yang dengan sangat terpaksa meninggalkan Sinta untuk menolong Ramawijaya. Lesmana membuat rajah untuk pengamanan. Analisis tuturan: Tuturan:…kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt … kakangmbok mugi pun ngantos... Tuturan Lesmana terhadap Sintaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata kêparêngipun„izinkanlah‟, kula suwun „saya minta‟, mugi ‟Semoga‟, dan sampun ngantos „jangan sampai‟. Kata kêparêngipun, kula suwun, mugi, dan sampun
ngantos merupakan TTD memohon (kêparêngipun, kula
suwun, mugi). Pemarkah sampun ngantos merupakan TTD melarang. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 057
(Dialog 57)
Tuturan: Ramawijaya : …. .padéné sira yayi kumudu ngasokaké sarira dhimas Lesmana: Inggih kakangmas menawi mêkaten botên kêndhat commit to user panyuwun kula dhatêng panguwasaning Dewadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163 sumangga kakangmas (RGPA.Gn.057M)
kula
Terjemahan: Ramawijaya : ‘Apalagi Adinda harus istirahat‟. Lesmana : ‘Iya Kakanda kalau begitu tidak berhenti saya kepada penguasa Dewadi‟.
dhèrèkakên.
Harapan
Konteks: Penutur Petutur
: Lesmana : Ramawijaya
Tema: Ramawijaya beristirahat sejenak dengan selalu bersyukur. Status: - Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya, satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati). - Ramawijaya adalah seorang ksatria, kakak Lesmana satu ayah (raja Ayodya bernama Dasarata ) beda ibu (Dewi Regu). - Hubungan antara Lesmana dengan Ramawijaya adalah bersaudara satu ayah beda ibu. Tempat: Hutan kandaka Situasi tuturan: Situasi tidak formal karena mereka (Ramawijaya, Lesmana, dan Sinta) sebelum tidur berdoa minta keselamatan kepada Yang Mahakuasa. Analisis tuturan: Tuturan:… botên kêndhat panyuwun kula … sumangga kakangmas. Tuturan Lesmana terhadap Ramawijayaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat diketahui dari adanya pemarkah
panyuwun kula
„permintaan saya‟ dan
sumangga „marilah‟. Pemarkah panyuwun merupakan TTD permohonan dan pemarkah sumangga merupakan TTD ajakan. Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 058
(Dialog 060)
Tuturan: Marica : Kula wontên dhawuh. Dasamuka : Mripatmu ki ngingêtna wong kok ayuné kaya ngono, kowé wêruh bokongé sêmaput hahahaa…. Lha kuwi Sing jênêngé Rekyan Sinta. (RGPA.Gn.060M) Terjemahan: Marica : ‘Adakah perintah‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164 Dasamuka : ‘Matamu coba lihatlah orang cantik seperti itu bila kamu lihat pantatnya bisa pingsanlah ha ha ha‟. Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Marica Tema: Dasamuka memberitahukan keelokan kecantikan Sinta kepada Marica. Status: - Marica adalah prajurit Dasamuka yang dipercaya untuk menggoda Sinta. - Dasamuka adalah seorang Raja Alengkadiraja yang dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan mempunyai sifat serakah dan angkara murka. - Hubungan antara atasan dan prajurit, tidak formal Tempat: Hutan Dandaka Situasi Tuturan : Situasi tidak formal.Dasamuka melihat Sinta dari udara dengan sangat senang, Dasamuka menyuruh Marica agar melihat kecantikan Sinta. Analisis tuturan: Tuturan: ...ngingêtna wong kok ayuné kaya ngono… Tuturan Dasamuka terhadap Maricaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran –na dalam kata ngingêtna „lihatlah‟. Pemarkah kata ngingêtna merupakan TTD memerintah. Penanda ini menyatakan untuk
„melakukan
sesuatu‟dan sebagai verba aktif imperatif memiliki bentuk dasar pangkal verba (ng)+inget+na. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas. b. Menanyakan No. 059
(Dialog 061)
Tuturan: Rama Wijaya : Tiba kosok bali, wangkot wangkalmu nggonmu mdewakake marang nabsu ingkang linambaran angkaraning ati Dasamuka : Tinitah dadi wong nek diwenehi piranti geneb kandel njaba njeroku apa kleru yen aku nuruti kereb, hem...? apa kleru? Apa kleru wong ngugemi kapercayan Rama Wijaya : Kapercayan sing endi? Yen kowe menungsa ingkang isih duwe kapercayan mesthine ora kaya ngono. Lan ora bakal user kaya ngenecommit dadineto(BNPA.Gn.061M).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165 Terjemahan: Rama Wijaya: „Sangat berkebalikan, keras kemauanmu, yang selalu mengutamakan keserakhan‟. Dasamuka : „Ditakdirkan jadi orang yang kuat lahir dan batin, hem...? apa keliru? Apa kleru orang yang selalu percaya dengan kekuatannya.‟ Ramawijaya : „Kepercayan yang manakah? Apabila sebagai orang mempunyai kepercayaan mestinya tidak seperti itu. Dan tidak berdampak seperti ini akhirnya‟ (BNPA.Gn.061M). Konteks: Penutur :Ramawijaya Petutur : Dasamuka Tema: Ramawijaya menyangsikan apa yang diyakini oleh Dasamuka tentang tindakannya yang ngawur. Status: - Ramawijaya adalah ksatria dan raja dari Ayodya beristrikan Sinta. - Dasamuka adalah Raja Alengka Dasamuka yang merebut istri Ramawijaya. Dia dilukiskan sebagai tokoh wayang bermuka sepuluh dan selalu mencari titisan Widawati untuk dijadikan istri. - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Ramawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Medan pertempuran Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah informal. Tuturan dapat dilihat pada saat Ramawijaya bertutur kepada Dasamuka. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan kepada Dasamuka. Analisis tuturan: Tuturan Kapercayan Sing êndi? Yen kowé mênungsa ingkang isih duwé kapêrcayan mesthiné. Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata Tanya, seperti Sing êndi „yang manakah‟. Pemarkah Sing êndi merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan tentang perihal yang manakah. Cara menyampaikan TTD adalah sebagai perintah langsung dan lugas. No. 060
(Dialog 066)
Tuturan: Marica
: Kados ngètên bojo kula rêmên. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166 Dasamuka : …, piyé carané kowe bisa misah Ramawijaya karo bojone. … piyé caramu? Carané piyé„. (RGPA.Gn.066M) Terjemahan: Marica : „Seperti ini saja istrinya cinta‟. Dasamuka : ‘Bagaimana caranya kamu dapat memisahkan Ramawijaya dengan istrinya…bagaimana caramu? Caranya bagaimana‟. Konteks: Penutur : Marica Petutur : Dasamuka Tema: Membujuk Marica untuk memisahkan Sinta dari Ramawijaya. Status: - Marica adalah prajurit Dasamuka yang dipercaya untuk menggoda Sinta. - Dasamuka adalah seorang raja. - Hubungan keduanya adalah atasan dan prajurit, tidak formal. Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah informal. Tuturan dapat dilihat pada saat Dasamuka bertutur kepada Marica. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai pertanyaan kepada Marica. Analisis tuturan Tuturanpiyé carané kowe bisa misah Ramawijaya karo bojoné. … Sinta bakal tak boyong mênyang Nêgara Ngalêngkadiraja piyé caramu? Carane piyé. Tuturan Dasamuka terhadap Marica ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata tanya seperti piyé „bagaimana‟. Pemarkah piyé merupakan TTD yang menyatakan pertanyaan tentang bagaimana agar Marica dapat memperebukan Sinta dari tangan Ramawijaya. Cara menyampaikan TTE adalah sebagai perintah langsung dan lugas.
c. Memerintah No. 061
(Dialog 082) Tuturan
Lesmana : Kula wontên dhawuh? Ramawijaya: Mara gagé tunggunênrêksanênjaganên mbakayumu yayi Rekyan Sinta siadhi aja nganti lunga saka papan kene. (PA.RG.Gn.082M) Terjemahan: commit to user Lesmana : ‘Adakah perintah untuk Saya‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167 Ramawijaya
Konteks Tema Status
:
‘Marilah tungguilah rawatlah jagalah kakakmuYayi Rekyan Sinta jangan sampai pergi dari tempat ini‟. Penutur : Ramawijaya Petutur : Lesmana Ramawijaya meminta Lesmana untuk menjaga Sinta di hutan.
- Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati). - Ramawijaya adalah seorang ksatria, kakak Lesmana satu ayah (raja Ayodya bernama Dasarata ) beda ibu (Dewi Regu). - Hubungan antara Lesmana dengan Ramawijaya adalah keduanya bersaudara satu ayah beda ibu.
Tempat
Hutan kandaka
Situasi tuturan
Situasi tuturan adalah formal. Tegang dan terburu-buru karena Ramawijaya segera mengejar kijang yang dikehedaki. Sinta dan Lesmana harus menjaga keselamatan Sinta.
Analisis tuturan
Tuturan: Mara gagé tunggunên reksanên jaganên mbakayumu yayi Rekyan Sinta. Tuturan Ramawijaya terhadap Lesmana ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah mara gage „kemari cepatlah‟, akhiran –en dalam kata tunggunên ‟tungguilah‟, reksanên „lindungilah‟, dan jaganên ‟jagalah‟. Pemarkah kata yayi mara gagetunggunên reksanên jaganên merupakan penanda yang menyatakan untuk „melakukan sesuatu‟dan sebagai verba bentuk –en bermakana perintah terhadap mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang disebut pada bentuk dasar/bentuk dasar
pangkal verba
tunggu(n)+en reksa(n)+en jaga(n)+en. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 062
(Dialog 063)
Tuturan: Dasamuka Ramawijaya
Terjemahan: Dasamuka
: Rungokna gobogmu. : … Ngêrtiya, pancèn bener yènta mênungsa sing uripé suwung tanpa tékad yêktine ora sumurup jêjering uripé. (BNPA.Gn.063/M) commit to user : „Dengarkan bodohmu.‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168 Ramawijaya
: „Mengertilah memang benar kalau orang yang kosong tanpa tekad itu sebenarnya bukan sebagai orang hidup.‟
Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Ramawijaya Tema: Ramawijaya memberikan peringatan kepada Dasamuka. Status: - Ramawijayaadalah ksatria dan raja dari Ayodya. - Dasamukaadalah Raja Alengka. - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Ramawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Di medan pertempuran Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, dalam suasana tegang dan Dasamuka dengan Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka dalam kalimat Ngêrtiya, pancèn… merupakan jenis TT memerintah. Hal itu dapat diamati dari adanya penanda –a dalam ngêrtiya „mengertilah‟. Pemarkah akhiran –a
merupakan
penanda yang menyatakan verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ngêrti + (-a). Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 063
(Dialog 069)
Tuturan: Dasamuka Ramawijaya Terjemahan: Dasamuka Ramawijaya
: Kêblinger piyé hêm. : Ngêrtiya, têkaku ora mung ngrêbut bojoku, nanging bakal ngêndhêk angkaramu. (BNPA.Gn.069M) : „Terkecoh bagaimana? hem‟ : ‘Mengertilah kedatanganku bukan hanya meminta kembalinya istriku namun juga akan memberhentikan angkara murkamu„
Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Ramawijaya Tema: Ramawijaya akan merebut kembali istrinya Status: - Ramawijaya adalah ksatria Ayodya yang bermukim di hutan. commit to user - Dasamuka adalah Raja Alengka yang mencuri Sinta.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169 - Hubungan antara Dasamuka dengan Ramawijaya adalah musuh karena istri Rmawijaya direbut oleh Dasamuka. Tempat: Di medan pertempuran. Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal. Dalam suasana tegang dan antara Dasamuka dengan Ramawijaya. Analisis tuturan: Tuturan Ramawijaya terhadap Dasamuka dalam kalimat Ngeêrtiya dalam kalimat Ngêrtiya, têkaku ora mung ngrêbut bojoku,… merupakan jenis TT memerintah. Hal itu dapat diamati dari adanya penanda –a dalam ngêrtiya „mengertilah‟. Pemarkah akhiran –a merupakan penanda yang menyatakan verba aktif imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba ngerti + (-a). Cara menyampaikan sebagai perintah langsung dan lugas. No. 064
(Dialog 098)
Tuturan: Sinta : Apa mbok kira aku gumun. Lesmana : …kêparengipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt panyuwun kula papan mênika badhé kula rajah, kakangmbok mugisampun ngantos mêdal saking rajah (RGPA.Gn.098M) Terjemahan: Sinta : ‘Jangan dikira saya heran‟. Lesmana : „Atas seizinnya saya akan mengupayakan kakanda hanya saja saya minta tempat yang saya rajah ini jangan dilalui‟. Konteks: Penutur : Sinta Petutur : Lesmana Tema: Ketidakpercayaan Sinta terhadap Lesmana. Status: - Sintaadalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh Ramawijaya. - Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya, satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati). - Hubungan keduanya adalah saudara ipar. Tempat: Hutan Dandaka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170 Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang.Sinta tidak percaya kepada Lesmana dan dengan sangat terpaksa meninggalkan Sinta untuk menolong Ramawijaya. Lesmana membuat rajah untuk pengamanan. Analisis tuturan: Tuturan:… kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt … kakang mbok mugi sampun
ngantos... Tuturan
Lesmana terhadap Sintaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkahkata kêparêngipun „izinkanlah‟, kula suwun „saya minta‟,mugi ‟Semoga‟, dansampun ngantos „jangan sampai‟. Kata kêparêngipun,kula suwun, mugi, dan sampun ngantos merupakan TTD memohon (kêparêngipun, kula suwun, mugi), sedangkan pemarkah sampun ngantos merupakan TTD melarang. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung. No.065 (Dialog 109) Tuturan: Dasamuka: Iki Rêkyan Sinta Jentayu : Hayo…., balèkna, balèkna marang radèn Ramawijaya Rêgawa lan kowé aja ngrusak pagêr ayu … (RGPA.Gn.109M) Terjemahan: Dasamuka : „Ini Rekyan Sinta‟. Jentayu : „Ayolah kembalikan kepada Ramawijaya Regawa dan kamu janganlah merusak kebahagiaan orang„. Konteks: Penutur : Dasamuka Petutur : Jentayu Tema: Jetayu meminta kepada Dasamuka agar mengembalikan Sinta ke Rmawijaya Status: - Dasamuka adalah raja Alengkadiraja. - Jetayu adalah burung teman dari Raja Dasarata yang merupakan ayah dari Rmawijaya. - Hubungan keduanya adalah kerabat yang baik sehingga keduanya mencoba selalu menolong keluarga Raja Dasarata. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171 Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, menegangkan, dan Dasamuka sehingga terjadi perkelahian. Jentayu dihajar oleh Dasamuka melalui senjatanya. Analisis tuturan: Tuturan: Hayo….,balèkna, balèkna marang radèn Ramawijaya Rêgawa lan kowé aja ngrusak pagêr ayu … Tuturan Jentayu terhadap Dasamukaini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata hayo „ayo‟ dan akhiran –na dalam kata balekna „kembalikanlah‟ serta pemarkah kata aja. Pemarkah -na termasuk verba imperatif dengan bentuk dasar pangkal verba sehingga bermakna perintah kepada mitra tutur untuk bertindak bagi orang lain sehingga termasuk TTD memerintah. Kata pemarkah hayo merupakan penanda lingual yang menyatakan ajakan dan kataaja menyatakan larangan. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung dan lugas. d.
Melarang
No. 066
(Dialog 087)
Tuturan: Lesmana: Kakangmbok badhé tindak pundi? Sinta : …aku darbé panyuwun marang kakangmas ingkang satêmah anjalari kasangsayané keng raka. Lêsmana aja mbok pambêngi. (RGPA.Gn.087M) Terjemahan: Lesmana: „Mbakyu akan kemanakah?‟ Sinta : „Aku mempunyai permintaan yang mengakibatkan kesengsaraan Kakandamu. Lesmana jangan halangi‟. Konteks: Penutur : Lesmana Petutur : Sinta Tema: Sinta akan menyusul Ramawijaya karena mendengar jeritan Ramawijaya dalam keadaan bahaya. Status: - Sinta adalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh Ramawijaya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172 - Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya satu ayah (Raja Ayodya yang bernama Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati). - Hubungan keduanya adalah saudara ipar. Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal, tegang.Sinta seperti mendengar suara Ramawijaya dalam keadaan kesakitan karena rintihannya dalam melawan kijang. Analisis tuturan: Tuturan Lesmana aja mbok pambêngi…Tuturan Sinta terhadap Lesmana ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata aja „jangan‟. Pemarkah kata aja merupakan penanda yang menyatakan untuk „melarang melakukan sesuatu‟. Tuturan ini sebagai TTD melarang atas sesuatu. Cara memerintah adalah sebagai perintah langsung dan lugas.
e. Meminta Izin No. 067 (Dialog 098) Tuturan: Sinta : Apa mbok kira aku gumun. Lesmana : …kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt panyuwun kula papan menika badhé kula rajah, kakangmbok mugi pun ngantos mêdal saking rajah. (RGPA.Gn.098M) Terjemahan: Sinta : „Apa dikira saya heran‟. Lesmana : „Perkenankan saya akan mengupayakan namun saya Harap dengan sangat agar tempat yang saya rajah jangan sampai kakanda keluar dari tempat ini.„ Konteks: Penutur : Sinta Petutur : Lesmana Tema: Lesmana meninggalkan Sinta untuk menyusul Ramawijaya karena permintaan Sinta. Status: - Sinta adalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh Ramawijaya. - Lesmana adalah seorang ksatria dari Ayodya, adik Ramawijaya satu ayah to user (Raja Ayodya yang bernamacommit Dasarata) dengan beda ibu (Sutrawati).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173 - Hubungan keduanya adalah saudara ipar. Tempat: Hutan kandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan tegang. Sinta tidak percaya kepada Lesmana dan dengan sangat terpaksa meninggalkan Sinta untuk menolong Rmawijaya. Lesmana membuat rajah untuk pengamanan. Analisis tuturan: Tuturan:… kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kéwala kula suwun kanthi sangêt … kakangmbok mugi sampun ngantos... Tuturan Lesmana terhadap Sinta ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata kêparêngipun „izinkanlah‟, kula suwun „saya minta‟, mugi ‟semoga‟, dan sampun ngantos „jangan sampai‟. Kata kêparêngipun, kula suwun, mugi, sampun ngantosmerupakan TTD memohon (kêparêngipun, kula suwun, mugi). Pemarkah sampun ngantos merupakan TTD melarang. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟. Cara memerintah sebagai perintah langsung dan lugas.
No. 068
(Dialog 076)
Tuturan: Ramawijaya : Yayi muskaraning pun kakang nimas sayêktiné ing alas iki akèh kewan ingkang manca warna. Sinta : ...Pêngéran mbok inggiha wontên suka lilaning pênggalih kêparênga nyêpêng kidang mênika. Sagêda kinurung wonten ing gubug ... (RGPA.Gn.076M) Terjemahan: Ramawijaya : „Adinda mutiara hati Kakanda Nimas sebenarnya di hutan ini banyak binatang yang beraneka.‟ Sinta : „Pangeran perkenankalah dengan segala rendah hati izinkanlah memegang kijang itu. Bisa dikurung di rumah‟. Konteks: Penutur : Ramawijaya Petutur : Sinta Tema: Sinta meminta kepada Ramawijaya untuk menangkap Kijang. Status: - Sinta adalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh commit to user Ramawijaya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174 - Ramawijaya adalah putra Raja Dasarata dari kerajaan Ayodya yang memperistri Sinta. - Hubungan keduanya sebagai suami istri yang sedang hidup di tengah hutan. Tempat: Hutan Dandaka Situasi tuturan: Situasi tuturan adalah formal dan menegangkan karena Sinta mengatakan kepada Ramawijaya bahwa ingin seekor kijang. Analisis tuturan: Tuturan wontên suka lilaning pênggalih kêparênga nyêpêng kidang mênika. … Tuturan Sinta terhadap Ramawijaya ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata suka lilaning pênggalih „adanya keikhlasan berpikir‟. Kata suka lila merupakan TTD memohon. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟dan sebagai
verba aktif
imperatif. Cara memerintah adalah sebagai perintah tidak langsung. No. 069
(Dialog 079)
Tuturan: Ramawijaya : Yayi muskaraning pun kakang nimas sayêktiné ing alas iki akèh kewan ingkang manca warna, Sinta : .. kula inggih namung sepisan menika mugi kêparênga mituruti gungan kula. (RGPA.Gn.079M) Terjemahan: Ramawijaya : „Adinda mutiara hati Kakaknda Nimas sebenarnya di hutan ini banyak binatang yang beraneka‟. Sinta : „Saya juga hanya ingin sekali ini saja Semoga perkenankanlah menuruti permintaan saya‟. Konteks: Penutur : Ramawijaya Petutur : Sinta Tema: Sintamempunyai permintaan kepada Ramawijaya agar memburu Kijang untuk hewan piaraan. Status: - Sinta adalah putri Raja Janaka dari kerajaan Mantili yang diperistri oleh Ramawijaya. - Ramawijaya adalah putra Raja Dasarata dari kerajaan Ayodya yang memperistri Sinta. - Hubungan keduanya sebagai suami-istri yang sedang hidup di tengah hutan. Tempat: commit to user Hutan Dandaka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175 Situasi tuturan: Suasana formal dan menegangkan karena tuturan Sinta ditujukan kepada Ramawijaya. Sinta menginginkan Kijang yang selalu menggodanya. Analisis tuturan: Tuturan:… kula inggih namung sepisan menika mugi kêparênga mituruti gungan kula. Tuturan Sinta terhadap Ramawijaya ini merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah akhiran –a dalam kata kêparênga „diizinkanlah‟. Kata kêparênga merupakan TTD memohon. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟dan sebagai
verba aktif
imperatif dari bentuk dasar ka+pareng+a. Cara memerintah adalahsebagai perintah tidak langsung dan lugas.
Tabel 4.2. Prosentase Pemakaian Tindak Tutur Direktif TTD dalam Lakon KTNS, DRNS, BNPA, RGPA
LAKON DAN DALANG NO
JENIS TTD KTNS
DRNS
BNPA
Request
8 (14.35%) S=1, M=7
8 (20%) S=0, M=8
2 (10.52%) S=1,M=1
10 (17.85%) S=5,M=5
Question
4 (7.17%) S=4, M=0 18 (31.57%) S=2, M=16 9 (15.78%) S=4,M=5 11 (19.29%) S=2, M=9 7 (12.28%) S=1, M=6
5 (12.5%) S=1, M=4 12 (30%) S=1, M=11
2 (10.52%) S=0,M=2 6 (31.57%) S=2,M=4
13 (23.21%) S=1,M=12 25 (44.64%) S=13,M=12
3 (7.5%) S=0, M=3 2 (5%) S=0, M=2
9 (47.36%) S=4,M=5 0
6 (10.71%) S=1,M=5 2 (3.57%) S=0.M=3
0
0
57
40
1
2 Requirement 3 Prohobitivis 4 Permisif 5 Adviser 6
Jumlah
10 (2.5%) S=0,M=10
19
commit to user
RGPA
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176 IV.1 Tindak Tutur Ekspresif dan Direktif Kaitannya dengan Implikatur. Prinsip Kerja Sama, dan Prinsip Kesantunan dalam KTNS, DRNS, BNPA, RGPA. A. Pengutaraan Tindak Tutur Dalam bab ini dikupas tentang TTDdan TTE pathêt sanga (PS) dan manyura (PM) dalam lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA. Hal ini merupakan kajian objektif yang bertitiktolak pada teks keempat lakon, baikyang dilakukan melalui cara pengutaraan tindak tutur langsung ataupun tidak langsung dalam penggunaan prinsip kerja sama dan kesantunan. Dengan cara itu,diharapkan dapat dipahami TTE dan TTD keempat lakon tersebut. Tindak tutur ekspresif (TTE) adalah jenis tindak tutur fungsi ilokusi yang mengungkap atau mengutarakan suasana psikologis atau menyatakan perasaan penutur kepada mitra tutur, seperti gembira, duka, dan suka/tidak suka. Selain itu, termasuk dalam kasus paradigmatik,seperti minta maaf, kekeliruan, mengucapkan selamat kepada, memuji, berterima kasih, dan belasungkawa. Tindak tutur direktif (TTD) adalah jenis tindaktutur yang mewakili usaha penutur untuk menyuruh addressee melakukan sesuatu. Kasus pragmatik mencakup saran, perintah, pertanyaan, permintaan.Dalam tindak tutur ini, penutur juga bermaksud mendapatkan jalannya tindakan di masa depan kepada pihak addressee. Pemenuhan syarat-syarat tertentu agar tuturan valid, perlu dipahami bahwa tindak tutur dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung serta literal maupun tidak literal. Hal itu dicapai dengan cara masing-masing seperti kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah yang berfungsi untuk memberikan informasi, menanyakan, dan memerintah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tindak tutur langsung terjadi ketika tuturan sesuai dengan modus kalimatnya. Misalnya, kalimat berita untuk memberitakan, kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak,ataupun memohon, dan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Tindak tutur tidak langsung mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kajian tentang tindak tutur karena sebagaian besar tuturan memang disampaikan secara tidak langsung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177 Tindak tutur dapat dilihat dari sudut pandang langsung dan tidak langsung serta sudut pandang literal atau tidak literal yang dibedakan menjadi empat tindak tutur. Keempat tindak tutur itu adalah (1) tindak tutur literer dan langsung, (2) tindak tutur tidak literer dan langsung, (3) tindak tutur literer dan tidak langsung, (4) tindak tutur tidak literer dan tidak langsung (Nadar, 2009:20-21). Terkait dengan pemaparan teori di atas, akan dibahas keempat tindak tutur langsung dan tidak langsung terhadap keempat lakon di bawah ini. Berpijak dari sumber data teks lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA pada dialog tokoh-tokohnya, dapat diperoleh empat cara pengungkapan tindak tutur. Keempat cara yang dimaksud adalah (1)
tindak tutur langsung literal
(LLT), (2) tindak tutur tidak langsung literal (TLL), (3) tindak tutur langsung tidak literal (LTL), dan (4) tindak tutur tidak langsung tidak literal (TLTL). Keempat hal di atas akan diuraikan dalam kajian berikut yang tercakup dalam TTE dan TTD. 1. Tindak Tutur Langsung Literal Tindak tutur ini merupakantindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, maksud memberitahukan dengan kalimat berita, maksud menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Tuturan dalam lakon KTNS PS dan PM (1) Prb. Hardawalika : Éee…patih majua lungguhmu. (KTNS.Gn.027S). Pth Kridhamanggala:Kawula noknon nun inggih boten langkung ngestokaken dhawuh pangandika Terjemahan: Prb. Hardawalika : „Eeee, patih, majulah dudukmu‟. Pth Kridhamanggala : „iya tidak lebih saya turuti perintahnya‟ Modus tuturan (1) dan makna kalimat sama dengan maksud Hardawalika kpada Patih Kridamanggala, yakni memerintah patih agar duduknya maju ke depan. Hal ini terjadi ketika Kridhamanggala menghadap kepada Hardawalika di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178 GuwaBarong. Ujaran ini disampaikan secara langsung literal karena modus kalimat dan maksud penutur mempunyai makna yang sama. (2) Basukarna: Iya, aja karo nangis ndhak ora cêtha aturmu hé…(KTNS.Gn.085S) Surtikanthi: Sareng kula nyumerapi paduka menganggo sarwa enggal, rumaos kula salebeting liyep layaping aluyub. Paduka nitih tandhu mengagem sarwa enggal busananing penganten kairing brahmana ingkang sadaya busana sarwa seta Terjemahan: Basukarna : „Ya, jangan menangis karena tidak jelas bicaramu‟. Surtikanthi: „Setelah saya mengetahui busana serba baru, dalam sekejap mimpi. Paduka naik dipanggul dengan busana serba baru dan yang mengringinya juga mengenakan pakaian baru‟. Tuturan (2) merupakan tuturan yang menunjukkan larangan.Pengutaraan kalimat dan maksud penutur memiliki makna yang sama maka ujaran tersebut disampaikan secara langsung dan literal, yakni ketika Basukarna melarang istrinya Surtikanthi agar tidak menangis pada saat berbincang kepada Basukarna. Surtikanthi menangis karena mengetahui bahwa Basukarna telah mengenakan busana serba baru. b. Tuturan dalam lakon DRNSPSdanPM (3) Arjuna : Kula pukulun, wontên pêngêndika ingkang adhawuh. Kamajaya: …. Jêr kawruhana kulup, Pandhawa kang sinêbut hantiga sapêtarangan pêcah siji kabèh béla, mukti siji kabèh angrasakaké. Kinodrat ora nana kang kêcicir sawiji-wiji sadurungé kliwat Bratayuda Jayabinangun. Mung ana sawêtara minangka pêpulih gêmpaling atimu, prêkara iki kulup Pamadi, sira tumuli balia ....(DRNS.Gn.305S)
(4)
Terjemahan: Arjuna : „Ya saya, apakah ada yang diperintahkan. Kamajaya: ...„Selalu ketahuilah anaknda, Pandawa yang disebut sebagai “hantiga sapetarangan” ibarat telur dalam satu wadahnya jika pecah sati semua akan merasakan pecahan itu. Dikodratkan tidak satupun yang tertinggal sebelum peperangan Baratayuda berlalu. Hanya ada hal sementara sebagai pelipur hatimu, untuk itu kembalilah... Arjuna : Kados pundi bapa? commit to user samodra.... (DRNS.Gn.483M) Durna : Ayoh, tutna mapan ana têpining
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179
Terjemahan: Arjuna : „Bgaimana Ayah?‟ Durna : „Ayolah ikutilah ke tepinya samudera...‟ Tuturan (3) merupakan tuturan langsung dan literer. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata kawruhana.Akhiran -na dalam kata kawruhana merupakan wujud aktif imperatif yang disampaikan secara langsung dan lugas. Maksud penutur memerintah kepada petutur agar melakukan tindakan melihat atau memahami tentang segala sesuatu berkaitan dengan Pandawa yang masih dalam satu petarangan „satu wadah‟. Apa yang diungkapkan penutur sama seperti makna yang disampaikannya kepada petutur. Tuturan langsung dan literer ditemukan dalam tuturan (4) di atas. Hal ini dapat dilihat dari adanya kata tutna. Pemarkah akhiran – na dalam kata ayoh, tutna „ayolah, ikuti‟ merupakan pemarkah. Wujudnya adalah aktif imperatif yang disampaikan secara langsung dan lugas dalam melakukan satu tindakan. Maksud penutur memerintah kepada petutur agar melakukan tindakan yang dilakukan. Durna menyuruh Arjuna agar bersedia mengikuti Durna menuju ke tepian samudra. Tuturan (4) memperlihatkan bahwa yang diungkapkan telah sama dengan makna yang tersurat. (5) Kresna:… Aja dipindho ya! Ngêmungna kang kêtêmbèn kêlakon waé, kang uwis. Tlitinênkang pêrmati, sawangên kang cêtha, ètungên kang gênêp! … (DRNS.Gn.343M) Werkudara : Ya Ibu Terjemahan: Kresna : „…janganlah diulangi ya! Pahamilah yang sudah berlalu. Telitilah yang cermat, lihatlah yang jelas, perhitungkanlah dengan tepat…!‟ Werkudara : „Ya Ibu‟. Tuturan
(5)
merupakan
Pengutaraan kalimat dan maksud
tuturan
yang
menunjukkan
larangan.
Penutur memiliki makna yang sama maka
ujaran tersebut disampaikan secara langsung dan literal. Hal ini dilakukan ketikaKresnamelarang kepada Werkudara agar melihat yang sebenarnya tentang siapakah Durna itu. Di samping kata larangan yang merupakan tindak tutur commit to user direktif langsung, dalam tuturan di atas terdapat juga kata ngemungna, titinen,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180 sawangen, dan etungen yang merupakan kata pemarkah dalam TTD memerintah langsung agar dapat melakukan tindakan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh penutur terhadap petutur. c. Tuturan dalam lakon RGPA PS dan PM. (6)Ramawijaya: Adiku dhi adhiku Barata mara-mara gage lungguha. (RGPA.Gn.031S). Nganti sapandurat pun kakang datan bisa angucap yayi. Babar pisan pun kakang ora nggrahita, salunganing pun kakang saka praja Ayodya kahanan dadi kaya mengkene. Barata: Dhuh kakangmas inggih namung paduka ingkang kagungan negari Ayodya, babarpisan kula boten badhe ngestokaken dhawuhipun kanjeng ibu, nadyanta sak mangke ugi sampun anjalari sedanipun kanjeng rama prabu,,, Terjemahan: Ramawijaya: „Adikku Adik adikku Barata mari duduklah‟. Sampai-sampai Kakanda tidak bisa berkata sepatah kata apapun, Kakanda tidak menyangka sepeninggalku dari Ayodya keadaan malah menjadi seperti ini.. Barata : Dhuh Kakandalah yang hanya mempunyai negara Ayodya, saya sama sekali tidak akan melaksanakan perintah Ibu walaupun Ayahnda sudah wafat.‟ (7) Ramawijaya:Iya, yayi mara gagé tampanana iki trumpahé pun kakang. Iki trumpah pada gawanên bali marang negaranira sira wenang lungguh Sintaangsana ngagêma …(RGPA.Gn.038S Barata: Adhuh kakang mas. Terjemahan: Ramawijaya : „Iya ya Adinda mari terimalah sandalnya kakanda bawalah kembali ke negeri, kamu berhak menjadi raja pakailah‟. Barata : Aduh Kakanda. Tuturan (7) merupakan tuturan langsung dan literer.Hal ini dapat dilihat dari adanya kata melarang mara-mara gage „segeralah kemari. Pemarkah kata mara gagé merupakan pemarkah yang berwujud aktif imperatif yang disampaikan secara langsung dan lugas berupa ajakan langsung. Kata mara juga bermakna mengajak untuk melakukan suatu tindakan. Termasuk tuturan (8) mara gagé commit to user tampanana digunakan untuk mengungkapkan tuturan langsung dan literer. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181 dapat dilihat ketika Ramawijaya mengajak adiknya Barata untuk segera duduk lungguha „duduklah‟ dalam tuturan (7) dan maragagé tampanana „segeralah terima‟ dalamtuturan (8) saat Ramawijaya menyuruh agar Barata menerima apa yang diperintahkan kepada adiknya Barata. Maksud penutur dalam tuturan (7) dan (8) adalah memerintah kepada petuturagar melakukan tindakan yang dikehendaki oleh penutur sama seperti makna yang disampaikan kepada petutur.
Berikut
contoh tuturan (9). (9)Pendhita I : Wadhuh boten kadosa lelampahan kula papan panembah papan pasemeden lan papan pangibadah kula dipun obong kaliyan raseksa awit kula dipun anggep satunggaling agami ingkang nerak wewaleripun. ...Raden-raden kula nyuwun pangayoman Ramawijaya: …. kula aturi lênggah ingkang prayogi, yayi Sinta lan Lesmanaayo padha ngéndhangi lelakon iki yayi. …‟ (RGPA.Gn.050S) Terjemahan: Pendhita I : ‘Waduh tidak seperti keadaan saya, tempat peribadatan saya telah dirusak oleh raksasa karena saya telah dianggap sebagai salah satu yang merusak agama menentang norma...Raden-raden saya mohon pertolongan‟ Ramawijaya : „...duduklah yang nyaman, Dinda Sinta dan Lesmana ayo sama-sama introspeksi dengan keadaan yang seperti ini Adi …‟ Tuturan (9) merupakan tuturan langsung dan literer yang dapat dilihat dari pemarkah aturi lenggah „dipersilakan duduk‟. Hal ini dapat dicermati ketika Ramawijaya mempersilakan duduk Pendhita saat berhadapan dengan Pendhita yang memberitahukan tentang tempat beribadah yang telah dibakar oleh para raksasa. Ramawijaya mengajak Lesmana dan Sinta untuk selalu berintrospeksi dengan adanya keadaan yang mencekam ini. d. Tuturan dalam lakon BNPA PS dan PM (10) Wibisana: Ora susah kakèhan gunem kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun Bapa ya nggèr. (BNPA.Gn.031/S) Indrajit: Inggih kados pundi paman Terjemahan: Wibisana: „Tidak usahcommit banyaktobicara user yang tiada guna, intinya adalah sudah saatnya dengarkanlah apa yang Paman utarakan‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182 Indrajit:
„Iya, bagaimana Paman?‟
(11)Indrajit: Inggih kados pundi Paman Wibisana: ...mula aja nganti kêbo gupak kêcipratan lêtuh. Kowé isih enom miliha dalan rahayu. Rahayuning dêdalan ora ana liya kowé kudu nyingkur pakarti nistha.….Mula, nungkula, nungkula. (BNPA.Gn.033/S) Terjemahan: Indrajit:„Iya, bagaimana Paman?‟ Wibisana : „Maka tunduklah. Anda masih muda pilihlah jalan baik, harus menghindari dariperbuatan tidak terpuji.... Maka tunduklah, tunduklah‟. Tuturan (10) Ora susah kakèhan gunem kang tanpa guna merupakan tuturan yang menunjukkan larangan.
Pengutaraan kalimat dengan maksud
penutur memiliki makna yang sama maka ujaran tersebut disampaikan secara langsung dan literal. Hal itu dilakukan ketika Wibisana melarang kepada Indrajit agar tidak terlalu banyak bicara yang tiada guna. Di samping kata larangan yang merupakan tindak tutur direktif
langsung, dalam tuturan
tersebut juga terdapat kata rungokna „dengarkan‟. Akhiran –na merupakan penanda bentuk memerintah langung. Tuturan (11) mula aja nganti kêbo gupak kêcipratan lêtuh...dalam kata aja „jangan‟ menunjukkan bahwa kata ini merupakan tuturan langsung dan literer.
Kata nungkula „tunduklah‟
merupakan kata pemarkah dalam TTD memerintah langsung agar dapat melakukan tindakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Penutur terhadap petutur. Hal ini dapat dilihat pada saat Wibisana memberikan nasihat kepada Indrajit untuk selalu tunduk terhadap pesan dari Pamannya. (12) Dasamuka: …hem…sawangên nganti êntèk ngalas êntèk ngomah, gagé Sing isih nggon ngêndi Ngalêngka? (BNPA.Gn.048/S) Sinta : Dasamuka Terjemahan: Dasamuka : „…Hemmm coba lihatlah sampai habis hutan dan rumah, coba mana masih ada tempat di Ngalengka?‟ Sinta : „Dasamuka‟. Tuturan (12) merupakan tuturan langsung dan literer.Hal ini dapat commit„lihatlah‟ to user yang berwujud aktif imperatif dilihat dari adanya kata sawangên
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183 yang disampaikan secara langsung dan lugas berupa ajakan langsung. Kata sawangên juga bermakna mengajak untuk melakukan suatu tindakan. Maksud penutur memerintah kepada petuturagar melakukan tindakan yang dikehendaki penutur sama seperti makna yang disampaikan kepada petutur, yakni Dasamuka mengatakan kepada Kunthi bahwa segala harta bendanya habis hanya karena Kunthi. 2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal Tindak tutur tidak langsung literal merupakan tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutarannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Misalnya, tindak tutur yangbermaksud untuk memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. a. Tuturan dalam lakon KTNS PS dan PM. (1) Semar: e….. kula ndara Arjuna: mêngko wisé ngancik surya rumangsang dibacutaké manèh nggoné padha lumaku. (KTNS.Gn.047S). Terjemahan: Semar : ‘e….Saya Ndara‟. Arjuna : „nanti setelah sore berlalu dilanjutkan lagi yang pada berjalan.‟ Kalimat (1) merupakan kalimat yang tidak sesuai dengan maksud kalimat yang tertulis.Namun, tuturannya sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam kalimat tersebut. Hal ini dapat terlihat ketika Arjuna mengatakan dibacutaké manèh „dilanjutkan lagi‟. Secara tuturan, kalimatnya benar sesuai dengan ungkapan yang dimaksud, yakni kalimat berita. Akan tetapi, di dalamnya termuat perintah untuk bekerja lagi. Tuturan ini dapat dicermati pada saat Arjuna memberitahukan kepada
Semar waktu sudah sore.
Saatnya untuk istirahat
terlebih dahulu. Setelah istirahat selesai, Semar diminta untuk melanjutkan lagi perjalanannya. (2) Basukarna:Bapa guru, mênapa kêdah kula ambali malih anggèn kula commitpaduka to userbapa guru?(KTNS.Gn.116S) matur ngêrsa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184 Bgw Dipayasa: Murih gamblange sajake kudu mengkono anak prabu Terjemahan: Basukarna
: „Bapak guru apakah saya harus mengulangi kembali yang saya sampaikan di hadapan bapak guru‟. Bgw Dipayasa : „Lebih baik sepertinya begitu Anak Prabu‟. Tuturan Basukarnaharus
(2)
merupakan
kalimat
perintah
yang
berisi
apakah
mengulang kembali untuk bercerita tentang apa yang telah
diutarakan kepada Bapa Gurunya. Dengan demikian, tuturan (2) ini mengandung tuturan tidaklangsung dan literer. (3) Surtikanthi: Botên prêlu ngêndika mênika kémawon. Pêjah gêsang mênika rèhning prabot ingkang kêdah dipun lampahi mbok inggih botên sah ngêndika bab mênika.(KTNS.Gn.088S) Basukarna : Yayi, dene mungguh ucape pun kakang iki mengko sambung rapete kalawan kang mbok ucapake mau. Banjur bab pati urip. Pati urip mau wis dadi pacanganing manungsa. Urip dadi pacangan mati ya dadi pacangan. Terjemahan: Surtikanthi : „Tidak perlu berbicara hal itu. Hidup-mati merupakan sesuatu yang harus dialami, lebih baik tidak perlu membicarakannya‟. Basukarna : Adinda, adapun ucapan Kakanda ini nanti berkaitan dengan apa yang Adinda katakan tadi. Kemudian masalah mati dan hidup. Mati merupakan pasangannya orang hidup, sedangkan mati juga menjadi pasangannya yang hidup‟. Tuturan (3) merupakan tuturan tidak langsung dan literer.Artinya, tuturan tidak langsung menunjuk kepada maksud yang diinginkan. Secara kalimat terlihat tidaklangsung, tetapi isi maksudnya tidak langsung menunjuk pada apa yang akan diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya kata melarang botên pêrlu „tidak perlu‟dan botên sah „tidak usah‟. Pemarkah kata botên pêrlu dan botên sah merupakan pemarkahyang menunjuk kepada perihal yang dilarang. Kata ora merupakan pemarkah tindak tutur dalam melarang untuk tidak perlu melakukan satu tindakan. Maksud penutur memerintah kepada petuturagar tidak melakukan tindakan yang tidak dikenhedaki. Hal ini dapat terlihat ketika Surtikanthi melarang kepada Basukarna (suaminya) untuk tidak membicarakan perihal commit to user kematian. Surtikanthi selalu mempunyai kekhawatiran terhadap Basukarna dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185 kehidupannya karena Surtikanthi selalu bermimpi tentang hal yang tidak baik terhadap Surtikanthi.
b.Tuturan dalam lakon DRNSPSdanPM (1) Kamajaya : Rama pukulun kula nyuwun pamit. Semar : É iya Kamajaya, bok ya mampir nyang Karangkêdhêmpêl. (DRNS.Gn.310M) Terjemahan: Kamajaya : „Ayanda, mohon permisi‟. Semar : „E iya Kamajaya mampirlah ke Karangdhempel‟. Tuturan (1) bok ya mampir… „Singgahlah ‟sebagai tuturan tidak langsung dan literer.Artinya, tuturan ini diungkapkan secara tidak langsung,tetapi kalimatnya sesuai dengan maksud pengutaraan. Pemarkah kata bok yamerupakan penanda lingual untuk memberikan sarana. Artinya, kalimat yang menggunakan kata pemarkah mbok ya secara tidak langsung memerintah, tetapi halus. Hal ini dapat dilihat pada saat Semar memberikan saran kepada Kamajaya agar singgah ke kediaman ibunya di Karangdempel. Kata mbok ya secara tidak langsung memberikan saran semata-matatidak harus melakukan perintahnya seketika.Akan tetapi, ada unsuruntuk menyarankan dan melakukan perintahnya. (2)
Arjuna:
Cundhuk lan suka sasmitaning jawata ingkang kula tampi, bilih lêlampahan mênika wudhar tuwin mbotênipun wontên kawicaksanan paduka kanjêng kaka prabu ingkêng mênika borong anggèn paduka mênggalih! (DRNS.Gn.331M). Kresna: Wé hlah, yoh! Kabèh mau nyatané dadi sanggêmaning pun kakang. Tak sélakana tanpa guna. Namung ngatên nggih bibi! Dewi Kunthi : Iya kaki prabu, piyé kulup?
Terjemahan: Arjuna: „Sesuai dengan petunjuk yang saya terima, saat kisah ini lepas atau tidaknya semua tergantung kepada kewibawaan Kanjeng Kakanda Prabu, untuk itu terserahlah dalam turut memikirkannya‟. Kresna: „Iyalah! Semua itu menjadi tanggung jawab Kakanda. Saya commit to user mengingkari tiada gunanya. Hanya demikian ya Bibi!‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186 Dewi Kunthi : „Iya cucu Prabu , bagaimana Nanda?‟ Tuturan (2) dalam kalimat borong anggèn paduka mênggali… „terserahlah dalam memikirkannya‟ sebagai tuturan tidak langsung dan literer. Artinya, tuturan diungkapkan secara tidak langsung,tetapi kalimatnya sesuai dengan maksud pengutaraan. Pemarkah kata borong merupakan penanda lingual yang menyatakan harapan yang tidak langsung memerintah untuk segera melakukan harapannya. Namun, kata borong sedikit-banyak dimaksudkan untuk menyuruh secara tidak lagsung guna memenuhi harapannya. Hal ini dapat dilihat pada saat Arjuna menghadap Kresna dan meminta harapan agar Kresna bersedia turut memikirkan keberadaan serta tekad Werkudara dalam kepergiannya. (3)Hareksi: Kakang, aku luuwung lampus jiwa, luwung suduk jiwa lan lampus dhiri ngêndhat talumurda kakang, yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nuruti pênjalukku, yaitu dagingé wong bagus kakang kakang. Hareksa: Wah hê, biyèn wêtonmu apa hara? Jané aku arêp nduwé bojo kowéi ya wis tak saring nganggo ètungan. Tak timbang drajaté, tak ukur ala bêciké. Éwadéné tinêmuné kêcélék ya bêjaning awaku. Yah, pamané ora? (DRNS.Gn./283S) Hareksi : Yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nyêmbadani, prayoga aku balèkna marang asalku ya kakang! Terjemahan: Hareksi: „Kakanda lebih baik saya mati bunuh diri saja, kalau sampai Kakanda tidak berkenan menuruti keinginanku, yakni dagingnya orang bagus Kakaknda Kakanda‟. Hareksa: „Wah hê, dulu hari lahirmu apa coba? Sebetulnya ketika akan meminang kamu sudah saya perhitungkan. Saya timbang derajad, saya takar baik dan buruknya. Namun demikian pada akhirnya kecewa yang barokah bagi diri saya. Andai tidak bagaimana?‟ Hareksi : „Andai Kakanda tidak bisa memenuhi lebih baik kembalikan saya ke asalnya‟. Tuturan (3) apa coba? „apa coba?‟ sebagai tuturan tidak langsung dan literer.Artinya, tuturan diungkapkan secara tidak langsung,tetapi kalimatnya sesuai dengan maksud pengutaraan. Pemarkah kata apa coba? merupakan penanda lingual yang menyatakan pertanyaan tidak langsung. Hal itu terlihat dengan hadirnya kata hari. Artinya, bahwa pertanyaan tidak langsung ditujukan commit to user untuk segera dijawab, tetapi bisa pula terdapat jeda. Kata hari dapat dijawab
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
187 nanti setelah waktu berlalu. Hal ini dapat dilihat pada saat Hareksa bertanya kepada Hareksitentang weton „hari kelahiran‟.
c. Tuturan dalam lakon RGPA PS dan PM (1) Ramawijaya: Muga-muga jroning alas iki andadekaké suka sênênging atimu satêmah ora bakal nabêt apa-apa ingkang naté mbok lakoni jroning Kraton Manthilidirja, wong ayu.(RGPA.Gn.007S) Sinta : Inggih pengeran inggih menika wujud kasetyan garwa paduka. Wujud kasetyaning garwa menika boten namung ing kalane ingkang kakung maksih ngregem kawibawan miwah kamulyan nanging tumrap Sinta wujuding kasetyan kalawau inggih sageda angraosaken panandhanging kakang. Terjemahan: Ramawijaya : „Semoga di dalam hutan ini menjadikan hatimu bahagia dan meski ini bukan apa-apanya dari kebahagiaan yang pernah kamu jalani di dalam Kraton Mantilidirja Orang Cantik.‟ …. Sinta : Iya Kakanda ini wujud kesetiaan istri, sebagai istri setia wujud kesetiaannya tidak hanya sewaktu suami dalam kejayaan dan kemuliaan nanum juga dalam keadaan suami baru dalam kesedihan. Tuturan (1) dalam kata muga-muga „semoga‟ merupakan tuturan tidak langsung dan literer. Artinya, tuturan diungkapkan secara tidak langsung,tetapi kalimatnya sesuai dengan maksud pengutaraan. Pemarkah kata muga-muga merupakan penanda lingual harapan yang maknanya tidak langsung.Artinya, meminta harapan agar permintaannya dikabulkan. Hal ini dapat dilihat pada saat Ramawijaya mengatakan bahwa dalam hutan semoga memberikan kedamaian dan kebahagiaan. Pengaharapan ini ditujukan kepada istrinya, yakni Sinta. 2) Lesmana: …kêparêngipun kula badhé ngupaya kakangmas namung kewala kula suwun kanthi sangêt panyuwun kula papan menika badhé kula rajah, kakangmbok mugi sampun ngantos mêdal saking rajah.(RGPA.Gn.98M) Sinta : Kowe ngucap apa wae aku ora butuh, ning sing tak butuhake amung baline pangeran Rama. commit to user Lesmana : Ngestokaken dhawuh mugi-mugi manggih rahayu.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188
Terjemahan: Lesmana : „…Perkenankan saya akan mengupayakan menemukan Kakanda namun jangan keluar dari tempat yang saya rajah ini‟. Sinta : „Kamu akan berucap apa saja, saya tidak akan menghiraukan, yang harapkan adalah kembalinya Kakanda Rama‟. Lesmana : „Baiklah akan saya laksanakan perintahnya, semoga selalu dalam keselamatan‟ Tuturan (2) dalam kata kêparêngipun yang terdapat dalam tuturan Lesmana terhadap Sinta merupakan jenis TTD. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata kêparêngipun „izinkanlah‟, kula suwun „saya minta‟, mugi ‟Semoga‟, dan sampun ngantos „jangan sampai‟. Kata
kêparêngipun, kula
suwun, mugi, dan sampun ngantos merupakan TTD memohon (kêparêngipun, kula suwun, mugi), sedangkan pemarkah sampun
ngantos merupakan
TTDmelarang. Penanda ini menyatakan untuk memohon „melakukan sesuatu‟. Cara memerintahnya secara tidak langsung,tetapi tuturannya literer. (3) Lesmana: Dhuh kakangmbok saking netra jatining pramana kula saged netepaken bilih menika dede kakangmas Regawa. Nanging menika mengsah ingkang nirokaken suwantenipun kakangmas Rama. Ingkang supados damel gidhuhing penggalih paduka kakangmbok ayu. Sinta:…ènêng ngapa kowé ora ngêrti. Apakowé sênêng yèn pangéran Ramawijaya praptrèng séda. (RGPA.Gn..091S) Lesmana: Dhuh kangmbok sepisan malih menika dede suwantenipun kakangmas. Terjemahan: Lesmana: ‘Duh Kakanda dari sepengertianku itu bukan suaranya Kakanda Ramawijaya.. Namun suara yang menirukan Kakanda Rama. Yang membuat galaunya hati Kakanda Ayu‟. Sinta :„…kenapa kamu tidak mengerti. Apakah kamu seneang dengan kematian Kakanda Ramawijaya‟. (RGPA.Gn..091S) Lesmana: ‘Duh Kakanda sekali lagi itu bukan suaranya‟. Tuturan (3)dalamkalimat ènêng ngapa kowé ora ngêrti …Apa kowé sênêng...„kenapa kamu tidak tahu? Apakah kamu senang‟. Tuturan Sinta terhadap Lesmanaitu merupakan jenis TTD dalam pertanyaan. Tuturan ini merupakan tuturan yang tidak langsung, tetapi literer. Tuturan ini dikatakan tidak langsung commit to userapakah senang dengan kematian karena saat Lesmana ditanya oleh Kunthi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189 Ramawijaya kakaknya. Ini bukan berarti mengajukan pertanyaan untuk dijawab ya ataupuntidak. Akan tetapi, pertanyaan ini di dalamnya mengandung perintah agar Lesmana segera meninggalkan tempat itu dan mencari Ramawijaya ke hutan dimana dia berada. Hal ini dapat dilihat pada saat Kunthi menanyakan kepada Lesmana apakah senang jika Ramawijaya meninggalkan mereka? Hal ini dimaksudkan agar Lesmana mencari Ramawijaya untuk keselamatannya.
d.Tuturan dalam lakon BNPA PS dan PM (1) Dasamuka:….Ayo sawangên iki gamanku, iki pepundhensing arêp ngêjur jagad iki, Ramawijaya apa aku sing mati. Ayo sêksènana bangsat èlèk. (BNPA.Gn.055/S) Ramawijaya : Iya Dasamuka Terjemahan: Dasamuka : „Ayo lihatlah ini senjataku yang akan menghancurkan bumi ini, Ramawijaya atau aku yang akan mati. Ayo saksikan bangsat jelek‟. Ramawijaya : „Ya Dasamuka‟. Tuturan
(1)
Dasamuka
terhadap
Ramawijaya
merupakan
jenis
TTDmemerintah yang dapat diamati dari adanya penanda akhiran –en dalam kata sawangên iki gamanku.Tuturan ini merupakan tuturan tidak langsung,tetapi literer.Artinya, Dasamuka menyuruh Ramawijaya tidak hanya sekadar melihat senjata, tetapi juga siapakah di antara Ramawijaya dan Dasamuka yang akan memenangkan perebut satu negara.
3. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan.Akan tetapi, kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. a. Tuturan dalam lakon KTNS PS dan PM usersêmandhing? (KTNS.Gn101/S) (1) Basukarna: Apa ra ana commit daharantokang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190 Surtikanthi :Sampun kula cawisaken Terjemahan: Basukarna : „Apa tidak ada makanan yang tersedia?‟ Surtikanthi :„Sudah saya sediakan‟ Tuturan (1) dalam kalimat Apa ra ana daharan kang sêmandhing „apakah tidak ada makanan yang tersedia‟ diucapkan oleh Basukarnayang ditujukan kepada istrinya Kunthi. Kalimat ini merupakan tuturan tidak langsung, tetapi literer.Artinya, tuturan dalam bentuk kalimat tanya, tetapi dalam maknanya terkandung unsur memerintah untuk mempersiapkan makanan bagi Basukarna. Pemarkah yang menandai tuturan ini adalah kata apa ra ana daharan? Tuturan itu dalam wujudnya adalah kalimat pertanyaan, tetapi di balik itu ada unsur perintah agar disiapkan menu untuk disantap. Hal ini dapat dicermati ketika Basukarna bertanya kepada Kunthi saat akan meninggalkan perang. (2) Basukarna: Siadhi kok kêthul ya? Siadhi kok kêthul? (KTNS.Gn103/S). Surtikanthi:Ing pesarean sampun cumawis her mawar ingkang minangka amijiki ampeyan paduka. Terjemahan: Basukarna: „Adinda kok bodoh ya? Adinda koq bodoh?‟ Surtikanthi: Di tempat tidur sudah disediakan air bunga mawar unutk mencucikan kaki‟.. Tuturan (2) sama artinya dengan pembahasan di atas. Hal itu terbukti dengan adanya pemarkah kata tanya dalam kalimat Si adhi kêthul ya? „Adinda bodoh ya? Tindak tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai denganmaksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud bertanya dapat diartikan sebagai bentuk memerintah. Hal ini dapat dipahami ketika Basukarna akan berangkat perang kemudian menanyakan kepada istrinya tentang tidak adanya makanan yang tersedia. Kunthi tentu saja menjawab sudah disediakan makanan. Akan tetapi, masih dilanjutkan Basukarna dengan pertanyaan apa Adinda bodoh? Pertanyaan ini bersifat langsung,
tetapi
sebenarnya tidak literer. Artinya, yang dipertanyakan tidak sama dengan yang dimaksud oleh Basukarna.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191 (3) Pth Kridhamanggala: Inggih menawi mekaten keparenging penggalih kula namung badhe asung wawasan bilih ing dinten mangke ing Kurukasetra wonten perang ageng ingkang wonastan Baratayuda menika tetandhingaing Pandhawa lan Kurawa. ... Prb. Hardawalika: Wis ya patih mangsa boronga nggonmu rumêksa yuwananing praja aku pamit patih. (KTNS.Gn.040S) Terjemahan: Pth Kridhamanggala: „Ya kalau begitu mohon perkenannya ikut memikirkan bahwa hari ini di Kurusetra akan ada peperangan besar Baratayudha antara Pandhawa dengan Kurawa. ...‟ Prb. Hardawalika :„Sudah ya patih terserahlah dirimu dalam menjaga diri, saya mohon diri patih‟. Tuturan (3) dalam kalimat mangsa boronga nggonmu rumêksa „terserahlah yang pada menjaganya‟ diucapkanoleh Prb. Hardawalika yang ditujukan kepada Pth Kridhamanggala. Kalimat ini merupakan tuturan langsung, tetapi tidak literer.Artinya, tuturan dalam bentuk kalimat perintah yang di dalamnya
tidak
sekadar
pertintah
dari
Prb.
Hardawalika
kepada
Pth
Kridhamanggala mengandung, tetapi maknanya lebih luas, yakni untuk segera melakukan apa yang menjadi perintah Prb. Hardawalika.
Pemarkah yang
menandai tuturan ini adalah kata mangsa boronga yang mengandung unsurpasrah dan penuh harapan. Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. b.
Tuturan dalam lakon KTNS PS dan PM (1) Patih Kridamanggala: Dhuh gusti menawi keparêng andhar atur kula prayogi kawurungna keparêng …(KTNS.Gn.034S) Prb Hardawalika : Embuh ora idhep. Nanging kiraku patih ora ngerti karo kasektenku. Mara gage sawangen mengko yen ana wujud dudu wujudku kowe aja kaget patih Terjemahan: Patih Kridamanggala : „Duh Gusti kalau diperkenankan lebih baik semua tokeinginan saya mohon dibatalkan‟ commit user …(KTNS.Gn.034S)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192 Prb Hardawalika
: ‘Tidak tahulah. Namun sekiranya patih tidak tahu kekuatanku. Coba lihatlah bila nanti ada buktinya kamu jangan terkejut‟.
Tuturan (1) dalam kalimat menawi keparêng andhar atur kula. Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer.Tuturan itu dapat diartikan sebagai tuturan perintah. Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari Kridhamanggala kepada Prb. Hardawalika dalam bentuk kalimat tanya,tetapi di dalamnya bermakna memerintah. Pemarkah kata ini merupakan penanda lingual permohonan. Hal ini dapat dilihat ketika Patih Kridamanggala memohon kepada Prb. Hardawalika agar mendengarkan apa yang menjadi permintaan Kridhamanggala terhadap Hardawalika dalam hal agar lebih baik dibatalkan saja dalam membalas kematian Arjuna. Tuturan ini dikatakan sebagai tuturan langsung tidak literer.
Artinya,Patih Kridamanggala secara tepat
menggunakan tuturan keparênga, tetapi di dalamnya mengandung makna untuk segera membatalkan kehendak yang tidak baik. Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. (2)
…Yayi kaparêngamaspaosakên… Kula anggadhahi gêgayuhan mangké sampun ngantos sêraping surya kula kêdah sampun sagêd nyowanakên mustakaning para Pandhawa. (KTNS.Gn.182M). Prb Duryudana :Adhuh kaka prabu… Basukarna:
Terjemahan: Basukarna
: „Adinda mohon mengerti… saya mempunyai satu keinginan bahwa sebelum sore menjelang saya sudah dapat menyerahkan kepalanya Pandawa.‟ Prb Duryudana :‘Adhuh kaka prabu…‟
Tuturan
(2)
dalam
kalimat
keparênga
maspaosakên
‟persilakan
memperhatikan‟. Tuturan dari Basukarna terhadap Duryudanaini merupakan commit to user tuturan yang diutarakan dengan modus kalimat berita yang sesuai dengan maksud
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
193 tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer.Tuturan ini dapat diartikan sebagai tuturan perintah walaupun dalam wujudnya sebagai kalimat berita.
Hal ini dapat
dilihat ketika Basukarna mengucapkan sumpahnya kepada Duryudana bahwa untuk mendirikan negeri Astina perlu disertai pengorbanan jiwa raga agar dapat merebut kemerdekaan Astina. Tuturan ini dikatakan sebagai tuturan langsung tidak literer. (3) Arjuna:Mênapa mêkaten wau botên salah satunggaling prêlambang kula kêdah asoring adilaga.(KTNS.Gn.262/M). Prb Kresna : Dudu, saktemene kabeh mau mung tiba kebeneran ya ra kaya uwong, ning yen lagi kleru ya ra kaya uwong. Siadhi kang mapan tiba kebeneran. Terjemahan: Arjuna : „Apakah itu bukan salah satunya perlambang saya harus jatuh di medan laga‟. Prb Kresna : ‘Bukan, ya namanya orang kalau sedang keliru ya tidak seperti orang. Adinda semua jatuh pada hal yang baik barokah‟. Tuturan (3) dalam kalimat Mênapa mekaten wau botên salah satunggaling „apakah itu bukan merupakan Salah satunya,…‟. Tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer.
Tuturan ini dapat diartikan sebagai
tuturan yang mengandung berita. Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari Arjuna kepada Kresnadalam permasalahan salah satu atribut Arjuna yang namanya tobong telah jatuh. Tuturan yang diucapkan Arjuna kepada Kresnaitu adalah tuturan langsung, tetapi tidak literer. Artinya, apa yang telah dikemukakan oleh Arjuna sebagai pemberi makna akan terjadi sesuatu di balik itu. Tuturan ini dikatakan sebagai tuturan langsung,tetapi tidak literer.
Artinya,
Arjuna
menggunakan kata tanya,tetapi di dalamnya ada makna perintah untuk menjawabnya. Tindak tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
194 c. Tuturan dalam lakon DRNS pada PS dan PM (1) Hareksa:Wah hê, biyèn wêtonmu apa hara? Jané aku arêp nduwé bojo kowéi ya wis tak saring nganggo ètungan. Tak timbang drajaté, tak ukur ala bêciké. Éwadéné tinêmuné kêcélék ya bêjaning awaku. Yah, pamané ora? (DRNS.Gn.283). Hareksi :Yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nyêmbadani, prayoga aku balèkna marang asalku ya kakang! Hareksa:Ha ngêndi omahmu? Pangling ki aku hara. Wong mbiyèn kêtêmuné ya gur ana ngalas kéné. Nadyan rumpil lungsiting dalan ora lumrah ingambah bakal tak golèki ngêndi pênjalukmu. Sing gêdhé pamujimu, héh Harêksi, muga-muga kasêmbadan panyuwunmu. Terjemahan: Hareksa : „Anda hari kelahiranmu apa? Sebenarnya saya punya istri anda itu sudah saya perhitungkan. Saya pertimbangkan derajatnya, saya amati perilakunya. Walaupun demikian tidak seperti yang saya harapkan ya saya terima, bilamana tidak? Hareksi : „Bilamana kakanda tidak dapat menuruti permintaanku lebih baik saya dikembalikan ke tampat asal saya kakanda‟. Hareksa : „Dimana tempat rumahmu, saya lupa. Dahulu kita ketemu di hutan ini. Walaupun sulit seperti melewati jalan yang rusak, tetapi akan saya cari apa yang menjadi permintaanmu. Saya minta doanya Hareksi mudahmudahan tercapai apa yang kau inginkan‟ Tuturan (1) dalam kalimat …wêtonmu apa hara? „hari kelahiran dan neptu kamu apa coba?‟Tindak tutur ini diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tidak
memiliki
makna
yang
sama
dengan
maksudpenuturnya/tidak literer karena dapat diartikan sebagai tuturan yang mengandung berita.
Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari
Hareksa kepada Hareksi dalam kalimat pertanyaan,tetapi ada makna di balik sebagai bentuk penyangkalan. Tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud to user pertanyaan adalah membutuhkan penuturnya. Maksud tuturan commit dalam kalimat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195 jawaban,tetapi ada makna memerintah. Hal ini yang dikatakan sebagai tidak literer. Tindak tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. (2). Drona: Ayoh, tutna mapan ana têpining samodra... (DRNS.Gn.483M) Arjuna: Kados pundi bapa? Drona : Ayoh, tut na mapan ana têpining samodra. Mêngko bêdhug têngangé Wêrkudara ora bali, aku nututi nyêmplung sêgara. Terjemahan: Drona :„Ayolah ikutilah bertempat di tepinya samudera...‟ Arjuna : „Bagaimana Ayah Guru‟. Drona : „Mari ikuti saya ke tepinya laut. Bilamana tengah siang Werkudara tidak kembali, saya akan mencebrkan diri ke dalam laut‟. Tuturan (2) dalam kalimat Ayoh, tutna „ayolah ikuti!‟ Tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan
yang sesuai
dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer karena dapat diartikan sebagai tuturan perintah. Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari Drona kepada Arjuna. Yang dimaksudkan Arjuna adalahingin mengetahui keberadaan Werkudara dan bertanyalahia kepada Drona. Jawaban Drona adalah tidak literer karena bukannya menjawab keberadaan Werkudara, tetapi malah mengajak Arjuna untuk mengikutinya di tepining samodra. Hal yang dikatakan adalah sebagai tuturan langsung,tetapi tidak literer. Pertanyaan langsung dengan menggunakan kata tanya,tetapi jawabanya tidak mengacu kepada pertanyaan dan justru menjelaskan dengan kalimat lainnya. Tindak tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan commit to user maksud menginformasikan dengan kalimat berita.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196 d. Tuturan dalam lakon RGPA PS dan PM (1)Jentayu : …Hayo….balèkna, balèkna marang raden Ramawijaya Regawa lan kowe aja ngrusak pagêr ayu …(RGPA.Gn.109M) Dasamuka : Setan…hem….manuk cangkemu elek. Tak cangap cucukmu tak suwek. Minggata, rasah kowe ngelikke Dasamuka kok dielikke. Jentayu : Iya, yen kowe ra kena tak pringakke becik, aku wani karo kowe Terjemahan: Jentayu : „…ayolah...kembalikan…kepada Raden Ramawijaya Regawa dan kamu jangan menggangu istri orang‟. Dasamuka : „Setan kamu burung mulutmu jahat. Mulutmu akan saya robek. Silahkan pergi tidak usah mengingatkan kepada saya‟. Jentayu : „Bilamana kamu tidak mau diperingatkan akan saya lawan‟. Tuturan (2) dalam kalimat … aja ngrusak pagêr ayu. Tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan
yang sesuai
dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer karena dapat diartikan sebagai tuturan perintah dari bentuk larangan. Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari Jentayu kepada Dasamuka. Pemarkah kata aja merupakan penanda lingual larangan. Hal ini dapat dilihat ketika Jentayu menuturkan agar segera mengembalikan Sinta kepada Ramawijaya. Kata aja ngrusak pagêr ayuadalah tuturan langsung secara struktur, tetapi tidak literer makna yang diungkapkan di dalamnya. Tuturan ini adalah tindak tutur yangbermodus kalimat yang sesuai dengan maksud
tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki
makna yang sama dengan maksud penuturnya. (2) Dasamuka: Mripatmu ki ngingêtna wong kok ayune kaya ngono, kowé
wêruh bokongé Semaraput hahahaa…Lha kuwi Sing jênêngé Rékyan Sinta.(RGPA.Gn.060M) Marica : Nuwun inggih kaluhuran dhawuh paduka sinuhun Dasamuka :Wah….hahaha……. Duwe bojo kaya ngono dijak dlusupan turut ngalas. Gedhungsangan kena ngeri. Biyuhbiyuh upama kowe dadi bojone Dasamuka mukti wibawa nyakrawati bau dhendha disunggi-sunggi para narpati, disembah-sembah dening wong sak Negara. Hahaha…..kowe seneng ora yen aku duwe bojo Sinta, he…? Hayo omonga raseneng dak idoni cangkemu, cuh ….. hayo ngomonga ra seneng ngono. Ngelikna Dasamuka.commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197 Terjemahan: Dasamuka : „…matamu ini lihatlah, orang cantik seperti itu, kamu lihat pantatnya tentu pingsan, hahaha…yaitu namanya Sinta‟. Marica : „Sang Raja saya mengerti apa yang Sang Raja katakan‟. Dasamuka : „Ha ha mempunyai istri seperti itu diajak hidup di tengah hutan dan jalanya penuh dengan duri. Bilamana menjadi istri saya akan hidup mewah di istana yang megah dan disembah serta dihormati oleh para sentana dan rakyat seluruh kerajaan. Kamu senang bilamana saya memperistri Sinta? Bilamana kamu berkata tidak senang saya ludahi mulutmu, ayo biacara tidak senang, memperingatkan Dasamuka‟. Tuturan (2) dalam kalimat mripatmu ki ngingêtna wong kok ayuné kaya ngono... Tuturan ini secara langsung tepat. Secara stuktur juga benar akan tetapi, maknanya tidak sama dengan yang dimaksud. Awalnya dapat dimengerti bahwa disuruh melihat pantat Sinta yang cantik jelita. Akan tetapi, makna akhirnya adalah kalimat kowe Weruh bokonge Semaput. Tuturan ini dikatakan tidak literer karena tidak seperti yang diungkapkan dalam makna sebenarnya.Bahkan, dapat dimaknai tidak ada hubungan antara melihat pantat dengan pingsan. Hal ini dapat dicermati dalam tuturan Dasamuka terhadap Marica. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai tuturan langsung, tetapi tidak literer. e. Tuturan dalam lakon BNPA PS dan PM 1.Indrajit :Sampeyan wong tuwa, kula ngerti sampeyan wong pinter guneman. Nanging jagad wis nekseni loreking pakartimu. Titi mangsa iku pancen Negara Ngalengka wis ora nampa kahanane paman Wibisana. Nggonmu nyabrang melu mungsuh cetha yenta lorek gedhohanmu. Mula tekaku ing kene kejaba arep ngadili Rama Wijaya sak munyuk-munyuke nanging klebu qong keparat kaya kowe paman Wibisana:Bagus tenan kowe , iya, cepakna, cepakna, njaba njeromu kandelana. Aja nganti ana ingkang ngluputaké Gunawan Wibisana. (BNPA.Gn.038S) Terjemahan: Indrajit : „Paman orang tua dan saya mengerti bahwa Wibisana pandai berbicara. Tetapi dunia telah mengerti perilakunya Wibisana jahat. Saat sekarang negara Alengka tidak menerima lagi Wibisana. Tindakan yang menyeberang Rama membuktikan bahwa commit tomengikuti user Wibisana orang yang jahat, maka saya datang kemari akan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198 menghukum Ramawijaya termasuk balatentara kera dan juga Paman Wibisana.‟ Wibisana : „Baik sekali, siapkan apa yang kau lakukan , siapkan luar dalam. Jangan sampai nanti ada orang yang menyalahkan Wibisana‟. Tuturan (1) dalam kalimat aja nganti ana ingkang ngluputaké Gunawan Wibisana. Tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat pertanyaan yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang disusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya/tidak literer karena dapat diartikan sebagai tuturan perintah. Artinya, tuturan ini diucapkan secara langsung dari Wibisana kepada Indrajit dalam bentuk kalimat melarang.Namun, di dalamnya terkandung makna tidak boleh menyalahkan Wibisana karena suatu ketika Wibisana akan sangat tega dengan keponakannya manakala kemenakan tidak menuruti perintah pamannya. Tindak tuturan ini adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi katakata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. 4. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal Tindak tutur
tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang
diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. a. Tuturan dalam lakon RGPA PSdanPM (1) Ramawijaya: Lan sumurupayayi sayêktiné walèh-walèh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira …(RGPA.Gn.013S) Lesmana: Nun inggih ngestokaken dhawuh paduka Ramawijaya: Lan sumurupa yayi sayektine waleh-waleh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira Manawa sekabehing lelakon iki wus ditata dening kang gawe jagad. Kamulyan iku diparingake marang sujanma ingkang linuwih, kosok baline kasangsayan iku bakal diparingake marang wong kang tuna ing budi kang sarta nyelaki marang uripe. Lesmana : Nun inggih kakangmas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199 Terjemahan: Ramawijaya : „Adinda Lesmana apa yang seharusnya kita jelaskan kepadamu. Lesmana : Kakanda saya siap apa yang akan diperintahkan‟. Ramawijaya : „Harap disadari adinda Lesmana bahwa semua peristiwa yang kita alami ini atas kehendak Yang Maha Kuasa. Kebahagiaan akan diberikan oleh orang yang berprestasi, sebaliknya malapetaka akan diberikan oleh orang yang melanggar norma dan aturan dalam hidupnya‟. Lesmana : „Begitu kakanda‟. Tuturan (1) dalam kalimat Lan sumurupa yayi sayêktiné walèh-walèh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira. Tuturan ini merupakantindak tutur tidak langsung tidak literal. Tuturan ini merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimatnya tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
Pemarkah
kata
sumurupa
merupakan
penanda
lingual
perintah,tetapiBila dilihat tuturannya tidak langsung dan tidak literer. Artinya, ketika Ramawijaya memberitahukan kepada Lesmana bahwa apa yang disandang oleh manusia itu sudah sewajarnya diatur oleh yang Mahakuasa. Kemuliaan manusia
akan
diberikan
kepada
orang
yang
benar-benar
mempunyai
kelebihan.Sebaliknya, kesengsaraan manusia akan tersandang Bila seseorang selalu mengingkari kodrat kehidupan. Tuturan ini tidak langsung karena Ramawijaya mengatakan kepada Lesmana juga tidak langsung.Demikian pula, maknanya tidak literer. Artinya, Ramawijaya tidak secara langsung memberikan makna dalam kalimatnya. Jadi, bila diamati tuturan yang berkaitan maknanya dianggap tidak langsung. (2).Dasamuka:…,piyé carané kowe bisa misah Ramawijaya karo bojone. … piyé caramu? Carané piyé? (RGPA.Gn.066M) Marica :Adhuh…adhuh…adhuh..nyuwun pangapunten…nyuwun pangapunten… adhuh…nganti pak peng. Niki nembe ngalamun Terjemahan: Dasamuka : „…bagaimana caranya kamu dapat memisahkan Ramawijaya dengan istrinya…bagaimana caramu? Caranya bagimana?‟ Marica :‟ minta maaf sang raja, karena saya sedang melamun‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200 Tuturan (2) dalam kalimat piyé carané kowé bisa misah Ramawijaya karo bojoné. … piyé caramu? Carané piyé...Tindak tutur tidak langsung tidak literal merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Pemarkah kata piyé carané merupakan penanda lingual pertanyaan, tetapi dilihat tuturannya tidak langsung dan tidak literer. Artinya, ketika Dasamuka mengatakan piye carane kowe bisa misah,piyé carané? kepada Marica, tuturan ini dikatakan tidak langsung dan tidak literer saat Dasamuka melihat Sinta yang elok parasnya kemudian mengatakan
kepada
Marica
apakah
mempunyai
cara
untuk
mendapatkan Sinta. Tuturan tidak langsung dituturkan kepada Marica dan tidak literer karena apa yang diungkapkan Dasamuka tidak secara langsung maknanya. Berikut ini dapat dilihat persentase pemakaian tuturan langsung dan tidak langsung. Tabel 4.3. Persentase Pemakaian TL dan TTL dalam Lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA. NO
JENIS TUTURAN
1
LLT
2
TLL
3
TLT/LTL
4
TLTL
DALANG DAN LAKON
KT-NS 8 25% S=3,M=5 12 37.50% S=3,M=9 9 28.12% S=4,M=5 3 9,37% S=1,M=2
DR-NS 10 4.76% S=1,M=9 8 38.09% S=2,M=6 3 14.28% S=1,M =2
BN-PA 6 75% S=3,M=3 1 12.50% S=1,M=0 1 12.50% S=1,M=0
0%
0%
32
21
RG-PA 7 41.17% S=4,M=3 5 29.41% S=4,M=1 3 17.64% S=3,M=2 2 11.76% S=1,M=1
Jumlah 8
commit to user
17
Keterangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201 B. Prinsip Kerja Sama 1. PKS dalam Lakon Karno Tandhing Nartasabda (KTNS) a. Maksim Kuantitas
Lakon KTNS mengandung tuturan yang melanggar maksim kuantitas.Hal ini dapat dilihat dalam contoh berikut. Surtikanthi: Nuwun wontên pêngêndika ingkang adhawuh kanjêng Sinuwun. (KTNS.Gn56S) . Basukarna: Swarga nêrakaning wong lanang, swarga nêrakaning kakung, swarga nêrakané priya mau ukurané yèn pinuju sapatêmon kaya kang lagi disandhang iki. Ana sawijining kakung kang têkane kusung-kusung awit saka kêsurung rasa wuyung têmahan bingung ora kêndhat tumalawung èngêt marang kang cahyané angênguwung.(KTNS.Gn.057S) Terjemahan: Surtikanti : „Hiya Sang Raja ada sesuatu yang akan diperintahkan‟. „Kebahagiaan seorang laki-laki bilamana sedang berbicara dengan perempuan seperti kita ini. Ada seorang laki-laki yang datang tergesa-gesa karena sedang jatuh cinta kepada orang yang Indrajitah dan cantik‟. Basukarna : „Kebahagiaan bagi seorang laki-laki ukurannya adalah bilamana bertemu seperti sekarang ini. Sebagai seorang suami yang tergesa-gesa ingin bertemu dengan istri yang selalu memancarkan sinarnya‟. Maksim kuantitas
adalah maksim pertama dari prinsip kerja sama.
Maksim ini berisi anjuran bahwa kontribusi yang diberikan penutur tidaklah berlebihan. Artinya, petutur memberikan informasi yang secukup penuturya bagi mitratutur. Tuturan di atas mengandung pelanggaran terhadap maksim kuantitas karena banyak memberikan jawaban.
Hal ini terlihat ketika Surtikanthi
menanyakan apa yang akan dierintahkan, tetapi oleh Basukarna diberikan jawaban yang panjang lebar melebihi dari apa yang dibutuhkan. b. Maksim kualitas Maksim kualitas dalam lakon KTNS terdapat dalam kutipan dialog antara Arjuna dengan Pralebda berikut ini. Arjuna: Kêtêmbên iki aku sumurup dênê kowê ngucap mangkono dhasarmu commit to user apa kowe rêksasa saka ngêndi? (KTNS.Gn.051S)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202 Pralebda:Ééé…ya blak-blakan tanpa tèdhèng aling-aling mburi saka Negara Guwa Barong abdiné prabu Hardawalika jênêngku Dityakala Pralêbda aku nggawa wadya patang pêmancat. Nadyanta taunana wIndrajitonana aku ra bakal bali marang Nêgara Guwa Barong yèn Duryudana klakon ngêmah-êmah balungmu nêsêp- nêsêp gêtihmu hêm. (KTNS.Gn.052S) Terjemahan: Arjuna: „Baru kali ini saya mengerti, kamu berkata seperti itu dasarnya apa, dan kamu berasal dari mana‟. Pralebda : „Saya berasal dari Kerajaan Guwabarong, prajuritnya Raja Hardawalika nama saya Pralebda dengan membawa prajurit yang cukup banyak. Saya tidak akan kembali ke Guwabarong sebelum dapat memakan dagingmu dan minum darahmu‟. Maksim kedua dari prinsip kerja sama adalah maksim kualitas. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak memiliki bukti. Tuturan Arjuna di atas dijawab oleh Pralebda dengan sangat panjang sehingga melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh Arjuna. Tuturan ini mengandung pelanggaran maksim kualitas.
c. Maksim Pelaksanaan Maksim pelaksanaan dalam lakon KTNS terdapat di dalam kutipan dialog di bawah ini. Surtikanthi: Paduka rinêngga rukmi. (KTNS.Gn078S) Basukarna: Lho kosik-kosik. Kok anèh têmên ya, topongku tiba rêmuk rêmpu dêné aku katon menganggo sarwa rukmi têgêsé êmas, têrus. (KTNS.Gn.079S) Terjemahan: Surtikanti :„Sang Basukarna dihiasi dengan emas‟. Basukarna : ‘Nanti dulu, tampaknya aneh sekali, tutup kepalaku jatuh hancur, tetapi saya berbusana serba kuning emas‟. Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Tuturan pada contoh di commit to user atas menyalahi maksim pelaksanaan karena dari pertanyaan Surtikanthi telah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203 dijumpai dalam jawaban Basukarna yang sangat panjang. Surtikanthi mengatakan bahwa dalam impiannya Basukarna telah mengenakan busana yang bertahtakan emas. Dari pertanyaan itu Basukarna memberikan jawaban yang dianggap aneh karena mahkota sebagai tutup kepala yang telah dikenakan Basukarna jatuh berserakan. d. Maksim Relevansi Maksim relevansi
terdapat dalam lakon KTNS seperti dalam kutipan
dialog antara Surtikanthi dengan Basukarna berikut ini. Surtikanthi:Wanci dalu badhé tindakpundi? Menapa njawi pun wonten ingkang nengga. (KTNS.Gn.109S) Basukarna:Lho lho…wé lha…dudu kuwi karêpku. Apa ya klakon aku pasang sirêp ngono? Biasané aku ya ngantuk siadhi ya ngantuk, lha rak ngono. Ya wis kéné tak bantali tangan. (KTNS.Gn.110S) Terjemahan: Surtikanti: „Waktu tengah malam kakanda akan pergi ke mana‟. Basukarna : „Lho bukan itu yang saya maksud. Apa saya terpaksa membaca mantram. Biasanya saya ngantuk Adinda juga ngantuk. Ya sudah marilah kakanda bantali dengan tangan‟. Tuturan yang dilontarkan Surtikanthi kepada Basukarna menyatakan bahwa waktunya sudah terlalu malam.Surtikanthimenganggap waktu itu sebagai waktu untuk beristirahat, tetapi Basukarna tetap akan pergi meninggalkan Surtikanthi. Basukarnamempunyai tugas dan kewajiban dalam memperjuangkan dirinya sebagai pahlawan. Kedua pembicaraan itu tidak berhubungan dengan yang dimaksud. Hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran maksim relevansi karena tidak terlihat kaitan pembicaraan antara keduanya. Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tidak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan yang tidak relevan dikatakan sebagai tuturan yang melanggar maksim relevansi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204 2. PKS dalam Lakon Dewaruci Nartasabda (DRNS) a. Maksim Kuantitas Lakon DRNSmemperlihatkan tuturan yang mematuhi maksim kuantitias sebagaimana dapat dilihat pada contoh dialog di bawah ini. Hareksi: Apa kakang? (DRNS.Gn.272S). Hareksa:Woo hlah, arêpa ayu ki yèn ngêjur-jur jantung, ilang ayumu hê. Kowé nduwé bojo aku kurangané apa? Apa-apa Sing tok jaluk ndak pinangkani. Bot-boté pun kakang lan si adhi urip ana têngahing alas nyatané pirang-pirang kêbutuhan ora tau kuciwa. (DRNS.Gn.027S) Terjemahan: Hareksi:„Ada apa kakanda‟. Hareksa : „Walaupun kamu cantik tetapi bila selalu membuat hati saya gusar maka hilang cantiknya. Kamu minta apa saja saya penuhi, padahal kita hidup di tengah hutan, kenyataannya semua dapat terpenuhi‟. Maksim ini berisi anjuran bahwa kontribusi yang diberikan penutur tidaklah berlebihan atau memberikan informasi yang secukup penuturya bagi mitratutur. Tuturan contoh di atas merupakan realisasi pelanggaran maksim kuantitas yang banyak memberikan jawaban. Hal ini terlihat ketika Hareksi bertanya dalam kalimat ada apa kakak? Namun, jawaban dari Hareksa sangat panjang dan detail.Hal itu terlihat dalam jawaban yang menjelaskan tentang cantik wajah,tetapi selalu membuat sakit hati.Dalam seminggu telah dirasakan oleh Hareksi bahwa terjadi perubahan perilaku, yakni didekati tidak mau, disentuh menghindar, dan dielus pun tidak mau. Apakah yang salah dalam diri Hareksa. Artinya, tuturan ini menunjukkan bahwa dalam pertanyaan satu kata memiliki jawaban yang panjang sekali. b . Maksim kualitas Maksim kualitas yang terdapat dalam lakon DRNS
dapat dicontohkan dari
dialog Semar dengan Kamajaya berikut ini. Semar: È… kêjaba saka iku, apa ta mungguh pêrluné déné kowé sêsinglon mémba rasêksa lan rasêksi. (DRNS.Gn.300S) Kamajaya: Mêkatên sampun raos katrêsnan kula dhatêng titah pujangkara commit to user pun Pamadi. Ingkang sanyatanipuning ri kalênggahan mênika
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205 anandhang sisah. Karana angraoskaên tingkah lampahipun kulup Wêrkudara anggènipun anggung rêrakêtan lan pandhita Drona (DRNS.Gn.301S). Terjemahan: Semar : „Selain itu mengapa kamu bersembunyi berubah wujud menjadi raksasa‟. Kamajaya : „Karena cinta saya kepada Permadi, dan waktu sekarang dalam suasana sedih, karena memikirkan Werkudara yang sedang berguru kepada Durna‟ Maksim kedua dari prinsip kerja sama adalah maksim kualitas. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama, khususnya maksim kualitas. Hal ini dapat dicermati dalam contoh di atas.Semar menanyakan mengapa berubah sebagai rasaksa, kemudan dari pertanyaan itu muncul jawaban Kamajaya yang menjelaskan tidak langsung pada sasaran.Justru Kamajaya bercerita tentang kesedihan yang melandanya karena Werkudara berdekatan dan mengikuti ajaran Durna. Contoh tuturan di atas telah memperlihatkan adanya pelanggaran maksim kualitas. c. Maksim pelaksanaan Maksim pelaksanaan yang muncul dalam lakon DRNS terdapat pada contoh tuturan sebagai berikut. Arjuna: Inggih, kawruh tuwin ngèlmu. Kresna: Kawruh lan ngilmu? Kurang dhuwur apa ngèlmuné kanjêng éyang ing Sapta Arga? Yèn si adhi kêpingin ing rèh kaprajuritan, kurang prigêl apa kaka Prabu Mandura? Yèn si adhi kêpingin ing rèh kawicaksanan, ayo ta bêbarêngan nglêlantip dhiri kêlawan pun kakang! Hla kok jêbul klèru Tindakmu? Barataêng tak étung-étung kabèh tinêmuné sarwa kêtêmu nalar. (DRNS.Gn.379S) Terjemahan: Arjuna:„Hiya pengetahuan dan ilmu‟. Kresna:„Pengetahuan dan ilmu. apakah ilmu yang dimiliki Begawan Abiyasa kurang commit tinggi? to user Bila Adinda menginginkan keterampilan olah senjata dapat berguru kepada Prabu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206 Baladewa, tentang kesempurnaan dapat berguru kepada saya. Tindakan Anda keliru setelah saya pikir-pikir‟. Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketepatan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Hal ini dapat dilihat dalam contoh tuturan (DRNS.Gn.379S) yang didalamnya tidak terdapat maksim yang baik dengan pelaksanaan yang tepat. Hal ini dapat dilihat dalam contoh di atas.Arjuna mengatakan ilmu dan pengetahuan, tetapi Kresna menjelaskan dalam konsep yang berbeda sehingga Kresna menganggap Arjuna salah langkah. d. Maksim relevansi Maksim relevansi
dalam lakon DRNS dicontohkan dalam tuturan
berikut. Ramawijaya: Lesmana kowé ki yagéné, kowé tumêka papan kéné sumusul tanpa mbakayumu. (DRNS.Gn.118S) Lesmana : Ngaturi kauningan Bilih kula dinukan déning kakangmbok Dewi Sinta. (DRNS.Gn.119S) Terjemahan: Ramawijaya:„Ada apa Lesmana, kamu datang kemari tanpa diikuti mbakyumu ‟. Lesmana :„Melaporkan bahwa saya dimarahi kakanda Sinta‟. Maksim relevansi merupakan maksim ketiga dari prinsip kerja sama. Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar maksim relevansi. Penggalan percakapan di atas memperlihatkan tuturan yang tidak mengandung maksim relevansi. Dalam contoh tuturan (DRNS.Gn.118S), Ramawijaya menanyakan kepada Lesmana mengapa tidak dengan Sinta kehadirannya ke hutan?Lesmanaseharusnya memberikan jawaban yang jelas dan berkaitan dengan tidak turut sertanya Sinta ke hutan untuk bertemu dengan Ramawijaya. Akan tetapi,Lesmana justru menjawabnya dengan permasalahan di luar yang ditanyakan Ramawijaya terhadap penuturya. Hal ini dapat dikatakan bahwa contoh tuturan di commit to user atas telah melanggar maksim relevansi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207
3. PKS dalam Lakon Brubuh Ngalengka Purbo Asmoro (BNPA) a. Maksim kuantitas Maksim kuantitas adalah maksim pertama dari prinsip kerja sama. Maksim ini berisi anjuran bahwa kontribusi yang diberikan penutur tidaklah berlebihan. Tuturan yang melanggar maksim kuantitas dalam penggalan percakapan berikut ini terdapat dalam lakon BNPA. Indrajit : Inggih kadospundi paman. (BNPA.Gn.032S) Wibisana:Wong urip ana alam padhang, wong urip ana ing alam padhang iki dikanthèni budi pêrkêrti ingkang ganêp. Akalé mungsuh lan pintêr nglipur wadya ingkang padha nandhang tatu. Padha waé karo sénopati ngalaga ingkang tinggal glanggang colong playu gonmu manjing dhustha. Pintêra ngikal jagad, pintêra ngikal jagad njaring angin. Terjemahan: Indrajit:‟Iya bagaimana Paman‟. Wibisana:„Orang hidup di dunia itu dilengkapi dengan perilaku yang lengkap. Musuh pandai menghibur prajurit yang terluka. Sama saja seorang panglima meninggalkan peperangan bergabung dengan musuh. Walupun lama sakti dapat menangkap dunia dan menangkap udara‟. Maksim kuantitas adalah maksim pertama dari prinsip kerja sama yang berisi anjuran bahwa kontribusi yang diberikan penutur tidaklah berlebihan atau cukup memberikan informasi bagi mitratutur. Tuturan (BNPA.Gn.032S) merupakan maksim kuantitasyang banyak memberikan jawaban. Hal ini terlihat ketika Indrajit diberi jawaban oleh Wibisana yang melebihi dari apa yang dibutuhkan. Wibisana dalam memberikan penjelasan tentang manusia hidup harus selalu seimbang, sepandai-pandainya seseorang tentu harus tetap berbudi pekerti. Siap mendengarkan petuah dari orang lain yang dianggap tua dan memberikan manfaat. Wibisana memberikan contoh agar Indrajit tidak seperti ayahnya yang sangat sulit menerima saran dari Wibisana. Diharapkan Indrajit tidak mengikuti jejak ayahnya yang dianggap tidak berbudi. Tuturan di atas memperlihatkan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
208 b. Maksim kualitas Maksim kedua dari prinsip kerja sama adalah maksim kualitas. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki
nilai
kebenaran
dianggap
melanggar
prinsip
kerja
sama,
khususnyamaksim kualitas. Berikut contoh maksim kualitas yang terdapat dalam lakon BNPA. Indrajit Togog Bilung Togog Indrajit
: Sêpi mamring. (BNPA.Gn.005S) :Pancen wanci yahketen :Dela engkas :Dela engkas ngapa Lung? :Sepi kaya ngene Gog. Ning aku kudu golek pepulih Gog
Terjemahan: Indrajit : „Sunyi senyap‟. Togog : „Memang karena saat dan waktu seperti ini‟. (BNPA.Gn.006S) Bilung : „Sebentar lagi‟. Togog: „ Sebentar lagi ada apa Lung‟. Indrajit:„Sunyi senyap seperti ini Gog. tetapi saya harus mencari gantinya Gog‟. Maksim kedua dari prinsip kerja sama adalah maksim kualitas. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Contoh tuturan (BNPA.Gn.005S) dalam maksim kuantitas ini menyalahi prinsipenuturya karena antara Indrajit dengan Togog tidak memberikan kualitas jawaban yang diinginkan. Hal ini dapat diketahui pada saat Indrajit mengatakan kalimat sêpi mamring „sunyi senyap‟.Akan tetapi, jawaban dari Togog atas pertanyaan Indrajit adalah pancèn wanci yah kètên „memang saat begini‟. Hal ini dianggap melanggar maksim kuantitas karena jawaban Togog tidak memberikan jawaban yang tepat seperti yang dipertanyakan oleh Indrajit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
209 c. Maksim Pelaksanaan Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Lakon BNPA memperlihatkan tuturan yang mengandung maksim pelaksanaan. Togog
:Ajêng napa sampéyan nyêdhaki pêsanggrahané Prabu Ramawijaya? (BNPA.Gn.010S) Indrajit :Isih kêncar-kêncar diyanê. (BNPA.Gn.011S) Togog :Enggih mawon nika isih enten kloyang-kloyong wonten ingkang tumbuk kemit Bilung :Ketheke pirang-pirang e…nek sing rai baya Terjemahan: Togog :„Akan melakukan apa mendekati tempat peristirahatan Ramawijaya‟. Indrajit:„Lampunya masih terang benderang‟. Togog : „Betul disana masih ada petugas jaga yang mondar mandir‟. Bilung :‟Keranya banyak sekali, ada yang berkepala buaya. Maksim pelaksanaan ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Contoh tuturan (BNPA.Gn.010S) ini menyalahi prinsip dalam maksim pelaksanaan karena antara Togog dengan Indrajit tidak terdapat jalinan jawaban yang tepat bahkan dapat bermakna ambiguitas. Hal ini terlihat ketika Togog memberikan pertanyaan kepada Indrajit tentang apa yang akan dilakukan dengan mendekat ke pesanggrahannya Prabu Ramawijaya. Akan tetapi, jawaban Indrajit atas pertanyaan Togogini tidak bisa tepat.Bahkan, jawaban itu dapat menimbulkan salah tafsir, khususnya dari jawaban yang berbunyi lampu masih nyala terang benderang. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi
penutur
(BNPA.Gn.012S) ini
juga
harus singkat, tertib, dan teratur. Tuturan to user menyalahicommit prinsip dalam maksim pelaksanaan karena
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
210 antara Togog dengan Bilung terdapat jalinan jawaban yang dapat menimbulkan makna ambiguitas. Hal ini terlihat ketika Togog menjelaskan kepada Bilung bahwa masih ada yang menjaga. Namun, Bilung menjawabnya dengan jauh dari penjelasan Togog. Jawaban Kêthèké pirang-pirang…merupakan jawaban atas respons pernyataan Togog. Hal ini dapat dikatakan tidak berhubungan.
d. Maksim Relevansi Maksim relevansi
merupakan maksim ketiga dari prinsip kerja sama.
Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar maksim relevansi. Dalam lakon BNPA, terdapat tuturan yang mengandung maksim relevansi. Hal ini dapat dilihat pada contoh tuturan berikut. Indrajit: Mênênga Gog.(BNPA.Gn.023S) Togog : Bilung niku ra nggênah kok. Bilung : Lha nek yuyu Togog : Kae Yuyu Kingkin Indrajit : Menenga Gog Togog : Bilung niku ra nggenah kok Indrajit : Tak tamani sirep megananda Terjemahan: Indrajit:„Diamlah Togog‟. Togog:„Bilung itu tidak tau autran‟. (BNPA.Gn.024S) Bilung: „Bilamana kerang‟. Togog : „Disana kerang kingkin‟. Indrajit : „Togog harap diam‟. Togog: „Bilung itu tidak mengerti aturan‟. Indrajit:„Saya mengucapkan mantram megananda agar semua orang tertidur‟. Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tidak komunikasi. Jika dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran tidak relevan maka dapat dikatakan sebagai ujaran yang melanggar maksim relevansi. Penggalan percakapan berikut ini mengandung tuturan yang melanggar maksim relevansi. Contoh tuturan (BNPA.Gn.023S) dalam kalimat commit maksim to user relevansi. Hal ini terlihat ketika tersebut di atas dapat dikatakan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
211 Indrajit
menyuruh
diam
dalam
pembicaraan
Togog.
Kemudian,Togog
meresponsnya dengan menyalahkan Bilung. Pembicaraan antara Indrajit dan Togog itu tidak berkaitan dan dapat dikatakan sebagai pelanggaran. 4. PKS dalam Lakon Rama Gandrung Purbo Asmoro (RGPA) a. Maksim Kuantitas Lakon RGPA memiliki tuturan yang mengandung maksim kuantitias. Salah satunya terdapat dalam contoh tuturan berikut. Sinta: Yayi Barata bêratên sungkawaning atimu. Mara gagé matura kang têtêla. (RGPA.Gn.029S) Barata:Kakangmas kados mênapa loking para kawula Ayodya dhatêng kula, ingkang satêmah sami anêrka bilih kula cumanthaka angrêbat panguwaos paduka kanthi mêrgi nistha ingkang kliwat saking watêsing kamanungsan. Oh kakangmas mangka sêdaya kalawau awit saking rêkadaya budidayanipun kanjêng ibu Dewi Kekayi. (RGPA.Gn.030S) Terjemahan: Sinta :„Adinda Barata jangan sedih. Silahkan berkata yang jelas. Barata :„Kakanda, seperti apa pikiran para rakyat Ayodya terhadap saya, dan selanjutnya mereka berpendapat bahwa saya merebut kekuasaan kakanda Ramawijaya, yang keluar dari tatanan manusia. Semua itu oleh karena rekayasa Ibu Kekayi‟. Ramawijaya: yang keluar dari tatanan manusia. Semua itu oleh karena rekayasa Ibu Kekayi‟. Tuturan (RGPA.Gn.029S)
mengandung pelanggaran atas maksim
kuantitas karena dalam memberikan jawaban melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh sebuah jawaban. Hal ini dapat dilihat pada saat Sinta bertanya kepada Barata (adiknya) tentang kesedihan di hatinya. Kemudian, oleh Barata dijawab secara panjang-lebar tentang keadaan saat itu dan Barata merasa bersalah atas Semuakejadian. Ada rasa menyalahkan ibundanya, yakni Dewi Kekayi yang seharusnya memberikan petunjuk, tetapi tidak dilakukan sehingga Barata benarbenar merasa bersalah atas semua yang terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
212 b. Maksim Kualitas Maksim kualitas yang terdapat dalam lakon RGPA terdapat dalam contoh tuturan berikut. Ramawijaya: Nyatané saya mundhak dina mundhak sasi munggahing taun kaya wis katon suda para rêksasa ingkang padha ngrêridhu marang para tapa. (RGPA.Gn.003S) Lesmana : Inggih kakangmas estunipun sêdaya kalawau inggih labêt saking dhawuh-dhawuh sabda jêngandika kakangmas Ingkang tuhu-tuhu dados pamêcut laksitaning lêkas rayi paduka punLesmana, kakangmas. (RGPA.Gn.004S) Terjemahan: Ramawijaya:„Kenyataannya makin hari makin reda para raksasa yang merusak tempat tinggal para pertapa‟. Lesmana : „Ya betul kakanda, semua itu karena nasihat yang diberikan kepada saya sehingga memotivasi semua tindakan. Maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini kebenarannya. Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak memiliki bukti. Tuturan (RGPA.Gn.003S) dalam maksim kualitas menyalahi prinsip penuturya karena antara Ramawijaya dengan Lesmana di dalam dialognya tidak memunculkan jawaban yang mempunyai kualitas tepat. Hal ini dianggap menyalahi maksim kualitas karena jawaban tidak memberikan jawaban yang tepat seperti yang dipertanyakan oleh mitratutur. Hal ini dapat dilihat ketika Ramawijaya menyatakan bahwa semakin berkurangnya para raksasa yang suka menggoda para pertapa.Namun, jawabanya adalah karena sebenarnya
ini
semua
menunjukkan
adanya
petunjuk-petunjuk
dari
Ramawijaya.Hal ini merupakan cambuk dalam melakukan segala tindakan yang dilakukan Lesmana. Hal tersebut dikatakan sebagai pelanggaran maksim kualitas karena jawabannya tidak mendukung atas pernyataan yang ada. c. Maksim Pelaksanaan Maksim pelaksanaan/cara yang terdapat dalam lakon RGPA dapat dicontohkan dalam tuturan berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
213 Sinta
: Sang Garudha, sang Garudha , sêpira ta rujiting atiku dênê kowe nêmahi kaya ngéné mêrga nggonmu mitulungi marang Sinta. (RGPA.Gn.113S) Jentayu: Oh….radèn ayu, radèn ayu, gêtih ingkang mijil saking suwiwi kula,têlih kula mbrodhol kados mêkatên kusuma dewi. (RGPA.Gn.114S) Terjemahan: Sinta :„Garuda Jetayu, saya sangat sedih sebab kamu mati, karena menolong saya‟. Jentayu:„Oh raden ayu raden ayu darah yang keluar dari sayapku, keadaanku seperti ini Kusuma Dewi‟. Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas.Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Tuturan (RGPA.Gn.113S) dalam maksim pelaksanaan/cara ini menyalahi prinsip penuturya.Saat itu, Sinta menyatakan kesedihan atas upaya burung Garuda yang menolongnya.Hal itu direspons oleh Jentayu dengan jawaban yang kurang berkualitas, yakni Jentayu menjelaskan tentang saya penuturya yang robek dan aliran darah di tubuhnya. Artinya, tuturan ini tidak komunikatif antara penutur dan mitratutur. Tuturan di atas dianggap menyalahi maksim pelaksanaan/cara karena jawaban Jentayu tidak menyambung dengan pernyataan dari Sinta. d. Maksim Relevansi Maksim relevansi
dalam lakon RGPA salah satunya terdapat dalam
tuturan di bawah ini. Ramawijaya: Yen ngono, apa karêpé siadhi? (RGPA.Gn.022S) Lesmana : Kula badhé mênthang gêndhéwa badhé pasang warastra.(RGPA.Gn.023S) Ramawijaya: Apa karepmu? Lesmana : Ciptaning manah kula mbok menawi utusaning Barata ingkang boten nrimakaken sugengipun kakangmas Rama Ramawijaya : Yayi aja nduweni panyakrabala ala luwih dhisik mara gage ulatana dhimas. Terjemahan: Ramawijaya : „Bila demikian apa yang kau inginkan?‟ Lesmana :„Saya akan membentangkan busurpanah‟. Ramawijaya : „Apa kehendakmu?‟ Lesmana : „Dalam benakku itu suruhannya Barata yang menginginkan commit to user kematian Rama‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
214 Ramawijaya : Yayi janganlah mempunyai buruk sangka, coba lihatlah terlebih dahulu Dinda.‟ Maksim ini berisi anjuran bagi penutur untuk memberikan kontribusi yang relevan dalam suatu tindak komunikasi. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang tidak bersambungan. Hal ini dapat dilihat dalam tuturan (RGPA.Gn.022S). Ramawijaya menanyakan kalau begitu apakah yang akan dilakukan olehmu? Lesmana menjawab akan melakukan pembidikan dengan memasang senjata Warastra. Tuturan ini tidak komunikatif dan langsung berkaitan antarapenutur dan mitratutur sehingga tidak terjadi kesinambungan. C. Bidal Kesantunan (BK) Asim Gunarwan menjabarkan perihal kesantunan ke dalam empat bidal (faktor), yakni bidal kurmat (hormat), andhap asor (rendah hati), empan-papan (sadar
akan
tempat),
dan
tepa-slira
(tenggang
rasa).
Bidal
pertama
kurmatmenjelaskan bahwa menggunakan bahasa yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui bahwa bahasa itu menghormatinya. Bidal kedua, andhap asor, menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga tidak dianggap sombong. Dengan adanya penutur yang rendah hati dalam pemakaian bahasanya, akan dianggap bahwa mitra tutur sebagai orang yang dipuji. Bidal ketiga empan-papan berisi nasihat agar pandai-pandai membawa diri atau menempatkan diri dan kedudukan dimana berada sehingga petutur tahu bahwa penutur rendah hati atau tidak congkak. Bidal keempat tepa slira mengarahkan jangan menggunakan bahasa yang tidak pantas digunakan kepada orang lain sebagaimana dapat dirasakan terhadap diri sendiri. 1. BK dalam Lakon Karna Tandhing Nartasabda (KTNS) a. Bidal Kurmat Bidal pertama kurmat dalam penggunaan bahasa menggunakan bahasa yang
sedemikian
rupa
sehingga
dapat
diketahui
bahwa
bahasa
itu
menghormatinya. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasan pemakaian bidal kurmat commit to user dalam lakon KTNS antara lain seperti berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
215 Prb
Puntadewa:
Duryudana
Inggih kaka prabu suwawi kula dhèrèkakên. (KTNS.Gn.026S) : Rawuh paduka Ramawijaya prabu ing Mandaraka, mênawi kula ingkang mastani kadi déné pangéjawantahing sang Hyang Yamadipati badhé njabuti nyawané Pandhawa. (KTNS.Gn 143M)
Terjemahan: Prb Puntadewa : „Hiya Kanda Prabu, sekarang mari kita hantarkan‟. Duryudana : „Hadirnya ayah Prabu Mandaraka, dapat disebutkan seperti inkarnasi Sang Hyang Yamadipati akan mengambil sukma para Pandawa‟. Pemakaian kata sapaan dalam kaka prabuprabu (KTNS.Gn.026S) danRamawijaya prabu (KTNS.Gn.143M) merupakan bentuk tuturan yang mengandung bidal kurmat. Artinya, sapaan itu digunakan untuk menghormati orang yang dianggap lebih tua, berkuasa, pengalaman, atau berilmu. Saat Duryudana dan Puntadewa dihadapan para sesepuhnya maka terungkaplah tuturan yang menyatakan hormat, yakni kata sapaan kaka Prabu. b.
Bidal Empan papan Bidal empan papan pada lakon KTNS terdapat dalam tuturan Sawêtara iki
ayo yayi bêbarêngan padha bali (KTNS.Gn.024S) yang termasuk dalam bidal empan papan. Tuturan Kresna sudah sangat tepat dalam memberikan respons dan sudah pula pada tempatnya jika Kresna mengajak kembali kepada Drupadi. Hal ini dicontohkan dalam tuturan dialog di bawah ini. Prb Kresna
: Paripurna punagine kadangmu tuwa yayi ratu Drupadi. Sawêtara iki ayo yayi bebarêngan padha bali makuwon kalêbêt paduka lan yayi prabu Puntadewa. (KTNS.Gn.024S). Werkudara : Jlitheng kakangku apa? Prb Kresna: Paripurna punagine kadangmu tuwa yayi ratu Drupadi.Sawetara iki ayo yayi bebarengan padha bali makuwon kalebet paduka lan yayi prabu Puntadewa Prb Puntadewa : Inggih kaka prabu suwawi kula dherekaken Terjemahan: Kresna Werkudara
: „Ratu Drupadi telah menetapi janjinya, maka kita beristirahat sejenak termasuk Adinda Prabu Puntadewa‟. : „ Kresna kakak saya ada apa?‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
216 ; „Yayi Drupadi telah melaksanakan apa yang diucapkan, maka sekarang kita kembali ke tempat peristirahatan termasuk adinda Puntadewa‟. ; „Iya kakanda Kresna mari kita hantarkan‟.
Kresna
Puntadewa
c.
Bidal Tepa salira Bidal tepa salira dapat dicontohkan dalam tuturan (KTNS.Gn.043S):
Arjuna: Anané aku mêngkéné ora sabab nggonku mingkuh ing pakéwuh angadoni. Tuturan ini termasuk ke dalam bidal tepa salira karena terdapat makna yang menunjukan bahwa bukannya mengelak dalam satu kenyataan yang dihadapi, tetapi merasa tahu diri terhadap kekuatan yang dimiliki dirinya. Hal ini terlihat pada saat Arjuna berhadapan dengan Semar yang membicarakan masalah peperangan Bratayudha yang sedang berlangsung dan semakin berlarut-larut. Semar selalu memberikan semangat kepada Arjuna agar dapat membantu peperangan yang telah terjadi. Akan tetapi, Arjuna merasa tahu diri akan kekuatannya sehingga tidak berani menerima tanggung jawab yang diberikan. Arjuna: Anané aku mêngkéné ora sabab nggonku mingkuh ing pakéwuh angadoni pêrang sajroning Baratayuda, nanging sapa wongé kuwat angrasakaké. Pênandhang kang tumpuk matumpa-tumpa ingkang sêpisan anggung. (KTNS.Gn.043S) Semar: Eeee….kula sampun saged mastani bilih penandhangipun ndara menika sakalangkung awrat nanging menawi paduka raosaken terus kemawon boten badhe telas. ... Terjemahan: Arjuna :„Saya berada di tempat ini tidak bererati menghindari perang Baratayuda, tetapi untuk menghibur diri, karena kesedihan yang saya alami bertubi-tubi datangnya‟. Semar: „E saya dapat mengatakan bahwa yang kamu derita berat sekali, dan bilamana terus dipikirkan tidak akan ada habisnya‟.
d.
BidalAndhap asor Bidal andhap asor dalam lakon KTNS terlihat pada tuturan ‟menawi kula
kelilan
matur…
„.Tuturan
ini
merupakan
bentuk
bidal
kesopanan,
khususnyaandhap asor. Artinya, meminta izin untuk memberikan pernyataan commit to user karena Kridhamanggala menganggap dirinya Arjuna merasa rendah hati terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
217 Arjuna yang mempunyai tingkat status lebih tinggi Bila dibandingkan dengan Kridhamanggala. Hal ini dapat dicermati ketika Kridhamanggala berhadapan dengan Hardawalika dan menyatakan tentang orangtuanya yang berasal dari turunan seayah dan seibu. Pada saat itu, ayah yang masih jejaka jatuh cinta kepadaSubadra dan ketika ibumu masih gadis jatuh cinta dengan Janaka. Akan tetapi, sang ayah wafat dan oleh dewa dijadikan busananya mirip dengan Janaka. Sementara itu ketika ibunda wafat, oleh dewa diperbusanakan mirip Subadra.Jadi, dua-duanya tidak asli. Setelah dalam mengarungi kehidupan,ayah dan ibu hamil maka berubahlah wujudnya menjadi raksasa dan raseksi. Namun dalam kehidupannya, sang ayah yang berubah menjadi raksasa selalu mengancam kepada Arjuna. Satu saat telah terjadi kesalahpahaman dalam berbicara yang mengakibatkan peperangan dan akhirnya ayah serta ibunda wafat di dalam peperangan. Patih Kridamanggala: Menawi kula kêlilan matur botên kok nama miyak wêwados nanging dhasar kula kawontênan ingkang. (KTNS.Gn.032) Prb Hardawalika: Sowanmu adoh tak awe cerak sangsaya tak raketake karana ingsun nedya andangu ing sira. Ing nguni sira nate darbe atur nanging durung ta wigatekake. Apa ana jamak lumrahe ing atase bojo kok tunggal rama ibu kaya dene kang nate tok critakake marang aku yenta rama lan ibuku iku tunggal rama ibu kuwi piye mungguh nalare? Terjemahan: Patih Kridhamanggala : „Bilamana saya diizinkan menyampaikan sesuatu, tidak berarti membuka rahasia , tetapi kenyataan‟. Prb Hardawalika : „Kamu menghadap saya oleh karena akan kupertanyakan mengenai ayah dan ibuku itu masih satu kandung sma ayah dan sama ibu itu bagaimana logikanya‟. 2. BK dalam Lakon Dewa Ruci Sajian Nartasabda (DRNS) a. Bidal Kurmat Bidal kurmat pada lakon DRNS terdapat dalam (DRNS.Gn.427M). Tuturan ini merupakan penerapan bidal kurmat. Hal ini terlihat dalam pemakaian sapaan dengan menggunakan kata ganti orang pertama ulun. Kata ganti tersebut commit to user dapat dilihat pada saat Dewaruci berkata kepada Werkudara bahwa harus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
218 diperhatikan beberapa ajaran yang diberikan oleh Dewaruci kepada Werkudara. Namun dalam menggunakan kata sapaan persona kata ganti pertama, Werkudara menggunakan kata ulununtuk lebih menghormati lawan tutur (Werkudara) daripada pemakaian kata aku. Berikut contoh tuturan yang mengandung bidal kurmat. Werkudara:
Pukulun, mêkatên awrat ngêmban dhawuhing sang guru nadi. Anggèn kula kêpingin angrêgêm andharan sampurnaning dumadi parikêdah kula angulari wujuting rêruba ingkang winastan tirta pawitra mahêning suci. Déné sangêt kêluhuran déné kula pinanggih lan paduka pukulun, kaparênga paduka anêdahakên pundi ingkang winastan tirta pawitra mahêning suci. Dewaruci: Dara! Mapan kudu sira ingkang wajib mirêngaké pira-pira kèhé wêwangson ulun kang magêpokan kêlawan ingkang sira upadi. Sêpisan, bangêt-bangêt sumêngkaning atimu parikudu kêpingin angrêgêm ngèlmu sampurnaning dumadi iku apa bênêr? Marga, sampurnaning dumadi mau padha karo dumadi kang wus sampurna.(DRNS.Gn.427M) Terjemahan: Werkudara:„Sang Dewaruci, saya harus menuruti apa yang diperintahkan guru Drona. Saya berkeinginan untuk memahami dan mewujudkan apa yang disebut tirta pawitra mahening suci (air kehidupan). Saya merasa bahagia dan mendapat kehormatan oleh karena bertemu dengan Sang Dewaruci, untuk itu mohon agar dapat menunjukan dimana tempat air kehidupan (tirta pawitra mahening suci)‟. Dewaruci :„Werkudara, anda harus dapat mendengarkan dan mengerti apa yang kaucari. Anda sangat koriosite ingin memahami ilmu kesemarpurnaan hidup, apa benar? Sebab kesemarpurnaan hidup itu sama dengan hidup yang sudah sempurna‟.
b.Bidal Tepa salira Tuturan ini mengandung unsurtepa salira.Artinya, terdapat makna tahu diri, yakni Hareksi yang mengatakan lebih baik mati menusuk diri dengan keris bilamana Hareksa tidak dapat memberikan apa yang dikehendaki oleh Hareksi. Hal ini terlihat dalam kata aku luwung lampus jiwa. Hareksi mempunyai permintaan kepada Hareksa, yakni untuk mendapatkan daging dari tubuh satria yang bagus menawan wajahnya. Tuturan ini dapat dikatakan sebagai tepa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
219 salira.Artinya,Hareksi
merasa
bahwa
suaminya
tidak
dapat
memenuhi
keinginannya, lebih baik mati dengan cara bunuh diri. Hareksi: Kakang, aku luwung lampus jiwa, luwung suduk jiwa lan lampus dhiri ngêndhat talumurda kakang, yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nuruti pênjalukku, yaitu dagingé wong bagus kakang kakang. (DRNS.Gn.282S) Hareksa:Wah hê, biyèn wêtonmu apa hara? Jané aku arêp nduwé bojo kowéi ya wis tak saring nganggo ètungan. Tak timbang drajaté, tak ukur ala bêciké. Éwadéné tinêmuné kêcélék ya bêjaning awaku. Yah, pamané ora? Hareksi : Yèn ta nganti si kakang ora gêlêm nyêmbadani, prayoga aku balèkna marang asalku ya kakang! Terjemahan: Hareksi : „Kakanda lebih baik saya mati bunuh diri, bilamana tidak dapat menuruti permintaan saya‟. Hareksa : „Dahulu hari kelahiranmu apa? Sebenarnya saya memperistri kamu itu sudah diperhitungkan dengan masak, bagaimana perilakunya dan derajatnya. Tetapi saya kecewa ya sudah saya terima, dari pada tidak‟. Hareksi : „Bilamana kakanda tidak menuruti lebih baik saya dikembalikan ke tempat asalkau‟. c. Bidal Empan papan Tuturan yang memberikan makna empan papan artinya makna ini terletak pada satu pemikiran bahwa tiada guna mengkhawatirkan saudara yang sedang mencari ilmu di bawah ajaran Durna. Empan papan di sini berarti menempatkan diri agar tidak perlu merasa khawatir terhadap saudaranya, yakni Werkudara. Hal ini dapat dilihat dalam tuturan Kamajaya terhadap Arjuna mengenai kekhawatiran akan keberadaan saudaranya Werkudara yang mengikuti jejak langkah Durna yang dianggap menyesatkan. Berikut dicontohkan pemakaian bidal empan papan. Kamajaya: Pêrmadi. Arjuna : Kula pukulun, wontên pêngêndika ingkang adhawuh. Kamajaya: Kiraku tanpa guna yèn ta si adhi andhêdhêr rasa sumêlang, mrihatinaké kadangmu wêrdha, kulup Wêrkudara nggoné anggung cinakêt ing pandhita Durna. (DRNS.Gn.305SM) Terjemahan: Kamajaya: Pêrmadi. commit to user Arjuna : Ya ada apakah ada perintah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
220 Kamajaya: Kiranya tiada guna jika Adinda selalu khawatir, memprihatinkan kakandamu Werkudara, dan memprihatinkan Kakanda Werkudara yang saat ini sedang berdekatan dengan pendita Durna‟. d. Bidal Andhap asor
Andhap asor berasal dari kata andhap 'rendah'
dan
asor 'berada di
bawah'. Secara Harafiah, frase ini bermakna 'sangat rendah'. Bidal ini berisi nasihat agar orang selalu berperilaku. Di dalam perilaku bahasa, bunyi bidalini ialah pakailah bahasa (dalam arti pilihlah kata-kata) sedemikian rupa sehingga si petutur tahu bahwa Anda rendah hati atau tidak congkak. Petutur yang tahu bahwa penutur rendah hati akan merasa bahwa ia sedang dipuji; makin rendah hati si petutur, makin tinggilah pujiannya. Tuturan yang menunjukan andhap asoradalah sebagai berikut. Werkudara: Pukulun, mêkatên awrat ngêmban dhawuhing sang guru nadi. Anggèn kula kêpingin angrêgêm anharan sampurnaning dumadi parikêdah kula angulari wujuting rêruba ingkang winastan tirta pawitra mahêning suci. Déné sangêt kêluhuran déné kula pinanggih lan paduka pukulun, kaparênga paduka anêdahakên pun dewadi ingkang winastan tirta pawitra mahêning suci. (DRNS.Gn 426M) Dewaruci : Dara! Mapan kudu sira ingkang wajib mirêngaké pira-pira kèhé wêwangson ulun kang magêpokan kêlawan ingkang sira upadi. Sêpisan, bangêt-bangêt sumêngkaning atimu parikudu kêpingin angrêgêm ngèlmu sampurnaning dumadi iku apa bênêr? Marga, sampurnaning dumadi mau padha karo dumadi kang wus sampurna. Dumadi kang wus sampurna mau ora mbutuhaké piranti-piranti ingkêng gumêlar ing jagad iki. Terjemahan: Werkudara : „Pukulun saya melaksanakan perintah guru karena ingin mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup dan saya diminta mencari air kehidupan (tirta pawitra mahening suci. Kebetulan dapat bertemu dengan pukulun Dewaruci, mohon ditunjukan tempat air kehidupan‟. Dewaruci : „Werkudara kamu harus memperhatikan apa yang saya katakan sehubungan dengan apa yang kau cari. Anda ingin mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup apa benar?. Sebab kesempurnaan hidup itu sama dengan orang yang sudah commit to user sempurna hidupnya, dan orang yang telah sempurna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
221 hidupnya itu tidak perlu membutuhkan instrumen yang ada di dunia ini‟. Demikian pula, kata ngêmban dhawuhing sang guru nadi (DRNS.Gn 426M) merupakan wujud kerendahan diri dalam status yang lebih. Hal ini dapat diartikan bahwa Werkudara memohon untuk dan akanmenuruti semua perintah. 3.
BK dalam Lakon Brubuh Ngalengka Purbo Asmoro (BNPA) a.Bidal Kurmat Tuturan (BNPA.Gn.028S) merupakan salah satu bentuk tuturan yang
mengandung bidal kurmat.Artinya, menghormati orang yang dianggap lebih tua, berkuasa, pengalaman, atau berilmu. Saat Indrajit berhadapan dengan Wibisana terungkap tuturan yang menyatakan hormat. Indrajit
terhadap Wibisana
merupakan satu penanda antara paman dan kemenakan. Tuturan: Pangabêkti kula mugi konjuk wontên sahandhaping pada paduka paman (BNPA.Gn.028S). Hal ini dapat dilihat dari adanya pemarkah kata pangabekti kula „hormat saya‟. Pemarkah pangabekti menyatakan pemberian hormat. Hal ini dapat dilihat ketika Indrajit berhadapan dengan Wibisana. Sebagai pamannya, tentu hal yang lazim dilakukan seorang kemenakan adalah menyatakan hormat kepada pamannya yang lebih tua. Indrajit : Pangabêkti kula mugi konjuk wontên sahandhaping pada paduka paman. (BNPA.Gn.028S). Wibisana: Anakku ngger, anakku. Iya tak tampa Drajit, pengestuku tampanana kulub Indrajit : Inggih, dahat kapundhi paman. Wibisana: Ora susah kakehan gunem kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhane pun bapa ya ngger Terjemahan: Indrajit : „„Hormat saya kusampaikan kepada Paman Wibisana‟. Wibisana : „ Hiya saya terima dan doa saya kepadamu‟. Indrajit : „Baik saya terima Paman Wibisana‟. Wibisana : .Tidak usah banyak bicara yang tiada gunanya, yang penting dengarkan apa yang saya katakan kepadamu‟. b.Bidal Andhapasor Bidal andhap asor dicontohkan dalam tuturan (BNPA.Gn.053S).Satu committuturan to user itu termasuk bidal andhap asor ungkapan pernyataan dari Sintadalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
222 yang berarti bahwa pada saat Sinta bertutur tentang tekadnya yang seperti gunung waja. Hal ini terlihat dalam pemakaian kata rumangsa bombong nyawang tékadmu… Pernyataan yang menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga si petutur merasa bahwa dipuji. Hal ini terbukti oleh Sinta dalam kalimat rumangsa bombong nyawang tékadmu. Sinta secara kesopanan telah memberikan sanjungan kepada Dasamuka atas kemauan Dasamuka yang kuat dan keras sehingga turut serta merasakan berbangga hati terhadap apa yang telah dilakukan oleh Dasamuka. : … Mula nganti iki aku nêksèni aku ya rumangsa bombong nyawang tékadmu kang kaya gunung waja. (BNPA.Gn.053S) Dasamuka : Lagene ngerti, gene ngerti mripatmu. Kowe ana kene wong wedok krubyuk kabotan pinjung upama ta aku gelem ngruda peksa wis biyen-biyen. Ning yagene aku ndulit wae ora, hem…….. aku ndemok wae ora ndulit wae ora. Aja meneh ndulit, saka kadohan nganmbus wae ora. Merga tumraping aku lagi ndhodhog kori weruh klebatmu wae aku marep mrene aku wis trima, karo ngambungi lawang. Terjemahan: Sinta : „Sampai sekarang saya menyaksikan dan sangat bangga, melihat tekadmu seperti gunung baja‟. Dasamuka : „Hiya kamu mengerti dan melihat sendiri. Sinta disini sebagai seorang wanita yang lemah bilamana saya ingin memperkosa bisa saya lakukan kapan saja. Tetapi saya tidak melakukan hal itu bahkan memegang saja tidak apalagi mencium. Menurut saya ketika saya masuk di pintu dan melihat wajahmu saya merasa sudah senang sambil mencium pintu‟. Sinta
c. Bidal Tepa salira Tuturan ...kula ngêrti sampéyan wong pintêr gunêman. Nanging jagad wis nêksèni lorèking pakartimu (BNPA.Gn.036S) merupakan realisasi bidal tepa salira karena Indrajit mengakui bahwa Wibisana/pamannya itu pandai dalam bernasihat apapun jarak usianya jauh berbeda dan mempunyai pengalaman yang luas. Dengan demikian, tuturan ini dapat dikategorikan sebagai
tepa
saliranyaIndrajit terhadap Wibisana atas kepandaian Wibisana dalam berpetuah. Akan tetapi,Indrajit juga mengakui kelemahan Wibisana di balik semua itu. Wibisana adalah orang yang plin-plan serta tidak berpendirian. Hal itu terbukti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
223 bahwa Wibisana dianggap oleh Indrajit telah turut menyeberang membela musuh, khususnya Astina. Indrajit: Sampéyan wong tuwa, kula ngêrti sampéyan wong pintêr gunêman. Nanging jagad wis nêksèni lorèking pakartimu. Titi mangsa iku pancèn Nêgara Ngalêngka wis ora nampa kahanané paman Wibisana. (BNPA.Gn.036S) Wibisana :Bagus tenan kowe, iya, cepakna, cepakna, njaba njeromu kandelan. Dudu karebe dhewe, iya. Pancen ora kenek dielus kowe. Aja nganti ana ingkang ngluputake Gunawan Wibisana yenta pun paman tega menyang anak. Terjemahan: Indrajit : ‘Paman Wibisana orang tua dan pandai berbicara, tetapi mempunyai hati yang jahat. Saat sekarang negara Ngalengka tidak dapat menerima Wibisana lagi‟. Wibisana : ‘Ya bagus siapkan kemampuanmu tenaga luar dan dalam. Kamu tidak bisa dinasehati maka jangan sampai ada orang yang menyalahkan Wibisana bilamana saya akan membunuhmu‟. d.Bidal Empan papan Tuturan (BNPA.Gn.031S) Ora susah kakehan gunem kang tanpa guna ingkang wigati …termasuk dalam bidal empan papan karena tuturan ini mengingatkan kepada Indrajit yang sedang berbicara kepada Wibisana. Tuturan ini dikatakan sebagai empan papan.Artinya, Wibisana berbicara kepada Indrajit agar bersedia mendengarkan apa yang dipesankan oleh Wibisana dan tidak perlu Indrajit banyak bicara yang tiada guna. Wibisana sebagai paman tentu mempunyai hak untuk memberikan petuah dan nasihat. Hal ini sudah sesuai dengan status sosial bahwa Wibisanamempunyai kedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indrajit. Wibisana: Ora susah kakéhan gunêm kang tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun bapa ya nggèr. (BNPA.Gn.031S) Indrajit : Inggih kados pundi paman Wibisana:Wong urip ana alam padhang, iki dikantheni budi perkerti ingkang ganep. Terjemahan: Wibisana : „Tidak usah banyak bicara yang tidak ada gunanya. Dengrkan commit to user nasihatku ya Nanda‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
224 Indrajit : „Ya bagaimana Paman‟. Wibisana : ‘Orang hidup di dunia itu harus dilengkapi dengan budi pekerti yang lengkap‟. 4. BK dalam Lakon Rama Gandrung Purbo Asmoro (RGPA) a. Bidal Kurmat Bidal kurmat yang terdapat dalam lakon RGPAadalah tuturan (RGPA.Gn.002S) Kula wontên dhawuh pangandika kakangmas.Pronomina kakangmas merupakan ungkapan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua atau orang yang mempunyai tingkat kedudukan yang lebih tinggi. Kata kakangmas yang diucapkan Lesmana saat dipanggil Ramawijaya menunjukkan perilaku seorang adik kepada kakaknya. Tentu saja pemakaian kakangmas dinyatakan lebih tepat bila dibandingkan dengan pemakaian sebutan kata ganti mas. Kata pilihan kakangmas mengandung nilai yang lebih tinggi dan disampaikan untuk menyapa seorang yang mempunyai tingkatan sosial yang lebih tinggi dan terhormat. Walaupun hubungan antaraLesmana dengan Ramawijaya adalah kerabat, tetapi tidak digunakan kata sapaan mas atau kakang saja. Berikut contoh tuturan yang mengandung pemakaian bidal kurmat. Lesmana Ramawijaya
Lesmana
:Kula wontên dhawuh pangandika kakangmas. (RGPA.Gn.002S) : Nyatane saya mundhak dina mundhak sasi munggahing taun kaya wis katon suda para reksasa ingkang padha ngreridhu marang para tapa. : Inggih kakangmas estunipun sedaya kalawau inggih labet saking dhawuh-dhawuh sabda jengandika kakangmas ingkang tuhu-tuhu dados pamecut laksitaning lekas rayi paduka pun Lesmana, kakangmas.
Terjemahan: Lesmana : „Ya ada perintah apa kakanda‟. Ramawijaya : „Setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun para raksasa yang menggangu para pwertapa makin berkurang‟. Lesmana : „Demikian kakanda bahwa semua itu oleh karena perintah dan keputusan kanda Ramawijaya, yang menyebabkan hati saya tergugah‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
225 b. Bidal Tepa Salira Tepa saliraterdapat dalam tuturan Inggih pêngéran inggih mênika wujud kasêtyan garwa paduka (RGPA.Gn.008S). Tuturan ini mengandung kesopanan dalam bidal tepa salira.Artinya,Sinta merasa dan tahun diri sebagai istri yang harus setia dan selalu menunjukkan dharma baktinya terhadap suami. Hal ini dapat dicermati pada saat Sinta menjawab pernyataan Ramawijaya tentang alas yang sedang ditempati semoga memberikan kebahagiaan hati Sinta dan tiada satu kurang apapun dalam mengarungi kehidupan di hutan itu. Oleh Sinta direspons dengan pernyataan bahwa dalam keadaan dimanapun wajib mendampingi suami. Hal ini sebagai bidal tepa salira, yakni Sinta merasa diri bahwa sebagai istri bisa mengikuti serta merasa sukaduka bersama dengan suami dimanapun berada. Pernyataan ini terlihat dalam kalimat sagêda angraosakên panandhanging kakang. Ramawijaya : Muga-muga jroning alas iki andadekake suka senenging atimu satemah ora bakal nabet apa-apa ingkang nate mbok lakoni jroning Kraton Manthilidirja, wong ayu (RGPA.Gn.007) Sinta : Inggih pengeran inggih menika wujud kasetyan garwa paduka. Wujud kasetyaning garwa menika boten namung ing kalane ingkang kakung maksih ngregem kawibawan miwah kamulyan nanging tumrap Sinta wujuding kasetyan kalawau inggih sageda angraosaken panandhanging kakang Ramawijaya : Iya-ya, yayi Lesmana Lesmana : Kula wonten dhawuh kakangmas. Terjemahan: Ramawijaya : „Saya harap di tengah hutan ini hatimu gembira dan tidak teringat kehidupanmu ketika berada di keraton‟. Sinta : ‘Hiya pangeran itu merupakan kesetiaan saya kepada suami, tidak hanya ketika suami memegang kekuasaan, tetapi sedang dalam kesengsaraan tetap setia kepada suami‟. Ramawijaya : „ Adinda Lesmana‟. Lesmana : „ Ada apa kakanda‟. c.
Bidal Empan papan
Bidal empan papan antara lain terdapat pada tuturan (RGPA.Gn.011S) Nadyanta commit to user sampun mundur adoh para rêksasa nanging bisa waétekane sawanci-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
226 wanci.Tuturan ini dapat membawa diri atau menyadari tempat kedudukan di dalam konstelasi masyarakat pengguna bahasa.
Sesuai dengan status sosial
peserta tutur yang lain, tuturan ini termasuk ke dalam empan papan karena Ramawijaya dapat membawakan diri dan menyadari pada saat para raksasa jauh mundur dari wilayahnya,tetapi suatu ketika mereka akan dapat kembali mendekati Ramawijaya. Hal ini dapat dikatakan sebagai empan papan karena dengan melihat kata nadyanta…nanging sawanci-wanci…menunjukan bahwa kata-kata itu memberikan makna sesuatu dengan keberadaannya yang disadari oleh Ramawijaya. Pembicaraan Ramawijaya terhadap Lesmana merupakan bidal kesopanan, khususnya empan papan Ramawijaya: Nadyanta pun mundur adoh para rêksasa nanging bisa waé têkané sawanci-wanci lan nyatané uga akèh para pandhita hajar wasi ingkang padha dadi kurban. (RGPA.Gn.011S) Lesmana : Nun inggih ngestokaken dhawuh paduka Ramawijaya : Lan sumurupa yayi sayektine waleh-waleh apa ingkang kudu tansah narbuka atinira Manawa sekabehing lelakon iki wus ditata dening kang gawe jagad. Kamulyan iku diparingake marang sujanma ingkang linuwih, kosok baline kasangsayan iku bakal diparingake marang wong kang tuna ing budi kang sarta nyelaki marang uripe. Terjemahan: Ramawijaya : „Walaupun para raksasa telah pergi jauh, tetapi mereka akan menyerang lagi bila ada kesempatandan kenyataan sudah banyak para pertapa yang menjadi korban‟. Lesmana : „Siap kakanda‟. Ramawijaya : „Harap diketahui dan dihayati bahwa kehidupan di dunia ini sudah diatur oleh Hyang Maha Kuasa. Kebahagiaan diberikan oleh orang yang bekerja keras dan berprestasi, sebaliknya malapetaka akan dialamai oleh orang yang melanggar norma dan hukum‟. d.
BidalAndhap asor Tuturan (RGPA.Gn.119M) Ngaturi kauningan bilih kula dinukan déning
kakangmbok Dewi Sinta ini disampaikan Lesmana kepada Ramawijaya yang intinya bahwa Lesmana
memohon
maaf atas kehadirannya menyusul
Ramawijaya tanpa Sinta. Karena Lesmana selalu saja mendapat marah dari Sinta commit harus to user meninggalkan Sinta sendirian di maka dengan sangat terpaksa Lesmana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
227 hutan.Padahal, Ramawijaya sudah berpesan agar tidak meninggalkan Sinta dalam kondisi sendiri. Andhap asor terletak dalam makna dinukan déning kakangmbok Dewi Sinta. Tuturan ini dikatakan sebagai andhap asor karena Lesmana merasa merendahkan diri di hadapan kakaknya, yakni Ramawijaya. Walaupun sebagai kakak dengan adik, Lesmana tetap merasa berjarak sosial lebih rendah bila dibandingkan Ramawijaya. Berikut tuturan yang mengandung bidal andhap asor. Lesmana
: Ngaturi kauningan Bilih kula dinukan déning kakangmbok Dewi Sinta. (RGPA.Gn 119M) Ramawijaya : Apa sababe? Lesmana : Wonten suwantenipun kakangmas Rama ingkang sambatsambat ngaruara kuthah ludira pinancal dening kidang. Kula sampun ngengetaken dhateng kakangmbok bilih menika sanes suwantenipun kakangmas, nanging jebul ageng pandakwanipun kakangmbok dhateng kula sinengguh kula tega dhateng sedanipun kakangmas dene kula boten purun sumusul. Eh….kakangmas kula tinarka menawi paduka prapteng pralaya kula badhe ngalap randha paduka kakangmas. Terjemahan: Lesmana : „Kakanda Ramawijaya, saya dimarahi kakanda Sinta‟. Ramawijaya : ‟Apa sebabnya‟. Lesmana : Terdengar suaranya kakanda Ramawijaya minta tolong karena kesakitan diserang oleh kijang. Sebetulnya saya memperingatkan bahwa suara itu bukan berasal dari Kakanda Ramawijaya, tetapi malah saya dituduh rela dan senang bila kakanda Rama meninggal karena tidak mau menusul ke hutan. Bilamana kakanda Rama meninggal saya dikira akan mengambil istri kakanda Sinta‟ D. Strategi Tindak Tutur dalam Catur (pocapan, janturan,dan ginêm) pada lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA Strategi tindak tutur dalam jagad pedalangan yang dilakukan oleh para dalang pada penyajian wayang kulit dilakukan dengan cara bermacam-macam, antara lain sasmita, mêdhang miring, nyampar pikolèh, sisip, sêmbir, dan sebagainya. Sasmita adalah tanda atau sinyal yang berupa wangsalan atau seloka, yaitu sindiran dalam bentuk sajak atau dengan satu perkataan saja, dan semacam teka-teki suku kata atau suku kalimat. Sasmita dalam pertunjukan wayang diucapkan dalang untuk meminta lagu atau gendhing kepada para pengrawit atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
228 musisi dalam adegan tertentu. Akan tetapi, perihal sasmita tidak akan dibicarakan dalam strategi tindak tutur dalam catur lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA. Penyampaian lakon menggunakan medium ganda, yaitu (1) bahasa, gerak, suara, dan rupa, serta(2) Salah satu medium yang sangat penting adalah bahasa pedalangan. Bahasa pedalangan digunakan untuk ginêm (dialog antartokoh), janturan(deskripsi keadaan), dan pocapan (deskripsi tokoh). Dengan demikian, bahasa pedalangan berfungsi (1) untuk menyampaikan pesan-pesan pakeliran yang berupa nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat; (2) untuk melukiskan sesuatu atau peristiwa yang tidak divisualkan; (3) untuk memberikan penekanan suatu peristiwa yang terjadi dalam pakeliran. Penyampaian pesanpesan atau tindak tutur yang bersifat ekspresif dan direktif menggunakan strategi atau cara agar pesan yang disajikan dapat efektif atau diterima oleh penonton atau penghayat.Hal ini dalam jagad pedalangan disebut medhang miring, nyampar pikolèh, dan méthok (Soetarno dkk, 2007:20). Tindak tutur yang terkait dengan permasalahan ini adalah tindak tutur ekspresif dan direktif yang disampaikan oleh dalang dengan melalui berbagai tuturan.(1) Mêdhang miring adalah pesan disampaikan dengan cara halus dan implisit dalam dialog tokoh. (2) Nyampar pikolèh adalah pesan disampaikan dengan cara Sindiran, tetapi tidak secara langsung. (3) Méthok adalah pesan disampaikan secara eksplisit atau mlaha. Sebagai contoh yang disampaikan dengan cara nyampar pikolèh pada lakon KTNS dalam adegan Basukarna dengan Dipayasa pada pathêt manyuraadalah sebagai berikut. Basukarna: ..Srana mênapa anggèn kula anêbus dosa. Begawan Dipayasa : Hé Karna, Karna, nggonmu kêpingin jaluk mênang among kêna tak upamakaké kaya sukêt aking, kang kêpingin sêmi ing mangsa ketiga. Ambali manèh nggonmu kêpingin mênang tak upamakaké candrané kaya sukêt aking, ingkang kêpingin sêmi ing mangsa kêtiga. Gêlêm ora gêlêm kowé kudu ngrasakaké aboting pênandhang. Jêr kabèh dumadi among ngundhuh wohing pênggawé ngrasuk wohing pakarti mbuh mêngko dadiné”. (KTNS.Gn.120M) Terjemahan: Basukarna : „Sarana apa yang dapat untuk menghilangkan dosa‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
229 Begawan Dipayasa : „Basukarna, keinginan kamu unggul dalam peperangan, saya umpamakan seperti rumput kering yang menghendaki bersemari pada musim kemarau. Saya ulangi seperti rumput kering yang mengehendaki berseri pada musim kemarau. Mau tidak mau kamu harus menanggung risikonya, Semua itu hanya akan memetik apa yang telah kamu lakukan, saya tidak tahu apa yang akan terjadi‟. Pesan yang disampaikan dalam dialog itu bahwa seorang pemimpin atau panglima tidak boleh sombong dan takabur, walaupun memiliki kemampuan, kesaktian dan kekuasaan. Adipati Basukarna ketika dinasihati oleh Begawan Dipayasa, ia merasa lebih pandai dan lebih sakti maka kurang memperhatikan apa yang dijelaskan, diajarkan dilecehkan olah Basukarna‟. Tindak tutur direktif yang disampaikan secara nyampar pikolèh antara lain terdapat dalam lakon KTNS (pathêt enem). Kedatangan Dursasana di Taman Kadilengeng membuat Banuwati tidak senang.
Dialog selengkap penuturya
adalah sebagai berikut. Banuwati : Bat-tobat, kowe ki jane satriya apa wong sudra? Dursasana : Nun, inggih ehheheh…Tirosipun tiyang kathah kalebet bojo kula kula menika satriya lho. Banuwati : Kênèng apa kok landhêp dhêngkul pamikirmu, hé? Kok landhêp dhengkul pamikirmu hé?. Kowé ora kalilan pêrang dikon bali mênyang Nêgara Ngastina kuwi dilulu dêning ingkang Sinuwun, lakok dadi sampéyan gêlêm. Kowé ngrêksa marang kayuwananku disamaraké nggon apa?. Aku duwé pêngira yènta nggonmu kaya mêngkono mau sêbab saka karêbmu dhéwé.Pancèn kowé satriya kang jirih ing nggêtih, wêdi mati dumadakan ana dhadhakan dilulu déning sêdulur tuwa, kowé nékad waéya. Terjemahan: Banuwati : „Kamu itu seoang kesatriya atau orang sudra‟. Dursasana : „Hiya, menurut orang banyak termasuk istriku, bahwa saya ini seorang kesatriya‟. Banuwati : „Mengapa pikiranmu sangat bodoh, kamu tidak diperbolehkan maju perang dan diminta kembali ke Astina, Anda dipermalukan oleh Sinuwun mengapa kamu menuruti kehendaknya. Anda diminta menjaga saya di istana, apa yang dicurigakan. Saya punya pikiran bahwa yang Anda lakukan karena kehendakmu sendiri, memang Anda seorang ksatria penakut, takutcommit akan mati, to userdan diperintah yang tidak wajar Anda melaksanakannya‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
230
Pesan yang disampaikan dalam tuturan Banuwati terhadap Dursasana bahwa sebagai seorang ksatria seharusnya berjiwa pejuang, tidak penakut atau wêdi, nggêtih, harus
tampil ke depan membela rajanya tanpa serep, dan
menunjukkan loyalitasnya yang dalam terhadap rajanya. Apa yang disampaikan Banuwati kepada Dursasana memberikan pesan bahwa negara yang sedang dilanda peperangan memerlukan pemimpin yang harus ikut berjuang tampil kedepan, tidak bersembunyi di belakang, harus memberikan teladan kepada prajurit, dan jangan menjadi pahlawan yang kesiangan. Demikian pula yang disampaikan dengan cara nyampar pikolèh, terdapat pada adegan Basukarna dengan Surtikanthi dalam lakon KTNS sebagai berkut. Basukarna : Yayi garwanipun kakang, Surtikanthi, Surtikanthi Surtikanthi : Nuwun wonten pengendika ingkang adhawuh kanjeng sinuwun Basukarna: Swarga nêrakaning wong lanang, swarga nêrakaning kakung, swarga nêrakaning priya, mau ukurané yèn pinuju sapatêmon kaya kaya kang lagi disandhang iki. Ana sawijining kakung, kang têkané kusung-kusung awit saka kêsurung rasa wuyung, temahan bingung, ora kendhat tumalawung èngêt marang kang cahyané angênguwung. Jagad iki ora gênêp loro kajaba among citrané si adhi yaitu Dewi Surtikanthi. ...(BNPA.Gn.057) Terjemahan: Basukarna : „Adinda Surtikanti‟. Surtikanti : „Ada perintah apa sang raja‟. Basukarna:„Kebahagiaan serta kesengsaraan orang laki-laki itu, ukurannya bilamana sedang bertemu dengan istri seperti sekarang ini. Ada seorang laki-laki yang segera pulang ke rumah karena ingat kepada istrinya yang setia dan menawan. Di dunia itu tidak duanya orang yang menjadi jantung hati kecuali Surtikanthi‟. Dialog di atas tokoh Basukarna sangat bangga dan bahagia dapat bertemu dengan Surtikanthiwalaupun dalam suasana yang sangat genting karena mendapat tugas sebagai panglima perang; memuja istrinya yang setia, tetapi juga menyindir bahwa ia kecewa ketika datang di rumah tidak disambut oleh istrinya. Dengan demikian, pesan yang disampaikan dalam tuturan tokoh Basukarna adalah kesetiaan seorang istri kepada suami. Demikian pula sebaliknya, kecintaan suami terhadap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
231 istri atau dengan kata lain bahwa dalam membangun rumah tangga hendaknya selalu diupayakan adanya keselarasan. Istri atau garwa dalam budaya Jawa adalah sigaraning nyawa. Artinya, masalah yang dihadapi dalam rumah tangga Arjuna dipecahkan secara bersama-sama (antara suami dan istri). Tindak tutur direktif yang disampaikan dengan cara nyampar pikolèh dapat dicermati pada dialog. Adegan yang lain dalam lakon KTNS dapat ditemui tuturan yang disampaikan secara nyampar pikoleh, khususnya dalam dialog Duryudana dengan Raja Salya pada pathêt manyura sebagai berikut. Duryudana :Wontên ing Baratayuda mênika tumrap Ramawijaya prabu Sintatên ingkang lêpat.” Salya : Wontên ing kula dèrèng sagêd ananggapi mênapa pandangon paduka anggèr. Jalaran mênawi kula mangké nglêpatakên salah satunggaling wêwêngkon pénakan kula, kula dipun anggêp mangrotingal. Amargi sêtahun kêpêngkêr kalêbêt ing palênggahan mênika, ing mriki wontên salah satungguling priyagung ingkang wani nuding, ingkang wani nuding pucuking drijinipun nyakêti ing grana kula. Kula dipun anggêp satunggaling tiyang kados déné sawêr ingkang ndhas loro, rana nyakot, réné nyathèk. Margi saking mênika pandangon paduka anggèr prayogi dèrèng kula tanggapi kêmawon. (KTNS.GN.148M) Terjemahan: Duryudana : „Dalam Perang Baratayuda, menurut Raja Salya siapa yang salah.‟ Salya
: „Saya belum bisa menjawab apa yang ditanyakan raja. Sebab bilamana saya menyalahkan salah satu dari kedua belah pihak (Pandawa atau Korawa), nanti saya disebut sebagai orang yang ambivalensi. Setahun yang lalu, juga sekarang ini ada seorang senopati yang menuduh saya seperti ular yang berkepala dua, kesana menggigit, dan kesini menjilat. Untuk itu pertanyaan ananda belum dapat dijawab‟.
Pembicaraan kedua raja itu, terutama Raja Salya yang memberikan sindiran kepada menantunya yakni Basukarna, mengungkapkan bahwa Raja Salya lebih condong kepada Pandawa. Pesan yang disampaikan dalam dialog kedua tokoh itu adalah seseorang harus memahami etika atau udanêgara, baik dalam pergaulan di tempat yang resmi maupun di tengah masyarakat. Demikian pula bahwa seseorang commit to user harus dapat menhargai kepada orang yang lebih tua, menghargai orang pandai,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
232 dan menghargai mertua. Masalah budaya Jawa seperti yang tertulis dalam karya sastra Wedhatama karya Mangkunegara IV berisi bahwa orang Arjuna menghormat atau memahami gangsal Sembah (lima yang dihormati), yakni (1) sêmbah kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Sembah kepada guru, (3) sêmbah kepada ayah dan ibu, (4) sêmbah kepada mertua, dan (5) Sembah kepada saudara tertua. Tuturan direktif yang disampaikan secara nyampar pikolèh juga dapat dicermati pada adegan perang Werkudara dengan Dursasana menjelang pathêt sanga sebagai berikut. Werkudara: Aja kakéhan sumbar aku ra péngin kakehan gunêm, yèn pêrlu pêrang ayo pêrang. Dursasana:... aku têka mréné kêpingin pêrang karo kowé, aja kêpliya tandhing kajaba karo kowé. Ora kok jênêng gêgabah yèn mung lamak.... Lakumu langak-langak, mripatmu mamak, pakartimu ngampyak-ampyak sedhela-sedhela nepak-nepak, ayo sawangên tutukku ngêmut kêris, tanganku kiwa nyêkêl candrasa, tanganku têngên nyêkêl gada, gêgêrku tak sêngkêliti wadung. Ing ngarêp kéné ana luwuk minangka gaman mêngko kowé bakalé ajur kumur-kumur sumyur dadi sawalang-walang, hêm. Terjemahan: Werkudara : „Jangan banyak bicara, bila ingin berkelahi saya akan melayani‟. Dursasana : „...Saya datang kemari ingin berkelahi dengan kamu, tidak berarti saya merendahkan orang lain. ... Cara berjalanmu selalu menengadah, matanya melotot, dan perilakumu tidak sopan, coba lihat mulut saya ada kerisnya, tangan saya membawa senjata, dan bau saya ada senjata juga, dan di depan ada tumbak untuk membunuhmu sehingga badanmu akan hancur‟. Dialog Dursasana kepada Werkudara memberikan makna bahwa sikap seseorang yang sombong, congkak, takabur, dan tidak mempunyai kemanusiaan tentu hidup penuturya akan sia-sia. Hal itu dialami oleh Dursasana yang congkak, sombong, serta merendahkan Pandawa pada akhirnya mati dirobek-robek oleh Werkudara. Tindak tutur direktif yang disampaikan dengan cara medhang miring antara lain dapat dicermati pada dialog tokoh Basukarna dengan Begawan Dipayasa dalam pathêt manyura pada lakon KTNSsebagai berikut. commit to user Basukarna: “La, kula nuwun sèwu, nyuwun pangapunten.”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
233 Begawan Dipayasa: “Kridhaning ati ora bisa mbêdhah kuthaning pasti, budi dayaning manungsa ora kuwawa ngungkuli garising kawasa. Nadyan sira sêkti jayèng palugon, nanging bakal dadi ringkih sabab nggonmu nyèpèlèkaké marang wêlinging gurumu. Nadyan sira darbé japa mantra kang sak kranjang gambir tumpuk undhung, nanging bakal wor suh nggonmu amatèk japa mantra, sabab sira luput nggonmu ora migatèkaké marang wêling-wêlinge gurumu. Aja ta mung gaman sawiji, sira nggawaa nadyan gaman sewu nanging bakalé madal sumbi, ora ana gunané apa-apa, kapara sira bakal nandhang kêwirangan, sabab lali marang sumbêring kaprawiranmu”. (KTNS.Gn.128M) Terjemahan: Basukarna : „‟Ya Sang Begawan minta maaf‟. Begawan Dipayasa : „Takdir Tuhan tidak bisa dicegah dengan apapun. Walaupun Anda sakti dan hebat dalam olah perang, tetapi akan lemah tidak berdaya oleh karena tidak menghiraukan nasihat gurumu. Demikian pula walaupun Anda memiliki mantram yang kuat, tetapi tidak akan efektif sebab melecehkan gurumu. Anda walaupun membawa senjata yang hebat dan banyak tidak ada gunanya, dan akan dipermalukan musuh oleh karena lupa akan asal-usul dimana Anda mendapat kesaktian/ilmu pengetahuan atau lupa almamaternya‟. Pesan yang disampaikan dalam adegan itu adalah seseorang tidak boleh sombong dan congkak walaupun memiliki kemampuan, kesaktian, kekuasaan, menguasai ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dalam budaya Jawa, watak seorang pemimpin harus menghindari sifat: “adigang, adigung dan adiguna”. Artinya, seorang pemimpin atau seseorang tidak boleh mengandalkan kekuasaan (adigang), mengandalkan kekuatan (adigung), dan mengandalkan kepandaian (adiguna). Untuk itu, kearifan lokal yang sering disampaikan dalam budaya Jawa adalah orang yang memiliki kedudukan dan ilmu yang tinggi seyogyanya menerapkan ilmu padi, yakni makin tua makin merunduk, dan rendah hati atau istilah dalam bahasa Jawa “dhuwur ora ngungkul-ngungkuli, êndhèk datan kêna kaungkulan, atau lembut tan kena jinumput, agal tan kêna cinêkêl” („tinggi tidak melebihi, dan rendah tidak bisa dilebihi, atau lembut tidak bisa diambil, keras tapi tidak bisa dipegang‟).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
234 Tindak tutur direktif yang disampaikan secara mêdhang miring dapat ditemukan dalam dialog Werkudara dengan Dewaruci pada lakon DRNS padapathêt manyura sebagai berikut. Werkudara: “Mara gagê bocah bajang, kowé ngakua, kowé ijèn dolan ana kéné, sapa kang ngêtêrake lan généa ora kasangsaya dèning polahing para mina samodra kang padha ngêlak angagak-agak kêpingin ngombé gêtihing manungsa. Kowé sapa? Dewaruci: “Werkudara, Werkudara. Sira aja gumampang lunga yèn Durung ngawruhi papan kang bakal tok jujug. Aja gampang memangan yèn datan ngawruhi rasa paédahé kang dipangan. Aja pisan nganggo-anggo yèn ta datan ngawruhi carané wong ngrasuk busana. Ngibaraté ing nguni ana jêjugul saka wukir, nggoné lunga marang praja kêpingin tuku kêncana. Njujug ing kêmasan, mung diwènèhi dluwang kuning dianggêp sawijining kêncana mulya. Mula kulinakna mahas ing angasum, nggatèkna marang ngèlmu rèwès kang sarta tuwajuha marang panêmbah. Kawruhana Werkudara, Ulun iki déwataning kabahagyan, bêbisik ulun sang Hyang Bathara Dewaruci, ya Sang Marbudéngrat”.(KTNS.Gn.423M) Terjemahan: Werkudara :„Anak kecil siapa namamu, mengakulah, Kamu sendiri bermain di sini siapa yang mengantarkan, dan mengapa tidak disentuh oleh ikan yang mencari makan dan akan minum darah manusia. Siapa kamu?‟ Dewaruci : „Werkudara,Anda jangan bepergian bilamana belum tahu yang akan dituju. Jangan makan sebelum mengerti faedah makanan untuk badan, dan jangan memakai busana sebelum mengerti caranya berbusana. Dahulu ada seorang yang bertempat tinggal di pegunungan, pergi ke kota untuk membeli emas, ia datang di tempat pembuat emas dan diberi kertas yang berwarna kuning dianggap sebagai emas. Untuk itu, Anda berlatih untuk meditasi, memahami ilmu serta beribadah. Ketahuilah Werkudara, bahwa saya adalah Hyang Batara Dewaruci dewanya kebahagiaan, juga nama saya Sang Marbudengrat‟. Dewaruci sadar bahwa yang dihadapi adalah Sang Marbudiningrat atau Dewaruciyang selanjutnya mendapat wejangan dari Dewaruci dan setelah menangkap semua ajaran yang diberikan maka Werkudara tahu purwaning dumadi (akan mula asal yang jadi ini) dan sadar akan manunggalnya Kawula Gusti. Perihal keadaanmanunggal atau menyatu, Werkudara mendapat pengetahuann dari Sang commit to usermutlak, kawruh sangkan paraning Guru Sejati (Dewaruci), yaitu pengetahuan yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
235 dumadi (pengetahuan asal dan hidup manusia). Penjelasan yang diterimanya mengenai ilmu pelepasan, yaitu ilmu tentang lepasnya suksma dan raga,serta mengenai pedoman hidup untuk orang yang ingin memiliki perilaku yang baik agar dapat manunggal dengan Tuhannya, yaitu mati sajroning urip (mati dalam hidup dan hidup dalam mati). Bilamana manusia dapat mematikan segala nafsunya maka dapat bersatu dengan Tuhan dan terjadilah manunggaling kawula Gusti atau unio mystica. Dalam peristiwa ini, Dewaruci telah sampai pada kesempurnaan hidup atau mengetahui sangkanparaning dumadi asal dan tujuan hidup. Tindak tutur direktif yang disampaikan dengan cara mêdhang miring juga dapat dicermati dalam dialog Barata dengan Ramawijaya pada lakon RGPA pathêt manyura berikut ini. Barata:Kula wontên dhawuh. Ramawijaya: Manungsa urip iki kudu bisa nguwasani kamardikaning lahir lan uga kamardikaning batin. Wêrdine bisa nyukupi apa kang dadi butuhing urip saka wêtuning kringêt wohing panIndrajitak. Déné kamardikaning batin, cak-cakaning panindhak kudu nyingkiri hawa nafsu darangkara tan nistha lahir batin trus utama , duwé rasa mèlik lan drêngki, mung tuhu marang paugêraning urip bêbrayan kurawangsa sak nêgara anggêpên rêngkuhên kaya déné pribadi. Sinaua marang alam jagad iki awèh pituduh kawêningan lan gancaraning panindhak. ....(RGPA.Gn.043S) Terjemahan: Barata :„Kanda, ada perintah apa‟. Ramawijaya : „Manusia hidup harus dapat mengendalikan diri, artinya dapat mencukupi kebutuhan hidup dari kerja keras, sedangkan kebutuhan rohani dapat mengengkang nafsu jahat dan irihati, serta selalu taqwa kepada Yang Maha Kuasa. Adinda supaya belajar dari alam, yang memberikan petunjuk terhadap perilaku yang baik seperti, sifat matahari, bulan, tanah, angin, air, api, bintang dan awan yang disebut asthabrata. Maka delepan sifat alam itu dapat dijadikan dasar untuk bertindak. Maka Adinda harus mempunyai pendirian yang kuat jangan ragu-ragu dalam memimpin Negara agar dapat tentram Negara Ayodya‟. Tindak tutur direktif secara mêdhang miring dapat dicermati pada dialog Kresna
dengan Werkudara
lakon KTNS di bagian pathêt manyura sebagai
berikut ini. commit Werkudara: Jlithêng kakangku apa. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
236 Kresna
: Ayo yayi, padha sêsanti sura sudira jayanikang rat, swuh brasta têkaping ulah darmastuti. Sêpisan mêrdika, têtêp mêrdika, nir ing sambékala tansah condhong rasané. (KTNS.Gn.271M) Terjemahan: Werkudara :„Kakang Kresna ada apa‟. Kresna :„Mari Adinda mengucapkan puji sokur bahwa, Semua kejahatan akan hancur oleh hati yang suci dan budipekerti yang luhur. Sekali merdeka tetap merdeka, tidak ada halangan suatu apaPuntadewa selalu bersama dalam rasa‟. Ungkapan Sura sudira jayanikang rat berarti „kejahatan akan hancur oleh kebaikan‟. Ungkapan ini sangat terkenal dalam budaya Jawa. Ungkapan atau kearifan lokal itu tidak jarang digunakan sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Jawa, pendukung budaya Jawa yang mempunyai makna bahwa kejahatan atau angkaramurka akan hancur oleh kebaikan atau budi pekerti yang luhur. Dalam bahasa yang sederhana dikatakan bahwa “wong salah bakal seleh”. Artinya, orang yang korup atau jahat akan ketahuan juga dan akan menerima hukuman. Sajian dalam lakon KTNS dan DRNSbanyak digunakan tuturan direktif maupun ekspresif dengan cara medhang miring maupun nyampar pikolèh. Mengapa demikian?
Ada beberapa faktor, yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal timbul karena Nartasabda seorang dalang yang sangat mumpunidalam bahasa pedalangan dan sastra pedalangan. Ketika berusia muda, ia berguru dengan cara nyantrik kepada dalang terkenal, yakni Ki Pujasumarta dari Kuwasa Klaten Pujasumarta. Sajian wayang kulit lakon BNPA dan RGPA mengandung tindak tutur ekspresif dan direktif disampaikan dengan cara mêdhang miring dan nyampar pakolèh yang sangat terbatas dan tidak banyak. Hal itu disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Dari faktor internal, dalang Purbo Asmoro adalah dalang yang dibesarkan di lingkungan perguruan tinggi seni. Sementara itu, isi pakeliran adalah pesan yang berupa nilai-nilai dan merupakan esensi lakon yang ditampilkan. Pakeliran BNPA dan RGPA mengutamakan isi, antara lain membuang adegan-adegan yang tidak perlu atau adegan ulangan seperti dalam adegan pakeliran semalam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
237 Demikan pula dialog yang klise dalam setiap adegan juga dihilangkan. Faktor eksternal antara lain pada era tenarnya Purbo Asmoro. Bahkan, penonton kurang akrab dan kurang memahami bahasa kawi yang digunakan pada jagad pedalangan. Menyikapi kemauan penonton, para dalang saat ini termasuk Purbo Asmoro sering menggunakan bahasa sehari-hari dalam pakeliran walaupununtuk tokoh raja atau tokoh yang mempunyai derajat tinggi. Hal ini dimaksudkan agar pesan yang disampaikan dapat komunikatif dengan penonton dewasa ini. Lakon BNPA dan RGPAsangat minim pesan yang disampaikan secara medhang miring dan nyampar pikoleh sangat terbatas. E. Implikatur Sub-subTindak Tutur Ekspresif dan Direktif Implikatur sub-subtindak tutur ekspresif dan direktif dalam lakon KTNS dalam pathet sanga terdapat pada tuturan berikut. Basukarna : Yayi garwanipun kakang Surtikanthi. (KTNS.Gn.056S) Surtikanthiti :Nuwun wontên pangandika ingang adhawuh kanjeng Sinuwun.. . (KTNS.Gn.057S) Basukarna : Swarga nêrakaning wong lanang, swarga nêrakaning wong kakung, mau ukurané yèn pinuju sapatêmon kaya kang lagi disandhang iki. (KTNS.Gn.058S) Terjemahan: Basukarna: „Adinda Surtikanthi istri saya‟. Surtikanti : „Hiya kakanda ada perintah apa‟ Basukarna :‘Kebahagiaan orang laki-laki itu bilamana dapat bertemu berdua seperti yang dialami ini‟. Implikatur tuturan di atas mengisyaratkan bahwa kebahagiaan rumah tangga seseorang terwujud bilamana segala permasalahan yang dihadapi dapat dipecahkan secara bersama antara suami dan istri. Kebahagiaan dalam suatu rumah tangga dinikmati bersama, tetapi permasalahan hidup juga harus dipecahkan antara suami dan istri. Dalam budaya Jawa, kehidupan yang baik harus memiliki garwa, wisma, turangga, kukila, waranggana, pradangga, dan curiga. Pengertian garwa secara harafiah adalah istri, tetapi yang dimaksud garwa adalah seseorang dalam menjalankan kehidupan
rumah tangga.
Problematika hidup yang dihadapi harus dipecahkan dan dipikul secara bersama commit to sepihak. user antara suami dan istri dan tidak diputuskan Wisma secaraharafiah berarti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
238 rumah, tetapi yang dimaksudkan adalah orang hidup harus dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
Turangga berarti bahwa orang hidup harus
mengendalikan nafsu-nafsu jahat.
dapat
Kukila berarti segala perkataan harus
menyejukkan orang lain. Waranggana berarti godaan wanita lain dalam rumah tangga yang harus dihindari. Curiga berarti bahwa orang hidup harus cerdas dan pandai. Sub-sub TTE dan TTD
dalam pathet manyura pada lakon KTNS
mengandung tuturan antara lain sebagai berikut. Dipayasa : Karna, Karna. Basukarna: Lha, kula nuwun sèwu, nyuwun panganpunten wontên dhawuh? Dipayasa : Kridhaning ati ora bisa bêdhah kuthaning pasti, budi dayaningmanungsa ora kuwawa ngungkuli gariSing kawasa. Terjemahan: Dipayasa : „ Karna, Karna‟. Basukarna :„Minta maaf ada sesuatu yang diperintahkan‟. Dipayasa : ‘Segala usaha manusia tidak bisa mengubah kodrat, dan upaya manusia untuk mengubah hidup tidak dapat melebihi kekuasaan Allah‟. Tuturan di atas mengandung makna bahwa nasib manusia di dunia ini telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Segala upaya manusia untuk mengubah kodrat akan sia-sia karena kekuasaan Tuhan tidak ada taranya dan manusia harus
tunduk serta
menyerahkan
diri kepada kekuasaan Illahi.
Demikian pula, kematian pasti dialami oleh semua manusia serta tidak dapat dicegah dengan apapun. Tuturan berikutnya adalah dialog Raja Duryudana dengan Salya dalam pathet manyura. Duryudana: Kula pitados bilih paduka Ramawijaya Prabu satungguling naréndraingkang déwasa samukawis. (KTNS.Gn.0149M) Salya : O ngatên. Margi saking mênika mbok inggiha anggèr kaparêngan nêtêpi lampahing dwiguna, mumpung maksih gêsang keparênga nanêm karahayon, nyêbar kabahagyan, handhudhah katêntrêman. Terjemahan: Duryudana : „Saya percaya ayahnda seorang commit to user raja yang banyak pengalaman‟.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
239 Salya: „O, begitu. Untuk itu saya minta melaksanakan kewajiban yang mulia sembari masih hidup di dunia yaitu, menanam kebaikan, memberikan bantuan kepada orang lain, dan selalu memberikan pencerahan terhadap sesama manusia‟ Implikatur tuturan di atas mengisyaratkan bahwa ketika manusia masih hidup di dunia hendaknya selalu berbuat baik terhadap sesamanya, membagikan kebahagiaan kepada orang lain, dan selalu mengusahakan setiap perkataan menyejukan hati orang lain dalam situasi apapun. Implikatur Sub-sub tindak tutur ekspresif dan direktif pada lakon Dewaruci dapat disimak dalam dialog Arjuna dengan Kamajaya adegan pathet sanga sebagai berikut. Kamajaya : Arjuna. Arjuna : Kula pukulun, wontên pêngêndika ingkang adhawuh. Kamajaya : Kiraku tanpa guna yèn ta si adhi andhêdhêr rasa sumêlang, mrihatinaké kadangmu wêrdha kulup Wêrkudara nggoné anggung cinakêt ing Pandhita Durna. Jêr kawruhana kulup, Pandhawa kang Sintaêbut hantiga sapêtarangan, pêcah siji kabèh béla, mukti siji kabèh angrasakaké. Terjemahan: Kamajaya : „Arjuna‟. Arjuna :„Ya Pukulun ada perintah apa‟. (DRNS.Gn.304) Kamajaya :„Tidak ada gunanya bila Adinda khawatir dan sedih memikirkan Werkudara yang dekat dengan Pandita Durna. Harap diketahui Pandawa yang disebut telur satu tempat, Bilamana pecah satu yang lain juga ikut pecah, dan bahagia satu semua ikut merasakan‟. Implikatur tuturan di atas adalah kehidupan masyarakat yang menganut budaya Jawa memiliki sistem kekeluargaan atau organisasi yang diberlakukan atas kesepakatan bahwa kebahagiaan ataupun kesedihan seseorang anggota akan dirasakan oleh anggota yang lain. Diungkapkan dalam budaya Jawa bahwa “tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh”. Demikian pula, implikatur sub-sub tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pathet manyura lakon DRNS dapat disimak pada dialog Dewi Kunthi dengan Werkudara berikut. Werkudara: Yoh Ibu biyèn nalika aku isih bocah tau dikudang kêpriyé? (DRNS. Gn. 253) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
240 Dewi Kunti : Kudanganépun Ibu, déwasamu dadiya satriya kang duwé watak bawa lêksana, liré nêtêpi janji, yen iya ya iya, yèn ora ya ora. Terjemahan: Werkudara : ‘Ibu ketika saya masih kecil diharapkan jadi orang apa?‟ Dewi Kunthi : „Harapan Ibu besok bila sudah dewasa menjadi orang yang memiliki sifat senang memberikan pertolongan kepada orang lain yang sedang memerlukan bantuan, dan melaksanakan apa yang diucapkan, bila iya dilakukan, bila tidak setuju ditolak‟. Implikatur tuturan di atas adalah manusia hendaknya memiliki sifat yang utama atau selalu mengutamakan tindakan yang utama serta senang memberikan pertolongan
kepada
orang
lain
yang
sedang
kekurangan,
bersedih,
maupunsengsara. Di samping itu, seseorang selalu menaati dan melaksanakan apa yang telah diucapkan serta memiliki pendirian yang tegas, tidak ambivalensi pikirannya. Dalam budaya Jawa dijelaskan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki sifat “ambek parama arta,berbudi bawa leksana anetepi pangandika”. Artinya, seorang pemimpin yang baik harus memahami kebutuhan rakyatnya, jujur, adil, merakyat, serta apa yang diucapkan harus
diwujudkan. Dialog
Dewaruci dengan Werkudara pada adegan pathet manyura mengandung TTD antara lain sebagai berikut. Werkudara :Aku gumun tanpa upama. Rumangsaku kaya wus ngancik jaman pati, babar pisan aku ora ngrasa urip, jêbul ndak kêkisik saranduning badanku nganti têkan dlamakan sikil isih krasa yèn ta ngambah bumi. Sirna pêpalanging samodra wujuding naga ingkang anyaut pupuku, ora kanthi ndak nyana-nyana aku kêtangsang ana pulo cilik kang rêrêngganing sarwa éndah. Akèh thêthukulan nèng kéné kang wohé pating bêndhoyot, kabèh dumadi sarana cahya, parandéné pêpadhang mau isih kalah kêkuwungé kalawanpêpadhang kang angiringi lakuning bocah bajang. Mara gagé bocah bajang, kowé ngakua, kowé ijèn dolan nèng kéné, sapa kang ngêtêraké lan généa ora kasangsaya déning polahing para mina samodra kang padha ngêlak angagak-agak kêpingin ngombé gêtihing manungsa. Kowé kuwi sapa? Dewaruci ; Wêrkudara, Wêrkudara! Sira aja gumampang lunga yèn durung ngawruhi papan kang bakal tok jujug. Aja gampang mêmangan yèn datan ngawruhi rasa paédahé kang dipangan. Aja pisan nganggoanggo yèn ta datan ngawruhi carané wong ngrasuk busana. commit to usersaka wukir. Nggoné lunga marang Ngibaraté ing nguni ana jêjugul
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
241 praja kêpingin tuku kêncana. Njujug ing kêmasan, mung diwènèhi dluwang kuning dianggêp sawijining kêncana mulya. Mula kulinakna mahas ing asamun, nggatèkna marang èlmu rèwès kang sarta tuwajuha marang panêmbah! Kawruhana Dara! Ulun iki déwataning kabahagyan. Bêbisik ulun sang Ywang Bathara Déwa Ruci, ya sang Marbudèngrat.(DRNS.Gn.423) Terjemahan: Werkudara : „Saya pikir sudah menginjak di alam baka dan saya heran sekali. Kakiku ternyata menyentuh bumi dan tiba di pulau kecil ini setelah berkelahi dengan naga yang menyerang saya. Disini banyak tanaman yang indah tetapi lebih indah ada seorang anak kecil memancarkan sinarnya. Kamu siapa anak kecil berada disini dan siapa yang mengantarkan kamu, dan tidak takut oleh ikan yang akan memakan darahnya manusia. Siapakah namamu?‟. Dewaruci : „Werkudara,Anda jangan bepergian bilamana belum tahu yang akan dituju. Jangan makan sebelum mengerti faedah makanan untuk badan, dan jangan memakai busana sebelum mengerti caranya berbusana. Dahulu ada seorang yang bertempat tinggal di pegunungan, pergi ke kota untuk membeli emas, ia datang di tempat pembuat emas dan diberi kertas yang berwarna kuning dianggap sebagai emas. Untuk itu,Anda berlatih untuk meditasi, memahami ilmu serta beribadah. Ketahuilah Werkudara, bahwa saya adalah Hyang Batara Dewaruci dewanya kebahagiaan, juga nama saya Sang Marbudengrat‟. . Implikatur tuturan di atas adalah dalam kehidupan di masyarakat, orang tidak boleh cepat bertindak sebelum mengetahui duduk perkaranya. Demikian pula, segala sesuatu yang akan diucapkan harus dipikirkan terlebih dahulu agar tidak menyesal dikemudian harus. Di samping itu, orang hendaknya tidak mudah terkejut terhadap peristiwa serta tidak cepat heran dengan apa yang dilihat dan jangan menyombongkan diri. Hal itu dalam budaya Jawa diungkapkan dengan ”aja gumunan, aja kagetan, lan aja dumeh”. Sub-sub
tindak tutur ekspresif dan direktif dapat dicermati pula pada
dialog Ramawijaya dengan Barata pada lakon RGPA dalam pathet sanga berikut ini. Ramawijaya : Adhiku dhi adhiku nistha nisthaning patrap tumrap menungsa iku lamunta lincat saka janji kesaguhane. Rehne nyatane pun kakang wus ngucap sineksen dening jagad lamun ta pun kakang tuhu setya ngluhurake janjine kanjeng rama prabu ingkang wus kawijil marang keng ibu commit to user Dewi Kekayi kang iku dhimas babar pisan pun kakang ora
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
242
Barata
bakal bisa nuruti kang dadi pamintanira, tetepa sira bali menyang Negara Ayodyapala, lungguhana dhampar keprabon, siadhi pantes minangka suh jejeging para kawula lan dadi pepayunge para dasih (RGPA.Gn.034). : Dhuh kakangmas kula suwun kanthi sanget mbok inggiha wonten lilaning penggalih paduka. Menawi paduka kakangmas boten kepareng nampi atur kula taunana windonana kula boten badhe wangsul nadyanta paduka manjing dhateng lak-lakaning nagara kula tetep badhe umiring paduka ngantos sak pejah kula kakangmas.
Terjemahan: Ramawijaya : „Adinda harap diketahui bahwa orang yang ingkar janji itu adalah orang yang hina. Saya sudah menyanggupi pergi dari istana, serta menghormati janjinya Ayah Dasarata terhadap Ibu Kekayi. Adinda harus kembali ke Ayodya sebagai raja duduk di Singgahsana‟. Barata : ‘Kakanda saya mohon dengan hormat dengan kerelaannya. Andaikata kakanda tidak mengizinkan entah berapa lamanya saya akan tetap kembali walaupun demikian saya tetap akan menurut sampai akhir hayat‟. Implikatur tuturan di atas adalah orang hidup harus menetapi janji yang telah diucapkan dan orang yang ingkar janji termasuk orang yang hina di mata masyarakat. Budaya Jawa dalam ebuah ungkapan menyatakan “sabda pandhitapengendika ratu datan wola-wali”. Artinya, apa yang diucapkan seseorang atau pemimpin hendaknya Arjuna ditepati dan tidak boleh mencla-mencle (plin-plan) atau “esuk dhele, sore tempe”. Artinya, ucapannya tidak bisa dipercaya. Implikatur dialog Barata mengandung pemahaman bahwa orang walaupun tinggi derajatnya dan pandai, tetapi selalu rendah hati, andhap asor tidak congkak dan takabur. Barata yang menolak menjadi raja mengandung pemahaman bahwa kedudukan atau jabatan yang diperoleh seseorang jangan sampai
dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji atau menghasut dan
memfitnah orang lain. Selanjutnya, dialog Ramawijaya terhadap Barata dalam pathet sanga dapat dicermati di bawah ini. Ramawijaya:Yayi yêktine aboté kaya wong nyangga bumi jêjêring jiwa satriya ngêmbat praja. Nanging gêgaran rasa panarima iku yêkti bathi. Si Adhi bakal ngundhuh ayêm têntrêm amarga tumindakmu tansah kapêrcayan marang kang commit linambaran to user akarya jagad. Manungsa urip iku kudu bisa nguwasani
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
243
Barata
kamardikaning lahir lan uga kamardikaning batin. (RGPA.Gn.043) ; Dhuh kakangmas jimat pepundhen kula. Bekti kula sungkem kula konjuk paduka sasat makutha paduka trumpah paduka wiwit saking ngarsa paduka dumugi ing negari Ayodya badhe kula sunggi. Kakangmbok ayu Sinta kula nyuwun pamit. Kula nyuwun pangayoman. Dhuh kakangmas mugi ingkang sedya hayu tansah manggih rahayu.
Terjemahan: Ramawijaya :„Orang yang memimpin kerajaan sangat berat seperti menyangga bumi, tetapi bekal sikap “nrima” menerima apa adanya sangat berguna. Menyerahkan diri kepada Yang Mahakuasa akan membuat orang tentram. Demikian pula, orang hidup dapat mengendalikan diri dan mengendalikan nafsu-nafsu‟. Barata : „Kakanda yang terhormat salam dan hormat saya untuk kakanda yang tercinta, mahkota, dan sepatu kakanda mulai dari hadapan kakanda sampai di kerajaan Ayodya akan saya bawa di atas kepala. Kakanda Sinta saya minta pamit dan mohon doa restunya semoga selamat‟. Implikatur tuturan di atas memberikan pemahaman bahwa manusia yang mendapat tugas mengatur negara hendaknya bertanggung jawab dengan tugasnya serta bertanggung jawab terhadap
apa yang dikerjakan. Dalam pelaksanaan
tugas,Arjuna dilandasi sikap nrima.Artinya, tidak serakah, selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mengendalikan diri, serta mematikan nafsu-nafsu yang selalu menggoda dalam pelaksanaan tugas.
Orang yang
memikul tanggung jawab besar dalam budaya Jawa hendaknya dilandasi sikap “sumèlèh, sumuyud, dan sumarah”. Sumèlèh berarti bahwa dalam memutuskan masalah dan mengambil kebijakan dilandasi pemikiran yang matang, cermat, dan nalar. Sumuyudberarti bahwa apa yang diputuskan dan dikerjakan hendaknya untuk kepentingan rakyat banyak dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumarahberarti bahwa segala apa yang dilakukan dan dicita-citakan selalu dilandasi dengan doa kepada Illahi dan penyerahan diri kepada-Nya. Manusia berusaha untuk mencapai cita-citanya, tetapi semua akan ditentukan oleh Tuhan Yang Mahatinggi maka manusia harus menyerahkan diri atau sumarah kepada Allah SWT. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
244 Sub-sub tindak tutur ekspresif dan direktif dalam pathet manyura pada lakon RGPAdialog Sinta dengan Ramawijaya dapat dicermati sebagai berikut. Sinta
: Mênawi garwa paduka pun Rékyan Sinta sagêd anggadhai ingoningon kidang kêncana menika. Pangéran mbok inggiha wontên suka lilaning pênggalih kêparênga nyêpêng kidang mênika.(RGPA.Gn.076) Ramawijaya : Yayi muskaraning pun kakang nimas, sêjatine ing ngalas iki akèh kéwan ingkang manca warna, nanging nurut tuturé sira yayi, déné ana kidang kok Semaruné nyalawadi. (RGPA.077) Terjemahan:: Sinta : ‘Bilamana saya dapat memiliki binatang piaraan kijang seperti itu, maka Pangeran saya minta dapat menangkap kijang itu‟. Ramawijaya: „Adinda pujaan saya, di hutan ini banyak binatang yang beraneka ragam, tetapi menurut laporanmu bahwa melihat seekor kijang yang aneh‟. Implikatur tuturan di atas memberikan pemahaman bahwa manusia yang menuruti nafsu-nafsu atau keinginan yang berlebihanakan menyebabkan malapetaka dalam kehidupan. Nafsu-nafsu dalam budaya Jawa yang terdapat dalam diri manusia dilambangkan dengan empat warna: (1) warna merah disebut amarah, nafsu marah, dan radikal; (2) warna kuning disebut supiyah, yakni nafsu keinginan; (3) warna hitam disebut aluamah, yakni nafsu ketamakan atau loba; dan (4) warna putih disebut mutmainah,yakni nafsu baik atau suci. Bilamana manusia dikendalikan nafsu amarah, supiyah, dan aluamah hidup penuturya akan tidak baik. Oleh sebab itu, ketiga nafsu itu harus dikendalikan dengan nafsu mutmainah yang mengarahkan kepada perilaku yang utama. Sub-sub tindak tutur ekspresif dan direktif dalam lakon BNPA dapat dicermati pada dialog Wibisana dengan Indrajit pada adegan pathet sanga berikut ini. Wibisana : Ora susah kakèhan gunêm tanpa guna ingkang wigati titi mangsa iki rungokna kandhané pun bapa ya nggèr (RGPA.Gn.031). Olah pêkêrtining cipta rasa kang ora nganggo dhasar kautaman anane mélik nggéndhong lali kaya patrapé wong tuwamu sing wêgah nampa wewarah, nampik pitutur bêcik, dadiné Ngalengka kaya ngéné iki. Mula aja nganti kêbo gupak kêcipratan lêtuh. Kowé isih ênom miliha dalan rahayu, rahayuning dedalan ora ana liya kowe kudu nyingkur pakarti nistha. (RGPA.Gn.033) commit to user Indrajit: Kadospundi Paman. (RGPA.Gn.032)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
245 Terjemahan: Wibisana : „Tidak usah banyak bicara, sekarang dengarkan baik-baik apa yang akan saya katakan, Kehendak yang tidak dilandasi dengan sikap utama, maka yang ada hanya menginginkan sesuatu yang bukan haknya atau miliknya seperti perbuatan ayahmu, tidak mau mendengarkan saran dan nasihat, maka Negara Ngalengka berantakan seperti ini. Maka jangan sampai kamu kena pengaruh tingkah laku ayahmu. Kamu masih muda, pilihlah jalan yang benar dengan cara meninggalkan tindakan yang hina dan serakah‟. Indrajit : „Bagaimana Paman Wibisana‟. Implikatur tuturan di atas memberikan pemahaman bahwa tindakan manusia yang tidak dilandasi dengan norma-norma yang berlaku akan selalu memaksakan kehendak dengan berbagai cara yang kotor untuk mencapai tujuannya dengan segala macam cara dihalalkan. Untuk kaum muda sebagai generasi penerus dan calon pemimpin bangsa, hendaknya selalu meningkatkan ketaqwaannya, meningkatkan kepribadiannya, dan meningkatkan kemampuannya melalui jalan yang benar tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan tidak mengambil
jalan pintas. Dalam budaya Jawa, diungkapkan “mumpung
anom ngudiya sejatining becik”. Artinya, selagi masih muda dan hidup di dunia, hendaknya banyak menebar kebaikan. Sub-sub tindak tutur ekspesif dan direktif pada adegan Dasamuka dan Sinta pada pathet manyura dapat dicermati berikut ini. Sinta
: Aku nêksèni yènta sêjatiné lumahing bumi kurêbing langit iki, ora ana wong kang sêtya ngandhêmi mênyang tékade kajaba mung kowé ratu Ngalêngka. (RGPA.Gn.053) Dasamuka : Lagéné ngêrti, géné ngêrti mripatmu... Wiwit kowé tak gondhol saka ngalas Dhandhaka biyèn, upama aku nindakkaké, aku bisa. Ning kêna apa aku ora, hêm...bèn wong ngèlèk-èlèk Dasamuka wis bèn, ning nyatanè saiki jagad wis nèksèni tak réwangi êntèk nêgaraku, ludhês kèlês bandha donya, êntèk kawulaku, dulurku mati,sapa Sing tak andhêmi, hêm... parandéné têkan iki mêncêb waé ora, gogloh waé ora atimu Sinta. (RGPA.Gn.054) Terjemahan Sinta : ‘Saya mengerti bahwa di dunia ini orang yang mempertahan pendiriannya hanya Raja Ngalengka‟. Dasamuka : „Kamu mengerti. Sejak saya menculik dari hutan Dandaka, commit totentu user bisa, tetapi tidak saya lakukan. umpama saya bertindak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
246 Orang menertawakan Dasamuka, kenyataannya sekarang negara saya habis, kekayaan saya hilang, rakyatku banyak yang meninggal, termasuk saudara saya juga meninggal, siapa yang saya percayai. Walaupun demikian sampai sekarang Sinta tidak menyerah‟. Implikatur tuturan di atas memberikan gambaran bahwa manusia yang serakah mengumbar dan mengedepankan sifat angkara murka, merusak tatanan, dan menyimpang dari aturan pada akhirnya kehidupannya hancur, rumah tangganya berantakan, dan akan lenyap dengan budi rahayu. Diungkapkan dalam budaya Jawa bahwa “Sura dira jayaningrat, lêbur déning pangastuti” yang berarti tindakan jahat dan serakah pasti akan hancur oleh kebaikan.
IV.2. Faktor Genetik dan Afektif Kaitannya dengan Faktor Objektif. Frekuensi kemunculan TTE yang tertinggi dalam KTNS adalah sub-TTE maaf (42.85%). Sementara itu,kemunculan TTE yang rendah adalah sub-TTE menolak (14%). Dalam lakon DRNS, frekuensi kemunculan TTE tinggi adalah sub-TTE menolak (56.25%) dan TTE rendah adalahsub-TTE. Frekuensi kemunculan TTE tinggi dalam lakon BNPA adalah sub-TTE menolak (75%) dan kemunculan TTE yang rendah adalah sub-TTE Dalam lakon RGPA, frekuensi kemunculan TTE tinggi adalah sub-TTE menolak (33.33%) dan kemunculan TTE rendah adalah sub-TTE. Cara penyampaian TTE dan TTD dalam lakon KTNS dan DRNS adalah sebagai berikut, lebih banyak menggunakan strategi penyampaian dengan jenis tindak tutur tidaklangsung. Lakon KTNS memunculkan TLL(37.50%) dan lakon DRNS
memunculkan TLL (38.09%). Sajian lakon BNPA dan RGPA lebih
banyak menggunakan jenis tindak tutur langsung.
BNPA mengandung LLT
(75%) dan RGPA mengandung LLT (41.17%). Perwujudan TTD dalam KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA memiliki gradasi dari TTD. Sajian Nartasabda frekuensi kemunculannya tinggi dalam lakon KTNS sub-TTD memerintah (31.57%). Lakon
DRNS
memiliki frekuensi
tertinggi pada sub-TTD memerintah (30%). Frekuensi kemunculan yang rendah commitmenanyakan to user dalam KTNS terdapat pada sub-TTD (7.71%) dan dalam DRNS
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
247 terdapat pada sub-TTD meminta izin (5%). Dalam lakon BNPA, frekuensi kemunculan yang tinggi adalah sub-TTD melarang (47.36%) dan frekunensi TTD yang rendahadalah sub-TTD meminta (10.52%). Dalam lakon RGPA, frekuensi TTD yang tinggi adalah sub-TTD memerintah (44.64%), sedangkan frekuensi TTD yang rendah adalah sub-TTD meminta izin (3.57%). Implikatur dan daya pragmatik dalam lakon KTNS mengandung dilema moral yang dialami Basukarna
maupun
Arjuna.Kedua ksatria yang masih
saudara tunggal ibu ini harus berhadapan dalam peperangan. Hal itu memberikan gambaranan kompleksitas yang dihadapi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupan, terutama yang berkaitan dengan moral. Baik dan buruk merupakan dua hal yang selalu berjalan beriringan dalam kehidupan manusia. Dilema moral yang dialami oleh Basukarna terjadi karena adanya benturan kewajiban yang timbul karena bermacam-macam kedudukan yang disandang tokoh Basukarna. Implikatur dan daya pragmatik lakon DRNS mengisahkan kesatuan dengan hakikat Illahi dan pamoring kawula Gusti dengan kias air hidup (tirta pawitra). Jalan untuk menemukannya adalah dengan cara tata lakususila, tapabrata, dan Semadi. Dalam Semadi, manusia memperoleh pengetahuan penghayatan, pengetahuan mutlak yang diperoleh dengan manunggalnya manusia dengan Khalik-Nya. Implikatur dan daya pragmatik lakon BNPA menggambarkan dilema yang dihadapi oleh manusia dalam menjalankan hidup yang digambarkan oleh tokoh Kumbakarna
adik Dasamuka. Tokoh Kumbakarna menghadapi dilema moral
yang dapat dikaitkan dengan konsep nasionalisme. Sikap dan tindakannya untuk maju perang sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme yang sejati. Tokoh Dasamuka menggambarkan seorang tokoh yang adigang, adigung,dan adiguna. Tokoh ini hanya akan hancur oleh budi yang suci, ataudiungkapkan “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” (angkara murka akan lenyap oleh jiwa yang luhur dan suci). Implikatur dan daya pragmatik pada lakon RGPA tecermin dari nilai-nilai kepemimpinan atau kearifan lokal tentang cara–cara memimpin yang disebut astha brata, yaitu sikap alam Semesta yang sangat relevan untuk kehidupan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
248 sekarang serta dapat digunakan sebagai penanaman pendidikan karakter bagi generasi muda. Bertolak dari faktor objektif, TTE dalam lakon KTNS didominasi tuturan mengucapkan maaf dan TTE yang terendah adalah tuturan menolak. Dalam lakon DRNS, TTE yang tertinggi adalah menolak. Dalam KTNS, TTD yang tertinggi adalah memerintah dan yang terendah adalah menanyakan, sedangkan TTD yang tertinggi dalam lakon DRNS adalah memerintah dan yang terendah adalah meminta izin. Kaitannya dengan faktor genetik bahwa Nartasabda dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan lingkungan dalang yang menjadi gurunya. Dengan demikian, pengaruh dari pengalaman belajar pakeliran wayang yang diperolehnyasebelum menjadi dalang mewarnai wujud pakeliran yang tertuang dalam lakon KTNS maupun lakon DRNS seperti terungkap dalam tindak tutur ekspresif dan tindak tutur direktif, khususnya TTE dan TTD pada kedua lakon tersebut. Contoh TTE dialog Raseksa dan Raseksi dalam lakon DRNS adalah sebagai berikut. Raseksa:
Raseksi
Woo hlah, arepa ayu ki yen ngejur-ejur jantung ilang ayune he. Kowe nduwe bojo aku kurangane apa? Apa-apa sing tok jaluk ndak pinangkani. : Ra maido nggonmu nguja marang aku kakang, mung ana sawetara apa si kakang ora ngerti yen ta dina iki aku lagi nyidham kakang.
Terjemahan: Raseksa :„Walaupun cantik bila merusak jantung akan hilang kecantikannya. Kamu mempunyai istri saya kurang apa, semua permintaan dapat dipenuhi‟. Raseksi :„Betul bahwa kamu memanjakan saya, tetapi hari ini saya mengandung menginginkan sesuatu‟. Ketika Nartasabda
nyantrik para dalang di Daerah Klaten, wujud
pakeliran yang disajikan para dalang (yang menjadi gurunya Nartasabda) masih memperhatikan nilai-nilai estetis dan kaidah-kaidah pedalangan keraton yang sangat dihormati seperti strukturpertunjukan, percakapan wayang (ginem baku. ginem blangkon, ginem banyol), sabet wayang (gerak wayang), penggunaan commit to user bahasa dan sastra pedalangan,penggunaan gendhing wayangan, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
249 Hal yang menonjol adalah penggarapan unsur dialog wayang (ginem baku) yang diwujudkan pada penggarapan setiap tokoh dan dramatisasi. Dengan kata lain, wujud pakeliran semalam masih mengikuti tradisi pedalangangaya Keraton Surakarta. KTNS dan DRNS yang terungkap dalam unsur ginem atau dialog wayang terutama tertuang dalam TTEdan TTD pada kedua lakon yang diwarnai dengan dialog penuh drmatisassi tokoh. Sebagai contoh, terungkap pada dialog tokoh Basukarna dengan Salya pada lakon KTNS dan dialog Werkudara dengan Dewaruci pada lakon DRNS. Meskipun dramatisasi penggarapan tokoh Nartasabda terkena pengaruh dari gurunya, yaitu Pujasumarta dan Wignyasutarna yang pakelirannya
mengutamakan
sanggit catur (penggarapan dialog yang
esensi), Nartasabd tetap melakukan pembaharuan
dan pengembangan dalam
dialog wayang. Akan tetapi, warna dan wujud pakelirannya masih garap wayang semalam yang mengutamakan garap catur tokoh wayang. Contoh TTE dan TTD dalam KTNS merupakan dramatisasi tokoh Basukarna dengan Surtikanthiyang dialog tokohnya telah dikembangkan sebagaimana berikut ini. Basukarna : Yayi garwaning pun kakang Surtikanthi, Surtikanthi: Nuwun wonten pangandika adhawuh Kanjeng Sinuhun. Basukarna: Swarga nerakaning wong lanang, swarga nerakaning wong kakung, swaga nerakaning priya mau ukurane yen pun wauju sapatemon kaya kang lagi disandhang iki. Ana sawijining kakung kang tekane kusung-kusung awit saka kesurung rasa wuyung, temahan bingung ora kendhat tumlawung enget marang kang cahyane angenguwung. Jagad iki ora genep loro kajaba amung citrane siadhi yaiku yayi Dewi Surtikanthi.Katitik remane siadhi kang anggung modhalmadhul tepung wimbane peteng pasemarone sabab ana babbab kang anjalari sungkawaning penggalih. Yayi-yayi amarga saka iku yayi aja nganti ana bab- bab kang anjalari susahing atimu prayoga wiwit saka ucaping pun kakang, busananing pun kakang, slagane pun kakang iki kang ora mranani atimu tumuli ngendikoa mengko kabeh tak tindakake kang jumbuh klawan karsane siadhi. Terjemahan: Basukarna : „Adinda Surtikanthi saya‟. commitistri to user Surtikanti : „Ada apa kakanda Sunuhun‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
250 Basukarna : „Kebahagiaan orang laki-laki itu bilamana dapat berbicara berdua seperti ini. Saya ini tergesa-gesa datang kemari oleh karena selalu ingat kepada Surtikanthi, tetapi setelah bertemu Adinda kelihatannya hatinya sedih, dan apa yang dipikirkan. Untuk itu apayang menyebabakan sedih, apa busana saya atau tingkah laku saya yang kurang berkenan di hati Adinda, segeralah bicara kepada saya apa yang kau pikirkan‟. Dialog tokoh Basukarna terhadap Surtikanthi merupakan salah satu dramatisasi tokoh yang menyebabkan adegan itu menjadi hidup dan dinamis. Pengaruhnya dalam mengolah dialog tokoh (sanggit ginem) tercermin dalam TTD lakon DRNS berikut ini. Puntadewa ; Dhi adhiku kadanging pun kakang Wêrkudara, èngêta marang pangandinaning ibu, luhur-luhuring drajat manungsa iki yèn wis ora suwala marang paréntahing ibu. Yèn ta si adhi gêlêm nggunakaké têtimbangan luhur êndi drajating ibu lan guru? Arjuna : Kakangmas kula sangêt mbotên lila mênawi paduka alampah mêkatên. Kembar : O, kakangmas kakangmas. Kaparênga wêlas dhatêng pamuwunipun kanjêng ibu kakangmas. Kresna : Dara! Èlinga yayi! Ya sanadyan pati uriping manungsa iku ora bisa ditêmtokaké déning kang nyandhang, nanging saliring tingkah laku mau sak durungé tumindak pètungên nganggo nalar, nalar sing gênêp! Aja nganti gêtun mburiné. Pètungên! Tuna lan bathiné ètungên dhisik! Aja kêsusu kêtarik marang wêwujutan ingkang sarwa mawa cahya nanging sêjatiné iku lêlamisan. Aja mung gêmrêgêting rasa sabab disaguhi déning gurumu ingkang durung gênah kasunyatané. Dara! Mandhêga sêméné ya yayi! (Dialog 373) Terjemahan: Puntadewa : ‘Werkudara harus ingat, walaupun kematian itu tidak dapat ditentukan oleh manusia, tetapi semua tingkah laku dan perbuatan harus dengan perhitungan yang matang, jangan sampai menyesal kemudian‟. Arjuna :‟Kakanda saya tidak rela bila bertindak demikian‟. Kembar :„O kakanda saya minta memperhatikan permintaan Ibu Kunthi‟. Kresna :„Werkudara harap ingat, walaupun kematian mansia itu ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa, tetapi segala tindakan itu harus diperhitungkan dengan matang agar tidak menyesal kemudian. Jangan mudah tergiyur sesuatu yang serba menarik.Jangan menuruti keinginanmu karena iming-iming dari gurumu yang belum jelas‟ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
251 Dalam sajian oleh Purbo Asmoro bahwa TTE yang tertinggi ditemukan dalam lakon BNPA, yakni menolak. Sementara itu, TTE dalam lakon RGPA memiliki frekuensi sama rata yakni meminta maaf. TTD yang tertinggi dalam lakon BNPAadalah melarang dan yang terendah adalah meminta. TTD tertinggi dalam lakon RGPA adalah memerintah dan yang terendah adalah meminta izin. Garapan dialog tokoh wayang, PA cenderung menghilangkan bahasa klise dalam percakapan tokoh, mengganti dengan bahasa yang esensinya berkaitan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan dalam adegan. Contoh TTE dalam lakon RGPA garapan pakeliran padat adalah sebagai berikut. Sinta
Jentayu
Dasamuka
:Sang garudha, sang garudha , sepira ta rujiting atiku dene kowe nemahi kaya ngene merga nggonmu mitulungi marang Sinta :Oh….. raden ayu, raden ayu, getih ingkang mijil saking suwiwi kula, telih kula mbrodhol kados mekaten kusuma dewi (RGPA.Gn.114): :Aja jagongan hahaha….
Terjemahan: Sinta :„Sang Garuda Garuda, betapa sedihnya hatiku karena kamu celaka seperti ini karena telah menolong Sinta‟. Jentayu :Oh... Raden Ayu, darah yang mengalir dari sayapku seperti ini Kusuma Dewi‟. Dasamuka :‟Jangan berbincang-bincang terus, ha ha ha‟. Dialog Jentayu dengan Ramawijaya itu merupakan dialog yang esensinya tanpa menggunakan bahasaklise pedalangan karena pengaruh pakeliran padat, sebagaimana halnya yang tertuang dalam kutipan di bawah ini. Mendhung tumiyung cemeng anggameng hangawengi luhuring pura negari Ngayodya.sunaring hyang surya hanglayung lir soca karuna, karantan kaya bela kingkin mring kawuring raosrujit. Terjemahan: „Awan hitam tebal berwarna hitam, berada di atas negara Ayodya, sinar matahari tertutup awan seperti ikut merasa sedih yang dirasakan di kerajaan Ayodya‟. Tindak tutur ekspresif (TTE) dan tindak tutur direktif (TTD) dalam KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA yang tertuang dalam ginem, janturan,dan pocapan commit to user kaitannya dengan faktor afektif menimbulkan tanggapan yang beragam dari para
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
252 penonton. Kreativitas dan sanggit
yang diungkapkan lewat medium bahasa
seperti tertuang dalam TTE dan TTD pada keempat lakon menyebabkan wujud pakeliran kedua dalang berbeda, tetapi garapan wayang kedua dalang terasa hidup, indah, mantap, dan pesan-pesan yang disampaikan dapat dipahami. TTE dalam lakon DRNS yang mengandung pesan spiritual atau religius terungkap pada dialog Dewaruci dengan Werkudara sebagaimana dapat dicermatidi bawah ini. Dewaruci : Wêrkudara, Wêrkudara. Ana papan jêmbar nglangut datanpa têpi, padhang nrawangan nanging ora antuk dayaning surya, kang ana amung swasana jênjêm, ayêm, têntrêm, yaiku ingkang sinêbut ing lokabaka. Loka têgêsé alam, baka têgêsé langgêng. Ya ing kono ingkang sinêbut ing alam jati, ya ing alam langgêng. (DRNS.Gn.437) Werkudara : Ênggih. Mêkatên agênging manah kula tanpa upami. Kula tingali sarana cêtha sarta ngégla kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu, kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu mênika daya mênapa miwah satunggaling mênapa pukulun? Terjemahan: Dewaruci : „Wêrkudara, Wêrkudara. Ada tempat yang luas sunyi tak bertepi, terang benderang namun tiada sinar matahari, yang ada hanyalah suasana tenteram, damai, yaitu yang disebut dengan Lokbaka. Loka artinya alam dan baka itu kekal. Ya itulah disebut sebagai alam kekal dan abadi‟. Werkudara : „Iya. Begitu bahagianya hatiku tiada umpamanya. Saya melihat dengan jelas melihat satu sinar dengan delapan cahaya, itu semuanya apa Pukulun?‟. TTE dalam ginem DRNS di atas menunjukan bahwa Nartasabda mampu mengungkapkan isi lakon dengan bahasa yang indah, mungguh, dan mudah ditangkap oleh penonton.Oleh sebab itu, dia dijuluki dhalang apik bagi pendukung pewayangan.BilaTTE dan TTD yang terungkap dalam lakon BNPA dan RGPA dikaitkan dengan faktor afektif, TTE lakon BNPA didominasi TTE menolak dan RGPA didominasi TTE mengucapkan maaf. TTD BNPA yang tertinggi adalah melarang dan lakon RGPA didominasi TTD memerintah. Hal ini dikarenakan oleh garapan pakeliran PA yang mengolah estetika pedalangan keraton kemudian dipadukan dengan commitestetika to user pedalangan kerakyatan. Dialog
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
253 Barata dengan Ramawijaya pada lakon RGPA terungkap dalam TTE sebagai berikut. Ramawijaya: Kadangipun kakang yayi Barata, wis tumeka semene bae tumetesing luhmu. Yayi, kadiparan pawatane praja Ayodya, para kawula lan kanjeng rama prabu, kanjeng ibu Kekayi, kanjeng ibu Ragu lan kanjeng ibu apadene kahanane para nayaka pangembat praja lan para brahmana dhimas? Barata : Adhuh kakangmas kula ngantos boten saget angucap, labet seseging dhadha kula Sinta :Yayi Barata beraten sungkawaning atimu. Mara gage maturakang tetela Barata : Kakangmas eba kados menapa loking para kawula Ayodya dhateng kula, ingkang satemah sami anerka bilih kula cumanthaka angrebat panguwaos paduka kanthi mergi nistha ingkang kliwat saking watesing kamanungsan. Oh kakangmas mangka sedaya kalawau awit saking rekadaya budidayanipun kanjeng ibu Dewi Kekayi. Ingkang babar pisan tanpa tetarosan kaliyan kula.(RGPA.Gn.030) Terjemahan: Ramawijaya
Barata Sinta Barata
: „Saudaraku Barata, sudahlah jangan menagis. Adinda bagaimana kabarnya, apa kabarnya Ayahanada, Ibunda, Ibu Kekayi, Ibu Ragu dan semua yang ada di sana, adinda?‟ : „Kakanda, saya sampai tidak biasa menagatakan sesak dadaku‟. :‟Adinda Barata, sedih nian kamu. Ayolah berkata apa yang terjadi?‟. :Kakanda apa yang dibicarakan oleh masyarakat Ayodya tentang saya, yang dianggap saya merebut kekuasaan yang diluar garisnya kemanusiaan. Oh Kakanda padahal semuanya tanpa sepengatahuanku ini semua rekayasa Ibu Dewi kekayi. yang kesemuanya tanpa saya tahu sedikitpun‟.
Contoh bahasa lugas tecermin pada TTD, khususnya dialog Wibisana dengan Indrajit pada lakon BNPA sebagaimana tertuang di bawah ini. Wibisana: Lho arep apa? Indrajit: Sampeyan wong tuwa, kula ngerti sampeyan wong pinter guneman. Nanging jagad wis nekseni loreking pakartimu. Titi user Ngalengka wis ora nampa mangsa iku commit pancen toNegara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
254 kahanane paman Wibisana. Nggonmu nyabrang melu mungsuh cetha yenta lorek gedhohanmu. Mula tekaku ing kene kejaba arep ngadili Rama Wijaya sak munyuk-munyuke nanging klebu qong keparat kaya kowe paman Wibisana : Bagus tenan kowe , iya, cepakna, cepakna, njaba njeromu kandelana. (BNPA.GN.037) Terjemahan: Wibisana : „Lho mau apa‟? Indrajit : „Kamu orang tua, saya tau bahwa Paman Wibisana pandai bicara, tetapi dunia mengerti tingkah lakumu‟. Wibisana : „Baik kamu Indrajit, siapkan kesaktianmu, ternyata tidak menurut saranku. Jangan sampai ada orang yang menyalahkan saya, bila saya membunuh kamu‟. Temuan tindak tutur ekspresif (TTE) dan tindak tutur direktif (TTD) dalam lakon KTNS dan DRNS serta temuan tindak tutur ekspresif (TTE) dan tindak tutur direktif (TTD) pada lakon BNPA dan RGPA memiliki keterkaitan dengan faktor objektif seperti terungkap dalam temuan TTE dan TTD pada keempat lakon. Bahkan, ketiga faktor saling memengaruhi dan saling melengkapi sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh yang diekspresikan dalam karya pakeliran wayang kulit purwa gaya Surakarta
dengan kekhasannya masing-
masingsehingga sajian kedua dalang memiliki daya tarik bagi masayarakat pendukung budaya Jawa khususnya pemerhati wayang. Faktor genetik menyangkut latar belakang kesenimanan kedua dalang, lingkungan budaya, karya-karya pedalangan, dan kontribusinya
dalam jagad
pedalangan. Kedua dalang dalam objek penelitian ini adalah dalang tenar yang hidup dalam era yang berbeda, dalam situasi pedalangan yang berbeda, dan dalam masyarakat pendukung wayang yang berlainan. Nartasabda
hidup dan tenar
dalam jagad pedalangan pada dekade 1959 sampai dengan tahun 1985. Purbo Asmoro
mulai dikenal di masyarakat dan tenar mulai tahun 1993 sampai
sekarang. Dengan demikian, pemilihan kedua dalang itu yang pertama mewakili dalang tua dan yang kedua merupakan generasi baru dalam jagad pedalangan sebagai penerus dunia pakeliran wayang kulit purwa gaya Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
255 A. Faktor Genetik 1.Latar Belakang Sosiobudaya Nartasabda Dalang Nartasabda dilahirkan 25 Agustus 1925 di Desa Krangkungan, Pendes, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten.Dia berasal dari lingkungan keluarga bukan dalang, yaitu anak pasangan Kantaruslan dan Kencur. Nartasabda memiliki bakat luar biasa dalam karawitan Jawa yang merupakan bakat turunan dari orang tuanya. Sejak kecil, sudah menunjukkan ketertarikannya dalam bidang karawitan.Nartasabda bersama kakaknya yang bernama Mardanus selalu mengikuti ayahnya Bila klenengan atau sebagai pengrawit/niyaga wayang yang mengiringi pentas wayang dalang Kandabisana dari Pedan dan Gandawarsana dari Ceper. Hal itu berlangsung terus sampai dapat memainkan Semua instrumen gamelan sekitar tahun1936. Nartasabda menguasai permainan ricikan gamelan seperti kêndhang, rêbab, gêndèr, sitêr, gambang, dansuling yang menonjol (Sumanto, 1990:22). Nartasabda menjadi seorang dalang kondang pada era 1950 sampai dengan tahun 1970. Selain itu juga sebagai dalang kesayangan Sukarno, Presiden R.I pertama. Nartasabda merasa memiliki bekal dalam jagad pedalangan dari gurugurunya seperti Pujasumarta, Wignyasutarna, Gitacarita dalang Semarang, serta dari pengalamannya dalam wayang orang Ngesti Pandawa sebagai pemain kendhang. Pada tahun 1958, tampil sebagai dalang wayang kulit pentas di RRI Jakarta dengan menyajikan lakon Kresna Duta. Wujud pakelirannya dalam jagad pedalangan sekitar tahun 1950 sampai tahun 1960 masih berkiblat pada dalang Pujasumarta, tetapi mulai tahun 1961 pakelirannya mengalami perubahan dalam unsur-unsur pedalanganya seperti dalam narasi, dialog, sulukan, gendhing, kêprakan, tata panggung, penggarapan karakter wayang, serta munculnya bentuk lakon banjaran. Wujud sajian pakelirannya berbeda dengan guru-gurunya sehingga
mampu
membuat
gebrakan
dalam
dunia
pedalangan,
yaitu
mencampuradukkan berbagai gaya pedalangan, seperti gaya Mataraman dan gaya Surakarta. Bahkan, Nartasabda memasukkan unsur-unsur pedalangan gaya Banyumasan dan Jawa Timuran.commit Demikian pula dalam iringan karawitan atau to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
256 karawitan pakeliran, menyusun iringan karawitan khusus untuk adegan-adegan tertentu dan memasukan idiom-idiom gendhing-gendhing bêdhyan, langgam, dan ndhangdhut d alam garapan karawitan pakeliran. Hal penting untuk menjadi catatan dalam jagad pedalangan Nartasabda pada tahun 1961 untuk pertama kali menyusun lakon baru yang menceritakan tokoh mulai lahir sampai kematiannya yang dalam dunia pedalangan disebut lakon banjaran, seperti lakon Banjaran Karna, Banjaran Dewaruci, Banjaran Duryudana, Banjaran Salya. (Sugiarto, 1999: 38). Nartasabda membuat fenomena baru dalam dunia pedalangan dengan memadukan unsur pakeliran gaya Yogyakarta dengan gaya Surakarta, terutama dalam adegan gara-gara. Hal itu tidak pernah terjadi sebelum Nartasabda muncul. Demikian pula, pemakaian gendhing-gendhing Mataraman seperti Srepeg Mataraman, Sulukan Mataraman, kepyak Mataraman dalam pertunjukan wayang adalah hal yang baru karena sebelumnya dianggapsebagai pantangan bagi dalang Surakarta, baik pada era Pujasumarta maupun Wignyasutarna yang selalu menyajikan wayang gaya Surakarta. Dalam hal garapan sanggit lakon, memiliki kekhasan tersendiri seperti disajikan dalam KTNS dan DRNS yang menjadi objek kajian penelitian ini. Nartasabda mengubah penataan panggung wayang, khususnya posisi instrumen gamelan dan tempat duduk para pesindhen. Semula pesindhen wayang kulit era Pujasumarta dan Wignyasutarna Setelah Nartasabda, para pesindhen.
duduk dibelakang pemain rebab.
berada disamping kanan dalang dekat
dengan simpingan wayang sebelah kanan. Mereka duduk menghadap dalang. Tahun 1960 sampai dengan tahun 1985, berada dalam posisi teratas sebagai dalang tingkat nasional dan sebagai dalang puncak pada masa itu, baik ketenarannya, kualitas pedalangannya, maupun tanggapan atau bayarannya. Nartasabda mulai dilirik oleh para pengusaha yang mendirikan dapur rekaman seni tradisi. Untuk pertama kali, masuk ke dapur rekaman komersial wayang kulit melalui perusahaan rekaman cassette Lokananta di Surakarta dengan merekam wayang karya Gatotkaca Sungging (1972) yang dikomersialkan. Demikian pula, commitdito user perusahaan rekaman cassette Fajar Semarang merekam lakon wayang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
257 Pandhawa Gubah. Perusahaan Dahlia Recorde merekam Lakon Semar mBarang Jantur. Inovasi dalam jagad pedalangan yang dilakukan bersikap terbuka dalam berkesenian serta tak tertutup untuk menyerap unsur-unsur gaya pedalangan dan karawitan dari daerah lain. Hal itu dapat dilakukan karena kemampuan kreativitasnya tinggi dalam karawitan dan pedalangan serta didukung para pengrawit
(musisi)
danpesindhen
yang
berkualitas
sehingga
wujud
pedalangannya selalu menarik perhatian dan memukau para pendukung budaya Jawa, khususnya dunia pedalangan. Dalang Nartasabda memiliki kemampuan untuk
menebak
dan
mengakomodasi
selera
masyarakat,
popularitasnya
dipancarkan melalui media radio, dan karya pedalangannya di rekam dalam kaset yang disiarkan lewat radio pada hari-hari tertentu. Nartasabda adalah dalang pengagum Bung Karno (Presiden RI yang pertama). Kekagumannya terhadap tokoh itu sering divisualisasikan dalam pertunjukan wayang lewat tokoh wayang Karna atau Adipati Basukarna yang sering dipentaskan. Misalnya, dalam kebiasaan para dalang tokoh Karna dianggap remeh atau dilecehkan, tetapi baginya Karna selalu ditampilkan serius dan penuh argumentasi. Hal itu disebabkan tokoh wayang Karna atau Basukarna memiliki nama yang sama dengan nama orang besar yang dikagumi, yakni Bung Karno sebagai pahlawan bangsa. Sajian lakon KTNS dan lakon Kresna Duta merupakan lakon unggulan. Garapan tokoh Basukarna sangat menonjol dan menjadi tokoh sentral dalam lakon tersebut karena tokoh Basukarna sebagai tokoh idolanya. Tokoh
Basukarna
dalam lakon KTNS dijadikan objek penelitian ini.Garapannya membuat tokoh Basukarna sebagai gambaran manusia yang utuh, bulat, dan dinamis. Seluruh peristiwa dan pengalaman hidup dialami tokoh Karna yang menyebabkan tampil sebagai manusiawi yang penuh toleran. Dalam garapan lakon KTNS, tokoh Basukarna lebih menarik daripada tokoh Arjuna yang dianggap sebagai gambaran seorang ksatria. Berdasarkan faktor objektif dalam sajian lakon KTNS, bahwa TTE yang mendominasi adalah meminta maaf, dan TTE pada DRNS yang dominan adalah commit to user menolak. Pada lakon Karna Tandhing tokoh yang penting dan yang menjadi pusat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
258 garapan adalah tokoh Basukarna. Sanggit tokoh Basukarna berbeda dengan garapan para dalang lain. Pengaruh lingkungan budaya dan pengalaman berguru dengan
para
tokoh
dalang
tenar
seperti
dalang
Pujasumarta,
dalang
Wignyasutarna, serta pengalaman pengembaraannya ketika bergabung dengan Wayang Orang Ngesti Pandawa Semarang pimpinan Sastrasabda sebagai pemain kendang dan sutradara mewarnai sanggit lakon
Karna Tandhing dan lakon
Dewaruci yang terungkap dalam TTE. Adegan Basukarna ketika bertemu dengan ibunya yakni Dewi Kunthi, dialog kedua tokoh yang ditampilkan terasa mantap dan mengharukan sehingga menarik perhatian penonton atau pendengar. Dialog yang menyatakan permintaan maaf Dewi Kunthi kepada Basukarna, bahwa sebagai seorang ibu tidak pernah memberikan bimbingan dan perhatian karena berpisah sejak Basukarna dilahirkan terasa mantap, mengharukan. Sebaliknya Basukarna juga meminta maaf kepada ibunya karena tidak dapat memenuhi permintaannya untuk bergabung dengan Pandawa dengan alasan untuk menepati janjinya
kepada Raja Suyudana yang telah memberikan kedudukan dan
kemuliaan. TTE yang terungkap
dalam adegan ini terasa indah,
dan
mengharukan oleh karena didukung dengan iringan karawitan hasil kreativitas Nartasabda yang memiliki kemampuan menonjol dalam hal garap karawitan pakeliran, sehingga mendukung suasana adegan yang ditampilkan. TTE pada lakon DRNS yang dominan adalah menolak, karena tokoh yang menjadi pusat garapan adalah Werkudara. Lakon Dewaruci sajian Nartasabda penokohan Bima menjadi pusat garapan hal itu dapat dicermati sejak Werkudara bertemu dengan Durna pada adegan pertama, selanjutnya masuk ke Gunung Reksamuka dan sampai menceburkan diri ke dasar lautan sehingga bertemu dengan Dewaruci. TTE menolak selalu muncul pada adegan pathet sanga maupun pathet manyura. sebagai contoh pada adegan pathet manyura ketika Werkudara kembali ke Amarta untuk minta izin kepada saudaranya dan ibunya akan pergi ke laut selatan mencari tirta pawitra, ia menolak permintaan Kunthi
maupu
Puntadewa untuk membatalkan niatnya. Demikian pula ketika di perjalanan dihadang Anoman untuk membatalkan niatnya masuk dasar lautan juga ditolak. commit to user berpijak dari pakem pedalangan Garapan pakeliran lakon Dewaruci Nartasabda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
259 tradisi atau pedalangan keraton, hal itu wajar sebab guru dalang Nartasabda yakni Pujasumarta dan Wignyasutarno adalah lulusan dari Pasinaon Dhalang Surakarta,sehingga wujud sajian pakelirannya selalu diwarnai
dengan gaya
pedalangan keraton yang diserap dari para seniornya. TTD dalam lakon KTNS yang dominan adalah melarang hal itu terkait garap lakon Karna Tandhing yang lebih menonjolkan garap tokoh Salya mertua Basukarna dan Dewi
Surtikanti istri Karna. Pada adegan pathet manyura
maupun pada adegan jejer tokoh Salya selalu Basukarna, karena Raja Salya secara
berseberangan
dengan
lahiriah berada di Astina dan memihak
Duryudana, tetapi dalam batin memihak Pandawa, maka pada
adegan jejer di
Kerajaan Astina terjadi perdebatan yan sengit antara Raja
Salya dengan
menantunya yakni Basukarna. Dalam debat (perang catur dalam dunia pedalangan) (Soetarno, 2007: 44), intinya Salya melarang Basukarna menyerang Pandawa dan lebih baik damai dan kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa karena itu milik para Pandawa. Demikian pula pada adegan pathet manyura ketika Basukarna berpamitan kepada Surtikanti akan maju ke medan
pertempuran,
selalu dicegah dan diminta tidak pergi ke medan perang. Adegan dramatik antara tokoh Karna dengan Salya, maupun dengan Surtikanti tampaknya Nartasabda terinspirasi atau meniru garapan dari
gurunya yakni
Wignyasutarna
yang
terkenal dengan dhalang wasis, kepandaiannya dalam sanggit catur ( dramatisasi tokoh wayang ). Hal itu wajar sebab ketika Nartasabda belum tampil sebagai dalang pernah nyantrik kepada dalang Wignyasutarna sebagai guru dalang di Pasinaon Dhalang Mangkunegaran (PDMN) (Soetarno, dkk: 2010: 56). TTD pada lakon DRNS yang dominan adalah memerintah, hal itu sesuai dengan tema lakon Dewaruci yang termasuk lakon lebet atau spiritual, yang intinya Bima ingin mencari ilmu kesempurnaan hidup dan diperintahkan Durna untuk mencari tirta pawitra sebagai syarat mendapatkan ilmu. Demikian pula ketika Bima bertemu
dengan Dewaruci dan mendapatkan wejangan tentang
hidup dalam mati, dan mati dalam hidup, adalah suatu perintah yang harus dilaksanakan agar Werkudara menjadi kesatria yang waskita dan sempurna commit totradisi user dan Nartasabda masih berpijak hidupnya. Garapan ini bentuk pakeliran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
260 pada kaidah-kaidah pedhalangan keraton, walaupun terjadi penggarapan dialog yang tercermin dalam TTD antara tokoh Bima dengan Dewaruci, tetapi inti dari wejangan masih sama dengan pakeliran tradisi keraton seperti wejangan catur warna, pancamaya, hasthawarna dalam pakeliran
tradisi (Sastroamidjojo,
1964:90), perbedaannya terletak pada sanggit dan penggunaan bahasa pedalangan. 2. Latar Belakang Sosiobudaya Purbo Asmoro Purbo Asmoro lahir pada hari Minggu Paing, tanggal 17 Desember 1961 di Desa Dersono, Kecamatam Pringkuku, Kabupaten Pacitan.Ayahnya adalah seorang dalang bernama Sumarno yang berasal dari daerah Pacitan. Selain belajar dalang dari lingkungan keluarganya, dia juga meneruskan pendidikan kesenian pada pendidikan formal dalang di Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta yang menganut sistem pendidikan dalang bercorak modern. Purbo Asmoro belajar pada pendidikan formal di SMK Negeri 8, dulu bernama Sekolah Menengah Kesenian Indonesia, perubahan dari Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta, dan melanjutkan studinya di Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta, sekarang berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI Surakarta). Kemudian melanjutkan studinya dan meraih gelar magister humaniora pada tahun 2004 di Sekolah Pascasarjana UGM pada Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Purbo Asmoro sekarang menetap di Perum.
Gebang, Kadipiro,
Surakarta.Purbo Asmoro menyerap gaya pedalangan dari berbagai dalang tenar, seperti dalang Ganda Darman, Ganda Buwana, dan Manteb Sudarsono, khususnya tentang unsur sabet wayang (gerak wayang). Perihal sanggit dan garap gendhing, dia menyerap gaya pedalangan Nartasabda. Mengenai cengkok sulukan, dia menyerap
dan
mengadopsi
gaya
sulukan
Anom
Suroto.
Dalam
hal
antawecana,dia menyerap gaya dalang Mujaka Jakaraharja (Sunardi, 2012:85). Bakat kesenimanannya yang mengalir dari orang tuanya, terus dipupuknya dengan melanjutkan pendidikan formal dalang di tingkat menengah dan akademis sehingga menyebabkan warna pakelirannya berbeda dengan dalang generasi muda yang lain.Hal ini terjadi karena dia dapat menyerap pendidikan dalang di ASKI Surakarta
commit to user oleh para guru dalang, seperti waktu itu yang disampaikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
261 Naryacarita, Bambang Suwarno, R.Sutrisna, Pringga Satoto, Darsamartana, Ciptasangkana, guru dalang dari Habirandha Yogyakarta, dan lain-lain.Hal itu terutama terjadi dalam pembelajaran pakeliran semalam, pakeliran ringkas, dan pakeliran padat. Kepiawiannya dalam mengolah pedalangan tradisi/semalam atau pedalangan klasik atau keraton dengan paradigma baru atau yang mengambil dari unsur-unsur pakeliran padat menjadikan pedalangan Purbo Asmoro memiliki ciri khas tersendiri dalam jagad pedalangan yang disebut “pakeliran baru”. Wujud pakeliran yang disajikan dengan bingkai klasik semalam tetapi isi dan alur lakon digarap dengan kreativitas dan penafsiran baru yang disesuaikan dengan kondisi zaman serta perubahan sosial pendukung pewayangan. Keindahan gaya pedalangan Purbo Asmoro dapat dicermati pada unsur-unsur pakeliran, seperti garap lakon, garap catur, garap sabet maupun dalam karawitan pakeliran. Adegan prolog dan kilas balik dalam pertunjukan wayang tampaknya berasaldari pengaruh teater Barat sebab dalam pakeliran padat merupakan karya pedalangan menggunakan unsur-unsur teater barat (Sugeng Nugroho, 2012:50). Purbo Asmoro mempunyai banyak prestasi dalam jagad pedalangan sebagai juara lomba dalang se-Jawa Tengah tahun 1992, sebagai dalang terbaik tahun 1995, sebagai dalang unggulan pada Festival Greged Dalang di Surakarta, dan sekarang sebagai dosen pada jurusan Pedalangan ISI Surakarta. Pendidikan formalnya dalam bidang pedalangan menyebabkan gaya pedalangannya mempunyai ciri khusus bila dibandingkan dengan dalang-dalang yang lain. Pilihan pakeliran padat dalam wujud pedalanganya bukan hanya terbiasa dengan bentuk wayang padat, melainkan merupakan pilihan karena konsep pakeliran padat tidak dikuasai oleh dalang-dalang yang ada.Dengan demikian, pilihan garapan wayang padat merupakan kelebihan dan kekhasan karya pedalangannya. Kemampuannya dalam menggarap lakon wayang tecermin pada wujud sajian pakelirannya, meramu, dan menggabungkan beberapa lakon menjadi satu repertoar lakon yang menyatu dan utuh, berbeda dengan lakon banjaran yang dilakukan dalang Nartasabda dan para dalang lainnya yang hanya menceritakan commit to user Perihal catur yang menyangkut satu tokoh dari kelahirannya sampai kematiannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
262 ginêm, janturan, pocapan,Purbo Asmoro cenderung menghilangkan bahasa klise dengan cara mengganti dengan menggunakan bahasa yang lugas dan efektif, dan pada janturan dengan menggunakan purwakanthi untuk mendeskripsi suasana alam. Dalam pocapan gara-gara, memiliki vokabuler pocapan yang beragam yang berbeda daripocapan gara-gara dalam pedalangan tradisi. Pocapan garagara berisi deskripsi situasi alam yang serba tidak menentu, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan, serta kritik sosial terhadap para penguasa yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat kecil. Akhir pocapan disampaikan pesan yang mengandung ajaran moral dan spiritual untuk memberikan pencerahan kepada para penonton wayang. Dialog wayang (ginem) ditampilkan sebagai dialog yang proporsional yang disesuaikan dengan permasalahan yang dibahasdan dengan bahasa yang Singkat dan padat, tetapi berisi. Hal itu tampaknya terpengaruh konsep pakeliran padat yang mengutamakan isi atau dialog, yang penting menyangkut inti persoalan. (Nugroho, 2012: 90). Garapan karawitan pakeliran yang mencakup gendhing, sulukan wayang pada awalnya menggunakan gendhing dan sulukan pedalangan gaya keraton atau gaya klasik serta gendhing-gendhing karya Nartasabda, tetapi sekarang menyusun gendhing wayangan dengan berpijak pada gendhing-gendhing tradisi yang disesuaikan dengan karakter tokoh wayang. TTE pada lakon Brubuh Ngalengka (BNPA) yang
dominan adalah
menolak, hal ini terkait dengan tema lakon tersebut termasuk lakon tragis, artinya banyak tokoh pahlawan yang gugur di pihak Alengka karena olah Dasamuka yang menuruti kehendaknya mempertahankan Dewi Sinta. Ketika Sinta berada di Alengka banyak saran dan masukan dari para senapati maupun adik Rahwana agar Sinta dikembalikan kepada Rama, karena kerajaan Alengka dalam ancaman prajurit Rama. Tetapi semua nasehat, saran ditolak termasuk saran dan permintaan dari Sinta. Tindak tutur ekspresif yang menyatakan menolak terdapat di berbagai adegan seperti adegan Dasamuka dengan Kumbakarna, adegan Rahwana dengan commit user Dasamuka dengan Ramawijaya. Sinta pada pathet manyura maupun pada to adegan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
263 TTE menolak terasa mantap dan greget karena Purbo Asmoro dalam menggarap lakon Brubuh Ngalengka memadukan garap pakeliran semalam yang diramu dengan garap pakeliran padat, sehingga wujud garapan maupun TTE yang diungkapkan terasa berbeda dengan garapan para dalang lain. Hal itu dilakukan oleh karena Purbo Asmoro mengenyam pendidikan dalang selain diperolah dari ayahnya yang juga dalang, tetapi juga diperoleh ketika belajar pedalangan di pendidikan formal ISI Surakarta. Garapan pakeliran padat dan pakeliran semalam yang diberikan oleh guru dalang ISI Surakarta seperti Bambang Suwarno, Naryacarita, Manteb Sudarsono, Sumanto ketika masih belajar di STSI Surakarta yang menjadi ISI Surakarta mewarnai garapan wayang pada lakon Brubuh Ngalengka. TTE pada lakon Rama Gandrung didominasi dengan TTE mengucapkan maaf, oleh karena lakon tersebut merupakan lakon gabungan yaitu lakon Barata, lakon Rama Tundhung dan lakon Rama Gandrung yang digarap secara pakeliran padat. Sedangkan pusat garapan terdapat pada tokoh Rama dan Barata. Pada peristiwa lakon tokoh Barata anak Raja Dasarata dari istrinya yang kedua yakni Dewi Kekayi membujuk sang raja agar Barata segera dinobatkan sebagai raja dan Rama harus meninggalkan kerajaan Ayodya sesuai dengan janji Raja Dasarata. Dengan senang hati Rama pergi ke hutan dengan istrinya yakni Sinta, namun demikian Barata merasa tidak berhak naik tahta dan selalu meminta maaf kepada kakaknya yang berada di tengah hutan, peristiwa itu terjadi karena olah ibunya yakni Kekayi yang mempunyai niat yang kurang baik ingin menguasai kerajaan Ayodya. TTE yang terungkap dalam garapan Rama Gandrung terasa utuh, mantap, padat dan indah, sebab digunakan bahasa yang lugas, efektif didukung dengan garapan karawitan pakeliran yang baru, sehingga TTE yang diungkapkan terasa berbeda dengan garapan para dalang yang lain. Bentuk pakeliran gaya baru Purbo Asmoro ternyata tidak dimiliki oleh para dalang yang lain sebab mereka tidak manguasai konsep dan garapan pakeliran padat, dan itu merupakan ciri khas garapan wayang Purbo Asmoro termasuk dalam TTE yang ditampilkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
264 TTD dalam lakon Brubuh Ngalengka adalah memerintah, sebab lakon ini merupakan penggabungan dari lakon Kumbakarna Gugur, lakon Megananda Gugur dan Lakon Patine Dasamuka yang oleh Purbo Asmoro digarap secara padat dan menarik. Purbo Asmoro tidak menggunakan struktur pakeliran semalam, serta bahasa yang klise, tetapi lebih mengutamakan adegan yang inti serta yang tidak mengulangi pembicaraan maupun adegan, Dengan demikian setiap dialog tokoh wayang selalu pada hal-hal yang pokok dan hakiki, maka TTD memerintah mendominasi pada setiap adegan hal ini disebabkan termasuk lakon tragis, jadi perintah dari Raja baik Dasamuka maupun Ramawijaya terhadap prajuritnya harus dilaksanakan. Contoh pada adegan Dasamuka dengan Kumbakarna ketika diperintahkan ke medan perang, walaupun Kumbakarna menolak karena tidak setuju dengan kehendak Dasamuka, tetapi tetap diperintahkan untuk bertindak sebagai panglima perang. TTD pada lakon Rama Gandrung didominasi dengan TTD memerintah, hal itu tercermin pada adegan Rama dengan Barata ketika berada di tengah hutan. Barata menyatakan keberatan untuk naik tahta dan meminta Rama kembali ke kerajaan sebgai raja Ayodya.Selanjutnya Rama
memberikan nasehat dan meminta Barata segera
kembali ke Ayodya dengan membawa terumpah Rama dan diperintahkan memimpin Ayodya sebagai raja dengan mengetrapkan konsep astha brata. Lakon BNPA dan RGPA, sajian TTD yang diungkapkan terasa indah, menarik dan mantap karena Purbo Asmoro dalam garapannya kedua lakon selalu mengetrapkan konsep pakeliran padat yang dikuasai dan dipahami oleh para dalang yang pernah mengenyam pendidikan dalang di ISI Surakarta.
B. Faktor Afektif
Banyak tanggapan masyarakat terhadap dalang Nartasabda tentang karyakarya pakelirannya, yaitu lakon KTNS dan DRNS sertatanggapan terhadapkarya Purbo Asmoro dalam lakon BNPA dan RGPA. Tanggapan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni (a) tanggapan pakar atau ahli pewayangan; (b) budayawan; dan (c) praktisi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
265 1. Nartasabda a.
Tanggapan Pakar Pewayangan Komentar Solichin, ahli pewayangan,dan juga Ketua Senawangi
(Sekretariat Wayang Nasional Indonesia) yang dimuat dalam Majalah Warta Wayang Gatra, No. 25-111-1990 mengatakan bahwa hadirnya Nartasabda dalam dunia pedalangan menimbulkan pro dan kontra dikalangan para dalang. Hal itu dikarenakan karena dapat mendekatkan dunia mitos dengan realitas menjadi kegiatan yang akrab dan secara revolosioner tercermin dalam TTE dan TTD pada lakon KTNS dan DRNS, sehingga pakeliran wayang menjadi segar dan mampu menceritakan wayang seolah-olah dalam dunia sejarah (Gatra, 1990:54). Popularitas Nartasabda walaupun
telah almarhum, ternyata masih memiliki
penggemar dalam acara siaran radio wayang kulit semalam suntuk yang disiarkan oleh radio amatir di wilayah eks-Karesidenan Surakarta.
Gambar IV.1.2 Dalang Nartasabda dalam sajian lakon Dewaruci. Adegan tokoh Dewaruci ketika bertemu dengan Dewaruci di dasar lautan atau di Sunyaruri. (Foto Sunardi). Tanggapan Solichin mengenai TTE pada lakon Karna Tandhing yang didominasi TTE meminta maaf, karena tokoh sentral pada lakon tersebut adalah Basukarna. Penggarapan tokoh Karna sangat hidup dan sanggit mapan, contoh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
266 ketika Karna meminta kepada Raja Suyudana yang menjadi sais kereta yang akan dinaiki di medan perang sejajar dengan Raja Kresna, membuat Raja Salya marah dan merasa diremehkan menjadi seorang kusir ( sais). Pada peristiwa ini Basukarna meminta maaf kepada
mertuanya yakni
Salya dan menjelaskan bahwa
permintannya tidak berarti merendahkan derajat Salya, akan tetapi untuk mengimbangi sais kereta Arjuna yang dilakukan oleh Raja Kresna. Sanggit dalam dialog yang tertuang dalam TTE meminta maaf pada lakon KTNS dan TTE menolak pada lakon DRNS ada kemiripannya dengan sanggit gurunya Nartasabda yakni Ki Wignyasutarna yang terkenal dengan dramatisasi tokoh wayang yang ditampilkan. Tanggapan Sujani Sabdoleksono menyatakan bahwa di daerah Surakarta pada tahun 1945 sampai dengan 1956 telah muncul dalang-dalang terkenal yang popularitasnya sampai tingkat nasional, antara lain Pujasumarta. Pada tahun 1957 Nartasabda tampil di RRI Jakarta dengan menyajikan Lakon Kresna Duta, dan sajian pakelirannya membuat terperangah dan terkejut bagi para dalang dan para penggemar pewayangan. Para penonton yang terbiasa melihat pertunjukan wayang dengan kaidah-kaidah pakeliran gaya keraton kali ini melihat pertunjukan wayang yang berbeda dengan para dalang lain. Gaya pakeliran Nartasabda pada sajian lakon KTNS dan DRNS khususnya TTE yang
dominan mengucapkan maaf dan menolak, menurut Sujani
Sabdoleksono sanggitnya yang tertuang dalamTTE maupun TTD yakni melarang dan memerintah. Dalam hal ini Nartasabda bentuk pementasan wayang meramu gaya pakeliran dari dalang terkenal, antara lain humor meramu gaya Nyatacarita, sanggit dan catur menyerap dari Pujasumarta dan Wignyasutarna. Nartasada sebelum tampil sebagai dalang, nyantrik pada Pujasumarta dan Wignyasutarna, dan sejak kecil berada di lingkungan keluarga seniman karawitan (pengrawit), dengan tekadnya mengabdi dan nyantrik kepada dalang Pujasumarta dan Wignyasutarna maka berhasil menjadi dalang kondang (Sujani Sabdaleksono, wawancara 10 Januari 2013). Sudarsono, pakar pedalangan dan dosen pedalangan ISI Surakarta, pada commit tanggal to user 25 April 2010 di Pendapa ISI Sarasehan Pedalangan Lakon Banjaran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
267 Surakarta mengatakan bahwa sanggit lakon dalam lakon KTNS yang didominasi TTE meminta maaf, TTE lakon DRNS didominasi menolak,TTD KTNS yang dominan melarang, dan TTD DRNS yang dominan memerintah, sanggit dan dialog itu kadang-kadang kurang mapan, tetapi karena kehebatan imajinasi verbalnya dapat memukau penonton sehingga yang kurang baik tertutup oleh kemampuan retorika dalam setiap tokoh yang ditampilkan, dan retorika dalam dialog tokoh wayang meniru dan menyerap dari dalang
Wignyasutarna
(Sudarsono, wawancara 16 Januari 2013). Lebih jauh, Sudarsono mengatakan bahwa keberhasilannya dalam mempergelarkan wayang, lakon DRNS dan KTNS yang terungkap dan menonjol dalamTTE dan TTD, karena Nartasabda tidak pernah peduli terhadap segala macam bentuk kritik. Dalam meraih popularitas melalui garapan pakelirannya, kemudian dapat menimbulkan
semangat
para
dalang muda untuk mengikutinya. Cara-cara Nartasabda yang tertuang pada TTE dan TTD yang dominan dalam lakon KTNS dan DRNS tampak lebih profan, glamour, spektakuler, dan menghibur tetapi berisi yang sekarang dilanjutkan para generasi penerus dan semakin terbuka lajunya semakin cepat dan berani. Mujaka Jakaraharja seorang dalang dari Gombang Sawit, Boyolali sebagai pengrawit/ musisi Nartasabda, mengatakan bahwa yang menonjol pakelirannya pada KTNS terutama TTE meminta maaf, dan TTD melarang sangat mantap dan indah karena garapan sastra yang dapat menumbuhkan greget baru tanpa mengurangi luhuring budaya. Komentar juga disampaikan Suyatna Wignyasarana guru dalang pada Pasinaon Dhalang Mangkunegaran (PDMN), bahwa penggarapan bahasa dalam pakeliran DRNS yang tertuang dalam TTE menolak dan TTD memerintah memang bagus, mampu menyajikan wayang semalam suntuk hidup pakelirannya, dan setiap adegan berbobot serta mengadung pesan nilai yang wigati. Demikian pula tanggapan Mlayawidada seorang pengrawit juga dosen karawitan pada STSI Surakarta bahwa yang menonjol pakeliran Nartasabda dalam KTNS yang terungkap pada TTE meminta maaf da TTD melarang sangat bagus terutama antawecana, dialog tokoh hidup dan penuh dengan isi, serta sanggit mapan, dan dialog tiap- tiap tokoh tidak membosankan, apabila to userselingan gendhing. sudah capai diselingi dengan humorcommit atau dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
268 Komentar dalang muda Sukasna Mudacarita dari Surakarta, bahwa pakeliran Nartasabda dalam KTNS TTE meminta maaf dan TTD melarang yang menonjol catur, karena penggarapannya sungguh-sungguh, cepat, keras, wijang dan tidak salah. Komentar Ki Naryacarita dalang dari Kartasura bahwa pakeliran Nartasabda dalam lakon Karna Tandhing dan Dewaruci khusunya TTE meminta maaf, dan menolak, serta TTD melarang dan memerintah sebagai berikut. “Pak Narta punika sastra, vokal, antawecana sae, sunaos sae nanging mlenceng punika dipun selingi dhagel, lonyotan dados ambar” (Pak Narta sastranya baik, demikian dialog tokoh dan suara bagus, tetapi menyimpang oleh karena diselingi humor sehingga terasa hambar). Komentar dalang Maracarita dari Musuk, Boyolali terhadap pakeliran Nartasabda pada KTNS, khusus TTE meminta maaf dan DRNS TTE memerintah sebagai berikut. “Pak Narta, sastra sae sanget, nanging apik-apik digarap dhewe, ngglece dhewe ngirangi bobot. Apik-apik semono iku ilang marga ngglece mau” (Pak Narta, pakeliranya sastranya bagus, sayang yang indah itu dibuat humor yang menyebabkan kurang bermutu). Dalang Suminta dari Klaten memberikan komentar khususnya pada lakon Karna Tandhing TTE meminta maaf dan TTD melarang bahwa “ pakeliran Pak Narta ingkang sae bilih mayang sedalu gregetipun boten kemba, swasana grengseng, nanging gresengipun mboten mapan” (Pak Narta yang bagus bila pentas semalam penuh semangat, dinamis, tetapi kadang- kadang semangatnya kurang mapan) ( Soetarno, 2010: 143-144).
b.Tanggapan Budayawan Komentar budayawan, Umar Kayam, mengatakan bahwa dalam jagad pedalangan era Nartasabda memasuki babak baru melalui penyimpangan pakeliran. Tanggapan TTE yang mendominasi dan TTD yang menonjol dalam lakon KTNS dan DRNS, terutama dialog Basukarna dengan Raja Salya yang diselingi humor dianggap sah oleh masyarakat pendukung wayang karena disajikan secara mantap dan meyakinkan. Dunia pedalangan telah mengalami penjungkirbalikan tata nilai, tidak hanya para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, commit to user Bagong) saja yang membanyol, tetapi raja yang agung seperti Salya, Baladewa,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
269 dan Dewaruci juga membanyol dalam lakon DRNS, sehingga muncul pola pedalangan baru (Umar Kayam, Kompas 17 Desember 1987, hal:12). Bakdi Sumanto, budayawan dan Guru Besar UGM, mengatakan bahwa pakeliran dalam lakon Dewaruci sajian Nartasabda, khususnya pada TTE dan TTD pada adegan gara-gara dan adegan serius agaknya tidak hanya melangkah ke arah demokratisasi tokoh saja, tetapi membuat tokoh lebih realistik. Suasana mistik lenyap bersamaan dengan masuknya parfum, gelas minuman keras, tinju, sapu tangan ke dalam panggung wayang kulit. Jagad wayang kulit menjadi lebih dekat dengan kita karena bukan hanya gara-gara yang membicarakan hal-hal sehari- hari kapan saja, dan pada adegan manapun yang dikehendaki oleh dalang (Bakdi Sumanto, Kompas 24 Januari 1988, hal:14). Pendapat para budayawan mengenai kehebatan dalang Nartasabda yang ditayangkan dalam Siaran Program Maestro di TV Metro pada bulan Agustus minggu kedua tahun 2004 serta dikemas dalam VCD Maestro, Produced dan Mastering oleh INDRA, Jakarta (2003), di dalamnya antara lain memuat komentar Sutarno, pemerhati wayang mengatakan bahwa dalang Nartasabda yang memelopori percampuran gaya pedalangan Surakarta dan gaya pedalangan Yogyakarta dengan memasukan adegan gara-gara gaya Yogyakarta serta iringan karawitan Srepeg Mataraman walaupun dalam lakon bratayuda seperti lakon KTNS utamanya TTD melarang yang menonjol, membuat suasana pakeliran menjadi segar dan greget tidak kemba/kendur. Adegan gara-gara yang berisi TTE mengucapkan maaf dan TTD memerintah pada lakon Karna Tandhing dan Dewaruci akhirnya ditiru oleh para dalang hingga sekarang dan menjadi adegan yang ditunggu-tunggu oleh para penonton wayang dewasa ini. Sardono seorang budayawan dan seorang tokoh tari terkemuka mengatakan bahwa pembaharuan hebat dalam jagad pedalangan dirintis oleh Nartasabda, mulai gaya lucu untuk narasi yang terungkap dalam TTE dan TTD, bahkan pada awal pertunjukan sudah memasukan humor (Soetarno, 2010:141). Komentar Rusman Hadikusuma, pengurus Senawangi Jakarta pada “Sarasehan Pedalangan di Jakarta dalam rangka Pekan Wayang Indonesia 2012” commit todalam user menggarap lakon KTNS pada dikatakan bahwa kehebatan Nartasabda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
270 TTD melarang dalam adegan Karna dengan Kunthi dan adegan Basukarna dengan Kresna, sanggitnya selalu menarik penonton serta pakelirannya tidak kendor terus bersemangat dan greget. Eko Tjipto Ketua Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia Pusat) menyatakan bahwa pedalangan Nartasabda dalam lakon Dewaruci terutama TTE menolak dan TTD memerintah merupakan garap yang mengakomodasi antara keinginan penonton dengan garap pedalangan masa kini yg disebut “pakeliran gaya baru” dan belum pernah dilakukan dalang-dalang sebelumnya. Nartasabda merupakan tokoh dalang yang melakukan pembaharuan dalam jagad pedalangan, dan wujud pakelirannya ditiru oleh para dalang hingga sekarang. Hal itu didukung kemampuan retorika dalam dialog tokoh wayang serta inovasi gending- gending wayangan sehingga TTE dan
TTD yang dominan
dalam lakon Karna Tandhing dan Dewaruci sangat bermutu dan berbobot, maka esensi lakon secara keseluruhan dapat ditangkap maknanya.
Gambar. IV.1.2. Nartasabda dalam sajian lakon Dewaruci. Adegan di Sunyaruri atau di Kayangan Kumitir, tokoh Dewaruci menerima wejangan dari Dewaruci mengenai tirta pawitra mahening suci (air kehidupan), dan Dewaruci merasa dapat menemukan apa yang dicari tentang kesempurnaan hidup. (Foto Sunardi). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
271 c. Tanggapan Praktisi Tanggapan para praktisi seperti dikatakan oleh Junaidi, seorang dalang wayang kulit dan dalang wayang Sadat, menyatakan bahwa TTE dan TTD yang dominan disampaikan Nartasabda pada lakon Karna Tandhing dan Dewaruci menyebabkan diberi julukan dhalang wasis karena kehebatannya dalam sanggit lakon dan kemampuannya mendramatisasi setiap tokoh wayang. Bahasa dan sastra yang digunakan dalam TTE dan TTD cukup memesona penonton, menarik, bervariasi, dan bermutu, serta kadang-kadang diselingi dengan humor dalam suasana serius. Hal ini menjadi ciri pakeliran Nartasabda dan mengundang tanggapan pro dan kontra masyarakat pendukung pewayangan. Dialog yang penting dalam TTD kadang-kadang disisipi humor. Namun, isi yang disampaikan dapat ditangkap oleh penonton sehingga terjadi komunikasi. Nartasabda dalam banyol meniru Nyatacarita, sabet meniru Arjacarita, dan catur meniru Pujasumarta, sanggit meniru Wignyasutarna, tetapi diolah dan pada kenyataannya berbeda jauh karena telah dikembangkan sesuai dengan kedewasaannya. Sadar dengan kondisi masyarakat yang terus berubah maka dia selalu berusaha menggarap pakeliran agar dapat diterima seluruh lapisan masyarakat tanpa mengabaikan nilai estetisnya. (Junaidi, wawancara 17 Januari 2013). Lebih jauh, Junaidi menjelaskan bahwa ciri pakelirannya yang lain adalah garap karawitan pakeliran, terutama unsur vokal dan gendhing yang sangat menonjol yang dapat mendukung TTE dan TTD pada kedua lakon. Hal itu dilakukan karena Nartasabda mampu menguasai gendhing dan seorang pengrawit sekaligus komponis gendhing Jawa serta memiliki suara bagus. Komentar Kuwato menyatakan bahwa Nartasabda senang gendhinggendhing yang baru untuk iringan adegan tertentu, seperti TTE dan TTD pada adegan Kunthi dalam KTNS dibuatkan gendhing-gendhing khusus. Gendhinggendhing klasik digarap dengan gerongan/vokal pria, sebagai contoh: Gendhing Jangkung Kuning,Irim-irim, dan sebagainya.Nartasabda kreatif dalam garap karawitan pakeliran, dan garap sulukan wayang
selain menggarap gendhing
klasik juga mencipta lagu-lagu dolanan yang disajikan dalam pakeliran wayang dan user gendhing-gendhing dolanan sangatcommit populerto di kalangan masyarakat maupun para
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
272 pengrawit/musisi, maka TTE dan TTD yang dominan pada lakon Karna Tandhing dan Dewaruci sangat mantap dan membuat adegan tidak membosankan tetapi selalu hidup (Kuwato, wawancara 30 Januari 2013). Sunardi, seorang dalang, mengatakan bahwa dalam era Nartasabda penonton pertunjukan wayang masih sangat mengapresiasiunsur catur dalam pementasan wayang kulit, terutama dalam ginem atau dialog tokoh wayang dan para penonton masih dapat menangkap bahasa pedalangan yang tinggi dengan bahasa arkhais. Setiap pergelaran wayang penonton sangat tertarik dengan penampilan dalang yang mengutamakan dramatik dalam setiap adegan, sedangkan sabet atau visual kurang mendapat tempat. Pertunjukan wayang, khusus sajian KTNS dan DRNS, yang di dalamnya terkandung TTE dan TTD yang dominan seperti
meminta maaf dan melarang, sangat hidup dan mapan karena para
penghayat wayang atau pendukung pewayangan masih mengutamakan hal ginem wayang (catur) yang mencakup ginem klise, ginem baku dan ginem banyol dengan bahasa dan sastra pedalangan yang tinggi, halus, dan arkais. Lebih jauh, Sunardi menyatakan bahwa pada lakon KTNS penuh dengan persajakan pada sederet katakata narasi untuk menggambarkan keadaan tertentu atau pocapan pada tokoh wayang sehingga persajakan yang terungkap dalam TTE dan TTD membuat narasi terasa lebih puitis. (Sunardi, wawancara, 31 Januari 2013). b. Purbo Asmoro a.Tanggapan Pakar Wayang Komentar Sujani Sabdoleksono yang menyatakan bahwa Purbo Asmoro mulai dikenal masyarakat ketika tampil pada acara Rebo Legen di rumah Anom Suroto tahun 1989 dengan menyajikan lakon Kunthi Pilih. Tahun 1992 terpilih sebagai juara pertama lomba dalang se-Jawa Tengah dan pada tahun 1995 terpilih sebagai dalang unggulan pada Festival Greged Dalang 1995 di Surakarta. Sejak itu, dia mulai diundang oleh masyarakat pendukung wayang hingga sekarang, dan wujud pakelirannya menawarkan bentuk pakeliran dengan estetika keraton yang dipadukan dengan estetika kerakyatan dan dilengkapi dengan konsep-konsep seni yang bersifat akademik. Garapancommit TTE to dan TTD yang dominan menolak dan user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
273 memerintah pada lakon RGPA dan BNPA, oleh karena menerapkan konsep pakeliran padat yang diperoleh ketika belajar di ISI
Surakarta. (Sujani
Sabdaleksono, wawancara 10 Januari 2013). Sugeng Nugroho, berkomentar tentang hal yang menyangkut pakeliran Purbo Asmoro bahwa dialog yang terungkap dalam TTE dan TTD dalam lakon RGPA dan BNPA merupakan garap drama pakeliran dan garapannya selalu berorientasi pada nilai-nilai budaya masa kini. Wujud pakelirannya berpijak pada pedalangan gaya Surakarta dengan format pakeliran semalam yang dipadukan dengan garap pakeliran padat (Sugeng Nugroho, wawancara 31 Januari 2013). Pakar yang lain adalah Sunardi, dosen Jurusan Pedalangan ISI Surakarta, yang mengatakan bahwa TTE dan TTD yang mendominasi pada lakon RGPA dan BNPA adalah merupakan perpaduan gaya keraton, gaya kerakyatan, dan konsep pakeliran padat yang dicetuskan ISI Surakarta tahun 1976. Pada waktu itu, masih berstatus Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (Sunardi, wawancara tgl. 31 Januari 2013). Dengan demikian, wujud pakelirannya sangat berbeda dengan pakeliran Nartasabda atau dalang-dalang lain seperti Anom Suroto, Slenk Warseno, dan lain-lain. Wujud pakeliran gaya Purbo Asmoro
dapat
dicermati dalam TTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA yang menjadi objek kajian penelitian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
274
Gambar. IV.1.3. Dalang Purbo Asmoro dalam sajian lakon Rama Gandrung. Adegan di Hutan Dandaka Dewi Sinta menerima kedatangan Pendhita Lumasa, penjelmaan Dasamuka sebelum menculik Sinta. (Foto Hesti). Tampaknya Purbo Asmoro pendukung
pewayangan
dewasa
sadar bahwa penonton atau masyarakat ini
telah
mengalami
perubahan
dalam
mengapresiasi pertunjukan wayang. Demikian pula, konsep estetis dalam pertunjukan wayang kulit dewasa ini telah bergeser, maka TTE menolak pada BNPA dan TTD memerintah pada RGPA merupakan strategi untuk mensiasati penonton wayang dewasa ini (Sunardi, wawancara 31 Januari 2013). Lebih jauh, Sunardi mengatakan bahwa estetika pakelirannya yang tertuang dalam TTE dan TTD memasukan konsep pakeliran padat serta pakeliran semalam dipadukan dengan gaya pakeliran kerakyatan karena sadar bahwa para penghayat pedalangan dewasa ini berbeda dengan penghayatan/penonton pada era tahun 1980. Sajian pakelirannya tidak menaati struktur pakeliran semalam. Sebagai contoh, pada adegan jejer pertama lakon RGPAmenggunakan teknik flash back serta tidak menggunakan gendhing jejer atau adegan jejer pada umumnya pakeliran semalam. Bahasa dan sastra pedalangan yang digunakan dalam TTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA selain menggunakan bahasa arkhais, bahasa kawi, juga memasukan bahasa sehari-hari dalam adegan tokoh yang agung atau raja. Contoh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
275 dialog (ginem) tokoh Sarpakenaka dalam lakon RGPA, TTD
meminta yang
menggunakan bahasa sehari-hari adalah sebagai berikut. Sarpakenaka: Arêpa aku golèk wong lanang pitulikur, kowé weruh ya mênênga waé. Kapan kowé nganti sambat luwih-luwih njaluk pêgat karo aku tak kêpruk ndhasmu modyarkowé. Terjemahan: Sarpakenaka: MeskipunSaya mencari orang laki-laki dua puluh tujuh, Bila kamu mengetahui harus diam saja, Bilamana kamu menghalangi dan minta cerai akan saya pukul sampai pecah kepalamu‟. Bahasa sehari-hari yang agak kasar dimasukan dalam pakeliran untuk ginem (dialog) yang tokoh status sosialnya tinggi dengan maksud agar dapat komunikatif dengan penonton mengingat latar belakang pendidikan dan kemampuan penonton wayang dewasa ini sangat minim dalam hal bahasa dan sastra pedalangan. Mas Purbo dalam dialog tokoh wayang yang terungkap dalam TTE dan TTD lebih efektif dalam pemakaian bahasa dan menghindari bahasa yang bertele-tele karena faktor konsep padat yang menjadi acuannya. Jagad pedalangan wujud pakeliran Purbo Asmoro
dinamakan pakeliran garapan, artinya,
memadukan garap pakeliran semalam dengan garap pakeliran padat (Sunardi, wawancara 31 Januari 2012). b.Tanggapan Para Budayawan Komentar Umar Kayam yang menyatakan bahwa apresiasi penonton dewasa ini terhadap pertunjukan wayang kulit merosot karena kesalahan para dalang yang mengejar payu „laris‟ serta selalu menuruti selera penonton rendah dengan cara menampilkan musik campursari, jaipongan, dhangdut, rock, dan lawak yang dimasukkan dalam pertunjukan wayang. Lebih jauh, dikatakan Umar Kayam bahwa porsi hiburan sering mengalahkan garapan lakon dan mengaburkan esensi lakon yang ditampilkan sehingga yang terjadi bukan pertunjukan wayang yang dimasuki campursari, melainkan campursari yang disisipi wayang kulit. Umar Kayam berpendapat bahwa TTE dan TTD yang terungkap dalam BNPA dan RGPA masih berpegang pada penggarapan lakon serta memakai kaidahcommitberlomba-lomba to user kaidah pedalangan. Ketika para dalang menerobos pasar dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
276 berbagai cara, antara lain dengan menghadirkan para penyanyi, pelawak, penari di atas panggung wayang, tetapi TTE dan TTD sajian pakeliran lakon RGPA dan BNPA tetap mempertahankan format pakelirannya serta mengutamakan garap lakon dari pada melayani penonton atau format hiburan. Lebuh jauh, Umar Kayam berkeyakinan bahwa gaya pakelirannya mempunyai segmen pasar tersendiri (Umar Kayam, 2001: 213). Komentar Junaidi, bahwa TTE dan TTD pada garapan pakeliran lakon BNPA dan RGPA selalu menggarap masalah rohani yang wigati.Hal itu tecermin dalam ginem (dialog tokoh) atau ginem baku pada setiap adegan yang ditampilkannya. Gaya pedalangannya tampak berbeda dengan para dalang yang lain. Pemakaian bahasa dala TTE dan TTD mudah dan runtut untuk dimengerti, menggunakan
bahasa
keseharian
dan
lugas
dalam
tokoh
tertentu.
(Junaidi wawancara 17 Januari 2013). Komentar Kuwato menyatakan bahwa TTE dan TTD gaya Purbo Asmoro pada garap lakon BNPA dan RGPA memadukan gaya keraton, gaya kerakyatan, dan konsep pakeliran padat.
Dengan demikian, wujud pakelirannya sangat
berbeda dengan pakeliran Nartasabda atau dengan pakeliran dalang-dalang lain, seperti Anom Suroto, Slenk Warseno, dan lain-lain. Tampaknya Purbo Asmoro sadar bahwa penonton atau masyarakat pendukung pewayangan dewasa ini telah mengalami perubahan dalam mengapresiasi pertunjukan wayang. Demikian pula, konsep estetis dalam pertunjukan wayang kulit dewasa ini telah bergeser, yakni konsep estetis berdasarkan selera penonton atau konsep resepsi estetis dan bukan estetika berdasarkan kritikus pedalangan atau pakar wayang, maka TTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA diharapkan dapat menyesuaikan dengan kondisi penonton dewasa ini. Perubahan terlihat sangat signifikan pada penonton era Nartasabda dengan penonton era Purbo Asmoro
dalam bentuk pergelaran wayang. Pada era
Nartsabda, pertunjukan wayang dihayati secara audio. Artinya, catur meliputi ginem ,pocapan dan janturanyang memegang peranan penting dalam pergelaran wayang dan sangat diperhatikan para penghayat/penonton. Pada era Purbo to user Asmoro tahun 1992-sekarang,commit penonton wayang/penghayat melihat sajian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
277 wayang kulit selain audio atau didengarkan, tetapi visual (gerak wayang atau sabetan) diperlukan sebagai tontonan yang menarik. Melihat pemakaian bahasa khususnya dalam hal wejangan yang banyak mengandung nilai-nilai falsafah – Purbo Asmoro tidak sekuat Mbah Narto. Kalau Mbah Narto memiliki kepiawaian dalam menggarap bahasa. Untuk itu garap TTE dan TTD pada KTNS, DRNS sajian Nartasabda dengan TTE dan TTD pada BNPA dan RGPA sajian Purbo Asmoro sangat berbeda oleh karena faktor penghayat dan zamannya yang tidak sama (Kuwato, wawancara 30 Januari 2013).
c.Tanggapan praktisi Komentar Junaidi, seorang dalang wayang sadat menyatakan bahwa berdasarkan wujud pakeliran dalang dapat digolongkan empat: (1) dhalang apik; (2) dhalang wasis; (3) dhalang pinter; dan (4) dhalang
sabet. Dhalang
apikberarti wujud sajian wayang mengutamakan nilai estetis dan semua unsur pedalangan tampak indah. Dhalang wasis berarti setiap adegan wayang dramatiknya menonjol. Dhalang pinter berarti garapan lakon yang disajikan penuh dengan pesan-pesan moral dan spiritual. Dhalang sabe berarti wujud pakelirannya lebih menonjolkan gerak wayang yang resik dan mungguh. Berdasarkan klasifikasi
menurut Junaedi, TTE dan TTD yang disampaikan
dalang Purbo Asmoro dalam lakon BNPA dan RGPA termasuk dhalang apik dan juga dhalang wasis karena dalam garap unsur pedalangan dinilai merata atau semua bagus dan mantap, sedangkan dhalang wasis berarti TTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA permasalahan lakonnya digarap secara artistik-estetik (Junaidi, wawancara tgl. 17 Januari 2013). Komentar B.Subono, seorang dalang dan juga dosen ISI Surakarta Jurusan Pedalangan, menyatakan bahwa proses kreativitas Purbo Asmoro dalam pakeliran BNPA dan RGPA tampak mantap dan indah hal itu terungkap pada TTE dan TTD pada kedua lakon. Unsur-unsur pakelirannya terutama catur yg di dalamnya terdapat TTE dan TTD selalu tergarap dengan baik sehingga selalu dapat memikat para penonton. Purbo Asmoro dapat membaca situasi zaman sehingga sajian user sedang berlangsung atau terjadi. pakelirannya diselaraskan dengancommit situasitoyang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
278 Purbo Asmoro selalu aktual di dalam menggarap situasi dan kondisinya sehingga tema lakon yang terjabarkan pada
TTE dan
TTD selalu dikaitkan dengan
keadaan yang sedang terjadi. (Subono, wawancara 20 Maret 2013). Proses kreativitas Purbo Asmoro menurut Jaka Rianto seorang dalang dari Sukoharjo, TTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA tampak greged dan menjiwai
dalam
antawecana
wayang.
Unsur-unsur
pakelirannya
yang
menyangkut dialog wayang yang terungkap pada TTE dan TTD selalu tergarap dengan baik sehingga selalu memikat para penonton. Setiap akan pentas selalu berlatih minimal dua kali dengan para pengrawitnya (penabuh gamelan) yang dipilih memiliki keterampilan yang bagus. Pendukung karawitan dipilih dari para pengrawit yang pernah bergabung dengan dalang Nartasabda. Penyampaian TTE dan TTD dengan bahasa sederhana mudah dipahami oleh penontonnya. (Jaka Rianto, wawancara, 20 Maret 2013).
Gambar. IV.1.4. Purbo Asmoro dalam sajian Rama Gandrung, adegan pertama menampilkan flash back (kilas balik). Tampil di kelir tokoh Ramawijaya, dihadap Sinta dan di tengah adalah Kayon atau Gunungan. (Foto Hesti) Latar belakang sosiobudaya era Nartasabda dengan era Purbo Asmoro sangat berlainan karena perubahan sosial yang terjadi serta pengaruh kesenian massa, baik lewat media elektronika maupun pementasan langsung di berbagai to user pelosok tanah air, maka TTE dan commit TTD yang terungkap dalam lakon KTNS dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
279 DRNS bila dibandingkan denganTTE dan TTD pada lakon BNPA dan RGPA sangat berbeda. Secara berangsur-angsur, pengaruh kesenian pop atau seni massa yang melanda di tengah-tengah masyarakat menyebabkan daya apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan wayang makin menurun, bahkan terjadi perubahan estetika dalam menghayati pergelaran wayang kulit dewasa ini. Pertunjukan wayang bila menuruti selera penonton yang dangkal maka wayang akan ditinggalkan masyarakat pendukungnya karena tidak ada pesan yang disampaikan kepada penonton, baik pesan moral, religius, spiritual dan sebagainya. Purbo Asmoro tidak menuruti selera penonton yang rendah. TTE dan TTD pada lakon RGPA dan BNPA penuh permasalahan serta memadukan konsep pakeliran semalam dengan konsep garapan pakeliran padat. Dramatisasi dan garapan tokoh selalu diutamakan maka bentuk sajian pakelirannya selalu menarik perhatian penonton dan mempunyai kekhasan sendiri walaupun juga mengakomodasi keinginan penonton dewasa ini.
Bentuk pakelirannya menyesuaikan tuntutan
zaman dan kemauan penonton tanpa mengurangi mutu sajian wayang maka masyarakat memberikan julukan
dhalang priyayi (Jaka Rianto, wawancara 20
Maret 2013). Berdasarkan komentar pengamat wayang, para dalang, dan pendukung pewayangan
dapat disimpulkan bahwa TTE dan TTD yang disajikan Purbo
Asmoro dalam RGPA dan BNPA merupakan bentuk pertunjukan wayang yang dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi serta mampu mengolah gaya pedalangan tradisi yang diramu dengan pedalangan garap padat. Dengan cara itu, wujud pedalangannya memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh para dalang yang lain.Sajian TTE danTTD pada BNPA dan RGPA dapat menarik perhatian pendukung wayang generasi muda maupun generasi tua dan gaya pedalangannya selalu aktual dan kontekstual.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
280 IV.3 Temuan Penelitian dan Pembahasan A. 1.
Temuan Penelitian Tindak Tutur Ekspresif dan Direktif Berdasarkan analisis tindak tutur ekspresif (TTE) dalam pathet sanga dan
manyura pada lakon KTNS, dapat dikategorikandua TTE dan sub-TTE, yakni(1) maaf; dan (2) menolak. Dalam lakon DRNS dikategorikan dua TTE dan subTTEyaitu, (1) maaf; dan (2) menolak. Wujud TTE yang terdapat dalam lakon BNPA dapat dikategorikan menjadi satu TTE dan sub-TTE; menolak; Wujud TTE dalam lakon RGPA dikategorikan menjadisatu yakni: mengucapkan maaf TTE manyura (PM) dan pathet sanga (PS) dalam KTNS ditemukan mengucapkan maaf sebanyak 6 tuturan (42.85%) yang meliputi PS sebanyak satu tuturan dan PM 5 tuturan, menolak sebanyak 1 tuturan (7.14%) yang meliputi PM 1 tuturan. TTE pathet manyura (PM) dan pathet sanga (PS) dalam DRNSditemukan sebanyak 6 tuturan yang terdiri dari menolak(37.50%). TTE manyura (PM) dan pathet sanga (PS) dalam BNPA adalah sub-TTE9 tuturan yaknimenolak (75%), Dalam lakon RGPA, frekuensi kemunculan TTE dalam sub-TTEadalah sama rata bobotnya antara mengucapkan maaf(33,33%). Tindak tutur direktif lakon KTNS pada pathet sanga dan manyura mencakup torequest (memohon)8 tuturan; toquestion (menanyakan) 4 tuturan; torequirement (memerintah) 18 tuturan; to prohibitives(melarang) 11 tuturan; to permisif (meminta izin) 11 tuturan; dan to adviser (memberi saran) 7 tuturan. Dalam lakon DRNS, ditemukan torequest (memohon) 8 tuturan; to question menanyakan) 5 tuturan; to requirement (memenuhi syarat) 12 tuturan; to prohibivites (melarang) 3 tuturan; to permisif (meminta izin) 2 tuturan; dan to adviser (memberikan saran) 10 tuturan. Dalam lakon KTNS secara keseluruhan terdapat tindak tutur direktif sejumlah 57 tuturan dandalam lakon DRNS terdapat tindak tutur direktif sejumlah 40 tuturan. Dengan demikian, dalam lakon KTNS paling banyak ditemukan TTD memerintah sejumlah 31.57% dari 57 tuturan dan dalam lakon DRNS paling banyak ditemukan TTD memerintah sejumlah (30%) dari 40 tuturan.
Temuan pada lakon BNPA dan RGPA, pada pathet to user sanga dan manyura meliputi commit to request (memohon) 2 tuturan; to quetion
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
281 (menanyakan) 2 tuturan; to requirement (memerintah) 6 tuturan; to prohibitives (melarang) 9 tuturan to permisif (memberikan saran) zero. Dalam
(meminta izin) zero; dan to adviser RGPAditemukan to request (memohon) 10
tuturan; to question Tindak tutur direktif lakon KTNS pada pathet sanga dan manyura mencakup torequest (memohon)8 tuturan; toquestion (menanyakan) 4 tuturan; torequirement (memerintah) 18 tuturan; to prohibivites (melarang) 11 tuturan; to permisif (meminta izin) 11 tuturan; dan to adviser (memberi saran)7 tuturan. Dalam lakon DRNS, ditemukan torequest (memohon) 8 tuturan; to question menanyakan) 5 tuturan; to requirement (memerintah) 12 tuturan; to prohibivites (melarang) 3 tuturan; to permisif (meminta izin) 2 tuturan; dan to adviser (memberikan saran) 10 tuturan. Dalam lakon KTNS secara keseluruhan terdapat tindak tutur direktif sejumlah 57 tuturan dandalam lakon DRNS terdapat tindak tutur direktif sejumlah 40 tuturan. Dengan demikian,dalam lakon KTNS paling banyak ditemukan TTD memerintahsejumlah 31.57% dari 57 tuturan dan dalam lakonDRNSpaling banyak ditemukan TTD memerintahsejumlah (30%) dari 40 tuturan.
.
Temuan pada lakon BNPA dan RGPA, pada pathet sanga dan manyura meliputi to request (memohon) 2 tuturan; to quetion (menanyakan) 2 tuturan; to requirement (memerintah) 6 tuturan; to prohibitives (melarang) 9 tuturan to permisif (meminta izin) zero; dan to adviser (memberikan saran) zero. Dalam RGPA ditemukan to request (memohon) 10 tuturan; to question (menanyakan) 13 tuturan; to requirement (memenuhi syarat) 25 tuturan; to prohibitives (melarang) 6 tuturan; to permisif (meminta izin) 2 tuturan; dan to adviser (memberikan saran) ditemukan (0 %). Dengan demikian,dalam lakon BNPA TTD yangtertinggi adalahprohibitives(melarang) sebanyak (47.36%) dari 19 dan dalam lakon RGPA TTD yang tertinggi adalah to requirement (memenuhi syarat) sebanyak (44.64%) dari 56 tuturan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
282 2.Strategi Bertutur KTNS, DRNS, BNPA, RGPA Dalam lakon KTNS ditemukan tuturan langsung literer (LLT) sebanyak (25%), tuturan tidak langsung literer (TLL) sebanyak (37.50%), tuturan langsung tidak literer (LTL) sebanyak (28.12%), dan tuturan tidak langsung tidak literer (TLTL) sebanyak (9.37%) dari 32 tuturan yang terbagi dalam 4 kategori LTL. Dalam lakonDRNS ditemukan LLT sebanyak 4.76%, tuturan TLL sebanyak (38.09%), tuturan LTL sebanyak (14.28%), dan tuturan TLTL sejumlah (0%) dari 32 tuturan yang terbagi dalam 4 (empat) kategori LTL. Pemakaian tindak tutur tidak langsung dan literer dalam KTNS sangat banyak dijumpai dan dalam DRNS yang mendominasi tindak tutur tidak langsung literer. Dalam lakon BNPA ditemukan tuturan LLT sebanyak (75%), tuturan TLL sebanyak (12.50%), tuturan LTL sebanyak (12.50%), tuturan TLTL sejumlah (0%) dari 8 tuturan yang terbagi dalam 4 kategori LTL. Dalam lakon RGPA ditemukan tuturan LLT sebanyak (41.17%), tuturan TLL sebanyak (29.41%), tuturan LTL sebanyak (17.64%), tuturan TLTL sebanyak (11.67%) dari 17 tuturan yang terbagi dalam 4 kategori LTL. Lakon BNPA banyak dtemukan tindak tutur langsung tidak literer dan dalam RGPA tindak tutur langsung literer. 3.Prinsip Kerja Sama (PKS) Dalam lakon KTNS ditemukan pelanggaran dalam tuturan maksim kuantitatif sebanyak (18.04%)
tuturan maksim kualitatif sejumlah (27.06%),
tuturan maksim pelaksanaan sejumlah (17.29%), dan tuturan maksim relevansi sejumlah (37.12%) dalam 4 kategori PKS. Dalam lakon DRNSditemukan pelanggaran tuturan maksim kuantitatif sejumlah (31.57%), tuturan maksim kualitatif sejumlah (29.82%) tuturan maksim pelaksanaan sejumlah (26.31%), dan tuturan maksim relevansi sejumlah (12.28%). Tuturan KTNS ditemukan pelanggaran yang tertinggi adalah dalam hal tuturan maksim relevansi dan di dalam DRNS telah ditemukan pelanggaran yang tertinggi adalah tuturan dalam maksim kuantitatif. Dalam lakon BNPA ditemukan pelanggaran tuturan maksim kuantitatif commit to user sebanyak (21.62%), tuturan maksim kualitatif sebanyak (32.43%), tuturan maksim
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
283 pelaksanaan sebanyak (32.43%), dan tuturan maksim relevansi sebanyak (40.54%) Lakon RGPA, ditemukan tuturan maksim kuantitatif sebanyak (25%), tuturan maksim kualitatif
sebanyak (28.57%), tuturan pelaksanaan sebanyak
(21.42%), dan tuturan maksim relevansi sebanyak (25%).Tuturan BNPA ditemukan pelanggaran yang tertinggi adalah dalam hal tuturan maksim relevansi dan di dalam RGPA telah ditemukan pelanggaran yang tertinggi adalah tuturan dalam maksim relevansi. 4. Bidal Kesopanan (BK) Dalam lakon KTNS ditemukan tuturan bidal kurmat sebanyak (18.82%), bidal andhapasor sebanyak (28.23%), bidal tepa Salira sebanyak (24.70%) dan bidal empan papan sebanyak (28.23%). Dalam lakon DRNS,ditemukan tuturan bidal kurmat sebanyak (14%), bidal andhap asor sebanyak (22%), bidal tepa Salirasebanyak (40%), dan bidal empan papan sebanyak (24%). Dalam lakon BNPA ditemukan bidal kurmat sebanyak (18.75 %), bidal andhap asor sebanyak (9.37%), bidal empan papan sebanyak (28.12%), dan bidal tepa salira sebanyak (43.75%). Dalam lakon RGPA, ditemukan bidal kurmat sebanyak (29.78%), bidal andhap asor sebanyak (27.65%), bidal tepa salira sebanyak (27.65%), dan bidal empan papan sebanyak (14.89%). 5.Implikatur Lakon KTNS dalam jagad pedalangan sangat popular dan digemari para pendukung
wayang,termasuk
lakon
Baratayuda
atau
lakon
tragis.
Di
dalamnyaterkandung ajaran keutamaan, yakni ajaran keutamaan moral bagi manusia pada umumnya, maupun keutamaan bagi para prajurit atau pejabat negara. Sikap keteladanan Basukarna oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV ditulis dalam karya sastra berbentuk tembang macapat Dandhanggula yang berjudul Serat Tripama.Di dalamnya, diceritakan tiga tokoh wayang sebagai teladan bagi para prajurit, yaitu tokoh Patih Suwanda di Maespati, tokoh Kumbakarna di Alengka, dan tokoh Basukarna sebagaimana diilustrasikan berikut. “Wontên malih kinarya commit palupi, to Surya user putra Narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadangé, lèn yayah tunggal ibu, suwita mring Sang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
284 Kurupati, anèng nagri Astina, kinarya gul-agul, manggala golonganing prang, brantayuda ingadêgkên sénapati, ngalaga ing Kurawa”.“Dèn mungsuhkên kadangé pribadi, aprang tandhing lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahé, dênira pikantuk, marga denya arsa malês sih, ira Sang Duryudana amarta kalangkung, dènya ngêtog kasudiran, aprang ramé Karna mati jinêmparing, sumbaga wira tama”. Terjemahan: „Ada teladan yang patut dicermati, Basukarna raja di Awangga, ia adalah saudara Pandawa, dan saudara sekandung lain ayah, mengabdi kepada Raja Duryudanadi Negara Astina, dijadikan panglima perang, memimpin dalam perang Baratayuda bertindak sebagai senapati panglima barisan Kurawa. Basukarna berperang melawan saudaranya sendiri yakni perang tanding dengan Arjuna, Basukarna sangat gembira hatinya, karena sebagai sarana untuk membalas budi kepada Sang Duryudanaia bertempur mati-matian, dan mengeluarkan segala kemampuan dan kesaktiannya, pertempurannya hebat, selanjutnya ia mati kena panah, gugur sebagai pahlawan Kurawa‟. Dalam
lakon
KTNS,
terdapatdilema
moral
yang
dialami
BasukarnamaupunArjuna.Kedua kasatria itu masih bersaudara sekandung, tetapi berlainan ayah.
Hal itu memberikan gambaran mengenai kompleksitas
permasalahan yang dihadapi manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupan.Di samping itu, setiap keputusannya menanggung konsekuensi berat. Betapa rumitnya permasalahan yang dihadapi manusia dalam hidup, terutama berkaitan dengan masalah moral. Segala sesuatu yang baik dan buruk merupakan hal yang selalu berjalan beriringan dalam kehidupan manusia. Dilema moral yang dialami Basukarna terjadi karena adanya benturan kewajiban yang timbul karena bermacam-macam kedudukan yang disandang tokoh itu. Basukarna berkedudukan sebagai ksatria. Dia memiliki keharusan moral untuk senantiasa membela kebenaran dan membasmi angkara murka. Dalam hal ini,Basukarnaharus berada di pihak Pandawa. Namun, di sisi lain Basukarna sebagai panglima atau senapati Kurawa yang juga memiliki keharusan moral kepada Raja Duryudana karena sumpah setia yang pernah diucapkan. Basukarna dibesarkan dan diberi kemuliaan oleh Raja Duryudana.
Oleh sebab itu, ia
berhutang budi kepada Duryudana, bahkan bersumpah untuk selalu membela Kurawa. Motivasi Basukarna berperang commitmelawan to user Arjuna adalah ingin berkorban
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
285 untuk kemuliaan adik-adiknya, yakni Pandawa. Motivasi Basukarna di pihak Kurawa dalam perang Baratayuda adalah menghendaki angkara murka lenyap dan dibinasakan, dalam hal ini para Kurawa termasuk Raja Duryudana. Tokoh Basukarna adalah sebagai prajurit teladan, tegas, dan teguh dalam pendirian untuk tetap di pihak Korawa.Diajuga salah satu ksatria utama yang memiliki harga diri walaupun dirayu Kresna, dan Kunthi sebagai ibunya sendiri,namun Arjunatetap pada pendiriannya. Basukarna sebagai ksatria tidak mau disuap, di pihak Kurawa tidak untuk memenangkan perang, karena komitmennya serta untuk menepati janji kepada Duryudana. Berdasarkan peristiwa dantindakannya,nilai yang tersirat daritokoh Basukarna dalam lakon KTNS adalah kesetiaan dan rasa tanggung jawab yang dilaksanakan dengan penuh risiko dan pengorbanan jiwa raga.Itulah gambaranan sosok pahlawan sejati. Tokoh Basukarna dalam budaya Jawa dikatakan memiliki sikap “sêpi ing pamrih ramé ing gawé”, yaitu gambaranan sikap yang dianggap ideal bagi masyarakat Jawa. Sikap yang dimaksud adalah selalu menjauhkan egoisme dalam setiap perbuatan dan selalu mengedepankan kewajibannya di atas kepentingan pribadi. Tokoh Basukarna secara empiris membela Kurawa, tetapi di balik tindakannya tersimpan motivasi yang merepresentasikan kehendak baik sebagai seorang ksatria, yaitu menjalankan tugas yang dibebankan.
Sebagai seorang
ksatria, Basukarnamempunyai tugas membela kebenaran dan membasmi angkara murka. Basukarna,harus membela Pandawa dengan melenyapkan angkara murka dari muka bumi yaitu Korawa. Sikap empiris Basukarna membela Kurawa dapat dianggap sikap yang salah. Dilihat dari sisi kebaikan, Basukarna adalah seorang ksatria pembela kebenaran, dalam hal ini adalah Pandawa. Dengan demikian, dapat
dikatakan
bahwa
tokoh
Basukarna
memiliki
moral
yang
baik.Keberadaannya di pihak Kurawa dalam perang Baratayuda dilakukan atas dasar kewajiban sebagai seorang ksatria di Astina agar tidak melanggar kode etik dan sebagai solusi bagi dilema moral yang telah lama dialami. Tokoh Basukarna mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang ksatria Kurawa dan memenuhi sumpah yang telah disampaikan kepada Duryudana. Di lain pihak, Basukarna commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
286 telah memenuhi kewajibannya untuk membela Pandawa dengan mengorbankan jiwa raga demi kemuliaan para Pandawa. Cerita DRNS dalam jagad pedalangan sangat terkenal dan sering dipentaskan karena mengandung berbagai ajaran moral maupun spiritual. Ajaran moral dan spiritual yang terkandung secara implisit tertuang dalam janturan, pocapan, ginem, dan sebagainya. Duryudana memerintahkan Werkudara untuk mencari tirta pawitramahêning suci yang berada di hutan Tikbrasara, di lereng Gunung Gadamadana yang berdekatan dengan gunung Candramuka, tepatnya berada dalam Guwa Sigrangga. Peristiwa itu melukiskan sikap murid yang harus percaya kepada guru walaupun permintaan sang guru sulit.
Werkudara tetap
berangkat ke gunung Candramuka dan setelah tiba tidak ditemukan tirta pawitra, tetapi bertemu dengan dua raksasa, yakni Rukmuka dan Rukmakala. Peperangan Werkudara dengan dua raksasa mempunyai makna sebagai orang yang memulai proses berkarya untuk mencapai cita-cita yang penuh dengan rintangan. Hutan Tikbrasara atau Tibrasaraberasal dari kata tibra yang artinya „susah‟ atau „sedih‟, dan sarayang berarti „panah‟. Tibrasara dapat diartikan sebagai panah yang menuju kesedihan. Gunung Candramuka, berasaldari kata candra yang berarti „bulan‟ atau „perumpamaan‟ dan muka yang berarti „roman muka‟, „depan‟, atau „yang dihadapi‟. Jadi, Candramuka dapat diartikan sebagai perumpamaan yang dihadapi. Gunung Gadamadana, berasaldari kata gada yang berarti „senjata pukul‟ dan madana yang berarti „cinta‟ atau „keasyikan akan sesuatu‟. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala berasal dari kata rukmayang berarti „emas‟ sebagai lambang kekayaan, sedangkan muka berarti „yang dihadapi‟. Rukmakala berasaldari kata rukma dan kala yang berarti „jerat‟. Jadi, Rukmuka dan Rukmakala dapat diartikan sebagai sifat materialistik atau serakah dalam menghadapi harta kekayaan yang menyebabkan orang terjerat, bertindak korup, dan pada gilirannya akan terjerumus dalam jurang kenistaan (Adhikara, 1984: 50). Dengan demikian, tuturan Durnakepada Werkudara untuk mencari tirta pawitra yang berada di Candramuka dapat dimaknai bahwa manusia dalam mencapai cita-cita yang luhur harus melewati ujian dan rintangan.Untuk itu, commit to user manusiaharus dapat membersihkan diri,berkonsentrasi, serta melepaskan diri dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
287 nafsu-nafsu jahat dan pikiran rendah. Di samping itu, dilandasi pula dengan kejujuran, kesetiaan, dan ketabahan sehingga sampai pada tujuannya yang hakiki. Raksasa dalam pertunjukan wayang kulit melambangkan makhluk yang perangainya jelek, tamak, loba, dan serakah.
Adhikara menyatakan bahwa
raksasa Rukmaka dan Rukmakala yang berada di Gunung Madana dimaknai secara tersirat sebagai berikut. “Wahai Dewaruci apa yang kau hadap (muka), di hutan ini adalah gambaranan perumpamaan (candra), ketamakan (raksasa) dan keasyikan (madana), akan harta kekayaan (rukma), yang dihadapi (muka) seseorang, sehingga ia akhirnya menuju pada (sara), dan terjerat (kala) kesedihan (tikbra). Oleh karena itu, binasakan (gada) keserakahan (raksasa) dalam dirimu (Adhikara 1984:17). Intisari cerita Dewaruci dalam budaya Jawa disampaikan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, artinya keris bersatu padu dalam sarungkeris, sarungkeris bersatu padu dalam keris. Keris dapat diartikan sebagai sifat Ketuhanan Yang Maha Esa dan sarung (warangaka) dapat diartikan manusia. Manjing masuk sampai tak dapat lepas atau bersatu padu. Dengan demikian, ungkapan “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” dapat diartikan sifat Ketuhanan Yang Maha Esa bersatu padu dalam citranya (Soetarno, 2002: 92). Ilmu manunggal yang dicapai Werkudara adalah suatu pengalaman mistik, bukan pengalaman hasil pengamatan pancaindera, melainkan dari kesadaran Indrajitrawi. Mistik Jawa secara umum disebut kebatinan. Kata kebatinanberasal dari kata Arab batin yang berarti sebelah dalam, inti, bagian dalam, di dalam hati, tersembunyi, dan misterius. Praktik kebatinan adalah usaha untuk berkomunikasi dengan realitas mempelajarisebagai cabang pengetahuan, kebatinan mempelajari tempat manusia dalam dunia dan dalam kosmos yang didasarkan atas keyakinan akan adanya kesatuan hakiki antara segala yang ada (Mulder,1983: 22). Tujuan mistik Jawa adalah kesatuan hamba dengan khalik-Nya (manunggaling kawula dan Gusti). Melalui kesatuan yang hakiki maka manusia to user mencapai pengetahuan (kawruh),commit asal-usul (sangkan), dan tujuan (paran) segala
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
288 apa yang diciptakan (Ciptoprawiro,1988: 72). Perjalanan mistik digambarkan melalui empat tahap, yaitu (1) saréngat, tahap mistik yang paling rendah, yaitu menghormati dan hidup sesuai dengan hokum agama; (2) tarékat,yaitu meninggalkan yang lahir menuju yang lebih batin dan lebih mistik; (3) hakikat, yaitutahap hidup menghadap kebenaran; dan (4) makrifat, yakni tahap terakhir dan tertinggi dimana manusia mencapai jumbuhing kawula Gusti (bersatu dengan Tuhan) (Mulder, 1983: 25). Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa cerita DRNS mengiaskan kesatuan dengan hakikat Illahi dan pamoring kawulaGusti dengan kias air hidup. Jalan untuk mencarinya adalah tata laku susila, tapa brata, dan sêmèdi. Manusia memperoleh pengetahuan penghayatan, yakni pengetahuan mutlak yang diperoleh dengan manunggalnya manusia dengan Khaliknya dalam kesadaran sêmèdi. Lakon BNPA digarap dengan pendekatan pakeliran padat. Seperti lakon RGPA,
struktur
adegan
maupungendhing
yang
mengiringinya
tidak
menggunakan tradisi pakeliran semalam. Demikian pula, alur cerita maupun adegan merupakan gabungan beberapa peristiwa atau lakon semalam yang dikemas menjadi satu lakon. Sebagai contoh, pada lakon BNPA tokoh sentral yang digarap adalah Kumbakarna kematian Kumbakarna
dan Dasamuka dalam pakeliran tradisi
merupakan lakon yang beridiri sendiri dengan judul
Kumbakarna Gugur yang tidak menyatu dengan lakon BNPA. Tokoh Kumbakarna dalam jagad pedalangan sangat dikenal para penggemar wayang maupun peneliti wayang.
Walaupun berwujud raksasa,
Kumbakarna berhati mulia, berjiwa ksatria,dan menghormati hak-hak orang lain. Tokoh Kumbakarna oleh Mangkunegara IV (1853-1881) di Pura Mangkunegaran, Surakarta dalam karyanya Serat Tripama diangkat sebagai pahlawan sejatidan dijadikan teladan bagi para sêntana dan prajurit Pura Mangkunegaran pada waktu itu. Cuplikan Serat Tripama yang memuat tokoh Kumbakarna dalam Tembang Dhandhanggula adalah sebagai berikut. “Wontên malih tuladhan prayogi, satriya gung nêgari Alêngka, Sang Kumbakarna arane, tur iku warna diyu, supradéné nggayuh utami, duk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
289 wiwit prang Alêngka, dènnya darbé atur, mring raka amrih Dasamuka, tan kèngguh ing atur yêkti, déné mungsuh wanara.” Terjemahan: „Ada teladan lagi yang pantas ditiru, ksatria dari Alengka, Kumbakarna namanya, walaupun berupa raksasa, tetapi ia berhati mulia dan berjiwa utama, pada waktu pecah perang di Alengka, memberikan saran kepada Dasamuka agar selamat, tetapi Dasamuka tidak menuruti saran adiknya, berperanglah melawan prajurit kera‟. “Kumbakarna kinèn mangsah jurit, mring kang raka sira pan nglênggana, nglungguhi kasatriyané, ing tékad datan purun, among cipta labuh nêgari, lan nolèh yayah rêna, myang lêluhuripun, wus mukti anèng Alêngka, mangka arsa rinusak ing bala kapi, punapi mati ngrana”. Terjemahan: „Kumbakarna diminta menjadi panglima perang, kesediannya maju perang tidak membela kakaknya, tetapi bertindak sebagai ksatria, dengan tekad membela tanah kelahirannya,yang diwariskan dari leluhurnya, serta merasa diberi kenikmatan dan kemakmuran, sekarang akan diserang tentara kera, lebih baik gugur di medan pertempuran‟. Sikap Kumbakarna dalam menghadapi perintah Dasamuka tidak setuju, bahkan
meminta
agar
Sinta
dikembalikan
kepada
Ramawijaya.
Saran
Kumbakarna tidak mendapat tanggapan membuat Dasamuka marah. Oleh sebab itu,Kumbakarna maju ke medan pertempuran dengan berpakaian serba putih. Tokoh Kumbakarna mengalami dilema moral apabila dibandingkan dengan tokoh Wibisana yang membelot kepada Ramawijaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan konsep nasionalisme dan humanismenya Pancasila. Tokoh Kumbakarna sesuai dengan nilai nasionalisme, sedangkan Wibisana sesuai dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Kematian Dasamuka oleh panah Guwawijaya senjata Ramawijaya memberikan makna bahwa kejahatan dan keangkaramurkaan akan lenyap oleh kebaikan yang dalam budaya Jawa diungkapkan dengan kalimat “sapa salah bakal sèlèh” (orang yang salah atau korup akan ketahuan juga).
Tokoh
Dasamuka dalam Serat Wedhatama dapat digambarkan sebagai raja yang mempunyai sifat “adigang, adigung, adiguna (mengandalkan kesaktian, kekuasaan dan kekuatan), tetapi hancur oleh budi yang suci. commit to user
Peribahasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
290 dalambahasa Indonesia “setinggi-tinggi tupai melompat, akhirnya jatuh juga”. Sikap angkara Dasamuka dapat dicermati dalam dialog Ramawijaya dengan Dasamuka sebagai berikut. :Apa sing bisa netepi darma ki mung dhapurmu, hem……? Mripatmu weruh, negaraku Negara gedhe. Sak donya iki negarane Dasamuka, negaraku gedhe kabeh wis padha nekseni. tentrem lan orane Negara liya mung gumantung negaraku, ngerti? Kabeh padha sumuyut marang Dasamuka Ramawijaya: Nadyan kowe sinuyutan nanging kabeh mau mung merga kepeksa. Pirang-pirang lelakon wis nuduhake nyatane sapa sing nulak kowe mbok prejaya, sapa sing nduwa mbok pateni sing cengkah mbok bedhah sing ngelingke mbok singkirke sing ngguyu dadi mbok satru. Mula kang saka iku Dasamuka, tekaku ing kene (BNPA.Gn.065) Dasamuka
Terjemahan: Dasamuka
:„Apa yang benar itu hanaylah kamu, hem…? Matamu tahu negaru besar sedunia ini negaranya Dasamuka semua sudah mengakui. Tenteram dan tidaknya negara lain tergantung pada diriku, ngertikah? Semua tunduk dengan DFasamuka‟. Ramawijaya : „Walaupun kamu Dasamuka diikuti dan disenangi rakyatmu, tetapi Semua karena terpaksa. Beberapa peristiwa telah membuktikan tingkahmu, siapa yang menolak kemauanmu kau bunuh, siapa yang membangkang kau potong lehernya, siapa yang berseberangan dengan tujuanmu kamu serang, yang mengingatkan kau kucilkan, dan yang menertawakan kau anggap musuh. Maka dari itu saya datang kemari untuk membasmi angkara yang kau sandang‟. Tuturan di atas mengandung makna yang memberikan pesan bahwa kekuasaan, kewenangan, kepandaiaan, dan kedudukan bilamana disalahgunakan disertai perilaku yang sombong, congkak, arogan maka akanmenyebabkan kehancuran. Makna yang terkandung adalah bahwa orang yang serakah, tamak, dan sombong pada umumnya tidak disadar, dan selalu ingin memaksakan kehendak dengan berbagai cara untuk tercapainya tujuan. Sifat angkara Dasamuka dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (1812-1881) dideskripsikan dalam tembang Pocung sebagai berikut. Angkara gung, neng angga agung gumulung, gegolonganira, tri loka commit to user lekering kongsi, yen den umbar-umbar gawe rubeda.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
291 Terjemahan: „Angkara murka atau nafsu-nafsu yang berada di badan, Bilamana tidak dikendalikan akan membuat malapetaka‟. Kearifan lokal yang terungkap dalam cerita pewayangan masih relevan dengan kehidupan sekarang.Bahkan,cerita ini menjadi pandangan hidup masyarakat pendukung budaya Jawa. Angkara murka yang dijumpai dalam kehidupan sekarang adalah perilaku korupsi yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di daerah dan dilakukan oleh para penguasa atau pejabat eksekutif maupun legislatif. Kearifan lokal yang terkandung dalam pertunjukan wayang kiranya dapat dimanfaatkan untuk pegangan dalam membangun masyarakat yang adil, makmur, serta sejahtera, baik lahir maupun batin. Di samping itu, juga dapat diimplementasikan dalam tata
pemerintahan sehingga
diharapkan
dapat
terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam lakon RGPA, makna tuturan yang terkandung di dalamnya terdapat pada adegan Ramawijaya dengan Barata. Ketika Ramawijaya berada di hutan, tiba-tiba datanglah Barata meminta Ramawijaya kembali ke Ayodya dan menyatakan tidak bersedia untuk memimpin Kerajaan Ayodya setelah ayahnya, yakni Dasarata meninggal. Ramawijaya memberikan petuah dan ajaran astha brata (tentang kepemimpinan) kepada Baratadan akhirnya menuruti permintaan Ramawijaya menjadi raja di Ayodya. Asthabrata dapat disimak dalam buku Pakem MakuthaRama, oleh Siswoharsojo (1963) sebagai berikut. (1). Ambeging kisma (watak bumi), artinya pemimpin harus bermurah hati, sabar, dan jujur; (2) ambeging dahana (watak api), artinya pemimpin hendaknya selalu membrantas orang yang menentang hukum-hukum kebenaran. Dalam budaya Jawa dikatakan: mbabati kangrungkut, mancasi kang malang-malang, ambrastha dur angkara (memotong yang rimbun, menghilangkan yang menghadang, dan membasmi angkara murka); (3) ambeging samirana (watak angin), artinya pemimpin hendaknya dapat menyikapi semua rakyatnya, berwatak adil para marta; (4) ambeging tirta (watak air), artinya pemimpin hendaknya bersikap mengutamakan perasaan terhadapcommit sesamato manusia; (5) ambeging akasa (watak user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
292 angkasa), artinya pemimpin hendaknya berhati lapang dan berbudi luhur; (6) ambeging candra (watak bulan), artinya pemimpin hendaknya selalu memberikan bimbingan dan teladan bagi rakyatnya agar selalu belajar untuk bekal hidupenuturya;(7) ambeging surya
(watak matahari), artinya pemimpin
hendaknya selalu memberikan semangat dan dapat memberikan kehidupan yang layak terhadap rakyatnya; (8) ambeging
kartika (watak bintang), artinya
pemimpin hendaknya memiliki hati yang teguh, sentosa, serta menjadi panutan rakyatnya. Berbagai sumber astha brata tersebut di atas terdapat perbedaan dalam ungkapan perlambangan, namun demikian memiliki makna yang sama. Dalam karya sastra astha brata diungkapkan sifat-sifat para dewa, sedangkan dalam jagad pedalangan diungkapkan dengan sifat-sifat alam semesta. wejangan
astha
brata
yang
disampaikan
Ramawijaya
Lakon RGPA kepada
Barata,
menggunakan sifat-sifat alam semesta yang diharapkan menjadi pegangan Barata dalam memimpin kerajaan Ayodya. Kearifan lokal seperti ajaran astha brata, dalam era globalisasi masih relevan dengan kehidupan sekarang, tidak hanya para pemegang kekuasaan, tetapi berlaku bagi masyarakat pada umumnya untuk menanamkan pendidikan karakter. Para pemimpin tidak jarang astha brata disampaikan lewat pengarahan terhadap pendukungnya agar memperoleh simpati dan kewibawaan untuk memantapkan kedudukannya. 6. Daya Pragmatik Motivasi Basukarna maju perang dalam lakon KTNS dapat dicermati dalam dialog Basukarna dan Arjuna berikut ini. Arjuna
: Nyuwun pengestu kaka prabu pangabekti kula konjuka paduka kanjeng kaka prabu Basukarna: Iya Arjuna siadhi atur pangabekti marang pun kakang tak tampa gawe gedhening atiku. Rada cingak rasaning atiku dene siadhi nggone kepethuk pun kakang wus ngrasuk busana kanarendran. Mangka lumrahe wong kang manjing paprangan iku kudu ngrasuk kaprajuritan. Nanging siadhi ngrasuk kanarendran anjajari pun kakang. Apa kepengin commit to user siadhi tumuli anguntabake sedaning pun kakang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
293 Arjuna: Dhuh kaka prabu sanes menika ingkang kula kajengaken wontenipun kula mengangge mekaten awit sangking dhawuh parintahipun kanjeng ibu Kunthi. Terjemahan: Arjuna : „Mohon maaf Kakanda Parbu, salam hormat kupersembahkan kepada Kakanda. Basukarna : „Iya Arjuna adikku salam hormatmu kepadaku membuat senang hatiku. Agak kecewa rasa hatiku karena dalam pertemuan ini Adik sudak mengenakan busana kerajaan.Padahal lazimnya akan perang itu memakai busana prajurit. Apa ingin mengantarkan kematian Kakandamu. Arjuna : Dhuh kaka prabu sanes menika ingkang kula kajengaken wontenipun kula mengangge mekaten awit sangking dhawuh parintahipun kanjeng ibu Kunthi. Daya
pragmatiknya
adalahBasukarna
maju
perang
karena
ingin
kesempurnaan hidup sebagai ksatriayang gugur di medanlaga. Menurut Basukarna, kemenangan berartikemuliaan di dunia dan kematian adalah kemuliaan kehidupan berikutnya, yaitu surga. Panglima yang maju perang ingin memenuhi dharma atau kewajiban sebagai ksatria dan dharma seorang ksatria adalah berperang menegakkan keadilan. Motivasi rela berkorban dan ingin gugur sebagai ksatria dapat dicermati pada pocapan dalam peperangan Basukarna dengan Arjuna sebagaimana tertulis berikut ini. “Kendel datan ébah Prabu Karna, dupi mulat ingkang rayi Dananjaya anglêpasaké panah Pasopati, kêtingal lamun mésam-mésêm saya katon kêbagusané. Kang mangkono minangka tandha yêkti yèn wus lila donya, lêgawa ing pati. Saya anyakêti lampahé Pasopati, tumama janggané Prabu Karna tugêl thêl tigas pancing“. Terjemahan: „Basukarna tidak bergerak, ia melihat Arjuna melepaskan panah Pasopati, namun ia tampak senyum-senyum, sebagai tanda bahwa ia rela mati. Panah Pasopati tepat mengenai leher Basukarna dan menyebabkan putus leher dan badanya‟. Daya pragmatik dalam deskripsi itu bahwa panglima perang harus tegar dan maju terus walaupun jiwanya terancam, serta tidak boleh glanggang playu, yakni meninggalkan medan pertempuran. Hal itu seperti yang dilalukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
294 Basukarna. Dia mengetahui jiwanya terancam, tetapi maju terus sampai menghembuskan nafas terakhir sebagai kusuma bangsa atau pahlawan Kurawa. Tujuan hidup Basukarna ada dua hal, pertama adalah untuk mendapatkan kasih sayang Duryudana karena merasa dibesarkan dan diberi kedudukan, bukan berarti menjilat Duryudana. Kedua, agar dapat berperang melawan harus dengan cara memusuhi Pandawa maka angkara murka atau Duryudana akan lenyap dari muka bumi. Basukarna rela berkorban di peperangan sebagai prajurit. Hal itu dapat dicermati dari dialog Basukarna dengan istrinya, yakni Surtikanthi sebagai berikut. Surtikanthi:Kula radi trataban raosing manah kula, prêkawis pati urip mênikakala wau. Basukarna: Pacangané urip kaya kang tak kandhakaké mau kalêbu pati. Manungsa itu ora bisa sélak, gêlêm ora gêlêm jroning padha urip among ngêntèni pacangan yaiku têkaning pati. Nanging pati mono ana pérangané yaiku ana têlung prakara: siji pati patitis, yaiku sédané kang padha mukswa sak ragané. Loro pati pataka, iku mati kang jalaran lara, déné têlu pati prasida, yaiku patiné prajurit utawa sénapati ana paprangan, sênadyan wus têkaning pati nanging gandané arum angam Barata, pati dadi kêmbangé Negara . Ya sebab iku pun kakang milih upamane iki mengko sumandhing kang tak pilih, yaitu pati prasida. Terjemahan: Surtikanthi:„Saya khawatir hati saya tentang kematian yang diucapkan kakanda‟. Basukarna : „Jodohnya orang hidup adalah kematian dan itu tidak dapat ditolak, dan orang hidup itu hanya menunggu kematian. Tetapi kematian itu dapat dibagi menjadi tiga hal yaitu: pertama meninggal patitis, artinya mati dengan jiwa dan raganya, kedua meninggal pataka, artinya mati karena sakit, dan ketiga meninggal prasida, artinya meninggal di medanpertempuran yang dilakukan oleh para prajurit atau senapati. Oleh karena itu,Bila tiga hal itu nanti terjadi maka saya memilih mati prasida‟. Daya pragmatik pada dialog itu adalah semua kehidupan manusia akan mengalami kematian. Terdapat tiga kematian, yaitu mati dengan raganya, mati karena sakit, dan mati dalam peperangan sebagai pahlawan. Basukarna memilih mati dalam peperangan yang disebut mati prasida. Dengan demikian, Basukarna mengalami dilema moral karena commit adanya to benturan user antara kewajiban moral untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
295 membela saudara-saudaranya (Pandawa) dan kewajiban moral untuk membalas budi kepada Duryudana yang telah memberikan kedudukan dan kemuliaan. Dilema moral merupakan salah satu titik tolak yang penting untuk melihat keutamaan sebagai ksatria. Tokoh Basukarna adalah sebagai prajurit teladan, tegas, dan teguh dalam pendirian untuk tetap di pihak Korawa. Basukarnaadalah salah satu ksatria utama yang memiliki harga diri walaupun dirayu oleh Kresna, dan
Kunthi sebagai
ibunya sendiri,sertaArjuna. Basukarna sebagai ksatria tidak mampu disuaptetap pada pendiriannya. Komitmennya dalam menepati janji kepada Duryudana yakni bersedia melakukan perang
namuntidak
memenangkan ke pihak Korawa.
Berdasarkan peristiwa dan tindakannya, nilai yang tersirat dari tokoh Basukarnadalam lakon KTNS adalah kesetiaan dan rasa tanggung jawab yang dilaksanakan penuh risiko dengan mengorbankan jiwa raga.Itulah pahlawan sejati. Tokoh Basukarna dalam budaya Jawa dikatakan sebagai “sepi ing pamrih rame ing gawé”, yaitu gambaranan sikap yang dianggap ideal bagi masyarakat Jawa, sikap yang selalu menjauhkan egoisme dalam setiap perbuatan dan selalu mengedepankan kewajibannya di atas kepentingan pribadi. Tokoh Basukarna secara empiris membela Kurawa, tetapi di balik tindakannya tersimpan motivasi yang merepresentasikan kehendak, baik sebagai seorang ksatria, yaitu menjalankan tugas yang dibebankan.
Sebagai seorang
ksatria, Basukarnamempunyai tugas membela kebenaran dan membasmi angkara murka. Basukarnaharus membela Pandawa dengan cara melenyapkan angkara murka dari muka bumi, yaitu Kurawa sendiri. Sikap empiris Basukarna membela Kurawa dapat dianggap sikap yang salah, tetapi kehendak baik sebagai seorang ksatria membela kebenaran- dalam hal ini adalah Pandawa.
Dengan
demikian,tokoh Basukarna memiliki moral yang baik. Keberadaannya di pihak Kurawa dalam perang Baratayuda dilakukan berdasarkan kewajiban seorang ksatria di Astina agar tidak melanggar kode etik dan sebagai solusi bagi dilema moral yang telah lama dialaminya. Tokoh Basukarna mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang ksatria Kurawa dan memenuhi sumpah yang telah disampaikan kepada Duryudana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
296 Lakon DRNS dalam dialog Durna pada saat menerima Werkudara kembali dari hutanTikbrasara adalah sebagai berikut. Drona
: Hê, piyé? Ayo gagé sawangên! Pêrmadi kakangmu wis bali barêng karo aku. Pancèna moh tak undang. Hayo gagé dha sawangên sing dha maido karo Durna ki. lèk wus ana buktiné kaya ngéné iki gagé maidomu arêp têkan ngêndi hê! (DRNS.Gn.509) Kresna : Wêrkudara, padha raharja yayi? Werkudara : Hiya jlithêng kakangku. Kresna : Jêngandika bapa Durna winantu ing karaharjan? Drona : Ênggih. Kula sarêng ingkêng rayi mênika wau. Kula dipaibên kalih ingkang rayi pun Pêrmadi. Sangêt anggènipun gêgabah dhatêng asmaning pandhita Durna. Kula dipun tarka angloropakên pun Wêrkudara. O, lolé lolé nyatané Wêrkudara lé nyêmplung sêgara bisa nali mênèh. Têgêsé ki sing bênêr sing dho maido apa aku sing dadi wong goroh hara? Terjemahan: Drona : „Lihatlah bagaimana? ayolah lihatlah! Permadi Kakanda kamu sudah kembali bersamaan dengan saya. Memang tidak mau saya sapa. Ayolah pada lihatlah kalau tidak percaya dengan Durna. Bila sudah seperti ini dimanakah kepercayannmu untuk saya?‟ Kresna : „Wêrkudara, selamatkah dirimu?‟ Werkudara: „Hiya Si Hitam Kakandaku‟ Kresna : „Bapak Durna semoga selalu dalam keselamatankah?‟ Drona : „Iya saya bersamaan dengan adikmu. Saya sudah tidak dipercaya dengan Adik Permadi yang sangat menganggap tentang nama Durna. Saya dianggap menjerumuskan Werkudara.Ternyata Werkudara sudah kembali dari samudera. Artinya manakah yang benar yang orang yang tidak percaya atau saya yang dianggap pembohong?‟. Daya pragmatik samudera merupakan gambaran bahwa orang yang akan mendapatkan ilmu harus bekerja keras, tekun, dan kritis disertai tekad yang kuat dan tidak takut menghadapi segala kesulitan yang dihadapi. Dengan pendirian yang kuat, teguh, tegar akan ditemukan apa yang dicari.
Werkudara segera
menuju ke laut selatan dan menceburkan diri ke dalam samudera. Ketika di dasar samudera, tiba-tiba ular besar menggigit paha Werkudara maka terjadilah pergulatan yang seru antara kedua makhluk itu. Hal ini dideskripsikan dalam pocapan berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
297 Pocapan: “Radèn Wêrkudara pinulêt-pulêt dening sawijining taksaka agêng, kang awasta Kyai Nabatnawa, amulêt sariraning Wêrkudara wiwit pasundhulan ngantos dumugi dlamakan pada datan kliwatan. Sang Werkudara mbotên anyipta gêsang, among angrasa pêjah. Kinarya nyêngkakaké sêdane Werkudara, mila naga ingkang anggung anggigit wêntis kaêlih ing jangga, awit saking kêncênging pêngakêp rosaning pambênggang, suwèk cangkêmé, sirna saking pandulu”. Terjemahan: Pocapan: „Badan Werkudara dililit ular dari kepala sampai kaki, Semarula menggigit paha, tetapi Werkudara tidak mati, Nabatnawa berganti menggigit leher, ketika melebarkan mulutnya dengan sekuat tenaga, ular kehilangan keseimbangan karena sobek mulutnya dan mati‟. Daya pragmatik dari deskripsi di atas adalah manusia yang akan mencapai cita-cita luhur selalu berhadapan dengan berbagai godaan nafsu-nafsu jahat atau nafsu rendah. Bilamana dapat menyingkirkan semua godaan akan sampai pada tujuan yang hakiki.Dalam budaya Jawa dikatakan siapa yang tekun akan dapat têkên dan tekan. Artinya, cita-cita bilamana diusahakan dengan sungguh-sungguh akan tercapai. Peperangan Werkudara dengan Ular Nabatnawa dapat dimaknai sebagai perjuangan hidup atau mati manusia dalam menempuh jalan kehidupan. Nabatnawa, ular yang panjang, lentur, ujungnya runcing merupakan lambang cambuk maka Nabatnawa sebagai lambang cambuk. Ketika mati, ular menyemburkan darahnya
ke muka Werkudara. Hal ini melambangkan
manusia/orang yang dimandikan atau diwisuda. Dengan demikian, pergulatan Werkudara dengan Naga Nabatnawa dan mukanya yang diSemarburi bisa, dapat diartikan Werkudara dipacu dengan cambuk untuk menyucikan diri sebelum memperoleh ilmu suci, yaitu tirta pawitra. Setelah bergulat dengan ular, Nabatnawa akhirnya Werkudara dapat bertemu dengan Dewaruci. Peristiwa itu menunjukkan bahwa Werkudara memiliki tekad yang bulat serta kemauan yang kuat dan dilandasi niat yang baik dapat menemukan tirta pawitra seperti yang diperintahkan Durna. Pada saat di dalam perut Dewaruci,Werkudara melihat berbagai peristiwa seperti dalam dialog (ginem) commit to user sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
298 Dewaruci: Kawruhana yaiku sêjatining sira. Yaiku sêjatining sira. Sira ing kéné ndak karêpaké kabèh bêbrananing sagung dumadi. Nadyan iku durung gumêlar kang sarta durung dumadi, nanging wis bisa urip. Urip ora kêna daya wolung pêrkara, nanging uriping pramana. Déné mungguh [prana pamra] pramana mono sayêkti kasurung déning dayaning sang Ywang Suksma. Sang Ywang Suksma kang bisa ambabar dayaning pramana wêkasan manjing marang manungsané têmah dadi urip. Mula sanadyan sang Ywang Suksma ora bisa kadulu, nanging wus bisa karasakaké. Nadyan rowa birawa manungsa bisa darbé kêrosan bisa anjunjung gunung nanging yèn koncatan sang Ywang Suksma sayêkti ngalumpruk tan kêrkatan daya tan sêdya, wêkasan ya ing kono ingkang ngancik alam hantaka. Werkudara:Kula nyumurupi urup satunggal nanging cahyanipun wolu, ugi nyumêrêpi wontên cahya sêkawan warni : cahya langking, cahya rêkta, cahya jênar, cahya sêta (DRNS.Gn.444). Terjemahan: Dewaruci: „Ketahuilah sebenarnya tentang dirimu. Katahuilah yang saya maksudkan tentang kehidupan di dunia. Walaupun itu semua belum yang sesungguhnya namun bisa dikatkan hidup...Yang dikatakan tentang kehidupan sebenarnya terdorong dari kekuatannya sang Ywang Suksma. Sang Ywang Suksma yang bisa memberikan kekuatan hidup dan menjadikan kehidupan‟. Werkudara: „Saya melihat ada satu sinar namun cahayanya ada delapan warna., dan juga empat warna cahaya : cahya kuning, cahya merah, cahya hijau, cahya putih‟. Daya pragmatiknya adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat nafsunafsu yang digambarkan warna kuning yang bermakna nafsu keinginan, warna merahyang bermakna nafsu kemarahan
warna hitam yang bermakna nafsu
ketamakan, dan warna putih yang bermakna kesucian. Nafsu-nafsu yang jahat (warna kuning, merah, dan hitam) dalam diri manusia harus dikendalikan warna putih sehingga terjadi keseimbangan dalam hidup. Lebih jauh Dewaruci menjelaskan kepada Werkudara sebagai berikut. Werkudara: Ênggih. Mêkatên agênging manah kula tanpa upami. Kula tingali sarana cêtha sarta ngégla kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu, kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu mênika daya mênapa miwah satunggaling mênapa pukulun? Dewaruci: “Urub siji cahya commit wolu, to usermau kêna sinêbut pancamaya. Dénécahya wolu mau cahya dayaning urip, ya lahir ya batin.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
299 Yaiku siji cahyaning surya, loro candra. kaping têlu kartika, kaping pat mêndhung, kaping lima bumi, kaping nêm gêni, kaping pitu samodra, kaping wolu cahyaning angin. Bandha jagad wolu cacahé sayêkti ing kono ingkang bisa nêmtokaké rumagang tumitahingsagung dumadi.(DRNS.Gn.439) Terjemahan: Werkudara: Iya besarnya hati saya tidak terkira. saya melihat dengan jelas ada satu sinar namun cahanya delpan, cahaya yang demikian itu apa Pukulun‟? Dewaruci:„Nyala satu berwarna delapan disebut pancamaya. Sinar delapan itu merupakan daya hidup lahir dan batin, yang terdiri dari Sinanya matahari, bulan, bintang, awan, tanah, api, laut, dan angin. Kekuatan atau sifat alam semesta itu merupakan acuan manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Daya pragmatik dialog di atas adalah bahwa warna lima atau pancamaya merupakan perangai manusia dan perilaku yang baik untuk menjalankan kehidupan adalah bilamana orang dapat menerapkan sifat alam seperti sifat angin, api, bumi, air, bulan, bintang, matahari dan gunung. Werkudara ketika masuk ke gua garba Sang Dewaruci melihat berbagai peristiwa.Werkudara melihat hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia, alam, dan Tuhan. Werkudara melihat pancamaya (lima bayangan) yang merupakan gambaran alam semesta yang ditanggapi pancaindera manusia dan disimpan dalam hati sanubari
manusia
sebagai
pengalaman
hidup
penuturya.
Pancamaya
melambangkan kehidupan pancaindera dan selanjutnya Dewaruci melihat empat warna (catur warna), yakni merah, kuning, hitam, dan putih yang melambangkan nafsu-nafsu manusia. Amarah (Dasamuka) dalam budaya Jawa disebut sifat brangasan atau radikal, lauwamah (hitam) disebut sifat tamak, supiah (kuning) disebut sifat baik hati dan mutmainah (putih) sifat jujur. Keempat nafsu selalu ada dalam diri manusia.Keinginan yang baik selalu akan berhadapan dengan keinginan yang buruk maka yang buruk (lauwamah, supiyah dan amarah) harus dikendalikan oleh mutmainah (keinginan yang suci). Peristiwa berikutnya melihat delapan warna (hasta warna)yang merupakan cerminan delapan sifat yang terdapat di alam semesta.Hasta warna itu melambangkan kesatuan mikrokosmos dan yang dalam budaya Jawa disebut commit to user hastha brata.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
300 Werkudara telah melakukan mati dalam hidup dan hidup dalam mati. “Hidup dalam mati” berarti selagi hidup di dunia orang harus dapat mematikan hawa nafsunya. “Mati dalam hidup” berarti meskipun telah mematikan hawa nafsunya, manusiaharus tetap hidup di dunia dengan segala cita-citanya. Dalam tahap ini,Werkudara dalam pakeliran masuk pada tubuh Dewaruci dan mendapat wejangan mengenai ilmu pelepasan, yaitu ilmu tentang lepasnya sukma dan raga. Werkudara dalam tahap itu telah mencapai tataran tertinggi (makrifat, telah sampai pada kesempurnaan hidup atau mengetahui sangkan paraning dumadi atau mengetahui asal dan tujuan hidup). Selanjutnya,Werkudara kembali ke alam semesta, sadar masih berada pada bumi manusia, telah mengenal diri pribadi, telah berilmu sempurna, dan akan mengemban darmanya di jagad raya. Pengalaman spiritual yang dialami tokoh Werkudara dalam lakon Dewaruci adalah gambaran manusia yang sempurna dan sadar akan asal hidup penuturya dengan pengenalan diri dan Tuhan dijadikan nyata dalam diri manusia. Sifat-sifat Tuhan yang ada pada ciptaan-Nya hanya dapat dicapai oleh manusia yang telah mencapai kesempurnaan. Wejangan Dewaruci kepada Werkudara, sifat Ketuhanan dalam gua garba, dilihat sebagai delapan warna yang dapat diinterpretasikan sebagai astha brata.Artinya, delapan laku utama merupakan kesatuan dan persatuan yang tak terpisahkan. Werkudara melihat astha brata dalam gua garba sebagai anakanakan gading yang oleh Dewaruci disebut prana, artinya denyut jantung. Selama jantung masih berdenyut, manusia masih hidup sehingga pancaindera masih dapat menanggapi rangsangan dari alam semesta. Tanggapan itu disimpan dalam hati sanubari sebagai gambaranb “dunia besar” atau makrokosmos dalam manusia. Gambaran makrokosmos dalam manusia disebut “dunia kecil” atau mikrokosmos.Werkudara ketika berada dalam perut (gua garba) Dewaruci, dalam budaya Jawa sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga dapat diartikan “mikrokosmos dalam manusia, manusia dalam makrokosmos”. (Adhikara, 1984:44). Daya pragmatik Dewaruci dalam perut Dewaruci adalah bahwa telah commit to user mencapai tataran tertinggi, yaitu bahwa manusia dapat memahami ilmu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
301 kesempurnaan hidup atau dalam budaya Jawa mencapai tataran tertinggi, yaitu makrifat. Sifat-sifat Tuhan berada dalam ciptaan-Nya ketika menyatu dengan Khalik-Nya. Dalam lakonBNPA, terdapat dialog Kumbakarna ketika akan maju perang dapat dicermati sebagai berikut. Daya pragmatiknya bahwa seorang prajurit yang dibesarkan dan mengenyam kemakmuran, sewajarnya membela tanah kelahiran, atau tumpah darahnya, yang sedang diinjak-injak musuh. Sikap ksatria yang ditunjukan Kumbakarnaadalah maju perang bukan membela keangkaramurkaan, tetapi demi ibu pertiwi dan sikap patriotisme yang tangguh. Dalam dialog tampak bahwa Kumbakarna berjiwa ksatria dan memiliki jiwa sertasemangat kepahlawanan. Dienaputra yang dikutip Ariani (2009) menyatakan bahwa yang disebut pahlawan adalah seorang yang telah memperlihatkan sikap-sikap unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, serta kerelaan berkorban dalam membela dan memperjuangkan kebenaran dan kepentingan rakyat banyak (Ariani, 2009:19). Sikap kepahlawanan dapat dicermati dari dialognya Kumbakarna dengan Wibisana ketika berada di palagan sebagai berikut. Wibisana: Dhuh kakangmas pengayoman kula, kakangmas kula nyuwun gunging samodra pangasakmi. Kula lepat, kula lepat dene nyabrang saking Ngalengka ndherek sang Rama. Dhuh kakangmas pengayoman kula, kakangmas kula nyuwun gunging samodra pangasakmi.. Mangga kula aturi midana pun Wibisana, kula aturi mejahi kula kakang. Kumbakarna : Ooo…Gunawan, Gunawan. Pun kakang Dasamuka kowe dianggep mbalela ning tumrap aku kowe ora salah kowe duwe dhasar ingkang sentosa nggonmu milih dalan bener. Semono uga aku, aku darbe dhasar nggonku dadi senopati, antarane kakang prabu lan kowe ancas kang tinuju padha yakuwi ancase pun kakang lan siadhi kang padha mau mung ngupaya bebener. Terjemahan: Wibisana :„Kakanda yang menjaga saya, Kakanda saya mohon maaf, saya salah karena membela Ngalengka dan turut serta ke Ramawijaya. Kakanda mohon maaf. Saya salah silakan memberikan hukuman silakan membunuh Wibisana dipersilakan membunuhnya‟. Kumbakarna : Oh Gunawan Gunawan commit to user oleh Kakanda Dasamuka kamu dinggap ingkar, namun aya anggap kamu adalah benar dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
302 bjiaksana dalam memilih kebenaran. Demikian pula saya sebagai senopati antara kamu dengan Kakanda, hanyalah semua mengupayakan kepada salah satu kebenaran‟. Daya pragmatik yang terungkap adalah bahwa seorang panglima perang tidak boleh lari dari tanggung jawab walaupun yang akan dilakukannya tidak akan menyelesaikan masalah atau berhasil. Yang harus dilakukan seorang panglima perang adalah membela kebenaran serta melakukan tugas yang dibebankan dipundaknya. Tuturan di atas sangat jelas bahwa Kumbakarna maju perang bukan untuk membela Dasamuka, melainkan untuk membela tanah tumpah darah warisan leluhurnya. Sebagai warga negara harus mengutamakan membela negaranya apapun alasannya yang dalam pepatah Inggris dinyatakan “right or wrong is my country” (benar salah adalah negaraku). Sikap patriotisme Kumbakarna bila dibandingkan dengan adiknya, Wibisana, agak berbeda, yaitu mendarmabaktikan dirinya dengan cara bergabung pada pasukan Ramawijayadengan alasan bahwa darma bakti terhadap negara dan bangsa harus dilandasi nilai kebenaran dan keadilan. Untuk itu, ia meninggalkan Alengka. Sikap Kumbakarna menyatakan bahwa apapun yang terjadi negara, bangsa, dan tanah air harus tetap dibela. Dengan demikian, patriotisme tidak bisa dilepaskan dari ajaran moral dan dasar suatu ajaran moralitas adalah kebenaran sejati. Berikut dalan BNPA yang menggambarkan perihal di atas. Dialog Kumbakarna dengan Wibisana adalah sebagai berikut. Kumbakarna: Dhuh kaki dewa, kaki dewa, aku… aku durung arep mati. Aku urung arep mati. Sawangen Kumbakarna, deloken Kumbakarna. Wibisana: Raden, raden nyuwun pangapunten ingkang agung, estonipun waleh-waleh menapa, tumitahipun kakangmas Kumbakarna wonten ing marcapada menika mengku wigati. Wigatinipun saged dipun gagapi sarana makartining pancadriya pamoring cipta rasa budi miwah karsa. Terjemahan: Kumbakarna : „Duh Dewa… Saya tidak akan mati. Saya tidak akan mati. Lihatlah Kumbakarna, Lihatlah Kumbakarna‟. Wibisana: „Raden minta maaf sebelumnya, sebenarnya bahwa Kanda commit user ada sesuatu yang hakiki. Esensi Kumbakarna hidup di to Alengka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
303 kehidupannya dapat dicermati dalam perilakunya, kepribadiannya, dan kehidupannya dicurahakan untuk melaksanakan darmanya sebagai ksatria, demi kebenaran dan keadilan‟. Daya pragmatiknya adalah bahwa tokoh Wibisana sangat menghormati dan memuji kakaknya yang konsisten dan teguh dalam melaksanakan kehidupan yang hakiki
serta
selalu
mengedepankan
keutamaan
hidup
(kautaman),
memperIndahdan menjaga keselamatan negerinya, dan tidak meninggalkan etika seorang ksatria. Semua tindakannya diutamakan untuk kesemarpurnaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, tokoh Kumbakarna selain sebagai simbol nasionalisme, terkandung pula nilai moral dan dihadapkan masalah bela negara yang menjadi tugas ksatria, tetapi di pihak lain disadari bahwa ada perang antara Dasamuka dan Ramawijaya. Kumbakarna berada di pihak yang salah.Itulah problematika dan dilema moral yang dihadapi. Tujuan dan motivasinya maju perang adalah untuk mencari kesempurnaan hidup dan menginginkan angkara murka (kakaknya sendiri) segera lenyap dari muka bumi. Motivasi Kumbakarna hampir sama dengan keinginan dan motivasi Basukarna dalam perang melawan Arjuna pada lakon KTNS.Tokoh Kumbakarna maupun Basukarna adalah ksatria yang ingin mencapai kesemarpurnaan hidup dengan cara maju perang sebagai senapati. Ksatria dan senapati perang menjadi ajang aktualisasi diri, yaitu jalan untuk menuju ke surga dan kematian berarti kemuliaan di kehidupan berikutnya. Kedua tokoh gugur di medan pertempuran sebagai usaha untuk memenuhi dharma atau kewajiban sebagai ksatria. Dharma ksatria adalah berperang menegakan kebenaran. Tokoh Kumbakarna
rela mati dan berkorban untuk tanah
kelahirannya, sedangkan Basukarna rela gugur di pertempuran karena menepati janjinya. Lakon RGPA terdapat dialog yang esensinya adalah nasihat Ramawijaya kepada Barata sebagaimana berikut ini. Ramawijaya: Yayi Barata, Sinaua marang jagad alam iki, awèh pituduh kawêningan commit lan gancaring to user panindhak. Sang surya, sang dahana, sang maruta, sang bumi, sang banyu, sang kartika,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
304 sang candra, sang samodra, kabeh cacah wolu sinêbut astha brata. (RGPA.Gn.045) Barata :Dhuh kakangmas jimat pepundhen kula. Bekti kula sungkem kula konjuk paduka sasat makutha paduka trumpah paduka wiwit saking ngarsa paduka dumugi ing negari Ayodya badhe kula sunggi. Kakangmbok ayu Sinta kula nyuwun pamit. Kula nyuwun pangayoman. Dhuh kakangmas mugi ingkang sedya hayu tansah manggih rahayu. Terjemahan: Ramawijaya : „AdindaBarata, saya minta belajar terhadap isi alam dunia ini, yang memberikan petunjuk terhadap perilaku manusia. Matahari, bulan, bintang, api, laut, angin, air dan tanah yang berjumlah delapan disebut astha brata. Barata :„Kakanda yang terhormat. Salam hormat saya selalu bagaikan sandal sampai dengan mahkota akan selalu saya panggul sampai ke Negeri Ayodya. Kakanda Sinta mohon izin. Kakanda semoga apa yang diinginkan selalu mendapat keselamatan‟. Daya pragmatik dialog tersebut adalah bahwa seorang pemimpin diharapkan memiliki sifat-sifat alam: matahari, bulan, bintang, gunung, angin, api, air, dan tanah.Artinya, seorang pemimpin atau raja harus memiliki sifat-sifat, seperti dapat memberikan penghidupan, pencerahan, sebagai teladan/anutan, berpendirian kokoh, memahami keinginan rakyatnya, dapat menyesaikan masalah dengan tuntas, jujur, dan terbuka. B. Pembahasan 1.
Tindak Tutur Ekspresif dan Direktif yang Dominan Berdasarkan analisis tindak tutur ekspresif (TTE) dalam pathet sanga dan
manyura pada lakon KTNS, terdapat 2 (dua) TTE dengan sub-TTE, yakni meminta maaf dan menolak.
Dalam lakon DRNS, terdiri dari 1 (satu) TTE
dengan sub-TTE, menolak 6 (enam) tuturan. Wujud TTE yang terdapat dalam lakon BNPA terdapat
sub-TTE
menolak.Wujud TTE dalam lakon RGPA
dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu belasungkawa dan meminta maaf. TTE dalam KTNS dan DRNS terdiri dari empat 13 (tiga belas) tindak tutur.Berdasarkan hasil penelitian KTNS sebanyak 6 (enam) tuturan didominasi oleh sub-TTE meminta maaf. Lakon DRNS sebanyak 7 (tujuh) tuturan dari dua commit to user sub-TTE meminta maaf dan menolak. Dengan demikian, tokoh wayang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
305 mengekspresikan dirinya dari yang etis sampai pada ekspresi yang lugas. Pembidangan TTE kaitannya dalam pertunjukan wayang, khususnya pada dialog tokoh wayang menunjukkan bahwa ekspresi yang disampaikan oleh tokoh dengan lawan bicaranya memiliki gradasi yang ditentukan oleh situasi, peristiwa, dan lawan bicaranya. Lakon KTNS didominasi sub-TTE meminta maaf sebab yang menjadi pusat garapan dalam peristiwa lakon KTNS adalah tokoh Basukarna. Dia bertindak sebagai panglima perang Kurawa yang berhadapan dengan Arjuna yang tidak lain adalah saudara sekandung satu Ibu dari Kunthi. Segala tingkah laku Basukarna ketika bertemu dengan Kunthi, Kresna, dan Salya adalah selalu meminta maaf karena berada di pihak Kurawa dan tidak membela Pandawa. Dalam lakon DRNS, ditemukan adanya TTE yang dominan, yakni menolak. Hal itu disebabkan karena lakon Dewaruci tokoh sentralnya adalah Werkudara yang akan melakukan petualangan cukup mengandung risiko berat. Werkudara harus masuk ke tengah lautan untuk mencari air kehidupan. Ketika Werkudara minta izin kepada saudara- saudaranya seperti Raja Puntadewa, Arjuna dan Kresna untuk pergi ke laut selatan, mereka keberatan dan diminta niatnya diurungkan, tetapi semua nasehat Raja Puntadewa dan Kresna ditolak oleh Werkudara. Di lain pihak para saudaranya dan petinggi di kerajaan Astina seperti Raja Duryudana dan Drona mengharapkan dengan tekad yang bulat Werkudaraapa yang dicari, yaitu tirta pawitra dapat ditemukan. Berdasarkan temuan diatas, bahwa TTE pada pertunjukan wayang kulit sajian Nartasabda disampaikan dengan bahasa pedalangan yang rumit dan tinggi mendukung ekspresi dalam setiap adegan dan suasana yang dibutuhkan sehingga memantapkan dramatisasi serta inti lakon yang dipergelarkan. Demikan pula, TTE yang diungkapkan dapat menjiwai tokoh yang tampil dan mendinamisasi suasana adegan yang pada gilirannya pesan-pesan yang disampaikan dapat dihayati serta memperkaya pengalaman jiwa. Keunggulan Nartasabda dalam hal sanggit dan dramatisasi tokoh lewat TTE yang terungkap dalam dialog menyebabkan pakelirannya dapat dikatakan berbobot dan pesan-pesan yang commit to user berupa nilai-nilai kehidupan dapat dipahami.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
306 Dalam lakon BNPA telah ditemukan TTE yang dominan yakni sub-TTE menolak yang jumlahnya mencapai 9 (sembilan) tuturan. Lakon BNPA merupakan lakon tragedi dengan gugurnya Dasamuka sebagai lambang angkara murka. Tekad yang kuat serta kemauan yang kerastokoh Dasamuka dalam mempertahankan Sinta istri Ramawijaya yang diculik di tengah hutan menyebabkan harus berhadapan dengan Ramawijaya sebagai titisan Wisnu yang bertugas untuk menghancurkan angkara murka di muka bumi.
Saudara
Dasamuka seperti Wibisana dan Kumbakarna memberikan solusi yang baik, tetapi tetap ditolak. Demikian pula, Ramawijaya mengirim utusan ke Alengka agar Sinta dikembalikan, tetapi tetap saja tidak dihiraukan. Lakon RGPA subTTE hanya ditemukan 1 (satu) tuturan yaitu mengucapkan, karena pada lakon RGPA penuh dengan peristiwa yang memilukan yang dialami tokoh sentral Ramawijaya dan Sinta. Berbagai peristiwa dijalani oleh Ramawijaya dan istrinya, mulai dari meninggalkan kerajaan Ayodya.Didominasi mengucapkan maaf dapat ditemukan ketika Barata harus meminta maaf kepada Ramawijaya dan Lesmana meminta maaf atas kelalaian dalam menjaga Sinta – diculik Dasamuka. Berdasarkan temuan di atas, TTE yang terungkap dalam sajian wayang Purbo Asmoro memberikan kontribusi terhadap setiap adegan yang ditampilkan, seperti rasa trenyuh, sedih, gembira, romantis, greged, gundah gulana yang dapat tercapai dengan baik dan mantap. Walaupun TTE disampaikan dengan bahasa yang lugas, esensi lakon dan alur cerita dengan garapan baru dapat dihayati sehingga pakelirannya dapat dikatakan bermutu dan menarik serta lakon yang disajikan dapat kempel (unsur-unsur pertunjukan wayang memiliki jalinan, relasi, sinergis, dan interpretasi antarkomponen-komponen pembentuk lakon terjalin sangat erat) sehingga menarik perhatian penonton wayang masa kini. Penerapan TTD dalam KTNS dan DRNS tidak hanya satu, tetapi sangat beragam.Berdasarkan hasil penelitian, variasi TTDdalam KTNS dan DRNS dari 6 (enam) kategori
meliputi tipe memerintah, meminta, mengajak, menasehati
melarang, dan menanyakan.
Pembidangan TTD menjadi 6 (enam)
kategori
dalam pertunjukan wayang, khususnya dalam dialog tokoh menunjukkan bahwa commit to user udanêgara dalam pemakaian dalang sangat memperhatikan unggah ungguh,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
307 bahasa pedalangan berdasarkan tokoh yang ditampilkan. Misalnya tokoh raja, patih pendheta, dewa, ksatria dan abdi atau punakawan, setiap tokoh ini memakai bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan peran tokoh status dan kedudukannya. Implikasi dominannnya pemakaian sub-TTD prohibitivies atau „melarang‟ dalam KTNS adalah inti dari cerita peperangan antara Pandhawa dan Kurawa yang merupakan peperangan antarsaudara, satu kakek yaitu Abiyasa. Oleh karena itu, dalam tuturan seperti yang disampaikan tokoh yang tampil seperti Surtikanthi istri Basukarna melarang Basukarna maju ke medan perang. Demikian pula, tokoh Duryudana tidak setuju peperangan Pandhawa Korawa terjadi karena masih satu keluarga. Tokoh Kunthi melarang Basukarna perang melawan Arjuna karena mereka saudara sekandung. Implikasi TTD memerintah sebagai yang dominan dalam DRNS karena lakon tersebut merupakan lakon pencarian ilmu kesempurnaan maka dialog Dewaruci dengan Werkudara merupakan perintah yang harus dilaksanakan untuk mencapai „kasampurnaning dumadi‟. Dengan melaksanakan perintah secara tulus, Werkudara dapat menemukan apa yang dicari, yaitu tirta pawitramahening suci (air kehidupan yang dapat mencucikan diri). Berdasarkan uraian di atas, TTD sajian wayang Nartasabda dapat mencerminkan karakter tokoh yang tampil serta dapat menyesuaikan status dan kedudukan sosial tokoh dengan penerapan TTD dalam dialog. Nartasabda mampu menempatkan penggunaan bahasa pedalangan dengan mengacu pada derajat sosial tokoh wayang.Nartasabda dapat dikatakan telah menerapkan konsep lungguh pada dialog tokoh wayang yang pada gilirannya menambah bobot pakeliran yang ditampilkan. Penguasaan vokabuler kata yang terekam dalam pengalaman jiwanya memunculkan TTD dalam dialog tokoh wayang secara improvisasi serta menghidupkan dialog wayang menuju tercapainya dramatisasi wayang yang luar biasa. Kategori
TTD
dalam
BNPA
berjumlah
6
yang
meliputi
tipe
memerintah,meminta, mengajak, menasehati, melarang, dan menanyakan. Pembidangan TTD menjadi enam kategori dalam pertunjukan wayang, khusunya user sangat memperhatikan unggah dialog tokoh menunjukan bahwacommit sang to dalang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
308 ungguh, udanêgara dalam pemakaian bahasa pedalangan berdasarkan tokoh yang ditampil, Misalnya tokoh raja, patih, pendeta, dewa, ksatria, dan abdi atau Punakawan. Setiap tokoh memiliki pemakaian bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan peran tokoh, status, suasana serta alur lakon.Implikasi pemakaiansub-TTD „memerintah‟ pada RGPA adalah tokoh Ramawijaya menyadari bahwa kehidupan telah ditentukan oleh yang Mahatinggi, baik peristiwa yang menyedihkan atau membahagiakan telah ditakdirkan oleh yang Mahakuasa. Hal itu dapat dicermati ketika Ramawijaya diminta Dewi Kekayi untuk meninggalkan istana Ayodya pergi ke hutan. Perintah itu diterima dengan senang hati lalu mengajak Sinta dan Lesmana segera pergi ke tengah hutan dengan penuh keikhlasan meninggalkan kehidupan yang mewah dan menjalani hidup sebagai rakyat jelata. Implikasi pemakaian tertinggi TTD to request „meminta‟ dan to requirement‟ „memerintah‟dalam BNPA adalah bahwaRamawijaya memerangi Dasamuka merupakan tindakan yang pasti tidak ragu-ragu karena dengan cara itu angkara murka akan lenyap dari muka bumi. Hal ini sesuai dengan tugas Ramawijaya sebagai titisan Wisnu yang harus memberantas kejahatan di dunia serta melenyapkan segala angkara murka agar dunia menjadi damai dan tenang, aman dan sejahtera. Berdasarkan uraian di atas,TTD yang terungkap dalam sajian wayang Purbo Asmoro memberikan pemahaman bahwa antara tutur kata tokoh wayang atau strata bahasa yang digunakan dan tokoh yang dihadirkan memiliki harmonisasi. Demikian pula, TTD dalam narasi maupun dialog tokoh wayang mengarah pada efektivitas dan pemberdayaan. Artinya, bahasa pedalangan yang digunakan dapat dipahami dengan jelas. TTD yang disampaikan menampilkan rangkaian bahasa yang indahmenawan, dan berisi. Kemampuan merangkai bahasa pedalangan yang apik, sistematik, dan berisi yang tertuang dalam TTD menambah bobot pakelirannya sehingga menjadikan pakelirannya enak ditonton. Melalui TTD pada keempat lakon ini dapat diketahui bahwa di dalam lakon wayang terdapat nilai-nilai yang terkandung dan dapat digali melalui TTD sehingga akan didapatkan tuntunan bagi masyarakat yang melihat dan memahami pertunjukan commit to user wayang kulit semalam.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
309 Karakteristik TTE dan TTD antara Nartasabda dan Purbo Asmoro sebagai berikut. TTE Nartsabda: (1) TTE yang disampaikan pada KTNS dan DRNS terasa mantap, baik narasi maupun percakapan wayang mampu menjiwai sesuai suasana adegan dan situasi batin tokoh wayang. (2) Kemampuannya menggunakan bahasa pedalangan dan kemampuan mengaitkan antara tuturan ekspresif kepada tema lakon yang ada. TTE Purbo Asmoro: (1) TTE yang disampaikan dalam BNPA dan RGPA dapat mencerminkan karakternya serta ketepatan antawecana pada tokoh dan menunjukan kemungguhan pada dialog (ginem) tokoh wayang. (2) Penggunaan tutur bahasa pedalangan kerakyatan dengan ciri khas kesederhanaan, lugas, dan terasa kasar. (3) Keefektifan Purbo Asmoro dalam pemakaian bahasa menunjukan tidak banyak ditemukan tindak tutur yang ekpresif. TTD Nartsabda: (1) TTD yang terungkap dalam KTNS dan DRNS mampu mendinamisasikan dialog tokoh wayang dan tercapainya dramatisasi adegan yang ditampilkan. (2) TTD yang disampaikan dalam lakon menunjukan banyak menggunakan tuturan yang bersifat memerintah, menganjurkan dan menyarankan. TTD Purbo Asmoro: (1) TTD yang terungkap dalam narasi dan dialog tokoh mengarah pada efektivitas dan pemberdayaan bahasa pedalangan sehingga tampak moncer, berbobot, indah, menawan, dan berisi.(2) TTD yang disampaikan dalam
lakon
menunjukan
banyak
menggunakan
tuturan
yang
bersifat
melarangserta memerintah, menganjurkan, menyarankan.
2.
Pelaksanaan TTE dan TTD dalam Kaitannya dengan PKS dan BK
Pemahaman PKS dalam lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA difokuskan pada rangkaian tuturan yang mengandung makna secara utuh dalam dialog tokoh wayang dan tidak jarang diselipkan bahasa arkhais yang rinengga. Berdasarkan hasil temuan, PKS pada KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA ditemukan tingkat pelanggaran yang sangat bervariasi, terutama pada maksim kualitas dan maksim commit to user pelaksanaan. KTNS terdapat pelanggaran maksim kualitas sebanyak (27.27%),
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
310 dalam DRNS pelanggaran maksim kualitas sebanyak (29.82%). Lakon BNPA terdapat pelanggaran maksim kualitas sebanyak (32.48%),dalam RGPA pelanggaran maksim kualitas sebanyak (28.57%). Hal ini menunjukan bahwa kedua dalang kaya akan sanggit ginem sehingga apa yang diungkapkan hampir banyak terjadi pelanggaran maksim dari keempat maksim di tas. Contoh maksim kualitas pada lakonKTNS dialog Surtikanthi dengan Basukarna sebagai berikut. Maksim kuantitas dalam KTNS terdapat (18.18%) dan pada lakon DRNS, PKS kuantitaif sebanyak (31.57%). Dalam lakon BNPA, maksim kuantitas terdapat sebanyak (21.62%) dan dalam lakon RGPA, PKS kuantitatif terdapat sebanyak (25%).
Contoh maksim kuantitatif yang telah melanggar maksim,
dalam lakon KTNS pada dialogYamawidura dengan Kunthi yang memikirkan terjadinya peperangan Baratayuda adalah sebagai berikut. Kunti Talibrata: Eh Yamawidura....Yamawidura, mêngko piyé kang kudu tak tindakaké, aboté rasaku ngungkuli ketindhian bumi. ... Ginanipun menapa kula gesang tansahmekaten, aluwung pejah pun boten ngraosaken penandhang”.(KTNS.Gn.141) Yamawidura: Kula boten maiben sungkawaning nggalih paduka kakang ratu. Nanging kauningana lelampahan mekaten wau estonipun kedah sinandhang dening para titah. Boten wonten jamak limrahipun ngagesang badhe endha saliring lelampahan. Kakang mbok ratu ngengetana sanadyan sewu srana sewu cara kangge nanggulangi badhee tumapaking Baratayuda tartamtu boten saged tumama. Kajawi menika kalebet dados jangkaning dewa kauling para brahmana turta sampun dados kodrating kawontenan Terjemahan: Kunti Talibrata : „Yamawiduraapa yang harus saya lakukan, hati saya sangat berat seperti menyangga bumi...Tidak ada gunanya saya hidup penuh kesedihan, lebih baik mati yang tidak merasakan semua penderitaan‟. Yamawidura: „Saya tidak bisa mengatakan betapa sedihnya. Namun. Namun hal seperti itu sudah sewajarnya diderita oleh umat manusia.. Tidak ada manusia yang bisa menghindar atas derita itu. Kakanda walaupun berbagai cara dan upaya tidak akan bisa dilakukan.Di samping itu juga sudah menjadi satu keharusan yang harus diakui keberadaannya‟. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
311 Maksim kuantitas pada lakon RGPA antara lain dapat dicermati pada dialog Dasamuka dengan Jentayu sebagai berikut. Dasamuka: Iki Rèkyan Sinta Jentayu : Iya kuwi garwané Pangeran Ramawijaya. Pangéran Ramawijaya iku atmaja ing Ayodya, mangka Prabu Dasarata kuwi kancaku. Kowé ndhustha marang garwané Pangéran Ramawijaya. Hayo, aku isih tuwuh rasa kesabaranku, balèkna,balèkna marang Radèn Ramawijaya Rêgawa, lan kowé aja ngrusak pagêr ayu,ngoyagoyag turus ijo, angrong pasanakan, isih ana dalan kang rahayu murih tinêmpuh padha beciké Terjemahan: Dasamuka : „Ini adalah Sinta‟ Jentayu :„Hiya itu istri Ramawijaya, anak raja Dasarata, sedangakan Raja Dasarata adalah kawan saya. Kamu menculik istri Ramawijaya, saya masih Punya kesabaran, silahkan dikembalikan saja kepada Ramawijaya, jangan mengganggu istri orang lain itu tidak benar‟. Tuturan maksim kualitas terjadi oleh karena Nartasabda termasuk dalang yang mampu membuat dialog tokoh secara panjang lebar, tetapi nalar dan penuh argumentasi. Dari tuturan di atas dapat dilihat bahwa ketika Dasamuka hanya mengatakan Iki Rekyan Sinta, namun jawaban Jentayu serta merta panjang lebar. Kemampuan
retorika
yang
dimiliki
dapat
menarik
perhatian
para
penonton.Demikian juga penguasaan dan bahasa sastra pedalangan menambah keindahan bahasa dan greged pada adegan (suasana adegan hidup tidak kendur). Dengan demikian „maksim kuantitas„ dalam KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA memperlihatkan dialog tokoh yang memberi informasi melebihi yang diperlukan. Dalam dialog tokoh wayang, dikenal cara medhang miring (pencapaiannya dengan menggunakan metafora, perumpamaan, dan samudana) dan nyampar pikolèh (pencapaian tidak langsung menggunakan seperti sindiran) serta mlaha (apa adanya atau vulgar). Ketiga cara pencapaian pesan sering digunakan para dalang masa lampau maupun dalang masa sekarang. Maksim relevansi
dalam KTNS terdapat (37.12%), lakon DRNS
(12.28%), BNPA sebanyak (40.54%), dan RGPA sebanyak (25%). Hal ini menunjukan bahwa tuturan atau dialog setiap tokoh yang ditampilkan selalu ada relevansinya dengan permasalahan maupun dengan tema lakon. Demikian pula commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
312 pembicaraan tokoh satu dengan yang lain terdapat keterkaitan dan tidak keluar dari alur cerita dan tema lakon sehingga penonton dapat mengikuti dan memahami isi pembicaraan dan pada gilirannya dapat menangkap esensi lakon yang ditampilkan Asim (2004) menyatakan bahwa bidal kesopanan dibagi ke dalam bidalbidal kurmat (hormat), andhap asor (rendah hati), empan papan (sadarkan akan tempat), dan tepa salira (tenggang rasa). Tuturan yang terdapat dalam lakon KTNS, DRNS, BNPA dan RGPA merupakan refleksi tuturan rasa hormat kepada orang lain dengan mempertimbangkan kedudukan, pangkat, derajat seperti raja dengan patih, raja dengan pujangga atau pendheta, raja dengan raja, Punakawan dengan bendaranya, dan tuturan antara tokoh yang sedang bermusuhan. Berdasarkan hasil penelitian,bidal dalam KTNS yang paling tinggi digunakan adalah bidal empan papanyang mencapai (28.23%) dan andhap asor sebanyak (28.23%). Hal itu dapat dicermati pada dialog antara Salya dengan Duryudana, dialog Basukarna dengan Raja Salya, dialog Duryudana dengan Raja Duryudana, dan sebagainya. Contoh bidal empan papan pada dialog Salya dengan Duryudana dalam lakon KTNSadalah sebagai berikut. Duryudana: “Wontên ing Bratayuda mênika tumrap Ramawijaya Prabu sintêningkang lêpat ? Salya : “Wontên ing kula dèreng sagêd ananggapi mênapa pêndangon paduka nggèr. Jalaran mênawi kula nglêpataken salah satungguling pénakan kula, kula dipun anggep mangro tingal. Amargi sêtaun kêpêngkêr kalêbêt ing kalênggahan punika, ing mriki wontên salah satunggaling tiyang kados déné sawêr ingkang ndhas loro, rana nyakot, réné nyathèk Terjemahan: Duryudana :„Dalam perang besar ini menurut pendapat Raja Salya. Siapa yang bersalah‟ Salya :„Saya belum dapat menanggapi permintaan anak Prabu, oleh karena Bilamana saya menyalahkan salah satu saudara saya, khawatir saya dianggap orang yang tidak netral. Setahun yang lalu dan juga pada saat ini, di tempat pertemuan ini ada seorang seperti ular berkepala dua, di sini dan di sana suka menggigit‟. Tuturan tersebut menggambarkan bahwa Salya
menyindir terhadap
Basukarna yang kurang sopan dan tidak menghormati kepada mertuanya, yakni commit to user Salya. Akan tetapi,pencapaiannya dalam dialog dengan Raja Duryudana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
313 menggunakan kata-kata yang mengandung metafora dan empan papan. Bidal andhap asor dapat dicermati dari dialog antara Basukarna dengan Arjuna ketika berhadap-hadapan di medan perang sebagaimana berikut ini. Basukarna:Si adhi ngrasuk busana kanaréndran anjajari pun Kakang, apa kêpingin nguntabaké sédaning pun Kakang. Arjuna :Dhuh Kaka Prabu, sanès mênika ingkang kula kajêngakên. Wontenipun kula mengangge makaten awit saking dhawuhipun Kanjeng Ibu Kunthi. Paduka tinimbalan kêdah sowan ngarsanipun Kanjêng Ibu, kula ingkang kadhawuhan amapak lan para Pandhawa pun nyawisakên tirta sêtaman munggwing bokor kêncana minangka amijiki ampéyanipun paduka Kanjêng Kaka Prabu, lan têtêpa samangké angêmpal para Pandhawa. Terjemahan: Basukarna: „Adinda berbusana raja seperti apa yang saya kenakan, apakah akan mengantarkan kematian saya‟. Arjuna: „Kakanda, bukan itu yang dimaksud. Saya berpakaian sedemikian oleh karena perintah Ibu Kunti, dan Kakanda dipanggil untuk menghadapnya dan saya diperintahkan menjemput serta menyiapkan air bunga guna membersihkan kaki kakanda, dan diharapkan kakanda bersatu dengan para Pandawa‟. Bidal dalam lakon BNPA yang paling menonjol digunakan adalah bidaltepasalira yang mencapai (43.75%), sedangkan dalam RGPA bidal yang menonjol adalah bidal kurmat sebanyak (29.78%). Contoh bidal kurmat dalam lakon RGPApada dialog Sinta dengan Lesmana saat ditinggal Ramawijaya mencari rusa, permintaan istrinya, dapat disimak pada tuturan berikut ini. Sinta: Apa kupingmu ora krungu Dhi? Lesmana: Dhuh Kakang Mbok saking nétra jatining prana, kula sagêd nêtêpakên bilih mênika dédé Kakangmas Rêgawa. Nanging mênika mêngsah ingkang nirokakên suwantênipun Kakangmas Ramawijaya, ingkang supados damêl gidhuhing pênggalih paduka Kakang Mbok Ayu‟. Terjemahan: Sinta : „Apakah kamu tidak mendengar Lesmana‟. Lesmana; „Duh Kakanda Sinta menurut pengamatan saya itu bukan suara Kakanda Ramawijaya, tetapi suara musuh yang menyamai suara Ramawijaya, agar supaya hati Kanda Sinta tergoda/terkecoh‟. Bidal kurmat yang paling banyak digunakan dalam KTNS adalah andhap commit to user asoryang mencapai (28.23%). Hal itu disebabkan tema lakon termasuk tragedi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
314 atau Bratayudha, yakni peperangan antara Pandawa dan Kurawa yang masih dalam satu keluarga.Keluarga Barata dialog antara musuh dan lawannya dalam situasi peperangan maka selalu digunakan bahasa yang mencerminkan andhap asor dan empan papan, musuh tetapi masih saudara. Contoh, ketika Arjuna berhadapan dengan Basukarna selalu menggunakan bahasa yang andhap asor. Demikian pula Raja Salya yang berada di pihak Astina, dalam hati tidak rela menjadi saisnya Basukarna, tetapi dengan kata andhap asor, Salya menuruti permintaan Raja Duryudana.
Demikian pula, walaupun Dasamuka kepada
Basukarna sebagai menantunya, kemarahan itu dinyatakan dengan kalimat empan papan.
Unsur-unsur pakeliran seperti dialog dalam dunia pedalangan bahwa
gerak wayang selalu memperhatikan konsep andhap asor dan empan papan, udanegara karena wayang merupakan cerminan budaya Jawa yang tidak jarang dipakai sebagai teladan dalam bertingkah laku masyarakat pendukung budaya Jawa. Misalnya, dalam gerak wayang (sabet) peperangan antara Basukarna dengan Arjuna dalam berkelahi tidak pernah memukul kepala Basukarna, hanya memukul pada paha saja karena saudara tua dan ikatan darah yang Arjuna dihormati. Walaupun dalam keadaan perang, masih terdapat unsurandhap asor dan empan papan dalam sabet.
Demikian pula, Nartasabda dalang yang
menguasai bahasa dan sastra pedalangan maka tuturan andhap asor dan empan papan sangat diperhatikan ketika dialog wayang.Hal itu menyebabkan ginem (dialog) tokoh wayang menjadi indah dan menarik perhatian penonton. Lakon DRNS yang menonjol adalah bidal tepa salira yang mencapai 40%.Seperti diketahui bahwa lakon DRNS merupakan lakon lebet (sangkan paraning dumadi) (asal dan tujuan hidup) yang ingin diraih oleh Werkudara. Oleh karena itu, dalam dialog banyak tercermin dialog yang mencerminkan tepa salira seperti nasihat atau ajaran yang diberikan Dewaruci kepada Werkudara. Demikian pula dengan tuturanKresnakepada Werkudara, mengingatkan agar keinginannya dibatalkan karena mengandung risiko yang besar sebab Werkudara akan masuk ke dasar lautan. Dialog Kresna dengan Werkudara penuh dengan bidal tepa salira. Demikian pula dialog mencerminkan andhap asor, empan papan, dan tepa to user salirasangat terasa dengan teknikcommit sambung rapet dan greged saut (pembicaraan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
315 antara tokoh wayang dengan tokoh yang lain dapat lancar serta hidup) sehingga memukau pendengar/penonton. Dalam lakon BNPA, bidal yang paling menonjol adalah tepa salira yang mencapai (43.75%) dan pada lakon RGPA banyak digunakan bidal kurmat sejumlah (29.78%). Dalam lakon BNPA, bidal yang menonjol tepa salira. Hal itudisebabkan PA dalam menggarap lakon menggunakan konsep pakeliran padat dan konsep pakeliran semalam. Demikian pula, kemampuan Purbo Asmoro dalam penggunaan bahasa dan sastra pedalangan, khususnya bahasa keseharian yang sederhana dipadukan dengan bahasa Krama dan Kawi menyebabkan tuturan bidal tepa salira yang tercermin dalam BNPA membuat penonton terhanyut dan dapat memahami terhadap alur lakon serta pesan yang terkandung dalam cerita yang dipergelarkan. Dalam lakon RGPA, bidal yang paling menonjol bidal kurmat mencapai (29.78%). Ungkapan tepa saliradalam BNPA dan tuturan bidal kurmat dalam RGPA sangat menyentuh dan mantap karena Purbo Asmoro mempertahankan format pakeliran tradisi yang dikembangkan serta mengutamakan garap lakon dari pada format hiburan. Wujud pertunjukan wayang yang disajikan selalu berorientasi pada pandangan budaya masa kini. Nartasabda pandai merangkai kata-kata dalam dialog tokoh wayang serta menguasai bahasa dan sastra pedalangan yang tertuang dalam TTE dan TTD,
maka Nartasabda
dijuluki
dhalang wasis; dan cucut, dalam arti hampir semua adegan yang ditampilkan, baik yang serius maupun marah
terselip humor segar yang menghibur dan
mengendurkan suasana. Hal ini terbawa dalam TTE dan TTD yang terlihat dari yang tokoh yang sangat mantap dan dinamis. 3. Perbandingan Perwujudan Tindak Tutur Ekspresif dan Direktif dalam KTNS, DRNS, BNPA, RGPA Hasil temuan menunjukan bahwa tindak tutur ekspresif dalam pathet sanga dan manyura lakon KTNS, terdapat 2 (dua) TTE dengan sub-TTE, yakni meminta maaf dan menolak. Dalam lakon DRNS, terdiri dari 2 (dua) TTE dengan sub-TTE, 1 (satu) tuturan dan menolak (enam) tuturan. TTE yang terdapat commit to6 user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
316 dalam lakon BNPA dapat dikategorikan menjadi 1 (satu) tuturan dengan sub-TTE: menolak. TTE dalam lakon RGPA dikategorikan menjadi 1 (satu) tuturan yaitu mengucapkan maaf. TTE manyura (PM) dan pathet sanga (PS) dalam KTNS ditemukan sebanyak 7 (tujuh) tuturan yang terdiri atas meminta 6 (enam) tuturan dan satu tuturan menolak. DRNS ditemukan sebanyak 7 (tujuh) tuturan, dan menolak 6 (enam) tuturan. Pakeliran Purbo Asmoro, frekuensi kemunculan TTE dalam lakon BNPA
menolak 9 (sembilan) tuturan.
Dalam lakon RGPA,
frekuensi kemunculan TTE 1 (satu) tuturan yang terdiri dari satu mengucapkan maaf. Tindak tutur direktif sajian dalam lakon KTNS mencakup tuturan meminta, menanyakan, memerintah, melarang, dan meminta izin, (23.91%). Dalam lakon DRNS ditemukan TTD meminta, menanyakan, memerintah,(42.10%), melarang, dan meminta izin. Sajian lakon BNPA menampilkan TTD memint, menanyakan, memerintah, melarang, dan meminta izin. Dalam lakon RGPA, ditemukan TTD meminta, menanyakan, memerintah, melarang dan meminta izin, Dengan demikian, tuturan yang dominan dalam KTNS adalah meminta izin, dan melarang. Pada lakon DRNS tuturan yang dominan adalah memerintah sebanyak Tuturan yang dominan pada lakon BNPA adalah meminta, dan memerintah. Dalam lakon RGPA, tuturan yang dominan adalah memerintah. Kesamaan kedua dalang adalah sama-sama menggunakan lima sub-TTD kecuali dalam BNPA sub-TTD meminta izin, yakni (0%) karena dalam lakon BNPA termasuk lakon tragedi dialog antara tokoh satu dengan tokoh yang lain sangat jelas, dalam suasana tegang dan tergesa-gesa maka TTD meminta izin tidak ditemukan. Lakon itu merupakan lakon perang ageng yang banyak peristiwa pembunuhan dan kematian para senapati,
Misalnya kematian Basukarna,
kematian Indrajit, dan kematian Dasamuka. Lakon KTNS telah ditemukantindaktutur melarang dan memina izin sangat mendominasi. Sementara itu, dalam lakon DRNS tindak tutur memerintah yang mendominasi karena DRNS memiliki tema yang berbeda dengan KTNS, yakni tema tentang pencarian ilmu kesempurnaan hidup. Nartasabda sangat menonjol dalam penguasaan dan penggunaan bahasa Kawi, arkhais,metafora, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
317 paribasan dan purwakanthi.
Banyak dialog maupun deskripsi tokoh yang
bersumber dari Mahabarata. Lakon BNPA telah ditemukan sub-TTD yang dominan adalah meminta (36.84%) dan memerintah (36.84%), sedangkan dalam RGPA sub-TTD yang dominan adalah memerintah yang mencapai (36.36%). Sajian dalam lakon BNPA dan RGPA digarap dengan pakeliran padat dan alur dramatiknya seperti banjaran karena menggabungkan beberapa lakon. Tuturan sub-TTD lakon BNPA dan RGPA yang mendominasi adalah meminta dan memerintah Keempat lakon menggunakan sub-TTE dan TTD dalam dialog tokoh wayang.Mereka menggunakan bahasa dan sastra pedalangan yang di dalamnya terdapat bahasa Jawa Baru, Kawi, arkhais, dan bahasa sehari-hari. Apabila diperbandingkan garapan kedua dalang Nartasabda dan PA, berdasarkan hasil penelitian terhadap lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA yang mencakup TTE, TTD, tindak tutur langsung dan tidak langsung, prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, strategi tindak tutur, bahasa yang digunakan, dan dramatik atau garapan lakon dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 4.4. Perbandingan kedua dalang Nartasabda dan Purbo Asmoro DALANG N0
PERBEDAAN
1
TTE
2
TTD
3
TINDAK TUTUR LANGSUNG/ TAKLANGSUNG
Nartasabda
Purbo Asmoro
Lakon KTNS, TTE tertinggi TTE mengucapkan maaf, terendah menolak. Lakon DRNS hanya ditemukan tuturan menolak Lakon KTNS TTD tertinggi melarang, terendah menyarankan. Lakon DRNS tertinggi memerintah,terendah menyarankan.
Lakon BNPA hanya ditemukan TTE menolak. Lakon RGPA hanya ditemukan TTE mengucapkan maaf Lakon BNPA tertinggi TTD memerintah dan meminta, terendah menanyakan. Lakon RGPA tertinggi meminta dan memerintah, terendah menanyakan.
Lakon tuturan TLTL.
KTNS tertinggi Lakon BNPA tertinggi TLL, committerendah to user tuturan LLT, terendah TLL Lakon DRNS dan TLT/LTL. Lakon
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
318 tertinggi TLL dan terendah LLT. Lakon KTNS tertinggi PKS relevansi, terendah pelaksanaa. Lakon DRNS tertinggi kuantitatif terendah relevansi.
RGPA tertinggi LLT dan terendah TLTL. Lakon BNPA tertinggi PKS relevansi, terendah kuantitatif. Lakon RGPA tertinggi kualitatif, terendah cara.
Lakon KTNS tertinggi bidal andhap asor dan empan papan, terendah bidal kurmat. Lakon DRNS tertinggi tepa salira, terendah kurmat. STRATEGI Dalam lakon KTNS, TINDAK DRNS, TTE dan TTD lebih TUTUR banyak penggunaan strategi medhang miring dan nyampar pikolèh. BAHASA YG TTE dan TTD pada DIGUNAKAN KTNS dan DRNS banyak digunakan bahasa kawi, arkhais, metafora, paribasan dan purwakanthi.
Lakon BNPA tertinggi tepa Salira terendah andhap asor. Lakon RGPA tertinggi bidal kurmat, terendah empan papan.
4
PRINSIP KERJA SAMA
5
KESOPANAN
6
7
8
GARAP LAKON
Dalam lakon BNPA dan RGPA, TTE dan TTD penggunaan strategi nyampar pikolèh dan medhang miring terbatas. TTE dan TTD dalam lakon BNPA dan RGPA penggunaan bahasa kawi dan arkhais diramu dengan bahasa keseharian atau kerakyatan. Dalam TTE dan TTD, TTE dan TTD penggunaan bahasa dan menghilangkan bahasa sastra bervariasi, klise atau bahasa menarik, mantap dan blangkon dalam berkualitas. adegan tokoh wayang. Lakon TTE dan TTD TTE dan TTD pada pada KTNS dan DRNS lakon BNPA dan menunjukan dramatisasi RGPA berpola tradisi tokoh sangat menonjol pedalangan Surakarta, dan dinamis. dengan memasukan unsur garap pakeliran padat. TTE dan TTD pada KTNS dan DRNS berpijak pakeliran TTE dan TTD berpijak semalam yang pakeliran tradisi dikembangkan. semalam diramu dengan pakeliran padat. TTD pada KTNS Mengutamakan konflik dan dramatik pada adegan, serta commit to user penggabungan berbagai
TTE dan TTD pada kedua lakon padaBNPA dan RGPA dilengkapi adegan prolog dan alur dramatik disajikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
319 gaya Nusantara.
pedalangan
TTE dan TTD yang disampaikan pada kedua lakon berorientasi wayang tradisi yang utuh.
9
TANGGAPAN PENONTON
TTE dan TTD yang terungkap tampak mengakomodasi kebutuhan penonton dengan garapan pakeliran gaya baru, dan memasukan humor pada suasana yang serius. TTE, TTD pada KTNS, DRNS sangat mantap , menjiwai, mungguh , greged dan sanggit,antawecana menonjol. TTD, TTE disampaikan cepat, keras, wijang, dan tidak cewet maka dijuluki dhalang nges, dhalang wasis. TTE dan TTD disertai karawitan yang mencerminkan percampuran gaya pedalangan Surakarta dan gaya Yogyakarta. TTE dan TTD pada KTNS dab DRNS dengan gaya lucu untuk narasi serta demokratisasi tokoh, serta menggarap lakon banjaran pertama kali, dan memasukan gendhing baru ciptaannya dalam pakeliran, dan dijuluki dhalang gendhing. TTE
commit to yang user
dan TTD
dengan flash (Kilas balik).
back
TTE dan TTD yang terungkap berorientasi pandangan budaya masa kini, serta humor yang menggelitik.
TTE dan TTD pada BNPA dan RGPA tergarap dengan baik dan selaras, padat, utuh, kempel,dan mantap. TTE dan TTD pada BNPA, RGPA tampak mempertahankan pola pakeliran padat, sehingga tema dan pesan jelas, penggarapan lakon efisien dan efektif, serta tidak menuruti selera penonton yang rendah. TTE dan TTD pada kedua lakon selalu menggarap permasalahan, dan dramatisasi tokoh diutamakan, serta menyesuaikan tuntutan zaman dan kebutuhan penonton. TTE dan TTD yang tersaji dalam BNPA dan RGPA menyesuaikan pewayangan dengan perubahan sosial, dan pedalangannya selalu aktual dan kontekstual,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
320 terungkap menunjukan sebagai dalang menguasai aksentuasi dan dialek ucapan masing-masing tokoh wayang, serta memahami perbedaan warna suara tokoh wayang.
maka dijuluki sebagai dhalang priyayi atau integrated artis.
Perbandingan yang sangat menonjol antara Nartasabda dan Purbo Asmoro terdapat pada perbedaan dalam penggunaan bahasa serta sanggit lakon yang tertuang dalam tindak tutur direktif maupun tindak tutur ekspresif. Hal itu dapat dicermati pada tindak tutur tokoh Dewaruci dengan Werkudara pada lakon Dewa Ruci sajian Nartasabda khususnya wejangan Dewaruci kepada Bima sebagai berikut. [Dialog 437]: Dewaruci Wêrkudara, Wêrkudara. Ana papan jêmbar nglangut datanpa têpi, padhang nrawangan nanging ora antuk dayaning surya, kang ana amung swasana jênjêm, ayêm, têntrêm, yaiku ingkang sinêbut ing lokabaka. Loka têgêsé alam, baka têgêsé langgêng. Ya ing kono ingkang sinêbut ing alam jati, ya ing alam langgêng. Rasamu kang ngungun disababaké bisa nymurupi gumêlar ingkang kadulu ing nétra nanging apa ta sababé sira rumangsa bisa angocap. Andulu, sarta miyarsakaké. Éwadéné ora bisa nyawang marang awakmu dhéwé, ya kang mangkono iku sinêbut jagad laknyana, yaiku ingkang sinêbut ing jagad laknyana. Têgêsé: sira urip ana jagating pati, upama sira ngrumangsani mati nanging isih urip. Yaiku ingkang sinêbut ing jagad laknyana. Werkudara Ênggih. Mêkatên agênging manah kula tanpa upami. Kula tingali sarana cêtha sarta ngégla kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu, kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu mênika daya mênapa miwah satunggaling mênapa pukulun? Dewaruci Yah. Urup siji cahya wolu mau kêna disêbuit pancamaya. Panca sing dikarêpaké ing kéné dudu cacah lima, nanging manéka warna. Déné cahya wolu mau cahya dayaning urip, ya lair ya batin. Yaiku siji cahyaning surya, loro cahyaning candra, kaping têlu cahyaning kartika, kaping pat cahyaning mêndhung, kaping lima cahyaning bumi, kaping ênêm cahyaning gêni,[kaping usercahyaning angin. Bandha jagad pitu mbotên kaocapakên]lan commit kaping towolu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
321 wolu cacahé sayêkti ing kono ingkang bisa nêmtokaké rumagang tumitahing sagung dumadi. Mungguh kang tri cahya yaiku ingkang sinêbut cahyaning surya, candta, kartika dayané wis wujug gumilang, bakal ambabar wijining manungsa. Bakal ambabar alusing manungsa. Éwadéné dayaning patang pêrkata ya cahya patang pêrkara cahyaning bumi, gêni, banyu lan angin kuwi bakal mujudaké kuwadhagané manungsa. Pêpitu kang wus padha nyawiji kang mangkono sinêbut Wahyu Nungkat Gaib. Nungkat iku têgêsé wiji, gaib iku samar. Wijining manungsa kang maksih kinandhut ana jro guwagarba, sakdurungé dilairaké maksih samar nggoné padha angarani sipaté jalu apa pawèstri. Werkudara Pukulun, Dewaruci Apa nggèr? Werkudara Kula nyumêrêpi kados gêganthaning pratima gadhing mênika mênapa? Dewaruci Kawruhana yaiku sêjatining sira. Yaiku sêjatining sira. Sira ing kéné ndak karêpaké kabèh bêbrananing sagung dumadi. Nadyan iku durung gumêlar kang sarta durung dumadi, nanging wis bisa urip. Urip ora kêna daya wolung pêrkara, nanging uriping pramana. Déné mungguh [prana pamra] pramana mono sayêkti kasurung déning dayaning sang Ywang Suksma. Sang Ywang Suksma kang bisa ambabar dayaning pramana wêkasan manjing marang manungsané têmah dadi urip. Mula sanadyan sang Ywang Suksma ora bisa kadulu, nanging wus bisa karasakaké. Nadyan rowa birawa manungsa bisa darbé kêrosan bisa anjunjung gunung nanging yèn koncatan sang Ywang Suksma sayêkti ngalumpruk tan kêrkatan daya tan sêdya, wêkasan ya ing kono ingkang ngancik alam hantaka. Werkudara Kula nyumêrêpi wontyên cahya sêkawan warni: cahya langking, cahya rêkta, cahya jênar, cahya séta. Dewaruci Yoh. Cahya patang pêrkara mau dumadi saka hawa patang pêrkara. Yaiku ingkang abang panyurunging kanêpson, ingkang irêng panyurunging kasantosan nanging mduwé watak brènggèh. Ingkang kuning panyurunging pêpènginan nanging dêrbé watak jail, ingkan putih pandhêdhêring watak suci. Têtêlu cahya abang, irêng, lan kunbing mau tansah hangrubéda marang lakuning cahya kang putih. Cahya putih kang ijèn datanpa rowang yèn kurang têtêg sarta mantêb, ora kuwawa mêrangi saliring panggodha têlung prakara, cahya putih mau gampang dikalahaké. Nanging yèn ta cahya putih mau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
322 ngadêgé jêjêg adhêdhasar adil, têtêlu kang padha ngrubéda mau bisa kéntas kabrastha déning dayaning cahya kasucèn. Werkudara Mênawi ngatên kaparênga kula mapan ing ngriki sêlamènipun. Mbotên wurung mênawi kula wangsul ing alam kuwadhagan badhé kêbak ing pênandhang. Katênan mênawi kula wontên ngriki sampun sêpên pintên-pintên Dewaruci Hlo hlo! Dara! Iku dudu lêkasing satriya tama. Ingatasé satriya mono kudu wêruh marang kuwajipaning kasatriyan. Nggonira ulun lilani manjing ana guwagarba sayêkti amung ulun parênganké angungak, durung ulun parêngaké mapan ing kono. Ngêntènana wasésaning mangsa kala, aja ngêlak mangsa sarta anggégé wanci. Mara gagé mijila saka guwagarba. Werkudara Hê…, purun mbotên purun kula kêdah ngraosakên pênandhang. Dewaruci Jêr mapan kudu mangkono darmaning titah, kudu makarti adhêdhasar kadéwasan kang ana ing dhèwèké. Sira sawijining satriya yèn ta datan ngawruhi kawajipané kasatriyan jênêng nistha araning satria. Mula kulup ing pangrasa tanpa gawé, yèn sira kulup kêsuwèn ana ngabyantara ulun. Tumuli baliya marang praja. Wisé kêlakon bali marang praja, tulungana gurumu pandhita Durna kang mêngko bakal lampus dhiri nyêmplung sêgara. Werkudara Inggih, namung pêngèstu paduka pukulun ingkêng kula suwun. Dewaruci Dara! Sêsantiku hayu hayu rahayu lulus raharja lakumu. Pada dialog atau wejangan tersebut tampak keunggulan Nartasabda dalam penggunaan bahasa pedalangan yang tinggi dan bervariasi serta mengandung makna yang dalam tentang nilai spiritual tertuang dalam tindak tutur direktif maupun tindak tutur ekspresif. Dalam dialog yang terungkap daam TTD dan TTE meberikan
pemahaman
bahwa
apa
yang
dicari
Werkudara
mengenai
kesempurnaan hidup atau tirta pawitra mahening suci dapat dicapai, dan Werkudara merasa puas tidak ingin kembali ke dunia. Tetapi hal itu ditolak oleh Dewaruci karena belum saatnya dan Werkudara masih mempunyai tugas duniawi yaitu memuliakan negaranya dan saudara- saudaranya karena kejahatan para Korawa. Keunggulan penggunaan bahasa Nartasabda dapat disimak pada adegan Basukarna dengan Begawan Dipayasa pada commit to pathet user manyura sebnagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
323 (Dialog 115): Bgw Dipayasa Kawistingal yenta semengko pengawak bajra sigra hamawa gita rawuhe anak prabu Ngawangga marang pertapan Prasu kene apa ta mungguh wigatine karan jagad iki kebrebegen dening wong-wong kang padha kesempyoking aradan lumadining prang ingkang sinebut Barayuda Jayabinangun, mangka sak nyatane paduka angger iingkang sinuwun maksih ana jejibahan luhur ingkang sinangkul amarga darbe kesanggupan dening prabu Duryudana jemeneng senopati angayomi lakuning Kurawa kang nedya nindakake pancabakah sak madyaning Baratayuda Jayabinangun. Geneya sela-selaning wanci iki anak prabu kepareng anggunakake sapatemon marang pun kaki mungguh apa anak prabu wigatine? Basukarna Bapa guru, menapa kedah kula ambali malih anggen kula matur ngersa paduka bapa guru? Bgw Dipayasa Murih gamblange sajake kudu mengkono anak prabu Basukarna Inggih bapa guru nadyan estonipun kula sampu kasembadan merjaya inggih mejahi pulunan kula piyambak kulup Gathutkaca ing wanci tengah dalu, nanging kula dereng rumaos unggul, kula dereng rumaos marem miwah kula boten kesasaban raos punggung. Ingkang wonten tansah teteken pengatos-atos sampun ngantos lekas-lekas ingkang kula tindakaken wau temahan gagar wigar tanpa karya. Jer suraking tiyang sak jagad ingkang dipun entosi menika naming perang kula lan Arjuna. Boten kok nama kula miris satemah maras amargi nyumurupi muncrating marus, nanging titi mangsa nalika penganggen betan kula wiwit lair dipun blejeti dipun rucati dening Bethara Indra wujudipun anting-anting sesotya miwah kotang kawaca. Kula namung anggadhahi dedamel setunggal inggih menika warastra ingkang bedhoripun awasta druwasa. Dene wontenipun warastra Kunta Druwasa sumandha ing kula labet ing nguni peparinging Begawan Druwasa inggih menika sesinglone sang hyang Surya. Inggih senadyan dedamel warastra Kunta Druwasa menika peparinging sang Hyang Surya ewadene menapa badhe saged mungkasi damel mennawi kula ngetang-etang cacahing dedamel ingkang kadarbe dening kadang kul apun Arjuna. Amargi kalokengrat Arjuna nadyan tiyang setunggal nanging kawasa sarta sembada nyekel dedamel tigang dasa tiga cacahipun ingkang sadaya wau ing uni peparinging jawata nalika Arjuna Sri Nugraha sinengkaken ing ngaluhur jumeneng nalendraning hapsari ing Tejamaya inggih ing Tinjamanaya, ing Tejamaya inggih ing Tinjomaya awoh saking lelabetan luhur ingkang anggadhahi darma bakti konjuk dhateng para dewa sembada amunah satru memalaning jagad narendra ing kitha Hiranyapura nagari HimaHimantaka ingkang ajejuluk Prabu Niwata Kawaca. Menawi kelampahan commit to userpeparinging wau dipun cakaken dedameling Arjuna ingkang sedaya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
324 wonten sak madyaning Baratayuda Jayabinangun. Mangka kula sekeng tumraping dedamel alit ngantos bucik kulit kula ageng ngantos rebah adeg-adeg kula tuwin langkung-langkung menawi kula ngantos soring adilaga temahan dumugi pejah iba kados menapa suraking tiyang sak jagad ingkang sami ngerang-erang nuding-nuding dhateng kula. Kula tartamtu badhe dipun wastani satunggaling senopati ingkang namung jlomprongaken dhateng sedaya prejuritipun. Inggih sanajan kathah sanget tuwin kathah tunggilipun para senopatining prang ingkang tresna dhateng parentahe sang raja sagah angayomi para prajuritipun dupi soring adilaga klentu sipating pemanggih dipun anggep satunggaling sattriya ingkang anjlomprongaken miwah dipun anggep satunggaling satriya ingkang dados wisa-wisaning bebrayan negari. Temahan dipun erangerang dipun surak dipun tuding-tuding miwah dipun esi-esi margi saking menika dhuh bapa guru Begawan Dipayasa wontena suka rilaning penggalih kaparenga nambal gemapaling raos kula srana anggen paduka peparing dedamel nadyan wujud menapa kewala bebasan namung kayu saceklek ron sasuwek nanging menawi peparing paduka bapa guru Begawan Dipayasa sami kemawon ugi kula sampun binetengan kandelipun sewu yojana. Pada dialog kedua tokoh tersebt menunjukan bahwa dalang Nartasabda mampu dan menguasai perbendaharaan bahasa pedalangan, penggunaan metafora seperti : kebrebegen dening wong-wong kang padha kesempyoking aradan lumadining prang.; satunggaling satriya ingkang dados wisa-wisaning bebrayan negari;
bebasan namung kayu saceklek ron sasuwek menawi peparingipun
Begawan Dipayasa sami kemawon ugi kula sampun binetengan kandelipun sewu yojana, dsb. Wejangan Purbo Asmoro pada lakon Rama Gandrung dengan bahasa yang lugas
mudah dipahami serta menghindari penggunaan bahasa kawi mapun
arkhais. Wejangan Ramawijaya kepada Barata singkat tetapi padat dan penuh makna. Hal itu dapat dicermati pada adegan pathet sanga lakon Rama Gandrung dialog Ramawijaya dengan Barata yang menjelaskan tugas seorang raja seperti dalam ajaran astha brata sebagai berikut. (Dialog 43): Ramawijaya Yayi yektine abote kaya wong nyangga bumi jejering jiwa satriya ingkang kudu ngembat praja. Nanging gegaran rasa panarima iku yekti bathi. Siadhi bakal ngundhuh ayem tentrem amarga tumindakmu tansah commitkang to user linambaran kapercayan marang akarya jagad ya kang maha wikan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
325 Narima iku ateges kaya dene wis marem apa anane, nanging kapara malah ambudidaya mung wae ora grusa-grusu. Samangsa sira lagi ngedhepi jroning panguripan ingkang ngrekasa lawan para kawulanira prayoga andhemana kanthi kaya esem ngujjiwat, iku gaman ingkang gawe enthenging sesanggan. Nanging lamun penandhang mbok adhepi kanthi ulat kang suntrut yektine bakal kentekan pamikir ingkang wening. Wekasane ora wurung mung mbrangus kahanan nuruti marang tindak ingkang nalisir saka ugering bebener dhimas. Manungsa urip iku kudu bisa nguwasani kamardikaning lair lan uga kamardikaning batin. Werdine bisa nyukupi apa ingkang dadi butuhing urip saka wetuning kringet wohing panindak. Dene kamardikaning batin cak-cakaning panindak kudu nyingkiri napsu durangkara tan nistha ing lair batin trus utama duwe rasa melik lan drengki mung tuhu marang paugeraning urip bebrayan kurawangsa sak Negara anggepen rengkuhen kaya dene pribadi. Sinaua marang alam jagad iki aweh pituduh kaweningan lan gancaring panindak sang hyang surya sang dahana sang maruta sang bumi sang banyu iku kabeh nganti cacah wolu sinebut Hastha Brata. Mula hastha iku wolu brata iku laku nulat alam saisine iki bisoa dadi garaning panindak. Ya bisa dadi wataking geni ya dadi wataking banyu ya bisa dadi wataking samudra ya bisa dadi wataking kartika ya bisa dadi wataking rembulan, lan sapanunggalane, mula saka iku yayi, jejekna tekadmu aja mangro tumulih Negara Ayodya anane mung tansah tentrem lan rahayu dhimas. Barata Dhuh kakangmas jimat pepundhen kula. Bekti kula sungkem kula konjuk paduka sasat makutha paduka trumpah paduka wiwit saking ngarsa paduka dumugi ing negari Ayodya badhe kula sunggi. Kakangmbok ayu Sinta kula nyuwun pamit. Kula nyuwun pangayoman. Dhuh kakangmas mugi ingkang sedya hayu tansah manggih rahayu. Terjadinya perbedaan perwujudan tindak tutur ekspresif dan direktif dalam KTNS, DRNS, BNPA, RGPA disebabkan beberapa faktor: faktor tema lakon, faktor kreativitas dalang, faktor pendidikan dalang, faktor ideologi dalang, faktor lingkungan sosial budaya, serta faktor masyarakat pendukung wayang atau penghayat (penonton). Faktor Tema Lakon Lakon wayang dalam dunia pedalangan dan di kalangan para dalang dapat digolongkan berdasarkan nama tokoh dan peristiwa penting. Berdasarkan judul lakon, terdapat jenis lakon wayang seperti lakon rabèn, lakon lahiran, commitgugur, to user lakonalap-alapan, lakon wahyu, lakon lakon jumênêngan, lakon duta,dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
326 sebagainya. Peristiwanya dapat digolongkan, seperti lakon perang ageng (bratayuda),lakon ngenger, lakon wirid (lebet), lakon asmara, lakon kraman,dan sebagainya. Setiap jenis lakon atau tema lakon seperti yang disebut di atas akan membawa konsekuensi dalam penggarapan lakon, bentuk sajian, sanggit (kreativitas dalang), serta strategi dalang untuk menyampaikan isi lakon. Keempat lakon yang terdiri dari lakon pertunjukan wayang kulit KTNS berdasarkan peristiwanya termasuk lakon perang ageng (bratayuda Pandawa Kurawa). Lakon BNPA termasuk lakon perang ageng, atau lakon tragedi artinya banyak tokoh yang gugur dalam peperangan. Lakon DRNS masuk kategori lakon wirid atau lakon lebet, artinya dalam peristiwa tersebut banyak ajaran mengenai kesemarpurnaan hidup, asal, dan tujuan hidup, atau sangkan paraning dumadi. Lakon RGPA
berdasarkan alur cerita termasuk lakon asmara (gandrung).
Dengan demikian, jenis lakon perang ageng, lakon wirid, dan lakon asmara akan memengaruhi dan membawa dampak terhadap Nartasabda dan Purbo Asmoro sebagai penyaji dalam menuangkan isi lakon yang di dalamnya terkandung TTE dan tindak TTD seperti yang dikemukakan dalam hasil temuan penelitian ini. Faktor Kreativitas Dalang Kreativitas dalang untuk menggarap lakon merupakan faktor yang penting dan menentukan keberhasilan sajian wayang. Ide dan gagasan baru yang orisinal dalam garapan unsur pakeliran seperti catur (ginem, janturan, pocapan), sabet, karawitan pakeliran, serta garap lakon merupakan parameter kreativitas seorang dalang pada pertunjukan wayang kulit. Nartasabda merupakan dalang pelopor dan pembaharu dalam jagad pedalangan pada era (1959-1985) dalam hal keempat unsur pakeliran. Kreativitasnya dalam sajian lakon wayang tidak disangsikan lagi. Nartasabda memiliki kreativitas yang tinggi
dalam mengolah dialog tokoh
wayang, sulukan, garap gendhing wayang, dramatisasi tokoh, ekspresi catur, improvisasi lakon, sertapenjiwaan tokoh wayang. Kreativitas dalang menentukan kualitas
dalang
yang
secara
internal
terbentuk
oleh
kekuatan
dalam
mendinamisasikan pertunjukan wayang serta daya batiniah dalang yang memancarkan rasa yang pada gilirannya dapat memunculkan pakeliran yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
327 nuksma danmungguh. Nuksma berarti bahwa semua tokoh yang ditampilkan pada lakon tersebut sangat menjiwai sesuai dengan karakter dan status sosialnya. Demikian pula mungguh yang berarti peristiwa lakon serta alur ceritanya dapat disampaikan dengan baik dan mantap serta esensi lakon dapat dipahami oleh penghayat atau penonton. Hal itu dapat dicermati dalam KTNS dan DRNS yang terungkap pada TTE dan TTD.
Jagad pedalangan mengakui bahwa
Nartasabdamemiliki kreativitas sangat menonjol dalam Penciptaan gendhing serta dramatisasi tokoh wayang maka disebut dhalang wasis dan dhalang gendhing. Purbo Asmoro seorang dalang generasi muda yang juga memiliki kreativitas tinggi dalam garapan lakon wayang, terutama garap unsur pakeliran utamanya dalam hal sanggit lakon serta dramatisasi yang dipadukan dengan garap pertunjukan wayang semalam dengan garap wayang pakeliran padat. Garapannya murni hasil kreativitas Purbo Asmoro yang pada era Nartasabda belum pernah terjadi. Demikian pula, sajian catur (dialog tokoh, deskripsi suasana) dalam menciptakanberbagai suasana, seperti rasa/suasana agung, sedih, Wibawa, gembira,romantik, dan sebagainya dapat memukau penonton dan mampu menyentuh rasa hayatan. Penampilan lakon BNPA dan RGPA menampakkan perpaduan yang utuh dalam unsur estetik, bahasa, dan sastra pedalangan dengan gendhing, pathet, serta tembang sebagai karawitan pakeliran. Hal itu ditunjang dengan penguasaan dalam karawitan serta pendidikannya di lingkungan perguruan tinggi seni maka dia merupakan dalang akademis yang profesional dan sebagai dosen pada jurusan pedalangan ISI Surakarta. Kemampuannya mengolah bahasa keseharian yang dipadukan dengan bahasa pedalangan pada dialog tokoh wayang dapat membuat peristiwa lakon mudah dihayati oleh para pemerhati wayang dan kritikus pertunjukan wayang. Tuturan bahasa dan sastra pedalangannya memiliki ciri khas tersendiri seperti yang terungkap dalam TTE dan TTD dalam BNPA serta RGPA. Kreativitas menonjol yang lain adalah humor/lucu yang menggelitik dan aktual serta kontekstual yang disampaikan secara medhang miring, nyampar pikolèh, maupun mlaha, tergantung situasi dan empan papan pada adegan yang ditampilkan. Berdasarkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
328 garap lakon serta wujud pedalangannya yang khas, Purbo Asmoro dijuluki dhalang piyayi. Faktor Pendidikan Latar belakang pendidikan seorang seniman sangat memengaruhi dalam berkarya seni atau dalam kegiatan artistik. Demikian pula, penguasaan konsepkonsep estetis serta teknik berkesenian memberi andil yang sangat besar dalam wujud karya seni yang ditampilkan. Dalang Nartasabda pendidikan
formal
kesenian,
tetapi
pendidikan
seni
tidak mengenyam diperoleh
dari
pengembaraannya ketika bergabung dengan berbagi grup kesenian serta nyantrik dengan para dalang kondang pada masa itu. Pendidikan dalang yang didapat dari organisasi seni yang beragam serta hasil nyantrik para dalang tenar membuat Nartasabda memiliki pengetahuan pedalangan dan keterampilan pakeliran yang memadahi, bahkan pengetahuan dan keterampilan dalam jagad pedalangan yang diperolehnya dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga memberi warna tersendiri dalam pertunjukan wayang serta memberi kontribusi dalam dunia pedalangan. Hasil pendidikan dalang dari berbagai sumber dituangkan dalam garapan catur (dialog tokoh, gedhing, tembang) yang diungkapkan seperti dalam TTE dan TTD pada lakon KTNS dan DRNS sehingga gaya pedalanganya dapat menarik perhatian para penonton. Dalang Purbo Asmoro dilahirkan di lingkungan keluarga dalang dan mendapatkan
pembelajaran
seni
pedalangan
dari
ayahnya,
melanjutkan
pendidikan formal seni pedalangan. Peningkatan kemampuan Purbo Asmoro dalam
hal
seluk
beluk jagad
pedalangan
sudah
barang tentu bekal
kesenimanannya cukup banyak serta penguasaan konsep-konsep pakeliran yang diperoleh di dunia pendidian. Ciri dan keunggulan Purbo Asmoro dalam menyajikan lakon wayang adalah mampu membuat sanggit secara inovatif, yakni lakon wayang ditafsir disesuaikan dengan situasi zamannya sehingga menghasilkan sanggit lakon yang berbeda dengan para dalang-dalang pada umumnya. Di samping itu, mampu commit to user memadukan unsur-unsur pedalangan secara utuh seperti menyatukan unsur,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
329 catur,sabet, dan karawitan pakeliran menjadi satu kesatuan garap lakon wayang yang sedang disajikan. Lewat TTE serta TTD dapat meningkatkan kualitas estetik pedalangannya. Purbo Asmoro dijuluki dhalang akademis di kalangan para dalang dan pemerhati wayang karena wujud penyajiannya dapat memadukan konsepkonsep pedalangan di lembaga perguruan tinggi seni (ISI Surakarta) dengan konsep-konsep pedalangan yang berlaku di kalangan para dalang sehingga karya pedalangan yang disajikan unik dan khas pakelirannya. Faktor Ideologi Dalang Dalang pada umumnya membawa misi sebagai pelaku wayang yang memiliki dimensi atau perspektif dalam melaksanakan pertunjukan wayang, yang mencakup kaidah-kaidah, nilai yang diyakini, motivasi dan kepentingan yang akan diraih serta untuk menjaga kelestariannya. Jazuli menjelaskan bahwa ideologi dalang dibedakan menjadi tiga varian,yaitu konservatif, progresif, dan pragmatis atau moderat dan ambivalen (Jazuli, 2000:314). Dalang yang berideologi konservatif adalah sekelompok dalang yang wujud pakelirannya masih mempertahankan kaidah-kaidah, norma-norma pedalangan tradisi, dan mempunyai misi bahwa pertunjukan wayang mengandung nilai tuntunan (etika dan estetika) untuk kemaslahatan umat manusia. Dalang yang berideologi progresif adalah sebagian dalang yang melakukan inovasi serta perubahan dalam jagad pedalangan agar mendapat nilai yang baru dan mencoba menafsirkan serta mengaktualisasikan peristiwa pedalangan yang disesuaikan dengan zamannya sehingga tidak jarangmengubah garapan unsur-unsur pedalangan agar menemukan bentuk pakeliran yang baru. Kategori ketiga adalah sekelompok dalang yang berideologi pragmatis, yakni sebagian dalang yang menyajikan pakelirannya untuk kepentingan praktis dan berorientasi pada kebutuhan, selera penonton,dan sajian wayangnya kadang kala bersifat hedonistik. Berdasarkan pembagian kategori ideologi diatas, Nartasabda dalam menyajikan pakeliran pertamanya masih menggunakan kaidah-kaidah dalam jagad pedalangan tradisi. Sebagai contoh, Nartasabda masih menggunakan bahasa dan sastra pedalangan gaya Surakarta.commit Hal itutotercermin dalam dialog tokoh wayang user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
330 dengan bage binage (mengucapkan salam) dengan menggunakan bahasa klise danmasih
menyajikan
pocapan
(deskripsi
tokoh)
dengan
bahasa
pinanthok(bahasa baku).Demikian pula, Nartasabda mengakomodasi kebutuhan hiburan bagi penonton. Purbo Asmoro dalam wujud garapan pakelirannya menafsirkan lakon wayang serta memadukan garap wayang semalam dengan garap wayang padat. Maksud dan tujuannya dapat mewujudkan bentuk pertunjukan wayang masa kini yang dapat menyesuaikan dengan perubahan masyarakat pendukung wayang tanpa mengorbankan nilai estetis. Penggunaan bahasa sering meramu bahasa kerakyatan yang dipadukan dengan basa krama
madya dan basa kawi yang
mewarnai catur gaya PA. Garap lakon dan alur cerita menggabungkan beberapa lakon yang disusun dalam satu lakon semacam lakon banjaran. Hal itu dapat disimak antara lain dalam TTE dan TTD seperti dalam sajian lakon BNPA dan RGPA yang menjadi objek material penelitian ini. Berdasarkan kenyataan di lapangan, PA termasuk dalang yang berideologi konservatif sekaligus berideologi progresif. Faktor Lingkungan Sosial Budaya Dalang Nartasabda maupun Purbo Asmoro hidup dalam lingkungan masyarakat yang mendukung budaya Jawa di mana pertunjukan wayang kulit merupakan bagian dari kebudayaan itu. Konsep kebudayaan Jawa adalah sistem ide yang dimiliki bersama oleh masyarakat pendukungnya maka kebudayaan Jawa adalah sistem ide yang didukung oleh masyarakat Jawa yang meliputi (1) kepercayaan; (2) pengetahuan; (3) keseluruhan nilai; (4) keseluruhan cara mengungkapkan perasaan dengan bahasa lisan, tulisan, tembang, musik, tari, wayang, lukisan, dan penggunaan lamban
(Koentjaraningrat,1984:50). Usaha
memahami kebudayaan Jawa mengarah kepada pemahaman nilai-nilai, konsepsikonsepsi dan paham-paham yang membimbingtindakan-tindakan dalam hidup penuturya di lingkungan masyarakat Jawa. Nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi itu memperlihatkan pandangan dunia baik secara vertikal maupun horisontal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
331 Gagasan utama yang mendasari pola pikir masyarakat Jawa akan tampak dari adanya suatu hierarkis. Pada tingkat pertama terdapat lingkungan adikodrati yang memiliki mekanisme keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan. Kondisi di bawahnya adalah lingkungan manusia dan masyarakat yang segala sesuatunya telah ditentukan sebelumnya (pepesthen) dan segala sesuatunya harus mengikuti arah yang telah ditentukan selaras dengan hukum kosmos (Mulder, 1983: 62). Kebudayaan Jawa mempunyai ciri tersendiri kalau dibandingkan dengan masyarakat lain dan untuk mendapatkan gambaran serta mengidentifikasinya orang harus dapat menemukan gagasan-gagasan yang diejawantahkan ke dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan adikodrati kemasyarakatan dan dalam kegiatan kesenian. Kebudayaan Jawa yang terungkap dalam pertunjukan wayang kulit menggambarkan tindakan manusia yang pantas dan tidak pantas beserta konsekuensinya masing-masing, seperti dalam lakon BNPA. Tokoh Dasamuka yang menculik istri Ramawijaya akhirnya menerima konsekuensi harus berhadapan dengan Ramawijaya dan akhirnya mati terbunuh karena tindakannya yang tidak pantas. Demikian pula, ajaran dan teladan yang disampaikan dalam pertunjukan wayang agar manusia dapat mencapai keseimbangan sosial dan lingkungan. Gagasan, nilai, keyakinan dan sikap sering disajikan dalam seni pertunjukan maupun seni sastra. Sebagai contoh, konsep-konsep atau nilai-nilai kepemimpinan yang terungkap dalam lakon RGPA ketika Ramawijaya memberikan nasihat kepada Barata, yaitu ajaran astha brata (delapan sifat alam yang dapat diterapkan untuk memerintah atau memimpin). Sajian KTNS dan DRNS serta sajian BNPA dan RGPA didalamnya tidak lepas dari nilai-nilai, gagasan, dan keyakinan budaya Jawa yang terungkap lewat TTE dan TTD pada dialog tokoh-tokoh wayang tertentu. Dengan demikian, nilainilai budaya Jawa yang terungkap lewat pertunjukan wayang merupakan gambaran tindakan manusia yang jahat dan luhur beserta konsekuensinya masing-masing agar manusia dapat mencapai keseimbangan yang berkaitan hubungan manusia dengan alam adi kodrati, hubungan manusia dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
332 masyarakat, serta hubungan manusia dengan alam sehingga manusia mampu mencegah kehancuran. Faktor Masyarakat atau Penonton Wayang Peristiwa kesenian mengandung tiga komponen pokok, yaitu seniman, karyanya, dan penghayat atau penonton.Ketiganya saling terkait dan saling memengaruhi terhadap keberadaan karya seni itu. Hal itu juga dinyatakan oleh Arnold Hauser dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Art (1974) bahwa seni pertunjukan merupakan produk masyarakat maka pandangan masyarakat tertentu akan memengaruhi wujud karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat (Hauser,1974). Era Nartasabda yang tenar sekitar tahun 1959-1985, masyarakat pendukung wayang pada umumnya masih dapat mengapresiasi pertunjukan wayang dengan baik bila dilihat dari dimensi artistik. Mereka pada umumnya mengerti
bahasa
dan
sastra
pedalangan
yang
disajikan
dalang.
Masyarakatpendukung wayang atau penonton pada era Purbo Asmoro sekitar tahun
1994-sampai
sekarang
tampaknya
mengalami
pergeseran
dalam
mengapresiasi pertunjukan wayang. Seiring dengan kemajuan ekonomi, teknologi, dan komunikasi para penonton wayang dewasa ini pada umumnya kurang peka dan kurang akrab terhadap sajian wayang yang bermutu. Mereka lebih menekankan sajian wayang yang menekankan hiburan dangkal dan bersifat hurahura. Kadang-kadang para penonton memaksakan kenginannya dengan meminta lagu/gendhing pada adegan Limbuk Cangik atau gara-gara yang bukan pada tempatnya sehingga menggangu dan membuat gaduh. Dewasa ini banyak penonton wayang masuk kategori penonton penuntut, dan golongan egois. Para dalang yang hanyut pada keinginan penonton akan berlomba-lomba untuk menyajikan lakon yang digarap sesuai dengan selera penonton yang rendah. Sebagai contoh, memasukan pelawak, campur sari, instrumen nongamelan, penyanyi, dan penari dalam pergelaran wayang. Sebaliknya, Purbo Asmoro tampaknya tidak terpengaruh para penonton dewasa ini, tidak ikut-ikutan seperti dalang yang to menuruti commit user selera dan keinginan penonton
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
333 atau menyajikan estetika resepsi berdasarkan selera masyarakat. Purbo Asmoro tetap komitmen terhadap sajian wayang yang berkualitas, yaitu menggarap lakon dengan garap semalam dan garap wayang padat yang mengutamakan nilai estetis serta penggunaan bahasa sederhana yang dipadukan dengan bahasa pedalangan sehingga mudah ditangkap oleh penonton masa kini. Dengan cara itu,Purbo Asmoro mendapat hati di kalangan para penonton wayang, baik penonton penurut, penonton penuntut kritis, dan egoismaupun penonton yang ikut-ikutan. Hal itu dapat dicermati dalam sajian BNPA dan RGPA yang tercermin pada TTE dan TTD. 4. Fungsi TTE dan TTD dalam KTNS, DRNS, BNPA dan RGPA Relevansinya dengan Pendidikan Karakter TTE dan TTD dalam keempat lakon sajian Nartasabda dan Purbo Asmoro merupakan bagian integral dari satu pertunjukan wayang kulit serta termasuk dalam
unsur
pedalangan,
khususnya
bidang
catur
yang
mencakup
ginem,janturan,dan pocapan. TTE dan TTD dalam lakon KTNS, DRNS, BNPA serta RGPA dapat ditelusuri melalui aspek kebahasaan, seperti penggunaan bahasa pedalangan, janturan, pocapan, ginem, serta teknik antawecana. Berdasarkan pengamatan dan kajian terhadap keempat lakon, dapat dikatakan bahwa sajian kedua dalang dalam KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA dapat menyentuh hati penghayat atau dapat mencipta komunikasi sambung rasa. Kedua dalang dapat menyusun sastra yang selaras serta ungkapan kalimat yang berisi dan teknik pengekspresiannya menjiwai tokoh wayang. Kedua sajian dalang dapat menyentuh perasaan penghayat sehingga dapat memperkaya pengalaman jiwa, sajiannya mentes dan isi. Artinya, pesan-pesan yang disampaikan dalam keempat lakon (KTNS, DRNS, BNPA dan RGPA) mengandung ajaran moral dan spiritual, nasionalisme, kemanusiaan, etika, dan estetika yang pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ajaran dan pesan-pesan yang terkandung dalam keempat lakon, seperti ajaran moral dan loyalitas tercermin dalam tokoh Basukarna, ajaran nasionalisme terungkap pada user moral kepemimpinan asthabrata tokoh Kumbakarna dalam lakon commit BNPA, to ajaran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
334 terungkap dalam dialog Ramawijaya dengan Barata dalam RGPA. Ajaran spiritual tercermin dalam wejangan Dewaruciterhadap Werkudara, pada lakon DRNS, dan sebagainya. Pesan-pesan yang terkandung dalam lakon KTNS, DRNS, BNPA, RGPA terungkap pada TTE dan TTD sangat relevan untuk penanaman pendidikan karakter. Karakter menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, sifat, tabiat, watak, temperamen, atau personalitas. Dengan demikian, karakter difokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Sunaryadi, 2012: 260). Terbentuknya karakter sangat dipengaruhi dari beberapa faktor, antara lain lingkungan budayanya. Penanaman karakter dapat dilakukan dengan memasyarakatkan dan menginternalisasikan nilai-nilai yang bersumber dari budaya lokal, antara lain pesan-pesan yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit. Nilai yang terkandung pada pertunjukan wayang dapat digunakan sebagai sarana untuk menanamkan karakter yang tercermin dalam tokoh-tokoh ideal, seperti tokoh Kresna, Werkudara, Arjuna, Basukarna, Kumbakarna, Ramawijaya, dan sebagainya. Pendidikan karakter bagi masyarakat Jawa diarahkan sampai pada tujuan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai, seperti nilai kesatuan, kebersamaan, toleransi, kemanusiaan, dan sebagainya. Budi pekerti yang ditanamkansejak kanak-kanak akan menjadi ciri khas atau ciri kepribadian yang disebut karakter.Bilamana karakter itu mengkristal akan menjadi jati diri yang memberi ciri khas bangsa. Dalam pertunjukan wayang kulit lakon KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPAterkandung ajaran-ajaran luhur yang dapat digunakan sebagai media pendidikan dan penanaman karakter bangsa. Hal itu antara lain dapat dicermati dalam lakon KTNS seperti TTD sebagai berikut. Arjuna: Kaka prabu menapa Pandhawa badhe wantala nindakaken sawukawis kados satataning prajurit nandhingi kridhaning mengsah menawi dupi enget menawi sami- sami putranipun kanjeng ibu Kunthi Basukarna: Dudu kuwi commit sing takto karebke, Arjuna…waspadakna kanthi user tekadmu kang suci sawangen nganggo rasamu kang wening pun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
335 kakang iki ngapa hem? Pun kakang iki ngapa? Katresnanku marang adhi-adhiku Pandhawa bakal tak tuku sarta tak tebas nganggo bandhaku kang larang dhewe yaiku gumelare jiwa raga. Apa ta kok nganti mangkono? Pun kakang dudu wong wuta lan tuli, pun kakang dudu wong mendho, nanging pun kakang kabeh mau nganggo petung.(KTNS.Gn.248): Terjemahan: Arjuna : „Kakanda apakah Pandawa akan tega melakukan peperangan sementara mungsuhnya juga masih satu saudara sama-sama puteranya Ibu Kunthi‟. Basukarna : „Bukan itu yang saya maksud. Arjuna...cermatilah dengan seksama tekadmu yang suci, camkanlah dengan rasa yang bening....Rasa cintaku kepada adik-adik Pandawa akan saya tebus dengan hartaku yang paling berharga yakni jiwa ragaku. Apakah sebabnya begitu? Kakanda adalah bukan buta dan tuli tidak mendengar namun semua sudah Kakanda perhitungkan...‟ Penanaman moral kepemimpinan juga dapat dicermati pada TTD Ramawijaya terhadap Barata berikut ini. Ramawijaya: Sinaua marang alam jagad iki aweh pituduh kaweningan lan gancaring panindak sang hyang surya sang dahana sang maruta sang bumi sang banyu iku kabeh nganti cacah wolu sinebut Hastha Brata. Mula hastha iku wolu brata iku laku nulat alam saisine iki bisoa dadi garaning panindak. Ya bisa dadi wataking geni ya dadi wataking banyu ya bisa dadi wataking samudra ya bisa dadi wataking kartika ya bisa dadi wataking rembulan, lan sapanunggalane, mula saka iku yayi, jejekna tekadmu aja mangro tumulih Negara Ayodya anane mung tansah tentrem lan rahayu dhimas. (RGPA.Gn.043). Barata : Dhuh kakangmas jimat pepundhen kula. Bekti kula sungkem kula konjuk paduka sasat makutha paduka trumpah paduka wiwit saking ngarsa paduka dumugi ing negari Ayodya badhe kula sunggi. Kakangmbok ayu Sinta kula nyuwun pamit. Kula nyuwun pangayoman. Dhuh kakangmas mugi ingkang sedya hayu tansah manggih rahayu. Terjemahan: Ramawijaya : „Belajarlah kepada isi dunia, yang dapat memberikan petunjuk terhadap perilaku yang baik. yakni: matahari, bulan, bintang, api, air, angin,gunung dan tanah, yang disebut astha brata, dapat dijadikan pegangan dalam bertindak‟. Dapatlah menjadi wataknya api, berwataklah seperti angin, rembulan, bintang, dan sebagainya, mak dari itu Adinda luruskanlah tekadmu jangan ragu-ragu tentang Negeri Ayodya yang ada hanya aman dan tenteram selamat commit to user Adinda.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
336 Barata: „Kakanda yang saya hormati mulai dari sandal sampai dengan mahkota akan saya panggul sampai di Negeri Ayodya. Saya mohon pamit Kakanda Sinta. Mohon perlindungan. Apa yang menjadi keinginan selalu selamat‟. Ajaran Ramawijaya tentang astha brata yang disampaikan kepada Barata merupakan modal Dasar seorang penguasa atau pemimpin yang akan bertugas sebagai anutan. Bahkan lebih jauh, astha brata tidak terbatas untuk para pemimpin, tetapi dapat diterapkan untuk perilaku Semua orang yang hidup di muka bumi. Nilai kemanusian yang terkandung dalam lakon RGPA antara lain dapat dicermati TTE pada janturan (deskripsi) Ramawijaya, Sinta, dan Lesmana di hutan pada saat mendengar kematian Desarata sebagaimana dikutip berikut ini. “Jroning wana gung liwang liwung, dhasar pêtêng ndhêdhêt lêlimêngan datan kêna tinrabas sunaring bagaskara. Kaya nanduki pêtênging nala risang Ramawijayabadra. Anglês luluh lungkrah ngalêntrih, kaya dèn sigar jantungé Risang Ramawijaya, Dyah Ayu Sinta miwah Sang Lesmana, njêgrég kaya mati ngadêg dupi miyarsa sêdanira sang Ramawijaya Prabu Desarata”. Terjemahan: „Di tengah hutan yang lebat, gelap gulita sehingga tidak dapat sinar matahari, menambah duka hati sang Ramawijaya. Ramawijaya, Sinta dan Lesmana ketika mendengar kematian ayahnya maka hilang semangatnya, badanya lemas seperti terbelah hatinya‟. Dialog antara Barata dengan Ramawijaya yang melaporkan kematian Desarata menyebabkan suasana di tengah hutan menjadi hening dan Ramawijaya merasa berdosa karena kepergiannya menyebabkan kematian ayahnya. Rasa kemanusiaan dan rasa kesedihan yang mendalam tercermin dalam deskripsi (janturan) dan dapat memantapkan suasana haru, sedih yang mendalam. Ajaran spiritual dan nilai-nilai religius terungkap dalam dialog Dewarucidengan Werkudarasebagai berikut. Dewaruci: Wêrkudara, Wêrkudara, ana papan jêmbar nglangut tanpa tepi, padhang nrawangan nanging ora antuk dayaning surya, kang ana amung suwasana jenjem, ayêm, tentrêm, yaiku kang sinebut ing lokabaka. Loka têgêse alam, baka têgêsé langgêng, ya ing kono kang sinebut alam jati,ya ing alam langgêng. (DRNS.Gn.437) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
337 Werkudara: Ênggih. Mêkatên agênging manah kula tanpa upami. Kula tingali sarana cêtha sarta ngégla kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu, kula nyumêrêpi urup sêtunggal nanging cahyanipun wolu mênika daya mênapa miwah satunggaling mênapa pukulun? Terjemahan: Dewaruci : „Werkudara, ada tempat yang luas tanpa batas, terang benderang tetapi tidak kena sinar matahari, yang ada hanya rasa tenang, tentram, nikmat yaitu disebut alam baka, atau alam langgeng. Anda heran karena dapat melihat, dapat berucap serta mendengar, walaupun tidak dapat melihat dirimu sendiri, itulah yang disebut akhirat, artinya Anda hidup dalam mati, dan mati dalam hidup, itulah yang disebut alam akhirat‟. Werkudara: „Iya. Besarnya hasratku yang tiada tara. Saya melihat dengan jelas saya juga melihat sinar satu namun sinarnya memancarkan delapan warna, itu kekuatan apa Pukulun‟?. Dialog antara Dewaruci dengan Werkudara, yang menjelaskan tentang lautan atau tempat yang luas tanpa batas, tempat yang terang benderang tanpa sinar matahari, awang uwung tanpa arah, itu semua adalah simbol dari Illahi. Nilai-nilai berupa ajaran-ajaran yang disampaikan lewat TTE dan TTD pada KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA bila dapat ditangkap para penonton maka dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan karakter yang pada gilirannya akan mengubah
perilakunya,
memantapkan
jati
dirinya,
serta
memperkuat
kepribadiannya. Di samping berfungsi sebagai media pendidikan karakter, TTE dan TTD dalam KTNS, DRNS, BNPA dan RGPA juga berfungsi sebagai penghayatan estetis dan pelestarian budaya Jawa. Nilai estetis yang diekspresikan Nartasabda antara lain terdapat pada janturan (deskripsi) pada adegan Werkudara ketika berada di gua garba Dewaruci (dalam perut Dewaruci). TTE yang diungkapkan NS merepresentasikan nilai estetik seperti pada teks berikut. Janturan:Om, awignam astu mugi rahayua sagung dumadi. Om, awignam astu mugi rahayua sagung dumadi. Om, awignam astu mugi rahayua sagung dumadi. Ayêm têntrêm jênjêm jroning tyas Sang Werkudara dupi wus kasêmbadan nuksmèng jro guagarbane Sang Marbudengrat anenggih baruna Dewaruci.... Terjemahan: Janturan:„Ucapan salam semoga semua selamat. Werkudara dalam suasana commit user berada dalam perut Dewaruci. Ia tentram dan nikmat ketikatotelah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
338 melihat berbagai peristiwa yang belum pernah dialami selama hidup penuturya, maka Werkudara bertanya kepada Dewa Ruci...‟. TTD yang mengandung unsur estetis juga terdapat pada lakon DRNS pada dialogKresnadengan Dewi Kunthi pada adegan manyura sebagai berikut. Dewi Kunthi:Anakku nggèr wong kang anjênthara. Kaki Prabu ing Dwarawati. Kresna : Kula bibi Dewi Kunti : Sapawongé ora mêlang-mêlang candrané kaya ninggal bayi ana têpining balumbang, krana nggoning pun Bibi ngrasakaké tingkah lakuné kadangmu ing Jodhipati kulup Werkudara, sawatara candra oncat saka negara Ngamarta pêrlu puruita Danyang Dna.? (DRNS.Gn.325). Terjemahan: Dewi Kunthi:„Anandaku tersayang anaknya Parbu di Dwarawati‟. Kresna: „Iya Saya, Bibi‟. Dewi Kunti: „Bagaimana orang tidak kawatir seperti meninggalkan bayi di tengah kolam, karena merasakan perilakunya Werkudara yang saat ini meninggalkan negara Ngamarta, dan berguru kepada Durna. TTE yang merepresentasikan nilai estetis dalam sajian RGPA dapat dicermati pada dialog Ramawijaya dengan Sinta sebagai berikut. Sinta:Inggih sêngsêming manah kula botên kados mapan wontên madyaning wana gung liwang-liwung mriki. Kakangmas sêkar mandakaki, nagapuspa, cêploksruni, arumdalu, sêkar bakung ngkang mapan wontên ing têlaga ingkang éndah ingkang winastan Tlaga Mandakaki. Kathah sadpada ingkang sami ngingsêp sêsêkaran ingkang mancawarni, brêngêngêng suwantênipun arum manuhara. Mênawi gêganthaning raos rinipta kadi déning kidung suci, kidunging para brahmana ingkang sami ngidung rahayu murih rahayuning lêkas paduka Pangéran Ramawijaya.(RGPA.Gn.053). Ramawijaya : ... iya-ya yayi pun kakang semono uga tansah mongkog lan bombong dene tansah sumandhing garwa ingkang kasetyan lan katresnaning jagad tanpa timbang, Sinta. Terjemahan: Sinta :„Hati saya sangat senang karena berada di tengah hutan yang lebat. Kakanda, banyak bunga seperti mandakaki, nagapuspa, ceploksruni, arumdalu, bunga bakung yang berada di tepi telaga commit to usersedang mengisap bunga suaranya Mandakaki. Banyak kumbang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
339 bergeming sangat indah bilamana dirasakan dalam hati seperti doa suci, doanya para brahmana yang ditujukan kepada Pangeran Ramawijaya agar selamat‟. Ramawijaya : ‘Iya Dinda, demikian juga dengan kakak yang selalu bangga jika bersanding dengan istri tercinta yang tiada imbangannya, Sinta‟. Demikian pula TTD yang mengandung unsur estetis pada lakon RGPA terdapat dialog Sinta dengan Lesmana pada pathet manyura sebagai berikut. Lesmana: ... Ing lumahing bumi kurêping langit mênika botên wontên sêdhèrèk sêpuh ingkang minangka sudarma ingkang ngukir jiwa raga, ingkang kula bèktèni, kajawi amung Kakangmas Regawa. Babar pisan pangandikanipun Kakang Mbok ingkang sêmu nyêngguh dhatêng kula, kagungan pandakwa ingkang kados makatên kalawau, truntuming manah kula kadi kapanduking braja lungit. .... Namung kêwala mugi ucap kula Sintaêksèn bumi langit sak isinipun, ing rintên temah dalu sêlamining gêsang kula ngantos puputing yuswa, kula botên badhé gépok sénggol kaliyan wanita.(RGPA.Gn.096) Sinta : Apa mbok kira aku gumun. Iki ana alas gedhe upama kowe nggedhekake sumpah ora bakal ana wong kang ngrungokke. Lesmana-Lesmana upama kowe njabel sewijining wektu mesthi ora bakal ana kang nagih. Sing nekseni ucapmu ya mung kowe dewe.. Terjemahan: Lesmana : „Ya dewa, begitulah pikiran kanda Sinta. Saya akan selalu menghormati kanda Ramawijaya sebagai gantinya ayah saya. Kakanda Sinta berprasangka bahwa saya akan mengambil istri bilamana Sang Ramawijaya meninggal, sama sekali tidak benar. Mudah-mudahan ucapan saya ini disaksikan jagad raya dengan isinya, bahwa siang malam selama saya masih hidup sampai akhir hayat, tidak akan menjamah perempuan selamanya saya tidak akan kawin‟. Sinta : „Apakah dikira saya heran. Ini di hutan andaikan kamu bersumpah yang amat sangat tidak akan ada orang mendengar. Lesmana andai kamu mencabut sumbah tidak ada ada yang menagih. Sebagai saksi hanyalah dirimu sendiri‟. Kedua dalang memiliki variasi pengekspresian rasa estetik yang berlainan. Nartasabda dengan suara yang landung dan besar mengekspresikan TTE dan TTD lewat antawecana dan pocapan serta janturan. Capaian estetik Purbo Asmoro dalam catur diusahakan dengancommit pemahaman to user antara lain penguasaan teknik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
340 antawecana, kekayaan memori tentang materi kebahasaan, kemampuan imajinasi yang didasarkan atas memori yang dimiliki, pengejawantahan imajinasi dalam praktik antawecana, dan hubungan sinergis dengan unsurgarap pakeliran (Purbo Asmoro, wawancara 20 Maret 2013). Fungsi TTE dan TTD yang terungkap dalam KTNS, DRNS, BNPA, dan RGPA adalah sebagai pelestarian budaya Jawa. Hal itu dimaklumi karena seni pertunjukan tradisi pada umumnya menggunakan bahasa Daerah atau bahasa Jawa. Demikian pula, pertunjukan wayang tradisi masih menggunakan bahasa Jawa yang merupakan salah satu unsur budaya Jawa. Bahasa Daerah mempunyai peran penting, antara lain sebagai landasan untuk mewujudkan jati diri bangsa dan bahasa Daerah sebagai warisan dari leluhur yang dapat dijadikan pegangan agar bangsa mempunyai akar yang kuat.
commit to user