BAB IV Interpretasi Arsitektur Sikuen Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
IV.1 Analisis Tafonomi Tafonomi adalah ilmu yang mempelajari organisme yang membusuk melewati waktu. Istilah tafonomi, (berasal dari bahasa Yunani taphos yang berarti penguburan, dan nomos yang berarti aturan), dikenalkan di dunia paleontologi pada tahun 1940 oleh ilmuwan Rusia, Ivan Efremov, untuk menjelaskan studi transisi dari sisa, bagian dan produk dari organisme (fosil), dari biosfer, ke litosfer (Shipman, 1981). Dalam geologi, analisis tafonomi merupakan studi proses geologi yang terjadi setelah organisme mati dan menjadi fosil (contoh: fosil moluska). Analisis ini dapat dipakai untuk mengintepretasikan perubahan muka air laut dalam pengistilahan system tracts (Trangressive Systems Tract/TST, Lowstand Systems Tract/LST dan Highstand Systems Tract/HST) yang merupakan interpretasi dari kerangka stratigrafi sekuen (Aswan, 2007).
IV.1.1 Moluska Moluska merupakan suatu filum dari golongan invertebrata (makhluk yang tidak memiliki tulang belakang). Moluska sendiri adalah hewan bertubuh lunak yang umumnya memiliki cangkang yang kuat. Bentuk – bentuk cangkangnya bervariasi, yaitu cangkang tunggal (Gastropoda), cangkang ganda (Bivalvia), berbentuk seperti tanduk atau gading gajah (Scaphopoda), berlapis– lapis (Polyplacophora/Chiton) dan ada pula yang terletak di dalam tubuhnya, misalnya pada cumi–cumi (Loligo) dan sotong (Sepia sp.). Hewan ini dapat hidup di segala lingkungan air dan di darat dari kondisi lembab hingga padang pasir. Golongan hewan ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan merupakan filum yang paling berhasil dalam hidupnya dibandingkan
38
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
dengan filum lainnya. Cara hidupnya di lingkungan air secara planktonik, nektonik sesil dan vagil. Fosil – fosil moluska ditemukan berlimpah di setiap perioda geologi mulai dari Zaman Kambrium dan banyak diantaranya dijadikan sebagai fosil indeks yang baik. Filum moluska digolongkan menjadi 7 (tujuh) kelas didasarkan atas wujud atau sifat dasar dari kaki dan bagian – bagian lunak tertentu lainnya, antara lain: 1.
Kelas Gastropoda, disebut juga hewan berkaki perut, sebagian hidup di laut dan ada pula yang dapat hidup di lingkungan darat. Bentuk cangkang berputar trochospiral, mempunyai kepala dan mata serta umumnya mempunyai radula. Hewan ini hidup dari Zaman Kambrium hingga Resen.
2.
Kelas Scaphopoda, memiliki cangkang yang berbentuk seperti tanduk, hidup di laut dengan cara membenamkan sebagian dari cangkangnya di dalam pasir atau pasir berlumpur di dasar laut, hanya sebagian kecil atasnya saja yang kelihatan di permukaan. Tidak mempunyai kepala, mata dan insang, tetapi mempunyai radula, alat kelaminnya terpisah. Hewan ini hidup dari Masa Mezosoikum hingga Resen
3.
Kelas Bivalvia (Pelecypoda), mempunyai dua kepingan atau belahan yang dihubungkan oleh engsel elastis yang disebut ligament dan mempunyai satu atau dua buah otot adductor di dalam cangkangnya yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan valve – nya. Tidak mempunyai kepala, mata dan radula. Beberapa ada yang memiliki banyak mata di tepi mantelnya. Banyak diantaranya yang mempunyai sepasang insang. Umumnya memiliki alat kelamin terpisah. Beberapa diantaranya dapat hidup di air tawar. Hewan ini hidup dari Zaman Ordovisium – Resen
4.
Kelas Cephalopoda, sering disebut binatang berkaki kepala, anggotanya diantaranya adalah cumi–cumi (Loligo sp.), sotong (Sepia sp.), gurita (Octopus sp.), Argonauta dan Nautilus. Hanya Nautilus yang mempunyai cangkang luar. Organisme dari kelas ini mempunyai mata, radula dan alat kelamin terpisah serta hidup dengan berenang di air laut. Hewan ini hidup dari Zaman Paleozoikum hingga Resen
39
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
5.
Kelas Polyplacophora, dikenal pula dengan sebutan Chiton, memiliki cangkang yang tersusun bertumpuk seperti genting. Mempunyai banyak insang dan mempunyai radula. Hidup di laut menempel pada benda–benda keras. Hewan ini hidup dari Zaman Pra – Kambrium hingga Resen
6.
Kelas Monoplacophora, hanya dikenal memiliki beberapa spesies saja. Memiliki lima atau enam pasang insang dan mempunyai radula. Hidup di laut yang sangat dalam dan sangat jarang dijumpai. Hewan ini hidup pada zaman Paleozoikum
7.
Kelas Aplacophora, bentuknya menyerupai cacing, tidak bercangkang dan hidup di dasar laut dangkal. Moluska
dapat
digunakan
sebagai
indikator
suatu
lingkungan
pengendapan. Lingkungan danau air tawar dicirikan oleh kemunculan fosil Brotia bercangkang tipis, Melanoides, Tarebia, Physa, Thiara, Unionidae. Lingkungan sungai dicirikan oleh kemunculan fosil Psilounio, Brotia bercangkang tebal. Lingkungan rawa – rawa dan estuarin dicirikan oleh kehadiran fosil Batissa, Parahyotissa, Cerithidea. Posisi hidup dari fosil (moluska) terhadap dasar cekungan (sungai, danau atau laut) dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu: 1.
Infaunal, hidup terkubur seutuhnya dalam sedimen. Moluska yang hidup dengan cara seperti ini memiliki orientasi posterior menghadap ke bawah, dan biasanya stabil karena posisi tubuhnya.
2.
Semi – Infaunal, posisi hidup hewan berorientasi vertikal (posterior menghadap ke bawah) tetapi hanya terkubur sebagian di dalam sedimen.
3.
Reclining, posisi hidup hewan ini memiliki efek melayang secara horizontal di sedimen. Pada uumnya, moluska dengan posisi hidup seperti ini memiliki cangkang yang rata. Modifikasi cangkang seperti permukaan yang lebar dan duri – duri membantu hewan ini mengambang. Sedikit catatan bahwa salah satu dari spesimen ini memiliki duri, yang muncul sebagai adaptasi tambahan untuk reclining di sedimen yang halus.
4.
Epifaunal, posisi hidup dari moluska tertambat di sedimen atau di obyek lainnya (contohnya tanaman – tanaman laut)
40
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Endapan sedimen yang mengandung fosil moluska biasanya tidak memiliki fosil – fosil indikator lainnya seperti foraminifera, nanoplankton dan palinomorf. Moluska sendiri merupakan indikator yang baik untuk area tepi cekungan.
IV.1.2 Moluska Daerah Penelitian Moluska di daerah penelitian didominasi oleh kelas Gastropoda. Kumpulan fosil ditemukan dalam kondisi pecah – pecah dan ada pula yang dalam kondisi utuh. Posisi hidup dari fosil moluska (Gastropoda) ditentukan apabila ditemukan dengan kondisi utuh dan dalam posisi sejajar dengan sedimen. Moluska yang ditemukan di daerah tambang, antara lain: Brotia sp., Thiara sp. dan Paludina sp.. Fosil moluska yang ditemukan di bagian barat tambang adalah Brotia sp. , Thiara sp. dan Paludina sp. sedangkan hanya Brotia sp. dan Thiara sp. ditemukan di bagian timur tambang
IV.1.2.1 Paludina sp. /Viviparus sp. Genus dari Viviparidae ini memiliki panjang sekitar 12 – 15 mm, turbiniform. Genus ini memiliki umbilikal yang lebar. Putarannya 2 – 2,5 putaran. Apertur berbentuk semilunular, inner lips sedikit menebal, membundar dan bagian luar memiliki siphonal canal yang tajam (Foto 4.1).
Foto 4.1 Fosil Paludina sp./ Vivipaus sp.
41
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Berdasarkan genus yang mirip dan masih hidup hingga saat ini, spesies ini hidup di danau atau sungai yang berarus lemah/tenang (Aswan dkk., 2006). Dalam studi ini, penulis menemukan genus ini di sebelah barat tambang (Foto 4.2).
Foto 4.2 Fosil Paludina sp./ Viviparus sp. pada sedimen lapisan serpih di siklus ke-3 bagian barat tambang.
42
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
IV.1.2.2 Brotia sp. Genus ini memiliki panjang cangkang sekitar 10 – 20 mm, turreted, smooth, sedikit tebal, dengan putaran yang kecil di kamar awalnya, putaran cukup lebar, dan biasanya memiliki dasar yang bulat. Kamar terakhir terbuka dan terputar lemah. Apertur kecil, ovate dan terbuka.(Foto 4.3).
Foto 4.3 Fosil Brotia sp.
Berdasarkan perbandingan dari fosil dan juga litologi tempat fosil ditemukan, spesies ini diinterpretasikan hidup di air dengan energi yang rendah, seperti: danau atau muara sungai (Aswan dkk., 2006). Dalam studi ini, penulis menemukan genus ini di sebelah timur (Foto 4.4) dan barat tambang (Foto 4.5).
43
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Foto 4.4 Fosil Brotia sp. dengan posisi paralel – horizontal pada sedimen lapisan serpih di siklus ke-8 di bagian timur tambang
44
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Foto 4.5 Fosil Brotia sp. dalam keadaan pecah – pecah dengan posisi horizontal pada sedimen lapisan serpih di siklus ke-17 di bagian barat tambang
III.1.2.3 Thiara sp. Genus dari Thiaridae dicirikan oleh costae dan spines. Cangkang biasanya kecil, berbentuk kumparan atau silinder. Apertur dangkal, memanjang dengan lipatan di bibir cangkang. Bibir bagian luar memiliki permukaan halus di dalamnya. Cangkang tidak memiliki siphonal canal.
45
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Panjang cangkang adalah 15 – 20 mm. Cangkang memiliki 5 – 6 putaran.. Putaran akhir memiliki peripheri bulat. Costae, yang runcing dan menonjol, mencapai dari sutura ke sutura pada putaran Berdasarkan dari genus Thiaridae yang masih hidup, spesies ini hidup di habitat danau (Aswan dkk. 2006). Dalam studi ini, penulis menemukan genus ini di sebelah timur (Foto 4.6) dan barat dari tambang (Foto 4.7).
Foto 4.6 Fosil Thiara sp. posisi hidup (life position) pada sedimen lapisan serpih di siklus ke-13 di bagian timur tambang
46
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Foto 4.7 Fosil Thiara sp. posisi hidup (life position) pada sedimen lapisan serpih di siklus ke-6 bagian barat tambang
47
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
IV.2 Stratigrafi Sikuen Stratigrafi sikuen hingga saat ini didefinisikan sebagai studi yang mengkaji hubungan antar batuan, di dalam suatu kerangka waktu, dimana pola urutan dari batuan – batuan itu adalah siklis dan tersusun oleh satuan batuan stratigrafi yang berhubungan secara genetis dengan dibatasi oleh suatu bidang erosi atau bidang tak berdeposisi atau bidang keseluruhan yang korelatif (dengan bidang – bidang tersebut sebelumnya) (Posamentier dkk., 1988; van Wagoner dkk., 1988 dalam Allen dan Possamentier, 1993). Selain penentuan sikuen dan batas sikuen, beberapa pengertian dalam Stratigrafi Sikuen yang berlaku dan mendasari cara berpikir dan analisis dalam penelitian ini adalah Accommodation Space dan Relative Sea – Level Change. Accommodation space atau ‘ruang akomodasi’ adalah ruang atau volume yang tersedia dan memungkinkan bagi terakumulasinya sedimen (Jervey, 1988 dalam Allen dan Posamentier, 1993). Ruang Akomodasi pada lingkungan laut (shelf) terletak diantara muka laut dan dasar laut, dimana pembentukan dan perubahan ruang itu adalah fungsi langsung dari Perubahan Muka Laut Relatif (Relative Sea Level Change/RSLC). Perubahan Muka Laut Relatif (RLSC) merupakan fungsi dari Perubahan Muka Laut Eustactic (Eustacy) dan tektonisme (up lifting dan subsidence). Sebagai contoh bila muka laut global/ eustactic naik dan tak ada subsidence maka RSLC akan naik dan terbentuklah ruang akomodasi. Tetapi bila muka laut eustactic naik tetapi dasar laut juga mengalami uplifting maka RSLC bisa tetap atau turun. Stratigrafi sikuen memiliki banyak istilah – istilah, seperti contohnya parasequence dan systems tract, yang berkaitan dengan muka air laut tetapi pengertian – pengertian ini telah diperluas ke lingkungan darat (Aitken dan Flint, 1995). Walaupun begitu, konsep dan istilah stratigrafi sikuen pada cekungan lakustrin dan intermontane masih terus berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu, akan menjadi sangat penting untuk mengetahui perkembangan seperti apa yang akan kita pakai untuk interpretasi kita, sebelum berlanjut ke sedimentologi dan arsitektur dari studi kita dalam konteks stratigrafi sikuen. Secara khusus, kita
48
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
mempelajari spasial dan skala temporal dari cekungan lakustrin dan sifat dari muka dasar lakustrin berdasarkan referensi dari analogi modern. Arsitektur sikuen dari sedimentasi dapat dianalisa melalui pengistilahan sikuen stratigrafi yang memiliki informasi mengenai transgresi dan regresi dari danau, dan beberapa tipe tertentu dari sedimen (Bartov dkk., 2000). Penelitian ini membatasi pendekatan pada upaya untuk menentukan perilaku muka danau yang dianalisis langsung dari pola dan perubahan satuan genesa (arsitektural elemen) sebagai komponen sikuen. Ini berarti hasil penelitian tidak akan menentukan variabel mana (tektonik atau eustacy) yang menjadi penyebab dalam perubahan itu. Penelitian tentang urutan sedimentasi dalam cekungan tertutup (non-marin dan terisolasi dari pengaruh turun naik muka laut secara langsung), seperti dalam penelitian ini yang merupakan endapan lakustrin, telah banyak dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan konsep stratigrafi sikuen (Keighley dkk., 2003). System Tract diartikan sebagai himpunan satuan genesa penyusun sistem sedimentasi yang terbentuk secara (relatif) bersamaan dalam satuan segmen tertentu dari kurva perubahan muka laut relatif (Posamentier dkk., 1988 dalam Walker dan Bhattacharya, 1992). Penamaan dinyatakan sesuai segmen dalam perubahan muka laut relatif (Gambar 4.1), antara lain: 1. LST (Lowstand System Tract), terendapkan ketika muka air laut turun. 2. TST (Transgressive System Tract), terendapkan ketika muka air laut naik. 3. HST (Highstand System Tract), terendapkan ketika muka air laut telah melewati maximum flooding atau perlahan mulai turun. Dalam studi ini, istilah – istilah ini akan dipakai untuk interpretasi stratigrafi sekuen di lingkungan lakustrin.
49
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Gambar 4.1 Eustasy dan System Track (modifikasi dari Posamentier dan Vail, 1988)
Terminologi dalam hirarki sikuen untuk penamaan orde dan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukannya dibagi menjadi 6 (enam) (Smith dkk., 1989; Aswan dan Ozawa, 2006), antara lain: 1. Sikuen orde ke – 1, sikuen yang muncul dengan siklus lebih dari 50 juta tahun, umumnya di sekitar 300 juta tahun; dikenal juga sebagai megasequence atau megasequence sets, (1) dari akhir Proterozoikum hingga akhir Perm dan (2) dari dasar Trias hingga sekarang. Megasequence set dari atas Fanerozoikum dibagi menjadi 3 megasequence. Megasequence ini diinterpretasikan sebagai hasil dari siklus continental flooding yang besar. 2. Sikuen orde ke – 2, sikuen yang muncul dengan siklus antara 5 hingga 50 juta tahun; dikenal juga sebagai supersequence atau supersequence set. Setiap megasequence di Mesozoikum dan Kenozoikum dibagi menjadi 7 supersequence set, yang pada awalnya dibagi lagi menjadi 27 supersequence, yang semuanya diakhiri dengan sequence boundary/batas sikuen (Haq dkk., 1987).
50
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
3. Sikuen orde ke – 3, sikuen ini merupakan unit dasar dari stratigrafi sikuen dan muncul dengan siklus setiap 0,5 hingga 5 juta tahun, umumnya sikuen orde ketiga dapat diketahui melalui data seismik. Sikuen orde ketiga dibedakan dari stratal sequence (contoh: onlap, toplap) dan stacking pattern/pola penumpukan. Dari dasar Trias hingga sekarang, seratus dua puluh (120) sikuen orde ketiga telah diketahui (Haq dkk., 1987). 4. Sikuen orde ke – 4, sikuen ini muncul dengan siklus 100.000 hingga 500.000 tahun dan memiliki atribut stratal yang sama seperti sikuen orde ketiga. Sikuen ini dikenal sebagai parasequence set. Kelompok sikuen orde ke – 4 menumpuk untuk membentuk lowstand, transgressive, atau highstand systems tract yang terendapkan di antara batas orde ke – 3. 5. Sikuen orde ke – 5, sikuen ini muncul dengan siklus 10.000 hingga 100.000 tahun; dikenal juga sebagai parasequence. Sikuen ini diperkirakan dikendalikan oleh elemen – elemen putaran bumi (lihat teori Milankovitch). 6. Beberapa peneliti seperti Aswan dan Ozawa (2006); Kitamura dkk. (1994) menggolongkan siklus dibawah 40.000 tahun sebagai sikuen orde ke – 6, dikenal juga sebagai bedset. Seperti sikuen orde ke – 5, sikuen ini juga diperkirakan dikendalikan oleh elemen – elemen putaran bumi (lihat teori Milankovitch).
IV.3 Unit Stratigrafi Sikuen Berdasarkan Ciri Tafonomi Fasies shellbed (lapisan fosil/cangkang) dapat menjadi salah satu hal penting untuk memecahkan permasalahan arsitektur sikuen terutama pada lapisan batuan masif dan tidak teramati adanya pola penumpukan (stacking pattern). IV.3.1 TST (Transgressive System Tract) Transgresi dapat diartikan sebagai penurunan suplai sedimen atau peningkatan ruang akomodasi yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut. (dalam studi ini dianalogikan sebagai muka air danau). Permukaan dimana muka air mencapai posisi ke arah darat paling maksimum, dapat disebut sebagai maximum flooding surface (Posamentier dkk., 1988; Van Wagoner dkk., 1988).
51
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Sedangkan, permukaan yang membagi secara tegas antara lowstand dan transgressive systems tract dikenal sebagai transgressive surface (Posamentier dan Vail, 1988). Early TST (Transgressive System Tract) mulai terjadi diatas batas erosional (ravinement surface) atau batas sikuen (sequence boundary) (Foto 4.8 dan Foto 4.9). Karena batas erosional ini maka unit ini umumnya akan dicirikan oleh butir – butir kasar sedimen, abrasi dan fragmentasi cangkang yang dominan diinterpretasikan berasal dari sisa – sisa sedimen yang terendapkan sebelumnya (Parras dan Casadio, 2004). Terdapatnya konkresi juga dapat dijadikan penunjuk awal fase TST ini (Cantalamessa dkk., 2004). Ciri – ciri Early TST yang dapat jelas teramati di lapangan ditemukan hampir di semua siklus (Lampiran F).
52
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = sequence boundary/batas sikuen = fosil moluska dalam keadaan pecah - pecah = Early TST dicirikan dari konkresi dan fosil moluska pecah – pecah
Foto 4.8 Contoh Early TST pada siklus ke 11, 12 dan 13 di bagian timur tambang
53
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = sequence boundary/batas sikuen = Early TST dicirikan dari konkresi dan fosil moluska pecah – pecah
Foto 4.9 Contoh Early TST pada siklus ke 11, 12 dan 13 di bagian barat tambang
54
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Pengendapan Late TST merupakan konsentrasi hiatal yang terjadi karena kelanjutan dari kenaikan muka air laut. (dalam studi ini dianalogikan sebagai muka air danau). Late TST dicirikan dari tingginya persentase cangkang yang utuh dan dalam posisi hidup (insitu). Konsentrasi ini terakumulasi ketika rata – rata produk bagian keras dari hewan (contoh: cangkang) tinggi akibat penambahan ruang akomodasi dan rata – rata sedimen rendah sehingga keadaan air menjadi lebih jernih dan moluska dapat berkembang secara sempurna (Parras dan Casadio, 2004) (Foto 4.10 dan Foto 4.11). Ciri – ciri Late TST yang dapat jelas teramati di lapangan ditemukan di siklus ke 6, 7, 8, 11 pada bagian timur tambang (Lampiran F) dan siklus ke 6, 10, 11 pada bagian barat tambang (Lampiran F).
55
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = sejajar dengan posisi sedimen = Late TST dicirikan oleh cangkang yang utuh dengan posisi insitu
Foto 4.10 Contoh Late TST pada siklus ke 7 dan 8 di bagian timur tambang
56
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = sejajar dengan posisi sedimen = Late TST dicirikan oleh cangkang yang utuh dengan posisi insitu
Foto 4.11 Contoh Late TST pada siklus ke 10 dan 11 di bagian barat tambang
57
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
IV.3.2 HST (Highstand Systems Tract) HST (Highstand Systems Tract) terjadi ketika kenaikan muka air laut relatif (dalam studi ini dianalogikan sebagai muka air danau) relatif secara perlahan dibandingkan dengan TST, sehingga menyebabkan suplai sedimen relatif sama dengan rata – rata ruang akomodasi. Hal ini menyebabkan transgresi berakhir dan mulai berlanjut ke arah regresi. Endapan regresi, yang terbentuk ketika suplai sedimen lebih besar dari ruang akomodasinya, terutama mulai terbentuk saat late HST (Highstand Systems Tract). Hal ini ditunjang dari analisis besar butir yang menunjukkan proses sedimentasi yang didominasi oleh arus traksi (Lampiran C-2). Pada Early HST, fosil moluska dengan cangkang yang utuh masih dapat ditemukan setempat atau pada spot – spot tertentu dengan posisi cangkang dalam posisi hidup atau tertransportasi. Banyak ditemukan moluska yang juvenil (belum dewasa) dan moluska dengan cangkang yang pecah – pecah dikarenakan mulai turunnya muka air relatif yang menyebabkan moluska tidak dapat berkembang secara sempurna karena lingkungan yang mulai keruh (Parras dan Casadio, 2004). Ciri – ciri Early HST yang dapat jelas teramati di lapangan ditemukan di siklus ke 13, 14, 22, 23 pada bagian timur tambang (Lampiran F) dan siklus ke 2, 3, 12 pada bagian barat tambang (Lampiran F).
58
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = moluska juvenil = moluska dewasa = Early HST
Foto 4.12 Contoh Early HST pada siklus 22 di bagian timur tambang
59
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = moluska juvenil
= Early HST
= moluska dewasa Foto 4.13 Contoh Early HST pada siklus ke-3 di bagian barat barat
60
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Puncak highstand sytems tract dapat dicirikan dari perulangan suatu peristiwa berkali – kali (multiple-event concentrations), contoh: batas berangsur antara batulempung dan batulanau (Foto 4.14 )serta endapan penuh fosil yang pecah – pecah dan endapan yang relatif tidak mengandung fosil (Parras dan Casadio, 2004) (Foto 4.15 ). Ciri – ciri Late HST yang dapat jelas teramati di lapangan ditemukan di siklus ke 58 pada bagian timur tambang dan siklus ke 17 pada bagian barat tambang (Lampiran F).
Keterangan = multiple -event consentrations
= Late HST
Foto 4.14 Contoh Late HST pada siklus 58 di bagian timur tambang
61
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Keterangan = multiple -event consentrations
= Late HST
Foto 4.15 Contoh Late HST pada siklus 17 di bagian barat tambang IV.4 Diskusi Peneliti terdahulu mengatakan bahwa adanya laminasi kaya lempung dan kaya organik disimpulkan sebagai kejadian tahunan, dimana laminasi kaya organik terendapkan pada musim kering dan laminasi kaya lempung terendapkan pada musim hujan (basah). Studi dari 2 sampel petrografi mengindikasikan 3 pasang laminasi per mm di kedua sampel. Oleh karena itu, 80 meter sikuen x 3 tahun/mm memberikan perkiraan minimum 240.000 tahun pengendapan dari
62
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Brown shale selama Oligosen yang tersingkap di tambang (Butterworth dan Wain, 1993). Tetapi penulis melalui pengamatan di lapangan dan analisis melalui kolom stratigrafi menyimpulkan bahwa siklus – siklus yang didapat diperkirakan sebagai sikuen orde ke – 6, dimana sikuen ini muncul dengan siklus dibawah 10.000 tahun; dikenal juga sebagai bedset. Sebagai perbandingan berdasarkan pengukuran ketebalan sedimen lakustrin pada keadaan normal adalah 0,52 - 1,49 mm/tahun (Sturm dkk, 2003) dan pada daerah tepi paparan laut dangkal adalah 12 mm/ tahun (Kim dan Paola, 2007). Sikuen ini diperkirakan dikendalikan oleh elemen – elemen putaran bumi. Oleh karena itu, siklus ini menyerupai Siklus Milankovitch yang dipakai untuk menjelaskan perubahan iklim pada Zaman Kuarter. Kemunculan siklus dibawah 20.000 tahun dianalogikan menyerupai bagian siklus ketiga dari Siklus Milankovitch akibat presesi bumi. Teori Milankovitch mengemukakan bahwa ketika bumi berjalan melalui luar angkasa mengitari matahari, variasi siklus di tiga elemen dari bumi – geometri matahari berkombinasi untuk memproduksi variasi dalam jumlah tenaga surya yang dapat mencapai bumi: 1. Variasi dalam esentrisiti orbital bumi – bentuk dari orbit sekitar matahari (100.000 tahun). 2. Perubahan – perubahan dalam kemiringan – perubahan dalam sudut yang sumbu bumi lakukan dengan planet dari orbit bumi (41.000 tahun). 3. Presesi – perubahan dalam arah dari rotasi sumbu bumi, sebagai contoh, rotasi sumbu berlaku seperti sumbu putar dari sebuah puncak yang berarah ke bawah; karena itu hal itu mengikuti lingkaran di atas bola angkasa melewati periode waktu (19.000/23.000 tahun) Secara bersamaan, periode dari pergerakan – pergerakan orbital ini menjadi lebih dikenal sebagai Siklus Milankovitch (Gambar 4.2).
63
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Gambar 4.2 Siklus Milankovitch (http://deschutes.gso.uri.edu/~rutherfo/ milankovitch.html, 1997)
Siklus ketiga dan terakhir dari siklus Milankovitch adalah presesi bumi (preccesion). Presesi adalah goyangan (wobble) pelan bumi seperti ia berputar di
64
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
sumbunya. Goyangan bumi di sumbunya ini dapat dilihat seperti perputaran dari atas ke bawah, dan mulai untuk bergoyang mundur dan seterusnya di sumbunya. Presesi dari bumi bergoyang dari titik di Polaris (Bintang Utara) hingga bintang Vega. Ketika perubahan menuju titik sumbu di Vega muncul, Vega akan kemudian dipertimbangkan Bintang Utara. Goyangan seperti puncak, atau presesi, memiliki periode 23,000 tahun (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Siklus Milankovitch 23.000 tahun (http://www.homepage.montana. edu/~geol445/hyperlac/time1/milankov.htm 1999)
Berdasarkan goyangan ini, perubahan signifikan secara iklim harus mengambil alih. Ketika sumbu miring ke depan Vega, posisi dari titik balik musim panas dan dingin Hemisfer Utara akan bertepatan dengan aphelion dan periphelion, masing – masing. Hal ini berarti bahwa Hemisfer Utara akan mengalami musim dingin ketika bumi berada di posisi terjauh dari matahari dan musim panas ketika bumi berada di posisi terdekat dari matahari. Kejadian ini akan menghasilkan kontras musim yang hebat.
65
BAB IV Interpretasi Sikuen Stratigrafi Endapan Lakustrin Brown Shale (Kelompok Pematang) Berdasarkan Analisis Tafonomi Moluska
Pada penelitian ini teridentifikasi sebanyak empat (4) tipe konsentrasi cangkang yang dapat dibedakan melalui ciri - ciri tafonomi. Empat tipe ini ditemukan di lokasi penelitian di dalam sikuen pengendapan; sebagai Early TST (Transgressive System Tract), Late TST (Transgressive System Tract), Early HST (Highstand Sytems Tract) dan Late HST (Highstand Sytems Tract).
Pada
umumnya, setiap sikuen yang ada tidak terdiri dari seluruh elemen sikuen yang ada (LST, early TST, late TST, early HST dan late HST) secara lengkap. Hal ini diperkirakan akibat proses erosi yang terjadi pada saat suatu elemen sikuen tertentu diendapkan yang mengerosi elemen sikuen sebelumnya yang sudah terendapkan. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapatnya 58 siklus pengendapan yang diperkirakan sebagai sikuen orde ke-6. Sikuen pengendapan orde ke-6 ini diperkirakan diendapkan dengan periode dibawah 20.000 tahun dan dianalogikan merupakan bagian siklus ketiga dari siklus Milankovitch akibat presesi bumi (Gambar 4.2 dan Gambar 4.3). Berdasarkan korelasi kolom litologi di bagian Barat dan di bagian Timur (Lampiran D-1 dan Lampiran D-2) menunjukkan ketebalan rata – rata siklus secara umum di bagian barat lebih tebal dibandingkan ketebalan rata – rata siklus di bagian timur.
66