BAB IV INSTITUSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR KE DEPAN
IV.1
HASIL KUESIONER
Berdasarkan kuesioner yang disusun dan disampaikan kepada delapan responden di lingkungan Ditjen SDA, Balai Besar, Balai dan Dinas Provinsi, kuesioner bersifat semi terbuka dan responden dapat memilih lebih dari satu jawaban yang dianggap tepat dengan hasil sebagai berikut: No 1
Pertanyaan Pertanyaan yang menjadi kewenangan Departemen PU (c.q. Ditjen SDA) yang ada di daerah sebaiknya dilaksanakan Apa manfaat keberadaan BBWS/BWS bagi Provinsi? Dalam melaksanakan dekonsentrasi di daerah, apa hambatan yang dialami oleh pelaksana (Pem. Prov) di daerah? Kegiatan fisik apa yang seharusnya langsung dilaksanakan oleh Pusat? Apa kelemahan jika pekerjaan dilaksanakan langsung oleh Pusat? Dalam rangka pelaksanaan Dekon dan TP, peran apa yang diharapkan dilakukan oleh Pemerintah Daerah? Hambatan apa yang dirasakan dalam pelaksanaan pembangunan fisik maupun koordinasi antara Pusat dan Daerah? Apakah ada urusan yang seharusnya menjadi kewenangan daerah namun masih dilaksanakan oleh Pusat? Sebutkan. Untuk mendukung pelaksanaan Dekon dan TP, dukungan apa yang telah diberikan Pusat kepada Daerah? Apakah struktur organisasi Ditjen SDA (tingkat Pusat) sudah sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Pusat saat ini? Apakah struktur organisasi BBWS/BWS Ditjen SDA di Daerah sudah sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Pusat di Daerah saat ini? Bagaimana tanggapan terhadap bentuk institusi pengelolaan SDA saat ini sebaiknya?
2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
13
a 1
b 8
c 4
d -
e -
8 3
3 1
5 1
3 1
2
8
4
8
-
-
5 3
2 -
5 3
1 3
1 -
1
3
1
2
5
6
1
-
-
-
8
7
5
-
2
2
7
-
-
-
1
7
1
-
-
4
-
1
1
1
Isian terbuka dari kuesioner diperoleh masukan sebagai berikut: Pertanyaan 1 2
3 4 5
Masukan, komentar Tergantung wilayah sungai, jika lintas provinsi dilakukan oleh BBWS/BWS Kegiatan pengelolaan sda, perencanaan dan koordinasi, koordinasi program, sebagai ajang untuk koordinasi, penyusunan program dan operasional, pemberian rekomtek, tidak jelas. Belum ada Dekon. Skala Nasional. SDM terbatas, mis-manajemen.
99
Pertanyaan 6
7 8
9 10 11
12 13
Masukan, komentar Kerjasama untuk melaksanakan pembangunan di daerah sesuai kewenangan masing-masing dan sebagai koordinasi, sebagai partner pemerintah pusat sehingga kegiatan pembangunan Pusat yang ada di daerah dapat sinkron dan sesuai kebutuhan, kegiatan OM melalui TP, koordinator Musrenbangda. Campur tangan aparat di daerah, SDM kurang qualified, kurangnya kapasitas SDM, manajemen/kepemimpinan, tidak ada hambatan, Fisik yang dilaksanakan pusat, tetapi atas permintaan daerah, irigasi berdasarkan permintaan dari pemerintah daerah, yang berhubungan dengan bencana alam, operasi dan pemeliharaan infrastruktur sda. Dukungan dana. Direktorat menjadi direktorat wilayah, kembalikan ke wilayah, mekanisme/SOP yang jelas sehingga dapat terhindari overlapping tugas ataupun mis-koordinasi, bersifat operasional, disesuaikan dengan UU SDA. Perlu dibuat mekanisme/SOP yang jelas, disesuaikan dengan tuntutan/tantangan sda yan berkesinambungan.
Dari hasil analisis terhadap jawaban responden dapat diperoleh informasi sebagai berikut: 1.
Pelaksanaan
tugas
yang
menjadi
wewenang
Pemerintah
Pusat
dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah Pusat baik melalui BBWS/BWS maupun didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui dekonsentrasi atau tugas pembantuan. 2.
Manfaat keberadaan BBWS/BWS bagi Pemerintah Provinsi adalah BBWS/BWS merupakan pelaksana pembangunan fisik yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah, sebagai penghubung antara pusat dan daerah melalui forum koordinasi, dan konsultasi teknis pengelolaan sumber daya air.
3.
Dalam pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi, kendala yang dialami oleh pemerintah daerah adalah masalah koordinasi teknis, pengelolaan keuangan, dan administrasi. Namun demikian, di beberapa daerah yang telah melakukan koordinasi dengan baik tidak mengalami kendala di atas. Dalam pelaksanaan dekonsentrasi pada saat ini, belum semua Pemerintah Provinsi menjalankan fungsi dekonsentrasi.
4.
Kegiatan fisik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat adalah kegiatan yang menyangkut WS Lintas Negara/Provinsi dan strategis nasional, termasuk di dalamnya kegiatan dengan dana dari bantuan luar negeri.
100
5.
Kelemahan jika pekerjaan langsung dikerjakan oleh pemerintah pusat adalah pengawasan pekerjaan yang kurang optimal dan kurang sinkron dengan aktivitas yang ada di daerah, termasuk kurangnya komunikasi. Hal ini juga disebabkan adanya keterbatasan SDM dan mis-manajemen pelaksanan kegiatan.
6.
Dalam rangka pelaksanaan dekon dan TP, peran yang diharapkan dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah pemerintah daerah sebagai pelaksana langsung dan koordinator pelaksana.
7.
Hambatan yang dirasakan dalam pelaksanaan pembangunan fisik dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah adalah banyaknya unit kerja yang terlibat dalam satu kegiatan, program yang kurang terarah, dan keterbatasan dukungan SDM, peralatan, dan kebijakan. Jika di suatu daerah telah melaksanakan koordinasi yang baik antar Pusat dan Daerah, maka kendala tersebut dapat diantisipasi dan dilakukan penyelesaian masalah.
8.
Urusan pemerintah daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat ternyata masih ada. Hal ini disebabkan adanya permintaan dari pemerintah daerah untuk membantu pendanaan maupun pelaksanaan karena keterbatasan sumber dana yang ada di daerah. Demikian pula penangan daerah yang mengalami bencana alam masih ditangani oleh pemerintah pusat.
9.
Dukungan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa kebijakan pengelolaan sumber daya air (berupa NSPM), konsultansi teknis, dan sumber daya (manusia, peralatan, dana).
10.
Struktur organisasi Ditjen SDA yang ada saat ini dirasakan sudah sesuai tetapi perlu penyempurnaan. Penyempurnaan yang diharapkan adalah direktorat pelaksana kembali menjadi direktorat wilayah, penetapan tugas yang tegas sehingga tidak terjadi overlapping antarunit kerja dan mismanajemen. Tentunya hal ini juga memperhatikan Undang Undang Sumber Daya Air, serta tuntutan/tantangan pengelolaan sumber daya air yang berkesinambungan.
11.
Demikian pula halnya dengan struktur organisasi BBWS dan BWS yang ada di daerah dirasakan sudah sesuai namun perlu penyempurnaan. Hal ini
101
dapat dilihat dari hambatan koordinasi yang dilakukan antara BBWS/BWS di daerah dengan Pemerintah Daerah. Penyempurnaan perlu dilakukan antara
lain
dengan
membuat
mekanisme/SOP
yang
jelas,
menyederhanakan jumlah unit kerja yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan di daerah, dan sinkronisasi program pengelolaan sumber daya air antara pusat dan daerah.
IV.2. ANALISIS INSTITUSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
Dinamika perkembangan sebuah lembaga pemerintah sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta politik. Demikian pula halnya perkembangan organisasi Departemen Pekerjaan Umum sejak kemerdekaan Republik Indonesia mengalami pasang surut sampai dengan bentuk organisasi dan tugas fungsinya yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zamannya. Nomenklatur departemen pun mengalami beberapa kali perubahan selama perjalanan sejarahnya, dimulai dengan nama Kementerian Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan terakhir saat ini kembali bernama Departemen Pekerjaan Umum.
Bersamaan
dengan
keberadaan
Departemen
Permukiman
dan
Pengembangan Wilayah, juga dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum yang tergolong Kementerian Negara (bukan Departemen).
Demikian halnya dengan institusi pengelolaan sumber daya air juga mengalami perubahan dari Direktorat Jenderal Pengairan, Direktorat Jenderal Pengembangan Perdesaan, dan Direkorat Jenderal Sumber Daya Air. Pada saat nomenklatur Ditjen Sumber Daya Air inipun mengalami beberapa perubahan unit organisasi dibawahnya. Bermula dari penanganan pengairan secara sektor (irigasi, rawa, dan sungai), kemudian beralih menjadi berbasis wilayah (Wilayah Barat, Wilayah
102
Tengah dan Wilayah Timur), kemudian terakhir pada tahun 2004 berubah kembali menjadi sektor yaitu irigasi, sungai-danau-waduk, dan rawa-pantai.
Melihat perkembangan kelembagaan institusi pengelolaan sumber daya air dari era orde baru sampai dengan saat ini, nomenklatur kelembagaan sudah berubah beberapa kali, yang mengakibatkan perubahan tugas dan fungsi kelembagaan pengelolaan sumber daya air.
Tabel IV.1. Nomenkatur Ditjen yang melaksanakan pengelolaan sumber daya air Nama Departemen (Periode) Departemen Pekerjaan Umum (1976 – 1994) Departemen Pekerjaan Umum (1994 – 1999) Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (1999 – 2001)
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2001 – 2004) Departemen Pekerjaan Umum (2004 – sekarang)
Nama Direktorat Jenderal Direktorat Jenderal Pengairan Direktorat Jenderal Pengairan Direktorat Jenderal Pengembangan Perdesaan Direktorat Jenderal Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Nama Unit Kerja Sekretariat Ditjen, Direktorat Bina Program, Direktorat Sungai, Direktorat Rawa, Direktorat Irigasi I, Direktorat Irigasi II, Direktorat Peralatan Sekretariat Ditjen, Direktorat Bina Program, Direktorat Bina Teknik, Direktorat Rawa, Direktorat Sungai, Direktorat Irigasi Sekretariat Ditjen, Direktorat Program dan Evaluasi, Direktorat Pengairan Perdesaan, Direktorat Perdesaan Wilayah Barat, Direktorat Perdesaan Wilayah Tengah, Direktorat Perdesaan Wilayah Timur Direktorat Penatagunaan Sumber Daya Air, Direktorat Sungai dan Danau
Sekretariat Ditjen, Direktorat Bina Teknik, Direktorat Penatagunaan SDA, Direktorat SDA Wilayah Barat, Direktorat SDA Wilayah Tengah, Direktorat SDA Wilayah Timur Sekretariat Ditjen, Direktorat Bina Program, Direktorat Bina Pengelolaan SDA, Direktorat Sungai Danau dan Waduk, Direktorat Irigasi, Direktorat Rawa dan Pantai
Dari tabel di atas, perubahan drastis terjadi pada tahun 1999. Pada tahun tersebut, terjadi perubahan tugas dan fungsi dari pengelolaan sumber daya air menjadi tanggung jawab dua Ditjen, yaitu Ditjen Pengembangan Perdesaan (Ditjen PP) dan Ditjen Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah (Ditjen PRPW). Dengan adanya dua direktorat jenderal yang sama-sama menangani pengelolaan sumber daya air menimbulkan pelaksanaan tugas yang tidak harmonis. Hal ini dapat dilihat dari penugasan yang tumpang tindih antara lain Direktorat Pengairan
103
Perdesaan (di bawah Ditjen PP) yang melaksanakan fungsi perumusan kebijakan dan perencanaan teknis di bidang sungai waduk dan danau, dengan Direktorat Sungai dan Danau (di bawah Ditjen PRPW) yang melaksanakan fungsi pengelolaan sungai, penyusunan pedoman, pengendalian dan pengamanan serta pelestarian kawasan sungai, rawa dan danau. Di lingkungan Ditjen PP yang pada masa tersebut diterjemahkan sebagai pengelolaan pengairan, dan fungsi tersebut juga dilakukan oleh Ditjen PRPW. Hal tersebut menimbulkan pelaksanaan tugas yang tidak terfokus pada pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh tetapi pada pengembangan perdesaan yang menempatkan pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu sektor yang berada di wilayah perdesaan. Pengembangan perdesaan itu sendiri nampaknya tidak terlaksana dengan baik, mengingat aspek perdesaan tidak hanya pengairan tapi juga mencakup masalah lainnya, seperti jalan sebagai sarana transportasi, perumahan rakyat, sarana dan prasarana permukiman, dan sebagainya. Akibatnya, Ditjen PP menjadi terfokus pada pengelolaan sumber daya air yang ada di perdesaan, khususnya pada pelaksanaan pembangunan fisik bidang pengairan seperti pengembangan sarana dan prasarana irigasi.
Pada periode tahun 2001–2004, kembali Ditjen PP berubah menjadi Ditjen SDA dan Direktorat Penatagunaan Sumber Daya Air serta Direktorat Sungai dan Danau melebur menjadi satu dengan Ditjen SDA. Pada masa tersebut, pengelolaan sumber daya air berbasis pada wilayah, artinya pelaksanaan pengelolaan sumber daya air difokuskan pada wilayah sungai yang berada dalam satu wilayah. Dalam hal ini, pemilihan wilayah meliputi wilayah barat yaitu semua provinsi yang ada di pulau Sumatera dan sekitarnya, wilayah tengah yaitu semua provinsi di pulau Jawa, Kalimantan dan Bali, serta wilayah timur mencakup provinsi di pulau Sulawesi, Papua, kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.
Kelembagaan pengelolaan sumber daya air kembali berubah pada periode 2004 dan masih berlangsung sampai saat ini yaitu pada saat Kabinet Indonesia Bersatu, Ditjen SDA melakukan restrukturisasi kelembagaan dengan kembali mengelola
104
sumber daya air secara sektoral yaitu sektor irigasi, sungai, danau, waduk, rawa dan pantai.
Perubahan
nomenklatur
ini
ternyata
mempengaruhi
pelaksanaan
tugas
pembangunan yang menjadi tugas Departemen Pekerjaan Umum dan unit organisasi pelaksananya yang ada di Pusat maupun di Daerah. Kepanjangan tangan Departemen yang ada di provinsi pada waktu itu (sebelum tahun 2000) adalah Kantor Wilayah (Kanwil) PU yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu pelaksanaan tugas pembangunan dibantu oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum Provinsi dan Sub Dinas PU Kabupaten/Kota.
Sebelum tahun 1998, pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum menjadi kendala pelaksanaan. Pembangunan fisik sebagian besar dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sedangkan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagian kecil sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Meski demikian, anggarannya masih disediakan oleh Pemerintah Pusat dan pelaksanaannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Bahwa Undang Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang Undang No. 32 tahun 2004 mengamanatkan keleluasaan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah terhadap hampir semua bidang termasuk di dalamnya adalah bidang pekerjaan umum, tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat pembatasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah seperti kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota43. Khusus dalam bidang sumber daya air, kewenangan pemerintah pusat44 mencakup wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis (seperti wilayah sungai yang berkaitan dengan daerah lumbung padi).
43
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 44 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 11A/PRT/M/2006 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai
105
Sementara itu, untuk luasan areal irigasi45 dibatasi pada luas areal irigasi dalam satu wilayah sungai melebihi 3.000 ha menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, 1.000 ha – 3.000 ha menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan di bawah 1.000 ha menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Mengacu pada kewenangan yang diberikan berdasarkan batasan tersebut masih dimungkinkan pelaksanaan pembangunan oleh Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, pada saat ini, direktorat jenderal pelaksana bidang sumber daya air masih menjalankan fungsi pembinaan pelaksanaan di tingkat pusat dan pelaksanaannya sendiri dilakukan melalui unit pelaksana teknis yang tersebar di daerah (tingkat provinsi). Di tingkat instansi Pusat dibentuk kelembagaan, yaitu Ditjen SDA dengan tiga direktorat pelaksana, dua direktorat pendukung, dan satu Sekretariat Ditjen. Ditambah pada saat ini terdapat 32 unit pelaksana teknis (UPT), yaitu 12 Balai Besar Wilayah Sungai, 19 Balai Wilayah Sungai, dan satu Balai Bendungan.
NO
Tabel IV.2. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Di Lingkungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air NAMA BALAI LOKASI WILAYAH KERJA
1 2 3
BBWS Brantas BBWS Bengawan Solo BBWS Pemali–Juana
Surabaya Surakarta Semarang
WS Brantas WS Bengawan Solo WS Pemali–Comal dan WS Jratunseluna
4
BBWS Serayu–Opak
Yogyakarta
WS Serayu–Bogowonto dan WS Progo– Opak–Serang
5 6
BBWS Cimanuk–Cisanggarung BBWS Pompengan–Jeneberang
Cirebon Makassar
WS Cimanuk–Cisanggarung WS Pompengan–Larona, WS Sadang, WS Walanae–Cenranae, dan WS Jeneberang
7 8
BBWS Citarum BBWS Mesuji–Sekampung
Bandung Bandar Lampung
WS Citarum WS Mesuji-Tulang Bawang dan WS Way Seputih-Way Sekampung
9 10 11 12
BBWS Sumatera VIII BBWS Citanduy BBWS Ciliwung–Cisadane BBWS Cidanau–CiujungCidurian
Palembang Banjar Jakarta Serang
WS Musi, WS Sugihan, WS Banyuasin WS Citanduy WS Ciliwung–Cisadane dan WS Kep. Seribu WS Cidanau–Ciujung–Cidurian
Sumber : Permen PU No. 23/PRT/M/2008
45
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor 390/KPTS/M/2007 tentang Penetapan Status Daerah Irigasi yang pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
106
NO
Tabel IV.3. Balai Wilayah Sungai (BWS) Di Lingkungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air NAMA BALAI LOKASI WILAYAH KERJA
1.
BWS Sumatera I
Banda Aceh
2.
BWS Sumatera II
Medan
3.
BWS Sumatera III
Pekanbaru
4. 5.
BWS Sumatera V BWS Sumatera VI
Padang Jambi
6.
BWS Sumatera VII
Bengkulu
WS Air Majunto–Sebelat
7.
BWS Bali – Penida
Denpasar
WS Bali–Penida
8.
BWS Nusa Tenggara I
Mataram
WS P. Lombok
9.
BWS Kalimantan II
Kuala Kapuas
10.
BWS Kalimantan III
Samarinda
11.
BWS Sulawesi III
12. 13. 14.
BWS Sumatera IV BWS Nusa Tenggara II BWS Kalimantan I
15.
BWS Sulawesi I
Manado
WS Sangihe–Talaud, WS Tondano–Likupang, WS Dumoga–Sangkub
16.
BWS Sulawesi II
Gorontalo
WS Limboto–Bulango–Bone, WS Paguyaman, WS Randangan
17.
BWS Sulawesi IV
Kendari
WS Lasolo, WS Sampara
18.
BWS Maluku
Ambon
WS P. Buru, WS P. Ambon–Seram, WS Kep. Kei–Aru, WS Kep. Yamdena–Wetar
19.
BWS Papua
Jayapura
WS Memberamo–Tami–Apauvar, WS Einlanden–Digul–Bikuma dan WS Omba
20.
Balai Bendungan
Palu Batam Kupang Pontianak
Jakarta
WS Meureudu–Baro, WS Jambo–Aye, WS Woyla–Seunagan, WS Tripa–Bateu, WS Alas– Singkil WS Belawan–Ular Padang, WS Toba–Asahan, WS Batang Angkola–Batang Gadis, WS Batang Natal–Batang Batahan. WS Rokan, WS Siak, WS Kampar, WS Indragiri, WS Reteh. WS Anai Kuranji–Arau–Mangau–Antokan WS Batanghari
WS Seruyan, WS Kahayan, WS Barito–Kapuas. WS Sesayap, WS Mahakam WS Palu–Lariang, WS Parigi–Paso, WS Laa– Tambalako, WS Kaluku–Karama WS P. Batam–P. Bintan WS Aesesa, WS Benanain, WS Neo–Mina WS Kapuas, WS Pawan, WS Jelai–Kendawangan
Nasional
Sumber : Permen PU No. 23/PRT/M/2008
Kalau ditinjau dari aspek pengorganisasian dan desain organisasi, penetapan tugas pokok direktorat pelaksana yang disusun sebelum adanya unit pelaksana teknis dan pada saat ini setelah terjadi pembentukan unit pelaksana teknis ternyata tidak mengalami perubahan. Perubahan yang ada hanyalah pada tingkat penyesuaian pembagian tugas antardirektorat di pusat sedangkan penyesuaian terhadap tugas
107
antara direktorat pelaksana dengan tugas UPT tidak terlihat. Desain organisasi yang ada masih mementingkan pada penambahan jumlah jabatan struktural, bukan kepada jumlah jabatan fungsional yang memang melakukan fungsi sesuai dengan kompetensi di bidang jabatan fungsionalnya. Kewenangan yang diberikan kepada jabatan struktural masih lebih besar dan lebih menarik (bagi pejabatnya) dibandingkan kewenangan yang diberikan kepada jabatan fungsional.
Jumlah jabatan struktural di lingkungan Ditjen SDA dan di lingkungan UPT Ditjen SDA adalah seperti tercantum dalam tabel IV.4 dan tabel IV.5 berikut:
Tabel IV.4. Jumlah jabatan struktural di lingkungan Ditjen Sumber Daya Air No
Nama Direktorat
Es. I
1 2 3 4 5 6 7
Ditjen Sumber Daya Air Sekretariat Ditjen Sumber Daya Air Direktorat Bina Program Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air Direktorat Sungai, Danau, dan Waduk Direktorat Irigasi Direktorat Rawa dan Pantai JUMLAH Sumber : Permen PU No. 01/PRT/M/2008
Es. II
Es. III
Es. IV
1 1 1 1 1 1 6
4 5 5 5 5 5 29
12 11 11 11 11 11 67
1
1
Tabel IV.5. Jumlah jabatan struktural di lingkungan UPT Ditjen SDA No
Nama UPT
1 2 3 4 5
Balai Besar Wilayah Sungai – Tipe A (9 UPT) Balai Besar Wilayah Sungai – Tipe B (3 UPT) Balai Wilayah Sungai – Tipe A (11 UPT) Balai Wilayah Sungai – Tipe B (8 UPT) Balai Bendungan JUMLAH Sumber : Permen PU No. 23/PRT/M/2008
Es. II.b 9 3 12
Es. III.a 11 8 1 20
Es. III.b 45 12 57
Es. IV 99 27 44 24 4 198
Demikian pula halnya dengan departementasi di tingkat pusat maupun di UPT terdapat perbedaan. Di tingkat pusat menganut sistem sektoral sedangkan di tingkat UPT menganut sistem kewilayahan. Hal ini menyebabkan rentang kendali menjadi banyak. Sebagai contoh, UPT seperti Balai Wilayah Sungai Kalimantan II, bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Sumber Daya Air tetapi pembinaannya melalui direktorat terkait. Artinya, pada saat dilakukan koordinasi yang berhubungan dengan masalah irigasi harus dilakukan bersama Direktorat
108
Irigasi, untuk masalah bendungan dilakukan dengan Direktorat Sungai, Danau dan Waduk, untuk masalah rawa dan pantai dengan Direktorat Rawa dan Pantai, dan untuk masalah perencanaan wilayah sungai harus berkoordinasi dengan Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air. Hal inilah yang menjadikan rentang kendali menjadi panjang dan banyak. Akibatnya, koordinasi menjadi berkepanjangan dan akhirnya pengambilan keputusan dapat menjadi bias.
Berbeda sebelumnya pada saat UPT belum dibentuk, pelaksana kewenangan pusat di daerah dilaksanakan oleh satuan kerja non vertikal (SNVT) atau dulu lebih dikenal dengan sebutan proyek. SNVT pada masa itu bertanggung jawab kepada direktorat pembinanya masing-masing. Sebagai contoh, SNVT irigasi Jawa Barat bertanggung jawb kepada Direktur Irigasi, atau pada waktu direktorat wilayah, SNVT atau proyek bertanggung jawab kepada Direktorat Pelaksanaan Wilayah Tengah.
IV.2.1 ANALISIS KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN
A.
Periode Orde Baru (s.d. 1999) Pada periode ini, kelembagaan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air masih didasarkan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1974. Pada masa tersebut, pengelolaan sumber daya air sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, mulai dari perencanaan, pembangunan fisik infrastruktur (konstruksi), operasi dan pemeliharaannya. Hanya untuk pelaksanaan operasi dan pemeliharaan irigasi sebagian sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Sistem sentralisasi tersebut memiliki beberapa keuntungan bagi masyarakat pengguna.
Manfaat yang dirasakan bagi masyarakat sebagai pengguna infrastruktur secara langsung dapat merasakan manfaat pembangunan infrastruktur seperti tersedianya air untuk berbagai keperluan. Namun, masyarakat sangat sulit untuk dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan pengelolaan sumber daya air, mengingat pada masa itu masyarakat tidak
109
memiliki akses dalam pengusulan program bagi lingkungannya. Semua program pembangunan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Bagi kelompok masyarakat di lokasi yang telah mendapat prioritas akan merasakan manfaat pembangunan secara langsung tetapi bagi kelompok yang lokasinya tidak mendapat prioritas tidak merasakan manfaat pembangunan infrastruktur tersebut. Demikian pula halnya dengan Dinas PU di Provinsi yang merasakan hal yang sama.
Sementara itu bagi pelaksana, sentralisasi pada masa tersebut mejadikan Ditjen Pengairan memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Karena sifatnya yang “top-down”, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak didasarkan pada permintaan masyarakat tetapi lebih kepada kebutuhan masyarakat sesuai analisis pemerintah. Keberatan masyarakat terhadap perencanaan dan program pemerintah dapat ditujukan kepada pemerintah tetapi keputusan pelaksanaan tetap berada pada keputusan pemerintah. Masyarakat “seakanakan” tidak memiliki “hak” untuk ikut mengelola sumber daya air.
Bagi kelembagaan Ditjen Pengairan sendiri, penanganan pengelolaan sumber daya air yang berbasis sektor pada masa tersebut (s.d 1994) memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan antara lain, penanganan pengelolaan sumber daya air menjadi lebih terfokus. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi teknis dalam satu bidang pengelolaan sumber daya air dapat lebih mudah direncanakan dan disediakan. Namun di lain pihak, penanganan secara terintegrasi antar sektor seperti perencanaan menjadi sulit karena harus melibatkan seluruh direktorat teknis. Demikian pula halnya dengan koordinasi. Apabila terjadi suatu permasalahan pengelolaan sumber daya air di satu wilayah, maka pelaksana di daerah harus berkoordinasi dengan seluruh sektor terkait.
110
Hal yang mendasari perubahan organisasi pada tahun 1994 adalah perubahan peran pemerintah dalam hal pelaksanaan kegiatan fisik yang tidak lagi melaksanakan pembangunan fisik secara swakelola tetapi mulai dilaksanakan oleh pihak ketiga (dikontrakkan). Dengan adanya kebijakan tersebut, Direktorat Peralatan yang mempunyai tugas mengelola ketersediaan alat-alat berat dan perlengkapannya dihilangkan dan hampir seluruh peralatan dialihkan kepada Pemerintah Daerah yang pada waktu itu memiliki tugas melaksanakan tugas pemerintah pusat dalam hal operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi secara terbatas.
Bagi kelembagaan Ditjen Pengairan sendiri, penanganan pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah pada masa 1994 – 1999 tersebut memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan, antara lain, kemudahan melakukan koordinasi perencanaan antara pusat dan daerah, dan perencanaan dalam satu wilayah dapat lebih terfokus. Namun, tugas Ditjen pada saat itu tidak dapat menghasilkan produk pengaturan/hukum dalam hal pengelolaan sumber daya air karena fokus utama Ditjen Pengairan adalah pembangunan infrastruktur. Hal ini juga disebabkan oleh tuntutan swasembada pangan yang harus terus dipenuhi oleh pemerintah. Tuntutan swasembada pangan tersebut diterjemahkan sebagai kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang keberhasilan swasembada pangan, antara lain dengan pembangunan infrastruktur sumber daya air. Kelemahan lain adalah semakin berkurangnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi teknis masing-masing bidang sumber daya air seperti ahli sungai, ahli rawa, ahli bendungan, dan ahli irigasi. Hal ini disebabkan antara lain karena dalam sistem kewilayahan, keahlian diprioritaskan pada pengelolaan sumber daya air secara makro.
B.
Periode Kabinet Reformasi (1999 s.d. 2001) Periode ini merupakan periode yang mengalami perubahan paling drastis. Pada periode ini, penanganan sumber daya air dilakukan oleh dua direktorat jenderal yang menggunakan pendekatan yang berbeda. Ditjen
111
Pengembangan Perdesaan (PP) menggunakan pendekatan kewilayahan (mengingat nomenklatur departemen yaitu Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah), sementara Ditjen Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah (PRPW) menggunakan pendekatan sektor. Ditjen PP difokuskan pada pembangunan infrastruktur sedangkan Ditjen PRPW difokuskan pada aspek pengaturan dan perencanaan pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi dengan sektor lainnya. Hambatan yang muncul adalah sulitnya menerjemahkan apa yang seharusnya dilakukan oleh masing-masing Ditjen tanpa menimbulkan konflik kepentingan atau tumpang tindih kegiatan. Demikian pula halnya dengan ketidakjelasan penugasan terhadap perencanaan program pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi.
Keunggulan kewilayahan pada masa tersebut antara lain adalah dapat memacu masing-masing wilayah untuk mengembangkan wilayah yang menjadi wewenangnya sehingga pembangunan di daerah menjadi lebih cepat dan terakomodasi. Hal ini dapat dilihat dengan program percepatan pembangunan di wilayah timur, dan pembangunan infrastruktur menjadi lebih intensif. Hal ini juga disebabkan salah satu indikator kinerja adalah besarnya dana yang dapat diserap dan banyaknya produk pembangunan yang dihasilkan oleh setiap wilayah.
Penanganan sumber daya air berbasis wilayah ini ternyata mempermudah koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Bila dalam pelaksanaan pengelolaan mengalami hambatan, pemerintah daerah dapat langsung berhubungan dengan direktorat wilayahnya. Berbeda dengan sebelumnya, bila permasalahan menyangkut beberapa sektor maka harus berkoordinasi dengan beberapa direktorat sektor. Demikian pula hal dengan masyarakat. Apabila masyarakat memiliki permasalahan seputar sumber daya air, maka akan lebih mudah bagi masyarakat untuk menghubungi direktorat wilayah. Berbeda dengan sebelumnya, masyarakat
112
harus mencari tahu permasalahan sumber daya air apa yang terjadi dan ke mana mereka harus melaporkan.
Kelemahan yang terjadi adalah pada aspek operasi dan pemeliharaan yang tidak menjadi prioritas sehingga ketersediaan dana operasi dan pemeliharaan menjadi sangat terbatas. Akibat keterbatasan dana tersebut, kerusakan sarana dan prasarana air mulai dirasakan beberapa tahun kemudian. Faktor lain adalah berkurangnya tenaga ahli spesialisasi sumber daya air, mengingat pada sistem kewilayahan, penanganan pengelolaan sumber daya air dilakukan secara makro. Demikian pula dengan penyediaan perangkat pengaturan dan standar (NSPM) menjadi terabaikan. Salah satu penyebabnya adalah periode ini hanya berlangsung selama dua tahun.
Pada periode 2001 s.d. 2004, secara umum tidak memiliki banyak perubahan sistem kewilayahan dalam pengelolaan sumber daya air tetapi terjadi perubahan nomenklatur Ditjen Pengembangan Perdesaan menjadi Ditjen SDA dan pemindahan fungsi perencanaan makro sumber daya air menjadi tugas dari Ditjen SDA. Dengan adanya pemindahan ini, maka perencanaan program pengelolaan sumber daya air secara makro dilaksanakan oleh Direktorat Penatagunaan Sumber Daya Air. Hasil dari direktorat ini seharusnya menjadi pedoman pelaksanaan oleh direktorat wilayah tetapi hasilnya belum dapat diaplikasikan pada masing-masing wilayah, mengingat perencanaan yang dilakukan masih secara makro. Akibat tidak dapat diaplikasikannya perencanaan pengelolaan sumber daya air oleh direktorat wilayah, terjadi antara lain, penurunan kualitas air dan tidak terpeliharanya prasarana dan sarana sumber daya air.
C.
Periode Kabinet Indonesia Bersatu (2004 s.d. sekarang) Pada periode ini, kembali nomenklatur departemen berubah menjadi Departemen Pekerjaan Umum. Re-orientasi tugas dan fungsi departemen dilakukan dan belajar dari pengalaman masa lalu, institusi Ditjen SDA
113
kembali berubah berdasarkan sektor. Hal ini disadari bahwa selama beberapa periode tidak adanya produk pengaturan pengelolaan sumber daya air yang dapat dijadikan pedoman pengelolaan. Sistem kewilayahan menjadikan tugas perumusan produk pengaturan menjadi terabaikan, sementara dengan adanya pembagian kewenangan pusat dan daerah maka produk pengaturan menjadi hal yang penting sebagai panduan pusat dan daerah dalam melaksanakan tugas pengelolaan sumber daya air.
Keunggulan pada periode ini adalah mulai diterbitkannya produk pengaturan pengelolaan sumber daya air dan ditumbuhkan kembali spesialiasi sumber daya manusia di bidang keahlian pengelolaan sumber daya air, sungai, rawa, pantai, irigasi, air tanah, dan sebagainya.
Kelemahan pada periode ini dirasakan terutama pada pelaksanaan koordinasi yang harus melibatkan seluruh direktorat teknis. Kelemahan lainnya adalah dalam proses perencanaan antarsektor seringkali tidak sinkron mengingat masing-masing daerah dan direktorat teknis menyusun rencana berdasarkan kebutuhan masing-masing sektor.
Dari analisis di atas dapat dipahami bahwa kelembagaan berbasis sektor maupun berbasis kewilayahan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan.
Secara umum keunggulan kelembagaan berbasis sektor antara lain adalah : 1.
Perencanaan pengelolaan sumber daya air lebih terfokus karena program yang ditetapkan merupakan program masing-masing sektor yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
2.
Tersedianya sumber daya manusia dengan kompetensi bidang sektor sumber daya air seperti ahli sungai, ahli rawa, ahli irigasi, dan sebagainya.
3.
Manfaat pembangunan hanya dirasakan bagi masyarakat yang mendapat proyek.
114
Sementara itu, kelemahan kelembagaan berbasis sektor antara lain adalah : 1.
Perencanaan pengelolaan sumber daya air berdasarkan wilayah sungai memerlukan koordinasi antara sektor.
2.
Sulit dalam menempatkan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dari satu sektor ke sektor lainnya.
3.
Program Pemerintah Pusat seringkali tidak sesuai dengan prioritas daerah. Hal ini disebabkan pada saat pembahasan program harus melibatkan semua sektor. Ketidaksesuaian program tersebut menyebabkan manfaat pengelolaan sumber daya air tidak atau kurang dirasakan oleh masyarakat.
4.
Lebih sulit untuk melakukan koordinasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat apabila terdapat permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air di wilayahnya karena harus berkoordinasi dengan beberapa direktorat atau unit kerja yang berwenang untuk menangani persoalan tersebut.
Keunggulan kelembagaan berbasis kewilayahan antara lain adalah: 1.
Perencanaan dan pengelolaan sumber daya air per wilayah sungai lebih terfokus karena telah jelas siapa yang harus bertangung jawab untuk setiap wilayah.
2.
Koordinasi program antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih mudah terintegrasi.
3.
Kompetensi sumber daya manusia yang menangani pengelolaan sumber daya air menjadi lebih bersifat umum dan kurang mendalam.
4.
Manfaat pembangunan lebih dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat yang mendapat proyek karena pembangunan di setiap wilayah menjadi lebih merata.
5.
Kemudahan koordinasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat apabila terdapat permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air di wilayahnya.
6.
Direktorat wilayah menjadi lebih terpacu untuk membangun wilayahnya sehingga kinerja direktorat dapat menjadi yang terbaik.
115
Kelemahan kelembagaan berbasis kewilayahan antara lain adalah: 1.
Kesulitan pemerintah pusat dalam menerbitkan produk-produk pengaturan karena harus melibatkan seluruh wilayah sehingga produk pengaturan dapat diterapkan di seluruh wilayah.
2.
Ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian teknis dalam bidang sektor sumber daya air secara mendalam menjadi sulit mengingat kewilayahan menjadikan aspek pengelolaan sumber daya air menjadi bersifat umum.
Untuk lebih jelasnya, matriks keunggulan dan kelemahan kelembagaan berbasis sektor dan berbasis wilayah dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel IV.6 Matrik keunggulan dan kelemahan pola kelembagaan pengelolaan sda Uraian Perencanaan
Sektor + -
Pembinaan
-
Pengawasan
-
Koordinasi
-
Integrasi Program
-
Produk pengaturan
+ -
Prioritas program
-
Wilayah
+ +
SDM
-
Kelembagaan berbasis Kewilayahan
Fokus pada masing-masing sektor Melibatkan seluruh sektor untuk perencanaan pengelolaan secara nasional Melibatkan seluruh direktorat terkait Melibatkan seluruh direktorat terkait Melibatkan seluruh direktorat terkait Melibatkan seluruh direktorat terkait Sesuai penanggung jawab sektor Sulit membuat produk pengaturan pengelolaan per WS Sesuai perencanaan, tidak setiap wilayah mendapat prioritas
+
Nasional Rentang kendali luas Menghasilkan SDM dengan keahlian spesialisasi sektor Penempatan SDM harus sesuai dengan keahliannya
+ -
Catatan : (+) keunggulan, (-) kelemahan
116
+
Fokus pada masing-masing wilayah Melibatkan seluruh wilayah untuk perencanaan pengelolaan secara nasional Sesuai direktorat wilayahnya
+
Sesuai direktorat wilayahnya
+
Sesuai direktorat wilayahnya
+
Sesuai direktorat wilayahnya
-
Harus melibatkan seluruh direktorat wilayah Mudah untuk membuat produk pengaturan per WS
-
+
+
+
Setiap wilayah mendapat prioritas, memacu direktorat meningkatkan wilayah kewenangannya Sesuai kewenangannya Rentang kendali terbatas Menghasilkan SDM dengan keahlian spesialisasi umum Penempatan SDM lebih fleksibel
Tabel IV.6 Matrik keunggulan dan kelemahan pola kelembagaan pengelolaan sda (lanjutan) Uraian
Sektor
Kelembagaan berbasis Kewilayahan
Koordinasi dengan Pemerintah Daerah
-
Melibatkan seluruh direktorat terkait
+
Sesuai direktorat wilayahnya
Koordinasi UPT di Daerah dengan Pusat
-
Melibatkan seluruh direktorat terkait
+
Sesuai direktorat wilayahnya
Hirarki UPT
-
Direktorat Pembina adalah seluruh direktorat sektor
+
Direktorat Pembina adalah sesuai dengan direktorat wilayahnya
Masyarakat
-
Sulit mengadukan permasalahan karena melibatkan seluruh sektor Merasakan langsung manfaat pembangunan program
+
Mudah untuk mengadukan permasalahan
+
Merasakan langsung manfaat pembangunan program
+
Catatan : (+) keunggulan, (-) kelemahan
Dari hasil analisis di atas, kelembagaan berbasis kewilayahan (14 keunggulan, 4 kelemahan) ternyata memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan kelembagaan berbasis sektor (5 keunggulan, 13 kelemahan), sehingga salah satu alternatif bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya air pada masa yang akan dating diharapkan dapat berbasis kewilayahan.
IV.2.2 ANALISIS RUANG LINGKUP TUGAS DAN KEWENANGAN
Penyusunan ruang lingkup tugas Ditjen SDA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum belum mengacu pada kewenangan pemerintah di bidang pekerjaan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
117
Ditjen SDA mempunyai tugas merumuskan, melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang sumber daya air, serta melaksanakan fungsi: a.
perumusan kebijakan teknik di bidang sumber daya air sesuai peraturan dan perundangan,
b.
penyusunan program dan anggaran serta evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan di bidang sumber daya air,
c.
pelaksanaan kebijakan di bidang sumber daya air meliputi irigasi, rawa dan pantai, sungai, danau, waduk dan bendungan, termasuk penyediaan air baku dan pemanfaatan air tanah,
d.
pelaksanaan pengaturan pengelolaan sumber daya air,
e.
pembinaan dan bantuan teknis pengelolaan sumber daya air dan evaluasi termasuk konservasi dan pemeliharaan,
f.
pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasi di bidang sumber daya air,
g.
penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual di bidang sumber daya air, dan
h.
pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal.
Penyusunan organisasi Ditjen SDA berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 01/PRT/M/2008 belum disesuaikan dengan kewenangan pemerintah pusat di bidang pengelolaan sumber daya air sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Ini berarti bahwa tugas dan kewenangan yang dilaksanakan oleh Ditjen SDA berpotensi melebihi kewenangan yang dimilikinya atau tidak melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya. Konsekuensi dari kondisi ini adalah akan berpotensi untuk menimbulkan konflik dengan institusi pemerintah lainnya baik dipusat maupun di daerah. Penyusunan organisasi berpijak dari kewenangan yang dimiliki, dan tugas setiap unit kerja merupakan penjabaran dan pembagian tugas dari kewenangan yang dimiliki oleh suatu institusi pemerintah.
118
Selain itu, dalam penyusunan struktur organisasi Ditjen SDA secara umum masih terlihat beberapa kelemahan, antara lain: a.
pembagian dan perincian tugas dan fungsi tidak dilakukan dengan menguraikan (break down) tugas dan fungsi Ditjen SDA sehingga banyak muncul uraian tugas yang tumpang tindih dan membingungkan baik secara horizontal, vertikal maupun diagonal,
b.
proses pengelompokkan jenis tugas yang sama ke dalam satu kelompok tidak dilandaskan pada azas-azas departementasi yang baik sehingga dapat menyebabkan konflik kewenangan antarunit organisasi,
c.
proses pengelompokan tugas dan fungsi (departementasi) kurang memperhatikan beban kerja dan efisiensi organisasi, hal ini terlihat pada banyaknya unit kerja yang bila dilihat dari uraian tugas dan fungsinya memiliki beban kerja sangat sedikit.
IV.2.3 ANALISIS PEMBAGIAN TUGAS DAN DEPARTEMENTASI
Dari uraian tugas Direktorat Jenderal SDA terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pengkajian dan penataan tugas lebih lanjut, yaitu: a.
Terdapat kerancuan dalam pembagian tugas antara tugas perumusan kebijakan teknis di bidang sumber daya air sesuai peraturan perundangundangan dengan tugas pelaksanaan pengaturan sumber daya air. Perumusan kebijakan sesungguhnya berisi pengaturan juga sehingga sulit dipisahkan antara tugas pengaturan dan perumusan kebijakan.
b.
Pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasi di bidang sumber daya air merupakan tugas yang sesungguhnya bukan kewenangan Dep. PU tetapi sudah menjadi kewenangan institusi pusat lainnya atau kewenangan daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Selain menyangkut ruang lingkup kewenangan yang dilaksanakan dan masalah pemisahan uraian tugas yang tidak jelas serta cenderung tumpang tindih, juga terdapat
beberapa
masalah
dalam
pola
119
pengelompokan
tugas
sejenis
(departementasi) pada masing-masing unit kerja yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Sekretariat Direktorat Jenderal
Sekretariat Ditjen merupakan unsur staf yang memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh unit organisasi pelaksana (operasional) yang melaksanakan kewenangan di bidang sumber daya air. Pelayanan administrasi yang diberikan adalah pelayanan yang secara rutin dilaksanakan oleh unit-unit kerja di lingkungan Ditjen SDA. Ada beberapa masalah pada tata kerja Sekretariat Ditjen SDA yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel IV.7. Analisis Masalah Tata Kerja Sekretariat Ditjen SDA Unit Kerja Bagian Kepegawaian, organisasi dan tatalaksana Bagian Hukum dan Perundang-Undangan
Sub Unit Kerja
Masalah
Subbag Organisasi dan Tatalaksana
Organisasi dan tatalaksana dilakukan oleh Setjen Subbag Perundang-Undangan 1. Fungsi ini menjadi tugas Setjen Subbag Bantuan Hukum Subbag Informasi dan dokumentasi 2. Ditjen tidak mengeluarkan produk hukum, hukum
Dari tabel di atas dengan jelas terlihat bahwa terdapat pembagian tugas pelayanan administrasi yang bukan merupakan kewenangan atau tugas pokok dari Ditjen SDA diantaranya: 1)
Tugas Setditjen merupakan tugas administratif yang kewenangannya telah dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada Direktorat Jenderal. Tugas administratif di bidang organisasi dan tatalaksana merupakan tugas yang dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) Dep. PU dan tidak ada pelimpahan kewenangan pembentukan organisasi yang dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal. Tugas Ditjen dalam pembentukan organisasi dan tatalaksana hanyalah sebatas membantu memberikan bahan masukan di bidangnya tetapi tidak berupa perumusan dan penetapan kebijakan sehingga bukan merupakan tugas rutin dari Setditjen SDA.
2)
Tugas perumusan penyelarasan peraturan perundang-undang (legal drafting) merupakan tugas Setjen Dep. PU karena peraturan perundang-
120
undangan tidak ditetapkan pada tingkat Ditjen. Sementara itu, perumusan draft peraturan perundang-undangan dilakukan oleh tim atau unit kerja yang mempunyai tugas sesuai dengan substansi yang akan diatur.
b.
Direktorat Bina Program
Fungsi perumusan kebijakan, perencanaan, dan penyusunan program merupakan fungsi manajemen yang melekat pada semua pimpinan unit kerja secara berjenjang. Oleh karena itu, memisahkan fungsi perencanaan dengan fungsi pelaksanaan adalah suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Unit kerja yang diperlukan dalam fungsi perencanaan adalah unit kerja yang melakukan pengintegrasian rencana dari beberapa unit kerja yang berbeda (direktoratdirektorat). Fungsi pengintegrasian rencana ini adalah merupakan fungsi pelayanan administrasi yang seharusnya ditempatkan di bawah Setditjen. Selain itu, beberapa unit kerja di bawah Direktorat Bina Program yang tidak efisien dan juga terlihat melakukan tugas yang tumpang tindih dengan tugas unit kerja lain, yaitu: 1)
Subdit Kebijakan dan Strategi berfungsi untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya air. Hal ini juga dilaksanakan oleh Direktorat Bina Pengelolaan SDA yang melaksanakan fungsi perencanaan sumber daya air dan Direktorat teknis lainnya, seperti Direktorat Sungai, Danau, dan Waduk.
2)
Subdit Program dan Anggaran berfungsi untuk melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan administrasi dan pengendalian penggunaan anggaran pengelolaan sumber daya air. Tugas ini sangat berpotensi tumpang tindih dengan Bagian Keuangan yang juga melakukan fungsi pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan pemanfaatan anggaran Direktorat Jenderal.
3)
Subdit Kerjasama Luar Negeri yang melaksanakan tugas melakukan pembinaan
dan
penatalaksanaan
pinjaman
dan
hibah
serta
penyelenggaraan kerjasama internasional dalam pengelolaan sumber daya air sangat berpotensi terjadi tumpang tindih tugas dengan Bagian Kerjasama Luar Negeri di tingkat Sekretariat Jenderal yang melaksanakan
121
tugas perencanaan, pelaksanaan, dan koordinasi pelaksanaan kerjasama luar negeri serta administrasi bantuan luar negeri.
Selain itu, penugasan Direktorat Bina Program sebagai perumus kebijakan pengelolaan sumber daya air akan menimbulkan tumpang tindih tugas dengan Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air.
c.
Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air
Tugas dan fungsi Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai pelaksana tugas pembinaan pelaksanaan pengelolaan hidrologi dan kualitas air pada sumber air wilayah sungai, kelembagaan sumber daya air, kemitraan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air, serta pengendalian pengelolaan sumber daya air dapat dianalisis sebagai berikut: 1)
Fungsi pembinaan pelaksanaan pengelolaan hidrologi dan kualitas air seharusnya menjadi tugas dari instansi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Ditjen SDA seharusnya menjadi pengguna informasi yang disediakan oleh BMG dan KLH. Demikian pula dengan teknologi modifikasi cuaca, Ditjen SDA hanya sebagai pengguna teknologi tersebut.
2)
Penyiapan NSPM dan pembinaan dalam perencanaan sumber daya air di wilayah sungai yang dilaksanakan oleh Subdit. Perencanaan Wilayah Sungai tidak sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu, yaitu perencanaan mulai dari hulu sampai dengan hilir, karena perencanaan bidang sungai, danau waduk, rawa, pantai, dan irigasi masing-masing dilakukan oleh direktorat pelaksana. Tugas dalam hal pembinaan penyiapan pola pengelolaan sumber daya air seharusnya dilakukan oleh direktorat pelaksana kepada UPT mengingat UPT melakukan koordinasi dengan semua direktorat pelaksana. Dari bidang kelembagaan, fungsi ini merupakan fungsi dari Subdit Kelembagaan SDA yang seharusnya melaksanakan pembinaan terhadap semua aspek di bidang kelembagaan SDA. Demikian halnya dengan Subdit Pengendalian
122
Pengelolaan SDA yang melakukan tugas dan fungsi hampir sama dengan Subdit. Perencanaan Wilayah Sungai tetapi dalam aspek pengendalian pengelolaan sumber daya air. 3)
Subdit Kemitraan dan Peran Masyarakat yang melaksanakan tugas pembinaan pelaksanaan kemitraan dan peran masyarakat cenderung tidak dapat melaksanakan tugasnya karena kewenangan untuk melaksanakan pembinaan kelembagaan di luar Dep. PU merupakan kewenangan instansi lain. Unit kerja ini lebih cenderung melaksanakan fungsi penyiapan NSPM yang disampaikan kepada Pemerintah Daerah. Fungsi penyiapan NSPM ini juga bersinggungan dengan fungsi Badan Litbang, khususnya dengan Pusat Litbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat yang melaksanakan fungsi perumusan NSPM bidang pekerjaan umum.
d.
Direktorat Pelaksana (Direktorat Sungai, Danau, dan Waduk; Direktorat Irigasi; dan Direktorat Rawa dan Pantai)
Pada direktorat pelaksana terdapat beberapa masalah dalam tata kerja unit-unit organisasi yang ada di bawahnya, baik berupa tumpang tindih tugas maupun inefisiensi dalam pembagian dan pengelompokan tugas ke dalam struktur organisasi. Masalah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV.8. Analisis Masalah Tata Kerja Pada Direktorat Pelaksana Unit Kerja Masalah Subdit Perencanaan Teknis Tugas perencanaan teknis yang di dalamnya termasuk perencanaan program dan anggaran berhimpitan dengan tugas Direktorat Bina Program dan Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air Sub Direktorat Pembinaan Pembagian tugas pada layer yang sama berdasarkan wilayah Pelaksanaan Wilayah Barat dan berdasarkan jenis produk serta fungsi akan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dan konflik dalam Sub Direktorat Pembinaan implementasi tugas dan fungsi masing-masing unit kerja Pelaksanaan Wilayah Timur Subdit. Bendungan/ Penyediaan Air Baku & Pemanfaatan Air Tanah/ Pengamanan Pantai Subdit OP dan Penanggulangan Bencana Alam
123
Untuk Direktorat Sungai, Danau, dan Waduk dan Direktorat Irigasi, kewenangan yang menjadi kewenangan pusat dan kewenangan daerah telah ditetapkan dalam peraturan, baik itu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, sehingga menjadi jelas tugas dari masing-masing direktorat pelaksana dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air.
Lain halnya untuk bidang rawa dan pantai, sampai saat ini belum ditetapkan peraturan yang mengatur tentang kewenangan pengelolaan rawa dan pantai yang mengakomodasi Undang-undang Sumber Daya Air dan Undang-undang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah yang terakhir mengatur tentang rawa adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1991. Kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengelolaan rawa dan pantai yang tidak jelas mengakibatkan pelaksanaan tugas yang berpotensi tumpang tindih antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada saat ini, kewenangan penanganan rawa dan pantai didasarkan pada kewenangan pengelolaan wilayah sungai dan pengelolaan irigasi.
IV.2.4 ANALISIS PELAKSANAAN TUGAS UPT
Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan pengamatan di lapangan diperoleh beberapa masalah dalam pelaksanaan tugas pada UPT yang berada di daerah sebagai berikut:
1.
UPT dibentuk sebagai unsur pelaksana kegiatan Ditjen yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh kebutuhan memenuhi ketentuan pengelolaan keuangan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Negara. Dalam undang undang tersebut disebutkan bahwa pelaksana anggaran (pejabat pembuat komitmen dan kuasa pengguna anggaran) harus dijabat oleh pejabat struktural yang mempunyai tugas dan fungsi yang sesuai dengan substansi kegiatan.
124
2.
Dalam pelaksanaannya, pelaksana pekerjaan (pejabat pembuat komitmen dan kuasa pengguna anggaran) untuk pekerjaan fisik tetap dapat tidak melekat pada pejabat struktural pada UPT sebagaimana yang diinginkan pada saat pembentukannya tetapi dapat tetap dilaksanakan oleh satuan kerja non vertikal tertentu (SNVT) yang secara organisasi tidak berada di bawah kewenangan UPT.
3.
Pelaksana pekerjaan tidak melekat pada jabatan struktural disebabkan oleh wilayah kerja UPT yang terdiri dari beberapa provinsi sehingga apabila pelaksana kegiatan melekat pada pejabat struktural UPT, maka akan mengalami kesulitan dalam pengawasan dan administrasi kegiatan yang tersebar pada beberapa provinsi.
4.
Kepala UPT hanya bersifat penanggung jawab umum kegiatan yang berada dalam wilayah kerjanya dan lebih bersifat koordinasi dan pembinaan sedangkan pejabat struktural di bawah kepala UPT hanya melaksanakan kegiatan yang bersifat software seperti perencanaan dan koordinasi.
5.
Dalam pelaksanaan tugasnya, UPT tidak hanya melaksanakan tugas sebagai pelaksana pembangunan fisik tetapi juga melaksanakan fungsi pengaturan,
pembinaan,
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kewenangan pemerintah pusat yang didelegasikan kepada pemerintah daerah melalui dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. 6.
UPT tidak mempunyai sumber daya manusia yang mencukupi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini disebabkan sebagian besar SDM UPT adalah pegawai daerah yang diperbantukan sementara kepada UPT. Pegawai yang tersedia terbatas pada pejabat struktural yang memang secara ketentuan harus melekat pada organisasi induknya sedangkan pelaksana lapangan sebagian besar adalah pegawai daerah. Demikian pula dengan ketersediaan pejabat fungsional yang secara substansi harus menguasai bidang pengelolaan sumber daya air dengan baik sangatlah sedikit, bahkan di beberapa UPT tidak tersedia pejabat fungsional yang memiliki penguasaan bidang pengelolaan sumber daya air.
125
7.
Kehadiran UPT tidak diikuti dengan penyesuaian tugas dan fungsi organisasi Ditjen SDA sehingga terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas antara UPT dengan unit kerja pelaksana pada Ditjen, antara lain adanya kegiatan perencanaan yang dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkiat UPT untuk wilayah sungai yang sama.
IV.3
USULAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
Kelembagaan pengelolaan sumber daya air, apapun bentuknya, harus dapat meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air yang ditandai dengan keberhasilan pengelolaan dalam hal ketersediaan air, kualitas air, dan terkendalinya daya rusak air.
Berdasarkan analisis masalah yang telah dilakukan, maka analisis pemecahan masalah yang akan digunakan untuk menata institusi kelembagaan pengelolaan sumber daya air khususnya di lingkungan Ditjen SDA dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan dan prinsip-prinsip pengorganisasian sebagai berikut:
a.
Efisiensi dan Efektivitas Pengelompokkan Tugas
Sebagai wadah untuk mencapai tujuan dan bekerjanya manajemen, organisasi harus didesain secara efisien untuk mencapai tugas secara efektif. Selama ini, beban tugas pada suatu kelompok tugas (jabatan) dipandang kurang padat sehingga banyak pejabat yang “menganggur” pada waktu jam kerja. Untuk mewujudkan efisiensi organisasi ini, maka struktur organisasi ini akan didesain agar pengelompokan tugas dilakukan berdasarkan volume tugas dan jenis tugas yang seimbang.
126
b.
Prinsip Departementasi dan Bentuk Organisasi
Dalam penataan organisasi di masa yang akan datang di lingkungan Ditjen SDA, ada beberapa prinsip departementasi yang digunakan dalam pengelompokan tugas dalam suatu jabatan yaitu penggunaan hanya satu dasar departementasi pada satu level organisasi yang setara. Hal ini menegaskan bahwa apabila penetapan pengelompokan tugas pada level direktorat dilakukan berdasarkan fungsi maka tidak ada direktorat yang dibentuk berdasarkan wilayah atau produk. Hal ini dilakukan untuk mencegah tumpang tindih tugas antara satu direktorat dengan direktorat yang lain yang setara, begitu juga dengan pembagian kelompok tugas dalam suatu jabatan pada setiap level organisasi. Pembagian tugas ke dalam jabatan dilakukan dengan mengklasifikasi tugas, fungsi, dan kewenangan ke dalam tiga bagian utama yaitu:
1)
Tugas dan fungsi koordinasi dan pelayanan administrasi Kelompok
tugas
dikelompokkan
koordinasi
lagi
kedalam
dan
pelayanan
fungsi-fungsi
dan
administrasi unsur-unsur
manajemen. a)
Tugas dan fungsi Tugas dan fungsi operasi adalah tugas yang langsung melaksanakan kewenangan termasuk visi dan misi. Tugas dan fungsi operasi dikelompokkan lagi ke dalam fungsi-fungsi utama yaitu fungsi pengaturan, fungsi pelaksanaan, fungsi pembinaan dan fasilitasi. Selanjutnya, fungsi pengaturan dikelompokkan ke dalam pengaturan yang bersifat makro dan manajerial serta pengaturan yang bersifat mikro dan teknis sedangkan fungsi pelaksanaan dikelompokkan ke dalam wilayah atau jenis pekerjaan. Selanjutnya, fungsi pembinaan fasilitasi dikelompokkan ke dalam jenis pembinaan dan fasilitasi yang dilakukan.
127
b)
Tugas dan fungsi penunjang yaitu tugas yang memberikan dukungan pada tugas dan fungsi operasi. Tugas dan fungsi penunjang dikelompokkan ke dalam jenis kegiatan yang diberikan dalam rangka menunjang pelaksanaan kewenangan Ditjen SDA.
2)
Menghindari Tumpang Tindih dan Sisa Kewenangan Penyusunan organisasi di lingkungan Ditjen SDA di masa yang akan datang juga harus mampu mencegah terjadinya tumpang tindih tugas antara satu unit organisasi dengan unit organisasi lain atau bahkan dengan unit organisasi di lain di dalam maupun di luar Departemen Pekerjaan
Umum.
Namun,
di
lain
pihak
juga
harus
diminimalisasikan adanya sisa kewenangan yang tidak terdistribusi ke dalam tugas salah satu unit organisasi yang ada. Sejalan dengan prinsip tersebut maka penyusunan struktur organisasi dilakukan dengan mengidentifikasi kewenangan yang diberikan kepada Ditjen SDA oleh peraturan perundang-undangan, visi, dan misi Ditjen SDA. Selanjutnya, kewenangan tersebut diperinci ke dalam jenis tugas. Setelah kewenangan tersebut diperinci ke dalam tugas, maka dilakukan pengelompokkan tugas kedalam jabatan-jabatan yang disusun secara hirarki dengan menggunakan struktur yang berbentuk fungsional.
3)
Rentang Kendali Salah satu faktor yang mempengaruhi penyusunan desain struktur organisasi adalah rentang kendali yang digunakan. Rentang kendali dalam organisasi yang berbentuk fungsional umumnya adalah antara setiap pimpinan membawahi minimal dua dan maksimal lima unit organisasi di bawahnya sedangkan lower manager membawahi antara lima sampai tiga puluh orang pekerja/staf. Variasi rentang kendali ditentukan oleh karakteristik tugas yang dilaksanakan. Tugas rutin yang bersifat teknis dan tidak memerlukan penafsiran yang
128
tinggi akan lebih mudah untuk dikendalikan sehingga rentang kendali yang digunakan bisa lebih lebar sedangkan tugas yang tidak rutin dan memerlukan penafsiran yang tinggi akan lebih sulit untuk dikendalikan dan memerlukan kehadiran pimpinan yang lebih tinggi sehingga rentang kendali semakin sempit.
4)
Dukungan Sumber Daya Manusia Dukungan sumber daya manusia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyusunan struktur organisasi. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia maka semakin tinggi kemampuan individu pegawai untuk menyelesaikan tugas secara mandiri. Kemampuan penyelesaian tugas secara mandiri akan turut menentukan pengelompokkan tugas dan penentuan rentang kendali pada setiap level organisasi.
Adapun langkah dan dimensi yang mempengaruhi penyusunan kelembagaan pengelolaan SDA (khususnya di lingkungan Ditjen SDA) di masa yang akan datang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar IV.1. Langkah dan Faktor Penyusunan Kelembagaan Ditjen SDA
129
Berdasarkan langkah dan prinsip-prinsip penyusunan kelembagaan Ditjen SDA yang telah diuraikan di atas, maka dalam menyusun kelembagaan pengelolaan SDA di masa yang akan datang perlu memperhatikan hal-hal spesifik sebagai berikut: a.
Mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah sungai,
b.
Menerbitkan peraturan penunjang pengelolaan SDA lainnya seperti pengaturan tentang wilayah sungai dan daerah irigasi.
c.
Memperhatikan peraturan lainnya yang berhubungan dengan hubungan pusat dan daerah seperti Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
d.
Kelembagaan organisasi pengelola SDA harus ramping, efisien, dan dinamis tetapi tetap kuat untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ditetapkan secara efektif.
Bentuk kelembagaan harus lebih terbuka
sehingga dapat merespon perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat. e.
Penyempurnaan visi dan misi Ditjen SDA disesuaikan dengan UU SDA, dan kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan SDA.
f.
Peran Ditjen SDA lebih difokuskan pada fungsi pengaturan dan penyediaan pelayanan dasar yang tidak bisa dilakukan oleh pihak swasta, seperti penerbitan peraturan sehubungan dengan pengelolaan sumber daya air, baik di tingkat pusat (nasional) maupun di tingkat daerah.
g.
Pembatasan pada rentang kendali agar tidak terlalu luas sehingga pelaksanaan tugas pengelolaan SDA dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
h.
Ditjen SDA perlu menetapkan kewenangan yang harus dilaksanakan sendiri,
didekonsentrasikan
maupun
ditugaspembantuankan,
dituangkan dalam penjabaran tugas dan fungsinya.
130
dan
i.
Ditjen SDA bukan merupakan superordinat dari stakeholder lainnya, yaitu sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan, tetapi berada pada posisi yang sejajar dan saling mendukung satu sama lain.
j.
Salah satu tugas dari Ditjen SDA adalah menerbitkan petunjuk pelaksanaan operasionalisasi pengelolaan SDA baik di tingkat pusat maupun daaerah.
k.
Pelaksanaan tugas teknis yang bersifat sementara dilakukan oleh gugus tugas yang bersifat adhoc.
Dengan demikian, maka tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Sumber Daya Air perlu disesuaikan sebagai berikut:
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air mempunyai tugas merumuskan strategi dan kebijakan, pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan pengelolaan sumber daya air. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air menyelenggarakan fungsi :
1.
2.
3. 4. 5. 6.
Perumusan kebijakan nasional sumber daya air dan penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Perumusan rencana pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program pengelolaan sumber daya air. Penetapan norma, standar, prosedur, manual, dan kriteria (NSPMK) pengelolaan sumber daya air. Pengaturan pengelolaan sumber daya air, perizinan, peruntukan, dan pembinaan pengelolaan sumber daya air secara nasional. Pemberdayaan dan pembinaan lembaga pengelolaan sumber daya air serta pembinaan pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.
131