BAB IV IBING TAYUB: EKSKLUSIFITAS SENI KAUM MENAK PRIANGAN TAHUN 1920-1950 Pembahasan bab ini dikembangkan menjadi lima sub pokok bahasan, yaitu pertama, mengenai gambaran umum kawasan Priangan yang mencakup aspek geografis dan administratif, kondisi penduduk, mata pencaharian dan kondisi sosial-budaya masyarakat Priangan tahun 1920-1950. Kedua, mengenai perhatian kaum ménak Priangan terhadap kesenian. Ketiga, mengenai latar belakang lahirnya Ibing tayub di Priangan, yang akan dibahas pula mengenai kontak budaya antara kebudayaan Jawa dan Sunda dan perubahan Tayuban Jawa menjadi Ibing tayub Priangan. Keempat, membahas Ibing tayub sebagai simbol kebangsawanan menak Priangan. Terakhir, akan dibahas mengenai pergeseran Ibing Tayub sebagai kesenian ménak menjadi Ibing Keurseus sebagai kesenian yang bisa dinikmati dari semua kalangan masyarakat. 4.1. Gambaran Umum Kawasan Priangan Gambaran umum Kawasan Priangan meliputi keadaan geografis dan administratif serta keadaan demografi penduduk yang memaparkan jumlah penduduk serta keadaan sosial budaya masyarakat Priangan pada tahun 19201950 dengan tujuan memperoleh gambaran mengenai karateristik masyarakat Priangan dengan keberadaan Ibing Tayub yang berkembang pada periode tersebut.
51
52
4.1.1. Kondisi Geografis dan Administratif Priangan Pembahasan tentang keadaan geografis kawasan Priangan dimaksudkan untuk mengetahui kaitan antara kondisi geografis dengan keberadaan Ibing Tayub Priangan. Wilayah Keresidenan Priangan pada awal abad ke-19 luasnya kurang lebih seperenam pulau Jawa. Di sebelah utara berbatasan dengan Keresidenan Batavia dan Cirebon, di sebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan Banyumas, di sebelah selatan dan sebelah barat daya berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Banten (Hardjasaputra, 1985: 21). Wilayah Priangan sangat subur karena merupakan daerah vulkanis yang dibentuk oleh gunung-gunung berapi dengan ketinggian antara 1800-3000 meter diatas permukaan laut seperti Gunung Gede, Galunggung, Papandayan, Tangkuban Perahu, Guntur dan Cikuray. Selain kawasan pegunungan, Keresidenan Priangan juga memiliki sungai-sungai besar seperti Citarum, Cisokan, Cimanuk dan Citanduy. Diantara sungai tersebut, sungai Cimanuk merupakan sungai yang cukup penting, bahkan sudah dikenal peranannya sejak zaman Kerajaan Sunda karena di muara sungai ini ada pelabuhan dagang yang cukup ramai sekaligus merupakan pembatas kerajaan. Di aliran Citarum terdapat gudang-gudang kopi milik VOC (Kartodirdjo dalam Lubis, 1998: 26). Secara administratif, wilayah Priangan mengalami beberapa kali reorganisasi wilayah, dimulai sejak masa kekuasaan Mataram, VOC, Hindia Belanda hingga sekarang dengan nama provinsi Jawa Barat.
53
1.
Priangan pada Masa Mataram
Penyerahan Priangan kepada Mataram dilatar belakangi oleh perbuatan Geusan Ulun yang menjalin hubungan terlarang dengan Ratu Harisbaya yang merupakan permaisuri Panembahan Ratu Cirebon. Akibat perbuatan Geusan Ulun tersebut, terjadilah perang antara Sumedanglarang dan Cirebon, yang dimenangkan oleh Cirebon. Sebagai konsekuensi dari kekalahan tersebut, Sumedanglarang menyerahkan Majalengka kepada Cirebon (Narawati, 2003: 144). Penyerahan wilayah Majalengka tersebut menyebabkan Sumedanglarang menjadi kehilangan kekuatan dan pada akhirnya menjadi tidak berdaya terhadap ancaman yang datang dari Kerajaan Mataram. Di bawah pemerintahan pengganti Geusan Ulun, yakni Aria Suriadiwangsa I, Sumedanglarang harus takluk kepada kekuasaan Mataram pada tahun 1620. Sejak peristiwa tersebut Sumedanglarang dirubah namanya menjadi Priangan (Lubis, 1998: 30). Selanjutnya Sultan Mataram membagi-bagi wilayah Priangan menjadi kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati. Untuk mengawasi dan mengkoordinasikan para bupati tersebut, salah seorang bupati yang dianggap terkemuka atau cukup berpengaruh diangkat menjadi wedana bupati. Wedana bupati pertama adalah Rangga Gempol I (1620-1625), yang kedua adalah Dipati Ukur (1625-1629), dan yang terakhir adalah Pangeran Rangga Gempol II (1641-1656). Pada masa Dipati Ukur berkuasa, terjadi peristiwa penting yang berakibat pada reorganisasi wilayah yang dikuasainya. Peristiwa tersebut terjadi ketika Dipati Ukur bersedia untuk membantu Mataram merebut Batavia dari tangan
54
VOC, akan tetapi ia menemui kegagalan. Kegagalan tersebut berakibat pada pengejaran dan penahanan yang dilakukan Mataram terhadap Dipati Ukur. Untuk mengembalikan stabilitas politik, Mataram melakukan reorganisasi wilayah Priangan yang meliputi daerah-daerah kekuasaan Sumedanglarang yaitu Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur, ditata kembali menjadi empat kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang, dan Bandung. Daerah Galuh kemudian dipecah menjadi Bojonglopang, Imbanagara, Utama, Kawesam, dan Banyumas. Selain itu, di Karawang dibangun koloni-koloni yang penduduknya didatangkan dari Jawa (Lubis, 1998: 30). Reorganisasi wilayah yang dilakukan oleh
Sultan Agung membagi
wilayah Priangan atas beberapa pusat kekuasaan yang dipimpin oleh para bangsawan lokal. Kebijakan tersebut dilakukan untuk memberi semacam balas jasa kepada mereka yang membantu dalam usaha penangkapan Dipati Ukur. Pengangkatan para penguasa lokal tersebut dengan jabatan ‘Mantri Agung’ (yang pada perkembangan selanjutnya disebut bupati) dinyatakan dalam “Serat Piyagem” yang berbunyi sebagai berikut: “Penget serat piyagem Sultan Mataram, kagaduhaken dening Kiai Ngabehi Wirawangsa kang prasetya dateng ingsun, sun jenengaken Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha Sukapura, sun jangjeni pitung panjenengan Tumenggung Wiraangunangun Bandung, Tumenggung Tanubaya Parakanmuncang, kang sami prasetya maring ingsun...” Artinya: Piagam dari saya, Sultan Mataram, diberikan kepada Ngabehi Wirawangsa yang tetap setia kepada saya. Saya mengangkat Tumenggung Wiradadaha menjadi Mantri Agung di Sukapura, Tumenggung Wiraangunangun menjadi Mantri Agung di Bandung, dan Tumenggung Tanubaya di Parakanmuncang yang mereka juga tetap setia kepada saya...” (Badan Pengembangan Informasi Daerah Kabupaten Bandung, 2003: 1617).
55
2.
Priangan pada Masa VOC Berakhirnya kekuasaan Mataram di Priangan ditandai dengan perjanjian
antara Mataram dan VOC pada tanggal 19-20 Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705. Dalam perjanjian pertama disebutkan bahwa Mataram menyerahkan wilayah Pringan Timur kepada VOC, sedangkan pada perjanjian berikutnya Mataram menyerahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat kepada VOC. Mengenai melemahnya kekuatan Mataram dan penyerahan Priangan ke tangan VOC, lubis (2000) mengemukakan: “Setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645, Mataram berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut internal yang berlarutlarut dalam kerajaan dan serangan dari luar. Kompeni (VOC) campur tangan dalam kemelut ini sehingga sedikit demi sedikit wilayah Mataram jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni. Wilayah Priangan jatuh ke tangan Kompeni dalam dua tahap, pertama Kompeni memperoleh wilayah Priangan Barat dari Sultan Amangkurat II dalam perjanjian yang disepakati pada 19-20 Oktober 1966 sebagai imbalan atas bantuannya memadamkan pemberontakan Trunajaya. Kedua, Kompeni memperoleh wilayah Priangan Timur dan Cirebon dalam Perjanjian 5 Oktober 1705 sebagai imbalan dari Pngeran Puger (Pakubuwana I) untuk membantu merebut tahta Mataram dari Sunan Emas (Lubis, 2000: 85). Setelah VOC
menerima Priangan dari Susuhunan Amangkurat II, di
daerah ini diberlakukan sistem pemerintahan indirect rule yang kemudian dikenal dengan Preangerstelsel. Sistem ini diberlakukan oleh VOC karena memang tujuan pokok dari penguasaan Priangan bukanlah untuk melakukan pemerintahan, tapi lebih kepada mengambil hasil bumi dan hasil perdagangan. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada bupati yang telah turun temurun menjalankan pemerintahan di wilayahnya masing-masing. Mereka bertugas menjalankan perintah VOC yang berkaitan dengan wajib
56
tanam tanaman komoditas perdagangan. Mengenai hal pemerintahan, VOC tidak ikut mencampuri kecuali yang berkaitan dengan urusan perdagangan, pengadilan, dan pengangkatan serta pemecatan seorang pejabat (Kartodirdjo dalam Lubis, 2003: 273-274). Pada tahun 1706 Pangeran Aria Cirebon dingkat sebagai pengawas (overseer) bupati-bupati Priangan, kecuali Karawang dan Cianjur yang sudah dianggap termasuk wilayah Batavia. Tugas dari Pangeran Aria Cirebon adalah mengawasi dan memimpin bupati-bupati di Priangan agar patuh pada kewajiban-kewajibannya kepada Kompeni. Ketika masa VOC ini, Priangan menjadi salah satu sumber hasil bumi utama dengan adanya program yang disebut Preangerstelsel (Sistem Priangan), yang utamanya menghasilkan kopi. Sikap para bupati Priangan kepada VOC menunjukan loyalitas yang sama seperti yang mereka tunjukan kepada Sultan Mataram yang menguasai Priangan selama kurang lebih 50 tahun (1620-1677). Ketika VOC masuk ke Priangan, para bupati menerima dengan tangan terbuka, karena pemetrintah VOC nyatanya tidak menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki para bupati ketika masih dibawah kekusaan Mataram. Sikap VOC tersebut dianggaap menguntungkan bagi bupati Priangan sehingga mereka merasa tidak keberatan untuk menunjukan sikap yang loyal terhadap VOC. Barulah setelah kekuasaan beralih ke tangan Hindia-Belanda yang berangsur-angsur mengurangi kekuasaan mereka, sikap melawan bahkan baik memberontak baik secara terselubung maupun terang-terangan muncul di beberapa Kabupaten di Priangan.
57
3.
Priangan pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda-Inggris-Hindia Belanda Pada tahun 1830 Priangan berpindah tangan dari kekuasaan VOC kepada
Pemerintah
Hindia
Belanda,
yang
juga
diikuti
reorganisasi
wilayah
pemerintahan. Gubernur Jenderal H. W Daendels pada tahun 1808 membagi pulau Jawa atas sembilan Prefectuur, yang masing-masing dipimpin seorang prefect. Ketika Daendels meletakan jabatannya, wilayah Priangan sebenarnya hanya terdiri dari kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Parkan muncang, dan
Karawang.
Wilayah
ini
dikenal
sebagai
Prefectuur
Preanger-
Regentschappen. Daerah Bogor digabungkan ke Batavia, kemudian daerah Priangan lainnya yaitu Limbangan Sukapura dan Galuh dimasukan ke wilayah Cirebon.
Dasar
utama
pembagian
wilayah
Priangan
tersebut
adalah
dipertahankannya Preangerstelsel sebagai warisan dari VOC, khususnya penanaman wajib kopi yang sangat menguntungkan bagi pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu Daendels memisahkan daerah surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, Parkanmuncang) dengan daerah minus kopi (Limbangan, Suapura, Galuh) yang digabung ke Cirebon (Lubis et al., 2003: 346-347). Ketika Inggris berkusa pada tahun 1811-1816, Thomas Stamford Raffles, yakni seorang Letnan Gubernur Inggris yang ditunjuk sebagai wakil pemerintah Inggris di Priangan memperkenalkan istilah keresidenan sebagai pengganti landdorst-ambt. Sejak saat itu dikenal istilah residen sebagai pemimpin keresidenan yang berkedudukan di Ibukota Keresidenan. Pada akhir masa pemerintahan Inggris, pulau Jawa terbagi atas 16 Keresidenan yang salah
58
satunya adalah Keresidenan Priangan yang beribukota di Cianjur. Kabupaten Karawang digabung ke Keresidenan Bogor. Pada masa pemerintahan Raffles pula diperkenalkan jabatan baru yakni wedana yang mengepalai distrik. Setelah beberapa dekade kabupaten-kabupaten yang ada di Priangan mengalami reorganisasi hingga pada tahun 1859 menjadi lima kabupaten yaitu: Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Reorganisasi selanjutnya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871, dengan memberlakukan kebijakan Prenger Reorganisatie, yang membagi Priangan kedalam sembilan Afdeeling yang masing-masing dikepalai asisten residen. Kesembilan afdeeling tersebut adalah afdeeling Bandung, afdeeling Cicalengka, afdeeling Cianjur, afdeeling Sukabumi, afdeeling Sukapura,
afdeeling
Sukapura
Kolot,
afdeeling
Sumedang,
afdeeling
Tasikmalaya, dan afdeeling Limbangan (Natanagara dalam Lubis, 1998: 44). Selanjutnya pada tahun 1901 kembali dilakukan reorganisasi wilayah, dimana terjadi penggabungan wilayah afdeeling sehingga tersisa tiga afdeeling saja, yakni afdeeling Bandung, Sukapura dan Limbngan. Pada tahun 1913 nama Kabupaten Limbangan dirubah menjadi Kabupaten Garut, Kabupaten Sukapura diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya.
59
Gambar 4.1 Peta Wilayah Priangan Tahun 1817 Sumber: Lubis. (1998). Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. Halaman 150.
Selanjutnya kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1926 membagi Pulau Jawa ke dalam tiga Provinsi. Satu dari tiga provinsi tersebut adalah Province West-Java yang beribu kota di Batavia. Provinsi ini dibagi menjadi 5 Keresidenan (Banten, Batavia, Buitenzorg/Bogor, Priangan, dan Cirebon), 18 Kabupaten, dan 6 kota praja. Keresidenan Priangan terdiri atas Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmlaya, dan Ciamis. Kabupaten Cianjur dan Sukabumi dimasukan ke Keresidenan Bogor. Pemerintahan di kabupaten
dijalankan
oleh
dewan
kabupaten
dan
bupati,
sedangkan
60
pemerintahan di kota praja dijalankan oleh dewan kota (gemeenteraad) dan wali kota (burgermeester). Keresidenan Priangan kembali mengalami reorganisasi pada tahun 1942. Priangan dibagi menjadi tiga, yakni afdeeling Priangan barat (terdiri dari Kabupaten Sukabumi dan Cianjur) yang beribukota di Sukabumi, afdeeling Priangan tengah (Kabupaten Bandung dan Sumedang) beribukota di Bandung, dan afdeeling Praingan timur (Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) beribukota di Tasikmalaya.
Gambar 4.2 Peta wilayah Priangan sekitar tahun 1925 Sumber: Lubis. (1998). Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. Halaman 150.
61
4.1.2.
Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk atau masyarakat merupakan obyek dari suatu pembangunan, oleh karena itu untuk menilai pembangunan dan pengembangan suatu daerah harus melihat komposisi kualitas dan kuantitas masyarakat atau penduduknya. Daerah yang memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai akan mengalami kemajuan terhadap perkembangan dan pembangunan bagi daerahnya begitupun sebaliknya. Tanah yang subur di Priangan bukan hanya menguntungkan penduduk pribumi yang mendiaminya. Bangsa Belanda datang ke Priangan sejak abad ke17 dan meningkat terutama pada abad ke-19. Menurut statistik, penduduk Priangan pada tahun 1815 berjumlah 194.048 jiwa dan pada tahun 1930 berjumlah 4.639.469 jiwa. Dalam jumlah terakhir ini termasuk orang Eropa sebanyak 27.231 jiwa (Lubis, 1998: 26). Pada tahun 1917, luas tanah pertanian di daerah Priangan 1.052.644 ha, diantaranya 407.566 ha berupa sawah. Penduduknya berjumlah kurang-lebih 3.300.000 jiwa, terdiri dari 12.000 orang Eropa, 22.000 orang Timur asing dan selebihnya penduduk pribumi (Widodo: 2009). Mata pencaharian untama penduduk Priangan pada mulanya adalah berladang atau ngahuma, baru kemudian bersawah. Ciri yang menonjol pada masyarakat peladang adalah kebiasaan selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan berladang ini turut berpengaruh terhadap bangunan tempat tinggal. Mereka tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh. Kemungkinan besar, itulah yang menyebabkan mengapa di Priangan tidak
62
banyak peninggalan berupa candi atau keraton seperti di Jawa Tengah (Lubis, 1998: 26). Berdasarkan data dari Arsip Nasional Republik Indonesia, menyebutkan bahwa areal pesawahan di wilayah Priangan tengah berjumlah ± 124.290 bau (1bau = 7.000 meter).
Distrik Bandung, Banjaran, Soreang, Ciparay,
Sumedang, Cimahala dan Tomo, karena airnya cukup, sawah-sawahnya dapat ditanami padi sampai
3 kali dalam 2 tahun. Distrik Bandung, Ciclengka,
Cimahala, dan Tomo tergolong daerah yang penghasilan padinya tertinggi. Di daerah Limbangan, Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur hasil pertanian dapat dipanen 3 kali dalam waktu 2 tahun. Di daerah lereng pegunungan, karena jarang ditemukan air, orang menanam padi ditanah kering yang disebut tipar, ceger, gaga atau huma walukuan. Di tanah kering ini penghasilan petani diperoleh dari penanaman singkong, kacang tanah, kentang, cabai, jagung dan kedelai. Dari tanaman singkong akan dibuat tepung tapioka yang hasilnya akan dikirim ke Batavia, Singapura dan Eropa. Pembuatan gaplek (dari bahan singkong) sudah biasa dilakukan oleh orang Priangan. Di daerah Cianjur, Burangrang, Tangkubanparahu, Cisondari, Banjaran, Majalaya, Ciparay, Tasikmalaya, Manonjaya dan Limbangan banyak ditanam tembakau. Penduduk juga banyak yang memiliki kebun buah-buahan seperti mangga, rambutan, duku dan coklat. Di Garut yang terkenal adalah jeruk dan vanili. Selain pertanian, perekonomian masyarakat Priangan juga bergerak di sektor peternakan.
63
4.1.3. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Priangan Masyarakat desa Priangan terbagi dalam tiga golongan sosial yang besar yaitu golongan atas yang terdiri atas elit desa, bupati, dan golongan bawah yang terdiri atas petani miskin, buruh tani, tukang, dan sebagainya. Desa-desa terbagi menurut stratifikasi sosial yang didasarkan atas pemilikan tanah. Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan sumber kekayaan utama, sehingga orang yang memiliki tanah luas mempunyai prestise yang tinggi. Masyarakat desa dibagi atas 3 lapisan, yaitu penduduk asli, pendatang dan orang numpang. Penduduk asli disebut pribumi, jalma bumi, bumen wantok, kuren tani atau tani cekel. Mereka merupakan golongan inti yang nenek moyangnya menjadi pendiri desa, sehingga mereka memiliki sawah, pekarangan dan rumah. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang penuh sebagai warga desa, misalnya membayar pajak dan kerja bakti terhadap Negara. Pada umumnya mereka merupakan tulang punggung perekonomian petani serta sebagai golongan elit diantara penduduk desa (Widodo: 2009). Kepemimpinan desa dalam berbagai macam jabatan seperti kepala desa, pamong desa dan pegawai rendahan. Para haji dan kyai termasuk golongan masyarakat ini. Mereka sering disebut ajengan yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat serta dipandang sebagai pemimpin yang beribawa. Karena kepemimpinannya di bidang keagamaan, mereka adalah orang kaya di desa yang acapkali melebihi kekayaan kepala desanya. Para ajengan ini sering meminjami uang atau bibit padi kepada petani miskin dengan jaminan padi pada
64
saat waktu panen. Kondisi seperti demikin mengakibatkan loyalitas petani kepada ajengan cukup kuat. Dalam hal pendidikan, sejumlah sekolah telah derdiri sejak tahun 1910 dengan jumlah sekolah negeri sebanyak 69 dengan jumlah murid 10.107 orang laki-laki dan 828 perempuan. Pada tahun 1920, jumlahnya meningkat, terdapat sekitar 175 sekolah dengan jumlah murid 21.622 orang murid laki-laki dan 4.530 orang murid perempuan. Berikut disajikan dalam bentuk tabel: Tabel 4.2 Jumlah Sekolah Beserta Murid di Priangan Pada Tahun 1910-1920 Tahun
Jumlah sekolah
Murid perempuan
Murid laki-laki
1910
Sekolah negeri: 69
828
10.107
Sekolah negeri: 175
4.530
21.622
Sekolah netral
1.416
1.566
Sekolah zending
432
1.246
1920
Sumber: Diolah dari Kartodirdjo, S. (1977). Memori Serah Jabatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman LXIV
Berdasarkan tabel diatas, jumlah siswa laki-laki sebanyak 23.434 dan jumlah siswa perempuan sebanyak 6.378, atau sekitar 29.812 orang siswa secara keseluruhan. Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat Priangan memiliki peningkatan motivasi dalam pendidikaan. Hal ini dapat dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah siswa sekolah dalam setahun pertama berdirinya sekolahsekolah di Priangan.
65
Mengenai jalur transportasi dan pembangunan infrastruktur di Priangan, pada awalnya hanya ditujukan untuk kelancaran pendistribusian hasil perkebunan. Dengan dibangunnya perkebunan-perkebunan di Priangan pada sekitar tahun 1902, jaringan jalan ‘kontrak’ untuk prasarana angkutan hasil perkebunan pun dibangun. Pembangunan jalan perkebunan jalan raya, jalan kereta api yang menghubungkan beberapa kota di Priangan pada akhir abad ke19 membuka isolasi daerah pedalaman Priangan, sekaligus juga menunjang perkembangan kota. Rel kereta Batavia-Buitenzorg-Cianjur-Bandung dibangun tahun 1884. Kemudian pembangunan diteruskan menuju Cilacap melalui Cibatu (Garut), Tasikmalaya dan Banjar. Pada tahun 1918-1921 dibuat pula jalur kereta api menuju daerah-daerah perkebunan yaitu Bandung-Rancaekek-Tanjungsari, Bandung-Ciwidey, dan Bandung-Majalaya-Pangalengan. Disamping para pegawai
Binnenlandsch-Bestuur,
orang-orang
Belanda
yang
menjadi
administrator atau pemilik perkebunan ikut memperkenalkan budaya Barat (Lubis, 1998: 28-29).
4.2. Perhatian Kaum Ménak Priangan Terhadap Kesenian 4.2.1 Ménak Sebagai Golongan Terhormat di Priangan Istilah ménak merupakan salah satu kosa kata yang populer bagi masyarakat Sunda, untuk menunjukkan satu lapisan mayarakat yang memiliki hak yang istimewa. Di kalangan masyarakat luas kata ménak kemudian “dikirata-basakan” sebagai dimémén-mémén diénak-énak, artinya mereka yang harus diladeni segala keperluannya sehingga hidupnya menjadi enak (Ruswita
66
dalam Lubis, 1998: vii). Bagi masyarakat somah atau cacah, perilaku, sikap serta bahasa untuk ménak memiliki tatacara yang khusus. Dalam bahasa (Sunda) ada yang disebut undak-usuk yang mengatur bilamana somah berbicara kepada ménak harus menggunakan bahasa halus (basa lemes) sementara ménak terhadap somah cukup menggunakan bahasa kasar (basa loma) saja. Dalam tatacara berprilaku dikenal ungguh-ungguh yang mengatur tata cara berperilaku bagi kalangan somah kepada ménak, jika tatacara tersebut dilanggar, yang bersangkutan akan disebut tidak tahu adat, dan ménak pun akan marah. Dalam konteks budaya Jawa, ménak menunjuk pada kelompok aristokrasi lokal yang terdiri atas bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Namun, pada perkembangan lebih lanjut, di Sunda khususnya kata ménak dipergunakan untuk menyebut semua orang yang sangat dihormati, baik para bangsawan maupun pejabat tinggi. Lebih lanjut, Surahman berpendapat: “Dalam konteks budaya Sunda, yang disebut golongan priyayi terutama adalah para ménak yang bekerja untuk pemerintah (gubernement), dimana susunannya pada tingkat kabupaten adalah Patih, Onder Collecteur, Jaksa, dan Penghulu. Sedangkan di tingkat distrik terdiri dari Wedana dan Mantri Ulu-ulu (pengairan). Di tingkat onderdistrik yang dianggap priyayi adalah Camat” (Surahman, 2010). Kaum ménak menduduki posisi penting dalam hierarki status tradisional karena sebagian besar mereka adalah kaum birokrat, dengan begitu kaum ménak membangun kebudayaan mereka berdasarkan kepentingan yang erat untuk status, kehalusan, sikap sopan santun, dan untuk urusan seni murni. Pendek kata mereka adalah pelindung dan pendukung seni dan adat kebiasaan menurut polapola yang terdapat dalam kehidupan aristrokratis. Untuk membedakan antara golongan ménak dan golongan cacah, diberlakukan beberapa pembedaan dalam
67
beberapa aspek misalnya: Cara berpakaian, hubungan ikatan perkawinan (selalu mensyaratkan: babat, bebet, bibit dan bobot), meniru kebudayaan keraton, bangunan tempat tinggal (termasuk ukuran, letak, serta susunannya), dan memelihara sejumlah besar abdi (pangawula). Bagi masyarakat Priangan, bupati yang merupakan golongan ménak pangluhurna memiliki otoritas penuh dan merupakan pemimpin tradisional yang semata-mata berdasarkan status, kekayaan dan keturunan. Mereka menduduki posisi tertinggi baik dalam hirarki pemerintahan maupun dalam struktur masyarakat. Bupati adalah penguasa dengan otoritas tertinggi untuk memerintah, melindungi, mengadili, memelihara keamanan dan ketertibaan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya seperti demang, patih, kepala-cutak (wedana), camat, patinggi (lurah) dan lain-lain. Pejabat-pejabat tersebut biasanya berasal dari keluarga bupati sendiri (Hardjasaputra, 1985: 35). Mengenai gaya hidup, kaum ménak memiliki gaya hidup penuh kebesaran dengan meniru gaya hidup raja-raja (grand style). Untuk mendukung gaya hidup yang demikian, diperlukan kekayaan. Ukuran kekayaan seseorang dapat dilihat dari bentuk rumah, gaya berpakaian, konsumsi barang-barang, dan sebagainya. Besarnya kekuasaan, wibawa, pengaruh, dan kharisma pribadi bupati di Priangan dapat digambarkan melalui acara senenan atau juga seba. Simbolsimbol status, atribut-atribut kebesaran, mitos genealogi, pulung (wahyu), upacara kebesaran, acara-acara khusus, hak istimewa dan lain-lain adalah bentuk simbolis dan bentuk nyata yang memperkokoh kedudukan, wibawa, dan
68
pengaruh bupati sebagai penguasa daerah. Hal ini berarti Mataram telah menumbuhkan feodalisme pada diri bupati, sehingga hubungan antara bupati dengan rakyat pun terjalin dalam ikatan-ikatan feodal yang melembaga menjadi tradisi (Sujana, 2002: 35). Mengenai besarnya kekuasaan seorang bupati Priangan, Suriawidjaja mengungkapkan: “Bupati-bupati bertindak seperti raja-raja, daerah kekuasaannya (kabupaten) merupakan kerajaan kecil. Susunan pemerintahannya sangat feodal. Kekuasaan bupati mutlak, rakyat harus tunduk kepada segala perintahnya. Budaya feodalisme Mataram menempatkan penguasa (bupati) di puncak piramida kekuasaan yang selalu harus diturut dan diagungagungkan” (Suriawidjaja, 2001: 5). Seperti juga golongan ménak yang populer di masyarakat Priangan, masyarakat Jawa mengenal istilah priyayi untuk menyebut golongan terhormat dalam masyarakat layaknya kaum ménak di Priangan. Golongan tersebut menempati tempat yang istimewa dalam stratifikasi sosial masyarakat Jawa. Moertono menguraikan bahwa priyayi selama zaman Kerajaan Mataram adalah sebagai suatu golongan masyarakat yang terdiri dari pejabat-pejabat kerajaan yang menempati kedudukan antara raja dan putra-putra mahkota dan seluruh masyaraat lainnya (Moetono dalam Scherer, 1985: 35). Pendapat serupa dikemukakan oleh Sosrodinardjo yang mencoba menelusuri istilah priyayi yang berasal dari para-yayi yang artinya saudara lakilaki dan perempuan dari raja. Priyayi-priyayi ini merupakan suatu golongan tersendiri dalam masyarakat. “...(golongan priyayi) nampaknya telah dibedakan dari seluruh masyarakat lainnya karena halus kebudayaannya, tinggi kemaampuan sastranya, sangat suka kepada pandangan-pandangan abstrak, atau semata-mata oleh karena
69
pelayanan-pelayanan yang mereka laksanakan atas nama tuannya, penguasa daerahnya. Pelayanan-pelayanan seperti itu dapat terjadi karena ia seorang bupati dari daerah-daerah yang terpencil, menteri-menteri di istana, ahliahli militer, penasihat-penasihat atau semata-mata karena melakukan tugastugas sastra seperti ahli menulis, penyair, atau penerjemah” (Scherer, 1985: 35-36). Pada dasarnya priyayi adalah status sosial yang didapat melalui upayaupaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabatkerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi (Ahmad, 2009). Meskipun stratifikasi sosial sudah melekat pada masyarakat yang membedakan antara golongan ménak atau priyayi, akan tetapi kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal masih mungkin terjadi. Pertama, melalui pendidikan. Seorang cacah atau santana yang berpendidikan Barat dapat duduk dalam bangku jabatan pangreh praja. Sebagaimana dikemukakan oleh Lubis: “...Bila sudah jadi pejabat, ia boleh mengajukan permohonan untuk mendapat gelar mas ataupun radén dari Pemerintah Hindia Belanda. Dengan cara ini seorng laki-laki cacah bisa jadi santana; demikian pula seorang santana bisa menjadi ménak. Tidak mengherankan dalam beberapa surat kabar yang terbit waktu itu, kita bisa membaca berita tentang surat keputusan pemerintah tentang pemberian gelar kebangsawanan kepada ménak-ménak baru (Lubis, 1998: 69). Peluang berikutnya untuk melakukan mobilitas vertikal adalah dengan perkawinan. Wanita santana dapat menaikan derajat keturunannya menjadi
70
ménak bila ia menikah dengan laki-laki ménak. Melalui perkawinan pula seorang ménak luhur bisa meningkatkan keturunannya menjadi ménak pangluhurna. Adanya mobilitas sosial dari golongan cacah menjadi ménak tidaklah mudah diterima begitu saja oleh kalangan ménak lama. Misalnya, R.A.A Wiranatakusuma V, Bupati Bandung yang berpendidikan Barat dan dikenal sebagai bupati yang progresif menyatakan dalam surat kabar Soerapati (tanggal 5 September 1925 no. 33); “sama rata sama rasa itu tidak moengkin, moestahil tjatjah disaroekeun djeung ménak, moal bisa lantaran geus aja ti loh mahfudna (artinya, sama rata sam rasa itu tidak mungkin, mustahil cacah disamakan dengan ménak, tidak akan bisa karena sudah surtan takdir dari lauhul mahfud) (Lubis, 1998: 70). Pidato tersebut mengindikasikan bahwa golongan ménak tidak mengakui dan tidak mau disamakan dengan mereka yang mendapatkan gelar ménak dengan cara yang demikian. Terlepas dari motivasi untuk menjadi ménak, yang jelas bila seseorang yang bukan berasal dari golongan ménak duduk dalam pangreh praja, ia bisa menjadi ménak. Semakin tinggi jabatan dalam birokrasi semakin tinggi pula derajatnya. Dalam perjalanan sejarahnya, golongan ménak Priangan dibedakan menjadi ménak heubeul dan ménak anyar. Menak ini, menurut Nina H. Lubis (1998) dan A. Sobana Hardjasaputra (1985), ménak ini terdiri dari keluargakeluarga termasyhur yang umumnya mengakui Prabu Siliwangi sebagai karuhun-nya. Selain itu setelah dan akibat hegemoni Mataram, antara tahun 1620-an sampai 1677, kaum menak ini mulai memerintah kabupaten-kabupaten Priangan pada awal abad ke-17. Di antara menak heubeul yang paling tinggi
71
statusnya adalah bupati. Pada zaman kekuasaan Mataram, bupati-bupati di Priangan merupakan elit-elit yang berkuasa serta memiliki otoritas untuk memerintah daerah kekuasaannya. Hal ini sebagai akibat dari sistim pemerintahan tidak langsung dari kerajaan Mataram, sebab lokasinya jauh dari pusat kekuasaan Mataram. Selain menak heubeul, ada pula yang disebut menak anyar, yaitu kaum yang kedudukannya ada dibawah menak heubeul tapi mengalami mobilitas vertikal karena telah menerima pendidikan ala Barat. Hal ini tentu menyebabkan goyahnya posisi menak heubeul. Apalagi kemudian banyak kaun menak handap yang memanfaatkan jalur pendidikan, sehingga munculah kemudian menak intelektual (Kurnia, 2009). Nina Lubis menyebutkan bahwa golongan menak dapat diklasifikasikan menjadi menak gede atau menak luhur, menak sedeng, dan menak handap atau menak leutik. Seseorang tergolong menak luhur bila tempat tinggalnya memiliki pendopo, dapat diperkirakan yang tergolong menak luhur paling tidak menjabat sebagai wedana, sedangkan yang tergolong menak leutik adalah mereka yang memiliki jabatan asisten wedana dan mereka yang memiliki jabatan yang lebih rendah. Kemudian ada klasifikasi yang bersifat relatif didasarkan atas kedudukan yang menilainya. Misalnya, di mata seorang lurah, wedana dianggap menak tinggi, sedangkan di mata seorang camat (asisten wedana), wedana dianggaap menak sedang. Bupati bagi semua orang dianggap menak pangluhurna (menak paling tinggi) (Lubis dalam Sujana, 2002: 32).
72
Dalam lingkungan masyarakat tradisional, para ménak selaku volkshoofd (kepala rakyat) berhak menerima upeti dalam berbagai bentuk dari rakyat secara terus-menerus dan leluasa hingga tidak pernah kekurangan lagi. Ketika berada di bawah kekuasaan VOC, sumber materialnya diperoleh dari ‘komisi’ selaku agen VOC dalam pengumpulan hasil kopi (Preangerstelsel). Kemudian sejak bupati berkedudukan sebagai ambtenaar (pegawai dalam negeri) yang tertinggi dalam birokrasi pribumi, baik berdasarkan tingkat kepangkatan maupun besar penghasilannya, membut kaum ménak semkin besar wibawanya, dan terpandng karena kekayaannya. Kesemuanya itu
berlandaskan pada posisi politiknya
selaku penguasa tertinggi di wilayahnya. Jadi, faktor ekonomi, sosial dan politik, ialah kekayaan status dan kekuasan, kesemuanya mendukung gaya hidup menonjol (Kartodirdjo dalam Lubis, 1998: x). Pada awal abad ke-20, dengan semakin berkembangnya kebutuhan pemerintah Hindia Belanda akan birokrasi pribumi, orang-orang awan di luar garis darah biru mulai mendapat kesempatan untuk mencapai jabatan administratif tertentu dalam birokrasi pemerintahan, melalui jalur pendidikan dan kemampuan berbahasa Belanda. Jabatan juru tulis, jaksa, petugas pajak, guru, dan mantri umumnya dapat ditempati setelah mereka lulus pendidikan. Namun tetap terdapat pembatasan tak resmi untuk jabatan birokrasi tinggi seperti bupati, dimana tidak saja mempertimbangkan kecakapan dan ijazah resmi melainkan juga harus dari kalangan berdarah biru. Golongan priyayi dengan demikian berkembang menjadi dua lapisan, yaitu golongan priyayi tinggi (keturunan ningrat) dan priyayi rendah (priyayi sekolahan).
73
4.2.2 Kesenian di Lingkungan Istana Kesenian istana (yang sering disebut sebagai bagian dari tradisi besar) adalah kesenian yang dianggap bermutu tinggi dan indah yang sangat berorientasi kepada konsep nilai ‘halus’ dan ‘kasar’. Sistem nilai ini menjadi sumber ilham pandangan dunia sistem aristokrat (Van Den Berg dalam Lubis, 1998: 238). Tidak mengherankan bila kaum ménak luhur yang selalu menekankan status menjadikan kesenian istana sebagi model yang perlu diikuti. Perbedaan paling jelas antara tarian istana dengan tarian rakyat tampak dalam tradisi tari Jawa. Strata masyarakat Jawa yang berlapis-lapis dan bertingkat tercermin dalam budayanya. Jika golongan bangsawan kelas atas lebih memperhatikan pada kehalusan, unsur spiritual, keluhuran, dan keadiluhungan; masyarakat kebanyakan lebih memperhatikan unsur hiburan dan sosial dari tarian. Sebagai akibatnya tarian istana lebih ketat dan memiliki seperangkat aturan dan disiplin yang dipertahankan dari generasi ke generasi, sementara tari rakyat lebih bebas, dan terbuka atas berbagai pengaruh. Diantara cabang-cabang kesenian yang akrab di kalangan ménak adalah seni sastra. Ada beberapa karya sastra dan karya sastra sejarah yang ditulis oleh ménak yang dekat hubungannya dengan bupati atau lingkungan pemerintah tradisional. Misalnya, Raden Adipati Suryalaga yang menulis Kitab Pancakaki adalah putra Bupati Sumedang, Raden Jayakusumah yang menulis Sajarah Bandung adalah patih Batulayang. R.A.A Martanagara yakni Bupati Bandung (1893-1918), merupakan sastrawan yang telah berhasil menulis banyak karangan yang tergolong karya sastra maupun karya sastra sejarah (oleh Lubis
74
dikatakan sebagai historiografi tradisional) sehingga dianggap memberikan kontribusi terhdap perkembangan kesusastraan Sunda tahun 1920-an. Karyakarya R.A.A Martanagara yang populer diantaranya Wawacan Batara Rama, Wawacan Angling Dharma, Babad Sumedang, Babad Nusa Jawa yang ditulis dalam bentuk puisi. Mengenai isi dari karya sastra sejarah yang ditulis oleh kaum ménak, pada umumnya mengisahkan sejarah kabupaten yang bertalian dengan para bupati, keluarga, dan lingkungan bupati, serta hal-hal yang ada kaitannya dengan masalah pemerintahan. Karya-karya tersebut bukan ditulis semata-mata sebagai penulisan sejarah, melainkan sebagai buku pegangan bupati dan keluarganya. “...buku pegangan ini memiliki dua fungsi; pertama, untuk kepentingan keluarga agar identitas mereka jelas atau untuk memperkokoh ikatan kekerabatan; kedua, berfungsi sebagai alat politis karena salah satu persyaratan pemerintah bagi calon pejabat pangreh praja adalah adanya silsilah si calon yang menunjukkan kedekatan hubungan dengaan tokoh masyarakat yang terkemuka, seperti raja atau bupati, baik yang masih memerintah maupun yang telah meninggal (Lubis, 1998: 240). Kutipan di atas memberi gambaran bahwa pada pembuatan karya sastra sejarah yang dibuat oleh keluarga ménak, tidak lepas dari unsur politis, bahkan unsur politisnya yang lebih menonjol. Hal ini wajar mengingat kaum ménak sangat berusaha untuk menjaga silsilah keluarganya agar tidak putus, dan mempertahankan keistimewaan serta perbedaan antara golongan ménak dengan golongan masyarakat biasa. Jadi dapat dikatakan, pada masa ini, kaum ménak sangat berambisi dan takut jika suatu saat gelar atau wibawanya sebagai ménak akan hilang sehingga dibuat semacam atribut bahkan kesenian yang mencirikan golongan mereka.
75
Selain melakukan aktivitas didunia seni sastra, kaum ménak luhur juga menikmati kesenian lainnya untuk mengisi waktu senggang mereka bukan hanya sekedar untuk rekreasi. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, seni yang berorientasi kepada seni istana mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan politik aristokrasi. Dengan menjadi pengayom kesenian, kaum aristokrasi dapat menonjolkan status mereka dengan gaya hidup yang penuh pertunjukkan kemegahan. Mendengarkan gamelan merupakan salah satu bentuk hiburan yang disukai kaum ménak pada umunya. Gamelan biasanya digelar di pendopo kabupaten atau miniatur pendopo milik bawahan bupati. Bupati-bupati Sumedang memiliki gamelan kebanggaan
sejumlah
sembilan buah yang merupakan koleksi. Di kabupaten Sukapura pernah ada gamelan Si Layem, milik bupati Wiranatanuningrat (1908-1937). Di kabupatenkabupaten lain menurut beberapa sumber juga pernah ada gamelan-gamelan khusus, hanya tidak jelas lagi dimana sisa-sisanya disimpan. Menurut Raden Haji Muhamad Musa, seorang bupati haruslah memiliki “gamelan anoe patitis,anoe ampuh nayagan”.(artinya: gamelan yang sesuai aturan semestinya dan penabuh gamelan yang halus perilakunya) (Danoeredja dalam Lubis, 1998: 244). Pada awal abad ke-20, ada juga bupati yang selain menyukai seni musik tradisional, kadang-kadang mengundang grup musik Barat ke kabupaten. Istri R.A.A Wiranatakusumah V, senang memainkan alat musik Barat, karena ia memiliki sebuah piano Steinway. Anak-anaknya juga diberi les piano dengan guru orang Belanda (Soedarpo dalam Lubis, 1998: 244).
76
Kesenian lain yang juga digemari kaum ménak adalah tembang (sekar). Tembang yang merupakan nyanyian berbentuk pupuh. Pupuh ini adal 17 macam, antara lain asmarandana, megatruh, mijil, kinanti, sinom dan dangdagula. Terdapat perbedaan antara tembang dengan kawih yang dapat dibawakan oleh seorang sinden yaitu bahwa kawih sebagai bentuk nyanyian tradisional tertua di Tatar Sunda liriknya tidak memakai pupuh, dan umumnya memakai bahasa kasar. Sedangkan tembang yang dalam bahasa halus disebut mamaos (maos artinya membaca) menggunakan lirik pupuh dan bahasa yang digunakan dapat memakai bahasa halus, sedang atau kasar. Jenis tembang yang terkenal adalah Tembang Cianjuran yang berasal dari kabupaten Cianjur. R. Adipati Kusumaningrat merupakan bupati Cianjur yang terkenal sebagai Dalem Pancaniti berperan besar dalam pengembangan jenis tembang ini. Ia menciptakan lagu-lagu Cianjuran dengan diiringi kecapi yang dinamai “Guling Putih”. Sebelum abad ke-20, tembang Sunda hanya boleh dinyanyikan dan didengarkan oleh kaum ménak saja, meskipun para pemain musik pengiring (kecapi dan rebab) berasal dari kalangan rakyat biasa. Hal tersebut mencerminkan usaha kaum ménak untuk menonjolkan statusnya, sekaligus untuk membedakan kelas sosialnya dengan golongan somah. Selain itu, tembang hanya boleh dinyanyikan oleh kaum pria saja. Baru pad abad ke-20 rakyat kebanyakan yang biasanya hanya ‘mencuri dengar’ tembang, diperbolehkan
mempelajari dan menyanyikannya.
Kemudian, seiring
berjalannya waktu, kaum perempuan pun secara berangsur-angsur ikut terjun ke
77
dunia tembang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan sosial dan mulai berkembangnya emansipasi. Dalam seni pertunjukkan, tayuban merupakan salah satu pertunjukkan yang digemari kaum ménak Priangan. Tayuban merupakan pertunjukkan tari yang berasal dari tradisi Jawa ini adalah semacam tari pergaulan yang di Priangan disebut ibing tayub. Pada awalnya tarian yang dilangsungkan dalam pesta perkawinan, khitanan atau pesta lainnya ini selalu melibatkan dua unsur yaitu ronggéng dan minuman keras. Seorang Belanda yang menyaksikan tayuban di pendopo Kabupaten Garut pada tahun 1922 menyatakan bahwa: “...setelah tamu-tamu Eropa pergi, para istri ménak, biasanya meninggalkan arena pesta. Setelah itu, batulah acara tayuban yang agak bebas sambil mabuk berlangsung hingga pagi hari. Ronggeng menari (ngibing) sambil ngawih (nyayi). Lirik nyayian biasanya berupa sisindiran silih asih. Ménak yang hadir, berurutan berdasarkan pangkat dari yang tertinggi, disodorinya karembong sebagai undangan untuk menari. Sebelum menerima selendang, menak yang mendapat giliran, memberikan uang ke atas nampan “(Lubis, 1998: 245). Unsur penting dalam pagelaran tayuban ini adalah ronggéng. Ronggéng hendaknya memiliki “ngeunah sora, hade ibing, larang-larang ditedoenan” (enak suaranya, bagus menarinya semua pantangan dipenuhi). Selain unsur ronggéng, lagu dan karakter taraian juga memiliki peranan yang tidak kalah penting, apalagi bagi kaum ménak. Para bupati biasanya memiliki kostim (lagu dan karakter tarian) yang menjadi favorit dalam tayuban, misalnya, Pangeran Suriaatmaja mempunyai lagu ciptaan sendiri yang disebut sonténg dan lagu tersebut tidak boleh dipakai orang lain tanpa seizinnya. Apabila larangan tersebut dilanggar, konon orang yang memakai lagunya akan kesurupan.
78
Pertunjukan lainnya yang juga digemari kaum ménak adalah wayang wong, wayang kulit dan badaya yang semuanya berasal dari tradisi Jawa. Kegiatan kesenian seperti ini dapat hidup dikalangan ménak karena ada dukungan finansial yang cukup juga karena kebutuhan. Jelas di sini, bahwa selain untuk menghibur diri, berbagai kesenian yang telah disebutkan di atas menjadi lambang peradaban halus kaum menak.
4.3. Lahirnya Ibing tayub di Priangan Lahirnya kesenian Ibing tayub di Priangan tidak lepas dari adanya kontak politis dan kultur antara Jawa dan Sunda yang diperkirakan sudah terjadi pada masa Majapahit. Kontak budaya tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai kemiripan budaya antara Jawa dan Sunda. Hal ini dapat dicermati salah satunya dalam aspek tari, dimana tari Sunda (salah satunya ibing Tayub) memiliki banyak kemiripan atau mungkin disebut sebagai salah satu bentuk peniruan terhadap budaya Jawa.
4.3.1. Kontak Budaya Jawa dan Sunda Serta Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Menak Priangan 4.3.1.1 Terjadinya Dua Kontak Budaya Dalam perkembangan sejarah politik, daerah Priangan memang pernah berkali-kali mendapat kontak dengan Jawa Timur pada masa Jawa Kuna dan dengan Jawa Tengah pada masa Mataram Islam. Ketika itu, di Jawa Timur, terutama pada masa Majapahit pada abad ke-14, kebudayaan Jawa telah
79
menunjukkan kewibawaannya sebagai ‘budaya unggulan’. Oleh karena itu, jelas apabila kontak politik antara Jawa Timur dengan Jawa Barat (Priangan) membawa kontak budaya (Narawati, 2003: 6). Runtuhnya kerajaan Sunda yang bercorak Hindu menjelang akhir abad ke16 (1579), secara berangsur berdampak pada lenyapnya identitas Sunda sebagai sebuah ideologi dalam segala unsur kehidupan msyarakat Sunda. Ideologi Sunda yang terbentuk pada zaman kerajaan Sunda yang berwujud aksara, bahasa, etika, adat istiadat (hukum), lembgaa kemasyarakatan, kepercayaan, dan lain-lain lambat laun tergerus dan terpinggirkan dengan msuknya ideologi baru yang datang dari luar Sunda. Mengenai masuknya ideologi luar yang masuk ke masyarakat Sunda, Edi S. Ekajati (2004) mengemukakan: “..Mula-mula kerajaan Islam yang datang dari arah pesisir utara (Cirebon dan Banten)kemudian (sejak awal abad ke-17) kekuasaan dan kebudayaan Jawa (Mataram) menembus dari arah pedalaman timur dan akhirnya ekuatan perdagaangan, militer dan diplomasi kompeni menguasai seluruh wilayah tanah Sunda” (Ekadjati, 2004: 22). Mengenai masuknya kebudayaan Jawa ke wilyah Priangan, Ekajati menyebutkan bahwa proses ini terjadi pada dua periode melalui dua arah dan dua cara: “...yang pertama melalui kegiatan perdagangan, pertanian, dan migrasi ke daerah pesisir utara yang bersamaan dengan proses islamisasi pada akhir abad ke-15 smpai pertengahan abad ke-16. Proses ini berlangsung secara alamiah dan damai. Kebudayaan Jawa pesisir yang bersal dari periode ini hidup terus hingga sekarang secara bertahap dan periodik terjadi penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan kondisi dan tradisi lokal. Kedua, kebudayaan Jawa pedalaman yang bersifat feodal yang dibawa oleh prajurit dan priyayi Mataram melalui ekspedisi militer serta hegemoni kekuasaan dan kebudayaan sejak perempatan abad 17 hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan Jawa ini datangnya dari lapisan atas dan masuk ke dalam lingkungan atas (ménak) pula di tanah Sunda. Karena budaya Jawa ini menguntungkan kaum ménak Sunda dalam rangka
80
mempertahankan dan meningkatkan kedudukan dan status mereka, maka budaya ini terus dipelihara dan diserap di lingkungan pendopo kabupaten serta digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan. Sementra itu, kompeni yang menggantikan kedudukan Mataram di tanah Sunda membiarkan pengaruh kebudayaan Jawa tersebut hidup terus di tanah Sunda, karena bermanfaat bgai eksploitsi daerah ini (Ekadjati, 2004: 25-26). Kerajaan Sunda yang runtuh pada tahun 1579, wilayahnya sudah mencakup seluruh wilayah Jawa Barat sekarang ditambah dengan sebagian Jawa Tengah, yang terbagi dalam empat kekuasaan yaitu Banten, Cirebon, Sumedanglarang dan Galuh, yang setelah kepindahan pusat kerajaan ke Pakuan Pajajaran masih tetap berkibar sebagai kerajaan kecil. Sumedanglarang yang berusaha menampilkan diri sebagai penerus kerajaan Sunda harus menelan kegagalan karena kekalahan perang oleh Cirebon. Kompensasi kekalahan perang mengharuskan sebagian daerah Sumedanglarang, yaitu Majalengka diserahkan ke Cirebon. Akibatnya Sumedanglarang tidak lagi memiliki kekuatan terhadap penyerangan Mataram. Oleh karena itu, Aria Suradiwangsa I menyatakan penyerahan dirinya kepada Mataram pada tahun 1620, dan mengganti nama Sumedanglarang menjadi Priangan (Ekadjati dalam Narawati, 2003:10). Penyerahan Sumedanglarang kepada Mataram tersebut mengakibatkan Priangan menjadi wilayah ‘mancanegara’ Mataram yang dikepalai oleh seorang Bupati. Sejak saat itu, Priangan banyak menyerap kebudayaan Jawa. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Sumedang merupakan salah satu wilayah Priangan yang intensif menerima berbagai pengaruh Mataram. Dalam hal gaya hidup misalnya, bupati atau kaum ménak Sumedang cenderung lebih kental
81
nuansa Jawa-nya dari pada yang ditemui di wilayah lain di Priangan. Demikian halnya dalam berkesenian, jenis kesenian yang menjadi favorit kaum ménak seringkali lebih dahulu berkembang di Sumedang sebelum selanjutnya berkembang di wilayah lain, misalnya wayang wong, tari bedhaya, srimpi, dan tayub. Lebih lanjut, Suanda mengungkapkan: “Sumedang merupakan gerbang bagi masuknya seniman topeng Cirebon sekaligus menjadi pintu gerbang masuknya budaya “Jawa” ke daerah Priangan. Dari kota inilah awal terjadinya perkawinan antara seniman Pasundan dan seniman Jawa (Cirebon). Perkawinan tersebut merupakan perkawinan dua budaya yang semangatnya sangat berbeda, yakni semangat budaya rakyat dan semangat budaya bangsawan. Pertemuan antara seniman topeng Cirebon dengan seniman kalangan ningrat pada akhirnya melahirkan genre baru tari Sunda yang kemudian di Pasundan dikenal dengan sebutan Ibing Patokan. Tarian ini kemudian dikenal dengan Ibing keurseus” (Suanda, 2007: 3). Pengaruh kebudayaan Jawa yang datang ke Priangan tidak hanya didapat dari Mataram. Adalah Cirebon yang sudah lebih dulu melakukan kontak dengan budaya Jawa sebelum Priangan. Cirebon sebagai sebuah kerajaan yang telah mengalami berbagai kemajuan terutama dalam bidang kesenian, juga ikut andil dalam memperkuat nuansa Jawa bagi kebudayaan Sunda. “.... ketika Keraton Cirebon sudah berkibar sebagai sentra pertumbuhan dan perkembangan tari, wilayah Priangan belum mencapai taraf seperti itu. Pengaruh tayub di Priangan selain mungkin dari Jawa Tengah, juga kemungkinan besar berasal dari Cirebon” (Narawati dan Soedarsono, 2005: 60). Pengaruh yang ditimbulkan Cirebon ke wilayah Priangan terutama dalam hal seni dan budaya dilatarbelakangi oleh sikap pihak kraton yang memutuskan untuk berhubungan baik dengan pihak VOC. Hal ini menimbulkan penentangan yang datang dari para seniman istana. Sejak peristiwa tersebut, para seniman (empu) Kraton Cirebon menyatakan mundur dari lingkungan kraton, sebagai
82
pernyataan sikap terhadap ketidak-setujuannya terhadap sikap kraton. Pasca peristiwa tersebut, para empu kraton, khususnya para dalang topeng menyebar ke berbagai pelosok daerah. Kemudian di masing-masing tempat tersebut, berkembang sendiri-sendiri dengan memunculkan gaya penampilan topeng Cirebon, seperti gaya Losari, Paliman dan Kero. “... diperkirakan sudah sejak tahun 1783 pertunjukan topeng keliling yang dibawakan oleh wong bebarang dari Cirebon telah menjangkau sebagian besar wilayah-wilayah di Jawa Barat. Disamping mengadakan pertunjukan, penari-penari tersebut mengajarkan tari-tariannya, sehingga kedudukan mereka adalah sebagai penari dan guru tari yang dibayar” (Sujana dalam Ramlan, 2008: 115). Pendapat Sujana tersebut diperkuat oleh Somantri, seperti berikut: “Ti taun 1900-na Sumedang, Bandung, Garut sareng Tasikmalaya sok kadongkapan rombongan Topeng ti Tjirebon. Ni djadi dalangna (nu nopengna) duaan, nja eta Bapa Kontjer sareng bapa Wentar. Ieu topeng teu kinten padjengna ku tina saena, malah sok sering ditanggap di kabupaten. Lami-lami seueur para nonoman kabaritaeun harojong ngiring ariasa ngibing; nja lajeng galuguru ka Bapa Kontjer sareng Bapa wentar tadi “ artinya: Dari tahun 1900-an Sumedang, Bandung, Gaut dan Tasikmalaya seringkali kedatangan rombongan topeng dari Cirebon. Dua orang yang menjadi dalang (penari), yaitu Bapak Koncer dan Bapak Wentar. Karena bagusnya, topeng ini sangat laris dan seringkali dipentaskan di kabupaten. Lama kelamaan banyak kaum muda yang ingin belajar menari, mereka berguru kepada Bapak Koncer dan Bapak Wentar tadi (Somantri dalam Suanda, 2007: 2).
4.3.1.2
Pengaruh Kebudayaan Jawa Terhadap Priangan
Masuknya budaya Jawa ke wilayah Priangan membawa pengaruh yang signifikan bagi kebudayaan Sunda. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa, gelar kebangsawanan, tempat tinggal, busana, dan kesenian yang sangat kental dengan nuansa Jawa. Bagi kalangan ménak Priangan, mengikuti gaya hidup
83
kejawen merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa aspek kebudayaan Sunda yang bernuansa Jawa. Dalam aspek bahasa, Nina Lubis (1998) menyebutkan bahwa bahasa Jawa dipergunakan sebagai bahasa resmi baik lisan maupun tulisan di kalangan ménak Priangan. Undak-usuk basa atau ‘tingkat tutur’ yang mengklasifikasikan bahasa Sunda atas dasar setting, participant, end, act, key, instrument, norm, dan genre membagi bahasa Sunda ke dalam tingkatan bahasa lêmês untuk berbicara kepada yang superior, sêdêng dengan sesama, dan kasar dengan lawan bicara yang inferior, berasal dari stratifikasi bahasa Jawa yang juga berpijak pada konsep budya alus-kasar. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa Sunda Banten yang dianggap sebagai bahasa Sunda yang masih kental unsur ‘keasliannya’ sebagai bahasa yang egaliter dari masyarakat yang egaliter peninggalan kerajaan Padjadjaran. Jika mencermati penggunaan bahasa Sunda di setiap daerah di Priangan memiliki ciri khas tersendiri, misalnya dalam hal kehalusan bahasa. Penggunan bahasa halus bisanya berkitan erat dengan undak-usuk basa, yang menonjolkan beragam perbedaan dalam penggunan kata atau istilah tertentu bagi lawan bicara. Mengenai kehalusan bahasa Sunda di wilayah Priangan, Harsoyo berpendapat: “Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa, sampai saat ini dialek Cianjur masih dianggap bahasa Sunda terhalus. Bahasa Sunda yang kurang halus adalah bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat disekitar pantai utara, misalnya Banten, Karawang, Cirebon” (Harsoyo dalam Surjadi, 1985: 25).
84
Berdasarkan pendapat Harsoyo di atas, perbedaan dialek bahasa Sunda di masing-masing wilayah Priangan, dalam hal ini bahasa Sunda halus dan kasar, dapat diterangkan dari perjalanan sejaranhya. Priangan pernah mendapat pengaruh kultural dari Jawa (Mataram Islam), disamping itu iklim dan lingkungan alam juga memiliki andil pada pembentukan dialek bahasa Sunda di setiap wilayah Priangan. Selanjutnya, Lubis (1998) mengungkapkan bahwa pengaruh budaya ‘priyayi’ Mataram mulai mengalir deras sejak Priangan dikuasai oleh Sultan Agung (1613-1645). “Kaum ménak Priangan terbiasa mengacu gaya hidup Mataram mulai dari gelar, tempat tinggal, etiket, busana, pusaka, berbagai upacara dan kesenian. Gelar-gelar yang dimiliki oleh kaum ménak Priangan hampir sama dengan gelar-gelar yang disandang oleh kaum bangsawan di Jawa tengah, walaupun oleh pemerintah Belanda para bupati juga diberi gelar berdasarkan statusnya dalam tata pemerintahan. Hanya saja, apabila gelar yang berkaitan dengan kedudukan sebagai aparat pemerintah Belanda tidak dapat diwariskan, tetapi gelar kebangsawanan dapat diwariskan. Gelar-gelar kepangkatan yang hampir sama dengan yang disandang oleh para aparat pemerintah di Jawa Tengah adalah adipati, tumenggung, rangga, ngabehi, dan demang” (Lubis dalam Narawati, 2003: 146). Mengenai gelar-gelar kebangsawanan, walaupun mengikuti gelar yang lazim digunakan di Jawa Tengah, tetapi kaum ménak Priangan pada umumnya hanya meminjam dengan sederhana, misalnya gelar raden untuk pria, dan nyi raden untuk wanita. Ada pula gelar yang lebih tinggi dari raden, yaitu pangeran tapi gelar tersebut khusus bagi yang masih keturunan raja. Di Jawa Tengah, gelar kebangsawanan lebih bersifat kompleks, seperti misalnya Gusti Bandara Raden Ajeng untuk putri raja dari permaisuri yang belum menikah, Gusti Bandara Raden Ayu untuk putri raja dari permaisuri yang telah menikah; Gusti
85
Bandara Raden Mas putra raja dari permaisuri yang belum dewasa; Bandara Raden Mas untuk putra raja dari sêlir raja yang belum dewasa, dan lain sebagainya (Soedarsono dalam Narawati, 2005: 147). Rumah atau tempat tinggal merupakan aspek lain yang juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Mataram. Rumah yang ditempati para bupati Priangan mengikuti gaya arsitektur Jawa Tengah yang menyerupai istana kecil. Rumah tersebut disebut kabupaten. “...kabupaten memiliki bangunan kokoh yang disebut pendhapa sebagai bangsal pertemuan dan dalem yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Di depan pendhapa terdapat sebuah lapangan terbuka yang disebut alun-alun yang dikelilingi pohon beringin. Hanya bupati Sumedang yang memiliki kabupaten yang bergaya Eropa yang disebut Gedung Negara atau Gedung Bengkok, yang berfungsi sebagai tempat untuk upacara resmi serta penginapan para tamu agung” (Lubis, 1998: 261). Bagi kaum menak Priangan, selain busana kebesaran yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, mengenakan busana yang disebut jajawaan merupakan kebanggaan tersendiri. Busana jajawaan tersebut terdiri dari bendo, yakni penutup kepala; sikepan yakni jas tutup pendek berwarna hitam; kemeja putih yang digunakan sebelum memakai jas; kain kebat, yaitu kain panjang dengan motif kawung besar dan kawung ece, parang rusak barong, parang kusuma, parang centung, serta motif lain yang tidak boleh dikenakan oleh ménak rendahan; celana tinggi selutut; sabuk; keris; dan selop sebagai alas kaki. Selain itu, dalam upacara-upacara kebesaran, para bupati juga melengkapi diri dengan songsong atau payung kebesaran. Di istana Jawa, para bangsawan pria memiliki kegiatan berkesenian yang melengkapi kedudukannya sebagai bangsawan. Bagi para putri perlu menguasai
86
tari srimpi, dan bagi para putra serta kerabat dekat raja menarikan wayang wong. Adapun peran yang dimainkan oleh purta dan kerabat raja selalu dipilihkan peran dengan karakter penting dan baik. “Bagi para pria, menjadi penari wayang wong merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi para abdi-dalem atau hamba raja, karena selain mendapat gaji yang cukup besar, juga berpeluang untuk diambil sebagai menantu Sultan. Apabila sampai diambil menantu oleh Sultan, pangkatpun akan ikut naik, dan rumah besar akan dihadiahkan lengkap dengan kereta kebesarannya” (Narawati, 2003: 153). Kesenian kebanggaan kaum priyayi Jawa tersebut, ternyata mampu mencuri perhatian kaum ménak Priangan. Selain wayang wong tari bedhaya, gamelan, srimpi dan tayub merupakan kesenian-kesenian Jawa yang kemudian juga digemari dan dikembangkan di Priangan. Akan tetapi, kesenian tersebut tidak serta merta ditiru seutuhnya, melainkan mengalami beberapa penyesuaian dan sedikit sentuhan rasa Sunda. Mencermati perjalanan kontak budaya antara Jawa dan Priangan, hal ini berimplikasi kepada terjadinya kesamaan antara tari yang ada di Priangan dengan yang berkembang di Jawa. Hal yang sama pernah terjadi ketika pengaruh tari Jawa gaya Yogyakarta ke Istana Mangkunagaran telah menghasilkan gaya yang khas Mangkunagaran yang tampak unsur-unsur tari gaya Yogyakarta-nya. Akan tetapi, karena berkembang di lingkungan budaya yang agak berbeda, gaya Mangkunagaran tetap khas Mangkunagaran. Poin penting yang didapat dari fenomena ini adalah bahwa besar-kecilnya pengaruh, akan bergantung pada etnis serta lingkungan budaya yang mendapat pengaruh. Dalam hal ini, karena etnis Jawa dan etnis Sunda berbeda, maka walaupun pengaruh budaya priyayi dan tari Jawa kepada tari Sunda cukup besar, tetapi tari
87
Sunda tetap dapat dikatakan sebagai tari yang bergaya Sunda, karena keduanya memiliki daya ungkap yang berbeda. 4.3.2. Tayuban Jawa Menjadi Ibing Tayub Priangan Ketika budaya kaum menak Priangan mulai bersinggungan dengan budaya priyayi Jawa, para tokoh tari Sunda mulai memikirkan, tari yang bagaimana yang dapat menjadi kebanggaan kaum ménak. Di Jawa Tengah yang memiliki istana-istana yang kokoh serta raja-raja yang berwibawa, tari telah mendapat kedudukan
penting
dalam
kehidupan
para
priyayi-nya,
seperti
yang
digambarkan oleh Soedarsono: “...bagi para priyayi pria menjadi penari wayang wong merupakan kebanggaan, sedangkan bagi priyayi wanita yang dibanggakan adalah jika bila dapat menjadi penari bedaya dan serimpi. Menjadi penari wayang wong di masa lampau di Jawa Tengah mampu mengangkat derajat seseorang sampai ke jenjang pangkat yang cukup tinggi apabila ia dapat mendapatkan peranan utama dalam pertunjukkan wayang wong di istana. Bahkan, di istana Yogyakarta sampai pada pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939, pemegang peranan penting dalam pergelaran wayang wong seperti Arjuna, selain mendapat pangkat pangkat Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T) juga dapat diambil sebagai menantu Sultan” (Soedarsono, 2003: 57). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa kaum ménak Priangan dalam menampilkan gaya hidupnya banyak mengacu kepada gaya hidup priyayi Jawa, seperti rumah, bahasa, busana, adat istiadat, serta kalangenan yang berupa seni petunjukkan pun nampak jelas mendapat pengaruh atau bahkan ‘peminjaman’ pertunjukan yang berasal dari Jawa Tengah. Hanya saja, oleh karena di Priangan semula tidak berkembang pertunjukan wayang wong yang di Jawa tengah merupakan pertunjukan yang sangat berwibawa serta sarat dengan
88
berbagai tatanan hidup kebangsawanan, maka kaum menak melirik tayub sebagai peluang untuk dapat menampilkan diri secara lengkap sebagai priyayi. Pertunjukan tayub merupakan bagian dari kemeriahan upacara pernikahan putra/putri Sultan Keraton Yogyakarta, yang diselenggarakan di rumah-rumah para bupati di lingkungan keraton setelah upacara resmi di keraton selesai. Oleh karena upacara pernikahan di Keraton Yogyakarta merupakan upacara kenegaraan, sudah tentu pejabat keraton termasuk para bupati dari luar kota juga diundang. Narawati dan Soedarsono (2005) menyebutkan bahwa kemungkinan besar para bupati Priangan ada yang diundang pada upacara penikahan di keraton dan juga pada upacara-upacara lainnya. Pada kesempatan ini tentunya mereka selain menyaksikan pagelaran wayang wong juga menyaksikan keterampilan para bangsawan Yogyakarta dalam ngibing atau menari bersama lêdhêk (ronggeng). Penampilan mereka sangat mengagumkan karena para bangsawan tersebut memiliki bekal penguasaan teknik tari yang didapatkan dari wayang wong. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diperkirakan dari pengalaman menyaksikan dan bahkan mungkin juga ikut ngibing di lingkungan rumah para bupati disekitar keraton inilah yang menyebabkan para bupati Priangan sepakat untuk mengangkat tayub sebagai tari kebanggaan mereka. Keberadaan tari yang berkembang di Priangan tidak kalah dengan yang ada di Jawa. Priangan mengenal tari-tari hiburan pribadi seper tiketuk tilu, ronggeng gunung, bangreng, topeng banjret, doger kontrak, dan sebagainya. Namun tari-tari tersebut lebih banyak berkembang di kawasan pedesaan serta diluar kota. Seperti yang dituturkan Thomas Stamford Raffles (1965), para
89
bangsawan Sunda pun ada yang senang pada tari hiburan bagi kaum pria ini. Namun jelas karena asalnya dari kawasan pedesaan atau pinggiran yang merupakan seni rakyat, penampilannya yang sederhana selalu bernuansa pedesaan yang seronok hingga tidak mengherankan jika Raffles berkomentar bahwa ronggengnya memiliki perilaku seperti kembang buruan (Raffles dalam Narawati dan Soedarsono, 2005: 58). Berbeda dengan tari hiburan yang ada di Priangan, tayub yang ada di Kasunanan Surakarta sering diselenggarakan di dalam istana, jelas tari ini telah diwarnai oleh konsep budaya alus, sehingga perilaku-perilaku kasar yang sering terjadi di pedesaan menjadi lenyap. Bahkan, dalam kesempatan tersebut para bangsawan yang ngibing atau menari bersama lêdêk atau ronggeng memamerkan keterampilannya dalam menari. Hal ini berarti bahwa dalam tayuban, bukan hanya bermuatan hiburan semata, akan tetapi sarat dengan ajang unjuk kebolehan (prestise) dalam menari. Jika melihat perjalanan tayuban sebelum sampai ke Priangan, tradisi tayub sudah terlih dahulu membudaya di Cirebon. Sudah tentu karena Cirebon juga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah. Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa ketika Cirebon telah berkibar sebagai sentra pertumbuhan dan perkembangan budaya tari, wilayah Priangan belum mencapai taraf sepeti itu. Kemungkinan besar tayub Cirebon mendapat pengaruh dari budaya priyayi dan tari Jawa sejak masa Mataram Islam, terutama pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika para empu Cirebon menyebar dan sampai ke wilayah Priangan, hal ini menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan kesenian di Priangan.
90
Pertunjukan tari Topeng Cirebon dan wong bebarang memicu terjadinya pergaulan antara dua kelompok seniman yang berbeda latar belakang kulturnya, yaitu kelompok seniman topeng Cirebon di satu pihak dan ménak Priangan di pihak lain; bentuk kesenian yang satu (Ibing tayub) mengadopsi unsur-unsur kesenian yang lainnya (tari topeng Cirebon). Dengan masuknya unsur-unsur Topeng Cirebon ke dalam Ibing tayub, menjadikan Ibing tayub memiliki perbendaharaan gerak-gerak pokok seperti yang menjadi sumbernya, disamping juga tetap mempertahankan ’oka’ Ibing tayub sebagai salah satu cirinya. Untuk melacak kapan masuknya tayub ke Priangan, belum ada sumber yang mengungkapkan secara pasti. Namun, informasi yang terdapat dalam artikel yang berjudul “Kabinangkitan Ngibing” yang termuat dalam majalah Parahiangan edisi 3 Maret 1939 perlu diperhatikan: ”Kirang langkoeng doemoegi ka taoen 1919, memeh aya ’ibing keurseus’ anoe ngaribing dina najoeban teh kenging disebatkeun sakama-kama bae. Sanes moeng rangkanak-rengkenek sareng roengkak-rengkakna bae noe sakama-kama teh, namoeng ka ronggeng oge estuning sawenang-wenng teu benten ti ka boneka hiroep, digaroegoeleong sapertos kana cocooan bae” (Narawati dan Soedarsono, 2005: 61) Artinya: kurang lebih sampai tahun 1919, sebelum ada ibing keurseus yang menari pada tayuban itu boleh dikatakan semena-mena. Bukan hanya menarinya yang semena-mena, juga perlakuan pada ronggeng sewenangwenang bagaikan sebuah boneka hidup, yaang dapat dimainkan sekehendak hati.
Suasana sepeti tersebut diatas mulai berubah ketika seorang menak dari Rancaekek bernama R. Sambas Wirakusumah menata tari untuk tayuban dengan kaidah moral: (1) henteu aeb katingalna (tidak seronok penampilannya), (2) angger waktosna (tetap waktunya), (3) raos kanu ngigelna (nyaman bagi yang menari), (4) resep katingalna (enak dilihat). Dari pengalamannya sebagai
91
penayub atau pengibing dan pergaulannya dengan seniman Jawa, Sambas kemudian menyebarkan tayub yang sudah diberi ’patokan’ (ibing patokan) ke murid-muridnya yang sebagian besarnya adalah kaum ménak Priangan. Dengan masih menunjukan sifat awalnya yakni fleksibel, Ibing tayub tetap memberi peluang terhadap masuknya inovasi-inovasi baru, misalnya dalam hal penambahan gerak-gerak pokok serta pengulangan-pengulangannya. Dengan demikian, dapat dikatakan jika Ibing tayub akan memiliki tampilan yang sama jika dilihat dari durasi dan segi bentuknya. Ramlan dalam disertasinya mengungkapkan: ”...yang menjadi ciri khas pada Ibing tayub adalah dalam menampilkan ibingannya, pengibing melakukan gerak tarinya secara spontan. Spontanitas tersebut sangat berdampak kepada rangkaian atau susunan gerak yang ditampilkan, ibingan menjadi tidak merupakan sebuah rangkaian gerak yang mengikuti pola-pola dalam susunan gerak pada tari tradisi Sunda. Dengan kata lain, ibing tayub tidak memiliki struktur koreografi yang utuh seperti adanya gerak pokok, gerak peralihan, gerak khusus, gerak penghubung, dan sebagainya. Hal tersebut justru kemudian menjadi identitas bentuk Ibing tayub itu sendiri yang spontan dan strukturnya sederhana (Ramlan, 2002: 52). Setelah diperkaya dengan gerak-gerak pokok dari topeng Cirebon, maka ibing tayub semakin memiliki daya tarik tersendiri karena pada setiap pola penyajiannya menunjukan adanya ragam gerak yang pasti ada pada setiap ibingan, yang kemudian disebut gerak pokok. Bahkan lebih jauh, telah memunculkan gaya-gaya penampilan yang sangat individual. Perkembangan tersebut semakin memberikan berbagai kemungkinan untuk diangkat sebagai bentuk tari yang memenuhi syarat menjadi tontonan. Pola gerak yang mengkristal pada ibing tayub, lambat laun membentuk gaya penampilan yang baru atau lazim disebut ibing tayub gaya baru dengan ciri-ciri adanya gerak
92
pokok seperti; adeg-adeg, jangkung ilo, gedut, minced, keupat, tindak tilu, dan engke gigir. Disamping itu juga dikenal tahap lalamba, yaitu tahap permulaan tarian baik pada tari pokok maupun tahap setelah naek iramanya (Ramlan, 2009:42).
4.4. Simbol Eksklusifitas Kaum Ménak Priangan Dalam Pementasan Ibing
Tayub Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang ditentukan oleh pihak pemimpin pemerintahan seperti lingkungan presiden, raja, gubernur, bupati, dan seterusnya, bertujuan untuk menunjukan prestise dan kemegahan.
Maka
yang
dipertunjukan
adalah
hasil-hasil
indah
dan
menakjubkan. Terkadang, pemimpin pemerintah juga mendorong penciptaan baru (Sedyawati, 1980: 55). Sebagai golongan yang ekslusif, kaum ménak Priangan memiliki berbagai atribut dan simbol-simbol kebangsawanan layaknya priyayi dan raja-raja Jawa. Mengenai gaya hidup, kaum ménak memiliki gaya hidup penuh kebesaran dengan meniru gaya hidup raja-raja (grand style). Untuk mendukung gaya hidup yang demikian, diperlukan kekayaan. Ukuran kekayaan seseorang dapat dilihat dari bentuk rumah, gaya berpakaian, konsumsi barang-barang, dan sebagainya. Hal ini diperkuat dengan menjadikan pergelaran Ibing tayub sebagai ajang unjuk gengsi. Pejabat pemerintah dianggap kurang derajat kemenakannya apabila tidak mengikuti pergelaran bergengsi ini.
93
Besarnya kekuasaan, wibawa, pengaruh, dan kharisma pribadi bupati di Priangan dapat digambarkan juga melalui acara senenan atau juga seba. Simbolsimbol status, atribut-atribut kebesaran, mitos genealogi, pulung (wahyu), upacara kebesaran, acara-acara khusus, hak istimewa dan lain-lain adalah bentuk simbolis dan bentuk nyata yang memperkokoh kedudukan, wibawa, dan pengaruh bupati sebagai penguasa daerah. Dalam pementasan Ibing tayub, terdapat aspek-aspek yaang menunjukkan wibawa kaum menak sebagai salah satu bagian dalam kemeriahan di arena ibing tayub. 4.4.1 Pelaku Pertunjukan Pelaku
pertunjukan
terdiri
dari
penari
pria
(pengibing)
yang
diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni penari utama/pokok dan penari yang mendampingi (pamair). Selain itu penari wanita disebut ronggeng serta penari yang berperan sebagai pengatur pertunjukan disebut juru baksa. Pelaku lainnya adalah penabuh gamelan yang disebut nayaga, wiyaga atau panjak. Penari pokok adalah pria yang tampil pertama kali dalam sebuah babak atau lagu, biasanya memiliki status sosial tinggi (gegeden) atau yang dianggap paling terkemuka diantara yang hadir. Seseorang bisa menjadi penari pokok didasarkan atas penunjukan atau permintaan sendiri umpamanya dengan cara meminta lagu. Penunjukan didasarkan atas urutan hierarki jabatan. Di tingkat Kabupaten yang pertama kali tampil dalah bupati, dan giliran berikutnya mereka yang memiliki kedudukan yang lebih rendah, dan begitu seterusnya. Namun demikian, dibeberapa daerah seperti di Cianjur dan Sukabumi, urutan tersebut adakalanya ditetapkan berdasarkan kecakapan dalam ngibing.
94
Pamair, adalah penari pria yang ‘mairan’ menemani penari pokok. tidak ada ketentuan khusus mengenai jumlah pamair ini, akan tetapi biasanya terdiri dari dua atau tiga orang. Mereka muncul setelah penari pokok menari beberapa saat, dan dengan cara tertentu mereka masuk arena dengan menampilkan ibingan yang sederhana karena sifatnya hanya menemani. Ronggeng adalah penari wanita professional yang difungsikan sebagai pasangan penari pria samabil menyayi (ngawih). Jumlah ronggeng biasanya dua atau tiga orang. Bagi seorang ronggeng merupakan suatu kebanggaan tersendiri ketika dirinya mendapat kesempatan tampil pada acara tayuban. Bahkan mereka mengklaim diri sebagai ronggeng kagungan artinya ronggeng ronggeng yang tampil pada acara peryaan hajatan bukan jalanan. Juru Baksa adalah seorang penari pria yang bertugas mengatur giliran menari para tamu undangan. Pada umumnya diambil dari grup atau nayaga atau seseorang yang ditunjuk oleh pemangku hajat. Seorang nayaga adalah orang yang dipandang memiliki pengalaman dan keterampilan menari yang cukup. Nayaga/wiyaga adalah sekelompok penabuh gamelan yang pada umumnya pria dewasa, dan berasal dari kalangan masyarakat kebanyakan yang memiliki profesi sebagai penabuh gamelan. Jumlah personil biasanya disesuaikan dengan jumlah waditra yang ada pada gamelan yang dipakai. Diantara waditra tersebut adalah kendang, rebab, rincik, saron, pnerus, gambang, etuk, kempyang, jengglong, kempul, dan goong. Dari sejumlah pelaku pertunjukan yang telah disebutkan, mengindikasikan adanya kesan eksklusif bagi penari utama yang dalam hal ini adalah berasal dari
95
kalangan menak. Hal ini nampak dengan diberikannya kesempatan ngibing untuk yang pertama kali adalah ménak dengan pangkat tertinggi. Selain itu, pelaku pertunjukan lain seperti misalnya pamair dan juru baksa biasanya memiliki jabatan atau kedudukan yang tidak terlalu jauh dari jabatan penari utama, pamair dan juru baksa juga harus memiliki kemampuan menari yang baik. Aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah ronggéng. Bagi ronggeng, mengisi acara tayuban merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Dalam arena tayuban mereka bisa bertemu dengan orang-orang penting atau inohong, kesempatan tersebut merupakan kesempatan langka yang tidak bisa didapat oleh seorang ronggeng biasa. Endang Caturwati berpendapat: “Mereka (ronggéng) menari dan menyanyi ditempat hajatan selamatan kaum ningrat, para petinggi daerah, atau pada acara lainnya. Mereka disanjung oleh penduduk bahkan tidak jarang pula karena penampilannya yang sangat memukau, diantara ronggéng ada yang dipersunting oleh ‘kepala rendahan’. Hal ini merupakan nasib baik bagi si ronggéng (Caturwati: 2006, 30).
4.4.2 Koreografi Tari-tarian yang ditampilkan dalam tayuban di Priangan lazim disebut Ibing tayub. Mengenai susunan koreografnya tidak menetap, karena ibing tayub merupakan penyajian tari-tarian yang struktur koreografinya tidak baku, atau dalam kata lain bersifat improvisasi. Maka durasi waktu dan panjang-pendeknya tarian pun bervariasi, karena akan sangat bergantung pada kesanggupan penari dalam hal berimprovisasi.
96
Meskipun mengandalkan kemampuan berimprovisasi, sebetulnya dalam ibing tayub ada semacam patokan gerak yakni yang disebut oka ibing dimana setiap penari hampir dapat dipastikan selalu menampilkan gerak-gerak bukaan/adeg-adeg, jungkung ilo, aced, mincid, keupat, engkeng, galayar, dan baksarai. Dalam berimprovisasi seringkali hanya merupakan gerak lembut bahkan diam, atau kadang bergerak cepat secara reflek menjelang gong dibunyikan. Dalam arena tayuban, pengibing yang merupakan menak Priangan tentu sudah memiliki bekal kemampuan dan penguasaan gerak-gerak dasar yang baik. Meskipun tidak terdapat susunan koreografi yang jelas, kemampuan ngibing dari para menak ini tidak dapat diremehkan (Ramlan, 2002: 99). Bukan berarti dengan ketiadaan patokan mengibing, lantas dikatakan bahwa para menak ini hanya asal menari saja, justru kemampuan dan kemahiran mereka akan lebih terlihat dalam arena tayuban ini. Kemampuan
seorang
ménak
dalam
menampilkan
ibingan
akan
berpengaruh kepada penilaian masyarakat terhadap ménak tersebut. Biasanya seorang ménak yang pandai ngibing akan lebih dikenal dan dihormati masyarakat. Bagi keluarga ménak Priangan, menguasai teknik-teknik menari merupakan semacam nilai lebih atau bahkan keharusan. Pentingnya penguasaan teknik menari ini di daerah tertentu bahkan dijadikan semacam pra-syarat dalam rangka kenaikan pangkat atau jabatan. Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa penguasaan tari merupakan salah satu simbol eksklusifitas kaum ménak Priangan.
97
4.4.3 Lagu dan Iringan Tari Musik pengiring ibing tayub dibangun oleh hidangan vokal dan instrumental (sekar-gending). Ada dua laras gamelan yang biasa digunakan didalam mengiringai tayuban yaitu Pelog dan Salendro, namun demikian pada umumnya yang digunakan untuk mengiringi tayuban cukup satu saja. Adapun waditra-waditra nya terdiri dari kendang dan kulanter (kendang kecil), rebab, saron, panerus, peking, bonang, rincik, kenong, kecrek, kempul dan goong, gambang, ketuk dengan kempyang, dan jnglong atau beberapa kempul. Musik vokal yang mengiringi tayuban disebut kawih dilakukan oleh ronggeng. Lagu-lagu disajikan secara acak, artinya tidak berdasarkan suatu urutan kaidah penyajian karawitan. Di samping itu, tidak terdapat lagu lain diluar kepentinagn tarian, misalnya lagu untuk menyambut kedatangan tamu, mengiringai acara minum, penutup pertunjukan dan lain-lain. Hanya saja gending tatalu sering dimainkan di awal pertunjukan. Besarnya perhatian kaum ménak Priangan terhadap Ibing tayub, telah menginspirasi beberapa tokoh untuk menciptakan lagu tersendiri. Lagu tersebut nantinya akan dilantunkan di arena tayuban ketika ménak yang bersangkutan akan menari. Iringan lagu seperti ini disebut kostim yang hanya boleh dilantunkan (dipakai) oleh si penciptanya saja. Konon, jika ketentuan ini dilanggar, maka orang yang menggunakan kostim ini akan mengalami kesurupan. Kepemilikan kostim ini menjadi semacam simbol bahwa si pemilik merupakan seorang ménak yang sangat dikenal dan dihormati. Saking
98
dihormatinya, ménak lain tidak diperkenankan untuk memakai kostim tersebut. Peristiwa tersebut menginspirasi tokoh-tokoh menak lain untuk menciptakan kostim-kostim tersendiri dengan harapan ingin lebih dikenal dan dihormati masyarakat luas di Priangan. 4.4.4 Busana Busana penari pria dalam tayuban merupakan busana kalangan ménak pada masa lalu seperti sinjang/kain batik rereng, baju takwa, bendo atau udeng, stagen/epek dan keris. Bendo yang biasa dipakai adalah jenis ‘citak’ dan lohen (dibentuk pada kepala dengan menggunakan bahan sehelai iket). Motif yang dipakai diasanya menggunakan satu motif dengan sinjang/kain. Setiap yang hadir tentu saja ingin tampil baik bukan hanya pada keterampilan menarinya saja tetapi juga dalam hal berbusana. Sangat dimengerti apabila para penari mengenakan busana yang beraneka ragam desain berikut ornamennya. Di dalam baju takwa misalnya, ada satu jenis yang sangat disukai yaitu baju takwa dengan hem berdasi kupu-kupu. Adapun mengenai warna tidak ada ketentuan, namun dengan demikian warna hitam dan putih sering digunakan daripada warna-warna lain. Kain biasanya merupakan kain batik dengan motif yang tidak ditentukan. Motif-motif tersebut diantaranya lereng, sidomukti, dan udan liris. Cara memakainya yang paling umum adalah dililitkan dari kanan ke kiri. Mengenai ukuran, panjang kain yang dipakai biasanya sebatas mata kaki. Busana ronggeng biasanya mengenakan apok dan tidak pernah memakai kebaya, mengenakan sinjang yang dilepe dilancar sebesar dua jari tangan dan dililitkan dari kiri ke kanan dengan motif dan bahan bebas. Pada bagian kepala,
99
cukup memakai sanggul dan menggunakan rias sehari-hari. Pada bagian sanggul bisanya ditambahkantusuk konde untuk mempercantik tampilan. 4.4.5 Minuman keras Minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol yang menurut cara-cara tradisi merupakan cairan yang berasal dari makanan yang difermentasi. Kemungkinan besar jenis cairan tersebut pada masa lalu disebut dengan istilah sayub. Pada acara tayuban, minuman keras diletakan di atas sebuah meja dibagian sisi depan gamelan serta siap dihidangkan setelah dituangkan pada beberapa gelas diatas sebuah baki. Dalam arena tayuban, minuman keras (sayub) merupakan elemen penting yang tidak bisa dipisahkan. Pada awalnya, minuman keras ini berfungsi sebagai penghangat badan saja (mengingat acara inti dari pagelaran ibing tayub berlangsung malam bahkan sampai pagi hari) artinya tidak untuk dikonsumsi secara berlebihan. Namun, pada perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran fungsi dari sayub ini. Sayub seringkali dikonsumsi dalam jumlah sloki yang lebih besar sehingga menimbulkan efek mabuk bagi yang meminumnya. Hal ini kemudian menjadi semacam hal wajar bahkan menjadi kebiasaan bagi kaum ménak. Kebiasaan tersebut membentuk sebuah pencitraan dari gaya hidup kaum ménak Priangan sebagai golongan yang kaya raya dan senang bermabukmabukan di arena tayuban. 4.4.6 Uang Uang untuk masak baik dalam bentuk logam maupun kertas disiapkan ketika seorang penari merasa perlu memberikan tip alakadarnya baik kepada
100
ronggeng maupun kepada nayaga. Hal ini mengandung arti bahwa siapapun yang akan melibatkan diri dalam pesta tayuban perlu mempersiapkan diri termasuk sejumlah uang yang disimpana pada saku-saku baju atau diselipkan pada sabuk mereka. Dibeberapa tempat adakalanya diletakan disebuah bokor untuk menampung. Besarnya kekayan yang dimiliki oleh seorang ménak akan tampak pada arena tayuban. Seorang ménak akan memberikan sejumlah uang kepada nayaga maupun ronggéng sebagai sawer. Besarnya sawer atau masak akan tergantung pada kepiawaian nayaga dan/atau ronggéng dalam membawakan lagu. Semakin terhibur, biasanya si ménak tidak akan ragu-ragu untuk memberikan masak dalam jumlah yang banyak. Khusus kepada ronggéng, tidak jarang ada ménak yang memberikan masak dengan kelakuan yang tidak terpuji, misalnya dengan menyelipkan uang di salah satu bagian pakaian ronggéng, atau bahkan dengan menggigit uang dengan tujuan diambil dengan digigit pula oleh so ronggéng. Periatiwa inilah yang selanjutnya mengalami penertiban dalam pementsan ibing tayub. Uang yang melimpah bagi golongan ménak, serta adegan masak yang terjadi di arena tayuban menimbulkan sebuah kesan yang kuat bagi masyarakat bahwa golongan ménak ini merupakan golongan yang senang melakukan aktivitas hedonis. Aktivitas tersebut nampak jelas dalam arena tayuban, dimana si ménak minum-minum, menghamburkan uang untuk masak, bahkan menjurus kepada hal-hal negatif lain yang berkaitan dengan perempuan yang bukan berstatus istrinya. Simbol-simbol ini melekat pada golongan ménak dan sedikit
101
demi sedikit mengalami perubahan pencitran setelah dilakukannya penertiban tayuban oleh R. Sambas Wiranatakusumah. 4.4.7 Waktu dan tempat Secara umum dan berdasarkan tradisi, tayuban dilakukan semalam suntuk yaitu dimulai sekitar jam 20.00 dan berakhir pada pukul 05.00 dini hari. Pada perkembangan selanjutnya tayuban hanya dilaksanakan setengah malam saja, yakni dari pukul 20.00 sampai pukul 24.00. Tayuban dilaksanakaan di pendopo bagi kalangan ménak. Ketika tayuban sudah menyabar dikalangan masyarkaat, tempat yang digunakan adalah blandongan, yakni panggung yang dibuat sedemikian rupa untuk keperluan pementasan kesenian (Sujana, 2002: 62-72). Pendopo yang merupakan kebanggaan bagi kalangan ménak, seringkali dipakai sebagai tempat pementasan Ibing tayub. Halaman yang luas dan panggung yang ditata sedemikian rupa menjadi sebuah ciri khas dari arena tayuban di pendopo keluarga ménak. Akan tetapi, jika tayuban digelar oleh rakyat yang bukan berasal dari keluarga ménak, maka mereka akan berusaha menyediakan tempat yang menyerupai dengan pementasan di pendopo. Peristiwa ini berarti bahwa tempat atau arena tayuban dalam hal ini pendopo sangat identik dengan keluarga ménak dengan kekayaan yang melimpah dan bersifat glamour. 4.4.8 Tatakrama Nayuban Selain dalam aspek-aspek pertunjukan, sisi eksklusif golongan ménak juga dituangkan dalam bentuk tatakrama nayuban, sebagai berikut:
102
a) Setiap pengibing yang datang pada acara tayuban tidak boleh menggunakan
busana
dinas.
Baju
bagian
atas
dengan
model
prangwadana, langenhaarjan, jakèt, beulitan atau stagèn serta memakai keris. b) Kaum laki-laki duduk terpisah dari kaum perempuan. Selama masih ada kursi kosong, mereka tidak boleh duduk sejajar dengan para bangsawan, namun juga jangan terlihat seperti bersembunyi. c) Menurut tatakrama, giliran ngibing berdasarkan atas kepangkatan, namun dibeberapa kabupaten ada juga yang mengatur selang-seling, hanya pengibing pertama tetap merupakan giliran bangsawan teratas. d) Aturan nyodèran atau ngabaksan, bahwa pembaksa diusahakan tidak terlalu jauh jabatannya dengan pengibing. Biasanya pembaksa merupakan teman kerja, sahabat, atau saudara pengibing. e) Apabila nyodèran kepada bawahan, keris dan sodèr disangga oleh tangan kiri, bergerak cukup dengan langkah keupat. Setelah dekat pengibing, sodèr diserahkan begitu saja kepadanya dan tidak perlu menyembah atau deku seperti kepada bangsawan (Narawati dan Soedarsono, 2005:63-65). Ibing tayub yang telah ditata memiliki ragam-ragam gerak yang cukup banyak yang harus dikuasai oleh seorang pengibing. Bupati Sumedang yakni R.A.A Kusumadilaga termasuk bupati yang gemar menyelenggarakan tayub. Namun, Ibing tayub yang digemari bukan karena tari tersebut mampu menghibur individu yang menari bersama ronggèng, tetapi karena dalam Ibing tayub para penari pria atau pengibing dapat memamerkan keterampilannya
103
dalam menari. Seperti halnya di istana-istana Jawa Tengah, kemahiran menari merupakan pelengkap gaya hidup para bangsawan tinggi.
4.5. Pergeseran Ibing Tayub Sebagai Kesenian Menak Menjadi Ibing
Keurseus Pencitraan ibing Tayub di masa lalu yang identik dengan pesta dan simbolsimbol
hedonisme,
menimbulkan
reaksi
dari
sejumlah
ménak
untuk
meminimalisir bahkan menghilangkan unsur-unsur negatif dalam pementasan ibing Tayub tersebut. Unsur-unsur yang dikurangi diantaranya adalah konsumsi minuman keras yang dilarang jika sampai pada tahap memabukan. Ronggéng pun hanya difungsikan untuk ngawih (menyanyi) saja, tidak perlu menari (Kurnia dan Nalan, 2003: 54). Hal ini dilakukan mengingat tarian yang ditampilkan oleh ronggéng dinilai dapat memancing syahwat kaum pria. Lebih lanjut Kuntowijoyo mengemukakan: “Mengenai tayub dan perempuan, seorang penulis menasihatkaan supaya para priyayi tidak minum terlalu banyak dalam pesta, supaya mereka tidak kehilangan kendali dan mempermalukan diri sendiri. Seorang yang terhormat tidak dianjurkan untuk memanfaatkan arena tayuban sebagai pelampiasan nafsunya tehadap perempuan, jika dia berbuat demikian, hendaknya dilakukan di luar pesta, bukannya di muka para wanita dan bangsawan” (Kuntowijoyo, 2004: 63). Ibing tayub yang kental dengan nuansa ménak lama-kelamaan menjadi hal yang juga diminati oleh berbagai kalangan di masyarakat. Hal ini dipicu karena munculnya tokoh R. Sambas Wiranatakusumah yang melakukan penertiban dan pembakuan dalam pola dan gerak Ibing tayub. Pada perkembangan selanjutnya R. Sambas mendirikan paguyuban tari Wirahmasari di Rancaekek. Dengan
104
munculnya perkumpulan tari tersebut, Ibing tayub mulai diajarkan secara sistematis dengan dikursuskan. Maka kemudian Ibing tayub disebut tari Keurseus yang bisa dinikmati semua kalangan masyarakat. 4.5.1. Pembentukan Ibing Tayub Gaya Baru Pembentukan ibing Keurseus gaya baru tidak lepas dari adanya pengaruh Tari Topeng Cirebon. Pertunjukan Tari Topeng Cirebon baik di dalam lingkungan kabupaten maupun di luar lingkungan kabupaten menimbulkan daya tarik tersendiri bagi kaum ménak penggemar Ibing tayub. Maka kemudian terjalinlah sebuah ‘pergaulan’ antara dua kelompok seniman yang berbeda latar belakang kulturnya, yaitu kelompok seniman Topeng Cirebon dan ménak Priangan dipihak lain, bentuk-bentuk kesenian yang satu (Ibing tayub) mengadopsi unsur-unsur kesenian lainnya (Topeng Cirebon). Dengan masuknya unsur-unsur Tari Topeng Cirebon ke dalam ibing Tayub, akhirnya Ibing tayub memiliki perbendaharaan gerak-gerak pokok, akan tetapi tetap mempertahankan ‘oka’ Ibing tayub sebagai salah satu ciri lamanya. Karena masih menunjukan sifat awalnya yaitu ‘fleksibel’, ibing Tayub tetap memberi peluang terhadap masuknya inovasi-inovasi baru, misalnya dalam hal penambahan gerak pokok termasuk juga sususan geraknya serta pengulanganpengulangannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibing Tayub bersifat terbuka pada penambahan gerak maupun durasinya. Hal ini dapat terjadi karena proses kreatif seseorang yang menimbulkan suatu ragam gerak diluar tari Jawa atupun Tari Topeng Cirebon. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan munculnya gaya-gaya baru dalam Ibing tayub (Sujana, 2002: 83).
105
Dengan telah diperkaya oleh gerak-gerak pokok pada setiap reportoar tari yang sudah ada, maka Ibing tayub memberikan kemungkinan untuk diangkat sebagai bentuk tari yang pantas dan memenuhi syarat untuk dijadikan tari tontonan. Maka unsur-unsur tari Jawa pun secara lebih intensif dimasukan ke dalam Ibing tayub gaya baru ini (dapat diidentifikasi antara lain oleh adanya sikap-sikap duduk sila mando dan jengkeng pada awal dan akhir tarian). Penyempurnaan-penyempurnaan ‘Ibing Sunda’ seperti itu dilakukan oleh R. Gandakusumah (Aom Doyot), yang merupakan keponakan Bupati Pangeran Suria Kusumah Adinata. Selain mengalami sentuhan-sentuhan unsur tari Topeng Cirebon, Ibing tayub gaya baru ini juga telah mengalami proses penertiban oleh R. Sambas Wiranatakusumah. Penataan dan penertiban tersebut mencakup diberlakukannya tatakrama nayuban yang harus dipatuhi oleh pengibing, mulai dari cara berpakaian, cara duduk, dan cara menari. Hal ini berarti bahwa ibing tayub mengalami pergeseran kategori dari tari yang berfungsi sebagai hiburan pribadi ke kategori dance of cultural elite yang merupakan presentasi estetis (Narawati dan
Soedarsono,
2005:
62-63).
Lebih
lanjut,
Enoch
Atmadibrata
mengungkapkan: “...seorang wedana Leuwiliang terah Sumedang yang juga senang nayub, kurang berkenan menyaksikan adegan-adegan yang cenderung seronok dalam arena tayuban. Beliau bernama R. Sambas Gandakusumah yang di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama Aom Doyot, merintis agar tariannya terpatok sehingga meminimalisir kegiatan ‘mabuk’ di arena tayuban” (Atmadibrata, 2001: 5). Masuknya pengaruh yang berasal dari pertunjukan topeng bebarang ke dalam ibing Tayub membuat ibing Tayub menjadi semakin kaya dalam
106
perbendaharaan gerak tarinya. R. Sambas Wiranatakusuma memikirkan adanya pengaruh yang beragam tersebut dan berusaha untuk membakukannya. Poin penting yang menjadi perhatian adalah pembakuan pola-pola gerak pokoknya, sedangkan ungkapan keseluruhan tarinya tetap diberikan peluang untuk ditampilan secara bebas. Untuk tujuan tersebut diadakan kursus agar para penari atau koreografer ibing Tayub bisa mendapatkan pola-pola atau patokan-patokan yang bisa dibakukan. Perubahan Ibing tayub menjadi sebuah genre tari yang dipertontonkan, tidak mencakup keseluruhan aspek di dalam Ibing tayub semula. Unsur-unsur pengiring tari masih menunjukkan ciri Ibing tayub-nya, artinya, baik jenis lagu, maupun teknis menabuhnya masih seperti Ibing tayub semula, hanya mengenai pola tabuh kendang mengalami perubahan dan disesuaikan dengan gerak dan langkah tari sebagai hasil kreativitas. Demikian halnya dengan unsur busana, tidak menunjukan adanya perubahan, karena sejak awalpun kesenian ini berorientasi pada hiburan, jadi tidak memerlukan busana khusus (Sujana, 2002: 85). Dipandang dari teknis penyajian tarinya, ibing Tayub gaya baru ini merupakan tari tunggal, yakni jenis tarian yang disajikan oleh seorang diri. Bentuk tariannya tidak memiliki cerita kecuali penonjolan pada segi perwatakan dan keindahan gerak tari. Penampilan yang mengungkapkan arti gerak tidak menjadi perhatian, maksudnyapun hanya untuk memperlihatkan kesanggupan bergerak indah dalam irama dan ruang, dan bukan menerangkan arti gerakangerakan tari itu sendiri.
107
Unsur sekar (vokal) sebagai salah satu unsur pengiring tari pada perkembangan selanjutnya tidak lagi digunakan. Musik pengiring tari menjadi berupa hidangan instrumental saja. Jika unsur sekar dilibatkan, liriknya disajikan secara bebas, hampir tidak dikaitkan dengan tema atau cerita dalam tarian, kecuali diesuaikan dengan jiwa lagu. Hal lain yang menjadi kekhasan ibing Keurseus yaitu bahwa ibing Keurseus tidak berlatar belakang tema cerita atau gambaran tokoh cerita sebagaimana kebanyakan tari-tari tontonan khususnya di Jawa Barat. Ibing Keurseus merupakan sebuah koreografi yang secara eksplisit mengetengahkan keindahan gerak sebagai sebuah ekspresi personal. Kondisi ini cukup dapat dipahami bila mengingat ibing Keurseus muncul dari tayuban, sebuah arena yang dijadikan gelanggang guna memperoleh kenikmatan lewat gerak dan lagu. Adapun mengenai karakter, ibing Keurseus mengekspresikan sebuah atau beberapa karakter umum yang dimiliki manusia dalam suatu penampilan. Hal ini mengandung arti bahwa ibing Keurseus memiliki karakterisasi yang relatif banyak. Karakterisasi ini dijabarkan oleh Nalan sebagai berikut: “Karakter yang diekspresikan oleh tari Keurseus mengikuti karakterisasi tokoh-tokoh dalam ceritera, baik itu Topeng maupun wayang. Meskipun pada awalnya tidak diketahui saat ini sangat mungkin merupakan interpretasi beberapa penerus: 1) Liyep, artinya halus (lungguh), iramanya lembut dan halus. Dalam Topeng tercermin dalam sosok Panji dan dalam Wayang diwakili oleh tokoh Arjuna. 2) Lanyap atau Nyatria artinya lincah. Dalam cerita Wayang nyatria berarti meniru-niru tokoh satria, misalnya Ekalaya. 3) Gagah, artinya kasar (dalam pengertian kuat) karena karakter seperti demikian kebanyakan dimiliki oleh para ponggawa. Dalam Wayang kira-kira sama dengan Gatotkaca dan Baladewa. 4) Ngalana, artinya meniru-niru tokoh Klana, dalam Wayang tercermin dalam tokoh rahwana” (Nalan, 1996: 67-68).
108
Adanya tahap-tahap pengkarakterisasian pada ibing Keurseus seperti yang telah dikemukakan, kemungkinan penyebabnya ada dua, pertama pengaruh dari tari Topeng Cirebon. Kedua, sebagai refleksi dari watak lagu yang bisa digunakan pada ibing Tayub. Artinya bahwa lagu-lagu yang disajikan dalam tingkat embat tertentu dalam ibing Tayub telah melahirkan suatu teknik tari tertentu pula. Misalnya tari yang memiliki karakter gagah baik monggawa maupun ngalana, kedua jenis tarian tersebut masing-mssing diiringi oleh lagu kering I dan kering II yang memiliki embat cepat dan cepat sekali (gurudugan). Selain beberapa penyebab terbentuknya Ibing Keurseus seperti yang telah dikemukakan, faktor lain yang juga berpengaruh adalah masuknya faham-faham baru seiring dengan kedatangan orang-orang Eropa ke Priangan. Idealisme orang-orang Eropa mulai masuk dengan didirikannya sekolah-sekolah Eropa di Priangan sekira tahun 1921, yang kemudian diikuti dengan berdirinya Hoosfenschool atau Sekolah Menak. Selain melalui jalur pendidikan (sekolah), gaya hidup serta idealisme barat ini juga masuk dengan adanya interaksi antara golongan elit Eropa dengan kaum menak Priangan. Menak yang juga merupakan pejabat daerah atau bahkan bupati ini kemudian dengan disadari atau tidak terpengaruh oleh pemikiran dan gaya hidup orang Eropa yang cenderung glamour. Salah satu bidang yang mendapat pengaruh dari Eropa adalah bidang pemerintahan dalam lingkup desa, yakni adanya sebuah aturan dalam pemngangkatan dan pemberhentian pejabat yang tertuang dalam Reglement op de Verkeizing van Desa-hoofen in de Gouvermentsladen op Java en Madoera
109
Nilai-nilai liberalisme pada akhirnya masuk dan memberi pengaruh terhadap segala bidang kehidupan masyarakat pribumi. Dengan semakin berkembangnya pendidikan, maka kesempatan menjadi seorang menak-pun menjadi terbuka (munculnya golongan menak anyar atau menak intelektual) meskipun masih mengundang banyak kontroversi dari bergbagai pihak. Nilainilai liberalisme inilah yang juga masuk ke ranah kesenian khususnya dalam kesenian Ibing Tayub. Beberapa menak yang juga telah mengenyam pendidikan yang tinggi kemudian mulai menciptakan pembakuan dan kreasi-kreasi baru yang bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, tidak hanya golongan tertentu (menak) saja. Selain itu, para seniman juga berperan dalam ‘memulihkan’ citra perempuan sebagai penari, yang pada mulanya memiliki konotasi negatif, menjadi perempuan sebagai penari yang mewakili kehalusan budi sebagai seorang perempuan. 4.5.2. Tari Keurseus Sebagai Genre Tari Sunda Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tari Keurseus merupakan kelanjutan dari tari Tayub yang telah ditertibkan dan dikembangkan melalui pelajaran (kursus) yang teratur dan sistematis. Tarian ini merupakan hasil dari perkawinan antara Topeng Cirebon dengan Tayuban dan merupakan refleksi untuk menghilangkan unsur negatif dalam tayuban. Melalui dasar tari Keurseus maka perkumpulan tari Sunda selanjutnya membentuk paguronpaguron seni tari, yang masing-masing tempat menggunakan sistematika dan metode serta patokan-patokan tertentu (Caturwati, 2007: 104-105).
110
Adanya
pembakuan-pembakuan
dalam
perwatakan
tari
juga
perbendaharaan gerak pokok sehingga melahirkan sebuah reportor tertentu, maka untuk menguasai tarian tersebut bukan hal yang mudah melainkan harus dipelajari lewat suatu pelajaran yang sistematis. Kesadaran tersebut muncul dikalangan menak di lingkungan kabupaten. Sehubungan dengan hal tersebut, atas prakarsa Bupati R.A.A Kusumadilaga pada tahun 1924 di Pendopo Kabupaten Sumedang didirikan sebuah perkumpulan tari bernama Sekar Pusaka. Perkumpulan yang menghimpun sebanyak 80 orang ménak memberikan pengajaran tari dan dibimbing oleh seorang juru tari yang didatangkan dari Cirebon bernama Resna (Sujana, 2002: 88). Oe. Yoesoef Tedjasukmana dalam penelitiannya yang berjudul “Tari Keurseus”, mengemukakan: “...tari Keurseus berkembang pesat diantara tahun-tahun 1930-1945. Hampir di setiap pusat-pusat kota berdiri tempat-tempat kursus tari Sunda, bahkan sampai menyebar ke berbagai daerah. Dengan demikian masyarakat luas mengenal bagaimana caranya menempuh pelajaran itu. Oleh karena itu, masyarakat menyebut kepada tari Tayub gaya baru tersebut adalah ibing Keurseus, karena pelajaran tarian tersebut dilakukan dengan cara dikursuskan (Tedjasukmana dalam Ramlan, 2009: 71). Ibing tayub yang ditekuni R. Sambas kemudian melahirkan sebuah gaya tari baru yang disebut gaya Wirahmasari yang dikenal lebih luas dan sangat populer karena diajarkan pada sekolah-sekolah Pamong Praja yaitu Osvia kemudian Mosvia. Para lulusan sekolah Osvia dan Mosvia tersebut yang kemudian menyebarkan tari gaya Wirahmasari ke daerah asalnya sebagai Binnenlands Bestuur yang sangat berpengaruh. Berdirinya Wirahmasari nampaknya menginspirasi kaum ménak di wilayah lain (di luar Bandung) untuk
111
mendirikan perkumpulan tari yang juga mengembangkan ibing Tayub. Dengan bermunculannya kursus-kursus tari yang memberikan pelajaran ibing Tayub gaya baru khususnya diluar kabupaten, berakibat logis terhadap kemungkinan terbukanya kesempatan setiap warga masyarakat baik dari golongan petani maupun pengusaha untuk melibatkan diri di dalamnya. Tokoh Ibing tayub dari kalangan pedagang salah satunya adalah Apih Sukarya, sebagai pengusaha angkutan dari Sumedang. Pada tahun 1924, Apih Sukarya tercatat sebagai salah seorang pendiri perkumpulan Sekar Pusaka di Pendopo Kabupaten Sumedang. Dari perkumpulan Wirahmasari tersebut diketahui adanya usaha yang lebih intensif dalam menertibkan dan membakukan susunan pola-pola gerak pokok Ibing tayub. Selain itu, usaha tersebut juga menitikberatkan pada tahaptahap
pengaturan
irama,
intensitas,
dan
perwatakan
tari.
Ramlan
mengemukakan: “Maka kemudian di perkumpulan Wirahmasari mampu memunculkan beberapa reportoar tari berdasarkan perwatakan-perwatakan tari itu antara lain: Liyepan atau Lenyepan dengan karakter halus yang diiringi oleh lagu dalam jenis sekar tengah dengan embat sedang; Gawil dengan karakter lincah dengan embat yang sedang; Kawitan yang memiliki tiga karakter yaitu halus, lincah dan gagah halus; Gunungsari dengan karakter gagah halus; Kastawa tiga karakter yaitu halus, lincah dan gagah halus, yang diiringi lagu yang termasuk kedalam sekar ageung, artinya sangat lambat (Ramlan, 2003: 77). Di awal kemunculannya, sulit untuk metetapkan apakah tari Keurseus berfungsi sebagai alat rekreasi atau murni untuk tontonan. Artinya tidak dapat dipisahkan secara transparan antara kepentingan rekreasi dan laku estetis. Hal ini berangkat dari adanya kenyataan bahwa: “...pertama, di dunia tari Keurseus dikenal adanya istilah kostim yaitu merujuk kepada kesukaan pelaku terhadap jenis tarian tertentu, yang
112
selanjutnya menjadi trade mark bagi dirinya. Kesukaan adalah masalah selera yang pasti bersifat subjektif. Subjektifitas inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab tari Kursus sebagai kalangenan, terlebih apabila ia muncul di arena tayuban. Kedua, di dunia tari Kursus dikenal istilah hodeng, yaitu menunjuk kepada kemampuan penari untuk melakukan kreativits di atas pentas. Bagaimana dia mengolah ruang, baik terpola maupun improvisasi, melakukan pengulangan atau penyingkatan gerak, dan lain-lain yang pada dasarnya tumbuh dari kesadaran estetis” (Nalan, 1996: 76). Fenomena munculnya paguron tari seperti Wirahmasari yang begitu dikenal d Rancaekek, sebenarnya sudah dimulai di wilayah Kabupaten Garut pada tahun 1918, dimana terdapat sebuah perkumpulan tari yang diberi nama Sari Inten Dewata. Tokohnya bernama Kontjar Kayat Dipaguna. Tarian yang dikembangkan di perkumpulan ini adalah ibing Tayub aliran Resna. Sekitar tahun 1940-an muncul perkumpulan tari serupa di Sukabumi. Perkumpulan tari tersebut adalah Gerak Maya yang didirikan oleh R. Bidin Surya Gunawan yang merupakan putra Bupati Sukabumi. Seperti juga yang dikembangkan di Garut dan Sumedang, ibing Tayub yang dikembangkan disini adalah ibing Tayub aliran Resna. Seiring dengan bertambahnya peminat ibing Keurseus, paguyuban seni Wirahmasari kemudian muncul di pusat kota Bandung pada tahun 1950-an. Karena perkumpulan ini merupakan cabang dari Wirahmasari Rancaekek, dengan sendirinya gaya ibing tayub yang dipelajari adalah ibing tayub gaya Wirahmasari. Tokoh-tokoh yang dihasilkan dari perkumpulan tari tersebut kebanyakan berasal dari kalangan ménak yang pernah mendapat pelajaran tari dari R. Sambas Wiranatakusumah, antara lain R. Sunarja Kusumahdinata, R.I. Maman Suryaatmadja, R. Oe Yoesoef Tedjasukmana dan Enoch Atmadibrata.
113
Dengan demikian pada masa itu kemampuan menari tayub bukan lagi diperoleh hanya melihat dan meniru, melainkan melalui suatu pelajaran yang sistematis. Sekitar tahun 1930-an Ibing tayub ditemukan pada beberapa lembaga pendidikan formal di Bandung yaitu Sakola Raja (Kweekschool), Sakola Ménak (Bestuurschool), MULO, HBS, MOSVIA dan HIK, sebagai salah satu mata pelajaran sekolah. Pelajaran ini disampaikan oleh R. Rubama, seorang ménak yang muncul dari perkumpulan Wirahmasari. Hal ini menunjukkan Ibing tayub gaya baru telah diakui sebagai sebuah karya seni tinggi yang pantas menjadi milik kalangan intelektual pada waktu itu. “Tarian (ibing Tayub) yang sudah diberi patokan ini kemudian dikenal dengan ibing Keurseus, karena sudah diajarkan di Kweekschool (sekolah guru), juga di Mosvia (sekolah Pangreh Praja). Ibing Keurseus yang tadinya diperuntukan bagi kaum pria, pada tahun 1953 oleh Wirahmasari cabang Kota Bandung disusunlah tarian untuk putri yang susunannya sama dengan ibing Keurseus yang berwatak lenyepan” (Atmadibrata, 2001: 6) Pesatnya
perkembangan
dan
begitu
diminatinya
Ibing
Keurseus,
menjadikan Ibing Keurseus sebagai materi pasanggiri yang pesertanya terdiri dari kalangan ménak Jawa Barat. Pasanggiri Ibing Keurseus pada masa pemerintahan kolonial Belanda diselenggarakan secara pribadi oleh para jagojago daerah setempat dengan menantang penari dari daerah lain untuk berlomba di gelanggang pentas tayub. Misalnya apabila di daerah Garut terdengar ada penari Keurseus yang bagus, maka penari Keurseus terkenal asal daerah Bandung misalnya R. Sunarya Kusumadinata menantang berlomba pada acaraacara tertentu yang kebetulan mengadakan pertunjukan Keurseus. Kini, di Priangan tari tayub maupun Keurseus tidak lagi populer. Sekarang tari Keurseus hanya dipelajari terutama di institusi-institusi kesenian, yang
114
muncul di panggung-panggung pertunjukan hanyalah serpihan-serpihan atau bagian-bagian tertentu dari komposisi tari keurseus. Dari para lulusan institusi kesenianlah bagian-bagian tari keurseus ini dimungkinkan muncul di panggung pertunjukan.