BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Model Batuan Proses simulasi dilakukan pada komputer dengan spesifikasi sebagai berikut : - prosesor
: Pentium Dual Core – 2,66 Ghz,
- memori (RAM) : 960 Mb, DDR2 – PC4200, - harddisk
: 80 Gb,
- kartu grafik
: ATI RADEON XPRESS 200 Series.
Untuk model 2 dimensi, simulasi dilakukan pada model dengan panjang sisi adalah 30 satuan sel yang dimulai dari porositas 0,1 sampai dengan 0,9 dengan pertambahan sebesar 0,05. Sedangkan untuk model 3 dimensi, simulasi dilakukan pada model dengan panjang sisi atau rusuk 10 satuan sel yang dimulai dari porositas 0,02 sampai dengan 0,7 dengan pertambahan sebesar 0,02. Waktu total yang tercatat adalah waktu bersih yang diperlukan selama program bekerja. Total waktu yang tercatat adalah 11406.02 detik untuk model 2 dimensi arah sumbu X dan 11509.19 detik untuk arah sumbu Y. sedangkan untuk model 3 dimensi, 18836.42 detik diperlukan untuk penelusuran pada sumbu X, 18214.44 detik untuk sumbu Y dan 19367.94 detik untuk sumbu Z. Total waktu yang dibutuhkan untuk keseluruhan proses adalah 79334 detik atau 22 jam 2 menit 14 detik.
46
Gambar 4.1 adalah gambar hasil program simulasi 2 dimensi, untuk penelusuran pada arah sumbu X dan sumbu Y. Bila dibandingkan dengan gambar yang dihasilkan pada program sebelumnya yaitu gambar 4.2 maka secara visual kesuksesan program dalam hal pencarian seluruh jalur yang memungkinkan untuk tembus telah tercapai.
(a)
47
(b) Gambar 4.1 Contoh pengambilan data model 2 dimensi (a) pada arah sumbu X, (b) pada arah sumbu Y.
Gambar 4.2 Contoh pengambilan data model 2 dimensi pada program sebelumnya. [Ariwibowo, 2006]
48
Pada model 3 dimensi, jalur yang terbentuk sangat rumit dan jalur-jalurnya tidak dapat diamati dengan mudah. Bila dibandingkan dengan gambar 4.4 hasil pada program sebelumnya maka akan tampak perubahan yang signifikan atas hasil dari program pengembangan ini. Berikut ini adalah gambar hasil program 3 dimensi dengan nilai transparasi sama dengan nol.
(a)
(b)
49
(c) Gambar 4.3 Contoh pengambilan data model 3 dimensi dengan nilai transparansi 0 (a) pada arah sumbu X, (b) pada arah sumbu Y, (c) pada arah sumbu Y.
Gambar 4.4 Contoh pengambilan data model 3 dimensi pada program sebelumnya dengan nilai transparansi 0. [Ariwibowo, 2006]
50
Pada gambar 4.5 di bawah ini, terdapat 3 buah gambar yang menunjukkan hasil model 3 dimensi dengan transparansi gambar senilai 0,3. Pada gambar 4.5(a) dengan arah penelusuran sumbu X tidak tampak garis-garis jalur yang menandakan tidak adanya jalur pada arah pencarian sumbu X. Sebagai perbandingan untuk ketiga gambar ini adalah gambar 4.6 yang merupakan contoh hasil program model 3 dimensi sebelumnya.
(a)
51
(b)
(c) Gambar 4.5 Contoh pengambilan data model 3 dimensi dengan nilai transparansi 0,5 (a) pada arah sumbu X, (b) pada arah sumbu Y, (c) pada arah sumbu Z.
52
Gambar 4.6 Contoh pengambilan data model 3 dimensi pada program sebelumnya dengan nilai transparansi 0,5. [Ariwibowo, 2006]
Dapat dilihat bahwa pada program sebelumnya baik 2 dimensi maupun 3 dimensi jalur-jalur yang terbentuk sangatlah sederhana dan mengabaikan jalur-jalur yang berpotensi lainnya.
4.2
Hasil Perhitungan Besaran-besaran Model
4.2.1
Perkolasi Berikut ini adalah hasil pengambilan data hubungan antara persen tembus atau probabilitas perkolasi (P(Φ)) terhadap porositas (Φ) untuk model 2 dimensi pada arah X dan Y. Pada gambar 4.7 adalah gambar keseluruhan sedangkan pada gambar 4.8 adalah gambar perbesaran pada nilai perkolasi kritis.
53
(a)
(b) Gambar 4.7 Data nilai perkolasi terhadap porositas dari model 2 dimensi (b) pada arah X (b) pada arah Y.
54
(a)
(b) Gambar 4.8 Data nilai perkolasi terhadap porositas dari model 2 dimensi (a) pada arah X (b) perbesaran pada nilai perkolasi kritis
55
Tampak pada gambar 4.8 bahwa nilai perkolasi kritis untuk model 2 dimensi pada arah X adalah pada saat porositasnya 0.35 dan pada arah Y pun bernilai 0,35 juga. Selanjutnya adalah hasil pengambilan data hubungan antara persen tembus atau probabilitas perkolasi P(p) terhadap porositas atau perkolasi (p) untuk model 3 dimensi pada arah X, Y, Z. Pada gambar 4.9 adalah gambar keseluruhan sedangkan pada gambar 4.10 adalah gambar perbesaran pada nilai perkolasi kritis.
(a)
56
(b)
(c) Gambar 4.9 Data nilai perkolasi terhadap porositas dari model 3 dimensi (a) pada arah X (b) pada arah Y (c) pada arah Z
57
(a)
(b)
58
(c) Gambar 4.10 Data nilai perkolasi yang diperbesar pada nilai perkolasi kritis.
Tampak pada model 3 dimensi, nilai perkolasi lebih bervariasi. Pada arah X nilai perkolasi kritis berada ketika porositas model sama dengan 0,06 , pada arah Y adalah 0,08 dan pada arah Z perkolasi kritis berada ketika porositas model bernilai 0,1.
59
4.2.2
Tortuositas Berikut ini adalah hasil pengambilan data sebaran nilai tortuositas rata-rat untuk berbagai nilai porositas pada model 2 dimensi pada arah X dan Y.
(a)
(b) Gambar 4.11 Data sebaran nilai tortuositas rata-rata yang diperoleh dari model 2 dimensi (a) pada arah X (b) pada arah Y.
Pada model 2 dimensi arah X nilai maksimum tortuositas rata-rata adalah 1,582 pada porositas 0,463 dan nilai minimum tortuositas rata-rata adalah
60
1,051 pada porositas 0,919. Sedangkan pada arah Y nilai maksimum tortuositas rata-rata adalah 1,583 pada porositas 0,509 dan nilai minimumnya adalah 1,046 pada porositas 0,92. Sehingga pada keseluruhan model 2 dimensi, rentang nilai bilangan koordinasi dimulai dari nilai 1,046 hingga 1,583.
(a)
(b)
(c) Gambar 4.12 Data sebaran nilai tortuositas rata-rata yang diperoleh dari model 3 dimensi pada arah Z
61
Pada model 3 dimensi arah X nilai maksimum tortuositas rata-rata adalah 3,019 pada porositas 0,247 dan nilai minimum tortuositas rata-rata adalah 1,265 pada porositas 0,153. Sedangkan pada arah Y nilai maksimum tortuositas rata-rata adalah 3,018 pada porositas 0,263 dan nilai minimumnya adalah 1,216 pada porositas 0,199. Pada arah Z nilai maksimum tortuositas rata-ratanya adalah 2,874 pada porositas 0,391 dan nilai minimum rata-ratanya adalah 1,231 pada porositas 0,151. Sehingga pada keseluruhan model 3 dimensi, rentang nilai tortuositas rata-rata dimulai dari nilai 1,216 hingga 3,019. Pada grafik nilai tortuositas terhadap nilai porositas terdapat anomali ketika porositas berada pada nilai di bawah 0,24. Fenomena ini tidak mendukung hasil eksperimen para peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai tortuositas akan berkurang sesuai dengan pertambahan nilai porositas. Oleh karena itu dilakukan pemisahan pada ketiga grafik gambar 4.12 ketika nilai porositasnya 0,24 hingga membentuk grafik seperti pada gambar 4.13 dan gambar 4.14. Hal ini dilakukan agar perilaku nilai tortuositas ketika terpisah.
porositas di bawah nilai 0,24 dapat diamati secara
62
(a)
(b)
63
(c) Gambar 4.13 Porositas vs Tortuositas dengan porositas di bawah nilai 0,24 (a) arah sumbu X (b) arah sumbu Y (c) arah sumbu Z.
(a)
64
(b)
(c) Gambar 4.14 Porositas vs Tortuositas dengan porositas di atas nilai 0,24 (a) arah sumbu X (b) arah sumbu Y (c) arah sumbu Z.
65
Setelah dipisah, grafik nilai tortuositas terhadap porositas ketika nilai porositas di atas 0,24 dibandingkan dengan hasil pengamatan Bruggeman (1935) dan Boudrau (1996).
Gambar 4.15 Perbandingan nilai tortuositas terhadap nilai porositas dengan pengamatan-pengamatan sebelumnya.
Dapat dilihat kesamaan arah perubahan nilai berupa penurunan nilai tortuositas ketika nilai porositas bertambah. Pada porositas di bawah 0,24 terdapat perilaku yang berbeda karena ketika nilai porositas semakin kecil maka bentuk jalur tembus akan semakin sederhana. Hal ini menyebabkan panjang jalur semakin pendek dan nilai toruositas semakin kecil. Pada gambar 4.15 tampak bahwa saat nilai porositas bertambah, pada grafik hasil tugas akhir nilai tortuositas berkurang lebih lambat dibanding dengan grafik lainnya. Hal ini diakibatkan kelemahan yang dijelaskan pada sub bab 4.3 yang menejelaskan ketidakmampuan program untuk menelusuri jalur yang bergerak mundur.
66
(a)
(b) Gambar 4.16 Bentuk jalur tembus yang sederhana yang menyebabkan nilai tortuositas rendah pada (a) porositas 0,165 (b) porositas 0,204.
67
Tampak pada gambar 4.16, jalur-jalur tembus yang terbentuk pada model sangat sederhana dan menyebabkan nilai tortuositas berkurang ketik nilai tortositas mengecil.
4.2.3
Bilangan Koordinasi Berikut ini adalah hasil pengambilan data sebaran nilai bilangan koordinasi rata-rata untuk berbagai nilai porositas pada model 2 dimensi pada arah X dan Y.
(a)
68
(b) Gambar 4.17 Data sebaran nilai bilangan koordinasi rata-rata yang diperoleh dari model 2 dimensi pada arah Y.
Pada model 2 dimensi arah X nilai maksimum bilangan koordinasi ratarata adalah 2,688 pada porositas 0,743 dan nilai minimum bilangan koordinasi rata-rata adalah 1,939 pada porositas 0,331. Sedangkan pada arah Y nilai maksimum tortuositas rata-rata adalah 2,698 pada porositas 0,689 dan nilai minimumnya adalah 1,938 pada porositas 0,347. Sehingga pada keseluruhan model 2 dimensi, rentang nilai bilangan koordinasi dimulai dari nilai 1.939 hingga 2.698. Pada model 3 dimensi arah X nilai maksimum bilangan koordinasi ratarata adalah 6,252 pada porositas 0,582 dan nilai minimum bilangan koordinasi rata-rata adalah 1,833 pada porositas 0,128. Sedangkan pada arah Y nilai maksimum bilangan koordinasi rata-rata adalah 6,481 pada porositas 0,621 dan nilai minimumnya adalah 1,819 pada porositas 0,13.
69
Pada arah Z nilai maksimum bilangan koordinasi rata-ratanya adalah 6,419 pada porositas 0,524 dan nilai minimum bilangan koordinasi rata-ratanya adalah 1,8 pada porositas 0,104.
(a)
(b)
70
(c) Gambar 4.18 Data sebaran nilai bilangan koordinasi rata-rata yang diperoleh dari model 3 dimensi pada arah Z.
Pada keseluruhan model 3 dimensi, rentang nilai bilangan koordinasi dimulai dari nilai 1,8 hingga 6,481.
Gambar 4.19 Perbandingan nilai Bilangan Koordinasi terhadap nilai porositas dengan hasil pengamatan sebelumnya oleh Dullien (1992).
71
Pada gambar 4.19 terlihat bahwa data hasil eksperimen ini mendukung hasil yang diperoleh Dullien (1992), yaitu bilangan koordinasi bertambah sering dengan naiknya porositas.
4.2.4
Koefisien Anisotropik Berikut ini adalah hasil pengambilan data sebaran nilai koefisien anisotropik
τ XY
untuk berbagai nilai porositas pada model 2 dimensi.
Gambar 4.20 Data sebaran nilai koefisien anisotropik τ XY yang diperoleh dari model 2 dimensi
Pada model 2 dimensi nilai maksimum bilangan nilai koefisien anisotropik
τ XY
adalah 1,193 pada porositas 0,528 dan nilai minimum koefisien
anisotropik
τ XY
adalah 0,810 pada porositas 0,509.
72
(a)
(b) Gambar 4.21 Data sebaran nilai (a) koefisien anisotropik (b) koefisien anisotropik
τ YZ
τ XZ
yang diperoleh dari model 3 dimensi
Pada model 3 dimensi nilai maksimum koefisien anisotropik
τ XZ
adalah
1,735 pada porositas 0,235 dan nilai minimum koefisien anisotropik
τ XZ
adalah 0,604 pada porositas 0,199. Sedangkan nilai maksimum koefisien anisotropik
τ YZ
adalah 1,651 pada porositas 0,351 dan nilai minimum
koefisien anisotropik
τ YZ
adalah 0,609 pada porositas 0,467.
Dari nilai maksimum dan minimum di atas dapat diamati tidak adanya pola yang berkaitan antara nilai porositas dan nilai koefisien anisotropik. Nilai koefisien anisotropik tersebar merata di sekitar nilai 1. Dapat diamati pula bahwa pada porositas yang tinggi model 2 dimensi dan 3 dimensi cenderung isotropik yang ditunjukan dengan semakin merapatnya sebaran nilai koefisien anisotropik.
73
4.3
Kelemahan Program Selain menghasilkan perbaikan dibanding program sebelumnya, program ini memiliki kelemahan pada kasus jalur tembus bergerak ke arah belakang atau mundur seperti pada gambar 4.22
Gambar 4.22 Kelemahan program pada jalur yang bergerak mundur
Kelemahan ini pada dasarnya menghindari kejanggalan yang diakibatkan bila terjadi kasus seperti pada gambar 4.23 di bawah ini.
Gambar 4.23 Kejanggalan pada kasus jalur tembus bergerak mundur
74
Hal ini dapat terjadi karena kemudahan fluida untuk mengalir ke jalur dengan arah garis tegas lebih mudah dibandingkan mengalir ke jalur dengan arah garis putus-putus. Kemudian dilakukan pengujian ulang untuk program dengan kemampuan mencari jalur kearah belakang seperti gambar 4.23 di atas maka salah satu gambar hasilnya seperti gambar 4.24 di bawah ini.
Gambar 4.24 Contoh gambar hasil pengujian ulang dengan program yang dapat mencari jalur yang bergerak mundur.
Setelah dilakukan perubahan dan dilakukan pengambilan data untuk mengamati perilaku tortuositas terhadap perubahan porositasnya, grafik yang dihasilkan dari sebaran nilai rata-rata tortuositas terhadap porositas model 2 dimensi seperti pada gambar 4.25 di bawah ini.
75
(a)
(b) Gambar 4.25 Grafik perilaku perubahan tortuositas terhadap porositas pada model 2 dimensi (a) pada arah sumbu X, (b) pada arah sumbu Y.
Bila grafik pada gambar 4.25 dibandingkan dengan grafik pada gambar 4.15 dapat dilihat perubahan terutama pada gambar 4.25(b) yang tampak linier. Hal ini dapat terjadi ketika program memiliki kemampuan untuk mencari jalur yang bergerak mundur pada arah serong belakang. Bila program memiliki kemampuan untuk mencari jalur yang bergerak lurus ke
76
arah belakang maka pada model dengan porositas yang cukup rendah panjang jalur akan lebih panjang atau tortuositas lebih besar dan seiring dengan bertambahannya porositas maka panghambat jalur akan semakin berkurang dan jalur tembus yang terbentuk akan semakin pendek. Penurunan nilai tortuositas seiring pertambahan nilai porositas akan lebih besar dari grafik 4.25(b), sehingga grafik yang dihasilkan akan lebih mendekati grafik hasil penelitian-penelitian sebelumnya seperti pada gambar 4.15.