40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Profil TPA At Taubah TPA At-taubah adalah taman pengajian al-Quran yang terletak di desa Tabongo
Barat
Kecamatan
Tabongo
Kabupaten
Gorontalo.
Tempat
berlangsungnya kegiatan pembelajaran TPA adalah di dalam mesjid At Taubah. Walaupun dengan fasilitas yang serba sederhana, TPA ini sudah meluluskan santri dan santriwati lebih dari tujuh puluh anak. TPA ini berdiri pada tahun 12 Maret 2007. TPA At Taubah diselenggarakan berkat desakan masyarakat akan kebutuhan pengajian untuk anak-anak. Desakan ini terutama dari para orang tua yang memiliki anak dengan rentang usia empat sampai dengan dua belas tahun. Kemampuan membaca al-Quran bagi masyarakat Tabongo adalah suatu hal yang wajib dimiliki seseorang sejak kecil. Hal ini diyakini sebagai tiang pondasi dirinya untuk mampu hidup dengan benar sesuai syariat agama dalam masyarakat yang homogen maupun heterogen. Pengajar pada TPA ini hanya satu orang. Beliau adalah seorang ustad yang bernama Bapak Sukiman Kasiyati. Beliaulah yang telah membantu anak-anak di desa Tabongo menjadi anak-anak yang pandai baca tulis al-Quran. TPA At Taubah tidak memungut biaya bagi santri dan santriwati. Namun, pemerintah memberikan dukungan bagi penyelenggaraan TPA ini dengan memberikan honor kepada pengajar secara berkala setiap semester sebesar Rp1.200.000.
41
Fasilitas yang tersedia di TPA ini adalah buku IQRA yang disuplai dari pemerintah, papan tulis, dan spidol. Santri dan santriwati diwajibkan berpakaian muslim setiap mengikuti pengajian. Pembelajaran di TPA diselenggarakan setiap dua minggu sekali pada malam Rabu dan malam Jumat. Jika santri atau santriwati sudah mampu menamatkan IQRA jilid 6, maka santri tersebut dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah sebagai tanda bahwa santri tersebut telah mampu baca tulis Al-Quran.
1.2 Deskripsi Hasil Penelitian Upaya TPA dalam menumbuhkan prinsip dan pandangan keagamaan yang kuat tergambar pada hasil wawancara peneliti dengan pengajar TPA Bapak Sukiman Kasiyati pada hari sabtu, tanggal 5 Januari 2013 Jam 08.00 Wita, telah diperoleh jawaban sebagai berikut. 4.2.1 Menumbuhkan dan Menerapkan Prinsip dan Pandangan Keagamaan yang Tepat Melalui TPA At Taubah Pak Sukiman menjelaskan bagaimana peran TPA dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak. Beliau berperan sebagai guru bagi santri dan santriwatinya. Berikut petikan wawancaranya. “TPA hanya mengajarkan baca tulis al-Quran setiap malam Rabu dan malam Jumat. Santri yang ikut serta tidak selalu dalam jumlah yang sama pada setiap pertemuan. Saya tidak memaksakan mereka harus datang. Karena belajar baca tulis al-Quran tidak boleh ada pemaksaaan. Hanya saya sering memberikan penjelasan untuk mencintai agama Islam yaitu dengan bisa baca tulis al-Quran. Karena jika manusia mencintai al-Quran berarti manusia mencintai Allah SWT. Allah SWT tentu saja akan mencintai mahluk yang mencintainya. Sehingga tidak mustahil semua keinginan manusia akan dikabulkannya. Dari penjelasan sederhana seperti itu, santri terdorong untuk giat mengaji TPA.”(P/TPA/SK)
42
Pertanyaan kedua yang ditujukan pada pengajar adalah bagaimana menerapkan prinsip dan pandangan keagamaan yang benar? “Bersikap dan berkata jujur adalah kebiasaan yang harus dipupuk. Contoh kecil adalah setiap santri di TPA At Taubah diberikan buku IQRA sesuai dengan jilid yang sedang dibaca dan buku itu boleh dibawa pulang. Kepercayaan TPA terhadap anak adalah penting. Buku itu disyaratkan tidak boleh kotor, dijaga kerapihannya, sehingga bisa digunakan dalam waktu yang lama. Bagi yang sudah diberikan buku IQRA tidak boleh meminta lagi. Alhamdulilah, mereka dengan begitu belajar jujur dan dapat dipercaya.” (P/TPA/SK) Berdasarkan hasil wawancara di atas, secara sederhana Pak Sukiman menjelaskan peran TPA dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak-anak yang mengaji di TPA tersebut. Walaupun secara harfiah Pak Sukiman tidak memahami makna dari definisi kecerdasan spiritual, tapi sebenarnya apa yang dilakukan Pak Sukiman sebagai guru ngaji pada TPA At Taubah telah berkontribusi terhadap pengembangan kecerdasan spiritual anak didiknya. Dengan melalui pembiasaan-pembiasaan sehari-hari untuk bersikap jujur, mencintai agama, dan sikap lainnya yang mampu mengembangkan kecerdasan spiritual anak yang memang setiap anak memiliki potensi untuk dikembangkan kecerdasan spiritualnya.
4.2.2 Menumbuhkan Sikap Kesatuan dalam Menghadapi Keragaman Melalui TPA At Taubah Pertanyaan ketiga yang ditujukan kepada guru ngaji adalah bagaimana TPA At Taubah menumbuhkan sikap dalam menghadapi keragaman manusia?
43
“TPA At-taubah hanya mengajarkan baca tulis al-Quran. Masalah-masalah seperti itu tidak jadi tanggung jawab TPA. Walaupun ketika sementara mengajar, ada santri atau santriwati bertengkar, rebutan barang mainan yang dibawa ke TPA, atau rebutan untuk menjadi yang pertama mengaji. Saya biasanya cukup member isyarat untuk menghentikan keributan-keributan tersebut dengan mengurnya dan hal itu cukup membuat santri diam.” (P/TPA/SK) Pertanyaan keempat yang ditujukan untuk pengajar adalah bagaimana cara menumbuhkan sikap tenggang rasa, rasa persatuan, kerja sama, dan solidaritas dengan sesama? “Selama saya mengajar, saya tidak pernah mengajarkan hal-hal seperti itu. Kalo santri bertengkar, atau rebut mengenai suatu hal, itu hal biasa dalam pergaulan anak-anak. Pada akhirnya reda dengan sendirinya. Namun, jika para santri bertengkar dan rebut dengan hebat, saya pasti akan turun tangan. Tapi selama ini hal tersebut belum pernah terjadi.” Pengembangan kecerdasan spiritual secara detail salah satunya bahwa anak harus diajarkan tentang keragaman dalam masyarakat sehingga dapat menghargai sesame walaupun berbeda suku, agama, warna kulit, dan perbedaan-perbedaan lainnya yang dapat menimbulkan gesekan-gesekan social di masyarakat. Anak sejak kecil harus mulai dikembangkan pemahamannya mengenai hal tersebut. TPA seharusnya juga mampu menerapkan ajaran tersebut melalui pengajaran. Bertengkar merupakan bentuk nyata akibat dari tidak saling menghargai antar teman. Seharusnya hal ini dapat dicegah dengan diberikannya teguran atau wejangan dari guru ngaji di TPA. Sikap saling memaafkan, menghargai, tenggang rasa, saling menolong, merupakan pembiasaan yang sedini mungkin dijadikan budaya dalam masyarakat.
44
4.2.3 Menumbuhkan Kesadaran dalam memaknai Kehidupan Melalui TPA At Taubah Pertanyaan kelima yang ditujukan kepada pengajar TPA adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran akan kewajiban anak sebagai mahluk Tuhan? “TPA tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban sebagai mahluk Tuhan selain baca tulis al-Quran. Karena TPA hanya memiliki satu guru dan hanya mengaji dua kali seminggu. Jadi butuh pengajar tambahan dan waktu tambahan.” Pertanyaan keenam adalah bagaimana TPA At Taubah menumbuhkan kesadaran akan hak anak sebagai mahluk Tuhan? “Saya tidak mengajar seperti di sekolah, saya hanya ngajari ngaji saja.” Berdasarkan uraian hasil wawancara di atas, TPA At Taubah hanya mengajarkan baca tulis Al-Quran saja. Indikator keberhasilan anak hanya dilihat dari segi kognitif dan psikomotoriknya saja. Aspek apektif yang juga penting bagi pengembangan kecerdasan spiritual anak agak terabaikan. Walaupun TPA akronim dari Taman Pengajian Al-Quran bukan berarti hanya melulu mengajarkan kemampuan baca tulis al-Quran. Karena penjabaran dari kemampuan baca tulis alQuran yaitu melalui sikap anak dalam kehidupan bermasyarakat.
4.2.4 Belajar Mengatasi Kesulitan dan Penderitaan Melalui TPA At Taubah Pertanyaan ketujuh adalah bagaimana membelajarkan siswa untuk mampu mengatasi kesulitan dan penderitaan? “Saya bingung jawabnya, karena saya hanya mengajar ngaji anak. Yang penting adalah bagaimana caranya agar santri bisa baca dan tulis alQuran.”
45
Dengan jawaban tersebut, peneliti menilai bahwa pertanyaan sulit dipahami sehingga akan sulit juga untuk dijawab olehnya. Sehingga peneliti bertanya lagi dengan pertanyaan yang barangkali lebih mudah dipahami baginya, yaitu dengan pertanyaan apa yang dilakukan Bapak ketika santri belajar mengaji dan santri lambat dalam menerima pelajaran. Misalnya santri perlu waktu dua kali pertemuan bahkan lebih untuk menyelesaikan satu halaman IQRA pada jilid tertentu. Atau ketika belajar menulis perlu waktu beberapa kali pertemuan untuk mampu menulis beberapa huruf yang dianggap sulit untuk santri atau santriwati. “Nah, kalau kejadian seperti itu seringkali terjadi. Saya hanya sabar saja menjalani semuanya. Pada akhirnya mereka pasti akan bisa dengan sendirinya. Tidak perlu dipaksakan apalagi dibentak, anak-anak tidak akan mau lagi mengaji di sini kalo sakit hati pada gurunya. Jadi bersabar saja, lama kelamaan mereka juga pasti bisa.”
Jawaban Pak Sukiman akhirnya membuahkan hasil. Secara tidak langsung, Pak Sukiman mengajarkan kebiasaan sabar pada santri-santrinya. Berlatih sabar juga merupakan pengembangan dalam kecerdasan spiritual yang harus ditanamkan pada anak-anak. Memang betul, pak Sukiman tidak merasa mengajarkan apapun dalam TPA kecuali baca tulis Al-Quran tapi Pak Sukiman tidak sadar bahw budaya yang diterapkan dalam kehidupan TPA telah berkontribusi terhadap pengembangan kecerdasan spiritual santri-santrinya.
4.2.5 Pendapat Orang Tua dan Santri Mengenai TPA At-Taubah Untuk lebih meyakinkan apa yang dijelaskan oleh pengajar TPA, peneliti mewawancarai beberapa orang tua santri dan santri dengan pertanyaan mengenai
46
pandangannya terhadap TPA. Orang tua santri yang pertama kali di wawancarai adalah ibu dengan inisial MM. Berikut ini petikan wawancaranya. Pertanyaan pertama, mengapa ibu memasukkan anak ibu ke TPA At Taubah? “Di daerah kami, hanya ada satu tempat belajar mengaji yaitu di mesjid At Taubah. Jadi kami tidak punya pilihan lain selain memasukkan anak untuk belajar di sana. Kalau belajar sama orang tua, anak-anak tidak ada yang nurut. Susah untuk diajari”. Senada dengan orang tua santri lainnya, mereka merasa tidak memiliki pilihan lain untuk memasukkan anak-anak mereka belajar mengaji. Hanya ada satu tempat di desa tersebut yaitu TPA At Taubah. Pertanyaan kedua, kalau begitu jika ada pilihan lain ibu akan memasukkan ke tempat lain? “Bukan begitu, sebenarnya TPA At-Taubah juga sudah bagus sekali. Hanya saja, gurunya satu. Anak-anak hanya diajari baca tulis al-Quran. Tidak ada yang lainnya. Padahal, kami juga berharap ada pelajaran tambahan seperti tata cara shalat, hafalan doa atau surat-surat pendek. Tapi, kasian, gurunya hanya satu dan waktunya juga terbatas hanya malam rabu dan malam jumat saja”. Berbeda dengan pendapat salah satu santri perempuan berumur kurang lebih 9 tahun, mengenai TPA tersebut, berikut petikan wawancaranya. “Saya kelas tiga SD. Senang sekali ngaji di sini, banyak teman. Saya mengaji jilid 3 IQRA.”
Wawancara tersebut dilakukan ketika TPA sedang berlangsung. Ada orang tua yang mengantar sehingga berkesempatan mewawancarainya, walaupun mereka merasa aneh dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Waktu itu hari Selasa, tanggal 8 Januari 2013, saya berkesempatan melihat santri
47
sementara belajar mengaji. Belajar mengaji dimulai setelah shalat magrib. Santri perempuan berkerudung dan laki-laki berpeci dan berkain sarung atau bercelana panjang. Mereka duduk menunggu giliran diajari baca al-quran. Sambil duduk di lantai mesjid, mereka menulis huruf arab yang guru contohkan di papan tulis. Sesekali mereka bermain, ada yang tertawa, serius, dan ada yang cumin diam saja. Mereka berjumlah lima belas orang, delapan orang laki-laki, dan tujuh orang perempuan. Sampai tiba saatnya adzan Isya, pembelajaran berhenti dan akan dilanjutkan malam jumat.
1.3 Pembahasan TPA At-Taubah merupakan satu-satunya TPA yang ada di Desa Tabongo. Keberadaan TPA tersebut diharapkan warga sebagai bentuk solusi bagi perkembangan kecerdasan spiritual anak-anak di desa tersebut dan agar mampu baca tulis al-Quran. Berdasarkan wawancara dan turun lapangan melihat kondisi yang terjadi di lapangan, TPA tersebut memiliki banyak keterbatasan. Hal ini terlihat dari kemampuan pengajar terhadap kemaksimalan dalam memberikan pembelajaran terhadap santri. Seolah-olah dalam pemahaman gurunya, tujuan TPA adalah hanya baca tulis al-Quran. Padahal TPA diselenggarakan bukan hanya untuk tujuan itu. Mendeskripsikan kondisi di lapangan, mengkhawatirkan sekali ketika melihat guru TPA hanya satu orang yaitu Bapak Sukiman Kasiyati. Pembelajaran di TPA hanya dilakukan dua kali seminggu. Materi yang diajarkan hanya baca
48
tulis al-Quran. Media pembelajaran hanya berupa buku IQRA jilid 1 sampai dengan 6 dan alat pembelajarannya papan tulis hitam dan kapur tulis. Kondisi TPA At-Taubah sangat terbatas begitu juga dengan proses pembelajarannya. Menghasilkan anak-anak yang cerdas secara spiritual membutuhkan penanganan yang serius. Seperti halnya pendidikan formal yang dikelola secara professional. TPA dalam hal ini di bawah naungan pendidikan non formal bukan berarti tidak harus serius. Pengelolaan yang benar akan berdampak pada hasil yang maksimal. TPA memiliki rujukan kurikulum tersendiri. Santri bukan hanya diusahakan untuk mampu baca tulis al-Quran tapi lebih dari itu. Seperti halnya pelajaran formal di sekolah. Kepedulian orang tua juga menjadi dukungan utama bagi terselenggaranya TPA yang berkualitas. Letak geografis yang berada di pedesaaan bukan berarti hanya bertahan pada ketiadaan sarana dan prasarana tapi semua dapat diusahakan. Semangat untuk memberikan yang terbaik bagi desa adalah modal utama. Bagaimanapun jika TPA dapat berperan dalam meningkatkan sumber daya manusia di desa tersebut, tentu yang akan menuai hasil adalah desa itu juga. Pengembangan kecerdasan spiritual melalui TPA adalah tepat. Tingkat religious seseorang boleh jadi berawal dari banunan pondasi keimanan yang dipupuk sejak usia dini. Idealnya, TPA sangat berperan dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak. Setelah lulus dari TPA santri bukan hanya pandai baca tulis AL-Quran tapi juga mampu bersikap siddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tablig. Maksudnya bersikap sidiq adalah bersikap jujur. Jujur di sini memiliki arti bahwa santri harus
49
mampu jujur pada dirinya sendiri, jujur pada Allah, jujur pada orang lain, dan menebarkan salam. Walaupun apa yang telah dilakukan dan dilaksanakan oleh TPA AtTaubah tidak salah, namun belum maksimal. TPA At Taubah hanya mengajarkan dan focus pada kemampuan kognitif dan psikomotorik saja dan agak mengabaikan aspek apektifnya. Walaupun, guru membiasakan hal-hal positif yang mengarah pada pembiasaan-pembiasaan positif seperti bersikap jujur dan sabar. Namun, alangkah baiknya jika materi-materi yang merujuk pada sikap apektif anak dijadikan materi pembelajaran seperti halnya membaca dan menulis Al-Quran. Sehingga mengembangkan kecerdasan spiritual dalam TPA lebih sempurna. Menumbuhkan dan menerapkan sikap siddiq tidak perlu mengambil waktu banyak, pembelajaran ini dapat melalui kebiasaan sehari-hari, contohnya guru menanyakan apakah hari ini para santri sudah shalat maghrib? Jawaban yang dilontarkan santri biasanya akan serentak sama yaitu ya. Tapi dengan jawaban tersebut, guru menstimulus lagi dengan pertanyaan berikutnya yang menekankan pada nilai kejujuran dan sangsinya ketika mereka tidak jujur. Selain sikap sidiq, istiqomah, amanah, tablig merupakan sikap-sikap yang harus dibiasakan dalam lingkungan TPA sehingga anak terstimulus untuk berbuat benar dalam kehidupan spiritualnya. Hal ini juga dapat didukung dengan adanya pelajaran tambahan seperti belajar tata cara dan bacaan shalat serta menghafal surat-surat pendek. Anak yang cerdas secara spiritual adalah anak dengan ciri-ciri mampu bersikap siddiq, istiqomah, fathanah, amanah, dan tablig. TPA berpotensi untuk
50
menciptakan anak-anak yang berkualitas seperti itu dengan dukungan pengajar dan lingkungan yang sudah layak seperti TPA At Taubah.