59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Singkat M. Natsir 4.1.1. Biografi M. Natsir Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Di masa kecilnya, Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal di sana. Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian: pemilik rumah beserta keluarga tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya. Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang. Natsir mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas dua, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Setelah beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa. Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari.Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunanperhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond.Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun 1930.Dari tahun 1928 sampai 1932, ia
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik. Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi). Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935. Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar. Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Natsir telah menulis sekitar 45 buku monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terawalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam. Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim. Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda, Natsir tidak tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Sebenarnya, langkahnya ini yang peduli terhadap dunia pendidikan disebabkan setelah dia membaca karangan Snouck Hurgronje yang melawan Islam, seperti Netherland en de Islam yang memaparkan strategi Hurgronje dalam melawan Islam. Buku ini pada akhirnya kemudian membuat Natsir bertekad melawan Belanda lewat jalur pendidikan. Pada 20 Oktober 1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung. Dari pernikahan tersebut, Natsir dikaruniai enam anak. Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, dan Esperanto.Natsir juga memiliki kesamaan hobi dan memiliki kedekatan dengan Douwes Dekker, yakni bermain musik. Natsir suka memainkan biola dan Dekker suka bermain gitar. Mohammad Natsir juga sering berbicara dengan Bahasa Belanda dengan Dekker dan sering membicarakan musik sekelas Ludwig van Beethoven dan novel sekelas Boris Leonidovich Pasternak, novelis kenamaan Rusia pada masa itu. Kedekatannya dengan Dekker, menyebabkan Dekker mau masuk Masyumi. Ide-ide Natsir dengan Dekker tentang perjuangan, demokrasi, dan keadilan memang sejalan dengan Natsir. Mohammad Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu denga adanya mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950. Namun ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah, sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi. Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
Pada tahun 2011 foto Natsir dijadikan salah satu perangko Indonesia padahal Pemerintah Indonesia saat itu, baik yang dipimpin oleh Soekarno maupun Soeharto, samasama menuding Mohammad Natsir sebagai pemerontak dan pembangkang, bahkan tudingan tersebut membuatnya dipenjarakan. Sedangkan oleh negara-negara lain, Natsir sangat dihormati dan dihargai, hingga banyak penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Namun Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam. Pada tahun 1957, ia menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Penghargaan internasional lainnya yaitu Jaaizatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980, dan penghargaan dari beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A'la Maududi. Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi. Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967. Pada tahun 1991, ia memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Pemerintah Indonesia baru menghormatinya setelah 15 tahun kematiannya, pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan kepada salah satu "bapak bangsa" ini. Pada masa B.J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. M. Natsir tercatat dalam sejarah sebagai tokoh yang sederhana sepanjang zaman. Ia "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah. George McTurnan Kahin -pengajar di Universitas Cornell- mendapat info dari Agus Salim bahwa ada staf dari Kementerian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
Penerangan yang hendak mengumpulkan uang untuk Natsir supaya berpakaian lebih layak. Apalagi, kemejanya cuma dua setel dan sudah butut pula. Sewaktu dia mundur sebagai Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya -Maria Ulfa, menyerahkan padanya sisa dana taktis dengan banyak saldo yang sebenarnya juga hak perdana menteri. Natsir menolak, dan dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser dia ambil. Natsir dikatakan menolak mobil Chevrolet Impala. Padahal, di rumahnya dia hanya memiliki mobil tua, De Soto yang dia beli sendiri untuk mengantar-jemput anak-anaknya. Sebelum dia pindah ke Jalan Jawa, dia berpindah ke Jalan Pegangsaan Timur yang ada di Jakarta. Maka, dikarenakannya ia ikut dalam Permesta, dia masuk penjara satu ke penjara lain selama 196066, dan keluarganya kehilangan rumah di Jalan Jawa dan Mobil De Soto tersebut. Hartanya diambil pemerintah. Natsir salah satu Tokoh Muslim yang berjasa untuk negara ini tutup usia di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1993 diusianya yang ke-84 tahun.
4.1.2 Teks Pidato M. Natsir “Islam Sebagai Dasar Negara 4.1.2.1 Judul Pidato M. Natsir Islam sebagai Dasar Negara adalah merupakan judul teks pidato M. Natsir yang diungkapkan pada Sidang Konstituante tahun 1957. Judul ini dipakai oleh M. Natsir dalam persidangan mewakili Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang ingin menyampaikan bahwa ummat Islam yang sejak awal menginginkan Islam sebagai dasar negara. Pidato ini dilatarbelakangi dari peristiwa dihapusnya tujuh kata pada Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” karena menurut Natsir kata-kata tersebut adalah dasar dari seluruh rakyat Indonesia khususnya umat muslim sebagai mayoritas untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Alasan kedua dari disampaikannya pidato ini adalah karena
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
keinginan dua partai politik yaitu NU dan Masyumi untuk menolak paham komunis dan mengusung Islam sebagai dasar negara. Disamping itu Masyumi merupakan partai Islam yang sedang harum dikalangan umat pada saat itu mendapatkan pukulan keras karena pada pemilu tahun 1955 Masyumi yang mendapatkan suara 40% justru tidak mendapatkan posisi yang sesuai dan kemudian dibubarkan oleh rezim Soekarno karena alasan yang tidak jelas pada tahun 1960. Secara singkat Masyumi adalah partai yang mengkhususkan diri pada perjuangan politik dalam rangka menegakan ajaran Islam dalam wadah Indonesia mereka. Dalam tempo singkat partai ini menjadi partai yang sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Dalam anggaran dasar partai tujuan didirikannya partai tertulis secara gamblang yaitu terlaksananaya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridaan Ilahi. (Islam dan Politik :33) Dengan rumusan tersebut Masyumi ingin mencapai tujuan tersebut melalui saluran dan cara yang demokratis guna menciptakan Indonesia yang bercorak Islam, tetapi dengan memberikan kebebasan kepada golongan lain memperjuangkan aspirasi politik sesuai agama dan ideologinya masing-masing. (Islam dan Politik :33) Maka pada kesempatan yang berharga tersebut M. Natsir mengangkat tema pidato yang berjudul Islam Sebagai Negara. Ide dan gagasannya disampaikan kepada seluruh peserta sidang konstituante tahun 1957. Sidang tersebut merupakan sidang yang dilaksanakan setelah Presiden Soekarno dilantik. Sidang tersebut dillaksanakan di Gedung Sociteit de Concordia Kota Bandung. Sidang Konstituante (Lembaga pembentuk Undang-undang dasar) dilantik oleh presiden Soekarno pada 10 November 1957 dan dalam persidangan tersebut dibahaslah mengenai dasar negara yang semakin ramai dibicarakan pasca pemilihan umun 1955. Sidang Konstituante tahun 1957 berlangsung 2 tahap. tahap pertama diskusi mengenai Peraturan Tata Tertib yang mencangkup organisasi konstituante dan cara- cara kerjanya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
tahap kedua dua agenda yang diperdebatkan yaitu, pokok-pokok masalah yang akan dimasukan ke dalam Undang-undang baru dan sistematika undang-undang dasar tersebut. Dalam hal tersebut ada dua pokok pembahasan yang dianggap paling penting, yaitu Dasar Negara dan Hak Asasi Manusia.
4.1.2.2 IntiSari Teks Pidato Natsir Intisari atau pokok penting ; pokok, isi ; sari pati; isi atau bagian yang terpenting dari sesuatu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Maka intisari dari teks pidato M. Natsir mengenai Islam Sebagai Dasar Negara terbagi menjadi tiga yaitu Negara, Demokrasi dan pancasila. berikut ini teks pidato M. Natsir yang terkait dengan intisari tentang negara. “Negara adalah suatu “Institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus....” “Negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu dasar negara pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan ataupun kolektif.” Sedangkan intisari dari teks pidato M. Natsir yang terkait dengan Demokrasi Islam terdapat dalam kalimat berikut. “Kewajiban saya dan kawan-kawan dari fraksi Masyumi adalah untuk menghidangkan ke muka sidang pleno yang terhorma, pendirian kami dengan cara yang lebih luas dan mendalam dari apa yang kami sudah sampaikan dalam komisi PPK. Yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya Negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam. “Negara Demokrasi Berdasarkan Islam” “Saudara Ketua, di sini saya akan kemukakan salah satu contohnya diantara prinsipprinsip-prinsip demokrasi yang terkenal, adalah : Demokrasi yaitu 1) golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan yang terbesar (mayoritas) 2) golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayoritas terjamin hak hidupnya dalam masyarakat. Intisari dari teks pidato M. Natsir yang terkait dengan Ideologi Islam yaitu pada kalimat sebagai berikut :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
“Islam adalah suatu ideologi . Islam bukanlah semata-mata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan Tuhan. Islam mengandung dua unsur, unsur hubungan manusia dengan Tuhan dan unsur hubungan manusia dengan makhluk, unsur ibadah dan muamalah” 4.1.2.3 Badan Teks Pidato M. Natsir Terdapat sepuluh point yang menjadi garis besar dari pidato M. Natsir dalam sidang pleno konstituante pada tanggal 12 November 1957 yaitu Pertama : Konstituante Harus Bebas Dari Tekanan-Tekanan. Point ini dalam pidatonya Natsir mengusulkan untuk merumuskan dan membahas mengenai bentuk negara yang nantinya dapat disahkan ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar). Terutama mengenai “struktur negara” dan dasar negara seperti federasi untuk mengganti kesatuan bagi “struktur negara” dan Islam atau sosio-ekonomi untuk dasar negara selain Pancasila...” Point Kedua dari pidato Muhammad Natsir adalah menurutnya “....Dasar Negara Harus Beurut Berakar Dalam Kalbu Masyarakat. Orang anarkis ingin menghapuskan negara selekas mungkin, orang Komunis mengharapkan agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka tercapai. Sedangkan bagi umat Islam berpendirian bahwa negara harus dipelihara selama manusia ada dimuka bumi. Negara adalah suatu “institution” yang memiliki hak,memiliki hak, tugas dan tujuan yang khusus. Negara harus memiliki akar yang langsung tertaman dalam masyarakat. Karena itu dasar negara pun harus sesuatu faham yang hidup dan dijalankan sehari-hari, terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan ataupun kolektif. Point ke tiga dalam pidato M. Natir adalah, “.....Negara kita telah menghendaki berdirinya negara atas dasar demokrasi namun ada tiga dasar yang sebelumnya dikemukakan dalam komisi I sidang Pleno Konstiuante yaitu dasar negara yang terdiri dari pancasila, islam dan sosial-ekonomi. Namun kami berkehendak agar Indonesia berlandasakan islam “Negara Demokrasi berdasarkan Islam”. Natsir mengungkapakan alasannya mengenai Islam lebih sesuai sebagai dasar negara dibantingkan Pancasila. Terlebih dahulu Natsir mengungkapkan prinsip-prinsip Demokrasi yaitu 1) golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan yang terbesar (mayoritas) 2) golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayoritas terjamin hak hidupnuya dalam masyarakat. Konsekuensi dari prinsip demokrasi jika digunakan sebagai dasar untuk membentuk sebuah negara maka seharusnya mengutamakan mayoritas yaitu Islam dan golongan minoritas akan tetap terjamin kehidupannya di masyarakat. Namun Natsir menyimpulkan bahwa Islam diusulkan untuk menjadi dasar negara bukan karena semata-mata islam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
sebagai golongan mayoritas tetapi karena berdasarkan pada keyakinan bahwa islam adalah ajaran yang sempurna yang mencakup ketatanegaraan, kehidupan masyarakat dan dapat menjamin perbedaan dalam setiap golongan....” Point keempat adalah “....Pilihan Kita, Sekuler atau Agama. bahwa kita dapat memilih untuk meletakan dasar negara dalam faham sekulerisme (ladienyah) tanpa agama atau faham agama (dieny). sekulerisme adalah suatu cara hidup yang faham, tujuan dan sikapnya hanya di dalam batas hidup keduniaan, tanpa ditujukan di luar batas keduniaan. Faham sekuler tak mengenal kewahyuan mereka hanya percaya nilai hidup didapat dari sejarah. Faham sekuler tak mengenal kewahyuan mereka hanya percaya nilai hidup didapat dari sejarah. Dalam kehidupan negara yang sekuler dilapangan ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain ditentukan oleh pentingnya kebendaan manusia dan walaupun adakalanya juga kepentingan kerohanian manusia, tetapi tidak melewati batas-batas yang ditemukan oleh manusia sendiri. Pengaruh sekuler yang paling berbahaya adalah sumber nilai-nilai hidup manusia bukan dianggap dari tuhan namun semata-mata dari kehidupan bermasyarakat. Dan yang lebih berbahayanya lagi sekulerimse mengaggap tuhan adalah hasil rekaan atau ciptaan manusia yang relatif dan berubahubah...” Point ke lima dalam pidato M Natsir yaitu Faham Sekularisme Tentang Wujud Tuhan. Natsir dalam pidatonya coba mengkritisi orasi Bung Karno mengenai konsep ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama. “......Menurut Bung Karno bangsa Indonesia adalah bangsa agraris semua bangsa yang hidup di taraf agrasis tentu religus, menurutnya orang yang hidup dalam taraf agraris tergantung dari pada yang gaib misalnya memohon turun hujan. Sedangkan bangsa yang hidup dalam taraf industrialisme tidak memerlukan yang gaib. Dia punya mesin, mesin dapat dia gerakan maka mesinnya dapat bergerak. Dalam pidato Bung Karno tersebut M. Natsir coba memberikan pemahaman yang berbeda melalui pidatonya.wahyu sebagai sumber keimanan kepada Tuhan harus bebas dari pengaruh yang besifat temporet, seperti pengaruh agraria, nomadis, industrialisme. Wujud ketuhanan telah direlatifkan menurut perkembangan hidup dari taraf agraria sampai taraf industrialisasi dll, sedangkan wahyu adalah penawar hidup yang besifat abadi dan membebaskan manusia dari ketersesatan....”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
Point ke enam dalm pidatonya Natsir mengemukanan masih mengemukakan pendapat dari Alexis De Tocqueville yang merupakan seorang filsuf dalam bidang politik dan sejarah dari Prancis. (wikipedia) “...Akibat Sekulerisme Dalam Ketatanegaraan. Alexis De Tocqueville memberi sokongannya terhadap dasar keagamaan dan menolak sekularisme sebagai dasar negara. Alexis berkata : “Kekuasaan yang tidak terbatas pada hakekatnya adalah suatu hal yang buruk dan berbahaya. Manusia tidak berdaya menjalankanya dengan teliti dan bijaksana hanya Tuhanlah yang Mahakuasa, karena hikmat dan keadilan-Nya senantiasa seimbang dengan kekuasaannya. M. Natsir mengatakan jika hak dan kekuasaan penuh itu diberikan kepada satu rakyat atau seorang, kepada suatu aristokrasi ataupun satu demokrasi, kepada satu kerajaan atau pun satu republik, disitulah saya melihat benihnya tinari dan pergilah saya ke Negeri yang lebih memiliki harapan...” Point ke tujuh, Natsir mengatakan dalam pidatonya tentang Kelebihan Agama Dari Sekulerisme dia mengambil contoh dari Emil Durkhem. Emil Durkhem adalah seorang sosiolog modern pertama di Universitas Prancis. Durkhem adalah orang yang sangat sekuler namun ayah dan kakeknya adalah sorang Yahudi yang saleh. Dari kebanyakan hasil karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena agama berasal dari faktor-faktor sosial bukan Ilahiah. (Wikipedia.org) Namun justru Durkhem yang seorang sekuer memiliki pendapat yang menarik tentang seseorang yang beragama dan diungkapkan dalam persidangan oleh M. Natsir : “......Emil Durkhem seorang sosiolog ternama menggambarakan tentang seseorang yang beragama, “Seseorang yang percaya dengan agama dan telah mengadakan hubungan dengan Tuhannya, bukanlah seseorang yang haya melihat kebenaran baru yang tidak diketahui oleh yang tidak percaya. Orang yang percaya itu adalah orang yang lebih kuat untuk menderita percobaan hidup ataupun untuk menaklukannya. Jika dibandingkan dengan sekulerisme yang sebaik-baiknya pun, maka agama masih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Paham agama memberikan tujuan yang paling tinggi. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang daoat diberikan oleh sekulerimse, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut perikemanusiaan! Yang menjadi masalah adalah pertanyaan: Di mana sumber prikemanusiaan? Apadasarnya?...”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
Point ke delapan M Natsir membahas tentang tragik Pancasila yang sekuler tanpa agama dengan isi pidato sebagai berikut. “.....Di Indonesia paham hidup menggerakan jiwa rakyat adalah agama, agama yang sifat-sifat umumnya telah saya kemukakan. Dengan sendirinya asas negara kita harus berdasarkan agama suatu rangkaian berupa ide yang dianggap diterima oleh umum, sebagai Pancasila, Pancasila tidak dipercayai sebagai agama, kalaupun ada terumus di dalamny “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sumbernya adalah sekuler....” Point Ke Sembilan adalah tentang nilai-nilai pancasila yang sesungguhnya bukan konsep yang murni. berikut isi pidato M. Natsir “.....Seruan Kepada Pendukung Pancasila, bahwa sila-sila yang terdapat dalam pancasila ada terdapat dalam islam, bukan sebagai pure concept yang steruk, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang rill dan terang. Memilih ideologi Islam para penganut pancasila tidak akan dirugikan sedikitpun. Bagi pendukung pancasila atau orang yang beragama akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas dan mengandung kekuatan. Kepada penganut sosial ekonomi bahwa anda akan menemui konsep sosial dan ekonomi yang progresif dakam Islam...” Point Ke Sepuluh, Natsir mengatakan bawa Islam adalah Islam dia adalah sebuah ideologi yang utuh dan yang menghidupkan nilai-nilai kebaikan adalah Islam bukan Sekuler, Bukan Theocracy, Tapi “Theistic Democracy” Islam Adalah Satu Agama. “...Islam telah lebih dulu menyuburkan berbagai nilai-nilai baik dan berakar kuat dalam keseluruhan ajarannya, yang bersumber kepada Tauhid. Tauhid yang berarti percaya akan adanya Tuhan yang Agung, menyebabkan rakyat kita dalam dirinya masing-masing menyimpan persaaan takqwa kepada Tuhan, Tuhan baginya yang paling berdaulat, berdaulat atas semua kedaulatan-kedaulatan diduniawi....” 4.2. Hasil Penelitian Data dalam penelitian ini adalah keseluruhan teks Pidato M. Natsir. Data asal teks ini dalam format buku , sehingga peneliti menulis ulang teks. Berikut adalah teks Pidato M. Natsir : 4.2.1. Makna Negara Dalam Teks Pidato M. Natsir
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
Berdasarkan hasil observasi terhadap teks pidato M. Natsir yaitu Islam Sesuai Makna Negara Dalam Teks Pidato M. Natsir teks-teks di bawah ini mengandung makna yang dapat ditafsirkan sebagai konstruksi Makna Negara Dalam Teks Pidato M. Natsir berikut di bawah ini teks-teks yang dimaksud. Tabel. 4.1 Makna Negara Dalam Teks Pidato M. Natsi Islam Sebagai Dasar Negara No
Asal Kata/Potongan
1
Sebelum kita membahas tentang dasar negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan : Apakah negara itu?. Dalam menjawab pertanyaan ini kita tidak akan memasuki persolan asal timbulnya negara ataupun yang mengenai nasibnya di kemudian hari. Orang komunis mengharap agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang anarkis ingin menghapuskan negara selekas mungkin. Kita umat Islam berpendirian harus memelihara negara selama manusia ada di dunia.
2
Apa yang dimaksud dengan perkataan “negara” ataupun dalam Bahasa Inggris “State?”. Mengingat banyaknya tafsiran tentang negara ini, maka baiklah kita membatasi diri dalam menjelaskan arti “negara” itu dengan mengemukakan sifat-sifat elemennya yang terkandung dalam suatu negara. Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution dalam arti umum adalah suatu badan, organisasi yang mempuyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum.
3
Apa yang dimaksud dengan perkataan “negara” ataupun dalam Bahasa Inggris “State?”. Mengingat banyaknya tafsiran tentang negara ini, maka baiklah kita
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
membatasi diri dalam menjelaskan arti “negara” itu dengan mengemukakan sifat-sifat elemennya yang terkandung dalam suatu negara. 4
Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution dalam arti umum adalah suatu badan, organisasi yang mempuyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturanperaturan tersendiri serta diakui oleh umum.
5
Maka negara sebagai suatu institusi mempunyai, wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, UUD atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Karena itu mengandung konsekuensi seperti, ia meliputi seluruh masyarakt dan segalainstitusi yang terdapat di dalamnya. Ia mengikat ataupun mempersatukan
institusi-institusi
itu
dalam
suatu
peraturan
hukum,
menjalankan koordinasi dan regulasi atas seluruh bagian-bagian masyarakat, mempunyai hak untuk memaksa anggotanya untuk mengikuti peratuan dan hukum yang telah ditetapkan, dan mempunyai tujuan untuk memimpinn dan memenuhi kebutuhan masyarakat seluruhnya.
6
Saudara Ketua, mengingat hal ini semua, maka benar dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, arti negara terhadap masyarakat sama dengan arti bentuk (form) atau aradh terhadap benda (matter) atau jauhar? Yang satu tidak terlepas dari yang lain. Nyatalah bagi kita, negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyakat. Karena itu dasar negara pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menysun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun kolektif.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
4.2.2. Konsep Demokrasi Islam Yang Terkandung Dalam Pidato M. Natsir Berdasarkan hasil observasi terhadap teks pidato M. Natsir yaitu Konsep Demokrasi Islam Yang Terkandung Dalam Pidato M. Natsir teks-teks di bawah ini mengandung makna yang dapat ditafsirkan sebagai konstruksi I Konsep Demokrasi Islam Yang Terkandung Dalam Pidato M. Natsir a. berikut di bawah ini teks-teks yang dimaksud : No
Asal Kata/Potongan
1
Semua golongan dan aliran, tanpa kecuali menghendaki berdirinya negara kita ini atas dasar demokrasi. Nyatalah demokrasi itu merupakan dasar yang hidup kuat merata dalam kalbu seluruh bangsa kita. Atas dasar itu patut kita mengucap syukur. Kami dari Fraksi Masyumi menghendaki Negara RI kita ini berdasarkan Islam, “Negara Demokrasi Berdasarkan Islam”.
2
“Disini saya akan kemukakan salah satu contoh diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal yaitu : 1) Golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas). 2) Golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayoritas terjamin hak kehidupannya. Konsekuensi dari prinsip demokrasi, jika dipakai untuk membentuk suatu negara, maka tidak bisa lain dari negara itu harus mengutamakan menjamin apa yang seharusnya hidup, terutama falsafah hidup dari sebagain besar mayoritas rakatnya. Kemudian prinsip tadi pun mengharuskan memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang berpendapat lain dari mayoritas
3
Islam bersifat demokratis dalam arti bahwa Islam anti absolutisme dan anti sewenang-wenang dan menggariskan hak-hak manusia sebagai makhluk sosial serta hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan yang diperintah timbal balik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
4
Kami menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan semata-mata karena umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya. Tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami, ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat serta dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara.
5
Kita harus menempatkan negara dalam dalam hubungan yang serat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di Negara ini. Tegasnya UUD Negara itu harus berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat dan berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari masyarakat dan negera ini. Dasar negara yang tidak memiliki syarat itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk atas sendi-sendi yang pokok.
4.3. Pembahasan Menurut .........Pidato adalah sebuah model penyampaian pesan yang dapat mempengaruhi orang lain atas ide atau gagasan yang kita sampaikan, pidato juga dapat berfungsi untuk memberikan informasi. Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan publik atau umum dapat membantu untuk mencapai suatu tujuan. Terdapat beberapa pengertian pidato diantaranya yaitu sebuah cara untuk mengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak, atau suatu wacana yang disiapkan untuk di ucapkan di depan khalayak. (Sa‟id, 2005).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
75
Dalam tesis ini peneliti menggali pesan Islam Sebagai Dasar Negara metode yang digunakan oleh penulis adalah hermenutika. Sebagai sebuah metode untuk menafsirkan sebuah teks, peneliti menggunakan metode hermeneutika yang mengikuti prinsip hermeneutika Gadamer. Gadamer mengatakan............................. Maka dengan itu penulis dalam menafsirkan teks mengaitkan teks tersebut dengan pengalaman, sejarah dan tradisi sehingga dapat diperoleh pemahaman konstruksi negara Islam pada teks pidato Muhammad Natsir. Berdasarkan hasil obsevasi terhadap teks pidato M Natsir “Islam Sebagai Dasar Negara”. Teks yang berkaitan dengan fokus penelitian terdapat hampir pada seluruh teks pidato Muhammad Natsir tentang Islam Sebagai Dasar Negara. Maka peneliti membagi pembahasan mengenai teks pidato tersebut menjadi 4 point pembahasan yang dapat dikupas menggunakan metode Hermenutika yaitu Negara, Islam, Pancasila dan demokrasi. Dari penelitian teks pidato M. Natsir tetang Negara, Islam, Pancasila dan demokrasi peneliti menemukan makrifat dari masing-masing point pembahasan penelitian. Makrifat sendiri
berasal dari kata ara‟fa yang artinya mengenal. Menurut Imam Ghazali arti
pengenalan terhadap Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul karena musyahadah (penyaksian). Orang dengan tingkat makrifat yang tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata. Oleh karena itu allah dalam pandangan mereka itu jelas dan terang, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tinggi clan dan paling utama. Berbeda dengan orang awam yang belum mencapai tingakt makrifat, bagi mereka Allah itu memang tiada berwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah. Dalam pandangan tariqah tingkat pengetahuan dibagi ke dalam 4 tingkatan makrifat, hakekat, tarekat dan syariat. Ma‟rifat adalah ilmu pengetahuan yang sampai ketingkatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
76
keyakinan yang mutak dalam mengesakan Allah. Hakekat adalah wujud dari kebenaran, Tarekat adalah jalan untuk menuju hakekat. Sedangkat syariat kesadaran akan hukum. Peneliti menggunakan kata makrifat dalam menarik makna dari hasil pembahasan teks pidato M. Natsir yang terbagi menjadi empat point yang akan dielaborasi. Dengan maksud sebagai kedekatan peneliti terhadap teks dan ke dalaman terhadap pemahaman atas pembahanan pada empat point penting dalam teks pidato M. Natsir yang berjudul Islam Sebagai Dasar Negara yaitu negara, Islam, Ideologi dan demokrasi. 4.3.1 Ma’rifat Negara Sebagai Akar Kehidupan Manusia Dalam kaitannya dengan makna negara pada teks pidato M. Natsir berikut adalah kalimat yang terkait dengan konteks negara. “....Sebelum kita membahas tentang dasar negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan : Apakah negara itu?. Dalam menjawab pertanyaan ini kita tidak akan memasuki persolan asal timbulnya negara ataupun yang mengenai nasibnya di kemudian hari. Orang komunis mengharap agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang anarkis ingin menghapuskan negara selekas mungkin. Kita umat Islam berpendirian harus memelihara negara selama manusia ada di dunia.....” Teks pidato yang buat oleh M. Natsir berada dalam kondisi perpolitikan Indonesia yang sedang memanas. Dimana Indonesia tengah mengalami masa transisi dari fase demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin (1957-1959). Pada tanggal 28 Oktober 1956 Presiden Soekarno setelah melakukan kunjungan ke negara-negara sosialis berkata bahwa semua partai politik harus dikubur untuk membuka jalan bagi tercapainya persatuan nasional.”.Kemudian pada tanggal 21 Febrauri 1957, Presiden Soekarno memanggil semua pejabat sipil dan militer serta semua pimpinan partai politik, tokoh-tokoh masyarakat untuk menghadap ke istana merdeka. Hasil yang diperoleh dari pertemuan tersebut adalah Presiden Soekarno mengajukan “Konsepsi” yang berisikan: 1) Dibentuknya Kabinet Gotong Royong
http://digilib.mercubuana.ac.id/
77
yang terdiri dari wakil semua partai politik ditambah dengan golongan fungsional. 2) Dibentuk Dewan Nasional berfungsi untuk memberi nasehat kepada kabinet. Ia menganggap sistem demokrasi yang berjalan berdasarkan UUD 1950 telah gagal dan sebagai gantinya ia sarankan agar dibentuk suatu kabinet yang ia beri nama “Kabinet Gotong Royong”. Ia menghendaki agar Partai Komunis Indonesia (PKI) juga turut andil, karena Soekarno beralasan PKI telah mendapatkan enam juta suara dalam pemilu.(Partai-Partai Politik Islam, 2003 :98) Namun usulan Soekarno dibantah oleh Hatta. Hatta segera menyatakan tentang pendapatnya mengenai “Konsepsi Presiden” dengan mengatakan bahwa suara partai lain tiga kali lipat suara lebih besar dari pada PKI pada pemili 1955. PKI memperoleh 16.4%, NU18,4 %, Masyumi 20,9% dan perolehan terbesar diraup oleh PNI sebesar 22,3% dan Hatta meminta agar PKI berada diluar Kabinet Gotong-Royong. Dan pada saat itu suara Hatta pun didukung oleh seluruh partai yaitu menolak “Konsepsi Presiden”. Penolakan tersebut berujung pada memanasnya suhu politik dan pada akhirnya Soekarno mengeluarkan maklumat Keadaan Darurat Perang-SOB. (Partai-Partai Politik Islam, 2003 :99-101) Lahirnya SOB membuat partai politik Islam semakin tersudut, terutama Masyumi yang sering mendapat kecaman dari Presiden Soekarno yang kerap berseberangan pendapat dengan Soekarno. Sementara PKI serta partai bergolongan kiri semakin berkembang dan tentara mulai memasuki kancah politik praktis. (Partai-Partai Politik Islam, 2003 : 102) Dari rangkaian pristiwa tersebut maka seluruh partai politik yang pada saat itu menjamur dengan ideologi yang berbeda dari komunis diberangus. seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berdasarkan pada Socio-Demokrasi, partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII dan Perti berbasis Islam, serta PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang berdasakan pada ajaran sosialis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
78
Karena perbedaan ideologi itulah muncul kompetisi sengit dalam memucukan masing-masing ideologi di Tanah Air. Hal tersebut membuat M. Natsir atau Partai Masyumi kala itu harus kembali menyuarakan pentingnya Islam sebagai sebuah dasar negara. Karena ia mengaggap komunis khususnya merupakan paham berbahaya. Ditambah lagi posisi ideologi komunis dalam hal ini Partai Komunis Indonesia mendapatkan perlakuan khusus dari Presiden Soekarno. Kekhawatiran Natsir diungkapakan dalam pidatonya pada sidang konstituante tahun 1957 “....Orang komunis mengharap agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai.....” Kekhawatiran Masyumi khususnya dan umat Islam umumnya juga dilandasi dengan pernyataan Soekarno yang mengatakan dalam ajaran manipol (Manipesto Politik) yang dikemukakan Bung Karno pada tanggal 17-8-1959 bahwa rakyat Indonesia harus menerima ajaran komunisme yaitu bahwa Rakyat Indonesia tidak perlu communisto phobia yaitu takut terhadap ajaran komunis. (Sistem Politik Indonesia, 1993:23) Paham komunisme (Lenin) adalah ideologi dunia yang muncul sebagai reaksi dari kapitalisme. Paham ini menganggap bahwa negara sebagai susunan golongan masyarakat yang dibentuk untuk menindas golongan lain. Pemilik modal menindas kaum buruh. Paham komunis berpendapat bahwa negara hadir hanya bila diperlukan untuk sementara waktu saja, selama belum mencapai tujuan/kesejahteraan. Namun bila seluruh tujuan tercapai maka negara dimusnahkan. Menurut Ir. Heru Santoso, M.Hum dalam bukunya Sari Pendidikan Pancasila, paham komunisme tidak sesuai dengan kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia , dimana Bangsa Indonesia sangat mengakui adanya Tuhan, menghormati HAM, memiliki keyakinan agama dan budaya sebagai warisan dari leluhur yang majemuk. Ideologi Komunisme merupakan perlawanan besar pertama abad ke 20 terhadap sistem ekonomi yang kapitalis dan liberal. Komunisme adalah sebuah paham yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
79
menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi yang bertujuan untuk tercapainya masyarakat yang makmur, tanpa kelas dan semua orang sama. Komunisme ditandai dengan prinsip sama rata sama rasa dalam bidang ekonomi dan sekularisme radikal tatkala agama digantikan ideologi komunis yang bersifat doktriner. Komunisme juga berpandangan bahwa perubahan atas sistem kapitalis harus dicapai dengan cara-cara revolusi, dan pemerintah oleh diktator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi. Pada masa transisi, dengan bantuan negara di bawah diktator proletariat, seluruh hak milik pribadi dihapuskan dan diambil alih serta selanjutnya berada di bawah kontrol negara. Dan negara serta hukum akan dilenyapkan karana tidak diperlukan lagi. Dijelaskan pula bahwa paham komunisme memiliki cara pandang yang sekuler karena memisahkan agama dari negara dan masyarakat. Karena agama atau kepercayaan bagi mereka membawa dampak negatif (Wikipedia.org). dalam teks pidatonya Natsir juga diungkapkan mengenai bahaya sekularisme. “...Apa
itu
Sekulerisme,
tanpa
agama,
ladienyah? Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang faham, tujuan dan sikapnya hanya didalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam sekulerisme tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dan sebagainya. Walaupun adakalanya mereka sehari-hari umpamanya, seorang sekulerisme tidak perlu menganggap adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan jiwa dan Tuhan, baik dalam sikap dalam arti do‟a dan ibadah.“Seorang sekulerisme tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan sekarang ini belaka...” Maka lain halnya dengan Islam, menurut Natsir “...Kita umat Islam berpendirian harus memelihara negara selama manusia ada di dunia..” Islam memandang negara sebagai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
80
tempat yang harus dipelihara karena negara adalah bagian dari dunia yang yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dapat dipelihara dan dijaga demi kelangsungan makhluk hidup yang ada dinaungannya. Mengapa Islam sangat menginginkan negara tetap menjadi naungan atau pondasi bagi seluruh makhluk yang ada didalamnya. Negara adalah kelompok besar manusia yang hidup secara berkepanjangan di atas wilayah tertentu, diatur oleh sistem kekuasaan yang mengatur kelompok masyarakat manusia ini menyangkut urusan dalam negeri maupun luar negeri, dalam perang maupun damai. Terdapat tiga pilar pokok negara yaitu, bangsa, wilayah dan kekuasaan. bangsa adalah kelompok besar komunitas manusia yang hidup dalam kestabilan tetap. Tidak dapat dibayangkan konsep suatu negara tanpa adanya suatu bangsa. Bahkan pilar ini adalah pilar penting negara. Wilayah yaitu tanah dimana komunitas manusia tersebut hidup di atasnya. Sebagimana diketahui bahwa tidak cukup untuk mendirikan negara hanya dengan adanya komunitas besar manusia – meskipun seandainya mereka hidup dalam satu ikatan teratur dan mempunyai kepemimpinan yang mengurusi urusa-urusan mereka selama mereka tidak mendiami suatu wilayah tertentu. Sedangkan kekuasaan meskipun komunitas manusia menempati wilayah tertentu tetapi tidak mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mengatur urusan-urusan dan mengenai persoalan-persoalannya dengan meletakkan undang-undang dan peraturan, mengeluarkan perintah dan larangan, maka tidaklah menjadi negara yang memiliki eksitensi politik yang mandiri. Sedangkan definsi negara islam adalah pemerintahan Islam yang mempunyai “undang-undang atau “pemerintah yang berundang-undang dasar”.atau dengan perkataan lain “pemerintahan yang undang-undang dasarnya atau induknya undang-undang dasar, ialah Syariah Islam”, yang sekarang dinamakan dengan dusur, sedangkan undang-undangnya adalah kumpulan hukum-hukum syarak yang mengatur kehidupan umat, baik hukum itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
81
berpautan dengan muamalah amaliyah, ataupun dengan ahwal syakhsyiyah, ataupun pertanggung jawab pidana dan lain-lain. Tujuan dari
pokok undang-undang ini, ialah
kemaslahaan manusia (masyarakat) dalam kehidupan dunawiyah dan ukhrawiyah. Negara Islam, bukan negara yang pemerintahannya bekerja sesuai dengan undangundang thabi‟i atau undang-undang perorangan, yang tersusun dari kecenderungan perorangan, yang penuh dengan kesewenang-wenangan dan bukan pula pemerintahan yang bekerja sesuai dengan undang-undang syiasi, yaitu : kumpulan hukum-hukum yang diatur oleh cerdik cendikiawa menurut kemaslahatan keduniawian, yang memenuhi kepentingankepentingan materiil, yang hanya melihat pada kehidupan ini dan apa-apa yang terjadi di dalamnya.(Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam :41) Pemerintah sebagai salah satu struktur dasar sistem politik merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut “wali” atau “amir” atau dengan istilah lainnya yang dikenal dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan İslam. Sejalan dengan tugas yang di emban, wali menggunakan kekuasaan politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam dirinya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh karena itu dalam menyelenggarakan pemerintahan kekuasaan, wali adalah kepala pemerintahan. İa memegang kekuasaan politik dan bertanggung jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut. Meskipun demikian, ia tidak dapat bertindak sendiri tanpa bermusyawarah dengan lembaga-lembaga yang terkait. Adanya lembaga-lembaga pemerintahan itu bukan saja karena kewajiban bermusyawarah, tetapi juga karena secara individual wali tidak akan mampu menangani urusan-urusan pemerintahan. Untuk itu ia memerlukan pembantu-pembantu dan secara bersama mereka merupakan sebuah badan penyelenggara tugas-tugas pemerintahan. Di dalam negara Islam, individu sepenuhnya menikmati hak-hak yang telah ditetapkan Islam baginya, karena setiap yang ditetapkan Islam, ditetapkan pula oleh negara.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
Dan sesungguhnya, kepemilikan individu atas hak-haknya, merupakan jaminan yang paling besar, bagi tetap kuatnya negara, tetap berbangun sehat dan mampu merealisir tujuantujuannya. Oleh karena itu, sesungguhnya negara sangat menginginkan agar semua individu menikmati hak-hak mereka. Tak ada kebaikan sama sekali bagi negara dalam perampasan hak ini, karena negara berdiri untuk memungkinkan semua individu hidup keIslaman. Salah satu faktor terpenting yang memungkinkan hal itu adalah harus adanya lembaga-lembaga yang bisa membantu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Dalam hal ini ada tiga lembaga penting yang bisa mewakili hak individu-individu tersebut, yaitu: Majlis Taqnin (Lembaga Legeslatif), Majlis Tanfidz (Lembaga Eksekutif), Majlis Qadla (Lembaga Yudikatif). Majlis Taqnin merupakan merupakan lembaga yang berdasarkan triminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-„aqd). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur‟an dan As-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntunnya. terdapat perintah Al-Qur‟an yang mengatur bahwa jika Allah dan/atau Rasul-Nya telah memberi peraturan didalam suatu masalah, tak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri[1] dan bahwa orang-orang yang tidak membuat keputusan berdasarkan Al-Qur‟an atau Kalam Ilahi ini adalah orangorang kafir. Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang Dasar. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa syariat itu sendiri tidak menjelaskan secara detail untuk semua
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
kebutuhan yang begitu banyak dan berubah-ubah dari kehidupan sosial kita.(Abdul Karim Zaidan : 1984) Jika hal ini dikaitkan dengan pemerintahan kita saat ini maka yang memiliki kewenangan dalam masalah di atas adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Lemabaga ini adalah lembaga yang mengurusi Undang-Undang dan hukum yang relevan dengan situasi untuk kemaslahatan hidup manusia dan sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum tersebut. Sedangkan dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana di dalamnya di duduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu : satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nasnya, maka tugas mereka adalah memahami nas dan menjelaskan hukum yang ditunjukkannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nasnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nasnya, dan mengistinbatkan hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya. Hal ini dikarenakan dalam pemerintahan Islam mempunyai undang-undang pokok dari Tuhan yang disyariatkan Allah SWT didalam AlQur‟an dan Hadis. Maka apabila di dalam suatu undang-undang terdapat nas, maka wajib diikuti. Dan tugas para ulama adalah membahas dan mengetahui hukum yang dimaksud oleh isi kandungan nas tersebut, sehingga aplikasi hukum menjadi benar. Apabila didalam suatu unadang-undang tidak ada nas, maka para Mujthid (ahli hukum) tersebut harus berijtihad dan beristinbat hal ini sebagai dasar undang-undang. Selanjutnya para Mujtahid tersebut tinggal menetapkan hukum terhadap perkara yang ada nasnya. Setiap pemerintahan Islam Pada setiap masa pasti membutuhkan segolongan Ulama‟ ahli ijtihad yang memenuhi syarat dan berkemampuan sempurna dalam memahami nas dasar undang-undang Tuhan dan peranannya. Selain itu harus pula menguasai ketetapan hukum terhadap masalah dan persoalan baru yang muncul tentang kemaslahatan dan kebutuhan manusia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
84
Dari sini mungkin muncul sebuah pertanyaan: Apakah hanya itu saja urusan dalam negara Islam? Jawabannya adalah bahwa dibalik batasan ini, Majlis Taqnin (lembaga legislatif) dalam suatu negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan, yaitu: Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasul-Nya., meskipun legeslatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, namun demikian dalam hal ini hanya legeslatiflah yang lebih berkompoten untuk menegakkannya dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal, dengan menggunakan defenisi-defenisi yang relevan serta rincian-rinciannya, juga menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya. Jika pedoman-pedoman dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi lebih dari satu, maka legeslatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam kitab Undang-undang dasar. Untuk tujuan ini tidak ada tawar menawar lagi yang mana bahwa Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) harus beranggotakan kumpulan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan serta kapasitas untuk menafsirkan perintah-perintah Al-Qur‟an dan dalam memberikan berbagai keputusan tidak akan melepaskan diri dari jiwa atau isi syari‟ah itu sendiri. Pada dasarnya, harus di akui bahwa untuk tujuan perundang-undangan, suatu lembaga legeslatif (Majlis Taqnin) harus memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa mengenai penafsiran mana yang harus lebih dipilih dan untuk menegakkan penafsiran yang dipilihnya sebagai hukum, kecuali bahwa penafsiran itu hanya satu dan bukan merupakan pelanggaran atau penyimpangan semu dari hukum itu sendiri. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, fungsi Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam. Dan jika sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqh, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
Jika dan dalam masalah apapun Al-Qur‟an dan As-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi AlKhulafa Al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini Majlis Taqnin (lembaga legeslatif) dapat merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Syari‟ah prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang tidak diharamkan itu halal hukumnya. Di dalam negara İslam yang sifatnya demikian, harus membentuk fungsi dari Majlis Taqnin (lembaga legeslatif). Pada tahap ini mungkin timbul pertanyaan, apakah dalam İslam ada peluang bagi yudikatif (majlis qadla) untuk menolak atau membatasi kekuasaan legeslatif (majlis taqnin) dalam hubungannya dengan penegakan hukum yang bertentangan dengan AlQur‟an dan Sunnah? Saya tau bahwa tidak ada aturan tersendiri untuk pertanyaan ini, tetapi konvensi-konvensi
yang
ditegakkan
selama
berkuasanya
Al-Khulafa
Al-Rasyidun
menunjukkan bahwa lembaga yudikatif (majlis Qadla) tidak memiliki atau menikmati kekuasaan semacam ini pada zamannya. Paling tidak, tidak ada contoh bahwa pernah seorang qadhi melakukan hal ini. Namun yang menjadi alasan disini adalah bahwa para anggota legeslatif (majlis taqnin) pada zamannya memiliki wawasan yang dalam serta berbobot dan benar didasarkan pada Al-Qur‟an dan Sunnah, jadi bisa dikatakan bahwa mereka sama sekali tidak ada kemungkinan akan terjadi legeslasi yang bertentangan dengan jiwa Al-Qur‟an dan Sunnah. Bahkan dewasa ini, jika kita dapat menjamin bahwa tidak akan ada lembaga legeslatif (majlis taqnin) yang akan menegakkan hukum-hukum yang bertentangan dengan semangat Al-Qur‟an dan Sunnah, dalam hal ini lembaga yudikatif (majlis qadla) tidak membutuhkan otoritas untuk menolak keputusan-keputusan legeslatif. Tetapi jika tidak demikian jadinya, maka satu-satunya cara yang memuaskan adalah memberi kekuasaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
kepada lembaga yudikatif (majlis qadla) untuk membatalkan semua hukum dan perundangundangan yang bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah. Dalam suatu Negara İslam, tujuan sebenarnya dari Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) adalah untuk menjalankan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur‟an dan As-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedomanpedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karakteristik Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) suatu negara Muslim inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif negara non-Muslim. Kata-kata ulul amri dan umara digunakan masing-masing didalam Al-Qur‟an dan Hadis untuk menyatakan Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif).[5] Dalam hal ini zhul Amir adalah sebagai kepala dalam Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) ini. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Amir itu harus mempunyai kekuasaan yang luas dalam majlis ini. Kepala Majlis Tanfidz ini di beri kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum, akan tetapi dalam hal urusan Administarasi negara kepala Majlis Tanfidz tidak diperkenankan untuk ikut terlibat di dalamnya, karena kepala Majlis Tanfidz wewenangnya hanya sebatas kepala majlis saja. Jika sekiranya semua kekuasaan ada ditangannya atau kepala pemerintahan dikendalikan juga olehnya maka bagaimana kemudian jika ada masalah dalam negara apakah semua masalah dalam negara tersebut akan di serahkan semua kepadanya. Ataukah ia menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mencari kawan, ataukah juga ia meminta bantuan kepada para anggota yang mewakili partai-partai terkemuka yang duduk dalam lembaga legeslatif dan menggantungkan segala tindakannya kepada partai-partai tersebut. Maka dalam rangka meringankan beban tersebut, seorang Amair harus menyerahkan sebagian tugas negara kepada para pejabat pemerintah dalam hal ini para pejabat pemerintahan
bekerja
langsung
di
bawah
Amir.
Namun
jika
dalam
perjalanannya/keputusannya nanti terdapat kelalaian seorang Amir tidak dapat begitu saja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sekalipun kapasitasnya sebagai Amir (kepala negara) atau pribadinya. Jika kemudia seseorang mengajukan dakwaan kepada amir, maka sang amir harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan . Dalam masalah di atas kita belum pernah menemukan satu contoh pun dimana seseorang sekaligus merangkap jabatan di bidang yang sama; atau dimana kolektor atau gubernur atau bahkan seorang Amir mengikuti keputusan kehakiman. Jadi tidak seorang pun, tidak juga orang pertama negara, yang dikecualikan dari kewajiban untuk tampil di depan hakim untuk membela perkara perdata atau pidananya. Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita yang ada sekarang ini, maka kita dapat mengubah atau mengganti rincian-rinciannya. Tetapi kita harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamentalnya. Umpamanya, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasaan Amir (kepala negara) dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan. Banyak bukti bahwa di zaman sekarang ini, kita tidak dapat banyak berharap untuk mendapatkan atau menemukan seorang Amir yang kaliber dan standar ruhaniahnya menyamai Al-Khulafa AlRasyidun. Oleh karena itu kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaankekuasaan administratif mereka untuk tetap melindungi diri terhadap kecendrungankecendrungan kediktatoran. Kita juga bisa membatasi dia untuk tidak mendengar serta memutuskan perkara hukum, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk merusak jalannya pengadilan. Dengan demikian, kita juga dibolehkan membuat beberapa perubahan, misalnya untuk memperbaharui undang-undang atau peraturan agar selaras dengan kebutuhan kita sekarang untuk pelaksanaan pemilihan Amir (kepala negara). Atau juga mengundangkan undang-undang untuk melaksanakan urusan legeslatif.menjelaskan dan menetapkan kekuasaan-kekuasaan serta status berbagai pengadilan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
Sebagai Rakyat tentunya apapun keputusan Amir harus di patuhi, hal ini berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis, kaum Muslimin diperintahkan untuk menaatinya dengan syarat bahwa Tanfidz (eksekutif) ini menaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran alias tidak melakukan maksiat. Pernyataan Al-Qur‟an berikut ini sudah sangat jelas: ...Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS Al-Kahfi: 28). ..Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan". (QS Asy Syu'araa': 151-152) Demikian juga Rasulullah Bersabda ; Dalam hadits riwayat Ubadah Ibnu Shamit disebutkan :“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali, „Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.” “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Maka dalam undang-undang Islam berkumpul hikmah akal baik akal perorangan, maupun akal bersama, petunjuk-petunjuk kenabian dan maksud-maksud ketuhanan. Inilah hakikat undang-undang Islam. Dia, bukanlah pendapat seseorang manusia yang dipandang melengkapi berbagai kepentingan. (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam : 42) Konsep negara menurut Ibnu Khaldun, Dalam terjemahkan kitab Muqaddimah ke dalam bahasa Inggris, oleh Penerbit Pustaka Al-Kautsar (Masturi Irham, Lc, Malik Supar, Lc, dan Abidun Zuhri). Negara menurut Ibnu Khaldun adalah suatu mahluk hidup yang lahir, mekar menjadi tua dan akhirnya hancur. Negara mempunyai umur seperti mahluk hiudp
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
lainnya. Ibnu Khladun berpendapat bahwa umur negara tiga generasi, yakni sekitar 120 tahun. Satu generasi dihitung umur yang biasa bagi seseorang yatitu 40 tahun. Ketiga generasi tersebut adalah : Pertama, generasi pertama yang hidup dalam keadaan primitif yang keras dan jauh dari kemewahan dan kehidupan kota, masih tinggal dipedesaan dan padang pasir. Generasi kedua, berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara sehingga generasi ini beralih dari kehidupan primitif yang keras ke kehidupan kota yang penuh dengan kemewahan. Dan generasi ketiga, negara mengalami kehancuran, sebab generasi ini tenggelam dalam kemewahan, penakut dan kehilangan kehormatan, keperwiraan dan keberanian. (Mukaddimah, x) Ibnu Khaldun juga memiliki pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial, yaitu manusia memiliki tabiat madani (sipil dan sosial). Maksudnya manusia haruslah memiliki hubungan sosial (Muqaddimah :69). Manusia harus terkumpul banyak kemampuan dari banyak manusia agar mereka dapat bertahan hidup. Adanya hubungan sosial membuat kebutuhan mereka mudah terpenuhi. Jadi hubungan sosial adalah sesuatu yang urgent dalam kehidupan manusia. Jika hubungan sosial tidak ada, maka tidak sempurnalah wujud mereka dan tidak terwujud apa yang dikehendaki Allah SWT berupa memakmurkan dunia dengan mereka dan menjadikan mereka sebagai khalifahnya di bumi.(Muqaddimah 70-71) Sedangkan arti pemimpin atau raja menurut Ibnu Kahldun adalah mereka yang memiliki dominasi atau kekuasaan. mereka harus menolak kedzaliman diantara mereka, karena sifat memusuhi dan menzalimi merupakan bagian dari watak mereka. Karena itu harus ada yang harus menolak permusuhan diantara mereka, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang bertindak sewenang-wenang terhadap pihak lain. (muqadimah :72). Pemimpin dalam islam sesungguhnya tak terbatas pada sebutan bagi presiden, kepala negara, raja atau sampai lini terkecil yaitu kepala rumah tangga. Islam memandang bahwa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
setiap manusia yang lahir di bumi dari yang pertama hingga terakhir adalah seorang pemimpin (khaliefah). Setidaknya dia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Maka kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Namun yang dimaksud dengan Khaliefah dalam negara yang berarti kepala negara pilihan rakyat, yang didalamnya istilah politik disebut “president. (Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena : 88). “Next Legislator must impose as a duty to whosoever succeds him. He must also prescrible taht designation of the successor can only be made by himself or by the consensus of the elders. The letter shouldies of courage, temperance, and g verify to the public that the man of their choice can hold sole political authotity, that he is of independent judgment, that he is endowed with the noble qualities of courage, temperance, and good governance, and that he khow the law to a degree unsurpassed by anyone else. Such a verfication must be openly proclaimed and must find unanimous agreement by the entire public” (Kemudian itu undang undang harus menetapkan kewajiban bertaat kepada Kepala Negara yang mendatang kemudian. Bahwa pengangkatan seorang Kepala Negara yang sebelumnya atau dengan pilihan oleh para terkemuka : mereka itu harus menyatakan kepada rakyat secara terbuka, bahwa orang yang mereka pilih itu adalah berdiri bebas atas aliran politik yang dianutnya. Mempunyai kecerdasan yang berakar, memiliki akhlak yang mulia
yaitu
keberanian, kesucian dan bagus kepemimpinannya dan dia mengerti akan hukum syariat secara baik yang diakui dengan kenyataan dan disetujui oleh rakyat umumnya.) Maka menurut peneliti untuk mencapai negara yang seperti diungkapkan oleh Ibnu Khaldun maupun Ibnu siena yaitu pemimpi n
harus
memiliki
karakter
kuat
sebagai
penengah, berwibawa, adil dan membawa persatuan bagi seluruh manusia yang cenderung
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
memiliki sifat agresif adalah pemimpin yang mengerti akan siapa yang dipimpinnya, memenuhi sifat-sifat kebaikan dan nilai-nilai Islam. Menjadi wajiblah bagi sebuah negara untuk memiliki pemimpim. Indonesia bahkan negara-negara di seluruh dunia tidak pernah mengalami kekosongan pemimpin. Karena kepala negara adalah sebuah jabatan individu atau kolektif yang mempunyai peranan sebagai wakil tertinggi dari sebuah negara baik republik, monarki, federasi (Wikipedia.org) Menurut Ibnu Khaldun mengangkat kepala negara, wajib. Telah diketahui kewajibannya pada syarak dan ijmak sahabat dan tabi‟in, mengingat bahwa sahabat –sahabat Rasulullah bersegera membaiat Abu Bakar sesudah Rasul wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada tiap-tiap masa sesudah itu. Tak pernah masyarakat dibiarkan dalam keadaan tidak berpemimpin. Hal ini semuanya mrupakan ijmak yang menujuk kepada wajib adanya kepala negara. (Mukaddimah : 286) Kepemimpinan adalah sebuah amanat bagi mereka yang memiliki rasa tanggung jawab namun jika pemimpin tidak menjalankan tugasnya dan menjadikannya sebagai sebuah amanah maka negara yang dipimpinnya justru akan membinasakannya. Rasulullah bersabda diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Kamu akan diperintahkan oleh para wali (penguasa) maka penguasa yang baik akan mengendaikan kamu dengan kebaikan dan penguasa yang curang akan mengendalikan kamu kepada kecurangan. Karena itu dengarlah dan taatilah terhadap segala sesuatu dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik maka kebaikan itu untukmu dan untuk mereka. Dan jika mereka berbuat jahat, maka kejahatan itu kembali kepada mereka saja. (Prof. Dr. T.M Hasbi Ash Shiddienqy :1991)
Dan juga ditegaskan dalam sebuah hadist yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang pemimpin yang memegang urusan kaumnya lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
92
tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).” Dalam pandangan di luar islam raja kepala negara menurut sejarawan Kuntowojoyo yang menggunakan bahasa atropologi dan sosial pengetahuan bahwa “raja melihat kawula dan priyayi sebagai abdi yang harus duduk dilantai, priyayi melihat kawula sebagai wong cilik, yang tidak memiliki simbol kekuasaan, oleh karenanya rendah, kasar dan tidak terpelajar. (Raja, Priyayi dan Kawulan : xxxiii). Sehingga peran raja atau kepala negara bukanlah sebagai individu yang melayani rakyatnya dalam menjalani memenuhi segala hajat dan kebutuhan di dalam negaranya. Justru peran raja atau kepala negara sebagai orang yang harus mendapatkan pelayanan dan memandang rakyat sebagai budak yang tidak memiliki hak untuk hidup layak di negerinya. Peneliti melihat konteks pemimpin/raja/kepala negara dalam pandangan Islam adalah Pemimpin yang sangat ideal untuk mewujudkan negara yang aman seperti dikatakan oleh Ibnu Khaldun pemimpin atau penguasa sebagai hakim dan penengah bagi individu-individu yang memiliki watak agresif. Untuk membentuk negara yang diharapkan dengan dipimpin oleh pemimpin yang baik maka Islam adalah sebuah pilihan untuk menjadi dasar negara, seperti disampaikan oleh M. Natsir dalam salah satu paragraf di Pidato Islam Sebagai Dasar Negara. “...Saudara Ketua, mengingat hal ini semua, maka benar dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, arti negara terhadap masyarakat sama dengan arti bentuk (form) atau aradh terhadap benda (matter) atau jauhar? Yang satu tidak terlepas dari yang lain. Nyatalah bagi kita, negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyakat. Karena itu dasar negara pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun kolektif...”.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
Negara yang dimaksud oleh Natsir adalah negara berdasarkan Islam dimana mayoritas penduduk muslim di Indonesia adalah yang terbanyak. Sehingga negara harus memiliki “akar yang langsung tertanam dalam “masyarakat”, yang dimaksud dengan “akar” adalah “Islam” yang dijadikan sebagai dasar negara. Maka pernyataan Ibnu Khaldun tentang negara menjadi senafas dengan M. Natsir . Ibnu Khaldun berpendapat bahwa terbentuknya suatu negara, yaitu ashabiyah. Teori inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern Muslim lain. Franz Rosenthal menterjemahkan ashabiyah dalam bahasa Inggris dengan “Group Feeling” (rasa satu kelompok) atau lebih tepatnya solidaritas kelompok. Ashabiyah menurut Ibnu Khaldun adalah kekuatan penggerak yang merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti. Bilamana negara atau dinasti di tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah. Ashabiyah memiliki peranan besar dalam perluasan negara setelah sebelumnya merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Bila ashabiyah itu kuat maka negara yang muncul akan luas, sebaliknya jika ashabiyah lemah, maka luas negara yang muncul relatif terbatas. Dalam teorinya ini, Ibnu Khaldun mengemukakan dua premis. Pada premis pertama, ia berpendapat bahwa orang tidak mungkin mampu menciptakan sebuah negara tanpa didukung oleh suatu rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi.: “Agressive and defensive strength is obtained only through group feeling whith means mutual affection and willingness to fight and die for each other”. (mendominasi dan mempertahankan diri hanya dapat dilakukan dengan solidaritas, karena didalamnya terdapat ajakan untuk waspada, kesiagaan untuk berperang dan kesediaan orang dalam kelompok itu untuk mengorbankan jiwa dalam mempertahankan temannya). (Muqaddimah, Ibnu Khaldun : 313) Pada premis kedua, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa dalam mendirikan sebuah negara dibutuhkan suatu kerja keras dan perjuangan yang hebat, yakni pertarungan hidup dan mati. Sebab kekuasaan negara adalah suatu bangunan yang kokoh yang tidak dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
dirobohkan siapa saja. Untuk itu diperlukan kekuatan yang besar karena dalam kedudukan/kekuasaan itu terdapat segala kebaikan dunia, sebab itu ia selalu diperebutkan. Dan ketika kekuasaan sudah ada ditangan, maka seseorang yang memilikinya tidak akan memberikan kekuasaan tersebut kepada orang lain, kecuali jika ia dikalahkan dalam pertarungan. Untuk menghadapi pertempuran inilah diperlukan rasa solidaritas yang kuat. (Muqaddimah, Ibnu Khaldun : 313) Jika Ibu Khaldun negara adalah bangunan yang kokoh dan merupakan kekuasaan besar maka diperlukan perjuangan hebat dan rasa solidaritas serta persatuan untuk membangunnya, natsir mengatakan negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyakat jika akar menurut peneliti adalah nilai-nilai luhur seperti cinta, kasih sayang, rasa persatuan dan nilai-nilai kebaikan yang sudah tertanam di dalam sanubari masyarakat. Maka jika nilai-nilai tersebut sudah ada negara akan menjadi kokoh dan kuat untuk menaungi seluruh mahkluk di dalamnya. Kekokohan tersebut dapat terbangun bila sistem yang dijalankan oleh sebuah negara dapat dilaksanakan dengan baik. Adapun teori sistem William A. Sharode dan Dan Voich Jr. 1974. Sistem adalah kumpulan objek-objek yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dalam lingkungan yang kompleks. Keduanya sama-sama membicarakan tentang tujuan yang dilakukan oleh kumpulan, kelompok atau gabungan. Sedangkan negara sebagai sebuah sistem bertujuan untuk menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. (Wikipedia.org) Maka sistem negara baru dapat dikatakan mencapai tujuan jika seluruh elemen dalam bernegara berjalan dengan baik. Namun apakah sistem pemerintahan Indonesia sudah baik?.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
Sedangkan pemerintahan diumpamakan sebagi “sebuah perusahaan” yang terbesar dari segala perusahaan manusia yang ada. Tidak terdapat organisasi swasta jenis manapun dan betapapun luasnya atau perserikatan yang bersifat ekonomi ataupun berbentuk kartel, tidak ada suatu organisasi kebudayaan manapun seperti gereja dunia misalnya, dapat dibandingkan dengan suatu pemeritantahan baik dalam sekala tugas ataupun ragam yang harus dilakukannya...”(Syafrudin : 1992 / Ernan Arno : 2003). Indonesia sebagai negara yang menjadikan pemerintah sebagai pelaksana sistem yang mengatur seluruh elemen dalam negara masih mencatat berbagai kasus sejak zaman kemerdekaan hingga hari ini. Menurut data transpancy.org Indonesia masih menduduki peringkat ke 12 negara terkorupsi Se-Asia dan menduduki urutan ke 107 negara bebas korupsi dari 175 negara. Tak hanya itu, pemerintahan Indonesia juga kerap melakukan penjualan aset negara seperti Indosat, Telkomsel, BUMN dan Pertamina. Mengapa penjualan aset negara menjadi berbahaya karena dapat merusak kemandirian ekonomi bangsa ujungnya adalah Indonesia menjadi lemah dan mudah dikuasai oleh pihak asing (Kompas.com, amin rais, penjualan aset membahayakan bangsa, 28 November 2010). Jika aset negara saja mudah tergadaikan bagaimana dengan harga diri bangsa dan negara. Maka tak heran jika Indonesia mudah saja menerima pinjaman dana asing. Seperti yang terjadi baru-baru ini. Menteri BUMN, Rini Soemarno telah menyetujui perjanjian kerjasama bantuan pendanaan dari China terhadap sejumlah BUMN di tanah air dengan total dana Rp. 540 triliun. Sampai saat ini kondisi perekonomian Indonesia belum menjukan perubahan yang positif secara signifikan. Jika Indonesia mengalami krisis dan tidak mampu membayar hutang maka secara otomatis perusahanan-perusahaan BUMN jatuh ketangan asing (China). (Okezone.com, 2015). Hal hampir serupa juga pernah terjadi ditandai dengan ketidakpuasan rakyat terhadap jalannya sistem pemerintahan hingga hari ini. Salah satu moment fenomenal yang terjadi di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
tanah air adalah Reformasi 1998 yang menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan sistem pemerintahan Indonesia. Terjadinya pergolakan pada bulan Mei 1998 merupakan peristiwa bersejarah yang telah membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Krisis ekonomi
1997-1998 perekonomian Indonesia mengalami gunjangan pada
tahun 1997 saat muncuk krisis moneter di Tahiland karena devaluasi baht yang menular ke Indonesia (contagion effek). Pada bulan Agustus 1997 pemerintah membuat keputusan drastis yaitu mnegalihkan dana BUMN dari bank-bank ke SBI dan meningatkan tingkat suku bung SBI (30% untuk satu bulan 28% untuk 3 bulan) kebijakan pemerintah tersebut menambah persepsi negatif pasar sehingga memicu pembelian dolar AS, hingga akhirnya rupiah anjlok di level 17.000 per US dollar pada 22 Januari 1998. 31 Oktober 1997 Indonesia melakukan nota kesepahaman dengan IMF oleh Menteri Keuangan Marie Muhammad dan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono dalam momenradum on economic and financial politices. IMF mencengkram Indonesia dengan kebijakan berupa liberalisasi perdagangan, mengurangi dan meniadakan kuata impor, privatisasi perusahan milik negara, privatisasi lahan pertanian. Kedatangan IMF membuat Indonesia kala itu terjebak dalam lubang krisis yang semakin dalam. Karena hutang yang diberikan IMF adalah sebuah jebakan agar Indonesia tetap bergantung pada institusi ini sehingga pada akhirnya Indonesia harus meliberalisasi perdagangannya, melakukan penjualan aset-aset negara yang penting dan vital. (Politik Huru Hara Mei 1998 : 9)
Jika melihat kondisi Indonesia negara belum mampu memenuhi perannya untuk menjaga kestabilitasan ekonomi, politik dan masyarakatnya, serta menjaga kestabilan fondasi pemerintahan. Indonesia hari ini adalah cerminan bobroknya sistem pemerintahan yang dijalani dengan tidak berlandaskan pada nilai-nilai yang luhur dan tertanam jauh di dalam lubuk hati masyarakatnya. Seharusnya Islam patut diperhitungkan kembali menjadi dasar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
97
dari berdirinya negara ini seperti yang diungkapkan M. Natsir dalam Pidatonya Islam Sebagai Dasar Negara “.....Indonesia berdasarkan Islam bukan semata-mata karena Islam adalah golongan yang terbanyak dikalangan rakyat Indonesia seluruhnnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita. Tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami, ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketanagegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat serta dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara. Kapaupun besar tidak akan melanda. Kalaupun tinggi akan melindungi.......” Islam adalah suatu sistem, suatu sistem hidup, kehidupan manusia yang dapat dipraktekkan dalam semua aspek kehidupan, sistem ini merangkumi konsep kepercayaan (i‟tiqad) yang dapat menjelaskan hakikat kewujudan alam semesta dan dapat menentukan kedudukan manusia dalam alam ini serta menentukan matlamat hidup
insan. Sistem-
sistemnya, dan semua ini dapat membentuk suatu konsep hidup yang praktis dalam kehidupan manusia.diantara sistem-sistem itu adalah sistem moral, termasuk sumbernya, asas-asas yang menjadi tunggknya dan sumber kekuatannya. Sisem politik termasuk ciricirinya : sistem kemasyarakatan, ekonomi , falsafah dan sturkturnya serta sistem antar bangsa dengan segala jalinan pertaliannya. (Sayyid Qutub : 1986) Maka jelas peran kepala negara yang kuat dalam hal membela kepentingan publik dan menjaga aset negara agar menjadi warisan bagi bangsa menjadi hal paling penting. Pemerintah atau kepala negara menjadi pengemong dan pemimpin yang diibaratkan sebagai bapak atau penggembala yang memelihara dan memajukan kemakmuran negara dan seluruh rakyat. Untuk itu diperlukanlah ada “politik ekonomi‟ yang tegas, menuju kepada keadilan dan kemakmuran negara yang sifatnya menyeluruh.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
98
Politk ekonomi menurut Ibnu Siena tujuan dari politik ekonomi negara haruslah diarahkan kepada yaitu, keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian, kerjasama setiap golongan untuk tujuan pembangunan total. Kestabilan ekonomi adalah penting sehingga rakyat dan negara tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan segolongan manusia. (Negara Adil Makmur :194) Peneliti melihat terdapat tipikasi negara menurut komunis dan anarkis negara dimaknai sebagai sebuah “alat” untuk mencapai tujuan mereka dan kemudian jika tujuan sudah tercapai maka negara akan dimusnahkan atau dihancurkan. Paham komunisme pada dasarnya memperjuangkan kewujudan sebuah masyarakat tanpa negara, tidak ada wujud bangsa, tidak ada wujud fitrah manusiawi, tidak ada kewujudan “individu” dalam paham ini (.Sayyid Qutub : 76) Sedangkan, menurut Ibnu Khaldun negara adalah “kekuasaan” yang dimana seluruh makhluk yang bernaung akan dilindungi oleh penguasa yang beriman, berakhlak baik dan mengikuti nilai-nilai Islam hingga timbulah ketenangan, kesejahteraan dan rasa aman dalam diri setiap orang yang bernaung dalam negara. “Seorang muslim, hidup di dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dalam arti yang sesungguhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sama sekali tidak mungkin dipisahkan bagi kaum muslimin dari ideologi mereka. Sikap dan pandangan hidup seperti itulah yang ingin dijadikan dasar dalam mengatur pengelolaan negara, dimana setiap prilaku dan tindakan pemimpin serta warga negara tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan, tetapi semua perbuatan selalu dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT. ( M.Natsir : 1973). Maka Ma‟rifat negara menurut peneliti adalah sistem kehidupan yang terdapat nilainilai Islam sehingga membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat yang berada di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
99
dalamnya. Sesuai dengan ayat Al-Quran surat An-Nur Ayat 55 yang artinya: “Allah Telah berjanji kepada orang –orang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang gsaleh bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku dengan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”. Ayat ini menjelaskan tentang kekuasaan yang dijanjikan oleh Allah. Sesungguhnya khalifah dan kekuasaan di muka bumi adalah kekuatan untuk melakukan pemakmuran dan perbaikan bukan untuk memusnahkan dan menghancurkan. Ia juga merupakan kekuatana untuk merealisasikan keadilan dan ketenangan, bukan kedzaliman dan penjajahan. Ia juga merupakan kekuatan untuk meraih derajat yang tinggi dalam jiwa manusia dan sistem kehidupannya, bukan untuk menyimpang baik individu ataupun komunitas kepada prilakuprilaku binatang!. (Sayid Qutub, Tafsir Fi Zhilalil Quran‟an, Surat An-Nur :55, 81) peneliti pun melihat bahwa negara haruslah dipimpin oleh orang yang patut (Ashlah) seperti yang dilakukanoleh Nabi saw. Ketika menaklukan kota Mekkah dan menerima kunci Ka‟bah dari tangan Bani Syaibah, paman beliau Abbas menuntut kepadanya dipusatkan urusan air untuk keperluan jamaah Haji dan Sadanah (Penjagaan Ka‟bah) ; maka lantas Tuhan menurunkan ayat tersebut tadi, dengan mengandung perintah supaya mengembalikan kunci-kunci Ka‟bah kepada Bani Syaibah. Maka dari peristiwa tersebut dapat dilihat bahwa kewajiban seorang pemimpin adalah menempatkan urusan kepada orang-orang yang lebih patut (cakap) untuk memegang tanggung jawab. “Barang yang bertugas menatur kaum muslimin, maka diangkatnya seseorang padahal ia masih melihat orang yang lebih patut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
100
(cakap) untuk kepentingan ummat Islam dari yang diangkatnya itu, maka dengan begitu sungguh ia telah berkhianat kepada Allah dan Rosul-Nya (HR Hakim-Sahih). Negara menurut peneliti haruslah bersandar pada hukum dan kepemimpinan yang berdasarkan tuntunan dari Allah SWT. Sementara banyak perdebatan apakah Islam mengatur negara adalah hal yang furu (Cabang) atau Ushul (dasar-dasar agama). Mengenai negara memang masuk pada masalah furu namun bukan berarti dia dapat diabaikan karena Islam tidak hanya terbatas pada masalah aqidah semata, tetapi Islam adalah aqidah dan amal. Iman yang merasuk dalam hati dan dibenarkan dengan amal. Seperti halnya sholat dan zakat termasuk furu dan bukan ushul sebab sholat dan zakat adalah masalah amal bukan masalah aqidah. Tetapi bukan berarti masalah furu mengeluarkan shalat dan zakat dari statusnya sebagai rukun Islam dan bangunnya yang paling besar. Maka meyakini sholat dan zakat, iman kepada statusnya adalah sebagai rukun Islam adalah ushul bukan furu. Karena itu orang yang mengingkari dan meninggalkan kewajibannya dianggap kafir yang keluar dari agamanya. Karena dia mengingkari sesuatu yang urgen dari agama, di samping mengandung pendustaan terhadap Allah dan Rasulnya. Maka kaitannya dengan konteks negara menjadikan hukum dan ajaran islam sebagai dasar dalam bernegara menjadi wilayah iman dan dianggap sebagai bagian dari perkara ushul. Peneliti menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh M. Natsir dalam pidatonya mengenai sekularisme menjadi amat sangat berbahaya. Karna paham ini mengucilkan agama dari masyarakat dan negara yang hendak menbatasi agama dalam batin individu dan kalaupun boleh hanya keluar dari batas masjid yang di dalamnya dijadikan sentral aktivitas orang untuk menyeru pada yang ma‟ruf dan meninggalkan yang mungkar, ialah bukan terletak pada satu masalah furu justru masalah ushul, karena hal ini berhubungan dengan jurisdiksi (hakimiah) Allah. Artinya apakah Allah memiliki hak untuk memutuskan perkara mahkluk-Nya, boleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
melarang dan memerintahkan mereka, menghalalkan dan mengharamkan bagi mereka, ataukah tidak memilih semua itu?. Orang-orang sekuler mengharamkan Allah Azza Wa Jalla jelas memiliki hak tersebut. Mereka hendak mengungguli Rabb mereka dan menganggap diri mereka lebih pintar tentang makhluk-Nya ketimbang Allah. Maka peneliti menanggap bahwa mengenai negara dengan dasar Islam adalah masalah ushul dan aqidah. Sehingga siapa yang beragama Islam haruslah turut memperjuangkan lahirnya negara dengan sistem atau ideologi Islam. Dan hal ini ditegaskan dalam Al-Quran Surat An-Nur ayat 47-51 yanga artinya “ Dan, mereka berkata, „Kami telah briman kepada Allah dan rasul dan kami menaati (keduanya)‟. Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orangorang yang beriman. Dan, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan tersebut untuk kemaslahatan mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apabila (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karna) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya m12`ereka itulah orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin bila mereka dipanggil Allah dan rasul-Nya agar menghukum (mengadili) diantara mereka, ialah ucapan, „Kami mendengar dan kami patuh‟. Dan itulah orang-orang yang beruntung.
4.3.2. Ma’rifat Demokrasi Islam Dalam kaitannya dengan demokrasi pada teks pidato M. Natsir berikut adalah kalimat yang terkait dengan konteks demokrasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
“Saudara Ketua, apabila kita mempelajari hasil pekerjaan Komisi I mengenai dasar negara dalam PKK yang sudah ada pada kita masing-masing dengan sepintas lalu saja, terlihatlah suatu hal yang menggembirakan. Yakni Semua golongan dan aliran, tanpa kecuali menghendaki berdirinya negara kita ini atas dasar demokrasi. Nyatalah demokrasi itu merupakan dasar yang hidup kuat merata dalam kalbu seluruh bangsa kita. Atas dasar itu patut kita mengucap syukur. Kami dari Fraksi Masyumi menghendaki Negara RI kita ini berdasarkan Islam, “Negara Demokrasi Berdasarkan Islam”. Saudara Ketua, ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam komisi I yang dimajukan sebagai dasar negara, yaitu pancasila, Islam dan sosial-ekonomi. Kewajiban saya dan kawan-kawa dari fraksi masyumi adalah untuk menghidangkan ke muka sidang pleno yang terhormat Dalam pidatonya M. Natsir mengemukakan tentang keinginanya serta partai Masyumi untuk mengkaji kembali dasar negara Indonesia yang sudah terlanjur berjalan sejak disetujui Presiden Soekarno pada tahun 1957. Soekarno mengeluarkan keputusan presiden yang berisi antara lain kembali ke UUD 1945, Demokrasi Terpimpin dan kembali pada negara atas dasar pancasila. Sedangkan M. Natsir dan Partai Masyumi menghendaki Indonesia berdasarkan Islam. Dalam pidatonya Natsir ingin mempertanyakan kembali mengenai makna demokrasi dan dasar negara yang terlanjur dipilih untuk bangsa Indonesia. Menurut Natsir pihak yang menginginkan Pancasila sebagai negara tidak konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka anut. “...Adapun prinsip demokrasi yang terkenal adalah 1) Golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas). 2) Golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari mayoritas terjamin hak hidupnya dalam masyarakat...” Sehingga dengan kata lain pihak yang mendukung pancasila dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
103
demokrasi telah mendustai makna dari demokrasi yang sesungguhnya dengan tidak melihat Islam sebagai mayoritas di negara Indonesia. Karena sesungguhnya menurut Natsir dalam memutuskan dasar negara haruslah melihat falsafah hidup dari mayoritas kelompok yang bernaung di dalamnya. Maka sesungguhnya pihak yang menjadikan demokrasi sebagai dasar negara telah salah kaprah terhadap prinsip-prinsip dasar berdemokrasi. Tak hanya itu Natsir juga mengemukakan bahwa jika Pancasila dijadikan sebagai dasar negara apakah juga tidak mencederai hati umat Islam sebagai mayoritas sedangkan Pancasila dijadikan sebagai dasar negara untuk mewakili satu golongan yang lebih kecil jumlahnya. Kondisi politik negara pada saat M. Natsir meyampaikan pidatonya itu didominasi oleh kuatan Partai Komunis Indonesia. Sekalipun mayoritas rakyat Indonesia memeluk Islam secara serius atau sebaliknya, posisi politik Islam pada waktu itu merupakan kelompok politik minoritas dalam lembaga-lembaga kenegaraan. Sebagai kelompok minoritas, peranan mereka dalam memberi corak Islam kepada perkembangan pada politik Islam adalah peranan pinggir. Peranan sentral pada saat itu berada ditangan Presiden Soekarno dengan bantuan pihak komunis, tentara khususnya angkatan darat dengan Jenderal A.H. Nasution dkk sebagai tokoh utamanya. (Syafii Ma‟arif : 1988). Sebagai koneskunesinya dari suatu posisi politik yang lemah, partai-partai Islam tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri mereka dengan sistem dan tata politik yang baru diciptakan. Langkah ini ditempuh terutama agar tetap dapat hidup di bawah sistem politik yang otoriter itu. Demokrasi terpimpin soekarno memang tidak memberi peluang untuk perbedaan pendapat dalam menghadapi isyu-isyu politik penting. Politik harus berada di bawah satu komando. Dekrit Presiden merupakan sebagai jalan lapang untuk gagasan Soekarno tentang pelaksanaan demokrasi terpimpin yang pertama kali dilontarkan pada 1957. Setelah dekrit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
104
sikap partai-partai Islam terbelah dua. Kelompok pertama terdiri dari Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), memihak Soekarno dan Menyertai Demokrasi Terpimpin. Kelompok lain adalah Partai Majelis Syura Muslimin Indoensia (Masyumi), partai yang sejak dini menentang ide Dekomrasi Terpimpin Seoekarno. (Masyumi akhirnya dibubarkan pada tahun 1960). (Islam dan Politik Di Indonesia “Pada Masa Demokrasi Terpimpin : 2-3) Sejak saat itu Soekarno diberikan gelar kebesaran bahkan dikultuskan hingga membuatnya memerintah secara diktator terlebih lagi dia disokong oleh partai negara-negara komunis, terutama China di bawah Mao Tse Tung. Pancasila yang menjadi dasar negara dari hari kehari semakin diwarnai dengan warna komunis, oleh Soekarno ditafsirkan dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Puncaknya adalah terjadinya G.30-SPKI, yang mengakhiri kekuasaan soekarno dan digantikan oleh Ore Baru di bawah kekuasaan Jenderal Soeharto. Sedangkan Soeharto menafsirkan dasar negara dengan penataran “P4” (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang wajib diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia, namun kemudian berujung pada upaya memperkokoh kekuasaan Soeharto yang didukung oleh tentara alias junta militer. Akibat dari tipu daya tersebut keduanya mengalami nasib serupa dengan digulingkan oleh mahasiswa. (Politik Bangsa “Menoleh Ke Belakang Menatap Masa Depan : 13) Demokrasi secara etimologis mempunyai akar bahasa asing Yunani, bukan hukum bangsa/rakyat. Artinya, bahwa rakyatlah yang berhak mengatur dirinya sendiri. Suatu aturan disebut demokrasi bila memenuhi dua prinsip dasar utama : kekuasaan di tangan rakyat dan hak-hak kebebasan setiap individu bangsa dilindungi undang-undang demokrasi. Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan ditangan rakyat?. Bagi seorang muslim yang mau menyadari, undang-undang demokrasi seperti yang ditegaskan dalam ungkapan di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
105
atas jelas merupakan wujud undang-undang jahiliah kafir yang tidak cocok untuk negeri yang percaya dengan undang-undang Islam yang diturunkan Allah SWT. Di dalam undang-undang demokrasi ada tiga macam kekuasaan bangsa : kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Kedaulatan di tangan rakyat artinya, rakyatlah yang berhak atas segala bentuk kekuasaan, mereka membuat undang-undang sendiri yang sesuai dengan selera mereka dan mereka pula yang berhak merenovasi atau mencabut kembali undang-undang yang mereka anggap tidak sesuai. Disamping hak membuat undang-undang, rakyat berhak pula memberikan keputusan yudikatif melalui sebuah lembaga khusus yang bergerak di bawah aturan yang mereka buat, sebagaimana rakyat berhak pula mengeksekusi melalu proses yudikatif, maka dalam undang-undang demokrasi segalanya adalah rakyat Maka dapat dikatakan bahwa hukum yang dibuat berdasarkan keinginan rakyat menjadi pengganti dari hukum Allah yang lebih baik dari segala hukum termasuk hukum buatan manusia. Sehingga mereka menisbikan makna Allah dalam kehidupan mereka bahakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.(Demokrasi Murni Bukan Berasal Dari Islam : 22) Sedangkan Nurcholos Majid mengatakan bahwa Indonensia sedang melakukan eksperimen demokrasi. Karena hakekatnya yang dinamis maka demokrasi berwujud percobaan-percobaan. Percobaan tersebut kadang mendulang kekeliruan yang jika diambil pelajaran akan sangat besar hikmahnya. Dalam kehidupan bermasyarakat kekeliruan itu hingga tingkat tertentu telah sampai kepada tahap yang amat mengkhawatirkan.(Nurcholis Majid, Penilaian Demokrasi Indonesia: x) Jika melihat pada sejarah Indonesia melakukan moment besar Proklamasi kemerdekaan adalah dengan semangat ingin bebas dari penjajahan dan semangat untuk mendapatkan kemerdekanaan bukan semangat demokrasi pancasila. Dalam catatan sejarah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
106
Islam sebagai mayoritas di tanah air kala itu maju kemedan perang dengan semboyan rela berjuang hingga tak bernyawa karena Allah lihat sebagai mati syahid. Jika mau menjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bukan Pancasila karena pancasila tidak populer dan tidak dikenal sejak masa berjuangnya Indonesia. Yang ada di dada adalah sorak kalimat “Allah Huakabar” (Hamka, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila). Ini menujukan bahwa falsafah dan nilai yang tertanam dalam sanubari bangas Indonesia adalah Islam sebagai dasar dari terbentuknya sebuah negara yaitu rela berkorban meski nyawa menjadi taruhan. Karena membela tanah air adalah Jihad dalam Islam dan merupakan sebuah kewajiban. Deretan pahlawan Muslim yang berjuang di medan perang untuk mengeluarkan tanah air dari jerat penjajahan dan ke-Islamannya melekat dalam diri mereka. sebut saja Tuanku Imam Bonjol hendak membentuk negeri berdasarkan Islam di alam Minagkabau “adat bersendi syara‟, syara‟ bersendi Kitabullah?” Teuku Cik Ditiro menamai tentara grilianya untuk melawan belanda dengan nama “muslim”. Sultan Hasanuddin Makassar pernah mengatakan “Lautan luas ini adalah anugrah Ilahi bagi manusia, maka janganlah hendak tuan kuasai sendiri”. Raja Aji yang tewas dimedan tempur di Pantai Malaka tewas ditangan kanannya terdapat kitab “Dalailul Khairat”, berupa pujian kepada Rasulullah dan tangan kirinya terdapat badik Bugis. Kiyai Mojo guru dari Diponegoro yang juga guru dari Pattimura di Maluku. Sisingamangaraja dari Batak tidak pernah berjuang atas dasar Pancasila. Di tanah Batak tidak ada kata pancasila yang ada adalah bengkalai Islam yang belum selesai dengan kata Bismillah. Pangeran Dipenogoro saat berperang dengan menunggang kuda, di pelana kudanya terdapat tanda bulan sabit dan ditangannya teruntai sebuah tasbih. (Hamka :102-106) Sedangkan Natsir memandang bahwa demokrasi adalah sebagai sistem yang berakar dari faham sekularisme namun Natsir juga tak menolak secara mentah dengan sistem
http://digilib.mercubuana.ac.id/
107
demokrasi.
Namun kekhawatiran Natsir terhadap demokrasi sangat kental karena
sekularisme adalah sebuah faham, tujuan dan sikapnya hanya di dalam batas hidup keduniaan. Sekularisme tidak mengenal tuhan, akhirat. “...Sekularisme
tidak mengenal adanya wahyu sebagai salah dari sumber
kepercayaan dan pengetahuan. Mereka mengaggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan dari sejarah atupun bekas-beakas kehewananan semata-mata, dan dipusatkan kepada kebagiaan manusia dalam pengidupan sekarang belaka....” “Sedangkan konsep sekularisme dalam ketatanegaraan adalah sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntutan-tuntutan abd (nilai-nilai hidup) dan mengenyampingkan ajaranajaran agama. Faham sekular menyebutnya nilai-nilai perabadan adalah buatan manusia belaka. Mereka mempercayai aliran nihilisme satu-satunya yang nilai yang mereka percaya adalah perlunya kekuasaan untuk berkuasa.....” “Sejarah manusia umunya pada tinjauan terakhirnya, memberikan kita pada akhir analisanya hanya dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam sikap asasnya (Principle attitudenya), yaitu : faham sekularisme (ladienyah) tanpa agama dan faham agama (dieny)” Dalam teks pidatonyaM. Natsir menjelaskan faham sekularisme dalam ketatanegaraan dengan menggutip pendapat Ilmuan Prancis pakar kemasyarakatan Alexis de Tocqueville. mengatakan kekuasaan yang tidak terbatas pada hakekatnya adalah suatu hal yang buruk dan berbahaya. Manusia tidak berdaya untuk menjalankanya dengan teliti dan bijaksana. Hanya Tuhanlah yang maha kuasa, karena hikmat dan keadilan-Nya senantiasa seimbang dengan kekuasaann-Nya. Tetapi tidaklah ada satu pun kekuasaan di dunia ini, demikian berhak atas penghormatan atau atas ketaatan yang hikmat kepada hak-hak yang diwakilkannya, sehingga saya dapat menerima kekuasaan-Nya diatas segala lapangan dengan tidak dikendalikan.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
108
“jika saya melihat hak dan kekuasaan penuh itu diberikan kepada satu rakyat ataupun seorang raja, kepada satu aristokrasi, ataupun satu demokrasi, kepada satu kerjaan atupun satu republik, disitulah saya melihat benihnya tirani, dan pergilah saya terus kepada negara yang memberi harapan” (agama dan negara dalam persfektif Islam : 210) Adapun pandangan Ibnu Katsir tentang demokrasi dengan menginterpretasikan ayat dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 50 “Adapun
hukum jahilliyyah yang mereka
kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah SWT. Dengan pasti mengingkari orang yang keluar dari dimensi hukum Allah yang telah dibingkai dengan kuat dan kokoh, mencakup segala bentuk kebaikan dan mampu mencegah segala keburukan dan kejahatan.” Ayat Al-Quran lainnya yang menegaskan tentang bergantungnya pada hukum Allah dan kewajiban meninggalkan hukum manusia terdapat pada surat Al-Maidah ayat 44,45 dan 47 “Barang siapa memutuskan perkara tidak menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka dia termasuk golongan orang-orang kafir (Qs : Al-Maidah :44). “Dan Barang siapa memutuskan perkara tidak menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka dia termasuk golongan orang-orang dzalim (Qs : Al-Maidah : 45). “Dan barang siapa yang memutuskan perkara tidak menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka dia termasuk golongan orang-orang fasik.” (Qs : Al-Maidah : 47). Saat ini banyak orang yang berdalih tentang tidak relevannya lagi menggunakan hukum-hukum Islam dalam memecahkan berbagai perkara moderen. Namun kenyataannya hukum Allah dan Rasul-Nya titak bertentangan dengan perubahan zaman, perkembangan atau gejolak moderenisme. Semua problemnya ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, baik berupa Nash (teks), Dhahir (literal), Istinbath (Discovering). Tugas para pemimpin adalah menundukan permasalahan pada Metodologi Ilmu Pengetahuan Islam yakni kaidah “Istishab
http://digilib.mercubuana.ac.id/
109
al-Hal” denan tetap berpijak pada dasar kausal syariat dalam berbagai permasalahan modern yang muncul. Mengikuti kehendak manusia dalam membuat hukum bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bertentangan dengan Al-Quran yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 60-62 yang artinya „Apakah kamu tidak mempehatikan orang-orang yaang mengaku dirinya telah beriman kepada apa uang telah diturunkan kepadamu dan kepada orang sebelum kamu? Mereka hendak bertakhirm kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauhjauhnya apabila dikatakan kepada mereka : “marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscahya kami melihat orang-orang yang munafik menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mengdekati kamu. “ maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang) yang munafik) ditimpa suatu musibah disebabkan perbuatan tangan-tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah : “demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki kehendak selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna (Qs: An-Nisa : 60-62) Ibnu Katsir mentafsir bahwa ayat ini mencela orang yang membelot dari al-Kitab (AlQuran) dan As-Sunnah dan mematuhi hukum batil selain hukum Al-Quran dan as-Sunnah dan inilah yang dimaksud Tahghut. Ibnu Khaldun dalam Muqadimmah mengatakan bahwa jika hukum-hukum dirumuskan oleh para cendikiawan dan para pemimpin kerajaan dan para pakarnya berdasarkan akal nurani mereka, maka dikatakan sebagai hukum akal. Sedangkan apabila dirumuskan dari syariat yang diturunkan Allah SWT, maka dikatakan sebagai hukum agama yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat sekaligus. Sebab tujuan dari penciptaan manusia bukanlah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di dunia saja. Sebab kehidupan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
110
dunia bersifat fana dan sia-sia karena akhir perjalanan kehidupan dunia ini adalah kematian dan kepunahan ( mukaddimah : 335). Hal ini juga disebutkan dalam ayat Al-Quran Surat AL-Mukminun ayat 115 “Apakah engkau mengira bahwa kami menjadikan engkau dengan sia-sia.” Karena tujuan utama dari penciptaan tersebut adalah memberikan kebahagiaan mereka di akhirat kelak melalui agama mereka. Lalu datanglah syariat-syariat Allah yang dapat mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan tersebut dalam berbagai sikap dan prilaku mereka, baik ibadah atau muamalah, bahkan dalam kekuasaan yang merupakan sesuatu yang natural bagi manusia yang memiliki kecenderungan hidup bermasyarakat. Karena itu, hendaknya kebijakankebijakan kekuasaan tersebut di dasarkan pada aturan-aturan agama agar semua pihak terlindungi dengan aturan-aturan syariat. Sedangkan kekuasaan yang dijalankan dengan sewenang-wenang, saling menguasai, kadang menimbulkan permusuhan.(Mukaddimah : 335) Maka terdapa persamaan dan perbedaan antara demokrasi dengan Islam, namun perbedaan lebih banyak dari pada persamaannya. Persamaannya adalah adanya pengangkatan dan pemilihan dan tentang pertanggung jawab kelapa negara. Hal terkait tentang dasar negara, kedudukan rakyat, dan pengaruh suara ada segi-segi persamaan dari segi politik antara Islam dan tata-aturan yang demokrasi, bahkan unsur yang penting yang dilengkapi demokrasi sifat yang utama yang dilengkapinya, semuanya dilengkapi oleh Islam. Seperti yang dikatakan Abraham Lincon, pemerintahan rakyat, dengan perantara rakyat, untuk rakyat, maka yang tersebut ini terang terdapat di dalam aturan pemerintahan Islam dengan catatan bahwa hak rakyat di dalam Islam harus dipahami sesuai dengan kehendak Islam. Yang dikehendaki dalam demokrasi adalah prinsip-prinsip politik atau kemasyarakatan, seperti prinsip-prinsip persamaan di hadapan undang-undang, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan beragama, dan keadilan sosial, terjaminnya hak hidup dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
111
kemerdekaan, hak bekerja maka dalam Islam seluruh apa yang dikehendaki oleh demokrasi sepenuhnya dijamin oleh Islam. Hanya saja Islam memandang hak-hak tersebut sebagai yang dilihat oleh dunia demokrasi. Hak-hak ini ada yang dipandang sebagai hak Allah. Karena pada prinsipnya Syariat Islam bermaksud mewujudkan keadilan yang mutlak di dalam bentuknya yang paling sempurna dan kehidupan manusia yang termulia yang layak dengan kemanusiaannya. Adapun perbedaan demokrasi dengan Islam amatlah banyak diantaranya adalah demokrasi moderen sebagaimana yang dikenal oleh dunia barat bahwa rakyat adalah bangsa, yang warganegaranyan dibatasi oleh batas-batas geografi, hidup dalam satu negara, anggotanya diikat oleh persamaan darah, jenis, bahasa dan adat istiadat yang menimbulkan kefanatikan terhadap bangsa sendiri. Sedangkan Islam umat di dalamnya bukanlah diikat oleh kesatuan tempat, darah dan bahasa semua itu dipandang sebagai pengikat yang sekunder. Tetapi pengikat yang pokok adalah kesatuan aqidah. Segala yang orang yang menganut akidah Islam, dari jenis mana, warna apa dan tanah air yang mana, maka dia itu seorang anggota di dalam negara Islam. Maka pandangan Islam adalah prikemanusiaan dan ruangnya adalah universal. Walaupun demikian itu tidak menghalangi adanya negara-negara dan kebangsaan untuk mewujudkan kepentingan setempat yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Perbedaan lainya adalah demokrasi barat baik moderen maupun kuno memiliki tujuan keduniaan, atau materil belaka. Dia hanya bermaksud mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu seperti menyuburkan kekayaan atau memperoleh kejayaan melalui perang. Sedangkan aturan islam selain dari melengkai maksud keduniaan juga melengkai maksud kejiwaan. Bahkan maksud inilah yang dianggap lebih penting dialah merupakan asas. Ibnu Khaldun dalam mukaddimah mengatakan “Islam itu bermaksud mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
112
karena segala kemsalahatan dunia dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan akhirat. (ibnu khaldun, Muqaddimah : ) Selain itu dalam demokrasi barat kekuasaan mutlak di tangan rakyat, rakyat memilih anggota legislatif yang akan membuat undang-undang atau membatalkannya. Ketetapan yang dibuat ini menjadi wajib untuk dilaksanakan wajib ditaati walaupun berbeda dengan aturan agama demi menguasai dunia dan meninggikan martabat bangsa. Dan untuk memperoleh semua itu tak jarang terjadi peselisihan bahkan pertumpahan darah. Sedangkan dalam Islam kekuasaan rakyat tidak mutlak tetapi dibatasi dengan syariat islam rakyat tidak boleh keluar dari undang-undang/syariat tersebut. Bahwasanya kehendak rakyat merupakan salah satu sumber terbentuknya undang-undang akan tetapi kehendak rakyat haruslah berdasar pada apa yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Al-Quran dan Al-Hadist telah memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan sesuatu , dengan ketentuan yang tidak menyimpang dari yang telah digariskan oleh kedua sumber tersebut. Maka dalam perbedaan dan persamaan tersebut penulis dapat menarik kesimpulan bahwa demokrasi dalam pandangan Islam bukanlah apa yang selama ini dikenalkan oleh barat. Islam bukanlah negara yang dikuasi oleh kepala negara karena Islam bukan autokrasi, bukanpula teokrasi dan bukan pula undang-undang sendiri atau monokrasi. Dalam Islam yang memegang peranan dalam negara adalah rakyat dan undang-undang atau syariat. Maka demokrasi yang dianut oleh Islam adalah yang berprikemanusiaan, yang universal, keagamaan, kerohanaian, keakhlakiahan, kebendaan maka pendek kata adalah demokrasi Islam . Penulis dapat mengambil pengetahuan baru bahwa untuk menjalankan sistem negara Islam haruslah dengan “Demokrasi Islam”. Demokrasi Islam bersifat demokratis dalam arti bahwa Islam anti absolutisme dan anti sewenang-wenang dan menggariskan hak-hak manusia
http://digilib.mercubuana.ac.id/
113
sebagai makhluk sosial serta hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan yang diperintah timbal balik. Pengertian “demokrasi” dalam Islam, adalah memberi hak kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, dan membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jika perlu. M. Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada keputusan-keputusan musyawarah parlemen. Dalam parlemen negara Islam, apa-apa yang telah ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya secara pasti tidak perlu dimusyawarahkan, tidak harus menunggu keputusan parlemen terlebih dahulu untuk melaksanakan, tetapi yang mungkin dimusyawarakan adalah cara-cara untuk melaksanakan semua prinsip dan kaedah yang sudah tetap tersebut. Seperti yang terdapat dalam teks pidato M. Natsir “suatu nilai baik yang kita Nbanggakan dalam diri bangsa kita, yaitu nilai demokras atau musyawarah. Islam berkata : Nilai musyawarah itu dalam megnatur hiduo baik dalam masyarakat ataupun dalam hidup kenegaraan harus dipelihara dan dihidup suburkan , sebab adalah satu ketentuan dalam ajaran Islam supaya dalam mengatur urusan yang mengenai orang banyak itu si pengusa harus memperoleh keridhoan dari
pada orang yang diaturnya
dan ia harus
memusyawarahkan segala sesuatu yang mengenai prikehidupan dan kepentingan rakyat ayang banyak. Ada peraturan tegas yang berbunyi : wasyawirhum fil
amri,
bermusyawarahlah kamu dengan mereka di dalam urusan yang mengenai diri mereka. Dalam Al-Quran dalam surah Asy-Syura ayat 42 “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hukum-hukum. barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan. Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
114
firman-Nya, „Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka‟. (QS. Asy-Syura (42): 38)
http://digilib.mercubuana.ac.id/