BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas, 2009). Berdasarkan penelitian Dimas (2009), kondisi optimum untuk sintesis kitosan-bentonit dilakukan pada pH 4, waktu kontak yang diperlukan adalah 30 menit, dengan kecepatan pengadukan 160 rpm dan perbandingan komposisi kitosan terhadap bentonit adalah 1:180. Untuk memastikan bahwa adsorben berhasil disintesis, dilakukan langkah karakterisasi melibatkan penggunaan teknik FT-IR, XRD dan SEM. Untuk mendapatkan nilai kapasitas adsorpsi dan tetapan kesetimbangan, kitosan-bentonit yang telah disintesis dikontakkan dengan diazinon pada berbagai konsentrasi. Berikut ini dipaparkan hasil penelitian dan pembahasannya.
4.1
Karakterisasi Ca-Bentonit Spektrofotometer FT-IR (Fourier Transform-Infra Red) digunakan untuk
mengetahui gugus-gugus fungsi yang terdapat pada Ca-bentonit. Gugus fungsi pada mineral monmorilonit mempunyai serapan FT-IR yang khas pada bilangan gelombang tertentu. Spektra FT-IR Ca-bentonit ditunjukkan pada Gambar 4.1.
30
31
Gambar 4.1 Spektra FTIR Ca-bentonit Monmorilonit akan memberikan serapan yang khas pada daerah 3100-3700 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur O-H dan pada daerah 1600-1700 cm-1 karena adanya vibrasi tekuk H-O-H dari molekul H2O yang terikat melalui ikatan hidrogen pada bentonit (Hongping, Ray, & Jianxi, 2004). Dari Gambar 4.1 di atas, terlihat terlihat pita-pita serapan bentonit yang muncul pada berbagai bilangan gelombang (ν) 470.6 cm-1, 524,6 cm-1, 667,3 cm-1, 794,6 cm-1, 1045,3 cm-1, 1631,7 cm-1, 3413,8 cm-1 dan 3625,9 cm-1. Berdasarkan spektra di atas, secara kualitatif Ca-bentonit terbukti mengandung mineral monmorilonit yang ditunjukkan dengan adanya ikatan H-O-H dari molekul air yang terdapat di dalam daerah interlayer ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1631,7 cm-1dan 3413,8 cm-1. Pita serapan pada bilangan gelombang 1631,7 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk H-O-H sedangkan serapan pada bilangan gelombang 3413,8 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur H-O-H. Puncak yang memiliki intensitas paling tinggi yaitu puncak pada bilangan
32
gelombang 1045,3 cm-1 yang merupakan daerah vibrasi ulur gugus Si-O. Intensitas yang tinggi menunjukkan kandungan Si-O pada monmorilonit cukup tinggi. Puncak pita serapan pada bilangan gelombang 470.6 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk dari Si-O dan serapan pada bilangan gelombang 524,6 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk dari Si-O-Al atau Si-O-Mg sedangkan serapan pada bilangan gelombang 667,3 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur Si-O pada lapisan tetrahedral. Pita serapan pada bilangan gelombang 794,6 cm-1 diakibatkan dari adanya vibrasi tekuk vibrasi Mg-Al-OH. Hal ini mengindikasikan bahwa bentonit yang digunakan dalam penelitian mengandung Mg dan Al dalam jumlah yang relatif sedikit. Puncak pita serapan pada bilangan gelombang 3625,9 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur dari O-H pada (Mg-Al)-OH.
4.2
Karakterisasi Kitosan Untuk menentukan kemurnian kitosan selain dengan menghitung derajat
deasetilasi kitosan, dapat juga dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FT-IR. Dari tahap ini diketahui adanya perubahan puncak serapan beberapa gugus fungsi seperti disajikan pada Gambar 4.2.
A
33
B
100.0 %T 97.5
2341.4 2364.6
1249.8
95.0 1654.8 1589.2
894.9
1423.4 1380.9 1153.4
92.5 2920.0
1087.8 1033.8
90.0
3529.5
87.5
3433.1 85.0 4000.0
3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
1750.0
1500.0
1250.0
1000.0
750.0
500.0 1/cm
Gambar 4.2 Spektra FTIR Kitin (A) dan Spektra FTIR Kitosan (B) Dari perbandingan Gambar 4.2 (A) dan Gambar 4.3 (B) menunjukkan bahwa terdapat perubahan puncak serapan yang cukup signifikan setelah kitin dipreparasi menjadi kitosan. Puncak serapan yang membedakan antara kitin dan kitosan salah satunya adalah intensitas puncak pada bilangan gelombang 1654,8 cm-1 yang terdapat pada spektra kitin dan spektra kitosan. Bilangan gelombang ini menunjukkan keberadaan gugus C=O cincin amida (Lopez et al., 2007). Hal ini menunjukkan banyaknya gugus asetil (COOCH3) yang putus dari cincin amida. Artinya, proses deasetilasi kitin menjadi kitosan berlangsung cukup efektif. Spektra-IR pada Gambar 4.2.B memperlihatkan puncak-puncak serapan yang dimiliki kitosan. Puncak serapan pada bilangan gelombang 3433,1 cm-1 memperlihatkan adanya vibrasi ulur O-H dan N-H (Kolhe dan Kannan, 2002; Bhumkar dan Phokarkar, 2006). Puncak serapan pada bilangan gelombang 2920 cm-1 memperlihatkan vibrasi ulur C-H dari -CH2- yang diperkuat dengan munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1423,4 cm-1 yang
34
menunjukkan adanya vibrasi tekuk C-H dari -CH2-. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1589,2 cm-1 menunjukan vibrasi tekuk N-H dari gugus NH2. Puncak pada bilangan gelombang 1153,4 menunjukkan adanya vibrasi ulur –C-O. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1033,8 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur C-O-C pada cincin glukosamin. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1087,8 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur –C-OH. Adapun puncak serapan pada bilangan gelombang 894,9 cm-1 memperlihatkan adanya vibrasi ulur C-C sakarida (Sastrohamidjojo, 1992).
4.3
Karakterisasi Kitosan-Bentonit Untuk memastikan bahwa modifikasi pada bentonit dengan menggunakan
kitosan telah berhasil, maka dilakukan karakterisasi terhadap Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. Jenis karakterisasi yang dilakukan yaitu melalui pengukuran spektrofotometer FTIR, XRD dan SEM.
4.3.1
Spektrofotometer FTIR Perbandingan spektra FTIR dari Ca-bentonit dan kitosan-bentonit dapat
dilihat pada Gambar 4.3.
35
100.0
%T
80.0
752.2 1639.4 694.3 667.3
60.0
794.6 1631.7 617.2
40.0
3448.5 3652.9 914.2
3622.1
428.2
3625.9 20.0
1095.5 1033.8 1006.8
3413.8
532.3 470.6 524.6
1045.3 4000.0
3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
(Kitosan-BENTONIT)
1750.0
1500.0
1250.0
1000.0
750.0
(Ca-BENTONIT)
500.0 1/cm
Gambar 4.3 Spektra FTIR Ca-Bentonit dan Kitosan-Bentonit Berdasarkan perbandingan kedua spektra di atas pada dasarnya spektra FTIR kitosan-bentonit yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan spektra FTIR Ca-bentonit, hanya terdapat pergeseran beberapa bilangan gelombang puncak yaitu pada 667,3 cm-1 menjadi 694,3 cm-1, 1631,7 cm-1 menjadi 1639,4 cm-1, 3413,8 cm-1 menjadi 3448,5 cm-1
dan 3625,9 cm-1 menjadi 3622,1 cm-1.
Pergeseran bilangan gelombang ini menunjukkan terjadinya perubahan tingkat energi. Peningkatan energi mengindikasikan terjadinya ikatan yang lebih kuat antara bentonit dengan suatu spesi, yaitu interaksi antara spesi kitosan dengan bentonit. Diduga ikatan hidrogen antara molekul-molekul H2O dengan bentonit lebih lemah dibandingkan ikatan hidrogen yang terjadi antara kitosan dengan bentonit.
36
Pada spektra kitosan-bentonit tidak terdapat puncak pada bilangan gelombang 1045,3 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur Si-O pada lapisan tetrahedral. Puncak ini hilang diduga akibat tertutupnya lapisan Si-O oleh spesi kitosan hal ini dibuktikan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 1033,8 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur C-O-C pada cincin glukosamin. Pada spektra kitosan-bentonit muncul puncak baru yaitu pada bilangan gelombang 914,2 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur C-C pada sakarida. Selain itu terdapat pula puncak baru pada bilangan gelombang 3622,1 cm-1 dan 3695,4 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur N-H. Gugus tersebut berasal dari struktur kitosan, artinya secara kualitatif kitosan kemungkinan berinteraksi dengan bentonit. Bilangan gelombang puncak-puncak spektra Ca-bentonit dan kitosanbentonit dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Bilangan Gelombang Ca-bentonit dan Kitosan-Bentonit Ca-bentonit (cm-1)
Kitosan-bentonit (cm-1)
Penetapan pita
470,6 524,6 667,3 794,6 1045,3 1631,7 3413,8 3625,9 -
470,6 524,6 694,3 794,6 914,2 1033.8 1639,4 3448,5 3622,1 3695,4
Vibrasi tekuk Si-O Vibrasi tekuk dari Si-O-Al atau Si-O-Mg Vibrasi ulur dari Si-O Vibrasi tekuk Mg-Al-OH Vibrasi ulur C-C pada sakarida Vibrasi ulur Si-O Vibrasi ulur C-O-C pada cincin glukosamin Vibrasi tekuk H-O-H pada air Vibrasi ulur H-O-H pada air Vibrasi ulur O-H pada (Mg-Al)-OH Vibrasi ulur N-H
4.3.2
Difraksi Sinar X (XRD) Selain karakterisasi dengan FTIR pada adsorben kitosan-bentonit dilakukan
pula karakterisasi dengan difraksi sinar X (XRD). Data XRD digunakan untuk
37
menentukan keberadaan mineral monmorilonit dalam Ca-bentonit dan kitosanbentonit. Selain itu juga untuk lebih meyakinkan bahwa kitosan telah berinteraksi dengan bentonit. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat Ca-bentonit yang dimodifikasi menjadi kitosan-bentonit dengan cara mengetahui harga 2θ dan jarak antar bidang (d) dari Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. Dari data tersebut diperkirakan apakah interaksi kitosan dengan bentonit terjadi di interlayer atau di outlayer bentonit. Apabila jarak antar bidang pada Ca-bentonit berbeda dengan jarak antar bidang pada kitosan-bentonit maka dimungkinkan kitosan terdapat di bagian interlayer bentonit. Spektra XRD untuk Ca-bentonit dan kitosan-bentonit ditunjukkan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Spektra XRD (a) Ca-Bentonit dan (b) Kitosan-Bentonit
Dari kedua spektra XRD, secara keseluruhan tidak menunjukkan terjadinya perubahan puncak-puncak serapan baik yang ada di Ca-bentonit maupun di kitosan-bentonit. Pada spektra XRD Ca-bentonit pita serapan yang
38
khas dari senyawa monmorilonit yaitu pada 2θ sebesar 5,31; 19,88; dan 28,45 (Petrovic-Filipovic et al., 2002) dengan jarak bidangnya (d) berturut-turut 15,74 Ǻ, 4,46 Ǻ, dan 3,13 Ǻ. Bila dibandingkan dengan spektra XRD untuk Cabentonit, pada spektra XRD kitosan-bentonit terjadi peningkatan perubahan harga 2θ yang tidak terlalu signifikan pada puncak-puncak khas untuk monmorilonit yaitu dari 5,31 menjadi 5,77; dari 19,88 menjadi 19,98; dan dari 28,45 menjadi 28,96. Jarak antar bidang (d) terjadi penurunan yaitu dari 15,74 menjadi 15,30; dari 4,46 menjadi 4,43 dan dari 3,13 menjadi 3,08. Penambahan kitosan pada Ca-bentonit tidak terlalu mengakibatkan terjadinya peningkatan harga 2θ dan penurunan jarak antar bidang (d). Adanya peningkatan harga 2θ menunjukkan bahwa mineral yang ditunjukkan oleh puncak-puncak tersebut berinteraksi dengan kitosan. Kemungkinan interaksi yang terjadi antara Ca-bentonit dengan kitosan terjadi di outlayer atau di permukaan. Perubahan nilai 2θ dan jarak antar bidang (d) dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Harga 2θ dan jarak antar bidang (d) Ca-bentonit dan Kitosan-Bentonit Ca-Bentonit
Kitosan-Bentonit
2θ
d (Ǻ)
2θ
d (Ǻ)
5,31 19,88 28,45
15,74 4,46 3,13
5,77 19,98 28,96
15,30 4,43 3,08
39
4.3.3
Scanning Electron Micrograph (SEM) Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan alat analisis yang
digunakan untuk mengetahui karakteristik permukaan pori suatu mineral. SEM ini digunakan untuk memperkuat data FTIR dan XRD tentang keberadaan kitosan dalam bentonit. Dari hasil pengukuran SEM diharapkan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada permukaan Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. Gambar 4.5 menunjukkan foto SEM untuk Ca-bentonit dan kitosan-bentonit. a
c
b
d
Gambar 4.5 Foto SEM Permukaan (a,c) Ca-Bentonit dan (b,d) Kitosan-Bentonit. Gambar 4.5a menunjukkan foto SEM Ca-bentonit yang pori-porinya masih terbuka. Gambar 4.5b menunjukkan permukaan kitosan-bentonit yang lebih halus. Berdasarkan gambar di atas terlihat dengan jelas bahwa partikel Ca-bentonit
40
memiliki pori-pori yang ukurannya lebih besar pada partikel Ca-bentonit. Hal ini diperkuat oleh Gambar 4.5c dan 4.5d dengan perbesaran objek 10.000 kali. Gambar 4.5c menunjukkan gambar morfologi Ca-bentonit yang masih memiliki banyak rongga pada permukaannya. Gambar 4.5d menunjukkan gambar morfologi kitosan-bentonit dengan pori-pori yang yang lebih rapat dan lebih halus. Perubahan pori ini diperkirakan berasal dari spesi kitosan yang terikat pada outlayer atau permukaan sehingga spesi kitosan menutupi permukaan bentonit. Hasil karakterisasi menggunakan XRD dan SEM menunjukkan bahwa kitosan-bentonit diperoleh melalui interaksi spesi kitosan dengan Ca-bentonit pada daerah outlayer monmorilonit.
4.4 Uji Kinerja Adsorben Kitosan-bentonit terhadap Diazinon Sebelum melakukan uji kapasitas adsorpsi kitosan-bentonit pada diazinon, dilakukan uji kinerja terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kitosan-bentonit dapat mengadsorpsi diazinon. Pada uji kinerja ini terlebih dahulu dilakukan pencarian waktu kontak adsorpsi diazinon yang optimum oleh kitosan-bentonit. Analisis dilakukan dengan mengukur perubahan absorbansi larutan diazinon setelah dikontakkan dengan kitosan-bentonit dan mensubstitusikannya ke dalam kurva kalibrasi diazinon (lampiran 6). Pengukuran dilakukan pada λmaks= 194 nm (lampiran 5) dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1240.
41
4.4.1
Optimasi Waktu Kontak Kitosan-bentonit Terhadap Diazinon Pada penentuan waktu kontak optimum kitosan bentonit terhadap
diazinon, analisis dilakukan dengan mengukur perubahan absorbansi larutan diazinon setelah dikontakkan dengan adsorben kitosan–bentonit pada berbagai variasi waktu. Waktu kontak diazinon dengan adsorben kitosan-bentonit divariasikan pada berbagai selang waktu yaitu 0, 5, 10, 20, 30, 60, 90, 120, 180, dan 240 menit dengan konsentrasi diazinon awal sebesar 20 ppm . Hasil adsorpsi diazinon oleh adsorben kitosan-bentonit berdasarkan pengaruh waktu kontak ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Adsorpsi Diazinon oleh Kitosan-Bentonit pada Berbagai Variasi Waktu Kontak* Waktu kontak (menit) 5 10 20 30 60 90 120 180 240
Konsentrasi awal diazinon (mg/L)
Konsentrasi sisa diazinon (mg/L) 8,91 8,71 6,68 5,11 20 3,59 2,42 2,49 2,56 2,48 *Jumlah Kitosan-bentonit : 0,5 gram Volume diazinon : 10 mL
% Teradsorpsi 55,47 56,45 66,58 74,45 82,04 87,88 87,55 87,22 87,58
Gambar 4.6 menunjukkan persentase diazinon yang teradsorpsi oleh kitosan-bentonit berdasarkan waktu kontaknya.
42
% D iaz in o n T erad s o rp s i
120
90
60
30
0 0
50
100
150
200
250
300
W a ktu (m e n it)
Gambar 4.6 Persentase Diazinon Teradsorpsi Berdasarkan Perbedaan Waktu Kontak Berdasarkan Gambar 4.6 dapat terlihat bahwa pada menit-menit awal adsorpsi diazinon oleh adsorben kitosan-bentonit menunjukkan kenaikan jumlah diazinon yang teradsorpsi secara signifikan. Hal ini diduga karena jumlah situs aktif yang tersedia pada permukaan adsorben kitosan–bentonit masih banyak yang belum terisi atau kondisinya belum jenuh sehingga memudahkan diazinon untuk berinteraksi dengan adsorben kitosan-bentonit. Dari grafik di atas memperlihatkan bahwa adsorpsi diazinon oleh kitosan-bentonit menunjukkan daerah atau rentang waktu optimum. Adsorpsi diazinon pada adsorben kitosan–bentonit menunjukkan daerah kontak optimum antara 90 sampai dengan 240 menit. Waktu kontak yang paling optimum adalah pada 90 menit dengan jumlah diazinon teradsorpsi paling besar yaitu 87,88%. Setelah melalui waktu optimum, persentase teradsorpsi menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini disebabkan oleh proses desorpsi adsorbat yang sangat mungkin terjadi dalam proses adsorpsi. Desorpsi merupakan proses lepasnya material adsorbat yang menempel pada permukaan adsorben.
43
4.4.2
Adsorpsi Diazinon Oleh Kitosan-Bentonit Pada uji adsorpsi diazinon oleh kitosan-bentonit, analisis dilakukan
dengan mengukur perubahan absorbansi larutan diazinon setelah dikontakkan dengan adsorben kitosan–bentonit sebanyak 0,5 g pada berbagai variasi konsentrasi diazinon selama 90 menit. Konsentrasi diazinon yang divariasikan yaitu 12,5; 15; 17,5; 20; 22,5; 25; 27,5 dan 30 ppm. Hasil adsorpsi diazinon oleh adsorben kitosan-bentonit berdasarkan pengaruh konsentrasi ditunjukkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Adsorpsi Diazinon oleh Kitosan-Bentonit pada Berbagai Variasi Konsentrasi Waktu Kontak Konsentrasi sisa % Adsorpsi Konsentrasi awal diazinon (mg/L) (menit) diazinon (mg/L) Diazinon 12,5 1,27 89,84 15 1,44 90,41 17,5 1,78 89,83 20 90 2,24 88,80 22,5 2,38 89,41 25 2,52 89,90 27,5 2,76 89,95 30 3,14 89,53
Dari Tabel 4.4, persentase diazinon yang teradsorpsi oleh adsorben kitosan-bentonit pada konsentrasi 12,5; 15; 17,5; 20; 22,5; 25 dan 30
ppm
berturut-turut 89,84%; 90,41%; 89,83%; 88,80%; 89,41%; 89,90%; 89,95% dan 89,53%. Kecenderungan pola adsorpsi diazinon pada berbagai konsentrasi ditunjukkan pada Gambar 4.7.
44
Gambar 4.7 Persentase Diazinon Teradsorpsi Berdasarkan Perbedaan Konsentrasi Diazinon Berdasarkan data pada Tabel 4.4 adsorben kitosan-bentonit dapat mengadsorpsi diazinon dengan persentase rata-rata sebesar 89,71%. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja kitosan-bentonit terhadap diazinon sangat tinggi bila dibandingkan dengan Ca-bentonit yang hanya mampu mengadsorpsi diazinon sebesar 38,51 % (Rohayani, 2005). Peningkatan kemampuan bentonit dalam mengadsorpsi senyawa organik disebabkan oleh penggantian posisi kation Ca2+ pada bentonit oleh kitosan. Sehingga merubah karakter permukaan bentonit dari hidrofilik menjadi hidrofobik. Hal ini menyebabkan kitosan-bentonit memiliki afinitas yang kuat terhadap senyawa organik. Molekul-molekul diazinon yang bersifat hidrofobik akan lebih mudah berinteraksi dengan kitosan-bentonit yang juga bersifat hidrofobik dan teradsorpsi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Ca-bentonit yang bersifat hidrofilik.
45
Diazinon teradsorpsi oleh kitosan-bentonit kemungkinan besar terjadi karena adanya gaya tarik Van der Waals dan pembentukan ikatan hidrogen. Salah satu kemungkinan pembentukan ikatan hidrogen antara molekul diazinon dengan kitosan-bentonit adalah antara atom N pada cincin pirimidin dari molekul diazinon dengan atom H dari gugus OH kitosan.
4.5
Uji Kapasitas Adsorpsi Kitosan-bentonit pada Diazinon Untuk menentukan kapasitas adsorpsi kitosan-bentonit terhadap diazinon
dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan isoterm adsorpsi. Isoterm adsorpsi menggambarkan hubungan antara zat teradsorp dalam sejumlah tertentu berat adsorben dalam kondisi kesetimbangan pada temperatur tetap. Persamaan isoterm adsorpsi yang digunakan adalah persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dan persamaan isoterm adsorpsi Freundlich. Selain nilai kapasitas adsorpsi dapat diperoleh juga harga tetapan kesetimbangan adsorpsi yang diambil dari persamaan isoterm adsorpsi Langmuir. Data untuk menentukan kapasitas adsorpsi kitosan-bentonit diperoleh dengan cara mengkontakkan 10 mL larutan diazinon pada berbagai konsentrasi yaitu 12,5; 15; 17,5; 20; 22,5; 25 dan 30 ppm dengan kitosan-bentonit sebanyak 0,5 g selama 90 menit (waktu kesetimbangan yang diperoleh) pada temperatur tetap. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat kurva persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich. Pola isoterm adsorpsi Langmuir ditunjukkan dengan menggunakan kurva berdasarkan persamaan sebagai berikut :
46
1 1 1 1 = + . ………………………. q q max K .q max C
(4.1)
sedangkan untuk pola isoterm Freundlich ditunjukkan dengan menggunakan kurva berdasarkan persamaan :
log q =
1 log C + log K n
…………………………
(4.2)
dimana : q
= banyaknya adsorbat yang teradsorpsi oleh adsorben
qmax = banyaknya adsorbat maksimum yang teradsorpsi oleh adsorben (kapasitas adsorpsi maksimum) K, n = konstanta C
= konsentrasi larutan kesetimbangan Berikut adalah kurva yang menunjukkan kapasitas adsorpsi maksimum
diazinon pada kitosan-bentonit menggunakan persamaan adsorpsi isoterm Langmuir dan Freundlich:
Kurva Isoterm Adsorpsi Langmuir
Gambar 4.8 Kurva Isoterm Adorpsi Langmuir
47
Kurva Isoterm Adsorpsi Freundlich
Gambar 4.9 Kurva Adorpsi Isoterm Freundlich Pola Adsorpsi isoterm berdasarkan adsorpsi isoterm Langmuir dan adsorpsi isoterm Freundlich ditunjukkan pada tabel 4.5 sebagai berikut: Tabel 4.5 Parameter Adsorpsi Isoterm Kitosan-bentonit terhadap Diazinon pada Temperatur 27ºC Langmuir Kads
qm
(L/mol)
(mg/g)
4,22 10-2
4,504
Freundlich R2
qm
1/n
R2
0,935
0,976
(mg/g) 0,977
0,183
Dari tabel 4.5 di atas terlihat bahwa harga kesesuaian atau linearitas (R2) berdasarkan persamaan adsorpsi isoterm Langmuir dan persamaan adsorpsi isoterm Freundlich tidak jauh berbeda. Nilai R2 dari persamaan adsorpsi isoterm Freundlich dan Langmuir berturut-turut adalah 0,977 dan 0,976 dengan selisih angka yang sangat kecil yaitu 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pola
48
isoterm adsorpsi tersebut dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan tipe adsorpsi diazinon oleh kitosan-bentonit. Namun jika dilihat dari nilai kapasitas adsorpsi (qm) pola isoterm Langmuir memberikan nilai kapasitas yang lebih besar yaitu 4,504 (mg/g) dibandingkan dengan pola isoterm Freundlich sebesar 0,183 (mg/g) dengan selisih angka yang cukup besar yaitu 4,321 mg/g. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun pola isoterm adsorpsi Freundlich dapat digunakan untuk menjelaskan isoterm adsorpsi, namum pola isoterm Langmuir tampak memberikan hasil yang lebih sesuai, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada adsorben kitosan-bentonit terdapat sejumlah situs aktif yang sebanding dengan luas permukaan dengan masing-masing situs aktif hanya mengadsorpsi satu molekul adsorbat dan tidak terjadi interaksi antar molekul adsorbat.