BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Penelitian Program pelatihan konselor sebaya di Provinsi Bali pertama kali diadakan pada tahun 2008 dengan melatih 20 orang remaja SMA/SMK, pelatihan kedua pada tahun 2009 sebanyak 20 remaja SMA/SMK. Sekolah-sekolah tersebut ditunjuk oleh pemegang program kesehatan remaja di Kabupaten/Kota, dimana setiap sekolah yang ditunjuk akan memilih siswanya sebagai calon peserta pelatihan Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi di Provinsi Bali. Pelatihan ketiga dilaksanakan pada tahun 2010 sekaligus dipakai untuk penelitian ini berasal dari 10 SMP dan 10 SMA/SMK di 8 Kabupaten/Kota seBali dengan jumlah peserta masing-masing Kabupaten satu orang remaja SMP dan satu orang remaja SMA/SMK, kecuali Kota Denpasar terdiri dari dua orang remaja SMP dan dua orang remaja SMA/SMK, karena di Kota Denpasar jumlah remaja diasumsikan paling banyak. Pada pelatihan tahun 2010 Kabupaten Jembrana tidak mengirim peserta karena ada masalah koordinasi antara Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, sehingga peserta Kabupaten Jembrana dialihkan ke Kabupaten Badung dan Kabupaten Buleleng, dengan pertimbangan sekolah pedesaan yang lokasinya dekat dengan perkotaan, dan sekolah yang lokasinya paling jauh dari Provinsi. Berikut disajikan perbandingan remaja SMP, SMA/SMK yang dilatih dan tidak dilatih konselor sebaya tahun 2008, 2009, 2010 seperti pada gambar 4.1 :
66
%
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Remaja yang Dilatih dan tidak Dilatih Konselor Sebaya Tahun 2008, 2009, 2010
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa prosentase remaja yang dilatih konselor sebaya sangat kecil, jika dibandingkan dengan jumlah remaja yang melibihi seratus lima puluh ribu pertahunnya. Peserta pelatihan konselor sebaya telah menyebar di 9 Kabupaten/Kota se- Bali, namun tidak ada penambahan jumlah peserta yang dilatih pertahunnya, dan tidak ada penyegaran pelatihan pada sekolah yang telah dilatih, sehingga tidak ada kesinambungan program selanjutnya. Terbatasnya sekolah dan minimnya remaja yang terjangkau dengan pelatihan konselor sebaya , menyebabkan kurang meratanya penyebaran informasi tentang kesehatan reproduksi yang diberikan pada remaja di Provinsi Bali. Hal ini sesuai dengan Widodo (2009), dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa
belum semua remaja mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang benar dan lengkap. Mereka justru mendapat informasi dari teman-temannya yang
66
tidak paham masalah kesehatan reproduksi atau dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat memperbesar kemungkinan makin kompleksnya permasalahan mengenai kesehatan reproduksi pada remaja. Data perbandingan jumlah remaja dilatih konselor sebaya dengan yang tidak dilatih per Kabupaten dari tahun 2008, 2009, 2010 disajikan pada lampiran 3.
4.2 Gambaran Subjek Penelitian Subjek penelitian sekaligus menjadi informan dalam penelitian ini berjumlah 25 orang yang terdiri dari 6 orang informan SMA/SMK, 6 orang informan SMP, 7 orang informan Kepala Sekolah/Guru dan 6 orang informan pelatih yang dibagi menjadi 4 kelompok FGD yaitu kelompok konselor sebaya SMA/SMK, kelompok konselor sebaya SMP, kelompok Kepala Sekolah/guru dan kelompok pelatih. Karakteristik informan peserta FGD dapat dilihat pada tabel 4.1
66
Tabel 4.1: Karakteristik Informan Peserta FGD Nomor 1
2
3
4
Variabel
N
Jenis kelamin Laki-laki
12
Perempuan
13
Umur Remaja (10-19 tahun)
12
Dewasa tengah (35-45 tahun)
13
Pendidikan SMP
6
SMA/SMK
6
Diploma
1
Sarjana
12
Status pelatihan Trainer
6
Trainee
19
4.3 Proses Seleksi Calon Peserta Pelatihan Konselor Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja 4.3.1 Penentuan Calon Peserta Pelatihan Pemilihan calon peserta pelatihan merupakan langkah awal yang akan menentukan keberhasilan program selanjutnya. Berdasarkan hasil FGD sebagian besar informan menyatakan langsung ditunjuk oleh kepala sekolah, guru kelas, guru UKS atau Pembina PMR tanpa melalui tes/proses seleksi sebelumnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “...Langsung ditunjuk....kok saya.buk saya kan sibuk, ya kamu aja soalnya gak ada yang lain ya ayolah.... agak keberatan dipaksa-paksa sama guru..." (FGD 1. 5)
66
Dari pernyataan diatas diperoleh gambaran pemilihan calon peserta dengan ditunjuk langsung menyebabkan remaja merasa diberi beban tugas yang berat, karena mereka belum tentu mempunyai bakat dan minat menjadi konselor sebaya. Hal ini tidak sesuai dengan modul pelatihan konseling kesehatan reproduksi remaja bagi calon konselor sebaya (BKKBN, 2008) bahwa di dalam pemilihan calon peserta pelatihan seharusnya diseleksi dengan menggunakan kuesioner tes modalitas/brain profile, untuk mengetahui kecocokan antara minat dan karakter remaja sebagai konselor sebaya,dan mempunyai minat yang kuat dan sukarela untuk membantu teman sebayanya. 4.3.2 Kriteria Calon Peserta Pelatihan Dinas Kesehatan Provinsi Bali selaku penyelenggara pelatihan tidak menyertakan persyaratan peserta pelatihan, persyaratan yang diminta hanya satu orang remaja dari SMP, dan satu orang remaja dari SMA/SMK yang duduk dikelas X atau kelas XI. Hampir semua informan menyatakan, jumlah peserta yang satu orang dimasing-masing sekolah menyulitkan mereka karena tidak ada yang diajak diskusi dan membagi tugas yang dibebankan padanya. Di samping itu mereka tidak punya kewenangan untuk merekrut teman-temannya untuk dijadikan konselor sebaya, sehingga mereka harus bekerja sendiri untuk melaksanakan program di sekolah, karena yang mempunyai kewenangan adalah guru/kepala sekolah. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “…Sebaiknya dilatih 2 orang cewek dan cowok. Masak kita cowok kasi konseling ke cewek….kan gak percaya kata-kata kita…" ( FGD 2.6) “…. bila perlu disetiap jenjang ada kadernya…" (FGD 4.6)
66
Siswa yang dilatih tidak punya kewenangan untuk merekrut temannya jadi konselor, yang punya kewenangan guru/kepala sekolah (FGD 4.3) Dari informan guru dan informan pelatih mengharapkan tidak hanya siswa yang dilatih, tetapi guru juga mendapat pelatihan, supaya guru bisa mengarahkan siswa untuk menjalankan program ini. Selama ini guru belum pernah mendapatkan sosialisasi sehingga mereka kurang paham dengan program konselor sebaya. Menurut mereka perlu dibuat sekolah percontohan yang benar-benar dibina secara kontinu untuk bisa menjalankan program konselor sebaya ini, sehingga kedepannya dapat dipakai contoh oleh sekolah lain. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “…Sehingga kedepannya barangkali sebaiknya pihak sekolah yang berwenang untuk mengembangkan ini ikut dilatih atau dimintakan komitmennya sehingga siswa yang dilatih itu bisa berkembang di sekolah…"(FGD 4.3) “...Harus ada proyek percontohan ....sudah dapat pelatihan seperti ini saja masih jalan ditempat..." (FGD 3.5) “...Dari segi peserta, kayak kemarin kan dari 9 Kabupaten/Kota diambil satusatu, untuk kelanggengan pelaksanaan ini oke ditujukan Kabupaten, Tetapi Kabupaten yang kita pilih supaya memang juga disiapkan untuk mendukung, misalnya diunggulkan sekolah apa, dan itu memang disipkan untuk dilaksanakan seterusnya gitu... jadi institusi dibatasi, pesertanya ditingkatkan..."(FGD 4.5) Dari pernyataan diatas diperoleh gambaran bahwa, terbatasnya jumlah siswa yang dilatih dimasing-masing sekolah menjadi penyebab program ini sulit dilaksanakan, sehingga program tidak begitu dikenal dikalangan sekolah. Jumlah peserta konselor sebaya yang satu orang per sekolah, tidak sesuai dengan panduan kurikulum dan modul pelatihan PKBR (BKKBN, 2011) bahwa seharusnya di setiap kelas dipilih tiga atau empat orang yang memenuhi kriteria untuk dilatih menjadi konselor sebaya.
66
4.3.3 Persiapan Mental Peserta Hampir semua informan remaja mengatakan tidak ada persiapan sebelum pelatihan, mereka pada umumnya merasa bingung, takut, khawatir. Persepsi meraka berbeda-beda, ada yang mengira pelatihan konselor sebaya seperti kegiatan ceramah di lapangan, ada yang mengira seperti lomba dan lain-lain. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “...Pertamanya pembinanya mengatakan pelatihan itu kayak PMR atau KSPAN...bayangan saya seperti kegiatan di lapangan, kumpul-kumpul dikasi pengarahan langsung..."(FGD 2.4) “...Terbayangnya kayak Narkoba..."(FGD 2.3)
pelajaran
KSPAN
itu
kan
ada
HIV/AIDS.
“...Saya dikasi pelatihan oleh guru PMR kayak balut membalut dan dikasi materi kanker..."(FGD 2.2) “...Saya kira kegiatan di Bali Handara itu kayak lomba gitu...perasaan saya waktu itu ada rasa takut..."(FGD 2.5) “...Ngudek-ngudek buku semalaman..."(FGD 1.2) Kurangnya sosialisasi ke sekolah merupakan penyebab utama kurangnya persiapan remaja sebelum pelatihan, karena tidak ada yang memberikan pengarahan/penjelasan mengenai maksud dan tujuan pelatihan. Dari semua uraian di atas dapat diperoleh gambaran proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya, yaitu hampir semua peserta dengan penunjukan langsung tanpa tes/seleksi di sekolah. Tidak adanya kriteria peserta dan tidak ada sosialisasi ke sekolah menyebabkan kurangnya pemahaman kepala sekolah terhadap program konselor sebaya, sehingga kepala sekolah/guru menunjuk siswa dari pengamatan mereka sehari-hari berdasarkan prestasi akademik dan keaktifan remaja di sekolah. Disamping itu peserta yang hanya satu orang dimasing-masing
66
sekolah membuat peserta merasa kesulitan, karena tidak ada yang diajak untuk membagi tugas di sekolah.
Hal ini berbeda dengan harapan mereka bahwa
kepesertaan lebih dari satu orang, mewakili semua jenjang kelas dan gender, karena kecendrungan remaja bila memiliki permasalahan mereka umumnya akan curhat pada teman sejenis.
4.4 Ketepatan Materi Pelatihan 4.4.1 Kesesuaian Materi Kesehatan Reproduksi dengan Perkembangan Bio Psiko Sosial Remaja Pendidikan kesehatan reproduksi
yang diberikan secara dini akan
memudahkan remaja untuk memiliki sikap dan tingkah laku yang diinginkan yaitu sikap dan tingkah laku bertanggung jawab. Informasi kesehatan reproduksi perlu diberikan sedini mungkin, disesuaikan dengan umur remaja, perkembangan fisik dan mentalnya, dan permasalahannya, seperti masalah gizi (anemia, kegemukan, gizi kurang), pacaran, kesulitan belajar, kesehatan reproduksi secara umum, HIVAIDS, Infeksi menular seksual, Infeksi saluran reproduksi, kehamilan tidak diinginkan, penyalahgunaan Napza (Kemenkes RI, 2010). Semua informan mengatakan bahwa materi yang diberikan saat pelatihan sudah sesuai untuk remaja, namun ada materi yang menurut mereka perlu ditambahkan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “...Isi materi sudah cocok semuanya sudah mengenai remaja, tapi perlu ditambahkan materi-materi tentang bagaimana cara remaja mengendalikan emosinya supaya gak terjerumus gitu....perlu ditambahkan penanaman mental yang lebih kuat agar remaja tidak terjerumus kearah narkoba..."(FGD 2.6)
66
Dari penyataan diatas dapat diperoleh gambaran bahwa materi pelatihan belum sesuai untuk remaja, karena ada materi yang menurut mereka kurang diberikan saat pelatihan. Pernyataan remaja ini sesuai dengan panduan kurikulum dan modul pelatihan PKBR (BKKBN, 2011) bahwa remaja perlu diberikan materi tentang ketrampilan hidup (life skill), yaitu berbagai ketrampilan atau kemampuan untuk dapat berperilaku positif dan beradaptasi dengan lingkungannya, yang memungkinkan remaja mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. 4.4.2 Penyajian Materi yang Memiliki Daya Tarik Penyampaian materi oleh pelatih selama waktu pelatihan disukai remaja, namun remaja menginginkan disetiap materi ada permainannya. Pernyatan tersebut sesuai dengan kutipan berikut. “...Dari materi-materi yang disampaikan mudah dimengerti....dari kakak pemberi materi juga sudah gaul-gaul bisa mengikuti kami yang masih remaja..."(FGD 2.1) “...Selingi permainan 15 menit....baru dijelaskan..."(FGD 2.5) “…Dalam narkoba kepinginnya contohnya
langsung, tidak cuma gambar---
"(FGD 1.1)
Dari pernyataan diatas dapat digambarkan bahwa remaja pada umumnya menginginkan materi pelatihan yang disampaikan lebih banyak aplikasi, daripada mereka diberikan tutorial. 4.4.3 Materi Pendukung yang Dibutuhkan Konselor Sebaya Sebagian besar informan remaja mengatakan belum mampu melakukan konseling, karena penguasaan materi dan ketrampilan konseling itu dirasakan
66
kurang, sehingga susah untuk mempraktekkannya. Pernyataan ini diungkapkan oleh informan sebagai berikut : “...Materi teknik konseling kurangnya bagaimana menjawab...misalnya bagaimana menyampaikan mesti ke rumah sakit untuk tes kehmilan..."(FGD 1.2) Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa remaja belum menguasai teknik komunikasi yang baik sehingga materi komunikasi perlu diberikan sebelum materi pelatihan yang lain. Hal ini sesuai dengan Suwarjo, 2008, bahwa calon konselor
sebaya harus dibekali kemampuan untuk membangun komunikasi
interpersonal secara baik. Sikap dan keterampilan dasar konseling yang meliputi kemampuan berempati, kemampuan melakukan attending, keterampilan bertanya, keterampilan merangkum pembicaraan, asertifitas, genuineness, konfrontasi, dan keterampilan pemecahan masalah, merupakan kemampuan-kemampuan yang dibekalkan dalam pelatihan konselor sebaya.
4.5 Proses Pelatihan 4.5.1 Pendekatan Pembelajaran/Metode Pelatihan Pendekatan pembelajaran/metode pelatihan yang diberikan selama pelatihan sudah bagus, namun ada yang dirasakan kurang yaitu interaksi-interaksi antara pelatih
dengan
peserta.
Disamping
itu
remaja
mengharapkan
didalam
penyampaian materi lebih banyak dengan video-video, diskusi, praktek dan animasi. Remaja mengharapkan pada saat pelatihan semua diberi kesempatan untuk mencoba menjadi konselor. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
66
“...pake video dulu....terus dijelaskan kemudian didiskusikan dan kemudian diluruskan mana yang salah (FGD 1.2) “...Untuk praktek konseling mesti semua dapat kesempatan jadi konselor ...karena waktu ini kan hanya satu orang aja jadi konselornya..."(FGD 2.6) Dari pernyataan diatas diperoleh gambaran kurangnya waktu praktek, menyebabkan kurangnya pemahaman remaja pada teknik konseling sehingga sulit menerapkan pada teman-temannya, hal ini sesuai dengan BKKBN (2008) bahwa didalam pelatihan konselor sebaya lebih banyak alokasi waktu untuk praktek yaitu 16 jam teori dan 25 jam praktek. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Fuadi (2001), bahwa pendidikan kesehatan reproduksi diberikan dengan metode yang tepat serta melibatkan remaja secara aktif dapat meningkatkan skor pengetahuan. 4.5.2 Durasi Pelatihan Konselor Sebaya Pelatihan dilaksanakan selama 3 hari dengan 2 hari pemberian materi di kelas dan 1 hari di lapangan dengan permainan edukatif (outbond). Hampir semua informan menyatakan waktu pelatihan terlalu singkat menyebabkan mereka merasa dikejar-kejar waktu untuk menerima materi dikelas, apalagi waktu belajar dikelas dari pagi sampai jam 22.00 wita. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “…Kan waktu itu sampai satu hari menerima materi, pantetnya lumayan panas….kan bosan…"(FGD 2.1) “...Kepinginnya bukannya ngejar buku....kita yang menunggu materi....seperti kejar-kejaran..."(FGD 1.3)
Untuk permainan edukatif/outbond semua remaja mengatakan outbond penting, disamping untuk refresing, juga untuk aplikasi materi-materi yang telah
66
didapat di kelas, dan juga untuk melatih bekerjasama dengan teman dalam memecahkan suatu permasalahan. “...Outbond berguna banget....kan mata....refresing..". (FGD 1.6)
2
hari
didalam
“...Tidak hanya refresing ....aplikasi materi ada teman....toleransi memahami watak teman..." (FGD 1.4) “...Kan dikelas kita gak sempat belajar cepatan....menantang..." (FGD 1.3)
ruangan....cuci
kerjasama
semuanya....jadi
tau,
dengan
cepat-
Dari pernyataan diatas diperoleh gambaran proses pelatihan konselor sebaya waktunya singkat, menyebabkan waktu pemberian materi dikelas sampai larut malam, sehingga remaja merasa lelah, bosan dan mengantuk dan materi yang diterima juga kurang maksimal. Waktu pelatihan yang selama ini dilaksanakan tiga hari sangat tidak sesuai dengan modul pelatihan konseling kesehatan reproduksi remaja bagi konselor sebaya (BKKBN, 2008) yaitu seharusnya pelatihan dilaksanakan selama 41 jam pelajaran atau lima hari efektif. 4.5.3 Penyegaran Pelatihan Konselor Sebaya Semua informan mengatakan perlu adanya pembinaan dari pelatih dan tenaga kesehatan agar ada yang mengarahkan dalam melakukan kegiatan di sekolah. Untuk kesinambungan program informan mengharapkan adanya penyegaran pelatihan bagi remaja yang telah mendapat pelatihan sebelumnya. Pernyataan tersebut dapat di lihat pada kutipan berikut.
“...Setelah pelatihan tolong kami dilihat...sepertinya kami dilepas begitu saja...tidak ada pantauan bagi kami yang sudah dilatih..."(FGD 1.4) “...kegiatan pelatihan tiap tahun harus ada...”(FGD 1.2)
66
Dari pernyataan diatas dapat dilihat gambaran bahwa pembinaan setelah pelatihan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat terarah dan sesuai dengan program yang diharapkan. Untuk mengevaluasi kembali pengetahuan konselor sebaya yang dilatih, perlu dilakukan penyegaran pelatihan pada mereka agar program bisa berkesinambungan di sekolah. Penyegaran pelatihan juga diperlukan untuk menambah peserta konselor sebaya secara berjenjang di sekolah, sehingga program bisa berkelanjutan walaupun siswa yang dilatih telah tamat. Hal ini sesuai dengan Djalelani, et.al. (1994) sekitar 94,3 persen remaja menyatakan membutuhkan pelayanan konsultasi dan sangat berharap bahwa pemberi pelayanan berusaha menjangkau mereka dan tidak hanya pasif menunggu diklinik mereka.
4.6 Implementasi Pasca Pelatihan 4.6.1 Pengakuan Posisi Konselor Sebaya oleh Teman Sebaya Hampir semua informan remaja mengatakan bahwa kepala sekolah tidak mengumumkan kepada siswa lain mereka sebagai konselor, sehingga siswa lain tidak mengetahui mereka sebagai konselor sebaya yang sudah dilatih dan bersertifikat, dan bisa diminta bantuan
jika memiliki suatu permasalahan.
Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“…Gak diumumin...kayak ga peduli gitu...malah temen-temen yang menanyakan kenapa menghilang waktu lomba WWM...agak kecewa awalnya tapi akhirnya gak peduli yang penting saya dapat manfaatnya ikut pelatihan...kasek gak peduli dengan anak-anak yang berprestasi...disuruh jalan sendiri…" (FGD 1.5)
66
“...Bilang sama kasek pak saya sudah tiba dengan selamat, ya silakan jalankan programnya..."(FGD 1.4)
Pengakuan yang diberikan pada konselor sebaya sangat penting, disamping untuk memperkenalkan mereka kepada remaja yang lain, juga memberi motivasi pada mereka untuk lebih giat melaksanakan tugas yang diberikan, karena mereka merasa diberikan penghargaan, dan mendapat penilaian yang lebih dari temanteman lainnya. 4.6.2 Fasilitas untuk mengimplementasikan Program Konselor Sebaya Sebagian besar informan mengatakan tidak memiliki ruangan khusus konseling remaja. Beberapa dari mereka ada yang menggunakan ruangan UKS atau ruang BK, namun kebanyakan remaja tidak mau memanfaatkan karena merasa tidak nyaman. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “…Fasilitas sudah ada, untuk UKS...buku-buku...agenda...ruangan tertutup ada, ruangan terbuka ada...untuk lomba ya..."(FGD 1.3) “…Konseling di ruang BK...temen-temen gak leluasa. Makanya diruang UKS...teman-teman curhatnya lewat SMS…" (FGD 1.2) “…Saat melakukan penyuluhan disediakan tempat, kapan kamu perlu melakukan penyuluhan pakai aja tempat di lab...kalau ruangan konseling jika melibatkan BK baru ada ruangan..." (FGD 2.1) Dukungan oleh berbagai pihak baik itu dukungan berupa penyediaan fasilitas, sarana prasarana oleh sekolah, pendampingan oleh guru, serta dukungan petugas kesehatan berupa pembinaan teknis program merupakan hal penting yang membantu konselor sebaya di dalam melakukan konseling. Hal ini sesuai dengan Sylviani, (2008), bahwa dukungan sekolah terhadap program konselor sebaya dalam bentuk sarana prasarana, kebijakan, dana untuk melakukan kegiatan
66
tertentu dan jejaring. Disamping itu perlu adanya dukungan dari guru dalam pendampingan konselor sebaya saat melakukan konsling teman sebaya. Dukungan dari petugas kesehatan diperlukan dalam hal pembinaan teknis program. Satu orang informan remaja mengatakan memiliki ruang konseling remaja yang bagus, dan sudah direkrut teman yang lain sebanyak sepuluh orang untuk membantu jadi konselor. Hal ini bisa terwujud karena mengikuti lomba UKS tingkat nasional, dan setelah mendapat pembinaan intensif dari Tim Pembina UKS Provinsi. “…Dulu gak ada ruang konseling...waktu lomba UKS nasional baru dibuatin ruang konseling baru, bagus sekarang....buku-buku dah ada..."(FGD 1.6) Dari pernyataan diatas diperoleh gambaran, bahwa kepedulian sekolah untuk mendukung program konselor sebaya, karena ada motivasi eksternal yaitu lomba, sehingga sekolah berusaha untuk memenuhi kriteria yang diperlukan dalam instrumen penilaian. Adanya pembinaan yang intensif memudahkan remaja untuk mewujudkan serta melaksanakan program konselor sebaya. Pernyataan ini juga terungkap pada hasil FGD pada pelatih seperti kutipan berikut. “...Barangkali kita bisa meniru program-program lain walaupun tidak dipersiapkan tapi karena dinilai dengan teknik lomba mereka terpaksa mempersiapkan diri seperti KSPAN itu persiapannya tidak terlalu maksimal, tetapi ketika akan dilombakan otomatis sekolah itu sendiri mempersiapkan kader-kader yang ada di sekolah itu, utk memenuhi kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mendapatkan nilai-nilai yang maksimal..." (FGD 4.3) Pernyataan diatas juga didukung dengan hasil observasi, dari sekolah-sekolah yang dikunjungi hanya ada satu sekolah yang memiliki ruang konseling dengan sarana dan prasarana yang lengkap, dan mendapat dukungan dari Kepala sekolah, guru dan petugas kesehatan.
66
4.6.3 Upaya dan Hambatan Implementasi Sebagian informan remaja menyatakan, konseling remaja yang dilaksanakan selama ini hanya sebatas curhat-curhat biasa dengan teman dekat saja. Mereka belum bisa melakukan konseling seperti teknik-teknik konseling yang diajarkan, karena mereka belum memahami materi konseling dan teknik konseling dengan baik. Sebagiannya lagi baru bisa melakukan sosialisasi seputar materi kesehatan reproduksi pada teman-temannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan berikut. “…Ada anak angkat diejek-ejek ama temennya kan kasian…saya bilang gak usah dipeduliin..."(FGD 2.1) Kalau saya ada temen pernah cerita, bapaknya selingkuh, saya bilang bicaralah baik-baik tapi sampai sekarang masalahnya gak tuntas. Saya gak berani bilang ke guru, takut nanti dibilang gak bisa pegang rahasia. Tapi sekarang sih dia sudah bilang biarin aja gitu.(FGD 2.5) Ada teman yang punya masalah terus dibantu, akhirnya berhasil dan kemudian dari mulut ke mulut...awalnya ada teman yang murung di kelas, tak deketin....akhirnya temen-temen lain mau curhat..".(FGD 1.2) “...Ditanya-tanyain sama teman waktu baru pulang...kebanyakan nanyain soal haid...ada juga yang tentang rokok..." (FGD 1.3)
Semua informan remaja mengatakan sangat sulit dan merasa berat mengimplementasikan program ini di sekolah, disamping mereka harus bekerja sendiri, mereka juga kurang mendapat dukungan baik dari sekolah, temantemannya, maupun dari petugas kesehatan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “…Kalau saya 1 orang disuruh ngurus teman-teman 600 orang ga sanggup..saya juga di KSPAN dan punya teman-teman lain barangkali bisa membantu…kesimpulannya saya tidak mampu sendiri…sekarang saya punya 3
66
orang teman membantu…sendiri agak berat karena 600 orang…saya ngontrol 40 anak..itu aja susah,apalagi 600 orang…"(FGD 1.4) “…Berat banget…pokoknya ribet…padahal selesai pelatihan besoknya sudah sosialisasi…soalnya saya ketua UKS,saya mengerjakan sendiri...pokoknya ribet kalau cuma ditunjuk sendiri…pembinanya cuma nyuruh-nyuruh,yang mengerjakan saya sendiri…" (FGD 1.3) “…Setelah pelatihan saya ajak teman-teman untuk ikut jadi konselor sebaya…mereka pada gak mau…ahh apaan tuu…"(FGD 2.2) “…Waktu jadi masalah….ada teman mau curhat tapi pas ada pelajaran….diajak diluar jam pelajaran gak bisa….teman lain acuh tak acuh….sepertinya sendiri, teman-teman lain mau dijadikan anggota tapi gak mau…"(FGD 1.6) “…Individunya….kalau gak deket gak mau crita….sepertinya gengsi temanteman curhat…"(FGD 1.3) “…Pertama individunya kurang mau mengemukakan masalah…kedua gurunya kurang mau mensosialisasikan….ketiga kru gak ada diajak…"(FGD 1.4) Hampir semua sekolah yang telah memiliki konselor sebaya terlatih belum mampu melaksanakan program konselor sebaya di sekolah mereka. Menurut informan kepala sekolah program ini berbeda dengan KSPAN, karena KSPAN gurunya dilatih terlebih dahulu baru kemudian siswanya, sehingga guru mengerti dan bisa mendampingi siswa saat melakukan kegiatan di sekolah. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan berikut. “…Setiap siswa perlu pendampingan….tidak hanya dari gurunya….perlu juga gurunya dilatih…"(FGD 3.5) “…Jika ada pelatihan juga agar dipanggil guru pembinanya…"(FGD 3.3) Dari pernyataan diatas dapat diperoleh gambaran penyebab program konselor sebaya tidak jalan karena dukungan sarana dan prasarana yang minimal bahkan tidak ada dari sekolah, sikap kepala sekolah yang tidak mendukung, tidak ada pembinaan lanjutan dari petugas kesehatan serta tidak ada monitoring dan
66
evaluasi dari pelatih. Hal tersebut terjadi karena pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah atau guru belum pernah mendapat sosialisasi tentang program konselor sebaya, sehingga mereka tidak bisa mengarahkan serta mendampingi remaja melakukan kegitan tersebut. Akhirnya remaja hanya bekerja sendiri. Disamping itu konselor juga kurang percaya diri karena pemahaman yang belum maksimal pada teknik konseling. Hambatan lainnya remaja merasa sungkan melakukan konseling pada lawan jenis.
4.7 Refleksi Hampir semua informan remaja (11 dari 12 informan remaja) menyatakan mereka ditunjuk langsung oleh kepala sekolah atau guru PMR untuk mengikuti pelatihan konselor sebaya. Hal ini menyebabkan remaja merasa terpaksa dan merasa diberi beban yang berat karena mereka kurang berminat dengan program konselor sebaya. Ada satu informan menyatakan dirinya melalui proses seleksi disekolah. Sosialisasi yang kurang di sekolah serta tidak ditentukan kriteria peserta menjadi penyebab kurang pahamnya kepala sekolah/guru untuk memilih remaja. Mereka pada umumnya hanya berdasarkan pengamatan sehari-hari dengan melihat prestasi akademik dan keaktifan siswa. Hal ini tentu tidak cukup karena untuk menjadi konselor sebaya diperlukan karakteristik-karakteristik tertentu diantaranya mempunyai minat, secara sukarela untuk membantu dan lainnya. Minimnya
jumlah
remaja
yang
dilatih
dimasing-masing
sekolah
menyebabkan sulitnya remaja dalam membagi tugas untuk melakukan sosialisasi di sekolah, hal ini berbeda dengan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
66
dengan melatih Kader Kesehatan Remaja minimal 10% dari jumlah siswa, sehingga memudahkan mereka melaksanakan tugas. Dengan jumlahnya yang banyak menyebabkan mereka lebih di kenal di sekolah, dibandingkan konselor sebaya yang hanya satu orang. Pemahaman yang belum maksimal pada teknik konseling menjadi penyebab utama remaja belum merasa mampu melakukan konseling pada teman sebayanya. Mereka yang telah mencoba melakukan konseling umumnya sebatas curhat biasa dengan teman-teman dekat meraka. Singkatnya hari pelatihan menyebabkan waktu pelatihan sampai larut malam, hal ini membuat remaja merasa bosan dan merasa dikejar-kejar materi, sehingga remaja merasa lelah, bosan, mengantuk dan tidak konsentrasi menerima pelajaran. Kondisi ini dapat dinetralisir dari cara penyampaian materi oleh pelatih yang menurut remaja, gaul-gaul dan sesuai dengan keinginan remaja. Hambatan implementasi dialami remaja karena kurangnya dukungan baik dari sekolah, petugas kesehatan maupun dari pelatih itu sendiri. Hambatan juga berasal dari teman-teman mereka yang belum memanfaatkan mereka sebagai konselor sebaya. Hal ini terjadi karena tidak ada pengakuan dari pihak sekolah dan tidak pernah diumumkan didepan seluruh siswa bahwa mereka telah menjadi konselor sebaya yang bersertifikat. Sekolah yang telah mendukung program ini karena ada motivasi eksternal yaitu lomba UKS tingkat nasional. Motivasi internal belum ada dari sekolah karena tidak pernah ada sosialisasi tentang konselor sebaya sehingga mereka tidak mengerti dengan apa yang harus mereka lakukan untuk mendukung program konselor sebaya.
66
Pada umumnya sekolah menyambut positif program ini, dan kepala sekolah/guru akan mendukung sepenuhnya asal mereka diberikan sosialisasi terlebih dahulu, sehingga mereka bisa mengerti dan bisa mendampingi remaja saat melakukan kegiatan. Menurut kepala sekolah/guru dan pelatih yakin program ini bisa berkelanjutan jika ada kesepakatan antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Pendidikan untuk memasukkan program konselor sebaya ini kedalam kegiatan ekstrakurikuler, sehingga pembiayaannya bisa dianggarkan dari sekolah masingmasing.
66
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN Dari hasil dan pembahasan penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Proses seleksi calon peserta pelatihan konselor sebaya yang dilakukan sekolah belum sesuai dengan standar pelatihan, sehingga menghambat implementasi. 2. Materi pelatihan konselor sebaya belum memadai, dan belum sesuai dengan harapan remaja termasuk materi pendukungnya. 3. Metode pelatihan belum sesuai dengan harapan remaja, sehingga waktu pelatihan dirasa menjenuhkan dan menghambat penerimaan materi oleh calon konselor sebaya. 4. Implementasi pasca pelatihan belum dapat maksimal, karena faktor pengakuan dari teman sebaya yang belum ada, dan fasilitas tempat konseling yang belum disediakan oleh pihak sekolah.
5.2
Saran
1. Proses seleksi peserta pelatihan konselor sebaya agar sesuai dengan prosedur dan dipilih para siswa yang benar-benar berminat. 2. Materi pelatihan konselor sebaya agar disesuaikan dengan harapan para siswa dan ditambah dengan materi pendukung.
66
3. Metode pelatihan agar disesuaikan dengan harapan para siswa agar tidak menjenuhkan dan mudah diterima oleh remaja. 4. Perlu dilakukan advokasi oleh pemegang program pada pihak terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan setempat, agar meminta sekolah untuk memfasilitasi kebutuhan para konselor sebaya yang telah dilatih.
66