BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1.
Hasil Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang
berasal dari daerah Sumalata, Kabupaten Gorontalo utara. 4.1.1 Hasil Ektraksi Daun Sirsak Setelah dilakukan ekstraksi daun sirsak sebanyak 200 gram dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol diperoleh ekstrak 4500 ml. ekstrak cair tersebut kemudian dievaporasi sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 25 gram dengan presentasi kadar ekstrak 12,5%. 4.1.2. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Setelah dilakukan pengujian aktivitas antibakteri melalui terbentuknya diameter zona hambat pada cakram diperoleh hasil bahwa ekstrak daun sirsak memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus, seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 2 : Hasil Pengukuran Zona Hambat Bakteri Staphylococcus aureus
Ulangan
Kosentrasi
(mm)
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
4
Kontrol Negatif
0
0
0
0
0
0
5%
9
8
8
9
34
8,5
15%
10
9
9
9
37
9,25
25%
10
11
10
11
42
10,5
35%
14
15
14
15
58
14,5
45%
15
15
15
14
59
14,75
1.2.
Pembahasan Untuk mengetahui apakah ekstrak daun sirsak dapat berkhasiat sebagai
antibakteri, maka dilakukan pengujian daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam pengujian daya hambat ekstrak daun sirsak terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut. Tahap pertama yang dilakukan dalam pengujian daya hambat yaitu melakukan sterilisasi. Sterilisasi yang dilakukan meliputi kegiatan sterilisasi alat dan bahan yang akan digunakan. Sterilisasi dalam mikrobiologi dilakukan dengan tujuan untuk mematikan semua organisme yang terdapat dalam suatu benda. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah menyiapkan media untuk pembiakan (regenerasi) suspensi bakteri. Suspensi bakteri dibuat dengan cara menumbuhkan bakteri pada substrat. Substrat adalah media petumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, bentuk cair yang didalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus. Substrat yang digunakan adalah sediaan jadi dalam bentuk bubuk Nutrient Broth (NB) yang mengandung nutrien yang pada umumnya dibutuhkan bakteri. Media NB yang telah dibuat dapat digunakan untuk penyiapan starter. Starter yang dimaksud adalah bibit Staphylococcus aureus yang ditumbuhkan dalam substrat
(media) pertumbuhan kultur bakteri tersebut diperlukan waktu inkubasi selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pembuatan medium padat (solid) sebab metode pegujian yang akan digunakan adalah metode difusi agar. Medium padat yang digunakan adalah produk jadi dari Nutrient Agar (NA) dengan komposisi ekstrak daging, pepton, dan agar. Dalam, pengujian daya hambat ini tanaman tradisional yang digunakan sebagai antibakteri yaitu daun sirsak. Daun sirsak yang telah dibagi menjadi lima konsentrasi diencerkan dengan menggunakan metanol sampai 10 ml. Keutungan dari penggunaan metanol karena metanol merupakan pelarut organik yang mudah menguap, sehingga saat kertas cakram yang digunakan untuk menguji daya hambat diteteskan dengan ekstrak yang telah diencerkan dengan metanol dan cakram didiamkan selama ± 20 menit, maka pelarut metanol akan menguap, sehingga dapat dengan jelas diperoleh bahwa yang menghambat pertumbuhan bakteri adalah benarbenar ekstrak daun sirsak. Tahap selanjutnya yang dilakukan yaitu menyiapkan media pertumbuhan bakteri. Penyiapan media pertumbuhan bakteri menggunakan metode tuang (pour plate) dimana kultur dicampurkan ketika media masih cair (belum memadat). Kelebihan teknik ini adalah mikroorganisme yang tumbuh dapat tersebar merata pada bagian media agar. Cara penyiapan media pertumbuhan bakteri yaitu diambil 1 ml suspensi bakteri dengan menggunakan dispo, dan dimasukkan kedalam cawan petri, kemudian diambil 15 ml nutrien agar (NA) steril dan dituangkan kedalam cawan petri yang telah terisi suspensi bakteri. Selama penuangan medium, tutup cawan tidak boleh dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Setelah penuangan medium, cawan petri segera digerakkan secara hati-hati untuk
menyebarkan sel-sel mikroba secara merata. Selanjutnya setelah agar memadat maka tahap selanjutnya yaitu melakukan uji daya hambat ekstrak daun sirsak terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Adapun cara pengujian aktivitas ini dilakukan dengan cara uji difusi cakram (disk difussion test). Kertas cakram dengan ukuran diameter masing-masing 6 mm ditetesi ekstrak daun sirsak yang telah dibuat dalam 5 konsentrasi yaitu (5 %, 15%, 25%, 35%, dan 45%) menggunakan mikropipet. Kertas cakram lalu didiamkan selama ± 20 menit, hal ini dilakukan untuk menguapkan pelarut metanol yang digunakan untuk mengencerkan ekstrak daun sirsak sehingga diharapkan dalam pengujian daya hambat ini yang bersifat sebagai antibakteri adalah ekstrak daun sirsak. Selanjutnya kertas cakram diletakkan diatas media bakteri dengan pinset. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus yang berkisar antara 35-370 C selama 24 jam. Untuk pengujian daya hambat ini dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan. Dari hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa semua konsentrasi menunjukkan
ekstrak
daun
sirsak
memiliki
daya
penghambatan
terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus. Daya penghambatan ini ditunjukkan dengan adanya zona bening (zona hambat) disekitar cakram. Hasil pengukuran zona hambat ekstrak daun sirsak disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa zona hambat yang terbentuk akan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak daun sirsak yang diberikan. Menurut Ahn dkk. (1994), jika zona hambat yang terbentuk pada uji difusi lempeng agar berukuran kurang dari 10 mm, maka respon penghambatannya dikategorikan tidak ada. Jika zona hambat yang terbentuk 10-15 mm, maka respon
penghambatannya dikategorikan lemah, 16-20 mm dikategorikan sedang dan lebih dari 20 mm dikategorikan kuat. Hasil pengukuran zona hambat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak daun pada konsentrasi 5% dan 15% tidak memiliki respon penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus karena hanya memiliki ukuran zona bening 8,5 mm dan 9,25 mm, sehingga ekstrak daun sirsak pada kosentrasi 5% dan 15% tidak dapat digunakan sebagai antibakteri baik yang besifat bakteriostatik ataupun bakterisid, pada konsentrasi 25%, 35%, dan 45% memiliki respon yang lemah terhadap penghambatan bakteri Staphylococcus aureus dengan ukuran zona bening masing-masing 10,5 mm, 14,5 mm dan 14,75 mm. Pada konsentrasi 25%, 35% dan 45% dapat digolongkan bakteriostatik yang bersifat lemah dalam menghambat pertumbuhan bakteri. sehingga dalam konsentrasi ini dapat digunakan sebagai antibakteri. Sedangkan untuk kontrol negativ (pelarut metanol) yang digunakan tidak terdapat hambatan baik pada perlakuan pertama, kedua, ketiga maupun keempat. Dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak memiliki respon penghambatan yang sedang terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Dengan demikian, hasil dari pengujian tersebut menunjukkan setiap kosentrasi dari masing-masing ekstrak memberikan zona hambat yang berbeda yang semakin besar konsentrasi ekstrak semakin besar pula zona hambat yang terbentuk. Menurut Zohra et al. 2009 dalam Kusnadi 2010, perbedaan besarnya zona hambat yang terbentuk pada masing-masing kosentrasi dapat diakibatkan karena adanya perbedaan besar kecilnya konsentrasi atau banyak sedikitnya kandungan zat aktif antibakteri yang terkandungan didalamnya serta kecepatan difusi bahan antibakteri kedalam medium agar. Faktor-faktor lain yang juga dianggap dapat
mempengaruhi terbentuknya zona hambat adalah kepekaan pertumnbuhan antibakteri, reaksi antara bahan aktif dengan medium dan temperature inkubasi. Terbntuknya zona bening merupakan bentuk penghambatan pertumbuhan terhadap Staphylococcus aureus.