33
BAB IV CIKEUKEUH DALAM KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN KEAGAMAAN 4.1. Data Demografis Desa Cikeukeuh Desa Cikeukeuh merupakan salah satu dari sekian desa yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 243,150 ha. Desa ini terbagi dalam 4 Dusun, 9 Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tangga (RT). Desa Cikeukeuh dibelah oleh jalan kabupaten yang menjadi perlintasan menuju sebuah kawasan wisata gunung. Posisi Desa Cikeukeuh berada pada dataran tinggi dengan ketinggian tanah 900 sampai dengan 1500 m/dpl. Wilayah desa ini membentang dari arah utara ke selatan dimana lahannya masih didominasi oleh sawah dan ladang (182,357 ha). Posisi Desa Cikeukeuh berjarak 6 km dari pemerintahan kecamatan, 44 km dari ibukota kabupaten, 150 km dari ibukota propinsi. Akses ke desa ini tidak terlalu sulit karena didukung oleh angkutan pedesaan yang lumayan banyak dan prasarana jalan yang cukup bagus. Jumlah penduduk Desa Cikeukeuh pada tahun 2012 adalah 7.650 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3.955 jiwa (51,70 %) dan perempuan sebanyak 3.695 jiwa (48, 30 %), dengan jumlah 2353 kepala keluarga. Warga yang berusia 5-9 tahun mendominasi jumlah penduduk, yakni sebanyak 816 orang disusul usia 10-14 tahun (808 orang) dan usia 0-4 tahun (792 orang). Laki-laki 51,70 % Perempuan 48,30 %
Gambar 3 Struktur Penduduk Desa Cikeukeuh Berdasarkan Jenis Kelamin. Pada tahun 2011, jumlah angkatan kerja usia 15-56 tahun sebanyak 4.864 orang. Jumlah angkatan kerja pada tahun 2011 ini menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2010), yakni sebanyak 5095 orang. Sementara itu, jumlah pengangguran untuk usia yang sama pada tahun 2011 sebanyak 1459 orang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1278 orang. Dari
34
2334 KK terdapat 453 KK (19,4%) yang tergolong miskin, 1488 KK yang bertempat tinggal permanen, 1425 KK yang sudah terpasang listrik dan 21 KK yang memasang telpon rumah.
3000 2500 2000 1500
Laki-laki
1000
Perempuan
500 0 Usia Produktif
Usia Non Produktif
Gambar 4 Struktur Usia Produktif Penduduk Berdasar Jenis Kelamin.
Desa Cikeukeuh terdiri dari 9 kampung, yaitu Kampung Sukasari (RW 01), Mekarsari (RW 02), Cihedang (RW 03), Lampari (RW 04), Ciladong (RW 05), Bumi Asri (RW 06), Sadang (RW 07), Nanggreg (RW 08) dan Cibuluh (RW 09). Dari kesembilan kampung ini, Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu meski pada kenyataannya tidak semua keluarga masih mempertahankan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Banyak keluarga di desa ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Di antara penyebabnya adalah bahwa warga yang ada di desa ini tidak lagi homogen. Banyak pendatang yang menjadi warga desa ini lantaran hubungan pernikahan, seperti warga yang berasal dari etnis Batak, Minang dan Jawa. Alasan lainnya adalah karena pengaruh perubahan sosial dimana makin memudarnya peran orangtua dalam mewarisi bahasa Sunda sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sangat jarang orangtua mengajarkan bahasa Sunda halus kepada anak-anaknya, disamping orangtua sekarang banyak yang tidak menguasai bahasa Sunda halus, sehingga menggunakan bahasa Indonesia menjadi pilihan ketimbang berbahasa Sunda kasar dan kuatir dijawab dengan bahasa Sunda kasar oleh anak-anak mereka.
35
BPD
Kepala Desa
Sekretaris
Kaur Kesra
Bendahara
Kaur Keuangan
Kaur Umum
Kaur Pemerintahan Kaur Ekon dan Pemb
Kaur Keagamaan
Kadus I
Kadus II
Kaur Pertanian
Kadus III
Kadus IV
Kaur Pengairan Kaur Linmas
Gambar 5 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Cikeukeuh. Bagian timur dari desa ini hanya Kampung Sadang dan Cihedang yang menjadi sentra pertanian. Sisanya sudah menjadi lahan pemukiman warga, dan di belakangnya sudah dibatasi oleh kali Cicurug. Sementara itu, bagian barat daerah yang menjadi sentra pertanian adalah Kampung Ciladong, Lampari, Cibuluh dan Mekarsari. Usaha ekonomi desa yang terpenting adalah tanaman padi sawah dengan jumlah lahan persawahan seluas 182,357 ha (75%) dari total lahan yang ada di desa, yaitu 243.150 ha. Tanaman ladang berupa jagung, kacang, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, ubi jalar dan lain-lain menyediakan sumber pendapatan penting kedua yang meliputi 24,71 ha (10%) keseluruhan lahan yang ada di desa. Sementara itu, dari sisi mata pencaharian, mayoritas masyarakat Cikeukeuh berprofesi sebagai pedagang atau wiraswasta yang berjumlah sebanyak 918 orang atau 12% dari jumlah penduduk, sedangkan buruh pabrik menempati posisi kedua dengan jumlah 691 orang (9%), disusul petani (dan buruh tani) dengan jumlah 589 orang (7,7%). Sisanya ada yang PNS (58 orang), pegawai swasta (161 orang), TNI/POLRI (4 orang), sopir (146 orang), tukang ojek (64 orang), kuli bangunan (224 orang).
36
Banyaknya penduduk yang bekerja di bidang wiraswasta dan buruh pabrik ini disebabkan oleh ketiadaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat serta minat masyarakat yang tidak begitu tertarik lagi dengan dunia pertanian. Menurut salah seorang aparat desa IZ, masyarakat sudah menampakkan ketidaktertarikannya ke dunia pertanian. Di samping tidak punya modal, hasil pertanian sekarang sudah tidak dapat diandalkan bahkan seringkali petani pas-pasan jika tidak dikatakan merugi. Salah satu indikasi, lanjutnya, hampir tidak ada anak-anak muda yang bekerja di pertanian. Bagi mereka, lebih baik pergi ke kota menjadi buruh, pelayan toko atau berdagang. Bahkan tidak sedikit warga meninggalkan desa dan migran ke daerah Tangerang dan Jakarta untuk berdagang soto (Bogor), sementara lahan pertaniannya disewakan kepada orang lain atau saudaranya. Panguasaan lahan pertanian pada saat ini tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat melainkan oleh orang-orang di luar desa, seperti dari Jakarta yang umumnya beretnis China. Di Kampung Sadang dari 40 ha luas tanah 24 ha sudah menjadi milik orang luar (Jakarta dan Yogyakarta). Begitu juga dengan Kampung Cihedang dimana lahan seluas 7 ha sudah menjadi milik orang (4 ha milik mantan Kapolri BS dan 3 ha milik salah satu pengembang asal Jakarta). Di Kampung Nanggreg juga demikian, lahan seluas 2500 meter per segi sudah dimiliki oleh orang Jakarta. Sementara itu, lahan seluas 1,4 ha sudah berpindah tangan kepada pengusaha yang tinggal di Jakarta dan dijadikan empang. Sebagian lahan yang dimiliki orang luar desa itu dibiarkan saja dan belum beralih fungsi, sebagian lagi ada yang digarap dan beralih fungsi (empang) dimana warga setempat menjadi buruh atau penyewa, bahkan ada juga si pemilik lahan mendatangkan tenaga kerja dari Tangerang untuk menggarap lahannya. Kebutuhan akan biaya hidup, pengobatan dan membangun rumah serta murahnya harga tanah (rata-rata 50 ribu/m2) menjadi penyebab kenapa kepemilikan tanah gampang dikuasai oleh masyarakat luar.
37
Gambar 6. Areal persawahan di Kampung Cihedang.
Gambar 7. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi empang.
Alasan lain adalah banyak juga diantara lahan yang dijual itu harta warisan yang tidak begitu luas sehingga sulit dibagi rata kepada beberapa orang ahli waris. Untuk memecahkan masalah ini, ahli waris menjualnya untuk memudahkan pembagiannya disamping ada juga ahli waris yang tidak mau mengelola lahan tersebut. Ada juga warga yang menjual lahannya karena ingin memutarkan modal dengan cara membeli angkot. Warga tergiur dengan setoran harian yang tentu saja melebihi dari pendapatan harian mereka ketika menggarap sawah. Alih fungsi lahan pernah terjadi pada tahun 1980 hingga 1998 ketika desa ini menjadi sentra pembesaran ikan Mas se-Kecamatan. Banyak lahan persawahan beralih menjadi empang atau kolam ikan, sehingga ketika itu banyak warga yang menjadi petani tambak ketimbang petani sawah karena sangat menjanjikan. Pasar utamanya adalah Kota Jakarta, dan keuntungan yang didapat petani ketika itu masih di atas seratus persen. Puncak pembesaran ikan Mas terjadi pada tahun 1998, yaitu ketika bangsa Indonesia dilanda krisis moneter yang menyebabkan bibit, pakan ternak dan kebutuhan lainnya naik drastis, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara nilai jual ikan dengan harga pakan ternak. Krisis moneter bukanlah faktor tunggal, munculnya virus white spot pada ikan dan membanjirnya ikan laut - warga menyebutnya dengan ikan moneter karena bersamaan dengan krisis moneter - di pasar hingga ke Desa Cikeukeuh ikut menjadi faktor hancurnya usaha pembesaran ikan di desa ini. Meski peluang berbisnis ikan tidak sebagus tiga dekade yang lalu, namun pembesaran ikan hingga sekarang masih dilakukan oleh beberapa warga. Saat ini
38
tercatat 2,7 ha lahan yang digunakan warga lokal dan luar untuk pembesaran ikan. Jenis-jenis ikan pun sudah bervariasi, yaitu ikan Mas, Bawal, Mujahir dan Nila dengan hasil panen per tahun 235 ton (ikan Mas), 250 ton (Bawal) 1,5 ton (Mujahir) dan 1,2 ton (Nila). Bangunan sekolah cukup banyak di desa ini. Ada 3 buah SDN (2 di Kampung Sukasari dan 1 di Kampung Ciladong). Sementara itu, terdapat 3 buah MI (Madrasah Ibtidaiyah), yaitu di Kampung Sukasari, Cihedang, dan Cibuluh (RW 9) dan 3 Madrasah Diniyah yang berada di Kampung Lampari (RW 4), Sukasari dan Cihedang. Setingkat pendidikan SLTP dan SLTA, di Kampung Mekarsari terdapat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Keterampilan (MAK) yang dikelola oleh sebuah yayasan milik NS. Ada 2 buah TK Islam dan 4 buah pondok pesantren, dan untuk melengkapi pendidikan keagamaan yang informal, desa ini juga memiliki 9 majlis taklim yang tersebar di masing-masing kampung. Dari penduduk usia 7 – 15 tahun yang berjumlah 1185 pada tahun 2011, hanya dua orang yang tidak sekolah. Angka dari warga yang tidak sekolah ini menurun drastis bila dibandingkan pada tahun 2010 yang berjumlah 14 orang. Dari sekian jumlah penduduk, hanya 10 orang warga yang berpendidikan S1 disusul 6 orang pendidikan D3, 12 orang untuk D2 dan 15 orang D1. Sementara itu, hanya 10 orang warga yang buta aksara.
Gambar 8. Kantor Desa Cikeukeuh.
Gambar 9. Salah satu sekolah agama yang ada di Desa Cikeukeuh.
39
4.2. Kehidupan Sosial-Politik Secara historis, kehidupan sosial di Desa Cikeukeuh tidak mengalami pergolakan dan bersentuhan dengan pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962). Pemberontakan DI TII kebanyakan berada di desa-desa yang berada di Keresidenan Priangan (Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Ciamis). Darul Islam di Jawa Barat lebih berkembang karena di sanalah Kartosuwiryo membangun kekuatan bersenjatanya dan melatih para pemuda dalam lembaga Suffah di Malangboong, Garut. Tak heran jika karakteristik keislaman di Jawa Barat juga dipengaruhi oleh Gerakan DI (Hasani et.al 2011). Meski Jawa Barat menjadi kantong penting kekuatan DI TII, DI TII tidak sampai masuk desa melainkan di daerah pegunungan yang berjarak sekitar 15 km dari desa. Desa Cikeukeuh dulu termasuk dan dijadikan sebagai daerah pertahanan tentara Siliwangi. Untuk mengenang sejarah itu, dan sebagai bukti dari jejak sejarah, jalan masuk ke Kampung Mekarsari dinamakan Jalan Siliwangi. Begitu juga dengan pergolakan sosial yang terjadi pada tahun 1965 yang lebih dikenal dengan pemberontakan PKI. Desa ini tidak terpengaruh dengan gerakan komunis yang dilancarkan oleh PKI. Secara ideologis, hampir tidak ada anggota PKI di desa ini, kalaupun ada hanya bersifat ikut-ikutan atau pernah datang pada rapat PKI yang diadakan di Jakarta. Menurut beberapa orang tokoh masyarakat, jumlahnya juga sangat sedikit (2-3 orang), yaitu mereka yang berasal dari Kampung Mekarsari. Tidak adanya pergolakan sosial dan politik di desa ini menyebabkan muncul dan berkembangnya organisasi sosial keagamaan. Di antara organisasi sosial keagamaan yang pernah berkembang adalah Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Pemuda Umat Islam (PPUI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Organisasi yang terakhir (GPII) berafiliasi kepada Masyumi. PUI yang sangat peduli dan fokus pada dunia pendidikan mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang masih berdiri sampai sekarang, dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah PUI. Organisasi keagamaan ini juga seringkali menyelenggarakan pelatihanpelatihan bagi para pemuda untuk penggemblengan akhlak dan pemahaman
40
agama pada masa akhir tahun 1950-an yang berpusat di mesjid terbesar yang ada di desa yang masih ada sampai sekarang. Meskipun sifatnya tidak diwajibkan, tetapi banyak pemuda yang bergabung ke dalam pelatihan yang dilaksanakan selama seminggu tersebut. Beberapa tokoh agama yang ada sekarang merupakan mantan peserta pelatihan-pelatihan tersebut. Sementara itu, organisasi sosial keagamaan yang mapan dan besar seperti NU dan Muhammadiyah malah tidak berkembang di sini meski secara ritual keagamaan masyarakat lebih dekat kepada tradisi keagamaan NU. Dilihat dari sosio-politik, afiliasi partai politik masyarakat lebih cenderung memilih Partai Golkar. Kondisi ini berlangsung semenjak Orde Baru berkuasa. Kecuali pada masa awal kekuasaan Orde Baru dimana PPP dan Golar selalu bersaing dalam merebut simpati dan suara rakyat. Sementara PPP dan Golar selalu bersaing dalam pemilu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) malah tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Persaingan kedua partai tersebut, pada awal-awal kekuasaan Orde Baru, lebih sering dimenangkan oleh PPP karena menurut masyarakat PPP adalah pengganti Masyumi yang dibubarkan oleh Orde Lama. Namun, kondisi itu berubah seiring makin kuatnya kekuasaan pemerintah yang diwakili oleh Partai Golkar. Kemenangan Partai Golkar tidak lebih dari pemaksaan yang sistematis kepada masyarakat terutama kepada mereka yang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kepala Desa dan aparatnya kerap meminta dan memaksa warga untuk memilih Partai Golkar. Fenomena yang berlangsung selama beberapa dekade ini merupakan hal yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. PNS diwajibkan memilih Partai Golkar dan punya konsekuensi tersendiri jika tidak memilihnya seperti yang dialami dua orang warga, yaitu alm. Hj. MH dan H. AA yang keduanya dimutasi ke Cimanggis, Depok. Seperti yang ditulis Liddle (1997), Partai Golkar dianggap sebagai partai negara yang mewakili kepentingan penguasa belaka dan tidak mengindahkan kepentingan masyarakat dalam pemilihan umum. Meskipun, di satu sisi, pemerintahan Orde Baru stabil dan committed kepada pembangunan, namun, di sisi lain, jauh terasa nuansa demokratisasi sebagai bangsa karena yang lebih dipentingkan adalah stabilitas ekonomi dan politik.
41
Kondisi ini jauh berbeda ketika masa pemerintahan Orde Lama dimana masyarakat lebih dekat dengan Partai Masyumi. Di Desa Cikeukeuh, dan desadesa di sekitarnya, Partai Masyumi menjadi partai pilihan masyarakat. Masyarakat Cikeukeuh yang religius menggantungkan harapan dan aspirasinya kepada Masyumi dalam memperjuangkan kepentingan Islam. Secara historis, seperti yang ditulis Herbeth Feith (dalam Hasani 2011), Masyumi berkembang pesat di Jawa Barat. Hal itu bisa dilihat dari hasil Pemilu 1955 dimana Masyumi mengungguli PNI, yaitu Masyumi memperoleh suara 1.844.442 dan PNI 1.541.927. berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dimenangkan PNI. Keluarnya NU dari Masyumi tidak melemahkan posisi Masyumi di Jawa Barat. Warga NU di Jawa Barat tidak mau berpaling dari Masyumi sehingga suara NU di Jawa Barat hanya memperoleh 673.552 suara, jumlah yang kecil dibanding yang diperoleh di Jawa Timur sebanyak 3.370.554 dan di Jawa Tengah 1.772.306 suara. Kuatnya Masyumi di Jawa Barat menjadi karakter tersendiri dari keislaman politik yang dianut masyarakat muslim Jawa Barat. Afiliasi partai politik masyarakat kembali berubah pasca reformasi dimana banyak partai-partai baru yang bermunculan sebagai wujud dan indikasi perkembangan demokrasi di Indonesia. Aspirasi masyarakat yang dulu dipercayakan kepada partai Masyumi (ORLA), PPP (awal ORBA) dan Golkar (ORBA) kini pecah ke berbagai partai, seperti PKS, PBB, PAN, PPP, Demokrat, PDI-P dan Golkar, meski sekarang masyarakat lebih dekat dengan partai terakhir (Golkar). Pascareformasi memungkinkan masyarakat untuk lebih leluasa memilih partai politik ketimbang pada masa sebelumnya (Orde Baru) yang hanya menyediakan tiga pilihan partai politik, itu pun di bawah tekanan penguasa. Namun demikian, pilihan partai politik yang lebih variatif berakibat pada kebingungan masyarakat karena mereka terbiasa dengan jumlah partai politik yang gampang diingat.
42
Tabel 3 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004 No
Partai
Suara Partai
Jumlah
1933
Suara Calon Anggota DPRD 1648
1
Golkar
2
PPP
562
407
969
3
PKS
323
213
536
4
PDI-P
279
102
381
5
PNBK
104
79
183
6
Demokrat
75
41
116
7
PBB
67
42
109
8
PAN
36
28
64
3581
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Tahun 2004. Dari tabel di atas mencerminkan bahwa Golkar menjadi partai terbesar dalam pemilihan umum anggota DPRD Kabupaten disusul PPP dan PKS. Menariknya, pemilihan kali ini PDI-P menempati urutan keempat mengalahkan PBB yang ideologinya sangat dekat dengan Masyumi yang menjadi pilihan masyarakat era 50-an. PBB tidak hanya dikalahkan oleh PDI-P melainkan juga Partai PNBK yang terbilang partai kecil. Tidak hanya pemilihan umum di tingkat kabupaten, perolehan suara Golkar juga mendominasi saat pemilihan umum anggota DPRD Propinsi Jawa Barat dan DPR RI tahun 2009 (lihat Tabel 4). Tabel 4 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009 No
Partai
Suara Partai
Suara Calon Anggota DPRD
Jumlah
1
Golkar
160
2202
2362
2
PDI-P
129
99
228
3
Demokrat
85
102
187
4
PPP
62
88
150
5
PKS
54
80
134
6
PAN
68
61
129
7
PKB
5
54
59
8
PKDB
36
20
56
9
PBB
15
35
50
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPRD Prop. Jawa Barat Tahun 2009.
43
Tabel di atas memperlihatkan bahwa Partai Golkar masih menjadi pilihan masyarakat desa seperti halnya dalam Pemilu untuk memilih anggota legislatif tingkat kabupaten. Jika dalam Pemilu legislatif tingkat kabupaten tahun 2004 posisi kedua ditempati oleh PPP, namun pada Pemilu legislatif tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2009 justru PDI-P menempati posisi kedua. Tabel 5 Perolehan Suara Pemilihan Anggota DPR RI Tahun 2009 Suara Calon Anggota DPR 70
Jumlah
Golkar
Suara Partai 10
2
PAN
10
17
27
3
PKS
4
16
20
4
Demokrat
5
13
18
5
PBB
3
10
13
6
Hanura
2
11
13
No
Partai
1
80
Sumber: Berita Acara Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2009. Ada yang menarik dari pilihan partai politik masyarakat, yaitu diterimanya PDI-P sebagai tempat penyaluran aspirasi setelah beberapa dekade partai ini tersingkir dan tidak menarik perhatian masyarakat. Dalam Pemilu anggota DPRD Kabupaten 2004 dan pemilu anggota DPRD Propinsi Jawa Barat tahun 2009 terlihat bahwa PDI-P masing-masing menempati urutan keempat dan kedua dalam perolehan suara. Perolehan ini mengalahkan partai berbasis Islam, seperti PBB dalam Pemilu anggota DPRD Kabupaten dan PPP, PKS, PKB dan PBB dalam Pemilu anggota DPRD Propinsi Jawa Barat. Kecenderungan pilihan partai politik masyarakat dari dulu hingga sekarang sangat ditentukan oleh bagaimana dan apa kencenderungan para elit desanya, terutama tokoh agama yang ada di desa. Pendidikan politik yang didapat masyarakat sangat rendah sehingga tidak tahu mana partai yang betul-betul jadi tempat aspirasi dan wadah memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kondisi ini sangat menguntungkan elit desa dalam memenuhi kepentingannya dan memobilisasi warga untuk mengkampanyekan partai yang menjadi pilihannya.
44
Demikianlah yang tergambar pada era Orde Lama, Orde Baru dan reformasi tentang kecenderungan pilihan partai masyarakat Cikeukeuh. Pada masa Orde Lama, seperti yang dijelaskan di atas, kecenderungan masyarakat lebih memilih Masyumi sebagai wadah aspirasinya. Menurut pandangan masyarakat, Partai Masyumi dipercaya mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat terutama dalam membela dan memperjuangkan kepentingan Islam. Kebanyakan pilihan masyarakat ini bukan semata-mata atas pilihan sendiri, melainkan dipengaruhi juga oleh pilihan tokoh agama. Dalam kehidupan masyarakat, tokoh agama menjadi panutan dan tempat masyarakat bertanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pilihan politik tokoh agama menjadi ikutan masyarakat. Di antara tokoh agama yang sangat disegani masyarakat dan simpatisan Masyumi pada masa itu adalah KH. MH, KH. FR, KH. HB, KH. MM dan KH. MB. Begitu juga dengan pilihan partai tokoh agama pada masa Orde Baru (kecuali awal kekuasaan Orde Baru) dan era reformasi yang cenderung memilih Golkar. Pilihan tokoh agama ini juga diikuti oleh masyarakat terutama sekali pada akhir masa kekuasaan Orde Baru hingga sekarang, karena pada masa awal kekuasaan Orde Baru agak sulit menilai pilihan warga apakah benar-benar pilihannya atau mengikuti pilihan tokoh agama (dan elit desa). Karena pada masa ini, seperti yang diketahui banyak orang, sistem pemilu sangat tidak demokratis dan penuh dengan intimidasi. Di antara tokoh agama yang disegani masyarakat dan simpatisan Golkar pada masa ini adalah NS dan HB . Tokoh agama yang pertama (NS) beberapa kali menduduki anggota dewan tingkat kabupaten hingga sekarang menjadi anggota DPRD propinsi. Sementara itu, tokoh kedua (HB), juga menduduki anggota dewan tingkat kabupaten. Politik bantuan, baik bantuan untuk mesjid maupun ke masyarakat, yang dilakukan kedua tokoh ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk memilih partai berlambang beringin tersebut. Yang menarik untuk dicermati dalam masa ini adalah ada beberapa tokoh agama (santri) yang dulunya pendukung Masyumi dan PPP kini berpaling mendukung Golkar. Gambaran di atas tentang hubungan dan kecenderungan politik masyarakat pedesaan dengan tokoh masyarakat dan elit desa sangat tepat dengan apa yang
45
dikatakan oleh Karl D. Jackson (1990). Dia mengatakan bahwa integrasi politik di kalangan orang Sunda bergantung pada sistem hubungan kewibawaan tradisional (tokoh agama) yang menjiwai kehidupan sosial desa. Sekalipun hubungan ini pada mulanya bersifat sosial dan ekonomi, namun dapat mempunyai siratan-siratan politik yang mendalam apabila seorang tokoh kewibawaan tradisional tertentu atau para tetua desa sebagai kelompok menjadi terlibat ke dalam politik luar desa.
4.3. Agama dan Praktek Keagamaan dalam Masyarakat Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia dalam kehidupan keagamaan baik secara individu dan kelompok tidak tercakup di dalamnya. Parsudi
Suparlan
(1988)
lebih
khusus
dan
lebih
komprehensif
mendefinisikan agama sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakantindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari isme-isme lainnya karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred) yang dibedakan dari yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural (supernatural) yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah (natural). Warga Cikeukeuh seratus persen beragama Islam, jika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tetap dikategorikan ke dalam penganut agama Islam, dan memilih agama Islam sebagai suatu sistem kepercayaan yang kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk-bentuk ritual dan tindakan keagamaan. Bagi masyarakat Cikeukeuh, agama menjadi hal yang sentral dalam kehidupan sehari-hari karena berkaitan dengan keyakinan dan bersifat transenden. Keyakinan-keyakinan tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan yang bersifat vertikal (hablun minallah), seperti shalat, puasa, membaca al-Quran dan ibadah
46
keagamaan yang bersifat horizontal (hablun minannas), seperti membantu orang lain, menjenguk orang sakit, dan lain-lain. Agama sebagai sebuah sistem, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya selamat (dari api neraka) dalam kehidupan setelah mati. Karena itu, keyakinan keagamaan dapat dilihat sebagai berorientasi pada masa yang akan datang. Dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Cikeukeuh sebenarnya meyakini bahwa kewajiban-kewajiban agama yang dilakukannya adalah upaya “menabung” pahala untuk masa yang akan datang (kehidupan setelah mati). Pak Suganda, seorang petani, juga meyakini bahwa segala bentuk ibadah, baik ibadah yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal, yang dilakukannya adalah persiapan untuk akhirat. Baginya, perintah agama merupakan bentuk kewajiban yang harus dikerjakan dan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Kesembilan kampung yang ada di desa ini memiliki tingkat kehidupan keagamaan yang cukup religius. Hal ini ditandai, diantaranya, dengan keberadaan tempat ibadah (mesjid dan mushalla). Setiap kampung memiliki satu mushalla atau satu mesjid, bahkan disamping punya satu mesjid juga memiliki lebih dari satu mushalla seperti yang terdapat di Kampung Cihedang, Kampung Ciladong. Desa ini memiliki delapan buah mesjiid dan Sembilan buah mushalla. Setiap kampung mempunyai jadual pengajian mingguan yang dihadiri hingga dua puluh jamaah. Setiap pengajian kampung terdapat dua hingga empat ustadz yang memberikan pengajian secara bergantian. Pengajian mingguan ini dibagi ke dalam pengajian khusus bapak-bapak dan pengajian khusus ibu-ibu. Selain pengajian mingguan, ada juga pengajian syahriah atau bulanan yang diadakan di tingkat desa dimana tempat pengajiannya diadakan di kampung atau RW secara bergantian. Pengajian yang paling bergengsi yang banyak dihadiri warga juga adalah pengajian Muallimin yang diadakan sekali dua minggu. Pengajian ini diadakan di Mesjid al-Barkah, mesjid terbesar dan pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Mesjid ini terbilang tertua di kecamatan, meski sudah mengalami renovasi total. Dulu Mesjid al-Barkah menjadi pusat pengajian untuk daerah kecamatan dan
47
sekitarnya. Tidak jarang jamaah yang menghadiri pengajian Muallimin menginap di Desa Cikeukeuh. Untuk pengajian Muallimin ini tidak jarang mengundang penceramah dari luar desa termasuk dari Banten. Tidak diketahui persis kapan sebenarnya ketiga pengajian ini mulai ada. Menurut tokoh agama dan masyarakat, semua pengajian ini sama tuanya dengan usia desa, menggambarkan betapa kedua pengajian tersebut sudah ada sejak dulu. Tujuan pengajian mingguan, syahriah dan Muallimin ini adalah untuk pencerahan agama kepada masyarakat serta untuk syiar agama Islam. Tidak seperti pengajian mingguan dan Muallimin, pengajian syahriah sempat berhenti beberapa lama. Namun, pengajian ini dihidupkan kembali di masa kepemimpinan kepala desa saat ini. Berbeda dengan pengajian mingguan di tingkat kampung, pengajian syahriah dan Muallimin lebih ramai dan dihadiri dari beberapa kampung di Desa Cikeukeuh, jumlahnya mencapai 150-200 jamaah. Biasanya setiap akan mengadakan pengajian syahriah, masing-masing mesjid yang ada di kampung mengumumkannya kepada jamaah untuk dapat menghadirinya. Kelompok-kelompok pengajian tersebut terwujud karena adanya kesamaan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggota jamaahnya, dan mereka merasa bahwa dalam kelompok pengajian itulah tujuan-tujuan yang ingin dicapai akan terlaksana dengan lebih baik. Dalam kelompok keagamaan, seperti dalam pengajian, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggota jamaahnya didasari oleh keyakinan keagamaan mereka, suatu keyakinan yang berisikan penjelasanpenjelasan doktrinal dari teks-teks keagamaan yang mapan. Kelestarian agama dalam struktur kehidupan masyarakat di Desa Cikeukeuh juga disebabkan, antara lain, oleh hakikat dan tujuan dari kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagamaan selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, anggota kelompok keagamaan dalam pengajian di masing-masing kampung mensosialisasikan ajaran-ajaran agama dan mengajak anak-anak sejak dini dan kaum muda.
48
Masyarakat juga menganggap bahwa pendidikan keagamaan untuk kalangan anak-anak (anggota baru) melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua dalam lingkungan keluarga menjadi penting. Adanya anggota-anggota muda menyebabkan kelompok-kelompok keagamaan tetap lestari, begitu juga keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianut, walaupun proses regenerasi berlangsung secara alamiah – generasi sebelumnya menjadi tua, lalu mati. Dalam konteks ini, banyak warga yang memilih dan menyekolahkan anakanak mereka ke sekolah agama atau pesantren, meskipun sekarang sudah mulai berkurang bila dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu. Sekolah agama atau pesantren yang menjadi pilihan masyarakat adalah pesantren di Kananga, Menes (Banten) dan Tipar (Sukabumi). Tokoh-tokoh agama yang menjadi penyiar Islam dulu dan sekarang tidak lepas dari ketiga pesantren tersebut. Kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi juga melaksanakan berbagai kegiatan sosial dan derma bagi anggota masyarakat yang tertimba musibah atau yang sedang membutuhkan. Melalui kegiatan-kegiatan kelompok tersebut, juga ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial yang terpusat pada doktrin-doktrin agama. Melaui kegiatan-kegiatan kelompok keagamaan tersebut, dan tentu saja implementasi ritual keagamaan secara personal, maka agama dari waktu ke waktu tetap ada dalam struktur kehidupan masyarakat Cikeukeuh. Meski masyarakat percaya kepada makhluk-makhluk gaib, tetapi mereka tidak lazim pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti kuburan, untuk meminta sesuatu. Bagi masyarakat tindakan seperti itu dinamakan syirik (politeisme) dan sangat bertentang dengan ajaran agama. Sesungguhnya di desa ini terdapat sebuah tempat yang dianggap keramat dan banyak didatangi oleh masyarakat di luar desa, seperti dari Tangerang, Jakarta dan Cirebon. Tempat yang dimaksud adalah sebuah kuburan yang dinamakan dengan kuburan Mbah Bayat. Para peziarah luar desa percaya bahwa dengan datang ke kuburan Mbah Bayat dapat menyembuhkan penyakit. Tidak ada yang mengetahui secara persis siapa Mbah Bayat tersebut. Namun, masyarakat hanya dapat cerita secara turun-
49
temurun bahwa kuburan itu adalah kuburan Mbah Bayat dan memiliki sifat kewalian. Bagi masyarakat setempat, mengacu kepada ajaran Islam, ziarah ke kuburan dibolehkan dengan tujuan mendoakan (kuburan keluarga) dan mencari berkah (kuburan wali dan orang-orang soleh). Selain itu, maka tindakannya dianggap syirik. Peran ajaran Islam dan tokoh agama melalui pengajian-pengajian sangat menentukan
kenapa
masyarakat
tidak
begitu
mengkeramatkan
atau
mengkultuskan kuburan tersebut. Beberapa praktek-praktek yang dipercaya dari ajaran Hindu sudah tidak ada lagi di desa ini. Dulu kalau orang mau melaksanakan hajatan biasanya ada sesajen berupa bubur nasi, ayam panggang dan ikan panggang. Sesajen ini dihidangkan saat hajatan dengan tujuan agar hajatan yang tengah dilaksanakan lancar, selamat dan tidak turun hujan. Begitu juga dengan orang hendak membangun rumah, mereka biasanya menyiapkan ayam, kelapa dan tiwuh yang kemudian ditempatkan di atas rumah. Ini dilakukan untuk keselamatan dan rumah yang akan ditempati nanti akan aman dari gangguan-gangguan gaib. Kebanyakan petani dulu juga melakukan hal yang sama, yaitu menyediakan lima kepal padi, ayam panggang, cabe, telor, nasi yang diletakkan di pinggir atau di tengah sawah sehari sebelum panen. Bagi petani, ini adalah bentuk hadiah yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dipercaya sebagai sumber atau asal padi. Pada malam hari menjelang panen, petani biasanya membaca kitab atau buku Sulan Janna yang berisi cerita-cerita padi dari Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci dalam bahasa Jawa. Masyarakat menyebut praktek-praktek dan kepercayaan terhadap Sang Hyang Dandayang Sri Pohaci yang dilakukan petani ini sebagai kepercayaan atau agama Buhun. Tidak sedikit juga masyarakat yang membuat anyaman dari bambu berukuran 30 cm x 30 cm yang di dalamnya berisi nasi, daging, ikan kemudian ditempatkan di kebun atau di sekitar rumah (ngancak) dengan tujuan menghindari bahaya. Masyarakat yang melakukan praktek-praktek demikian adalah mereka yang beragama Islam dan sering mengikuti pengajian dimana mereka tahu kalau itu tidak boleh dalam Islam. Mereka masih terpengaruh dan terbiasa dengan praktek-
50
praktek yang sebagian kelompok masyarakat bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada penolakan keras dari ulama terhadap budaya seperti itu, meski dalam pengajian-pengajian tokoh agama kerap mengingatkan masyarakat agar menghindari praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi hilangnya budaya dan praktek-praktek warisan Hindu itu dipercaya masyarakat sebagai pengaruh atas keberadaan Islam dan himbauan dari tokoh-tokoh agama. 4.4. Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah Menurut penuturan tokoh-tokoh masyarakat Ciladong, Kampung Ciladong di jaman penjajahan Belanda dan Jepang menjadi tempat persembunyian dan perkumpulan orang-orang jawara. Pada jaman itu namanya bukan Ciladong tetapi kampung Garuda Ngupuk, diartikan sebagai kampung tempat berkumpulnya para jawara. Warga Ciladong juga terkenal dengan jawaranya sehingga ditakuti warga desa-desa sekitarnya sehingga tidak banyak yang berani masuk kampung ini, disamping karena kampung ini berlokasi jauh dari jalan utama. Ilmu jawara semakin hilang sejalan dengan warganya yang memeluk ajaran Ahmadiyah. Kampung Cisalada terdiri dari dua Rukun Tetangga (RT), yaitu RT 01 dan RT 02. Jumlah penduduknya sebanyak 438 jiwa yang terdiri dari 242 jiwa lakilaki dan 196 jiwa perempuan, serta 118 KK. Kebanyakan warga Ciladong bekerja sebagai wiraswasta dan buruh konveksi tas dimana mereka bekerja di rumah masing-masing. Sisanya berprofesi sebagai tani (60 orang), guru PNS (5 orang), dan lain-lain. Petani di kampung ini, seperti di kampung-kampung lain, identik dengan mereka yang sudah tua. Para pemuda, sebagaimana di kampung-kampung lain di Desa Cikeukeuh, tidak menunjukkan daya tariknya untuk terjun di dunia pertanian. Mereka lebih memilih meninggalkan kampung dan mencoba mengadu nasib di daerah lain seperti Jakarta dan Bandung. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di Desa Cikeukeuh menjadi penyebab kenapa ini terjadi disamping dunia pertanian tidak lagi memberikan harapan dalam memenuhi kebutuhan warga. Kebanyakan petani di kampung yang dihuni oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini berstatus petani penyewa dibandingkan petani pemilik. Petani kampung ini biasanya lebih cenderung menanam padi dan kadang-kadang
51
menanam palawija sebagai pengganti tanaman padi. Lahan yang ada di kampung ini masih milik warga Ciladong dan belum ada yang dijual kepada orang luar kampung. Meski ada orang luar (Kota Bogor) yang punya seluas 4000 m², namun masih keturunan warga Ciladong. Bahkan yang terjadi sebaliknya, lahan yang dulu milik orang luar sekarang sudah menjadi milik warga Ciladong. Sistem pernikahan masyarakat Ciladong hampir dipastikan berasal dari mereka yang beraliran Ahmadiyah, baik dari Ciladong sendiri maupun dari luar Ciladong. Aliran Ahmadiyah adalah suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi (bayangan) setelah Nabi Muhammad. Bagi Jemaat Ahmadiyah Ciladong, pernikahan sesama Ahmadiyah untuk menghindari perpecahan karena ada perbedaan-perbedaan ajaran dan praktek keagamaan. Diantara perbedaan itu adalah masalah keyakinan (ada nabi setelah Nabi Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad) dan canda4. Jika pernikahan terjadi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah, dikuatirkan akan terjadi kesalahpahaman karena non Ahmadiyah tidak terbiasa dengan keyakinan dan praktek-praktek keagamaan Ahmadiyah, seperti halnya kepercayaan kepada Mirza Ghulam Ahmad dan masalah canda. Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong (MA), pernikahan dengan non Ahmadiyah (ghoir) tidak sampai diharamkan melainkan dianjurkan menikah dengan sesama Ahmadiyah. Ini dibuktikan beberapa kasus warga Ahmadiyah Ciladong menikah dengan warga kampung lain di Desa Cikeukeuh. Meski tidak diharamkan, namun ada sanksi sosial yang akan diterima oleh mereka yang tetap menikah dengan non Ahmadiyah, seperti pernikahannya tidak akan dihadiri. Kaitannya dengan ini MA berkata: “Saya sendiri sering mengingatkan anak-anak saya, saya tidak akan menjodohkan kalian karena kalian yang akan berumah tangga tetapi carilah pasangan hidup kalian yang sesama Ahmadiyah. Kalaupun kalian menikah dengan orang lain (ghoir jamaah), maka kita hidup masing-masing saja tanpa ada ikatan kekeluargaan. Kalian tidak dilarang kerumah saya, tetapi saya anggap kalian sebagai tamu (Wawancara, 16 Mei 2012).
4
Canda berasal dari Bahasa Urdu yang berarti infak atau kontribusi religius yang dikeluarkan oleh anggota Jamaah Ahmadiyah (Ahmadi) untuk kepentingan dakwah Islam sesuai kemampuan ekonomi mereka (baik berpenghasilan tetap maupun tidak tetap).
52
Infrastruktur, terutama jalan, termasuk yang paling jelek di kampung ini. Kondisi jalan yang berbatu-batu sangat kontras dengan kondisi jalan yang ada di kampung-kampung lain yang beraspal bahkan ada yang diaspal hotmik, seperti di Kampung Cibuluh. Kondisi jalan yang jelek ini terbentang sepanjang 700 m yang membelah kampung ini. Menurut MA, jalan yang rusak sekarang belum pernah diperbaiki semenjak terakhir kali diaspal pada 1992. Perbaikan jalan di Ciladong sebelumnya pernah dijanjikan oleh Kepala Desa dan Camat Kepada Ketua Rukun Warga (RW) EH. Kepala Desa pernah menjanjikan bahwa pada Desember 2010 jalan menuju Ciladong akan dibeton. Kemudian janji kedua terlontar dari Camat di sela-sela gotong-royong bersama pihak Polsek, Koramil dan lurah. Ketika itu Camat bilang kepada EH bahwa Desembar 2011 jalan di Kampung Ciladong akan diaspal dari dana Propinsi Jawa Barat dimana dia sendiri yang datang dan mengurus ke propinsi.
Gambar 10. Kondisi jalan di Kampung Ciladong.
Kedua janji tersebut belum pernah direalisasikan oleh pemerintahan desa dan kecamatan meski sudah direncanakan di dalam Musrenbangdes tahun 2010. Sebagian besar masyarakat Ciladong malah menilai kalau program pengaspalan jalan sudah dipindahkan ke kampung lain, seperti pengaspalan dan betonisasi jalan di Kampung Cibuluh dan Kampung Cihedang padahal jalan di kedua kampung ini sebelumnya masih bagus. Kesenjangan pembangunan memang terlihat di Kampung Ciladong. Berbagai program banyak terserap di kampung-kampung lain. Di antara programprogram desa yang masuk Ciladong adalah infrastruktur jalan desa (tahun 1984
53
dan 1992), program Raskin, WC umum dan betonisasi jalan-jalan kecil atau gang (2009). Meski kecewa dengan kesenjangan pembangunan ini masyarakat Ciladong lebih memilih sabar dan tidak mempermasalahkannya.
Tabel 6 Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010 Lokasi
Jenis Kegiatan
Biaya (Rupiah)
Volume
Sumber
Irigasi
Kp. Sadang
50 juta
300 M
APBD Kab
Jalan lingkungan
Mekarsari,
63,487 juta
4 unit
ADD
5 juta
1 unit
APBD Kab
17 unit
APBN
9 kelompok
APBD Kab
1 kelompok
APBD Kab
Cihedang, Lampari, Bumi Asri, Sadang Kp. Sadang
Mesjid Betonisasi desa
jalan 17 RT (tanpa Kp. 206,5 juta Ciladong)
Perekonomian
9 RT (tanpa Kp. 34 juta Ciladong)
Kegiatan Sosial
RT 01, Kp. Bumi 6 juta Asri
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tahun 2010.
Terkesan ada diskriminasi pembangunan yang berlangsung di Desa Cikeukeuh dan warga Ciladong merasa seolah dianaktirikan, terutama pasacakonflik yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan, menurut penuturan Ketua RW 5 (Kampung Ciladong) EH, pascakonflik beberapa tahun yang lalu program Raskin sempat terhenti untuk Ciladong selama tiga bulan. Tak hanya itu, demikian EH, bantuan insentif guru ngaji dari kabupaten untuk Desa Cikeukeuh tidak pernah diterima sepersen pun oleh guru ngaji Ciladong. Kekecewaan warga Ciladong juga pernah dialamai pada tahun 1974 ketika mereka
sedang
membangun
penampungan
air
dengan
dana
swadaya.
Penampungan air ini dibangun untuk mengalirkan air ke rumah-rumah warga. Ketika itu Ketua RT 01 MA mengajukan proposal ke Pemerintahan Kabupaten berupa pipa anti karat berukuran 3 inc. Awalnya usulan itu dikabulkan, namun 30 batang pipa yang semula sudah dikirim dan ditempatkan di puskesmas kecamatan
54
oleh aparat kecamatan dialihkan ke desa tetangga dengan alasan desa tersebut lebih membutuhkan. Menurut Ketua RT 01 tersebut, pemindahan bantuan pipa dari Pemda ini tidak sesuai dengan hasil rapat sebelumnya yang berlangsung di tingkat kecamatan. Saat itu MA memberitahu kalau warga Ciladong sedang membutuhkan pipa karena sedang membangun penampungan air, di samping Kampung Ciladong belum pernah mengajukan bantuan ke pemerintah. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan pipa tersebut warga Ciladong melakukan swadaya masyarakat. MA mengaku kalau proposal bantuan ini merupakan yang pertama dan terakhir. Di luar program-program desa yang disebutkan di atas, pembangunan fisik seperti tempat ibadah, sekolah swasta, sarana umum nyaris menggunakan dana swadaya masyarakat. Pada tahun 1970-an warga Ciladong pernah mengaspal jalan sepanjang 700 m dengan dana swadaya masyarakat yang dibantu oleh sumbangan dari para perantau asal Ciladong. Begitu juga dengan pembangunan mesjid dan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) tidak pernah mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah, meski program pembangunan madrasah dan mesjid dimasukkan ke dalam Musrenbangdes. Untuk kebutuhan pembangunan sarana dan prasaran, warga Ciladong kerapkali menggunakan dana swadaya seperti yang dijelaskan di atas. Pola yang digunakan adalah pertama dengan cara mengambil bagian dari sebuah pembangunan
yang sesuai
dengan
kemampuan
ekonominya.
Misalnya,
membangun mesjid yang ditargetkan selama setahun. Seorang Ahmadi, sebutan untuk pengikut Ahmadiyah, menentukan bagian mana yang dia sanggupi. Ketika dia menentukan akan menjamin bagian tiangnya saja, maka selama setahun itu dia akan menjamin pembiayaan tiangnya. Pola kedua adalah berapa kesanggupan Ahmadi menyumbang dalam setahun target pembangunan mesjid itu tanpa harus menentukan bagian mana yang dia jamin. Dalam konteks kemandirian ini, Ketua RW Ciladong (EH) berkata: “Kami tidak begitu ambisi meminta bantuan kepada pemerintah (desa dan kabupaten) untuk keperluan pembangunan Kampung Ciladong karena kami dilatih untuk mandiri dan berkorban. Kami dilatih untuk berkorban bertujuan agar kami tidak berperilaku serakah. Kami juga tidak diajarkan meminta-minta karena Islam melarangnya”. (Wawancara, 16 Mei 2012).
55
MA memperkuat pernyataannya ini ketika beberapa program masuk Desa Cikeukeuh, baik dari pusat, propinsi dan kabupaten. Di saat kampung-kampung lain semangat mengajukan bantuan, Kampung Ciladong malah tidak mengajukan apa-apa. Bahkan pernah suatu kali ada tawaran dari Kepala Desa untuk mengajukan dana pembangunan Mesjid At-Tahrir ke Pemerintahan Desa, namun tokoh masyarakat Ciladong tidak tergiur mengajukannya. MA mengatakan bahwa warga Ciladong bukan anti bantuan pemerintah akan tetapi tidak mau kalau harus mengajukan proposal yang terkesan meminta-minta. “Kami merasa malu meminta-minta apalagi untuk pembangunan mesjid. Kita sering melihat penggalangan dana pembangunan mesjid yang dilakukan di jalan-jalan, mengajukan proposal, keliling ke sana kemari padahal banyak warga yang sanggup membantu menyumbangkan hartanya untuk kepentingan agama. Bagi kami itu adalah sikap lemah. Masa bikin rumah sendiri bisa sementara membantu membangun rumah Allah sekampung saja tidak bisa. Oleh karena itu, semboyan kami adalah lebih mendahulukan kepentingan agama daripada masalah dunia”. (Wawancara, 16 Mei 2012). Sebaliknya, warga Ciladong dari dulu sangat patuh dan mendukung program-program pemerintah dalam bidang apa pun. Kalau semasa pemerintahan Orde Baru Kampung Ciladong seratus persen memilih partai Golkar dengan alasan bahwa partai Golkar adalah partai pemerintah. Dengan memilih partai pemerintah berarti menunjukkan kepatuhan kepada pemerintah. Ketika program Keluarga Berencana (KB) pertama kali diperkenalkan di desa ini, pada saat yang sama kampung-kampung lain menolak dan mengharamkannya dengan alasan membatasi kelahiran, Kampung Ciladong adalah yang pertama menerimanya hingga Sembilan puluh persen peserta KB. Bagi warga Ciladong program KB bukan membatasi kelahiran melainkan mengatur kelahiran. Sikap patuh kepada pemerintahan yang sah berasal pendiri Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Menurutnya, Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada harus patuh kepada pemerintahan yang sah dan tidak boleh menentang pemerintah kecuali dengan demonstrasi damai. Itulah sebabnya kenapa dulu Jemaat Ahmadiyah memilih Golkar dan patuh pada program-program pemerintah. Dipilihnya Golkar sebagai tempat aspirasi warga Ciladong semasa Orde Baru juga merupakan instruksi langsung dari pusat (PB JAI) dan permintaan aparat desa ketika dalam rapat-rapat persiapan pemilu.
56
Namun demikian, situasi aspirasi politik Jemaat Ahmadiyah Kampung Ciladong beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah penyerangan Kampus Jemaat Ahmadiyah Parung pada 2005, mulai bergeser dari satu pilihan partai menjadi multi pilihan partai. Pada pemilu nasional tahun 2009, masyarakat Ciladong sudah terbuka dengan pilihan partai lain, seperti PKS, PDI-P, Demokrat dan lain-lain. Menurut MA, perubahan pilihan dari satu partai ke multi partai disebabkan oleh sistem pemerintahan yang sudah berubah dari pemerintahan yang sentralistik ke pemerintahan demokrasi yang menerapkan sistem otonomi daerah. Pada era otonomi daerah ini terdapat perbedaan partai yang berkuasa antara pusat dan daerah. Dalam konteks ini, sulit bagi warga Ciladong menentukan partai mana yang berkuasa. Oleh karena itu, sesuai dengan kebebasan yang diberikan oleh PB JAI, warga Ciladong bebas memilih partai dan sosok mana yang lebih disukai. Alasan ini kontradiksi dengan pernyataan tokoh Ahmadiyah lainnya (EH) yang mengatakan bahwa: “Untuk apa kita menyukai seseorang atau partai tertentu tetapi dia atau partai itu tidak menyukai kita. Kalau dulu Golkar dipilih seratus persen karena ada instruksi untuk memilih Golkar. Oleh karena Golkar tidak ada tanda-tanda melindungi kita (JAI), maka kita (PB JAI) tidak menginstruksikan warga untuk memilih Golkar sehingga diberi kebebasan memilih partai-partai lain. Pokok masalahnya adalah Jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat sering dikecewakan oleh banyak kalangan (termasuk Golkar). Ketika kami mengalami penganiayaan, Golkar tidak pernah membantu kami, malah partai yang bukan kami pilih (PDI-P) yang memperhatikan dan memanggil kami ke DPR”. (Wawancara, 16 Mei 2010). Warga Kampung Ciladong seluruhnya memeluk ajaran Ahmadiyah (Qadian), suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) asal Qadian, Punjab, India. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keyakinan pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi karena mereka mempercayai kenabian itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza
57
Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang reformis agama (mujaddid) karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi. Secara umum, praktek-praktek keagamaan yang dijalankan warga Ciladong tidak ada yang berbeda dengan warga lain. Mereka mengucapkan syahadat yang sama, melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, puasa, membayar zakat dan naik haji. Hanya saja ada beberapa keyakinan yang bersifat teologis dan praktek-praktek religius yang membedakan mereka dengan warga lain dan mayoritas umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah5 (Aswaja), seperti masalah al-Mahdi, al-Masih, kenabian dan kewajiban berjihad, canda, wirid setelah shalat fardu, dan lain-lain. Meski mengaku Islam, namun dalam praktek-praktek religius Jemaat Ahmadiyah terlihat dan terkesan eksklusif serta tidak berbaur dengan warga di luar Ciladong. Sikap eksklusif yang terlihat dari Jemaat Ahmadiyah didukung oleh keberadaan mereka yang semuanya mendiami Kampung Ciladong (enclave). Menurut pengakuan warga, dari dulu Jemaat Ahmadiyah tidak pernah bergabung dalam shalat dengan warga lain. Ketika ada kegiatan desa yang melibatkan warga dan Jemaat Ahmadiyah, mereka (Jemaat Ahmadiyah) memilih pulang ke Ciladong untuk melaksanakan shalat. Sebaliknya, dalam kegiatan dan interaksi sosial Jemaat Ahmadiyah sangat terbuka dan dikenal santun kepada warga lain. Sikap eksklusif beragama mereka dikuatkan lagi oleh MA: “Jemaat Ahmadiyah tidak mau shalat dengan imam yang bukan dari kalangan Ahmadiyah karena belum percaya dengan Imam Mahdi (Mirza Ghulam Ahmad). Sebaliknya, tidak jadi masalah kalau Jemaat Ahmadiyah yang jadi imam dan jamaahnya dari non Ahmadiyah karena tidak pantas berimam kepada orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi, dan kita tidak nyaman mengikuti orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi”. (Wawancara, 20 April 2010). Jemaat Ahmadiyah memiliki sebuah mesjid (At-Tahrir) berukuran 9 x 20 m untuk melaksanakan shalat dan kegiatan keagamaan lainnya. Setiap malam jumat dan malam sabtu mesjid ini digunakan sebagai tempat pengajian bapak-bapak dan pengajian ibu-ibu secara terpisah. Di samping mesjid, di Ciladong, sebagaimana
5
Kelompok yang berpegang pada Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah (kelompok rasionalis) yang bersifat minoritas dan tidak begitu berpegang pada Sunnah Nabi.
58
Cabang Ahmadiyah di tempat lain, terdapat rumah Misi yang hanya ditempati oleh mubalig atau ustadz. Di tempat ini juga anggota Jemaat Ahmadiyah dapat mendengarkan khutbah-khutbah jumat Khalifah melalui Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang disiarkan langsung dari London, Inggris. Khutbahkhutbah Khalifah sangat berarti bagi anggota Jemaat Ahmadiyah dalam rangka transformasi pengetahuan keahmadiyahan sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri dan kekuatan di tengah tantangan yang mereka hadapi dalam menyiarkan dakwah Islam. Sejarah mengapa warga kampung Ciladong menganut paham Ahmadiyah berawal dari seorang guru tarekat (Naqsabandiyah-Qodariyah) bernama KH. ABN. Tokoh agama ini berasal dari Labuan (Banten) yang menikah dengan warga Ciladong tetapi tidak memiliki keturunan. Suatu ketika, tepatnya pada tahun 1932, KH. ABN pernah bercerita kepada murid-muridnya bahwa suatu saat nanti kalian akan mengalami turunnya Imam Mahdi. Kalau ada orang yang membawa ajaran dan menerangkan bahwa Imam Mahdi sudah datang sambil menjelaskan berdasarkan al-Quran dan Hadis, maka kalian hendaknya menerima ajaran tersebut tanpa melihat warna kulit dan bangsanya, meskipun dia seorang pemain ular (orang India). Murid-murid KH. ABN bukan hanya dari kampung Ciladong saja, melainkan berasal dari beberapa desa di sekitar Desa Cikeukeuh. Salah satu muridnya yang berasal dari Kota Bogor adalah Jakaria, pegawai Kehutanan yang berkantor di Jakarta, yang nantinya menduduki posisi Sekretaris Ahmadiyah Cabang Bogor. Jakaria mempunyai teman bernama R. Hidayat, kelak menjadi Ketua Ahmadiyah Cabang Bogor, yang kebetulan sudah terlebih dahulu menerima ajaran Ahmadiyah. Suatu ketika kedua orang ini bertemu dan R. Hidayat bercerita banyak tentang ajaran Ahmadiyah kepada Jakaria. Sementara itu, Jakaria juga pernah mendengar langsung ajaran Ahmadiyah melalui Rahmat Ali HOT, tokoh pertama yang mengembangkan ajaran Ahmadiyah ke Indonesia, ketika Rahmat Ali HOT datang ke Kota Bogor. Sejak
saat itu, Jakaria datang dan bercerita kepada warga Ciladong,
terutama sesama murid KH. ABN, tentang kedatangan Imam Mahdi. Dia pun mengingatkan cerita dan pesan KH. ABN tentang kedatangan Imam Mahdi
59
dimana KH. ABN pada saat itu sudah meninggal dunia. Akhirnya, dengan penuh penasaran, warga Ciladong berangkat ke Jakarta, tepatnya Gang Kalekam, Pegangsaan Timur – sekarang di Jl. Balikpapan 1, Petojo Jakarta Pusat – kelak menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Di Jakarta warga Ciladong mendengarkan langsung ajaran-ajaran Ahmadiyah dari Rahmat Ali. Pada saat itu juga terjadi perdebatan antara Rahmat Ali dengan para ulama yang menentang ajaran Ahmadiyah. Pasca peristiwa inilah, secara bertahap, warga Ciladong mulai meyakini dan menyatakan diri masuk Ahmadiyah setelah MR menjadi orang Ciladong pertama yang masuk Ahmadiyah. Sukses mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Jakarta, dulu Batavia, pada tahun 1932 Rahmat Ali mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Kota Bogor (Zulkarnain, 2006). Di kota ini tinggal seseorang bernama Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, President Landraad Bogor dan ketua sebuah organisasi kaum intelektual muda bernama Jong Islamieten Bond Cabang Bogor. Dia mempunyai famili bernama H. Marah Wahab, seorang Ahmadi asal Padang, yang kemudian datang ke Bogor. Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung meminta Rahmat Ali datang ke Bogor, melalui H. Marah Wahab, untuk berbicara masalah agama Islam dalam organisasi yang dia pimpin. Rahmat Ali menanggapi positif permintaan Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung dan memanfaatkan momen tersebut untuk memperkenalkan Ahmadiyah di kalangan intelektual muda Bogor. Berkat kegigihan dan kesabaran Rahmat Ali (Zulkarnain, 2006), akhirnya beberapa orang diantara mereka masuk Ahmadiyah, diantaranya adalah Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, R. Hidayat, R. Sudita, Sulaeman, S.A.S. Pontih, Usman Natawijaya, Jakaria dan R. Guniwa Partakusumah. Tidak lama kemudian, pada November 1932 terbentuklah cabang Ahmadiyah kedua di Jawa, setelah cabang Ahmadiyah Betawi, yaitu cabang Ahmadiyah Bogor yang diketuai oleh R. Hidayat, Jakaria (Sekretaris), N. Nadjid (Bendahara) dan beranggotakan lebih kurang sepuluh orang. Sebagaimana di daerah-daerah lain, awal kemunculan Ahmadiyah di Ciladong mendapat tantangan dari para ulama dan ustadz. Penolakan di kalangan tokoh agama ini lebih disebabkan pada persoalan teologis. Mereka tidak bisa menerima aliran Ahmadiyah karena bertentangan dengan praktek keagamaan dan
60
teologi yang berkembang di Desa Cikeukeuh, yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah dan mazhab Syafi`iyah. Meski menentangnya, namun kehidupan keberagamaan saling toleransi dan menghormati. Hal ini dapat dibuktikan dengan hubungan dalam praktek-praktek keagamaan, seperti pengajian bersama, yang sudah berlangsung lama di antara kedua masyarakat tersebut. Para tokoh agama tidak sampai bereaksi berlebihan dalam menghadapi ajaran yang mereka anggap baru dan bertentangan dengan ajaran mayoritas umat Islam (mainstream). Bahkan toleransi yang berkembang pada saat itu tidak jarang tokoh agama dan tokoh Ahmadiyah Ciladong berdiskusi tentang konsep-konsep teologis yang selama ini menjadi permasalahan. Di samping sistem pemerintahan yang otoritarianisme, tidak munculnya konflik terbuka juga banyak dipengaruhi oleh isu masalah Ahmadiyah yang tidak dibesar-besarkan, baik oleh elit agama maupun media yang memberitakannya. Organisasi Ahmadiyah Cabang Ciladong dipimpin oleh Ketua Cabang, yaitu MA. Dia terpilih dan menjabat Ketua Cabang sejak dua tahun yang lalu, dengan masa jabatan selama tiga tahun. Masa kepemimpinan ketua hanya diperbolehkan selama dua kali masa jabatan, tetapi bisa dipilih kembali jika sudah melewati satu kali masa jabatan. Berbeda halnya dengan masa jabatan Ketua Cabang, ketua badan yang berada di bawah organisasi cabang, seperti Ketua Ansarullah, Lajna Maillah, dan Khudamu Ahmadiyah hanya menjabat selama dua tahun. Susunan pengurus, sebagaimana dalam AD/ART JAI, sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris Khusus, Sekretaris Mal, dan selanjutnya boleh menambah sekretaris-sekretaris lain sesuai kebutuhan. Dengan demikian, cabang Ahmadiyah antara yang satu dengan cabang yang lain bisa saja berbeda jumlah sekretaris-sekretarisnya karena perbedaan kebutuhan. Susunan kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013 dapat dilihat pada Gambar 11:
61
Ketua MA
Sekretaris RMA
Sekretaris Pendidikan MA Sekretaris Pengajaran Qur`an NA Sekretaris Mal AY Sekretaris Hub. Luar JH
Badan-badan
Bendahara AZ
Sekretaris Urusan Umum JMH Sekretaris Perlengkapan AS Sekretaris Pertanian HSD
Abna (0-6 tahun) Athfal/Banat (7-14 tahun) Khudam/Nashirat (15-40 tahun) Ansharullah/Lajnah (40+ tahun)
Sekretaris Industri & Perdagangan HSD
Gambar 11 Struktur organisasi Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013. Ketua JAI Cabang Ciladong (MA) menjelaskan bahwa pemilihan dirinya sebagai Ketua Cabang berawal dari masalah pemberian sanksi dari Amir6 kepada ketua sebelumnya karena ikut menandatangai penghentian pembangunan mesjid pada saat sebelum terjadinya konflik dua tahun yang lalu. Menurut Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, silahkan mesjidnya dibongkar asal Ketua Cabang Ahmadiyah Ciladong tidak ikut menandatangani penghentian pembangunan mesjid tersebut karena terkesan melegalkan penghentian pembangunan. Pemilihan ketua dilakukan secara aklamasi setelah menetapkan bakal calon ketua. Uniknya, tidak satu pun calon yang mengajukan dirinya sebagai calon ketua melainkan atas dasar pilihan atau usulan dari anggota yang berhak memilih. Anggota yang berhak memilih tidak akan memilih mereka yang mencalonkan diri sebagai ketua karena bagi mereka orang seperti itu jelas ambisius dan tidak baik menurut agama.
6
Amir (Nasional) adalah pimpinan tertinggi Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berkantor di Parung. Kedudukan Amir berada di sebuah negara dimana Jemaat Ahmadiyah berada sekaligus sebagai wakil dari pimpinan tertinggi (Khalifah) yang berkedudukan di London, Inggris. Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia sekarang dijabat oleh Abdul Basit.
62
Ketua yang terpilih harus menjadi contoh bagi anggota Jemaat Ahmadiyah terutama dalam masalah pengorbanannya pada agama. Prinsip yang diyakini oleh anggota Jemaat Ahmadiyah adalah anggota tidak boleh mencari-cari jabatan, akan tetapi kalau ditunjuk menduduki posisi tertentu jangan ditolak karena hal itu adalah amanah. Anggota yang berhak hadir untuk memilih dan dipilih adalah mereka yang membayar canda dawam, yaitu mereka yang membayar infak minimal enam bulan dalam setahun. Canda merupakan iuran yang bersifat “wajib” di kalangan Jemaat Ahmadiyah yang dikeluarkan sesuai dengan bentuk penghasilannya; harian, mingguan, bulanan bagi mereka yang sudah berpenghasilan. Bagi mereka yang belum berpenghasilan juga tidak dilarang membayar canda, bahkan anak-anak pun seringkali diperkenalkan dengan canda dan membayarnya melalui tabungan yang dikumpulkan dengan jumlah yang dikehendakinya. Canda dikumpulkan melalui Sekretaris Mal yang ada di Ciladong lalu pada akhir bulan disetorkan pada Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) yang berada di Parung bersamaan dengan laporan pertanggung jawaban cabang. Dari dana yang sudah dikumpulkan ke PB JAI, Jemaat Ahmadiyah Cabang Cisalada mendapatkan dan operasional sebesar Rp 1,5 juta per bulan, dimana sebelumnya dana operasional itu sebesar dua puluh lima persen dari dana canda yang terkumpul, sisanya disetor ke PB JAI. Semua dana canda terkumpul di PB JAI yang berfungsi untuk keperluan dakwah dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada. Jika Jemaat Ahmadiyah di belahan dunia membutuhkan dana atau terdapat bencana alam di negara-negara lain, kantor pusat London dapat menginstruksikan kepada PB JAI untuk mengirimkan dana canda tersebut ke London. Kemudian pihak Londonlah yang berhak langsung mendistribusikan keperluan dana tersebut. Dalam organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia ada istilah pembayar canda tingkat tinggi, yaitu mereka harus membayar secara terus menerus setiap bulan selama setahun. Kalau bulan sebelumnya belum dibayar, maka bulan berikutnya dibayar dua kali lipat menutupi bulan sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa canda dibayar sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi dalam Jemaat Ahmadiyah juga ditentukan besaran canda yang dibayar, seperti 1/16 dari setiap
63
penghasilan (canda `am atau pemula), sepersepuluh, seperlima dan paling besar sepertiga (tiga terakhir dinamakan canda wasiat). Di samping kegiatan dakwah, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga melakukan kegiatan sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kegiatan sosial yang hanya diperuntukkan bagi kalangan Ahmadiyah misalnya membantu anak-anak yatim, panti jompo, orang sakit, pengobatan, pendidikan. Kegiatan sosial yang diperuntukkan bagi orang non Ahmadiyah (ghoir) adalah membantu korban bencana alam (yang menginduk kepada lembaga Humanity First) seperti terlibat dalam bencana gempa dan tsunami di Aceh, Padang, Yogyakarta dan lain-lain. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga aktif dalam pengobatan gratis, khitanan massal, donor darah dan bahkan sampai pada donor mata. Pengobatan gratis yang ditawarkan kepada warga di Desa Cikeukeuh kerapkali ditanggapi masyarakat secara negatif, kuatir dibujuk untuk masuk ke Ahmadiyah. Bagi Ahmadiyah, yang terpenting adalah bagaimana bisa membantu sesama manusia seperti yang diajarkan dalam agama, apakah setelah kegiatan sosial itu orang lain masuk Ahmadiyah silahkan saja karena tidak ada paksaan untuk masuk ke Ahmadiyah. Kegiatan sosial yang diperuntukkan kepada non Ahmadiyah pasca konflik sudah tidak pernah lagi diselenggarakan karena kuatir akan memicu konflik lagi, kecuali ke desa-desa di luar Cikeukeuh. Respon masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah sangatlah beragam bergantung pada lapisan masyarakat, bidang kehidupan dan masa dimana kedua kelompok agama ini hidup. Secara teologis para tokoh agama di Desa Cikeukeuh menentang ajaran Ahmadiyah dan menganggap sesat serta keluar dari Islam. Sejak keberadaan Jemaat Ahmadiyah pada 1930-an respon tokoh agama dari dulu hingga sekarang tidak berubah bahkan cenderung semakin reaktif. Masa kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru perbedaan keyakinan cenderung diwadahi melalui diskusi atau debat antartokoh agama masing-masing kelompok atau paling tidak saling menahan diri dan bisa memperlihatkan sikap toleransi. Kondisi pemerintahan otoritarianisme Orde Baru dianggap masyarakat sebagai pereda kenapa tindakan kekerasan dan konflik antara warga Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tidak muncul.
64
Pascareformasi tradisi yang positif tersebut (diskusi keagamaan dan sikap toleransi) mulai memudar, jika tidak dikatakan hilang sama sekali. Era reformasi yang dianggap masyarakat era kebebasan memungkinkan orang untuk menyatakan pendapat, tidak peduli dengan cara melanggar aturan, dan mengakses informasi yang begitu derasnya sehingga masyarakat gampang tersulut ke dalam tindakan anarkis. Televisi dan komunikasi telepon genggam sangat berpengaruh membentuk masyarakat dalam bertindak anarkis. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, kalangan tokoh agama ini cukup toleran kepada Jemaat Ahmadiyah. Mereka tidak canggung berinteraksi dan menjalin hubungan sosial dengan pengikut Ahmadiyah. Bagi mereka, pengikut Ahmadiyah juga warga desa yang diperlakukan sama seperti warga lain. Dalam benak mereka tidak terlintas atribut-atribut Ahmadiyah ketika berbaur dan bersatu dalam melakukan kegiatan-kegiatan desa, sepanjang warga Ahmadiyah tidak menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah secara gamblang. Sementara itu, kebanyakan masyarakat menanggapinya biasa-biasa saja karena tidak tahu secara mendalam ajaran-ajaran Ahmadiyah. Kalaupun mereka tahu, itu pun hasil transformasi pengetahuan secara instan dan tidak mendalam melalui pengajian-pengajian di mesjid dan mushala. Sama seperti para tokoh agama, kehidupan dan interaksi sosial masyarakat biasa dengan Jamaah Ahmadiyah terjalin dengan baik. Meski dalam kehidupan sosial tokoh agama menjalin hubungan yang toleran dengan kalangan Ahmadiyah, akan tetapi kalangan tokoh agama dan sebagian masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong sangat sensitif jika sudah berbicara dan bersinggungan dengan masalah akidah (teologi). Tokoh agama sangat sensitif dan reaktif menanggapi Jemaat Ahmadiyah ketika mereka melakukan praktek-praktek keagamaan, menyebarkan dan secara gamblang menunjukkan identitas keahmadiyahannya kepada masyarakat. Karena keterbatasan pengetahuan agama, masyarakat biasa menanggapinya dengan tanpa reaksioner dan tidak berlebihan, bahkan sangat toleran. Sikap reaksioner yang berlebihan hanya ditunjukkan oleh sebagian kalangan tokoh agama yang secara geografis lebih dekat dengan Kampung Ciladong. Mereka ini
65
berada di Kampung Mekarsari, kampung yang berbatasan langsung dengan Ciladong, dan Kampung Sukasari. Respon reaktif atas ketidaksetujuan mereka atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah lebih ditentukan oleh empat faktor. Pertama peran tokoh agama dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Jemaat Ahmadiyah kepada masyarakat. Kedua, sebagai konsekuensi yang pertama, seberapa besar akses masyarakat biasa dalam berinteraksi dengan tokoh agama baik secara formal (pengajian-pengajian) maupun secara informal (di luar pengajian). Ketiga, Fatwa MUI dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Muspida Kabupaten. Keempat televisi yang menyiarkan dialog atau peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di beberapa daerah di tanah air. Aparat
pemerintahan
desa
lebih
cenderung
menanggapi
secara
kemasyarakatan, dan tidak terlibat dalam persoalan keagamaan. Alasan ini didasari oleh kedangkalan mereka dalam masalah agama dan lebih cenderung menyerahkannya kepada ahlinya, yaitu tokoh agama. Aparat desa lebih fokus pada bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan terciptanya keamanan desa. Bagi aparat desa, semua warga sama termasuk warga Ahmadiyah.
Sehingga,
dalam
konteks
keberadaan
Jemaat
Ahmadiyah,
pemerintahan desa lebih memilih pendekatan keamanan dan ketertiban sosial (social order). Dalam konteks kecamatan dan kabupaten pada umumnya, keberadaan Jemaat Ahmadiyah Ciladong sebetulnya kurang menjadi perhatian masyarakat, terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Perhatian masyarakat hanya terjadi pada lapisan tokoh agama atau mereka memiliki pengetahuan yang lumayan tentang Islam dengan intensitas yang tidak tinggi. Mereka menolak keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang dikuatirkan dapat mempengaruhi masyarakat atau dapat mengancam kepercayaan yang selama ini mereka pegang. Sebaliknya, bagi masyarakat umum, keberadaan Jemaat Ahmadiyah tidak mewujud dalam penolakan karena, disamping tidak mengerti apa itu Ahmadiyah, masyarakat sendiri banyak yang tidak tahu kalau Jemaat Ahmadiyah ada di Kampung Ciladong. Kurangnya resistensi masyarakat umum atas keberadaan Ahmadiyah juga sangat didukung oleh bagaimana elit agama bersikap karena
66
sangat berpengaruh kepada masyarakat ketika sikap itu disampaikan dalam pengajian-pengajian. Pengaruh yang tidak kalah pentingnya adalah peran media massa dalam memberitakan tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tidak banyak yang menyinggung masalah Ahmadiyah dalam pengajianpengajian meski kalangan agama menolak teologi yang diyakini Ahmadiyah. Pengajian-pengajian ketika menyinggung masalah akidah hanya dalam bentuk penyadaran akidah agar umat Islam tidak salah menerima aliran-aliran yang banyak menyimpang. Tidak ada upaya ketika itu untuk membentuk sikap berupa permusuhan kepada Jemaat Ahmadiyah. Membicarakan masalah Ahmadiyah bukanlah menjadi topik utama atau isu hangat di kalangan tokoh agama ketika itu. Sehingga dapat menjadi bukti kenapa masyarakat umum banyak yang tidak tahu apa itu Ahmadiyah sekaligus tidak sampai membentuk sikap-sikap terhadap Ahmadiyah. Hal ini dapat dijelaskan dari beberapa faktor. Pertama, tokoh agama ketika itu tidak agresif dalam membicarakan masalah Ahmadiyah dalam pengajianpengajian sehingga membentuk pemahaman dan sikap baru terhadap Ahmadiyah. Kedua, tidak ada isu yang menyulut kebencian terhadap Ahmadiyah seperti peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi di daerah lain. Ketiga, keberadaan media massa, terutama televisi, yang menyiarkan dan membahas masalah Ahmadiyah atau kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah. Keempat, Jemaat Ahmadiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat lain tidak memperlihatkan ajaran-ajaran dan kegiatan-kegiatan organisasi Ahmadiyah sehingga masyarakat ketika itu sulit mengetahui apakah dia Ahmadiyah atau tidak, bahkan masyarakat hanya tahu Ahmadiyah itu hanya organisasi keagamaan saja. Keempat faktor inilah yang membedakan respon masyarakat saat ini di Desa Cikeukeuh dibandingkan dengan respon masyarakat sebelum era reformasi.