BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGELOLAAN LAZIS MUHAJIRIN NGALIYAN SEMARANG A. Pengumpulan dan Pendayagunaan Zakat Selain Bazis sebagai badan yang berfungsi mengelola ZIS, Lazis juga merupakan suatu lembaga yang secara khusus mengelola dana ZIS yang masuk dari para muzakki, munfiq dan mushadiq. Menurut Saechul Hadi P. dalam bukunya Pemerintah Republik Indonesia sebagai pengelola zakat, pembentukan badan atau lembaga amil zakat pada khakekatnya merupakan pelaksanaan dari perintah Al-Qur'an surat at-Taubah ayat 103.1 Ayat tersebut memerintahkan kepada Rasulullah untuk memungut zakat dan membagikannya kepada yang berhak. Walaupun kata 'khudz' (pungutlah) dalam ayat tersebut sebagai fi'il amar (kata kerja perintah) yang mengandung fail (orang yang bekerja) tersimpan yakni Muhammad, namun sebenarnya intinya adalah perintah untuk semua pemimpin umat Islam, yaitu wajib untuk memungut zakat dan membagikan kepada mereka yang berhak untuk menerima. Beberapa ulama memahami ayat ini sebagai perintah wajib kepada
penguasa
untuk
memungut
zakat,
tetapi
mayoritas
ulama
memahaminya sebagai perintah sunnah.2 Sementara dalam surat at-Taubah ayat 60, dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang bertugas 1
Sjeful Hadi P, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka Firadus, cet. Pertama, 1993, hlm. 11. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Cet II, 2004, hlm. 707.
67
68
mengurusi zakat ('amilina 'alaiha).3 Hal ini menunjukkan bahwa zakat bukanlah merupakan tugas kewajiban individu, melainkan sebagai tugas negara atau pemimpin umat Islam untuk mengurusnya. Dengan demikian, ayat tersebut intinya adalah memerintahkan kepada pemerintah atau para pemimpin umat Islam untuk memungut dan mengelola dana ZIS sesuai dengan perintah syara' baik oleh badan atau lembaga amil zakat lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Masjfuk Zuhdi bahwa pengelolaan zakat memang seharusnya ditangani oleh pemerintah, karena pemerintahlah yang berwenang untuk memaksa kepada para wajib zakat yang enggan menunaikan kewajibannya.4 Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat muncul sejak pemerintahan presiden B.J Habibie. Dalam pasal 6 ayat 1 Undangundang tersebut, oleh pemerintah sesuai dengan tingkatannya masing-masing, dari tingkat pusat sampai kecamatan yang dalam pembentukannya harus berdasarkan usulan Depag pada masing-masing tingkatan atau juga atas prakarsa dari masyarakat.5 Keberadaan Lazis Muhajirin di tengah-tengah masyarakat RW V sudah tidak diragukan lagi, karena semua warga begitu antusias dalam mendukung pelaksanaannya. Hal itu bisa dilihat dari tertibnya mereka dalam mengeluarkan ZIS setiap bulannya tanpa dipaksa oleh pengurus Lazis. Usaha
3
Didin Hafifuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, 2002, hlm. 125. 4 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: Toko Gunung Agung, Cet. Ke-10, 1997, hlm. 230. 5 Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat, Departemen Agama RI, 2003, hlm. 4.
69
yang dijalankan pengurus Lazis dalam menyadarkan masyarakat memang tidak sia-sia, karena dengan kesabaran dan keuletan para amil dalam mensosialisasikan ZIS, maka Lazis dapat mengumpulkan dana sosial yang cukup besar sehingga bisa mencapai tujuannya yaitu membantu kepada mereka yang membutuhkan. Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri dari orang-orang yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur dan amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, bisa saja ZIS tidak akan sampai kepada mustahiq.6 Menghadapi kenyataan ketidaksuksesan pengumpulan zakat menurut A. Qodry Azizy dalam bukunya membangun fondasi ekonomi umat, ada kemungkinan bahwa selama ini kurang menggunakan pendekatan atau metode yang tepat. Metode ini meliputi kurangnya penggunaan manajemen kampanye atau sosialisasi zakat dan juga manajemen pengumpulan zakat. Menurutnya, manajemen disini dipakai sebagai alat atau seni.7 Dengan melihat adanya perubahan sistem pengumpulan ZIS di Lazis Muhajirin, yakni dari door to door atau jemput bola ke sistem estafet menunjukkan bahwa para amil telah memenuhi beberapa kriteria di atas, yakni terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, dan penuh dedikasi. Karena dengan penggunaan sistem door to door yang tidak berhasil telah mendapatkan perhatian yang sangat serius sehingga mampu mencari solusi yang tepat yaitu dengan menggunakan sistem estafet, dan 6
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, tth, hlm. 152. Baca A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I. 2004, hlm. 134. 7
70
hasilnya pun bisa dikatakan lebih baik dari sistem sebelumnya. Mungkin sistem inilah yang menurut A. Qodry Azizy disebut sebagai manajemen (seni) pengumpulan zakat. Sudah menjadi fitrah manusia, apabila melakukan suatu aktivitas maka harapannya adalah ingin dipuji dan disanjung oleh orang lain. Apalagi jika menolong orang lain dan orang tersebut mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, maka akhirnya timbullah sifat riya', yaitu pamer, berbangga diri dan ingin dipuji orang lain, sehingga dalam melakukan amal yang seharusnya dilandasi dengan rasa ikhlas akhirnya sirna dan dia melakukan amal hanya untuk mencari popularitas saja,8 padahal agama Islam sangat melarang terhadap sifat riya'. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 264:
ﺱ ِ ﺎ ِﺭﺋﹶﺎﺀ ﺍﻟﻨﺎﹶﻟﻪ ﻣﻨ ِﻔﻖﺍﻷﺫﹶﻯ ﻛﹶﺎﱠﻟﺬِﻱ ﻳﻦ ﻭ ﻤ ﺪﻗﹶﺎِﺗﻜﹸﻢ ﺑِﺎﹾﻟ ﺻ ﺒ ِﻄﻠﹸﻮﹾﺍﺗ ﻮﹾﺍ ﹶﻻﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﺮ ﹶﻛﻪ ﺘﺍِﺑ ﹲﻞ ﹶﻓ ﻭﺑﻪﺎﺏ ﹶﻓﹶﺄﺻ ﺍﺗﺮ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺍ ٍﻥﺻ ﹾﻔﻮ ﻤﹶﺜ ِﻞ ﹶﻛﻤﹶﺜﻠﹸﻪ ﻮ ِﻡ ﺍﻵ ِﺧ ِﺮ ﹶﻓ ﻴﺍﹾﻟ ﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪ ﻭﺆ ِﻣﻦ ـﻭ ﹶﻻ ﻳ ﻦ ﻡ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ ﻮ ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ﺍﻟﻠﹼﻮﹾﺍ ﻭﺴﺒ ﺎ ﹶﻛﻣﻤ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻋﻠﹶﻰ ﻭ ﹶﻥﻳ ﹾﻘ ِﺪﺭ ﺻﻠﹾﺪﹰﺍ ﱠﻻ "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu hapuskan pahala sedekahmu dengan membangga dan mencerca. Keadaanmu serupa dengan orang yang menafkahkan hartanya karena ria (ingin dilihat orang) dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya bagai batu licin yang ada tanah di atasnya, kemudian ditimpa hujan lebat, lalu batu itu menjadi bersih kembali. Mereka tidak memperoleh apa-apa dari usaha mereka dan Allah tidak memberikan pimpinan kepada kaum yang tidak beriman."9 (Al Baqarah (2) : 264).
8
Djamal Do'a, Pengelolaan Zakat Oleh Negara untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Korpus, cet. I, 2004, hlm. 66. 9 H. Fachruddin Hs, Ensiklopedia Al Qur'an, Jakarta: PT. Melton Putra, Cet I, Jilid II : MZ, 1992, hlm. 330.
71
Sifat riya' inilah yang ditakutkan muncul pada diri muzakki menurut tokoh masyarakat dari Rt 02 dan 11 yang ada di RW V kelurahan Ngaliyan tersebut. Sehingga mereka tidak mau menunaikan ZIS nya dengan cara mengisi buku daftar penerimaan ZIS seperti yang telah berjalan pada RT-RT lainnya, dan akhirnya pengumpulan ZIS di kedua RT tersebut menjadi macet. Namun demikian, sesekali mereka juga menyetorkan hasil ZIS nya secara global karena ternyata mereka mengumpulkan zakat sendiri dengan menggunakan kotak amal yang ditaruh di mushola. Penulis sendiri lebih setuju dengan pendapat Bapak Darno, kepala Lazis Muhajirin, yaitu bahwa sebenarnya menggunakan buku penerimaan ZIS yang dijalankan secara estafet itu lebih baik karena didalamnya selain mengandung unsur dakwah juga melatih muzakki untuk saling percaya, bertanggung jawab dan menumbuhkan kerukunan antara warga. Dari situ pula kita (pengurus khususnya) akan mengetahui tingkat prosentase perolehan antara zakat, infaq dan shadaqah karena mereka akan mengelompokkan pengumpulan dananya pada masing-masing kolom yang telah tersedia. Munculnya sifat riya sendiri sebenarnya tergantung pada masingmasing individu, namun dengan adanya penyuluhan yang disampaikan melalui khotbah jum'at atau pengajian-pengajian di tingkat RT, Insya Allah akan benar-benar menumbuhkan kesadaran mereka sehingga dalam beramal benarbenar dilandasi dengan rasa ikhlas. Menurut penulis dengan menggunakan kotak amal sebagai sarana pengumpul zakat, maka perolehannya akan minim sekali, hal ini disebabkan karena mereka hanya mengeluarkan infaq dan shadaqah saja, sedang zakatnya
72
tidak. Selain itu seorang munfiq atau mushadiq yang semula berniat mau mengisi kotak amal dari rumah, ternyata setelah sampai di mushola ia lupa; hal itulah yang menyebabkan perolehan infaq dan shadaqah jadi minim sekali. Hasil pengumpulan atau penerimaan ZIS dalam setiap bulannya bisa naik turun, hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh: 1. Pendapatan dan kebutuhan mereka yang tidak tetap dalam tiap bulannya. 2. Terlalu banyaknya iuran-iuran yang ditariki kepada warga. 3. Keluarnya donatur tetap karena berpindah rumah. Jenis-jenis harta yang dizakati di RW V kesemuanya didasarkan pada apa yang telah digariskan dalam Al-Qur'an maupun hadis. Namun sampai saat ini, karena memang berada di lingkungan perumahan yang kebanyakan bekerja sebagai PNS, sehingga hanya dua jenis harta yang dizakati, yaitu dari sektor profesi dan perdagangan (usaha bisnis). Kadar untuk zakat profesi di Lazis Muhajirin adalah 2,5 % karena didasarkan pada zakat emas yang batas nishabnya + 94 - 96 gram. Adapun cara menghitungnya yaitu 2,5 % dikalikan besarnya gaji pokok yang diterima sebelum dikurangi dengan potongan-potongan yang ada (gaji kotor). Berbeda dengan Jalaludin Rakhmat, menurutnya besarnya penghasilan yang telah diperoleh terlebih dahulu harus dikurangi dengan mu'nah, yakni pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti papan, sandang dan pangan.10 Setelah itu, apabila penghasilannya masih cukup nishab maka baru wajib mengeluarkan zakatnya, dan apabila belum cukup nishab maka belum wajib mengeluarkan
10
Djalaludin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, cet. IV, 1992, hlm. 152.
73
zakat. Namun, menurut salah satu muzakki11 dan kepala Lazis Muhajirin, jika di RW V pengeluaran zakat profesi menggunakan gaji bersih, yakni setelah dikurangi dengan mu'nah, maka nisab tidak akan pernah ketemu, karena sebenarnya gaji para PNS tidak begitu banyak bahkan apabila dikurangi terlebih dahulu bisa-bisa sudah habis sebelum mengeluarkan zakat, kecuali seperti mereka yang berprofesi sebagai dokter. Sedangkan menurut Amin Rais besarnya zakat profesi adalah 20 %. Pendapat ini tentunya tidak bisa diberlakukan terhadap semua jenis yang ada, karena menurutnya zakat 20 % ini berlaku terhadap profesi modern yang dengannya mudah untuk mendatangkan rizki yang jumlahnya cukup besar seperti misalnya; komisaris perusahaan, konsultan, dokter, notaris, pengacara dan sebagainya. Karenanya, bagi mereka seharusnya dikenakan zakat profesi sebesar 20 % bukan 2,5 %. Pendapat Amin Rais, jika zakat profesi 2,5 %, yakni disamakan dengan zakat emas atau perdagangan yang ketentuannya menunggu haul, ini terasa sangat tidak adil karena seorang petani yang dalam memperoleh penghasilannya sangat sulit harus langsung membayar zakatnya 5% - 10% begitu panen selesai tanpa menunggu haul, tapi kenapa zakat profesi yang cara mendapatkannya begitu mudah harus menggunakan (menunggu) haul. Hal ini yang dirasa sangat tidak adil sehingga ia mengusulkan agar ketentuan 2,5 % ditinjau kembali dan kalau perlu ditingkatkan menjadi 20 %.12
11
Wawancara dengan Bapak Choliq Zain, Tokoh masyarakat RW V kelurahan Ngaliyan . Amin Rais, Csakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, Cet. VI, 1995, hlm. 59-60. 12
74
Jika pendapat Amin Rais yakni zakat profesi 20 % ini diterapkan di Lazis Muhajirin, ini tidak bisa dan sangat tidak tepat sekali. Karena menurut beberapa muzakki yang penulis jadikan sampel dan juga bendahara Lazis, bahwa gaji para PNS ini sebenarnya minim (pas-pasan) juga tidak mudah dalam mendapatkannya sehingga mereka mendasarkan 2,5 %. Itupun masih sedikit sekali yang mengeluarkan zakatnya karena memang belum cukup nisab, sehingga dalam tiap bulannya dari mereka baru mengisi pada infaq dan shadaqah saja. Hal ini bisa dilihat dalam buku pengumpulan ZIS per bulan bahwa antara orang yang mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah lebih banyak pada infaq dan shadaqahnya. Sementara itu, untuk zakat perdagangan juga sama dengan zakat profesi yakni didasarkan pada nisab zakat emas yaitu 2,5 % dari pendapatan + seharga 96 gram emas, dan dikeluarkan apabila harta perdagangan tersebut telah mencapai 1 nisab. Namun apabila dikehendaki mengeluarkan zakat sebelum cukup masa satu tahun, sebagaimana yang dijalankan pada Lazis Muhajirin agar terasa lebih ringan dalam mengeluarkannya, itu lebih baik dan hukumnya boleh baginya walaupun syaratnya belum ada, yakni belum cukup satu tahun. Sebagaimana hadits Nabi:
ﺗﻌﺒﻴﻞ ﺻﺪ ﻗﺘﻪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ:ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺳﺎﺀ ﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮﺩ ﺍﻭﺩ.ﲢﻞ ﻓﺮﺣﺺ ﻟﻪ ﰱ ﺫﻟﻚ
75
"Dari Ali RA. Sesungguhnya Abbas meminta izin kepada Rasulullah SAW mengeluarkan zakat sebelum masanya maka Rasulullah mengizinkan Abbas berbuat yang demikian". (Hadits riwayat Abu Daud).13 Dalam hal administrasi sudah cukup bagus, mereka para muzakki dalam mengeluarkan ZIS akan menspesifikasikan antara zakat, infaq dan shadaqah dengan mengisi pada kolom-kolom yang telah tersedia, sehingga akan diketahui prosentase hasil ZIS. B. Upaya dan Kendala Yang Dihadapi Dalam Meningkatkan Ekonomi Umat Penentuan pos-pos yang berhak menerima zakat oleh Allah telah diatur secara jelas dalam surat at-Taubah ayat 60. Secara umum, pesan pokok dalam surat ayat tersebut adalah bagi mereka yang secara ekonomi kekurangan, kecuali amil dan muallaf yang bisa saja dalam hal ekonomi mereka sudah berada dalam kecukupan. Sedang pendistribusian dana sosial di Lazis Muhajirin pada dasarnya tetap berpegang pada aturan yang ada dalam nash Al-Qur'an, yakni diberikan kepada delapan asnaf yang berhak menerima, hanya saja dalam realitasnya selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Adapun pendayagunaan ZIS yang ada di RW V secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni dalam bentuk konsumtif dan produktif yang kesemuanya diprioritaskan untuk membantu fakir miskin. ZIS untuk fakir miskin diberikan dalam bentuk uang atau sembako (konsumtif tradisional), dan untuk anak sekolah yang tidak mampu dalam bentuk 13
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, Maktabah Dahlan, hlm. 98.
76
beasiswa, biaya /obat orang sakit, bantuan pembangunan dan lain sebagainya (konsumtif kreatif). Besarnya dana yang diberikan disesuaikan dengan kebutukan mereka dengan melihat dana ZIS yang ada. Dengan skala pemberian seperti itu merupakan solusi yang tepat, karena apabila pemberian ZIS tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka yang ada (lebih banyak), maka akan dapat menimbulkan sikap ketergantungan terhadap dana ZIS yang menjadikan mereka malas bekerja. Pendayagunaan
ZIS
secara
konsumtif
perlu
ditinjau
dan
dipertimbangkan kembali secara proporsional. Pembagian zakat secara konsumtif boleh jadi masih diperlukan, karena bagi orang-orang yang sangat lemah seperti yatim piatu atau lanjut usia tak mungkin lagi menerima dalam bentuk produktif. Namun tidak semua harta ZIS yang terkumpul itu dihabiskan untuk konsumtif, artinya ada sebagian lain yang mestinya lebih besar yang lebih baik. Pemanfaatan dana zakat yang dijelaskan dalam fiqh pada dasarnya memberi petunjuk mengenai kebijaksanaan dan kecermatan dari para pengelola zakat, yakni mereka seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor pemerataan dan penyamaan kebutuhan yang nyata dari para mustahiq. Pendayagunaan diupayakan bersifat produktif dan ekonomis sehingga pada gilirannya mustahiq tidak akan lagi membutuhkan zakat, tapi pada kesempatan lain akan berubah menjadi pembayar zakat.14 Dengan demikian maka tujuan dari pembentukan Lazis akan tercapai.
14
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, Cet. II, 1994, hlm. 236.
77
Orientasi pendayagunaan ZIS dalam bentuk produktif sudah pernah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khatab, yang memberikan dana ZIS nya berupa tiga ekor unta karena mustahiq tersebut sudah berulangkali meminta atau menerima zakat tetapi ekonominya tetap tidak berubah. Dengan pemberian dalam bentuk unta tersebut, khalifah Umar berharap nantinya dia datang lagi bukan sebagai mustahiq tetapi telah berubah menjadi muzakki dari hasil keuntungannya, dan ternyata harapan khalifah benar karena mustahiq tadi datang lagi untuk menyerahkan zakatnya.15 Sampai saat ini upaya yang dijalankan Lazis Muhajirin dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi yaitu dengan cara mendayagunakan zakat dalam bentuk: 1. Konsumtif tradisional Yaitu ZIS diberikan dalam bentuk uang kepada mustahiq golongan fakir dan yatim piatu (golongan yang lemah). Adapun besarnya pemberian disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Pemberian dalam bentuk ini karena tidak mungkin lagi kepada mereka diberi dalam bentuk produktif. 2. Konsumtif kreatif Yaitu ZIS diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, yaitu ZIS diberikan dalam bentuk Bea siswa untuk anak-anak sekolah yang kurang mampu, biaya pengobatan orang sakit, dan semacamnya. Dengan pemberian dalam bentuk ini maka penyaluran dana ZIS tepat mengena sasaran. 15
Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II, 2001, hlm. 172.
78
3. Produktif tradisional ZIS diberikan dalam bentuk barang-barang yang sifatnya produktif, dalam hal ini pernah diberikan dalam bentuk mesin jahit dan alat dapur untuk jualan bubur, untuk mencapai sasaran pemberian memang seharusnya dalam bentuk kail bukan umpannya sehingga dia akan mau berusaha untuk kelangsungannya dan tidak melatih ketergantungan. 4. Produktif kreatif Yaitu zakat diberikan dalam bentuk permodalan, baik untuk membuka usaha kecil-kecilan atau menambah modal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan supaya bisa merubah kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, pendayagunaan ZIS yang ada di RW V cukup baik karena dalam penyalurannya disesuaikan dengan kebutuhan fakir miskin sehingga dapat mencegah ketergantungan dan dipertimbangkan dengan skala kemampuan (skill) para mustahiq. Pemberian zakat dalam bentuk produktif memang seharusnya dilakukan dengan melihat pada keahlian dan kemampuan para mustahiq dibidangnya masing-masing, karena apabila dalam memberikan asal-asalan yakni tidak disesuaikan dengan keahliannya masing-masing, maka ZIS tidak menjadi berdaya guna, dan hasilnya pun tidak sesuai dengan tujuannya. Pemaknaan fi sabilillah oleh Lazis Muhajirin meliputi guru ngaji dan bantuan pembangunan seperti masjid, gedung sekolah dan gedung TPQ. Dalam memahami makna sabilillah sendiri sebenarnya masih menjadi ikhtilaf diantara para ulama. Para ulama yang meluaskan arti sabilillah berpegang
79
dalil yang jelas, yaitu lafadz tersebut mencakup segala jenis amal perbuatan yang baik dan segala sesuatu yang bermanfaat pada kaum muslimin, sebagaimana pendapat Sayyid Quthub dalam tafsirnya yang dikutip dari tafsir Al-Misbah bahwa : Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini (sabilillah) semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, Masjid, Rumah sakit, dan lain-lain, dengan alasan bahwa kota sabilillah dari segi kebahasaan mencakup segala aktivitas yang mengantar menuju jalan dan keridhaan Allah. "Ini adalah pintu yang sangat luas mencakup semua kemaslahatan umum.”16
Sedangkan Yusuf Al-Qardhawi tidak sependapat dengan upaya memperluas makna kota ini. Menurutnya, organisasi-organisasi yang aktivitasnya memberi bantuan kepada fakir miskin, baik dalam bentuk pangan dan papan atau pendidikan dan latihan, mereka tetap berhak menerima dana ZIS, tetapi bukan dari bagian sabilillah melainkan masuk pada asnaf fakir dan miskin . Namun beliau juga tidak mempersempitnya tetapi hanya membatasi pengertiannya
pada
para
pejuang
yang
mengangkat
senjata,
dan
memperluasnya dalam batas pengertian jihad.17 Begitu juga dengan Jumhur Fuqoha dari madzab 4, mereka tidak menyetujuinya berdasarkan dua alasan bahwa : 1. Rukun zakat itu harus adanya kepemilikan (sebagaimana Mazdab Hanafi) sedang kepemilikan tidak akan terdapat dalam masjid, lembaga pendidikan (TPQ).
16 17
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 634. Ibid.
80
2. Mendirikan Masjid, Sekolah, dan TPQ tidak termasuk sasaran yang delapan yang dinyatakan dalam Al qur'an surat Taubah ayat 60.18 Penulis sendiri lebih sepakat pendapat Sayyid Quthub, bahwa makna fi sabilillah meliputi segala sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin seperti semua kegiatan sosial, baik yang dikelola perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan (TPQ), masjid, dan lain-lain. Karena makna jihad sendiri bisa dalam bentuk pikiran, pendidikan, sosial, ekonomi dan politik seperti militer. Adapun syarat mutlak bagi seluruhnya bahwa fi sabilillah artinya yaitu untuk membela Islam. Pada masa kini, serangan terhadap Islam, dalam bidang pikiran dan keilmuan bisa saja lebih berbahaya dan berdampak buruk dari pada serangan militer. Sehingga, persiapan dan pertahanan penyerangan dari luar dalam bidang pemikiran dan dakwah malah lebih penting. Dengan demikian zakat oleh Lazis Muhajirin (seperti bantuan pembangunan) maka hukumnya adalah boleh karena ia tetap masuk kedalam delapan asnaf melalui qias (analogi). Terhadap kendala yang dihadapi tidak seharusnya untuk dibiarkan begitu saja, namun semaksimal mungkin diusahakan untuk mencari solusinya supaya pengelolaan ZIS bisa berjalan lancar. Seperti dalam hal pengontrolan misalnya, apabila selama ini pengontrolan belum bisa secara langsung yakni hanya melalui pengamatan, maka sudah saatnya pengontrolan terhadap mustahiq yang diberi modal atau kepada para mustahiq yang diberi ZIS dalam bentuk produktif, tiga atau empat bulan terakhir harus diadakan koordinasi
18
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hlm. 625
81
atau laporan dari mustahiq apakah dalam usahanya tersebut mengalami perkembangan, biasa saja atau malah macet. Dengan demikian Lazis dapat mengetahui tingkat keberhasilan pendayagunaan ZIS selama ini, dan bagi mereka yang sudah bisa bersejajar dengan para muzakki dalam artian sudah tidak membutuhkan bantuan dari dana ZIS, maka bisa mengurangi daftar mustahiq dan untuk diberikan pada mustahiq lain. Sebuah lembaga amil zakat harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci mengenai jumlah uang zakat yang diterima, daftar (muzakki) yang mengeluarkan zakatnya, kemana ZIS didayagunakan, dan lain sebagainya. Sehingga apabila suatu saat ada salah satu muzakki yang ingin mengetahui data rinci mengenai zakat, lembaga tersebut akan bisa memberikan jawabannya.19 Sistem manajemen, pengadministrasian, dan pertanggung jawaban yang baik, akan menambah kepercayaan muzakki kepada para amil, dan fungsi amil sebagai perantara antara muzakki dengan mustahiq akan berjalan dengan lancar tanpa mengganggu psikologi mustahiq. Dari segi administrasi dan pertanggung jawaban Lazis muhajirin sudah baik dan rapih, namun masih ada satu yang kurang yaitu belum adanya AD/ART, dengan demikian maka untuk lebih baiknya yaitu agar segera ditindak lanjuti pembentukan AD/ART. Karena dalam undang-undang zakat No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pasal 22 pun dijelaskan bahwa salah satu syarat pengukuhan LAZ oleh pemerintah adalah memiliki program kerja (AD/ART). Sebuah organisasi atau lembaga apapun seharusnya dan 19
A. Qodri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial: Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LKIS, Cet. I, 2000, hlm. 218.
82
sudah semestinya mempunyai AD/ART supaya jelas dan ada pertanggung jawaban yang besar mengenai fungsi dan tugas masing-masing pengurus, sehingga tidak terjadi tumpang tindih fungsi dan tugas kerja antara pengurus yang satu dengan yang lain. Dengan melihat hasil pengumpulan ZIS yang lumayan cukup besar menunjukkan bahwa tingkat kesadaran umat Islam RW V kelurahan Ngaliyan sudah tinggi. Walau demikian pensosialisasian atau penyuluhan-penyuluhan mengenai ZIS hendaknya jangan sampai berhenti, tapi sebisa mungkin untuk terus digalakkan karena sebagai manusia biasa yang tingkat keimanannya masih yazid wa yankus (kadang bertambah kadang berkurang) apabila peringatan (penyuluhan) tentang ZIS diberhentikan maka kesadaran untuk mengeluarkan ZISnya pun bisa menurun. Memang respon masyarakat terhadap Lazis sangat antusias dan positif sekali, terlihat dari rajinnya mereka mengisi buku penerimaan ZIS dalam tiap bulannya, namun hal ini tidak bisa menjamin kelangsungannya apabila usaha untuk meningkatkan kelancaran pengumpulan ZIS tidak dibina dan dipupuk. Dalam pendistribusian, Lazis Muhajirin tak jarang menyalurkan ZISnya ke daerah lain karena mustahiq daerah RW V dirasa sudah tercukupi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam fiqh bahwa apabila pada suatu daerah (Lazis) sudah memiliki data mustahiq, namun ketika akan membagikan ZISnya ternyata mereka sudah tercukupi, maka ZIS agar dialihkan kepada daerah lain yang lebih membutuhkan.