BAB IV ANALISIS PENGARUH JALAN TERHADAP PENANAMAN MODAL Seperti telah diuraikan pada Bab II, peranan aksesibilitas suatu lokasi diduga memiliki peranan penting dalam menarik minat investasi. Aksesibilitas yang merupakan komposit dari beberapa kekayaan (endowment) suatu wilayah, adalah gabungan dari faktor-faktor spasial dan aspasial. Pada Bab ini akan diuraikan pengamatan empiris atas aktivitas penanaman modal atau investasi di Jawa Barat, dimulai dengan telaah prinsip-prinsip analisis dengan konstruksi model , input data, pengolahan dan analisisnya. 4.1 Prinsip Umum Analisis Secara umum, analisis yang dilakukan dalam studi ini didahului dengan konstruksi model yang akan digunakan. Model yang dipakai adalah model yang bersifat spasial karena menyangkut kegiatan investasi yang tidak aspasial. Dengan didapatnya model tersebut, data yang diperlukan untuk analisis dapat diidentifikasi, mulai dari jenis data, dimensi, dan cakupannya. Selanjutnya akan dilakukan analisis, termasuk dengan memanfaatkan metoda-metoda statistik untuk meninjau korelasi antar variabelnya. 4.2 Penyusunan Model 4.2.1
Model Spasial
Mengamati data runut-waktu (time series) penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengarahkan hipotesis bahwa setidaknya besaran PMA dan PMDN adalah data yang spatially-dependent. Dengan demikian model yang dipakai harus mampu menjelaskan bahwa besaran kumulatif PMA di Bekasi lebih besar dari besaran kumulatif PMA di Karawang, misalnya. Atau menjawab pertanyaan mengapa minat investasi PMA di Subang demikian kecilnya dibandingkan dengan sesama daerah pantura di Jawa Barat. Model yang dipakai juga harus mampu menjelaskan bahwa ada kecenderungan jumlah kumulatif PMA dan PMDN yang semakin kecil, sejalan dengan bertambahnya “jarak” suatu daerah dengan Jakarta, walaupun dari data yang ada, Cirebon mencatat jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan Indramayu dan Subang.
41
4.2.2
Indikator Aksesibilitas
Di antara alternatif-alternatif ukuran spasial empiris yang ada untuk menunjukkan kelebihan lokasional, maka ukuran Aksesibilitas (accessibility) wilayah adalah jenis indikator spasial yang cukup banyak digunakan dalam analisis spasial, karena relatif sederhana dan mudah dimengerti/ digunakan. (Schumann-Talaat, 2000). Aksesibilitas wilayah menunjukkan kelebihan lokasional (locational advantage) suatu wilayah relatif terhadap seluruh wilayah studi (termasuk wilayah itu sendiri). Pendekatan dengan ukuran aksesibilitas ini antara lain digunakan dalam studi-studi Biehl (1986, 1991), Lutter et.al. (1993), Bokemann (1982), dan Schumann-Talaat (1997, 2000). Secara umum, aksesibilitas digambarkan tersusun atas dua fungsi. Fungsi pertama mewakili aktivitas atau kesempatan yang hendak dijangkau, dan fungsi kedua mewakili usaha, waktu, atau biaya yang diperlukan untuk menjangkaunya. Jika dinyatakan dalam notasi fungsi, maka dapat dituliskan : Ai =
∑ g(Wj) f(cij)
........…………………………………………….. (4-1)
Di mana Ai adalah aksesibilitas wilayah i, Wj adaalh aktivitas W yang akan dijangkau di wilayah j, dan cij adalah biaya yang digeneralisasi untuk menjangkau wilayah j dari wilayah i. Fungsi g(Wj) adalah fungsi aktivitas, dan f(cij) disebut fungsi impedansi. Keterkaitan keduanya bersifat multiplikatif, dalam hal ini saling memberi bobot. Salah dari beberapa studi yang pernah dipublikasikan, adalah yang dilakukan Schumann dan Talaat (2000). Schumann dan Talaat memilih type aksesibilitas potensial dari 3 model aksesibilitas yang dikenal, antara lain (i) type travel cost, (ii) type aksesibilitas harian, dan (iii) type potensial. Aksesibilitas type potensial tersebut oleh Schumann dan
Talaat dirumuskan seperti
berikut : Ai =
∑ g(Wj) f(cij)
=
∑ Wj
α
exp( –β cij )
…………………………….. (4-2)
Sebagai fungsi aktivitas, bisa digunakan besaran GDP, tenaga kerja (employment), penduduk (population). Disebutkan bahwa pembobotan dengan GDP (=PDRB) sesuai untuk mengaitkan aksesibilitas pada kinerja ekonomi produktif seperti investasi,
42
perencanaan produksi, dll. Sedangkan pembobotan dengan kependudukan sesuai untuk dikaitkan dengan kinerja ekonomi konsumsi seperti perencanaan pasar/pemasaran. Pemilihan nilai parameter β (sensitivitas impedansi spasial), dan α (parameter untuk mewakili efek aglomerasi) bersifat khas untuk setiap wilayah. Dengan data-data GDP, penduduk, dan jarak geografis untuk menentukan biaya perjalanan (travel cost), Schumann-Talaat menghitung Indeks Periperalitas (yang diturunkan dari Aksesibilitas) di Uni Eropa, dan menghasilkan peta indeks periperalitas. Informasi tersebut dipakai untuk menentukan kebijakan perekonomian Uni Eropa dikaitkan dengan keberadaan dan pengembangan infrastruktur transportasi. Di dalam kajian ini, hipotesa yang diajukan adalah bahwa (minat) investasi dipengaruhi oleh aksesibilitas, atau Investasi di suatu wilayah ≈ Indeks Aksesibilitas wilayah.. Variabel lain yang diduga memiliki pengaruh juga adalah jumlah penduduk atau populasi. sehingga :
Investasi = bo + b1 A +b1 P + ε
.…………………...(4-3)
Seperti telah disebutkan di depan, Aksesibilitas dalam kajian ini mengikuti Aksesibilitas yang dikembangkan Schurmann & Talaat (2001) dalam “Toward a European Peripherality Index : Final Report.” Dinyatakan dalam laporan tersebut, bahwa fungsi kegiatan / aktivitas bisa dalam bentuk GDP, Populasi, Tenaga Kerja, masing-masing secara terpisah. Juga direkomendasikan dalam laporan tersebut dua model pembobotan aksesibilitas atau peripheralitas yang memadai : (1) yang dibobot GDP (GDP weighted) bisa membantu analisis dan perencanaan yang bertalian dengan kegiatan
ekonomi produktif (seperti investasi,
pendirian pabrik, dll), dan (2) yang dibobot populasi (Population weighted) bisa membantu analisis dan perencanaan yang bertalian dengan kegiatan ekonomi konsumsi (untuk pasar, retail, dll). Sementara fungsi jarak atau fungsi hambatan f(cij) yang dipakai dapat berupa (i) fungsi pangkat, (ii) fungsi eksponensial-negative, dan (iii) fungsi Tanner (Tamin, 2000). Dalam kajian ini dipakai fungsi eksponensial negatif sebagai fungsi hambatan, seperti yang disarankan oleh Schurmann, untuk mendapatkan indicator aksesibilitas potensial. Dengan demikian, untuk melihat hubungan investasi dengan jalan (dalam bentuk aksesibilitas) dalam kajian ini akan dipakai algoritma sebagai berikut :
43
1)
Pengumpulan data PMA dan sebarannya, PMDN dan sebarannya, penduduk dan sebarannya, PDRB (atas dasar harga berlaku) untuk 6 wilayah kajian.
2)
Menghitung matriks jarak, dan waktu tempuh antar dan antara keenam wilayah tersebut
3)
Menghitung besaran fungsi hambatan f (cij) = ex(-β cij )
4)
Menghitung aksesibilitas masing-masing wilayah, dengan pembobotan PDRB (AXPDRB).
5)
Menyusun data dalam format yang sesuai dengan model analisis pooled-timeseries.
6)
Membuktikan kaitan / hubungan empiris antara PMA / PMDN dengan aksesibilitas hasil perhitungan tersebut diatas, atau IPMA = f (AXPDRB,POP) dan IPMDN = f (AXPDRB,POP)
4.3 Input Data Data utama yang dipakai dalam kajian ini adalah data sekunder berupa Daftar Persetujuan Proyek – PMA / PMDN yang dimiliki oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Data PMA dan PMDN yang disiapkan adalah berdasarkan Surat Persetujuan (SP) yang dikeluarkan BKPM, dengan anggapan bahwa SP tersebut dikeluarkan atas permohonan calon investor yang dengan demikian cukup menggambarkan “minat” investor menanamkan modalnya di daerah / wilayah tertentu. Cakupan data PMA dan PMDN yang diteliti adalah daftar SP yang diterbitkan setiap tahun mulai dari tahun 1975 sampai dengan 2005, namun fokus diarahkan pada rentang 1980-2005 karena alasan ketersediaan data lainnya (PDRB dan Penduduk) hanya pada rentang 1980-2005. Untuk lebih melengkapi data (dalam hal diperlukan) dengan data PMA dan PMDN sebelumnya (1968-1979), dipakai data penelitian Sdr. Dyah Retno Prawesti Sudarto (1999) dalam “Studi Pola Spasial Investasi dan Perkembangannya di Jawa Barat”. Selama rentang waktu observasi tersebut (1980-2005), terdapat sekitar 3.103 pengajuan proyek baru PMA yang disetujui, dan 2.372 pengajuan proyek baru PMDN. Perhatian difokuskan pada SP untuk proyek baru (bukan perluasan maupun alih fungsi PMDN menjadi PMA dan atau sebaliknya). Data lebih rinci telah diberikan pada Bab III. Dengan konstruksi data seperti disebutkan diatas, maka diperoleh data yang runut waktu (time-series) sepanjang 26 tahun, yang memiliki observasi temporal biasa pada setiap unit
44
analisis, dan sekaligus silang tempat yang memiliki observasi-observasi pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu (Kuncoro, 2001). Dengan data semacam itu, maka analisisnya bisa dilakukan dengan analisis regresi untuk model pooled time series. Struktur data baru yang disusun untuk analisis model pooled time-series tersebut disajikan pada tabel IV-1 di halaman berikut. Untuk keperluan selanjutnya, diperlukan data jarak antar wilayah (centroid, pusat kota) untuk memperhitungkan waktu tempuh, mulai dari Bekasi sampai dengan Cirebon. Matriks jarak ditunjukkan pada tabel IV-1 berikut ini : Tabel IV-1 Matriks Jarak 6 Wilayah Pantura Jabar Bks
Krw
Pwk
Sub
Imy
Crb
Bks
0
36
57
98
152
192
Krw
36
0
21
62
116
156
Pwk
57
21
0
41
95
135
Sub
98
62
41
0
54
94
Imy
152
116
95
54
0
40
Crb
192
156
135
94
40
0
Selanjutnya dengan asumsi kecepatan berkendara rata-rata di jalan tol adalah 80 km/jam, dan di jalan bukan-tol adalah 40 km/jam, akan diperoleh matriks waktu tempuh, yang kemudian dipakai untuk menghitung fungsi hambatan f (cij)= exp (-β cij). Demikian juga data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dipakai dalam kajian ini mulai dari PDRB tahun 1980 samapai dengan 2005. Dipakai PDRB atas dasar harga berlaku karena besaran investasi yang ada juga dicatatkan berdasarkan atas harga berlaku. Untuk daerah Cirebon dan Bekasi, nilai PDRB analisis diwakili oleh jumlah keduanya (PDRB Kota +Kabupaten). Penyatuan unit analisis ini lebih didasarkan pada faktor centroid, yang umumnya centroid Kabupaten relatif berimpit dengan centroid kota. Sumber data untuk PDRB Kabupaten / Kota ini adalah Biro Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Data berikutnya yang diperlukan dalam analisis ini adalah data penduduk, yang akan dilihat apakah memiliki hubungan dengan minat investasi (misalnya bersifat tarikan atau
45
bukan). Data penduduk masing-masing kota / kabupaten mulai tahun 1980 sampai dengan 2005, berdasarkan hasil sensus penduduk, supas, maupun perhitungan yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). 4.4 Hasil Analisis 4.4.1
Investasi dalam Perspektif Runut Waktu
Pengamatan atas data seri waktu untuk PMA dan PMDN dapat dilakukan per wilayah, dimulai dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, dan Cirebon, untuk melihat kurva trend kumulatif-nya, dan nilai pertumbuhan tahunannya. Dikaitkan dengan beroperasinya jalan tol Jakarta-Cikampek pada tahun 1988, maka data investasi di wilayah pantura Jawa Barat dikelompokkan dalam 3 kelompok tahun, yaitu periode I : 1980-1987 (belum ada jalan tol), dan II : 1988-1997 (sudah ada jalan tol, sebelum krisis ekonomi), dan III : 1998-2005 (sudah ada jalan tol, sesudah krisis ekonomi). Laju pertumbuhan rata-rata tahunan pada masing-2 periode tersebut disajikan dalam tabel IV-2. Tabel IV-2 Nilai Investasi Rata-rata Tahunan PMA & PMDN di Pantura Jabar Untuk masing-masing Periode BKS KRW PWK Pertumbuhan PMA (juta US$ per tahun) 36 8 1980-1988 827 324 218 1989-1997 153 66 57 1998-2005 Petumbuhan PMDN (milyar Rp / tahun) 64 11 1980-1988 1,645 1,237 534 1989-1997 552 224 99 1998-2005
SUB
IMY
-
-
CRB
7 6
33 2
35 34 21
1 264 72
2 650 107
36 201 40
Diolah dari data BKPM : Rekap SP PMA/PMDN
Dari tabel IV-2 tersebut bisa dilihat bahwa untuk PMA, pada periode I (1980-1988) investasi rata-rata tahunannya masih rendah, seperti terlihat untuk Bekasi (36 juta USD/th), Karawang (8 juta USD/thn), dan Cirebon (35 juta USD/thn), bahkan tidak ada untuk Purwakarta, Subang, dan Indramayu. Pada periode II (1989-1997), angka pertumbuhan tersebut menjadi sangat besar, antara lain Bekasi (827 juta USD/thn atau 23 kali periode I), Karawang (324 juta USD/thn atau
46
40 kali periode I), dan Purwakarta (218 juta USD/thn dari 0 pada periode I), Subang dan Indramayu (7 juta nda 33 juta USD /thn dari sebelumnya 0 pada periode I), serta Cirebon (34 juta USD/thn, hampir sama dengan periode I). Pada periode III (1998-2005), nilai rata-rata investasi tahunan turun dibandingkan dengan periode II. Dibandingkan dengan periode II, maka nilainya menjadi sekitar 19% (Bekasi), 20% (Karawang), 26% (Purwakarta), 86% (Subang), 6% (Indramayu), dan 62% (Cirebon) Fenomena serupa juga terlihat pada minat PMDN. Pada periode I (1980-1988) nilai investasi rata-rata tahunan untuk semua wilayah masih jauh dibawah Rp.100 milyar per tahun. Nilai rata-rata ini meningkat tajam pada periode II (1988-1997), menjadi lebih dari Rp.1,6 trilyun (Bekasi), Rp.1,2 trilyun (Karawang), Rp.0,5 trilyun (Purwakarta), Rp.0,2 trilyun (Subang), Rp.0,2 trilyun (Indramayu), dan Rp.0,2 trilyun (Cirebon). Walaupun keberadaan jalan tol baru belum pasti merupakan satu-satunya penyebab kenaikan tajam laju investasi PMA, tetapi perubahan angka-angka per periode tersebut cukup meyakinkan akan peranan jalan tol tersebut. Pada periode III (1998-2005), nilai rata-rata investasi tahunan turun dibandingkan dengan periode II. Dibandingkan dengan periode II, maka nilainya menjadi sekitar 32% (Bekasi), 18% (Karawang), 19% (Purwakarta), 27% (Subang), 16% (Indramayu), dan 20% (Cirebon) Kurva nilai PMA dan PMDN kumulatif di Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Itarndramayu, dan Cirebon, disajikan pada grafik 4.1. sampai dengan 4.4. Dari grafik tersebut, dapat dicermati kecenderungan umumnya untuk masing-masing periode pada rentang waktu 1980-2005. Pada periode I (rentang 1980-1987) terlihat kurva relatif datar, dilanjutkan dengan pertumbuhan tinggi pada periode II (setelah beroperasinya jalan tol Jakarta-Cikampek 1988dan sebelum krisis ekonomi 1997), dan melambat menjadi relatif stagnan antara 1998-2005 (pasca krisis ekonomi 1997).
47
25
9 8
20
7 6
Trilyun Rp
Milyar US$
10
15
5 4
10
3 2
5
1 -
1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
Grafik 4.1 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Bekasi 1980-2005 Grafik serupa dengan Bekasi, untuk Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, dan
4,0
16
3,5
14
3,0
12
2,5
10
2,0
8
1,5
6
1,0
4
0,5
2
0,0
Trilyun Rp
Milyar US$
Cirebon ditunjukkan pada grafik-grafik berikut ini.
1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
(i) Kumulatif PMA dan PMDN di Karawang 1980-2005
48
6
2,5
5
2,0
4
1,5
3
1,0
2
0,5
1
0,0
Trilyun Rp
Milyar US$
3,0
1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
(ii) Kumulatif PMA dan PMDN di Purwakarta 1980-2005 Grafik 4.2 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Karawang dan Purwakarta 1980-2005 Serupa dengan Bekasi, PMA dan PMDN di Karawang menunjukkan pola pertumbuhan yang seolah-olah memanfaatkan keberadaan jalan tol pada tahun 1988. Terlihat slope yang tajam antara 1988 sampai 1997 (periode II), dan kembali stagnan pada periode III. Dengan periodisasi yang serupa, dibuat grafik kumulatif PMA & PMDN untuk Subang, Indramayu, dan Cirebon, pada Grafik 4.3. Tampak bahwa pola yang ditunjukkan ketiga daerah tersebut tidak semulus Bekasi, Purwakarta, dan Karawang.
49
3,5
100,0
3,0 2,5
80,0
Trilyun Rp
Juta US$
120,0
2,0 60,0 1,5 40,0
1,0
20,0
0,5
0,0
0,0 1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
350
8,0
300
7,0 6,0
250
Trilyun Rp
Juta US$
(i) Kumulatif PMA dan PMDN di Subang 1980-2005
5,0 200 4,0 150 3,0 100
2,0
50
1,0
0
0,0 1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
(ii) Kumulatif PMA dan PMDN di Indramayu 1980-2005
50
3,0
700
2,5
600
Trilyun Rp
Juta US$
800
2,0
500 400
1,5
300
1,0
200 0,5
100 0
0,0 1980
1983
1986
1989
1992
Kumulatif PMA
1995
1998
2001
2004
Kumulatif PMDN
(iii) Kumulatif PMA dan PMDN di Cirebon 1980-2005 Grafik 4.3 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Subang, Indramayu, Cirebon 1980-2005 Terlihat pada 3 daerah terakhir (Subang, Indramayu, dan Cirebon) polanya tidak serapi 3 daerah yang secara fisik dilintasi jalan tol. Dari pengamatan atas data PMA selama rentang 1980-2005, c.q. pertumbuhannya, diduga ada pola menarik jika dipakai basis waktu. Ada beberapa hal yang patut dicermati dari pola yang ada tersebut, dikaitkan dengan keberadaan jalan tol Jakarta-Cikampek, antara lain : (i)
Subang dan Indramayu “mulai bergerak” menarik minat PMA mulai tahun 1988, saat mulai dioperasikannya jalan tol Jakarta-Cikampek. Cirebon, relatif menunjukkan pola yang serupa Subang dan Indramayu, meskipun ketiganya tidak menunjukkan pola yang “serapi” Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.
(ii)
Purwakarta, yang sudah mencatat adanya PMA didaerahnya sejak 1980, relatif stagnan sampai 1988, dan mengalami pertumbuhan positif sejak beroperasinya tol, sampai kembali stagnan pada tahun 1998.
51
Tabel IV-3 Pertumbuhan PMA di Wilayah Pantura Jawa Barat TAHUN
BKS
KRW
PWK
SUB
IMY
CRB
1980 1981
122%
1982
0%
#DIV/0! 0%
0% 0%
1983
802%
0%
0%
1984
0%
0%
0%
1985
24%
0%
0%
1986
10%
0%
0%
0%
1987
8%
214%
0%
29%
1988
23%
16%
0%
#DIV/0!
#DIV/0!
#DIV/0!
0%
1989
41%
84%
90%
0%
0%
2%
1990
108%
170%
388%
0%
0%
13%
1991
67%
63%
65%
0%
3268%
2%
1992
28%
53%
52%
0%
397%
6%
1993
18%
60%
2%
0%
0%
0%
1994
33%
5%
4%
808%
0%
0%
1995
99%
52%
8%
588%
0%
0%
1996
13%
32%
5%
0%
3%
6%
1997
9%
12%
41%
0%
0%
71%
1998
3%
3%
18%
41%
0%
2%
1999
1%
1%
0%
2%
2%
0%
2000
2%
1%
0%
20%
0%
0%
2001
5%
2%
0%
0%
0%
0%
2002
1%
1%
3%
1%
2%
0%
2003
1%
1%
0%
1%
0%
0%
2004
2%
3%
0%
1%
0%
0%
2005
1%
5%
0%
2%
0%
27%
(iii) Karawang, tidak sepenuhnya “menunggu” jalan tol untuk menarik minat investor, karena sudah memiliki PMA sejak 1981, dan tumbuh cukup bagus pada 1987 dan 1988, walaupun juga “menikmati” keberadaan jalan tol dengan catatan pertumbuhan PMA cukup besar (diatas 50%) mulai 1989 sampai 1995 sebelum akhirnya menurun menjadi hanya dibawah 5% per tahun antara 1998-2005.
52
Tabel IV-4 Pertumbuhan PMDN di Wilayah Pantura Jawa Barat TAHUN
(iv)
BKS
KRW
PWK
1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988
5% 13% 30% 1% 7% 174% 170% 81%
0% 0% 6% 4% 0% 26% 0% 87%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
71% 182% 27% 15% 17% 23% 8% 26% 30% 5% 1% 0% 6% 2% 6% 5% 2%
134% 166% 25% 16% 13% 32% 37% 9% 18% 4% 2% 0% 0% 0% 2% 8% 0%
435% 208% 157% 36% 25% 16% 26% 20% 88% 9% 0% 0% 0% 0% 0% 5% 1%
SUB
IMY
CRB
0% 296%
1141% 0% 110% 0% 175%
0% 0% 0% 9% 0% 4% 9% 10%
426% 88% 12% 35% 0% 67% 19% 62% 190% 0% 0% 0% 0% 15% 0% 7% 2%
10% 7% 2% 2184% 1% 53% 92% 25% 42% 14% 0% 0% 1% 0% 0% 0% 0%
359% 15% 30% 1% 0% 6% 0% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 2% 0% -2% 15%
Bekasi, telah memiliki “sejarah” PMA sejak awal 1970an, dan mencatat pertumbuhan cukup bagus pada 1980-1988 pada saat tol mulai beroperasi. Keberadaan jalan tol bagi Bekasi berperan “membantu” merangsang pertumbuhan PMA, namun hanya sampai 1997.
(v)
Keberadaan jalan tol seolah-olah membuat pola kumulatif investasi PMA di 6 unit analisis (diatur berurut jarak dari Jakarta) menjadi lebih “teratur” atau “terpola”. (lihat gambar 4.1). Keteraturan ini sekaligus menunjukkan pertumbuhan yang semakin kecil sejalan dengan jarak yang semakin jauh dari Jakarta.
Dengan data-data empiris diatas, dapat disimpulkan bahwa : (1)
Keberadaan jalan tol Jakarta – Cikampek mempunyai pengaruh positif pada minat investasi di kawasan pantura Jawa Barat. Hal ini terbukti dengan peningkatan sangat tajam pertumbuhan investasi di derah yang dilintasi secara fisik (Bekasi, Karawang,
53
dan Purwakarta), serta mulai bergeraknya minat ke arah daerah yang didekatkan ke pusat pertumbuhan dengan adanya jalan tol tersebut (Subang, Indramayu, Cirebon). (2)
Perlu diteliti lebih lanjut, seberapa kuat pengaruh positif tersebut, dan apakah ada pengaruh keruangan (spasial) keberadaan jalan tol tersebut terhadap kinerja investasi, khususnya PMA dan PMDN.
4.4.2
Investasi dalam Perspektif Spasial
Pertanyaan seputar pengaruh spasial jalan terhadap kinerja investasi ini dipicu oleh data empiris bahwa terlihat keteraturan pola spasial minat investasi pada periode setelah adanya jalan tol. Keteraturan dimaksud, tidak tampak pada periode sebelum adanya jalan tol. Grafik 4.4 (untuk PMA) dan 4.5 (untuk PMDN) memberikan gambaran perbedaan tersebut. Pada grafik (i) terlihat ketidak teraturan pola spasialnya pada periode sebelum adanya jalan tol. Grafik (ii) menunjukkan pola keteraturan spasial setelah adanya jalan tol. Keteraturan pola spasial tersebut antara lain : Besaran gradual turun dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan ke Subang, dan kemudian naik lagi di Indramayu, dan Cirebon. Diduga, semakin jauh dari Jakarta, minat investasi semakin rendah. Ada ketimpangan pertumbuhan minat investasi ini yang semakin besar dari waktu ke waktu. Semakin dekat dengan Jakarta, pertumbuhannya semakin tinggi, jauh meninggalkan daerah yang secara spasial jauh dari Jakarta. (Jika Jakarta dipandang sebagai pusat pertumbuhan). Kumulatif PMA vs Jarak dari Jakarta (1995, 2000, 2005) Milyar USD
300 250 200 150
25 20 15 10
100
5 50
O N
U
CI RE B
AM
AY
G IN DR
SU BA N
TA AR
AN AW
PU W AK
SI KA R
BE KA
EB O N
U
IR C
RA M D IN
SU
BA
AY
NG
TA
G
W AK AR
R KA
PU
AW AN
SI KA
(i) kumulatif PMA “sebelum” tol
G
-
BE
Juta USD
Kumulatif PMA vs Jarak dari Jakarta (1982, 1987)
li
(i) kumulatif PMA “sesudah” tol
Gambar 4.4 Kumulatif PMA sebelum dan sesudah JalanTol Beroperasi
54
Keberadaan jalan tol “membantu” setiap wilayah untuk menarik investor PMDN, terlihat dengan pola yang dibentuk lebih teratur, dibandingkan dengan sebelum jalan tol ada.
Kumulatif PMDN vs "Jarak" dr Jakarta
700
Milyar Rp
Milyar Rp
PMDN vs "Jarak" dr Jakarta
600 500
60,000 50,000
400
40,000
300
30,000
200 20,000
100 -
1980
Ci re bo n
ay u
g
1985
In dr am
Su ba n
ak ar ta Pu rw
Ka ra wa ng
Be ka si
10,000 1
1987
(i) kumulatif PMDN “sebelum” tol
2
3
1990
1995
4 2000
5
6
2005
(i) kumulatif PMDN “sesudah” tol
Gambar 4.5 Kumulatif PMDN sebelum dan sesudah Beroperasinya Jalan Tol Selanjutnya, untuk melihat pengaruh spasial jalan terhadap investasi akan dipakai variabel aksesibilitas seperti telah disebutkan pada bagian awal Bab ini. Pada bagian ini akan dianalisis hubungan antara PMA (sebagai variabel dependent) – IPMA– dengan dua variabel independent : Indeks Aksesibilitas (PDRB weighted) AXPDRB, dan jumlah penduduk suatu wilayah –POP. Telah disebutkan di depan, bahwa hubungan IPMA dengan AXPDRB dan POP yang runut-waktu dan silang-tempat akan dianalisis dengan model pooled-time-series. Dengan komposisi 26 tahun data seri waktu dan 6 unit wilayah analisis (tempat), akan didapat (26x6) data observasi untuk IPMA. Dengan demikian tidak perlu dilakukan analisis satupersatu untuk setiap data tahunan atau spot waktu. Aksesibilitas, telah dijelaskan di depan adalah gambaran ukuran “keterjangkauan” suatu wilayah dalam konteks centre-periphery. Semakin besar Indeks aksesibilitas, dipahami semakin “dekat” dengan “pusat pertumbuhan” atau centre. Perhitungan aksesibilitas yang akan dipakai dalam kajian ini, seperti disebutkan diast, adalah yang dibobot PDRB (PDRB weighted), dan disebut sebagai variabel atau predictor AXPDRB.
55
Perhitungan PMA vs Aksesibilitas dimulai dari membentuk matriks fungsi hambatan atau impedansi f(cij) sebelum membobotkannya dengan PDRB sesuai dengan rumus : Ai = ∑ j PDRB j . f (cij) Matriks impedansi yang diperoleh, dibedakan antara matriks sebelum jalan tol beroperasi (1980-1988) dan sesudah beroperasi (1989-2005) seperti pada tabel berikut Tabel IV-5 (i) Matriks f(cij) sebelum jalan tol beroperasi
exp(-βcij) Bks Krw Pwk Sub Imy Crb
Bks
Krw
Pwk
Sub
Imy
Crb
1.0000 0.1979 0.0769 0.0122 0.0011 0.0002
0.1979 1.0000 0.3887 0.0614 0.0054 0.0009
0.0769 0.3887 1.0000 0.1580 0.0139 0.0023
0.0122 0.0614 0.1580 1.0000 0.0880 0.0146
0.0011 0.0054 0.0139 0.0880 1.0000 0.1653
0.0002 0.0009 0.0023 0.0146 0.1653 1.0000
(ii) Matriks f(cij) sesudah jalan tol beroperasi
exp(-βcij) Bks Krw Pwk Sub Imy Crb
Bks
Krw
Pwk
Sub
Imy
Crb
1.0000 0.4449 0.2773 0.0438 0.0039 0.0006
0.4449 1.0000 0.6234 0.0985 0.0087 0.0014
0.2773 0.6234 1.0000 0.1580 0.0139 0.0023
0.0438 0.0985 0.1580 1.0000 0.0880 0.0146
0.0039 0.0087 0.0139 0.0880 1.0000 0.1653
0.0006 0.0014 0.0023 0.0146 0.1653 1.0000
Selanjutnya dengan model aksesibilitas pada persamaan 4.4 di bagian depan, dihitung Indeks Aksesibilitas (dengan range 0- 100), mengacu pada model Peripherality Index 1 (PI-1) yang dikembangkan Schurmann & Talaat (2000). Hasil perhitungan Indeks aksesibilitas berbobot PDRB tersebut disajikan dalam tabel IV6 berikut ini.
56
Tabel IV-6 Indeks Aksesibilitas (PDRB Weighted) - AXPDRB TAHUN 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
BEKASI 33,0824 34,2081 34,1154 33,7741 37,6114 42,6940 42,6646 43,6346 44,8794 44,9072 47,3475 47,9614 51,4272 65,6273 67,8593 69,5432 86,0349 86,7281 83,7338 83,1234 100,0000 97,3884 94,8057 95,0412 96,0242 95,6818
KRW 36,8415 39,1178 38,5452 38,6565 41,1929 41,9111 41,7361 43,6715 44,6948 44,7830 47,0255 48,1101 49,4916 53,1057 53,8800 53,9485 54,2830 54,1394 52,1204 54,0655 57,6649 57,6637 61,5768 62,1719 62,9585 63,7500
PWKT 25,3753 27,4460 27,1314 27,4635 29,4825 29,4752 29,6614 31,9819 32,5145 32,5991 33,5082 34,4253 34,7969 35,8063 36,3917 36,1502 34,5927 34,6064 32,7268 33,6935 38,0263 38,1197 40,2485 40,3759 40,5421 40,8689
SUB 15,8325 17,5922 17,4959 18,0520 19,3650 18,4400 18,7426 20,0590 20,6339 21,5948 20,5667 20,4244 18,3663 13,6904 12,6928 11,8532 7,2903 7,5664 8,2848 7,3989 3,5281 3,3941 4,3722 4,3260 3,9057 3,8345
IMY 27,2984 25,4035 25,6387 25,4630 25,9867 22,0367 26,6435 21,9548 19,0368 18,1476 17,4243 16,3958 14,9487 11,4778 10,9748 10,9052 5,5971 5,3241 7,0012 7,2496 0,8435 0,7962 0,4544 0,6596 0,3654 0,0000
CRBN 39,9228 37,1520 37,4830 37,1846 30,3793 30,4475 25,9816 26,2539 26,7035 26,5312 24,8427 24,5070 24,1958 18,2897 17,2499 16,8309 13,2492 12,7295 14,7453 14,5823 6,5899 8,8095 7,7157 7,0972 6,5789 6,7841
Selanjutnya dengan analisis Regresi Linier, hendak dilihat hubungan antara Nilai Investasi (PMA) dan atau PMDN dengan Aksesibilitas Berbobot PDRB tersebut dalam persamaan : Investasi (IPMA atau IPMDN) = β0 + β1 AXPDRB – β2 POP … ….(4-4) Dengan analisis pooled-time series, didapat data dengan 156 observasi dengan 1 variabel terikat (Nilai Kumulatif PMA) dan 2 variabel bebas (Aksesibilitas berbobot PDRB dan Populasi). Rekapitulasi data yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan analisis pooled-time-series disajikan pada Lampiran III.
57
Software aplikasi statistik SPSS versi 14 dipakai untuk menghitung koefisien dan parameter regresinya, dengan Indeks Aksesibilitas dan Populasi sebagai predictor dan (1) Investasi (PMA) serta
(2) Investasi (PMDN) sebagai respons. Hasil analisis dan
interpretasinya disajikan pada bagian berikut ini. 4.4.2.1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan Aksesibilitas Hasil keluaran pengolahan data dengan SPSS versi 14, ditunjukkan pada Lampiran III, khususnya Lampiran III-1 hasil pengolahan data untuk PMA, sedangkan Lampiran III-2 untuk PMDN. Keluaran tersebut bisa diinterpretasikan sebagai berikut : Pada analisis regresi untuk PMA tersebut, didapat nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,788, yang berarti 78,8% dari variance “Investasi PMA” dapat dijelaskan oleh model diatas. Dengan demikian model ini secara keseluruhan mampu menjelaskan hubungan variabel-variabelnya. Dari tabel ANOVA ditemukan bahwa persamaan regresinya secara statistik sangat signifikan dengan nilai F=265,239 untuk n-k-1 = 153 dan P-value = 0,000 yang jauh lebih kecil dari 0,05. Untuk melihat signifikansi masing-masing koefisien regresi digunakan hasil uji statistik t (uji t).
Untuk variabel Indeks Aksesibilitas (PDRB weighted) dilihat
dengan menguji β1 : Ho : β1 = 0 terhadap H1 : β1 ≠ 0. Hasil perhitungan, dari hasil diatas dapat dilihat bahwa nilai uji-t adalah t = 14,304 dengan P-value = 0. Hal ini merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β1 = 0. Sementara itu, untuk variabel penduduk, dilihat dari β2 : Ho : β2 = 0 terhadap H1 : β2 ≠ 0. Dari hasil perhitungandidapat nilai uji-t adalah t = 8,074 dengan P-value = 0. Hal ini juga merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β2 = 0. Dengan demikian, persamaan hasil analisis yang diajukan adalah : IPMA = -2480.126 + 60.368 AXPDRB + 1.104 POP
……………. …. (4-5)
Kolinieritas persamaan regresi ini bisa dilihat dari nilai VIF di tabel Coefficient, yang bernilai 1,363 masih bisa dianggap tidak terjadi multicollinearity, atau lebih tepatnya hanya low collinearity. Sementara dari Normal Probability Plot juga terlihat bahwa 58
titik-titik data membentuk pola linear sehingga masih konsisten dengan distribusi normal. Residual pada hasil regresi yang didapat juga diindikasikan mempunyai variance konstan (homoscedasticity), yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya pola tertentu pada Scatterplot antara standardized residual dan predicted value. Terlihat ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas suatu wilayah dengan investasi yang bisa ditariknya. Setiap perbedaan indeks aksesibilitas satu point pada suatu waktu, akan membuat perbedaan kumulatif investasi sebesar 60,368 juta US dollar pada waktu tersebut.. 4.4.2.2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Aksesibilitas Metode perhitungan dan interpretasi yang serupa dapat diterapkan juga untuk PMDN, dengan hasil perhitungan disajikan dalam bentuk output seperti disajikan pada Lampiran III bagian b. Interpretasi atas hasil tersebut adalah : Pada analisis regresi untuk PMA tersebut, didapat nilai koefisien determinant R2 sebesar 0,512, yang berarti “hanya” 51,2% dari variance “Investasi PMDN” dapat dijelaskan oleh model diatas. Sementara dari tabel ANOVA diatas diindikasikan bahwa regresi secara statistic sangat signifikan dengan nilai F = 130,232 untuk derajad kebebasan 153 dan P-value = 0,000 yang jauh lebih kecil dari 0,05. Untuk menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi digunakan uji statistik t (uji t). Untuk menguji β1 : Ho : β1 = 0 terhadap H1 : β1 ≠ 0. Hasil perhitungan, dari tabel ANOVA dapat dilihat bahwa nilai uji-t adalah t = 8,249 dengan P-value = 0.Hal ini merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β1 = 0. Sementara itu, untuk variabel penduduk, dilihat dari β2 : Ho : β2 = 0 terhadap H1 : β2 ≠ 0. Dari hasil perhitungandidapat nilai uji-t adalah t = 7,621 dengan P-value = 0. Hal ini juga merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β2 = 0. Dengan demikian, persamaan hasil analisis yang diajukan adalah : IPMDN = - 446,828 + 10.342 AXPDRB + 0,309 POP
……………(4-6)
Kolonieritas persamaan regresi ini bisa dilihat dari nilai VIF di tabel Coefficient, yang bernilai 1,363 masih bisa dianggap tidak terjadi multicollinearity, atau lebih tepatnya
59
hanya low collinearity. Sementara dari Normal Probability Plot juga terlihat bahwa titiktitik data membentuk pola linear sehingga masih konsisten dengan distribusi normal. Residual pada hasil regresi yang didapat juga diindikasikan mempunyai variance konstan (homoscedasticity), yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya pola tertentu pada Scatterplot antara standardized residual dan predicted value. Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara aksesibilitas suatu wilayah dengan investasi yang bisa ditariknya. Setiap perbedaan indeks aksesibilitas satu point antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, akan membuat perbedaan kumulatif investasi sebesar 10,342 milyar rupiah. Hasil tersebut dapat membantu menjelaskan bahwa tarikan investasi ke Bekasi lebih besar daripada tarikan ke wilayah yang lebih jauh dari Jakarta, antara lain karena aksesibilitas wilayah Bekasi lebih besar dari daerah lainnya tersebut. Hal yang juga harus diperhatikan adalah ketimpangan atau gap kumulatif investasi PMA dan PMDN yang semakin besar antara Bekasi (dekat pusat pertumbuhan) dengan Subang – Indramayu – Cirebon (jauh dari pusat pertumbuhan). Ketimpangan ini dapat dijelaskan dengan ketimpangan aksesibilitas yang semakin berkembang dari waktu ke waktu seperti ditunjukkan pada grafik berikut ini.
120 100 Bks 80
Krw Pwk
60
Sub Imy
40
Crb 20 0 1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Grafik 4.6 Perkembangan Indeks Aksesibilitas Jika sebelum adanya jalan tol perbedaan indeks aksesibilitas antar daerah masih kecil, maka perbedaan indeks tersebut semakin melebar dengan adanya jalan tol.
60
Sementara dari hasil regresi diketahui bahwa pengaruh indeks aksesibilitas (berbobot PDRB) terhadap minat investasi cukup besar. Hal ini membawa pada kesimpulan antara lain : (1) Jalan tol memberi manfaat membuka isolasi daerah, dan terlihat dari adanya minat investasi di daerah dengan dibukanya jalan tol (Subang dan Indramayu pada periode 1988-1997). (2) Hasil analisis menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing (PMA) lebih sensitif terhadap aspek keberadaan jalan raya / highway, dibandingkan dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) (3) Paradoks dengan manfaat tersebut, keberadaan jalan tol juga mempunyai dampak memperlebar ketimpangan antara wilayah yang dekat dengan pusat pertumbuhan (centre) dengan yang jauh (periphery). (4) Ketimpangan spasial ini akan semakin lebar dan berlanjut, jika kebijakan pembangunan regional yang dijalankan mengandalkan pertumbuhan organik yang saat ini ada.
61