Bab IV Analisis
Setelah dideskripsikan aktor-aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan pemeriksaan reguler tahun anggaran 2007, tahap selanjutnya adalah menganalisis proses pelaksanaan pengawasan dengan melihat relasi-relasi yang terbentuk dari hasil wawancara dan wacana yang berkembang. Dari tahapan pemeriksaan tersebut akan dilakukan penelusuran dan pemaknaan proses pemeriksaan pada tiap tahapnya. Kemudian hasilnya akan diinterpretasikan, dan hasil interpretasi tersebut diharapkan dapat menjelaskan dampak perubahan institusi pengawasan hubungannya dengan tata kelola pemerintahan.
IV.1 Proses pemeriksaan di Kecamatan Playen Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam institusi pengawasan, baik peraturan perundangan maupun sisi kelembagaannya sebagai implikasi otonomi daerah, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana perubahan tersebut berpengaruh terhadap tata kelola di kecamatan. Seperti gambaran pada bab sebelumnya, perubahan insitusi pengawasan ini meliputi perubahan dari sisi kelembagaan dan perubahan dari pola pemeriksaan yang sudah dijalankan. Sebelum otonomi pengawasan dilakukan secara parsial, sepotong-potong hanya pada bagian-bagian tertentu. Setelah otonomi model pengawasan berubah menjadi komprehensif dengan beberapa aspek pemeriksaan yang bertambah. IV.1.1 Tata kelola di kecamatan Kecamatan merupakan ujung tombak pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Tugas utamanya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam berbagai bidang. Di bidang administrasi kependudukan, menerbitkan KTP (kartu tanda penduduk), kartu keluarga, pindah penduduk dan lain sebagainya. Di bidang perekonomian memberikan pembinaan pada kelompok UKM, memprakarsai terbentuknya kelompok UKM baru, kelompok tani, kelompok ternak dan lain-lain. Di bidang pemerintahan desa, memberikan pembinaan administrasi pada perangkat desa, memfasilitasi musyawarah
64
pembangunan desa (musrenbangdes), memprakarsai musrenbang di tingkat Kecamatan dan lain sebagainya. Di bidang kesejahteraan rakyat, memfasilitasi forum
umat
beragama
se-Kecamatan,
pelayanan
pengurusan
askeskin,
memberikan dispensasi pernikahan, mendata masyarakat miskin di Kecamatan dan lain-lain. Di bidang keamanan dan ketertiban, memberikan surat pengantar kelakuan baik, berkoordinasi dengan aparat keamanan dalam menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah Kecamatan dan lain sebagainya. Dari uraian sebagian tugas kecamatan tersebut dapat dilihat bahwa Kecamatan merupakan institusi vital dalam proses pembangunan. Tata kelola yang harus dilaksanakan kompleks dengan berbagai aktor yang terlibat. Semua aktor tersebut mempunyai nilai-nilai yang harus dipenuhi, seperti pelayanan KTP yang cepat dan murah, pelayanan surat keterangan yang cepat, merasa aman dari gangguan kemanan, pemberian bantuan kepada UKM dan lain sebagainya. Meskipun tugas yang diemban oleh Kecamatan begitu banyak dan kompleks namun karena keterbatasan DAU sebagai sumber pemasukan APBD, maka dana yang dikelola kecamatan belum sebanding dengan beban tugasnya. Oleh karenanya, dengan dana yang sedikit tersebut aparat Kecamatan harus bisa memanfaatkan dengan baik agar proses pembangunan tetap bisa berjalan lancar. Kecamatan Playen seperti telah dideskripsikan pada bab III, merupakan salah satu kecamatan terbesar di Kabupaten Gunungkidul. Mempunyai 13 Desa di dalam wilayah kerjanya, luas wilayah 105,26 km2 dengan jumlah populasi 52.222 penduduk. Dipimpin oleh seorang Camat dibantu oleh Sekreatris Kecamatan, Kepala Seksi, staf Kecamatan dan perangkat pendukung lainya. Birokrasi patrialisme sangat kental terasa di Kecamatan Playen, Camat merupakan sosok yang paling dihormati, sementara antara atasan dan bawahan terlihat perbedaan statusnya dari cara bicara dengan atasan, tingkah laku staf ketika menghadap atasan dan kepatuhan dalam menaati perintah. Meskipun demikian hal tersebut membentuk sebuah ikatan kekeluargaan yang kuat, dapat dilihat dari kerjasama antar masing-masing seksi, kerjasama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bahkan sampai ke kehidupan keluargapun menjadi perhatian. Misalnya, ada anggota keluarga dari staf kecamatan yang sakit, dengan serta
65
merta semua aparat kecamatan akan menengok dan memberikan bantuan, meskipun dengan cara iuran. Dapat dikatakan bahwa kapital sosial dalam lingkungan kerja kecamatan tinggi. IV.1.2 Perencanaan pemeriksaan Pada proses perencanaan pemeriksaan di Kecamatan Playen terjadi sirkulasi objek-objek yaitu dokumentasi hasil pemeriksaan pada pemeriksaan tahun sebelumnya dan dokumen surat pertanggungjawaban (SPJ) yang masuk tiap bulan. Dokumen-dokumen ini kembali dibuka dan dipelajari oleh auditor, selain itu auditor juga mempelajari aturan-aturan perundangan yang baru untuk memperkirakan dan menyelidiki celah-celah penyimpangan yang mungkin terjadi. Dari hasil pembelajaran tersebut akan tersusun strategi pelaksanaan pemeriksaan untuk Kecamatan Playen. Proses selanjutnya adalah mengolah data-data hasil pemeriksaan kemudian menyimpulkan ada tidaknya penyimpangan yang terjadi. Kemudian disampaikan rekomendasi untuk perbaikan-perbaikan yang harus dilaksanakan. Dan salah satu tujuan pengawasan adalah perubahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Seperti tergambar pada ilustrasi di bawah ini;
Peraturan Perundangan, dokumen perencanaan, laporan pertanggung jawaban
Auditor
Kinerja Kecamatan
Hasil pemeriksaan
Tata kelola yang baik
Gambar IV.1 Pola pengawasan
66
Rekomendasi auditor
IV.1.3 Pelaksanaan pemeriksaan Pada pelaksanaan pemeriksaan di Kecamatan Playen aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tidak terlalu banyak. Disebabkan jumlah personel di Kecamatan Playen yang sedikit sesuai dengan struktur organisasi yang ada. Meskipun demikian aspek pemeriksaan yang menjadi sasarannya tetap sama yaitu aspek keuangan, sarana prasarana, sumberdaya manusia dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. administrasi Keuangan Tim Pemeriksa
administrasi SDM
Kecamatan Playen dokumen tupoksi
LHP
administrasi sarana prasarana
Gambar IV.2 Proses pelaksanaan pemeriksaan LHP merupakan produk dari pemeriksaan yang tampak secara fisik, sedangkan produk lainya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada objek pemeriksaan itu sendiri. Dan selama ini perubahan-perubahan perilaku tata kelola pemerintahan pada objek pemeriksaan cenderung kurang diperhatikan. Para pengawas lebih berfokus pada pencarian data untuk isi LHP yang harus diterbitkan di akhir pemeriksaan. Contoh bentuk LHP seperti terlihat pada gambar di bawah ini;
Gambar IV.3 contoh bentuk LHP
67
Pada pelaksanaan pemeriksaan terjadi interaksi antar aktor-aktor antara lain yaitu auditor, ketua tim pemeriksaan, camat, mantri pajak, kepala seksi, pemegang kas kecamatan, pengelola sarana prasarana kecamatan dan masyarakat umum. Interaksi-interaksi tersebut akan memperlihatkan bagaimana auditor berusaha mengarahkan tata kelola pemerintahan di Kecamatan.
Pemeriksaan Keuangan Pada pemeriksaan keuangan ini Undang-undang yang digunakan adalah Peraturan Mendagri 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Perda Nomor 13 tahun 2005 tentang pedoman penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD Kabupaten Gunungkidul. Awalnya pemahaman pemegang kas dalam memahami peraturan perundangan agak kurang, karena belum mengikuti diklat keuangan. Penguasaan pengetahuan pemegang kas dalam menyusun surat pertanggungjawaban juga belum mencerminkan tertibnya administrasi keuangan. Kesulitan-kesulitan tersebut menunjukan tidak terjadinya sinergi antara peraturan perundangan dengan implementasinya dalam pengelolaan keuangan di Kecamatan. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara dengan pengelola keuangan di Kecamatan (pemegang kas) sebagai berikut; ”Sebenarnya saya enggan jadi pemegang kas, aturan yang harus dilaksanakan untuk pengelolaannya banyak, rumit dan sekarang bisa berubah-rubah tanpa ada sosialisasi dahulu, apalagi diklat pemegang kas terbatas, jadi saya mengelola uang daerah sesuai kemampuan saya saja” (wawancara, Oktober 2007). Dengan kemampuan pengelolaan keuangan yang dimiliki oleh auditor, hambatanhambatan tersebut bisa diatasi. Bersama-sama dengan pemegang kas, auditor menata administrasi keuangan dan memberikan petunjuk bagaimana menyusun SPJ yang benar. Sehingga aliran keuangan yang tidak tertib menjadi semakin baik dan lebih transparan. Penggunaannya pun bisa dipertanggungjawabkan melalui berbagai penyediaan bukti-bukti penggunaan anggaran. Berikut ini adalah wawancara pada saat pemeriksaan masih berlangsung; ”Sekarang auditornya tidak galak seperti dulu, yang hanya bisa nyuruh ini dan itu! Saya sangat terbantu mas, jadi tahu bagaimana tata buku keuangan yang benar dan nyusun SPJ yang baik meskipun ada kesalahan yang telah saya buat sebelumnya tapi saya jadi tau mana yang benar sekarang” (wawancara, Oktober 2007)
68
Kehadiran pengawas dalam pemeriksaan di Kecamatan bisa diterima dengan baik oleh aparat Kecamatan. Hal ini karena para pengawas tidak lagi menimbulkan kesan yang ’sok kuasa’. Tetapi dengan pendekatan kekeluargaan ternyata bisa menjalin hubungan yang bermediasi sehingga tujuan pengawasan bisa tercapai. Penolakan dari aparat di Kecamatan bisa direduksi dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses pengawasan. Gambar di bawah ini menunjukan terjadinya interaksi antara auditor dengan pemegang kas;
Gambar. IV.4 Pemeriksaan keuangan Setelah melakukan pemeriksaan pada pemegang kas kecamatan, pemeriksaan kemudian dilanjutkan pada mantri pajak. Pada pemeriksaan ini terjadi interaksi antara auditor, mantri pajak dan pemungut pajak desa. Mantri pajak mempunyai tugas memungut pajak bumi dan bangunan (PBB) dari desa-desa di dalam wilayah kecamatan. Mantri pajak menjadi terbantu dengan pemeriksaan ini, mantri pajak menyiapkan data penunggak pajak dan kemudian dilakukan klarifikasi bersama untuk menagihnya. Mantri pajak dan staf pemungut pajak telah bekerja keras untuk memungut pajak karena kesadaran dalam melaksanakan tugasnya. Berikut ini hasil wawancara dengan Mantri Pajak Kecamatan Playen; ”Masyarakat rata-rata sudah sadar akan kewajibannya biasanya mereka tepat waktu dalam membayar pajak tetapi kalau sudah sampai ke perangkat desa, itu yang susah! Karena desakan kebutuhan maka dipakai dulu uang pajak, nah pada saat pembayaran mereka tidak bisa
69
mengembalikan, alasannya bisa macam-macam kalau sudah seperti itu” (wawancara, Oktober 2007) Masyarakat sebagai wajib pajak mempunyai penafsiran yang berbeda-beda pula, tetapi dengan pemberian pemahaman yang dilakukan oleh petugas pajak kecamatan penafsiran tersebut bisa berubah. Kehadiran pengawas mempunyai tujuan yang sama dengan petugas pemungut pajak yaitu bagaimana menyadarkan masyarakat untuk membayar pajak tepat waktu. Disisi lain kehadiran pengawas juga berusaha mencegah terjadinya penyimpangan penggunaan pajak baik oleh petugas kecamatan maupun petugas pungut desa. Dari hasil pemeriksaan terjadi penyimpangan pajak yang berulang setiap tahun (dari tahun 1995 s/d sekarang), penyimpangan tersebut dilakukan oleh Perangkat Desa dan petugas pungutnya (lihat hasil pemeriksaan Kecamatan Playen pada Bab III). Hal tersebut menunjukan bahwa kehadiran pengawas tidak bisa berbuat banyak dalam menangani penyimpangan penggunaan pajak. Disebabkan tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggaran yang dilakukan oleh perangkat desa. Akhirnya yang terjadi adalah penunggakan pajak yang terus berulang. Institusi Kantor Pajak yang mengurusi Pajak Bumi dan Bangunan jarang melakukan koordinasi dengan petugas pungut desa, perangkat Kecamatan dan Inspektorat.
Pemeriksaan Sumber Daya Manusia Pada pengelolaan sumber daya manusia atau sering disebut pengelolaan kepegawaian, kendala muncul dari pengurus kepegawaian yang kesulitan dalam urusan pengarsipan maupun penyimpanan dokumen. Kendala lainnya adalah pedoman pengelolaan sering berubah-rubah tanpa adanya sosialisasi yang memadai. Pernyataan ini tercermin dari petikan hasil wawancaara dengan pengurus kepegawaian Kecamatan Playen Bp. Suwarto sebagai berikut; ”Nek kula mung manut sing pun enten mawon kok mas, dadi mboten repot damel malih sing marahi bingung niku aturane sok berubah tanpo sosialisasi ten kecamatan. Lha ngoten niku nopo mboten mbingungke coba? Wong-wong sing nggawe aturan niku mboten ngerti kahanan teng lapangan dadi sok gawe aturan sing sakpenake dhewe” (wawancara; Oktober 2007)
70
Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya; ’kalau saya hanya menurut yang sudah ada saja kok, jadi tidak repot membuat lagi (maksudnya formulir-formulir isian DUK, penjagaaan kenaikan pangkat, penjagaaan kenaikan gaji dll) yang membuat bingung itu peraturan kepegawaian sering berubah tanpa sosialisasi di Kecamatan. Hal seperti itu apa tidak membuat bingung? Orang-orang yang membuat peraturan kepegawaian itu tidak tahu kondisi di lapangan jadi membuat aturan kadang seenaknya sendiri’. Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada kemauan yang kuat untuk bekerja dengan baik, tetapi sebagai orang yang sudah berumur (pengurus kepegawaian berumur 50 th), dan dengan pendidikan hanya sampai SMP (secara formal) yang dilanjutkan dengan ujian persamaan SMA akan terjadi kesulitan untuk mengikuti perkembangan peraturan-peraturan yang cenderung berubah-rubah dengan cepat. Sebenarnya dengan arsip yang tertata, pemberian kode yang jelas, daftar kenaikan pangkat, urutan kepangkatan, penjagaaan kenaikan gaji berkala yang selalu diperiksa akan memudahkan dalam bekerja. Pengurus kepegawaianpun tidak akan dibingunkan ketika harus mencari siapa yang harus sudah naik pangkat, naik gaji, mendapatkan tunjangan anak dan istri dan mendapatkan hak-hak kepegawaian lainnya. Pada pemeriksaan kepegawaian tujuan yang ingin dicapai tidak hanya sekedar mencari-cari kesalahan, tetapi lebih menekankan unsur pembinaan agar pengelolaan kepegawaian menjadi lebih baik. Kehadiran pengawas selama satu bulan di Kecamatan telah dapat merubah administrasi kepegawaian menjadi lebih tertib, pengurus kepegawaian dibimbing dalam membuat buku-buku register dan diajari cara pengisiannya. Ditunjukan beberapa formulir yang harus dikerjakan, dan diajari cara pengisiannya. Dengan berbekal kemampuan administrasi kepegawaian yang dikuasai dan penguasaan materi peraturan perundangan kepegawaian, proses alih pengetahuan berjalan tanpa hambatan karena pengurus kepegawaian menerima dengan senang hati. Interaksi yang terbangun berjalan dengan baik karena didekati dengan rasa kekeluargaan dan partisipasi bukan dengan arogansi akan kekuasaan yang dimilik oleh auditor.
71
Pemeriksaan Sarana dan Prasarana Pedoman yang digunakan adalah Perda tentang Pengurusan Barang Daerah dan Keppres 80 Tahun 2005 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah jo Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006. Meskipun kecamatan hanya institusi yang kecil tetapi peraturan perundangan yang digunakan sama dengan peraturan perundangan untuk
institusi pemerintahan yang besar. Permasalahan yang
muncul hampir sama dengan aspek yang lain yaitu kurangnya pemahaman isi dokumen oleh pengurus barang yang menyebabkan terjadinya penyimpangan. Ditambah lagi pengurus barang kurang disiplin mengadministrasikan barangbarang yang dikelolannya. Dalam hal pemanfaatan tidak terjadi hambatan karena pada dasarnya seluruh karyawan mengetahui fungsi barang-barang tersebut. Ilustrasinya yaitu, komputer digunakan untuk mengetik naskah surat dan entri data, buku digunakan untuk mencatat dan lain sebagainya. Dari sisi kuantitas selalu menjadi polemik dalam pemanfaatan sarana dan prasarana yang tercermin dari hasil petikan wawancara dengan salah satu karyawan kecamatan; ”Kalau di kecamatan harus hemat segala hal, karena semua juga terbatas. Lain seperti sampeyan (anda:jw) di Inspektorat semua serba lebih jadi tidak pernah kekurangan fasilitas. (wawancara ,Oktober 2007) Pemahaman mengenai pemenuhan kebutuhan fasilitas kantor ternyata berbedabeda meskipun dalam satu kantor, berikut pernyataan yang membuktikan hal tersebut; ”Sebenarnya fasilitas, seperti alat tulis menurut saya sudah cukup karena beban tugas di kecamatan khususnya dalam hal surat menyurat tidak seperti di Dinas Teknis. Tetapi untuk fasilitas operasional menurut saya masih kurang, karena mobilitas ke desa-desa cukup tinggi apalagi jaraknya rata-rata jauh” (wawancara, Oktober 2007) Lain lagi tanggapan pemeriksa dalam melihat kenyataan tersebut di kecamatan, berikut hasil wawancara dengan salah seorang auditor; ”Untuk pemberian sarana dan prasarana, tim anggaran telah memperhitungkan jumlah kebutuhan khususnya alat tulis menulis sesuai dengan beban kerjanya, jadi saya rasa jika dibelikan sesuai dengan anggaranya bahkan bisa sisa. Hanya saja yang tahu jumlah anggaran
72
tidak semua staf kecamatan, mereka kan tinggal memakai hasil pembelian alat tulis saja!” (wawancara, Oktober 2007) Sesuai dengan tugasnya untuk menilai kesesuaian rencana dan pelaksanaannya, auditor berupaya melihat terjadinya penyimpangan atau tidak, di samping harus memberikan saran perbaikan-perbaikan. Pada pemeriksaan sarana dan prasarana Kecamatan memang ditemukan adanya beberapa penyimpangan (lihat tabel temuan pada bab III), tetapi di samping itu ada hal yang lebih penting yaitu adanya pemahaman baru dari pengurus barang untuk lebih cermat dalam mengelola sarana prasarana yang menjadi tanggungjawabnya. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan dan pengisian buku-buku register barang persediaan maupun barang habis pakai, inventarisasi barang daerah dan bukti pembelian barang dengan kuitansi yang benar. Dari deskripsi tersebut dapat dikatakan bahwa kehadiran auditor menimbulkan dampak yang positif bagi pengelolaan sarana dan prasarana di Kecamatan Playen. Keberhasilan ini ditentukan oleh kemampuan auditor dalam memahami dan menguasai peraturan
perundangan tentang
pengelolaan sarana dan prasarana berikut penerapannya di lapangan. Kemampuan mengkomunikasikan saran-saran yang harus dilaksanakan oleh objek pemeriksaan juga sangat membantu proses perubahan tersebut.
Pemeriksaan Pelaksanaan Tupoksi Pada aspek pelaksanaan tupoksi yang dinilai oleh pemeriksa adalah aktivitas dari para pemegang jabatan di Kecamatan. Apakah mereka telah menjalankan tugas sesuai dengan amanat Undang-undang yaitu Perda mengenai tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan oleh Bupati. Apabila belum sesuai maka tugas pemeriksa untuk meluruskannya, oleh karena itu diperlukan penguasaan materi perda mengenai tupoksi dari masing –masing pejabat di Kecamatan. Permasalahan yang timbul adalah jika pejabat terlalu terpaku dengan tulisan dalam dokumen Perda justru akan ’membunuh’ kreatifitas dalam bekerja. Semuanya menjadi serba kaku harus sesuai aturan. Padahal pekerjaaan yang dilakukan menuntut kratifitas karena berhubungan langsung dengan masyarakat yang juga mempunyai kepentingan masing-masing. Sementara, jika terlalu kreatif
73
malah dianggap melanggar aturan. Seperti yang terekam dari hasil wawancara dengan Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Bp. L. Wuryatmo berikut ini; ”Saya tahu aturannya menyebutkan harus begini dan begitu, tetapi masyarakat itu kadang tidak tahu apa-apa tentang aturan birokrasi, karena sosialisasinya memang tidak sampai ke masyarakat. Jadi saya harus bisa menyesuaikan bagaimana melayani masyarakat dengan baik tanpa melanggar aturan yang digariskan dari Kabupaten” (wawancara, Oktober 2007) Pernyataan tersebut mendapat dukungan dari pemeriksa sendiri, berikut ini hasil wawancara dengan auditor yang memeriksa aspek tupoksi; ”Memang benar, kenyataan dilapangan seringkali membuat kita harus bijak dalam mengambil keputusan, sehingga masyarakat puas dengan pelayanan yang kita berikan sementara kita sendiri tidak melanggar aturan. Nah, itu yang sulit!” (wawancara, Oktober 2007) Dari hasil pengamatan penulis dan pernyataan-pernyataan di atas pada aspek pemeriksaan tupoksi auditor berhasil membangun sebuah pemahaman bahwa dalam bekerja harus lebih mementingkan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap memperhatikan kerangka aturan perundangan yang berlaku. Hal tersebut dapat dijalankan dengan baik oleh para pejabat di kecamatan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya. IV.1.4 Perubahan tata kelola di kecamatan Pada penataan administrasi keuangan, auditor menemui adanya permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan kesulitan pemahaman dalam menyusun SPJ, mengisi buku register,dan mengisi BKU. Untuk mengatasi permasalahan tersebut selain membantu pembenahannya, auditor berhasil meyakinkan Camat Playen dengan memberikan kemudahan dalam mengirimkan bendahara untuk mengikuti Diklat Keuangan Daerah. Camat Playen membuat surat pengajuan, sementara itu auditor melobi kantor Diklat agar pengajuan tersebut disetujui. Karena dianggap memenuhi syarat dan lobi dari Inspektorat maka bendahara Kecamatan bisa mengikuti diklat Diklat Keuangan Daerah. Kemudian ketika ditemui ada jabatan yang kosong di Kecamatan yaitu Kasi Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), auditor mengusulkan kepada Camat
74
Playen untuk membuat surat pengajuan pengisian jabatan kepada Bupati. Camat juga disarankan untuk mempromosikan pegawai dari Kecamatan yang memenuhi kriteria. Inspektorat menunjukan fungsi dari DUK (daftar urut kepangkatan) yang dibuat, sehingga promosi jabatan bisa dilaksanakan dengan melihat DUK, meskipun tetap harus memenuhi kriteria yang disyaratkan. Dengan dukungan dari Inspektorat yang juga sebagai anggota tim Baperjakat (badan pertimbangan jabatan), jabatan tersebut berhasil diduduki oleh karyawan Kecamatan yang diusulkan. Hikmah dari kejadian tersebut, akhirnya dengan kesadaran sendiri administrasi kepegawaian dibenahi kembali, DUK selalu diisi dengan tertib, dan arsip-arsip kepegawain disusun dan ditempatkan pada lemari khusus. Begitu juga dengan pelayanan kepada masyarakat, untuk bisa memberikan pelayanan yang prima dibutuhkan pegawai yang terampil dan sarana pendukung (komputer) dengan sofware yang sesuai. Persoalannya adalah Kecamatan belum mempunyai program khusus untuk pembuatan KTP. Dalam memecahkan masalah ini, auditor tidak hanya menyuruh agar pelayanan KTP dipercepat sementara tidak memberikan solusinya. Setelah menghubungi Kecamatan yang sudah menerapkan sistem komputerisasi KTP akhirnya auditor berhasil mendapatkan sofware dimaksud. Sedangkan Camat Playen memberikan respon yang cukup baik dengan mengirimkan karyawan bagian pelayanan umum untuk belajar mengoperasikan sofware tersebut di Kecamatan lain yang sudah menggunakannya. Setelah serangkaian proses pemeriksaan dilalui, dari pengamatan yang dilakukan menunjukan terjadinya perubahan-perubahan tata kelola pemerintahan di Kecamatan. Perubahan tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja tanpa proses yang panjang melalui negoisasi yang alot dan berliku. Dapat dikatakan bahwa institusi pengawasan berfungsi dengan baik sehingga perannya dapat dirasakan dengan adanya perubahan-perubahan tata kelola yang terjadi di Kecamatan. Hal tersebut ditunjukan dengan pengelolaan keuangan yang bisa dipantau melalui laporan keuangan, SPJ, dan pengisian buku-buku pembantu keuangan, sehingga menjadi transparan dan akuntabel. Pengelolaan kepegawaian yang bisa meningkatkan kinerja organisasi dengan memberikan pelayanan atas hak-hak
75
maupun kewajiban pegawai. Penggunaan sarana dan prasarana yang bisa dipertanggunjawabkan, dan pelaksanaan tugas yang diarahkan untuk pelayanan masyarakat. Pelayanan KTP yang cepat (30 menit), merupakan salah satu buktinya. Sebagian nilai-nilai yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat terpenuhi, meskipun masih banyak juga nilai-nilai yang belum terakomodir akan tetapi secara bertahap perubahan tersebut sedikit demi sedikit telah mengarah kepada pemenuhan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara jika dilihat perubahan yang terjadi pasca pemeriksaan di Kecamatan Playen dari sudut pandang prinsip-prinsip good governance dapat dilihat pada tabel di bawah ini; Tabel IV.1 Perubahan tata kelola Kecamatan Aspek yang diperiksa Prinsip good governance Keuangan SDM Sarpras √ 1. Partisipasi √ √ √ 2. Transparansi √ √ √ 3. Akuntabilitas 4. Penegakan Hukum √ 5. Responsif √ √ 6. Berorientasi pada kepentingan masyarakat √ √ √ 7. Efisiensi dan efektivitas √ √ 8. Keadilan Keterangan; : belum berubah kearah prinsip good governance √ : sudah berubah kearah prinsip good governance No
Tupoksi √ √ √ √ √
√
IV.1.5 Rangkuman Dari serangkaian proses pemeriksaan di Kecamatan Playen di atas dapat dirangkum beberapa hal dalam perpektif konsep jaringan-aktor; -
Terjadi partisipasi aktif dari aparat di kecamatan dalam proses pemeriksaan. Disebabkan adanya kreativitas-kreativitas dari auditor dalam menjalankan tugasnya seperti membantu pengusulan Diklat Keuangan, pencarian sofware dan membantu pengisian jabatan yang kosong. Konsepsi awal pemeriksaan
76
memang menekankan pada independensi dari institusi pengawasan akan tetapi independensi ini yang menyebabkan terjadi gap antara pemeriksa dengan yang diperiksa. Pada proses pemeriksaan di Kecamatan Playen gap ini dapat direduksi dengan melibatkan aktor-aktor yang ada di Kecamatan untuk membenahi kinerja mereka sendiri. Aparat pengawas hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan saran tetapi pilihan-pilihan untuk melaksanakan diserahkan kepada Kecamatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. -
Kemampuan komunikasi yang dimiliki auditor dalam memberikan saran perbaikan
maupun
penjelasan
tentang
aturan
perundangan
mampu
memperkuat relasi yang ada. Terjalinnya komunikasi yang baik pada proses pemeriksaan berhasil membangun interaksi antara auditor dengan aparat Kecamatan. Informasi tentang penyusunan SPJ, penataan kepegawaian, pengelolaan sarana dan prasarana, dan pelaksanaan tugas yang sesuai dengan peraturan perundangan dapat ditransformasikan dengan baik. Sehingga relasi yang tadinya melemah antara aparat Kecamatan dengan acuan pelaksanaan pekerjaan (seperti BKU, buku register keuangan, DUK, buku register kenaikan pangkat, KIR, KIB, buku register barang inventaris, dan dokumen tupoksi) bisa diperkuat kembali. -
Kapital sosial yang tinggi di Kecamatan merupakan faktor pendukung terjadinya perubahan-perubahan. Kepatuhan dalam menjalankan perintah dari atasan dalam hal ini Camat sebagai pemegang kendali tata kelola di Kecamatan juga sangat mempengaruhi perubahan tersebut. Dukungan dari semua aktor-aktor di Kecamatan membuat steering yang dilakukan mendapatkan legitimasi dalam pelaksanaannya.
Deskripsi studi kasus pemeriksaan di Kecamatan Playen memperlihatkan bahwa penerapan perubahan kebijakan pengawasan komprehensif dapat diterapkan di Kecamatan. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebijakan tersebut dapat diterapkan pada institusi besar seperti kasus di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gunungkil yang dideskripsikan berikut ini.
77
IV.2 Proses pemeriksaan di Dinas Pekerjaan Umum Karena pedoman pemeriksaan yang digunakan sama, maka proses pemeriksaan di Dinas Pekerjaan Umum tidak berbeda dengan pemeriksaan di Kecamatan. Perbedaannya adalah jumlah aktor-aktor yang terlibat. Aktor yang terlibat lebih banyak sesuai dengan struktur organisasi, fasilitas dan, anggaran Dinas PU yang lebih besar dari Kecamatan. Sehingga personel pemeriksa yang diterjunkan otomatis menyesuaikan dengan keadaan tersebut. Satu aspek pemeriksaan ditangani oleh dua orang auditor, hanya aspek sumber daya manusia yang tetap ditangani oleh seorang auditor. Pada kasus berikut ini kita akan melihat bagaimana penerapan pola pemeriksaan yang sama untuk suatu institusi yang lebih kompleks. IV.2.1 Tata kelola di DPU Dinas Pekerjaan Umum sesuai dengan namanya, mempunyai tugas penyediaan infrastruktur yang mendukung proses pembangunan. Penyediaan infrastruktur tersebut meliputi infrastrutur jalan dan jembatan (bina marga), sarana dan prasarana pengairan (cipta karya), penataan lingkungan kota, kebersihan lingkungan serta infrastruktur yang lainnya. Selain itu DPU juga berfungsi sebagai perencana teknis dari setiap infrastruktur yang akan dibangun. Dalam pelayanan langsung dengan masyarakat yaitu, mengeluarkan surat ijin mendirikan bangunan (IMB) dan surat ijin pemasangan reklame. Gambaran-gambaran di atas menunjukan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam tata kelolanya. Nilai-nilai yang harus diakomodir sangat kompleks karena menyangkut masyarakat seluruh Kabupaten. Misalnya penyediaan air bersih, penyediaan air untuk irigasi pertanian, pengurusan IMB yang cepat, jembatan yang memperlancar hubungan antar daerah, jalan yang mulus, gedung sekolah yang bagus, dan lain sebagainya. Sebagai institusi penyedia infrastruktur, struktur organisasinyapun menyesuaikan dengan kompleksitas tugas yang dijalankan. Kepala Dinas dalam menjalankan tata kelola dibantu oleh Subdin-Subdin, sementara Subdin sendiri dibantu oleh Kepala Seksi, di bidang administrasi dilaksanakan oleh Kabag TU dan perangkatnya. Jumlah karyawan yang lebih dari 200 orang menimbulkan permasalahan sulitnya
78
koordinasi. Banyaknya pekerjaan yang harus dilaksanakan pada masing-masing Sub Dinas membuat interaksi antar karyawan kurang kuat. Kapital sosial pun menjadi lemah karena masing-masing disibukan dalam pekerjaannya. Ditambah dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilaksanakan di lapangan memperkuat terjadinya kondisi tersebut. Lemahnya kapital sosial dalam lingkungan kerja DPU ditunjukan pula dengan kepedulian sosial yang rendah, sebagai contoh ada diantara karyawan di DPU yang tidak mengenal karyawan lain dalam satu kantor hanya karena berlainan Subdin. Kondisi lingkungan kerja tersebut sangat berpengaruh dengan tata kelola yang dijalankan, karena dengan kurang kompaknya aktor-aktor pengendali tata kelola akan membuat proses pembangunan menjadi tidak lancar. IV.2.2 Perencanaan pemeriksaan Seperti halnya pemeriksaan di Kecamatan pada saat perencaan pemeriksaan terjadi sirkulasi objek-objek. Penelusuran kembali dokumentasi hasil pemeriksaan pada pemeriksaan tahun sebelumnya dan dokumen surat pertanggungjawaban (SPJ) yang masuk tiap bulan. Dokumen-dokumen ini kembali dibuka dan dipelajari oleh auditor, selain itu auditor juga mempelajari perubahan aturanaturan perundangan yang baru untuk memperkirakan dan meyelidiki celah-celah penyimpangan yang mungkin terjadi. Dengan mempelajari dokumen hasil pemeriksaan sebelumnya dan dokumen surat pertanggungjawaban diharapkan dapat ditemukan strategi pemeriksaan yang sesuai untuk Dinas Pekerjaan Umum. Karena strategi ini nantinya akan menentukan keberhasilan pemeriksaan itu sendiri, dalam arti hakekat pengawasan yang sesungguhnya untuk memperbaiki tata kelola baik keuangan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana maupun pelaksanaan tupoksi bisa tercapai. IV.2.3 Pelaksanaan pemeriksaan Pelaksanaan pemeriksaan pada Dinas PU ini sama dengan pemeriksaan pada Kecamatan Playen. Dari Undang-Undang yang dipergunakan maupun aspek-
79
aspek pemeriksaannya. Berikut ini adalah hasil pengamatan penulis pada saat melaksanakan penelitian;
Pemeriksaan Keuangan Aktor yang terlibat dalam pemeriksaan aspek keuangan Dinas PU lebih banyak dan kompleks. Pada tahap pengadministrasian keuangan yang berperan adalah satuan pemegang kas; bendaharawan dibantu oleh kasir, pembantu pemegang kas register, dan pembantu pemegang kas SPJ. Kemudian pada tahap penggunaan uang, aktornya berlainan lagi yaitu mulai dari Kepala Dinas, Sub Dinas, Kepala Seksi, Pembuat Komitmen sampai ke kontraktor sebagai pihak ketiga pelaksana kegiatan. Kedua hal tersebut yang menjadi perhatian utama auditor dalam melakukan pemeriksaan, menilai administrasi dan penggunaannya. Hambatan yang muncul tidak jauh beda, kemampuan dalam memahami ’aturan main’ tentang pengelolaan keuangan daerah menjadi kendala utama. Meskipun lebih banyak aktor dalam pengelolaan administrasi, tidak menjamin terjadinya kemudahan dalam pengelolaannya. Faktor koordinasi menjadi penting, sehingga kesamaan pemahaman dalam pengelolaan keuangan mutlak diperlukan. Pemahaman yang sama oleh satuan pemegang kas mesti terbentuk untuk membangun koordinasi tersebut. Pada gambar di bawah ini terlihat bagaiman pemeriksaan dilakukan anatara dua orang auditor wanita berhadapan dengan pemegang kas DPU dan pembantu pemegang kas (dua orang laki-laki):
Gambar IV.5 Pemeriksaan keuangan di DPU
80
Dalam pemeriksaan ini auditor lebih banyak bergelut dengan tumpukan SPJ yang ’menggunung’, buku-buku register, penghitungan uang di brankas, dan kalkulator penghitung yang tak lepas dari tangan. Seperti tampak pada Gambar IV.5 sebagian SPJ yang harus diperiksa oleh auditor. Kadang satu bulan ada 4 jilid SPJ. Jadi bisa dibayangkan jumlahnya jika SPJ-nya selama 10 bulan. Kecermatan menganalisis angka-angka harus dilakukan untuk mengikuti alur aliran keuangan, kemampuan di bidang keuangan sebagai pendukung utama disini. Selanjutnya pada tahap pemeriksaan fisik yaitu penelusuran atau pembuktian kegiatan fisik yang telah dilaksanakan, jejaringnya menjadi semakin kompleks. Banyaknya aktor pelaksana kegiatan dan hasil dari pelaksanaan kegiatan menambah luasnya jejaring yang harus diperiksa.
Gambar IV.6 sebagian SPJ yang harus diperiksa Dari hasil pengamatan yang dilakukan, antara auditor dengan auditan (objek yang diperiksa) tidak terjadi interaksi secara internsif. Auditor lebih banyak bekerja sendiri, meneliti SPJ yang begitu banyak dan harus menjadwalkan pemeriksaan fisiknya. Sementara Pemegang Kas juga harus menyiapkan SPJ untuk bulan berikutnya, tampaknya koordinasi antara pemegang kas dan pembantupembantunya tidak berjalan dengan baik, karena pengadministrasian keuangan dilakukan sendiri oleh pemegang kas. Dengan tidak terjadinya interaksi tersebut maka pemeriksaan yang dilakukan benar-benar hanya menilai kesesuaian apa yang
seharusnya
dilakukan
menurut
peraturan
perundangan
keuangan.
Pembenahan-pembenahan yang dilakukan tidak bisa berjalan seperti di kecamatan karena masing-masing mempunyai kesibukan sendiri. Bahkan dengan kehadiran
81
pengawas justru menghambat penyelesaian pekerjaan pemegang kas. Seharusnya ia bisa menyelesaikan pembuatan laporan keuangan tetapi karena harus melayani para pengawas maka penyelesaiannya menjadi terlambat. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh pemegang kas DPU berikut ini; ”Kalau keadaanya seperti ini saya malah tidak bisa bekerja, habis waktu saya untuk menanggapi pengawas sementara SPJ harus segera masuk untuk pencairan dana bulan berikutnya. Saya nggak menolak untuk diawasi tapi tolong dong dijadwalkan pada bulan yang tidak sibuk seperti ini.” (hasil wawancara, Oktober 2007) Dari hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa kehadiran pengawas tidak diharapkan oleh pemegang kas, meskipun mempunyai tujuan selain memeriksa yaitu untuk melakukan pembinaan dan perbaikan administrasi penggunaan anggaran yang dikelolanya. Ternyata diperlukan perencanaan yang tepat dari sisi waktu pemeriksaan, karena hal tersebut akan menentukan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan Sumber Daya Manusia Jumlah pegawai yang banyak dengan karakter sosial yang berbeda-beda menyebabkan pengurusan kepegawaian menjadi hal yang rumit. Oleh karenanya dalam struktur organisasi Dinas Pekerjaan Umum ada sub bagian tersendiri yang mengurusi kepegawaian ini. Di dalam sub bagian kepegawaian terdapat satu orang kepala sub bagian dengan 5 orang staf yang mengurusi kepegawaian secara khusus. Dalam pemeriksaan aspek SDM auditor akan memfokuskan pemeriksaan pada Sub Bagian Kepegawaian. Penempatan pegawai sesuai dengan ketrampilan, pengisian jabatan yang lowong, ketaatan pegawai terhadap aturan menjadi fokus evaluasi yang dilakukan auditor. Selain itu pemberiaan hak-hak kepegawaian seperti cuti, kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala adalah sasaran evaluasi berikutnya. Sub bagian kepegawain Dinas PU dengan pengalaman, kemampuan dan kemauan yang tinggi bisa melaksanakan tugas yang dibebankan dengan baik. Aturan-aturan hukum dipahami, buku-buku penjagaan kenaikan pangkat maupun gaji diisi dan dilakukan pengecekan secara berkala, jabatan yang lowong segera di laporkan ke
82
Badan Kepegawaian Daerah sehingga hak dan kewajiban pegawai secara administrasi tidak terjadi hambatan. Permasalahan yang muncul adalah dari buku absensi kepegawaian, pengisian daftar absen pegawai tidak tertib dengan alasan ’orang PU adalah orang lapangan’. Dengan predikat orang lapangan banyak pegawai yang mengabaikan pengisian daftar kehadiran, padahal absensi juga merupakan bagian tertib administrasi dalam sistem pemerintahan. Penempatan pegawai yang sesuai dengan ketrampilan dan kemampuannya akan membuat produktifitas organisasi menjadi semakin tinggi. Untuk DPU yang ratarata mempunyai kemampuan teknis tidak terjadi hambatan dalam penempatan pegawai. Pegawai yang mempunyai ketrampilan teknis telah ditempat pada pospos yang sesuai dengan keahliannya sedangkan pegawai dengan kemampuan administrasi yang baik ditempatkan di Bagian Tata Usaha. Tetapi muncul permasalahan baru, dikarenakan terjadi kesenjangan dalam hal kesejahteraan. Pegawai lapangan dianggap lebih sejahtera daripada pegawai Bagian Tata Usaha, hal ini disampaikan oleh sebagian pegawai tata usaha yang tidak pernah terlibat dalam pelaksanaan proyek. Berikut hasil petikan wawancara yang menunjukan hal tersebut; ”Memang DPU itu instansi yang basah, tetapi itu pada bagian-bagian tertentu saja contohnya saya di TU ya gak dapat apa-apa” (wawancara, Oktober 2007) Dari hasil pemeriksaan secara keseluruhan pada aspek SDM ini tidak terdapat temuan administrasi maupun secara substansi. Karena ketaatan pada aturan, ketertiban dalam administrasi dan pengalaman yang dimiliki oleh pengelola kepegawaian menyebabkan hambatan-hambatan dapat direduksi. Meskipun secara administrasi pemeriksa tidak terlalu banyak memberikan masukan dan mendorong ketertibannya, tetapi dengan kehadirannya mampu memberikan dorongan untuk lebih tertib lagi. Untuk kedisiplinan pegawai terutama pengisian absensi, meskipun telah dilakukan inspeksi mendadak tetapi hal tersebut hanya merubah perilaku yang bersifat sementara saja. Setelah pemeriksa pergi, maka hal yang sama berulang kembali. Hal ini disebabkan karena pola pikir yang sudah terbentuk bahwa yang penting pekerjaan selesai, toh ketika bekerja juga kadang
83
melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. Pada aspek pemeriksaan SDM ini secara keseluruhan belum bisa mengarahkan kepada tata kelola yang baik, meskipun secara administrasi sudah baik, kedisiplinan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan masih harus dibenahi lagi. Pemeriksaan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini;
Gambar IV.7 Pemeriksaan pengelolaan SDM
Pemeriksaan Sarana dan Prasarana Pada pemeriksaan sarana dan prasarana ini merupakan aspek pemeriksaan yang terberat dibanding pemeriksaan yang lainnya. Pemeriksaan dilakukan pada fasilitas yang telah ada dengan menganalisis pemanfaatannya demi menunjang ketugasan kantor. Di samping fasilitas yang telah ada, hasil pengadaan barang dan jasa pemerintah yang banyak dilakukan oleh Dinas PU menjadi target berikutnya. Hasil pengadaan barang dan jasa pemerintah inilah yang menjadi tolok ukur pembangunan infrastruktur di Kabupaten Gunungkidul. Karena seperti yang kita ketahui bahwa tugas pokok dan fungsi dinas PU secara garis besar adalah penyediaan infrastruktur fisik. Pedoman yang dipergunakan dalam pemeriksaan maupun pengelolaan barang habis pakai dan barang inventaris kantor adalah Perda tentang Pengurusan Barang Daerah. Buku-buku register, nomor inventaris, buku induk inventaris, catatan persediaan, kartu inventaris ruangan dan kuitansi pembelian alat-alat tulis kantor.
84
Yang menjadi hambatan adalah ada jejaring diluar sistem tetapi berpengaruh terhadap pengelolaan barang daerah. Sebagai contoh; pembelian alat-alat tulis kantor tidak dilakukan oleh pengelola barang tetapi oleh Kepala Sub Bagian Umum, sementara pengelola barang hanya menerima hasil pembelian dan terkadang kuitansi tidak diberikan tetapi diberikan kepada bendaharawan sebagai lampiran SPJ. Sehingga pengelola barang tidak mengetahui berapa besar jumlah uang yang dibelanjakan untuk pembelian alat tulis yang menjadi tanggungjawab dalam pengelolaannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam administrasi pengelolaan barang persediaan maupun barang inventaris. Jejaring yang lebih kompleks adalah saat pemeriksaan pengadaan barang dan jasa. Dasar yang digunakan adalah Keppres No. 80 tahun 2003 yang telah dirubah dengan Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Keberagaman dimulai pada saat proses awal pengadaan yang melibatkan banyak aktor, mulai dari pejabat pembuat komitmen, panitia lelang, sampai pada para kontraktor yang mengikuti lelang. Keberagaman berlanjut pada saat pelaksanaan proyek, kontraktor membuat dokumen kontrak yang diserahkan kepada Dinas PU, kemudian dengan pekerja dan peralatan yang dimilikinya berupaya melaksanakan pekerjaan sesuai dokumen kontrak yang dibuatnya. Peran Dinas PU adalah mengawasi jalannya pekerjaan sesuai dengan dokumen kontrak. Kemudian Inspektorat mengevaluasi semua proses yang telah dilalui sampai dengan menilai kualitas hasil pengadaaan barang dan jasa pemerintah tersebut. Untuk menilai proses pengadaan yang dipergunakan sebagai pedoman adalah Keppres dan Perpres, sedangkan untuk kualitas pekerjaan digunakan dokumen kontrak. Pengetahuan teknis auditor sangat membantu dalam menilai kualitas hasil pekerjaan dan menentukan ada tidaknya penyimpangan yang dilakukan. Pelaksanaan pemeriksaan pada barang habis pakai maupun barang inventaris kantor, belum bisa menunjukan pencapaian sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Dengan banyaknya barang-barang yang diperiksa dan waktu yang terbatas menyebabkan hasil pemeriksaan hanya berdasarkan pada sisi administrasi tanpa
85
mempertimbangkan kualitas penggunaannya. Pembenahan-pembenahan yang dilakukan tidak bisa berjalan dengan baik karena pengurus barang bekerja sendiri sementara barang-barang yang diurusnya terlalu banyak, sebenarnya untuk Dinas yang besar diperbolehkan untuk mengangkat pembantu pengurus barang tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Sementara untuk pemeriksaan pengadaan barang dan jasa, khususnya infrastruktur yang berupa pengadaan jalan, jembatan, sarana pengairan dan lain sebagainya, kebanyakan belum selesai dikerjakan bahkan ada yang masih dalam proses lelang. Pemeriksapun hanya bisa mengevaluai proyek yang telah selesai dan itupun tidak bisa semuanya dievaluasi karena waktu pemeriksaan yang terbatas. Meskipun telah mengambil sampel untuk tiap hasil proyek tetapi, sampel tersebut belum bisa mewakili kualitas proyek secara keseluruhan. Dari hasil pengamatan penulis, terjadi ketidak tepatan waktu pemeriksaan sehingga malah menghambat pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum. Sehingga tujuan pengawasan untuk pembinaan dan menilai ketaatan rencana menuju akuntabilitas kinerja seperti yang dipersyaratkan dalam good governance tidak tercapai. Di samping itu terjadi juga ketimpangan kapasitas pemeriksa dengan objek pemeriksaan. Banyak dan kompleksnya objek pemeriksaan tidak mampu ditangani oleh pemeriksa, yang jumlahnya tidak seimbang dengan objek yang harus diperiksa
Pemeriksaan Pelaksanaan Tupoksi Tujuan dari pemeriksaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) berkaitan dengan aspek sumber daya manusia yaitu peningkatan produktivitas organisasi. Diharapkan dengan tupoksi yang tepat dan diisi dengan pegawai yang kompeten di bidangnya, maka kinerja organisasi menjadi maksimal. Job description yang jelas dilakukan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih (overlapping) pekerjaan secara horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu merupakan tugas auditor untuk memberikan telaah hasil pemeriksaanya sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan Bupati dan DPRD untuk mengevaluasi kinerja dari perangkat
86
pembantunya. Pemahaman inilah yang harus dimengerti oleh objek yang diperiksa maupun auditor sendiri, sehingga proses pemeriksaan bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan informasi yang akuntabel. Pedoman yang dipergunakan dalam pemeriksaan aspek tupoksi ini adalah perda mengenai struktur organisasi dan perda tentang tugas pokok dan fungsi untuk Dinas PU. Meskipun hanya berupa lembaran-lembaran kertas tetapi dokumen tersebut mempunyai makna yang harus ditaati dan dilaksanakan. Penyebab terjadinya penyimpangan adalah kemampuan dan pemahaman aktor teknis yang lemah mengenai arti yang terkandung di balik lembaran-lembaran kertas tersebut. Meskipun dengan pendidikan yang sudah memadai untuk memaknainya tetapi ego dari pejabat yang merasa bahwa tindakan yang dilakukannya telah dianggap benar adalah faktor penyebab lainnya. Dari hasil pemeriksaan pada deskripsi di Bab III menunjukan bahwa, masih ada penyimpangan yang dilakukan (lihat tabel temuan hasil pemeriksaan pada Bab III). Hal tersebut terjadi bukan karena kesalahan internal Dinas PU, akan tetapi melibatkan institusi lain. Terjadi perbedaan persepsi pelaksanaan tugas, sehingga menimbulkan kesalahan komunikasi dengan institusi lain. Disini pembenahan yang dilakukan oleh pengawas tidak berjalan karena rekomendasi yang diberikan tidak dilaksanakan. Penyebabnya adalah auditor yang melaksanakan tugas untuk memeriksa tupoksi dianggap masih belum berpengalaman dalam pemerintahan. Faktor senioritas dan pengalaman dijadikan pedoman oleh para pejabat tersebut sehingga kurang memperhatikan pengarahan yang diberikan oleh auditor. IV.2.4 Perubahan tata kelola di DPU Pelaksanaan pemeriksaan di DPU bertolak belakang dengan deskripsi pelaksanaan pemeriksaan di Kecamatan. Dalam pemeriksaan keuangan misalnya, upaya untuk membenahi administrasi keuangan menemui hambatan karena banyaknya beban tugas sehingga administrasi kurang tertib. Mengusulkan untuk mengikuti diklat jelas tidak mungkin lagi karena bendaharawan sudah pernah mengikuti diklat keuangan. Sofware administrasi keuangan juga sudah disediakan oleh Bagian
87
Keuangan dan DPU juga sudah memilikinya. Permasalahan lainya adalah auditor lebih terfokus pada pemeriksaan SPJ yang begitu banyak, belum lagi pembuktian administrasi lewat cek fisik di lapangan, jangankan memberikan saran atau menegoisasikan alternatif pembenahan, untuk memeriksa SPJ saja waktu pemeriksaan habis tersita. Pada penataan administrasi kepegawaian, jabatan sudah tidak ada lagi yang lowong. DUK tidak banyak berguna karena jabatan diisi oleh mereka yang dekat dengan atasan. Administrasi kepegawaian telah ditata dengan baik, meskipun fungsinya tidak jelas. Tertibnya administrasi tersebut karena pengurus kepegawaian saat ini mempunyai kepedulian yang tinggi akan tugasnya. Yang menjadi permasalahan adalah apakah jika terjadi mutasi pengurus kepegawaian ke bidang lain, administrasi kepegawaian bisa tertib seperti sekarang. Untuk mengantisipasinya, auditor telah menawarkan untuk mengusulkan agar pengurus kepegawaian diangkat sebagai pejabat fungsional. Akan tetapi ditolak karena jabatan fungsional dianggap bukan jabatan yang elit, sulit untuk mencari angka kredit dan tunjangan jabatannya tidak seimbang dengan beban kerja. Sementara pembenahan pada pelayanan langsung untuk pengurusan IMB juga menemui kendala. Pengurusan IMB bisa menggunakan sofware komputer untuk pengisian formulirnnya tetapi tetap harus ada cek fisik ke tempat bangunan didirikan agar diperoleh gambar denah yang benar, karena rata-rata masyarakat tidak bisa menggambar denah rumah sesuai persyaratan yang diingikan. Pelayanan IMB tidak bisa 30 menit seperti pembuatan KTP. Solusi yang ditawarkan auditor untuk pelayanan IMB keliling tidak mendapatkan respon karena memerlukan biaya yang besar. Walhasil auditor hanya bisa melaksanakan tugas pemeriksaan untuk setoran IMB sebagai salah satu sumber PAD tanpa bisa melakukan perubahan dalam pelayanannya. Pada pemeriksaan penyediaan infrastruktur fisik juga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh auditor. Hal tersebut karena pelaksanaan pekerjaan sebagian besar masih dalam proses akibat keterlambatan pengesahan APBD. Yang mungkin
88
dilakukan hanya memeriksa proses lelang dan administrasi. Untuk proyek yang sudah selesai dikerjakan hanya membandingkan apakah sudah sesuai dengan dokumen kontraknya tanpa bisa memberikan penilaian dari segi manfaat bagi masyarakat. Pemeriksaan hasil pelaksanaan proyek juga hanya dilakukan sekedarnya, dengan melakukan sampling namun bisa dikatan belum mewakili keseluruhan kinerja. Secara keseluruhan proses pemeriksaan di DPU tidak berhasil merubah ke arah tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Bahkan cenderung menghambat pelaksanaan pekerjaan karena harus melayani pemeriksa ketika meminta data-data maupun wawancara untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan pemeriksaan. Sehingga mau tidak mau harus mempersiapkan data-data dan meluangkan waktu ketika perlu dilakukan wawancara untuk konfirmasi dan klarifikasi. Oleh karenanya pekerjaan menjadi tertunda bahkan terhambat dengan kehadiran pemeriksa. Pemeriksaan yang dilakukan hanya pada sisi administrasi saja belum merupakan pemeriksaan tata kelola secara keseluruhan. Pemeriksaan lebih condong pada penegakan kaidah-kaidah dalam tata kelola, sementara nilai-nilai yang harus dipenuhi oleh DPU dalam mengartikulasikan kebutuhan masyarakat belum tersentuh dalam proses pemeriksaan ini. Pemeriksaan belum bisa menilai apakah nilai-nilai dalam masyarakat sudah terakomodir oleh DPU, seperti terpenuhinya air untuk irigasi, pengurusan IMB dengan waktu yang cepat, jembatan yang kokoh dan kuat, kenyamanan di jalan tanpa banyak lubang, gedung-gedung yang kuat dan indah dan lain sebagainya. Jika hanya kaidah-kaidah saja yang lebih diutamakan maka tata kelolahanya akan baik pada sisi pelaksanaan kaidah-kaidah tetapi nilai-nilai dari kebutuhan masyarakat akan terabaikan. Sehingga proses pembangunan hanya akan mencetak robot-robot pelaksana pembangunan, yang patuh kepada aturan sementara kesejahteraan rakyat masih jauh dari kenyataan.
89
Perubahan yang terjadi pasca pemeriksaan di DPU, dengan berpedoman pada sudut pandang prinsip-prinsip good governance dapat dilihat pada tabel di bawah ini; Tabel IV.2 Perubahan tata kelola pemerintahan di DPU Aspek yang diperiksa Prinsip good governance Keuangan SDM Sarpras 1. Partisipasi 2. Transparansi √ √ 3. Akuntabilitas √ √ 4. Penegakan Hukum 5. Responsif √ 6. Berorientasi pada √ kepentingan masyarakat 7. Efisiensi dan √ efektivitas 8. Keadilan Keterangan; : belum berubah kearah prinsip good governance √ : sudah berubah kearah prinsip good governance No
Tupoksi √ √ √ -
√
IV.2.5 Rangkuman Dari deskripsi proses pelaksanaan pemeriksaan di DPU dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: -
Tidak ada partisipasi dari aparat DPU pada proses pemeriksaan. Sehingga pemeriksaan berjalan sesuai konsepsi awalnya yaitu membandingkan aturan perundangan dengan pelaksanaanya di lapangan. Proses pemeriksaan berjalan secara sepihak, terjadi gap antara pemeriksa dan objek yang diperiksa. Indepedensi pemeriksa begitu kuat yang menyebabkan tidak terjadi interaksi yang membangun stabilitas jaringan antar aktor.
-
Tidak terjadi komunikasi yang interaktif, disebabkan kesibukan masingmasing. Pemeriksa dengan data-data yang harus diteliti sementara DPU sendiri harus segera menyelesaikan pekerjaan karena mendekati tutup tahun Anggaran. Masing-masing jejaring lokal tidak terhubungkan karena tidak ada
90
sarana yang mewadahinya, tidak ada tools yang menyatukan masing-masing jejaring. Relasi yang timbul kemudian terpisah-pisah, tidak membentuk relasirelasi baru yang lebih luas. -
Tidak terjadi negosiasi-negoisasi antara pemeriksa dan objek pemeriksaan dalam menemukan solusi yang tepat untuk proses pemeriksaan yang bisa mengakomodir kepentingan masing-masing.
Pada proses pemeriksaan di
DPU tidak muncul kreativitas auditor yang mendorong terjadinya inovasi pada pemeriksaannya. Aktor, artifak dan aksi yang telah ada dan bekerja (pemegang kas, pembantu pemegang kas, BKU, buku-buku bantu pengelolaan keuangan,
buku-buku
register
pengelolaan
sarana
prasarana,
buku
kepegawaian dan lain sebagainnya) tidak bisa berperan sebagai alat-alat kalkulasi. -
Lingkungan kerja di DPU dengan kapital sosial yang rendah, menyebabkan tidak terakomodirnya perubahan-perubahan yang ditawarkan. Terlihat antara pemeriksa dan yang diperiksa ada gap yang memisahkannya. Hubungan terlihat kaku dan formal, ada kecurigaan terhadap pemeriksa yang dituduh hanya mencari-cari kesalahan saja, sementara di pihak pemeriksa sendiri tidak terlihat menunjukan itikad baiknya. Sehingga kerjasama yang diharapkan bisa merubah tata kelola di DPU agar lebih baik tidak tercapai.
Dengan melihat deskripsi kasus pemeriksaan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gunungkidul di atas dapat diketahui bahwa perubahan kebijakan pemeriksaan yang baru tidak tepat dalam penerapannya. Insitusi pengawasan tidak bisa berfungsi dengan baik sehingga tidak bisa berperan seperti seharusnya. Alihalih berperan mendorong kearah tata kelola yang lebih baik yang terjadi adalah terhambatnya pekerjaan pada objek pemeriksaan.
IV.3 Perbandingan proses pemeriksaan Kecamatan Playen-DPU Dari hasil studi kasus diatas dapat ditarik kesimpulan berkenaan dengan tata kelola pemerintahan (dalam hal ini kebijakan pengawasan komprehensif). Keputusan-keputusan dalam kebijakan pengawasan mengikuti pola top-down, karena diinisiasi oleh Pemerintah Pusat, BPKP, dan Inspektorat (di masing-
91
masing kasus). Akan tetapi proses adopi pada masing-masing kasus tersebut menempuh proses yang berbeda. Tim pemeriksaan pada Kecamatan Playen berhasil membangun relasi dan mendapatkan legitimasi dari aparat Kecamatan. Meskipun pada konsepsi pemeriksaan komprehensif aparat Kecamatan tidak dilibatkan. Tim pemeriksaan dapat mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan aparat kecamatan dalam menjalankan tugasnya melalui penguatan relasi dengan BKU, buku register keuangan, DUK, buku register kenaikan pangkat, KIR, KIB, buku register barang inventaris, dan dokumen tupoksi. Ini yang tidak berhasil dilakukan oleh tim pemeriksaan di DPU. Tingginya kapital sosial yang dimiliki oleh komunitas Kecamatan memudahkan upaya tim pemeriksa. Didukung dengan pelibatan aparat Kecamatan dalam proses pembenahan-pembenahan pada semua aspek-aspek pemeriksaan di tahap adopsi dapat mereduksi penolakan dari Kecamatan. Melalui semua proses tersebut re-konfigurasi jejaring baru yang lebih stabil dari konfigurasi jejaring yang lama di Kecamatan terbentuk. Proses adopsi kebijakan pemeriksaan komprehensif di DPU, sejak awal memang tidak melibatkan aparat DPU, tidak disertai dengan artikulasi kebutuhan yang memadai. Ketika pemeriksaan dilakukan secara komprehensif, pilihan-pilihan yang tersedia untuk aparat DPU dalam mengartikulasiakan keinginan mereka menjadi terbatas, bahkan bisa dikatakan tidak ada ruang negosiasi bagi mereka karena semuanya telah ditetapkan oleh tim pemeriksa. Karena tidak adanya pelibatan aparat DPU dalam proses pemeriksaan pada semua aspek, terjadi penolakan-penolakan (meskipun tidak tampak), mereka menganggap tim pemeriksa mau menang sendiri dengan power yang dimilikinya. Sehingga kebijakan pengawasan komprehensif tidak mendapatkan legitimasi dari aparat di DPU. Meskipun ada devais-devais inskripsi yang memberikan sumber kalkulasi seperti halnya di Kecamatan (BKU, buku register keuangan, DUK, buku register kenaikan pangkat, KIR, KIB, buku register barang inventaris, dan dokumen tupoksi) tetapi tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk membangun relasi antara tim pemeriksa dengan DPU. Re-konfigurasi relasi yang baru tidak terbentuk karena devais-devais tersebut tidak berfungsi sebagai alat kalkulasi yang menghubungkannya.
92
BKU
Buku2 Register
Keuangan SPJ
KIR
KIB
Buku2 Register
Sarana Prasarana
Kecamatan Playen
SDM
Tupoksi
Buku2 Register
DUK Pemungutan Pajak
Dokumen Perda
Gambar IV.8 Konfigurasi relasi-relasi sebelum adanya pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah
BKU
Buku2 Register
Keuangan
SPJ
KIR
KIB
Sarana Prasarana
Buku2 Register Inspektorat
Kecamatan Playen SDM
Tupoksi Dokumen Perda
DUK
Buku2 Register
Pemungutan Pajak
Gambar IV.9 Re-konfigurasi dan penguatan relasi-relasi setelah adanya pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah
93
BKU
Buku2 Register
Keuangan SPJ
KIR
KIB
Buku2 Register
Sarana Prasarana
DPU
SDM
Tupoksi
Buku2 Register
DUK
Dokumen Perda Gambar IV.10 Konfigurasi relasi-relasi sebelum adanya pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah
BKU
Buku2 Register
Keuangan
KIR
KIB
Sarana Prasarana
Buku2 Register Inspektorat
SPJ SDM
DPU Tupoksi
DUK
Buku2 Register
Dokumen Perda Gambar IV.11 Konfigurasi dan relasi-relasi setelah adanya pemeriksaan oleh Inspektorat Daerah
94
Dari keseluruhan perbandingan studi kasus pemeriksaan di Kecamatan Playen dan pemeriksan di DPU Kab. Gunungkidul dapat diambil beberapa hal untuk pembelajaran selanjutnya. Deskripsi kasus-kasus tersebut menunjukan bahwa perubahan institusi pengawasan sebagai salah satu dampak otonomi daerah tidak seluruhnya membawa perubahan yang lebih baik. Perubahan kebijakan pengawasan yang terjadi tidak serta merta dapat diterapkan pada semua entitas perangkat daerah, karena setiap entitas tersebut sama halnya dengan sebuah masyarakat
yang
mempunyai
karakter
berbeda-beda.
Kasus
ini
merekomendasikan bahwa aktor-aktor yang menginisiasi keputusan-keputusan (top-down atau bottom-up), bukanlah merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan maupun legitimasi dalam penerapannya. Pola pemeriksaan sebelum otonomi tidak tepat diterapkan pada Kecamatan karena lebih berfokus pada pelaksanaan proyek-proyek akan tetapi efektif bila diterapkan pada institusi yang mempunyai banyak proyek. Begitu juga sebaliknya kebijakan pengawasan setelah otonomi yang komprehensif dengan diperiksanya semua aspek akan tepat bila diterapkan pada organisasi kecil tanpa proyek di dalamnya. Kasus ini juga menyarankan arti penting partisipasi dalam tata kelola pemerintahan, yaitu antar organisasi dalam pemerintahan tidak hanya antar pemerintahan dengan masyarakat. Dengan partisipasi tersebut kerjasama yang terjalin
menjadi
semakin
baik,
keputusan-keputusan
yang
dibuat
bisa
mendapatkan legitimasi dari masing-masing pihak sehingga bisa diantisipasi dan direduksi penolakan-penolakan yang mungkin terjadi. Tetapi bila pemerintah menginginkan
kebijakan
pengawasannya
berhasil
meningkatkan
tertib
administrasi, meminimalkan terjadinya korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lainnya, partisipasi bukan juga merupakan faktor yang terpenting. Partisipasi semua elemen pemerintah jelas dibutuhkan agar terjadi swa-kelola kebijakan pemerintah (tidak hanya kebijakan pengawasan) secara berkelanjutan. Setiap
organisasi
pemerintah
membutuhkan
pengawasan
untuk
bisa
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada rakyat. Oleh karenanya diperlukan sarana sebagai sumber kalkulasi yang bisa dipergunakan semua pihak,
95
sehingga antar unsur pemerintah maupun masyarakat bisa saling mengoreksi, jalannya pemerintahan. Dengan kemandirian pengawasan yang terbangun, proses pemerintahan akan menjadi transparan dan akuntabel, sehingga peran institusi pengawasan pada akhirnya akan semakin berkurang atau bahkan tidak diperlukan sama sekali. Pemeriksaan yang dilakukan hendaknya lebih memperhatikan nilai-nilai yang dimiliki oleh aktor-aktor dalam pembangunan. Baik pemerintah sebagai pemegang kendali maupun masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pembangunan. Kemudian ukuran-ukuran yang ditawarkan oleh World Bank melalui good governance-nya, lebih condong kepada kaidah-kaidah yang harus ditegakan. Sementara nilai-nilai aktor-aktor dalam proses pembangunan kurang diperhatikan keberadaannya. Kasus di atas memberikan gambaran bahwa adopsi good governance belum tentu membawa perubahan yang lebih baik. Karena tata kelola selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh aktor-aktor, sehingga tata kelola yang baik yaitu bisa mengakomodir nilai-nilai tersebut.
96