BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAKAN PENJUALAN AIRSOFT GUN MELALUI MEDIA INTERNET SECARA MELAWAN HUKUM BERDASARKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO 12/DRT/TAHUN 1951 DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A.
Efektifitas Pengaturan Mengenai Penjualan Airsoft Gun Melalui Media Internet Media internet sangat membantu masyarakat dalam segala hal, khususnya dalam praktek transaksi jual-beli melalui media internet (ecommerce). Hal ini terjadi karena tidak adanya batasan bagi para pengguna media ini untuk melakukan transaksi, baik jarak maupun waktu. Masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli melalui media internet kapan saja dan dimana saja, baik yang diperdagangkan merupakan barang legal maupun ilegal. Dahulu orang memperdagangkan barang dagangannya hanya sebatas wilayah tertentu, negara tertentu, atau bahkan hanya dalam kota saja tanpa diketahui oleh orang lain diluar kota tersebut. Namun dengan adanya internet, semua orang diseluruh penjuru dunia dapat melakukan kegiatan transaksi jual-beli ini, termasuk dalam hal ini transaksi jual-beli airsoft gun. Jepang sebagai negara yang memproduksi airsoft gun terbesar di dunia telah banyak menjual senjata replika ini melalui media internet hingga ke penjuru negara termasuk Indonesia. Peraturan yang berlaku dalam hal kegiatan transaksi jual beli airsoft gun melalui media internet sebenarnya sangat sederhana, karena sebenarnya kegiatan yang terjadi adalah transaksi jual-beli, hanya saja bentuk transaksi
perdagangan/ perniagaan barang atau jasa tersebut dengan menggunakan media elektronik (internet). Jual beli sendiri merupakan suatu perjanjian, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/ Burgerlijk Wetboek). Dalam pasal tersebut hal yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pelaku usaha/ produsen) adalah untuk menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan pihak yang lain (pembeli/ konsumen) berjanji untuk membayar harga yang telah disetujuinya. Dimana harga yang dimaksud tersebut adalah harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian atau misalkan harga tersebut merupakan barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter. Pengertian perjanjian termuat dalam pasal 1313 Kitab Undangundang Hukum Perdata, berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Di Indonesia sendiri, transaksi jual beli dilakukan dengan dua cara, yang pertama yaitu jual beli yang dilakukan secara umum atau konvensional/ tradisional, dimana jual beli tersebut dilakukan dengan adanya tatap muka atau saling berhadapan antara para pihak dan yang kedua yaitu jual beli yang dilakukan secara elektronik atau menggunakan media
elektronik yang umumnya dilakukan melalui media internet yang biasa disebut sebagai transaksi jual-beli elektronik (e-commerce). Pengertian Transaksi Elektronik terdapat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 pasal 1 ayat (2), yaitu : “Transaksi Elekronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan/ atau media elektronik lainnya”. Dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata pun terdapat dasar hukum yang dapat digunakan pada transaksi jual beli elektronik ini, yaitu pada pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal diatas dikenal juga sebagai asas kebebasan berkontrak, yang berarti bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum serta tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian. Maka dapat dikatakan bahwa segala kegiatan transaksi elektronik sah dilakukan selama memenuhi unsurunsur diatas. Suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” Kesepakatan para pihak yang dimaksud pada pasal diatas berarti adanya kesesuaian dan kehendak para pihak, tidak ada paksaan. Kata “sepakat” tersebut maksudnya adalah mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan. Tidak adanya paksaan maksudnya dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW), ataupun adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. Kecakapan para pihak adalah bahwa para pihak harus telah dewasa (18 tahun) atau sudah menikah serta sehat mental dan rohani. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan, yaitu: “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, danpada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.” Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963,
orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW). Suatu hal tertentu diartikan sebagai prestasi. Dalam hal ini perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Suatu sebab atau causa yang halal, artinya perjanjian tersebut dilakukan dengan tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pada poin 1 dan 2 merupakan syarat yang subjektif, bila salah satu syarat subjektif tidak terpenuhi maka dapat batal karena hukum.Selama para pihak belum membatalkan perjanjian, maka perjanjian itu masih tetap berlaku. Sedangkan syarat pada poin 3 dan 4 merupakan syarat objektif, bila salah satu syarat objektif tidak terpenuhi maka dapat batal demi hukum. Artinya sejak semula perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
Pada dasarnya penjualan airsoft gun melalui media internet sama saja dengan transaksi e-commerce yang lain selama transaksi jual-beli tersebut sesuai atau memenuhi aturan-aturan mengenai transaksi elektronik yang berlaku, yang menjadi permasalahan adalah ketika transaksi tersebut melanggar peraturan yang ada ataupun ketika pada transaksinya telah memenuhi peraturan namun airsoft gun yang diperdagangkan diperuntukkan atau dipergunakan untuk kegiatan yang tidak semestinya
(airsoft gun
tersebut dibeli untuk disalahgunakan). Penjualan airsoft gun melalui media internet ini sendiri masih di anggap “abu-abu” atau bahkan biasa oleh pemerintah kita. Padahal jika kita lihat dampaknya sangat besar bagi masyarakat, meskipun hanya sebatas senjata replika saja. Oleh sebab itu para produsen dari negara yang menciptakan airsoft gun semakin leluasa untuk menjual lebih banyak lagi. Walaupun dalam paket penjualannya, airsoft gun ini sudah jelas harus ada izin dan dipergunakan oleh orang dengan umur 18 tahun keatas dan sudah terdapat larangan untuk menggunakannya secara tidak benar, misal untuk menembak binatang dengan cara iseng. Pada hakekatnya airsoft gun adalah senjata mainan atau replika, namun karena rawan disalahgunakan tetap saja peredarannya tidak dapat bebas dan diatur dengan perizinan yang jelas. Menurut salah satu petinggi kepolisian di jajaran Polda (polisi daerah) Kalimantan timur Kabid Humas Kombes polisi Rudi Pranoto, menegaskan peredaran dan penggunaan airsoft gun di atur dalam pasal 1 UndangUndang Nomor 12/ DRT/ 1951 tentang Senjata Api, dimana menjelaskan
yang dimaksud dengan senjata itu antara lain, senjata tekanan udara, senjata bertekanan pegas, dan senjata tiruan, yang bagian amunisinnya bisa membahayakan kesehatan, dan mempengaruhi raga orang lain. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12/ DRT/ 1951 Tentang Senjata Api yang berbunyi : “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.” Pasal diatas relevan untuk dijadikan sebagai dasar hukum bagi korban untuk melakukan penuntutan terhadap penjual airsoft gun yang tidak memiliki izin resmi karena pada dasarnya kepemilikan airsoft gun wajib memiliki izin resmi dari kepolisian. Selain Undang-Undang Nomor 12/ DRT/ 1951, polisi juga membuat aturan khusus tentang airsoft gun yang tertuang dalam SKEP Polri 82/ II/ 2004 Tentang Tata Cara Membawa, Memiliki, Dan Menggunakan Senjata Non Organik Polri, yang menyatakan senjata jenis ini hanya digunakan untuk olahraga menembak saja, bukan di peruntukan yang lain, maksudnya agar senjata ini tidak untuk disalahgunakan oleh para pemiliknya. Dalam kepemilikan senjata jenis ini harus ada izin dari kepolisian setempat diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Rujukan :
a.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/ 82/ II/ 2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang pengawasan dan pengendalian senjata api dan amunisi non organik TNI/ POLRI;
b.
Telegram Kapolri No. Pol. : TR/ 768/ IV/ 2008 tanggal 10 April 2008
perihal peredaran senjata mainan atau airsoft gun secara
ilegal; c.
Nota Dinas Kabid Telematika Polda Jatim No. Pol.: B/ ND-168/ VI/ 2008/ Bid Telematika tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengaduan Masyarakat.
3.
Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, terkait dengan prosedur perizinan kepemilikan dan penggunaan senjata mainan atau airsoft gun disampaikan sebagai berikut: a.
Bahwa senjata mainan atau menyerupai senjata api (airsoft gun) digolongkan
sebagai
peralatan
keamanan
sebagaimana
dimaksud Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/ 82/ II/ 2004 tanggal 16 Februari 2004. b.
Dalam hal pemilikan dan penggunaan, pembawaan dan penyimpanan
peralatan
keamanan
belum
diatur
dalam
perundang-undangan atau ketentuan lainnya namun dilihat dari akibat penggunaannya dapat membayakan bagi keselamatan jiwa seseorang dan dapat digunakan untuk melakukan kejahatan, maka untuk kepemilikan dan penggunaannya diberlakukan seperti senjata api;
c.
Terhadap senjata mainan atau menyerupai senjata api (airsoft gun) dapat diberikan izin penggunaan dan pemilikan dan nomor registrasi diterbitkan oleh Kabid Yanmin Baintelkam Polri;
d.
Terhadap senjata mainan atau menyerupai senjata api (airsoft gun) diberikan untuk peruntukan olahraga menembak target dan tidak diberikan untuk peruntukan bela diri;
e.
Terhadap senjata mainan atau menyerupai senjata api (airsoft gun) yang telah mendapatkan izin penggunaan pemilikan dapat disimpan dirumah dengan surat izin penyimpanan dari Polda setempat;
f.
Persyaratan kepemilikan dan penggunaan sebagai berikut : 1)
Surat izin impor;
2)
Rekomendasi Pengda Perbakin atau klub menembak;
3)
Anggota Perbakin atau klub menembak;
4)
Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
5)
Umur 18 sampai dengan 65 tahun;
6)
Pas foto ukuran 2 x 3 sebanyak 4 (empat) lembar.
Dengan beredarnya airsoft gun dikalangan masyarakat saat ini, sudah barang tentu polisi juga tidak hanya mengeluarkan izin dan surat keputusan tentang kepemilikannya saja, akan tetapi polisi juga mengeluarkan surat bagi peredarannya. Polisi disini mengeluarkan STR (Surat Telegram Rahasia) Kapolri nomor 1777/ VIII/ tahun 2008 tentang peredaran airsoft gun karena peredaran airsoft gun yang tidak berizin dinilai dapat
mengganggu ketertiban umum, bisa menciderai masyarakat, dan bahkan bisa digunakan sebagai alat untuk kejahatan.
B.
Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Terhadap Pihak Yang Menjual Airsoft Gun Melalui Media Internet Kegiatan jual-beli airsoft gun yang dilakukan melalui media internet (e-commerce) menimbulkan beragam akibat/ dampak yang tidak jauh berbeda dengan transaksi jual-beli konvensional/ tradisional dalam kegiatan pelaksanaannya. Kegiatan tersebut yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku atau dengan kata lain tidak disertai izin resmi dapat menimbulkan akibat hukum atau menimbulkan permasalahanpermasalahan hukum. Dimana dalam kasus ini pembeli atau konsumen tidak akan memilki izin resmi atas kepemilikan airsoft gun yang telah dibelinya serta akan dianggap memiliki barang ilegal. Akibat hukum dari kegiatan terjadi karena dalam kegiatan tersebut terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik itu dari pihak pelaku usaha sebagai produsen, maupun pembeli sebagai konsumen. Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku usaha atau penjual dalam penjualan airsoft gun yang diperdagangkan melalui media internet ini, dimana proses hukum yang dapat ditempuh oleh pembeli sebagai konsumen antara lain melalui lembaga peradilan umum yaitu baik secara perdata maupun secara pidana.
Secara perdata, tindakan hukum yang dilakukan adalah berdasarkan pada Pasal 1365 Buku III BW dimana pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik (e-commerce) tersebut merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 BW yang menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Berdasarkan isi pasal diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum bilamana memenuhi unsur-unsurnya, dimana unsur-unsur tersebut yaitu : 1.
perbuatan melanggar hukum;
2.
unsur kesalahan (ada sebuah niat);
3.
adanya kerugian (kerugian materil);
4.
hubungan sebab akibat/ kausal antara point 1, 2 dan 3. Berdasarkan Pasal 1365 BW tersebut, dalam kegiatan transaksi
elektronik (e-commerce), perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi selama memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas. Jadi, selama unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dimana dalam hal ini pelaku telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum ekstensif yaitu memperluas arti kata
perbuatan melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal ini pada transaksi jual beli secara elektronik. Selain itu, dapat pula diterapkan Pasal 1365 BW dengan melakukan konstruksi hukum analogi yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga
pada
akhirnya
unsur-unsur
perbuatan
melawan
hukum
sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum. Suatu perbuatan dapat dikatakan Perbuatan Melawan Hukum apabila perbuatan tersebut memang melanggar peraturan perundang-undangan, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Meskipun demikian, suatu perbuatan yang telah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum ini harus dapat dipertanggung-jawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak. Pasal 1365 BW tidak membedakan kesalahan
dalam bentuk
kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa),
dengan
demikian
hakim
harus
dapat
menilai
dan
mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang
seadil-adilnya. Unsur kesalahan dalam
suatu perbuatan melawan hukum tersebut dapat dibuktikan, maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya tersebut. Perbuatan melawan hukum ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam proses transaksi jual-beli secara elektronik, baik dilakukan melalui penyelesaian
sengketa
secara
litigasi
(melalui
pengadilan
dengan
mengajukan gugatan), maupun penyelesaian sengketa secara non litigasi (diluar pengadilan, misalnya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase). Seperti yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa : “Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.” Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Kerugian yang ditimbulkan dari Perbuatan Melawan Hukum ini dapat berupa kerugian materiil atau kerugian imateriil. Kerugian materiil terdiri dari kerugian nyata yang telah diderita yang mengandung nilai ekonomis.
Ketentuan ganti kerugian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1243-1248 BW dapat diterapkan secara analogis. Sedangkan kerugian imateriil adalah kerugian berupa pengurangan kenyamanan hidup seseorang, dimana dalam kasus ini adalah merupakan pembeli atau konsumen airsoft gun yang diperdagangkan melalui media internet yang tidak memiliki izin resmi. Ganti kerugian terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal transaksi elektronik (e-commerce), selain harus adanya kesalahan, pada pasal 1365 BW juga mensyaratkan adanya hubungan sebab akibat/ hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum, kesalahan dan kerugian yang ada, dengan demikian kerugian yang dapat dituntut penggantiannya tersebut merupakan kerugian yang hanya disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut. Tindakan Hukum yang dapat dilakukan oleh pembeli atau konsumen airsoft gun secara pidana adalah berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 12/ DRT/ tahun 1951 tentang Senjata Api yang berbunyi : “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.” Pasal ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi korban untuk melakukan penuntutan terhadap penjual airsoft gun yang tidak memiliki izin resmi karena pada dasarnya kepemilikan airsoft gun wajib memiliki izin resmi dari kepolisian.
Disamping pasal tersebut diatas ada beberapa peraturan pula yang dapat dijadikan acuan bagi para korban sebagai dasar hukum untuk melakukan penuntutan, antara lain sebagai berikut: a.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep / 82 / II / 2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang pengawasan dan pengendalian senjata api dan amunisi non organik TNI/ POLRI;
b.
Telegram Kapolri No. Pol. : TR/ 768/ IV/ 2008 tanggal 10 April 2008 perihal wasdal peredaran senjata mainan/ air soft guns secara ilegal;
c.
Nota Dinas Kabid Telematika Polda Jatim No. Pol. : B/ ND-168/ VI/ 2008/ Bid Telematika tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengaduan masyarakat. Sehubungan dengan peraturan diatas, terkait dengan prosedur
perizinan kepemilikan dan penggunaan senjata mainan/ airsoft gun disampaikan sebagai berikut: a.
Bahwa senjata mainan/ menyerupai senjata api (airsoft gun) digolongkan sebagai peralatan keamanan sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep / 82 / II / 2004 tanggal 16 Februari 2004.
b.
Dalam hal pemilikan dan penggunaan, pembawaan dan penyimpanan peralatan keamanan belum diatur dalam perundang-undangan atau ketentuan lainnya namun dilihat dari akibat penggunaannya dapat membahayakan bagi keselamatan jiwa seseorang dan dapat digunakan
untuk
melakukan
kejahatan,
maka
untuk
kepemilikan
dan
penggunaannya diberlakukan seperti senjata api. c.
Terhadap senjata mainan/ menyerupai senjata api (airsoft gun) dapat diberikan izin penggunaan dan pemilikan dan nomor registrasi diterbitkan oleh Kabid Yanmin Baintelkam Polri.
d.
Terhadap senjata mainan/ menyerupai senjata api (airsoft gun) diberikan untuk peruntukan olahraga menembak target dan tidak diberikan untuk peruntukan bela diri.
e.
Terhadap senjata mainan/ menyerupai senjata api (airsoft gun) yang telah mendapatkan izin penggunaan dan pemilikan dapat disimpan dirumah dengan surat izin penyimpanan dari Polda setempat.
f.Persyaratan kepemilikan dan penggunaan sebagai berikut : a)
Surat izin import;
b)
Rekomendasi Pengda Perbakin/ Klub menembak;
c)
Anggota Perbakin/ Klub menembak;
d)
Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
e)
Umur 18 s/d 65 tahun;
f)
Pas foto ukuran 2 x 3 sebanyak 4 lembar.
Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka pelaku dapat dituntut kerena telah melanggar ketentuan pada butir c dan e, dimana pelaku telah memperdagangkan barang yang tidak memiliki izin penggunaan dan pemilikan dan nomor registrasi yang seharusnya diterbitkan oleh Kabid Yanmin Baintelkam Polri serta tidak memiliki izin penyimpanan dari Polda
setempat dengan tidak memberikan informasi secara jelas mengenai izin barang (airsoft gun) tersebut atau dengan kata lain pelaku telah melakukan hal-hal yang telah jelas dilarang dalam pasal tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya. Dengan demikian diharapkan kasus-kasus yang mengandung adanya perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik, tetap dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku sekarang ini. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan ketentuan ini pula, maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Tindakan hukum yang dapat dilakukan korban dalam permasalahan transaksi elektronik (e-commerce) ini adalah secara perdata dengan mengacu pada Buku III BW mengenai perbuatan melawan hukum pada pasal 1365, dan secara pidana dilakukan dengan mengacu pada UndangUndang Nomor 12/ DRT/ 1951 tentang Senjata Api dengan dilakukannya penyitaan barang bukti terhadap airsoft gun tersebut dan ancaman hukuman mati dan/ atau kurungan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.