JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM DALAM TRANSAKSI MELALUI MEDIA INTERNET Tan Kamello Dosen Fakultas Hukum USU dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU Abstract: Every transaction through internet media requires law instruments to enhance trade and business activities. Cyber law contract which is classified as paperless transaction. It is a kind of electronic transaction in the forms of Business to Business or Business to Consumer. This system carries out practical and economical uses, however the application of this system may have some obstacle due to the lack of material law management and law enforcement. In relevance to the development of contract law which is classified as unnamed contract, the protection of electronic to Code of Civil Law and the norms of cyber contract law. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Transaksi, Internet Perlindungan hukum memiliki banyak aspek. Paper ini hanya memfokuskan aspek perdata dari transaksi yang dilakukan para pihak melalui media elektronik. Era kebangkitan ekonomi global ditandai dengan kecanggihan informasi teknologi yang merupakan terpenting dari revolusi industri (Suherman, 2002). Dalam fase ini, teknologi komputer memegang peranan yang tidak dapat diabaikan lagi dalam komunikasi bisnis global. Oleh karena itu internet merupakan media yang handal dalam ekonomi global karena tanpa mengenal batas yurisdiksi, sekat dan jarak. Era siber identik dengan abad informasi dengan menggunakan media elektronik dan komputer merupakan alat (hardware) untuk melakukan komunikasi. ERA SIBER MEMBUTUHKAN PRANATA HUKUM Pertanyaan awal adalah bila era siber dimulai? Era siber tidak dapat dipikirkan tanpa menghubungkannya dengan teknologi komputer. Perkembangan dunia saat ini lewat teknologi komputer, informasi dan telekomunikasi tidak dapat dihindarkan. Hal ini didukung pula oleh dinamika ekonomi global. Pemahaman perkembangan tersebut tidak lepas dari sejarah tekonologi komputer (Supraptomo, 2002) yang diawali dengan penemuan sistem perhitungan pada empat abad sebelum masehi. Selanjutnya oleh budaya Arab diperkenalkan sistem hitungan desimal pada abad kedelapan dan kesembilan sehingga matematika dapat dipermudah. Sistem logaritma yang ditemukan pada tahun 1614 oleh John Napier, penemuan kalkulator mekanis enam digit oleh Wilhelm Schickard tahun 1623 dan disempurnakan oleh Blaise Pascal sampai delapan digit pada tahun 1642. Mesin otomatis ditemukan oleh Joseph-Marie Jacuard, disusul dengan Charles Babbage yang menemukan Difference Engine dan Analytical Engine (komputer mekanis) tahun 1820 dan 1821. Dasar-dasar computer programming dan analisis baru diketemukan setelah Agusta Ada Biron bertemu dengan Babbage tahun 1833. Perkembangan era komputer selanjutnya ketika ditemukannya komputer elektronik berupa kalkulator oleh Konrad Zuse. Tahun 1943 dioperasikan komputer Colossus dan disusul oleh Electronic Numerical Integrator Analyzer and Computer (ENAIC) oleh Universitas Pennsylvania tahun 1945. Penemuan transistor oleh Bell Telephone Laboratories tahun 1947 dan diikuti dengan komputer UNIVAC tahun 1951 dan EDVAC tahun 1952. Perkembangan mutakhir tentang komputer bersama dengan teknologi telekomunikasi dan informasi menghasilkan Computer Network. Pada tahun 1962 Paul Barau dari Rand membangun ide distributed/pocket switching networks, tahun 1969 ARPANET telah on-line. Tahun 1973, Bob Kahn dan Vuit Cerf membangun ide dasar internet, dan tahun 1974 BBN membuka public pocket-switched network-telenet yang pertama. Tahun 1979 diluncurkan USENET oleh Universitas North Caroline dan Duke University) dan tahun yang sama diluncurkan MUD oleh University of Essex. Pada tahun 1982 TCP/IP ditetapkan sebagai standar ARPANET. Pada tahun 1987, jumlah net work host mencapai 10.000 dan tahun 1989 menjadi 100.000, perkembangan luar biasa. Inilah yang disebut Era Siber. Pada tahun 1990-an s.d. 2000-an, pertumbuhan pemakaian komputer sangat cepat dan ratusan juta menggunakan internet (Cheeseman, 2003). Transaksi lewat media internet merupakan hal yang baru bagi dunia ilmu hukum, yang berbeda dengan keadaan 10 tahun yang lalu. Tidak dapat disangkal bahwa hukum selalu tertinggal dengan kemajuan teknologi. Walaupun hukum tertinggal tetapi hukum tetap dibutuhkan dalam perkembangan teknologi untuk memperlancar kegiatan ekonomi. Assafa Endeshaw (2001)mengatakan ‘… any suggestion that technology related to law …’. Selanjutnya dikatakan ‘… the proprietary aspects of ‘information technology’ (IT) demonstate that the law still lags behind other discipline in building up a framework for technology in general and information technology in particular. Kebutuhan hukum dalam era siber dapat dilihat dari keinginan yang kuat dari pemerintah dan legislatif untuk mengaturnya dalam bentuk undang-undang sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika, Australia, Jepang, Singapura, Hongkong, China, New Zealand, Myanmar, Malaysia, Inggris, Taiwan, Pilipina dan Indonesia yang sedang memproses hukum teknologi informasi. Kehadiran teknologi komputer dan internet dalam lalu lintas bisnis telah menggelitik para akademisi, lawyer, hakim, jaksa dan para praktisi lainnya akan dilematis hukum yang sedang dan akan merubah paradigma terutama hukum kontrak, dari hukum kontrak fisik konservatif menuju hukum kontrak modern dalam dunia maya. Misalnya Amerika telah merubah atau merevisi Pasal 2 Uniform Commercial Code (UCC) dengan membentuk 1
Tan Kamello: Aspek Perlindungan Hukum dalam Transaksi Melalui Media Internet
Uniform Computer Information Transaction Act (UCITA), dengan tujuan adalah the UCITA aims specifically to govern the exchange of information and services through electronic transaction. Demikian juga Singapura telah mengatur masalah kontrak dagang elektronik dalam Electronic Transaction Act No.25 tahun 1998. Thailand membuat draft Internet Promotion Act of 1997 untuk melindungi pengguna transaksi lewat elektronik. Oleh karena itu, hukum dunia maya ini sudah saatnya tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh ahli hukum dan pembentukannya harus dilakukan dengan mengacu kepada pendekatan sistem. ISTILAH DAN PENGERTIAN Hukum dunia maya merupakan terjemahan dari Cyber Law (cyberspace, cyberworld) atau disebut juga Law of Internet. Hukum dunia maya merupakan bagian dari hukum teknologi informasi (Law of Information Technology) atau lebih dikenal dengan hukum IT. Hukum IT lebih luas dari hukum dunia maya. Salah satu aspek dari hukum dunia maya adalah electronic commerce (e-commerce). Istilah ini dipergunakan dengan beraneka ragam, misalnya ada yang menyebutnya electronic business, electronic contract, electronic transaction, internet transaction (Stone, 2002) yang diartikan dengan beraneka ragam pula seperti bisnis elektronik, transaksi elektronik, kontrak siber, kontrak web, transaksi dagang, kontrak internet, kontrak dunia maya, kontrak dagang elektronik. Istilah yang terakhir ini dipakai oleh Mariam Darus Badrulzaman (2002). Untuk mengetahui pengertian electronic commerce, dapat dikemukakan beberapa pendapat sebagai berikut: Menurut Electronic Commerce Expert Group (ECEG) Australia: electronic commerce is a broad concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic main would include such means as faximile teks, electronic data interchange, internet and the telephone. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD): e-commerce adalah transaksi berdasarkan proses dan transmisi data secara elektronik, sedangkan Asosiasi di bidang perdagangan (Alliance for Global Business) memberikan pengertian e-commerce adalah seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer informasi, produk, jasa tau pembayaran melalui jaringan elektronik sebagai media (Suherman, 2002). Pengertian ini masih bersifat umum dan luas, lagi pula berada dalam perspektif ekonomi, karena setiap proses transaksi perdagangan yang memiliki nilai melalui saluran elektronik dikatakan sebagai kontrak dagang siber. Jadi masih belum memberikan identitas yuridis dari kontrak dagang siber. Pengertian yang lebih rinci dapat dilihat dari pendapat Julian Ding (1999) sebagai berikut: in simple terms, electronic commerce is the creation of commercial transaction between the parties which are done electronically. Terry Cutler dalam Julian Ding (1999) merumuskan: electronic commerce is the conduct of trade and commerce within the electronic environment of the global information economy. A commercial transaction between a vendor and purchase or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of right. This commercial transaction is executed or entered into in an electronic medium (or digital medium) where the physical presence of the parties is not required, and the medium exist in a public network or system as opposed to a private network (closed system). The public network or system must be considered an open system (e.g. the Internet or the World Wide Web). The transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements (Ding, 1999). Dari definisi di atas, dapat diambil unsur-unsur dari kontrak dagang siber. Pertama, para pihak yang menjadi subjek adalah penjual dan pembeli; kedua, objek kontrak adalah barang, jasa dan pengambil-alihan hak; ketiga, kontrak dilakukan dengan media elektronik (digital) atau tanpa kehadiran fisik para pihak; keempat, kontrak terjadi dalam jaringan publik; kelima, sistem kontrak bersifat terbuka; keenam, kontrak melampaui batas nasional atau daerah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa istilah mencakup arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, e-commerce adalah transaksi jual beli atas suatu produk barang, jasa atau informasi antar-mitra bisnis dengan memakai jaringan komputer yang berbasiskan internet. Pengertian luas dari e-commerce adalah identik dengan e-business yakni tidak hanya transaksi on-line, tetapi juga termasuk layanan pelanggan, hubungan dagang dengan mitra bisnis, dan transaksi internal dalam sebuah organisasi (Fuady, 2002). Jika dua pihak mengadakan hubungan hukum lewat internet, misalnya seseorang atau perusahaan Indonesia membeli barang dari Singapura, maka perbuatan tersebut dinamakan kontrak dagang elektronik atau electronic business. Kontrak dagang siber dapat dilakukan antara perusahaan dengan perusahaan (dalam jumlah besar) yang dikenal dengan Business to Business (B to B) atau antara pelaku usaha dengan konsumen yang dikenal dengan Business to Consumer (B to C). Demikian juga perdagangan efek diselenggarakan bukan lagi sebagai paper transaction melainkan dengan cara electronic transaction. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia perbankan yakni transaksi antar-bank atau antara bank dengan nasabahnya, yang dilakukan melalui electronic banking. Gambaran di atas memberikan pengertian bahwa hukum dunia maya adalah aturan yang berisikan bagaimana para pihak melakukan komunikasi melalui media internet tanpa bertemu muka dengan mempergunakan kode-kode tertentu yang dapat melintasi batas daerah atau nasional secara terbuka pada sistem jaringan publik. Lebih khusus lagi dalam bidang kotrak dagang siber bahwa para pihak mengadakan perjanjian tanpa bertemu muka (without face to face), tanpa dokumen kertas (paperless document) yang memiliki akibat hukum (legal effect). Akibat hukum dari kontrak dagang siber tidaklah berbeda dengan akibat hukum dari kontrak konvensional. Hal ini ditegaskan oleh Mieke Komar Kantaatmadja (2003) bahwa commerce done electronically shall have the same legal effects as commerce in general (in the “real world”).
2
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
Manfaat Bertransaksi Melalui Internet Mengapa orang memilih untuk memakai media internet dalam komunikasi bisnis? Pertanyaan ini dilontarkan ketika berjuta-juta orang dalam kehidupan bisnisnya dewasa ini tidak dapat bertemu muka karena jarak yang terlalu jauh, menyita waktu, tidak efisien, biaya tinggi, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi dapat dipaparkan model B to C dalam kontrak dagang siber. Dalam internet market (i-market) tersedia tempat dunia maya bertemunya para pelaku bisnis (calon pembeli dan penjual) untuk melakukan transaksi secara siber. Perusahaan sebagai penjual produk barang atau jasa menghubungkan dirinya ke dalam i-market yang merupakan pertemuan para pelaku internet di seluruh dunia. Pada prinsipnya perusahaan penjual menginformasikan secara lengkap produk yang akan ditawarkan kepada para konsumen internet. Harapan bagi perusahaan adalah agar produknya dapat dipesan atau dibeli oleh konsumen. Apabila konsumen membutuhkan produk tersebut berarti konsumen akan membelinya. Biasanya produk yang dibeli itu tidak ada pada daerahnya atau negaranya. Pemilihan pembelian produk lewat media internet secara praktis memberikan manfaat ekonomis bagi konsumen. Tanpa bertemu muka, dengan jarak yang cukup jauh, waktu yang singkat dan harga yang pantas, konsumen dengan cepat dapat memiliki produk tersebut. Pertanyaan tersebut di atas dapat ditemukan jawabannya sebagai alasan memanfaatkan bisnis melalui media internet yaitu efisien, cepat dan mudah, menekan biaya barang dan jasa. Boleh juga dikatakan meningkatkan kepuasan konsumen untuk segera mendapatkan barang yang berkualitas sesuai dengan harganya. Sebaliknya dari aspek hukum, mengadakan kontrak lewat media internet akan mengalami kesulitan karena dua hal yakni belum ada hukum materilnya dan cara penegakan hukumnya. Karena perlu dipikirkan hal-hal apa yang harus dilindungi oleh hukum ketika pelaku bisnis melakukan kontrak dagang siber. Transaksi melalui media internet tidak dapat dilakukan untuk semua jenis benda karena ada hal-hal yang harus tunduk kepada peraturan hukum nasional negara masing-masing. TRANSAKSI MELALUI INTERNET DALAM PANDANGAN KUH PERDATA Kehadiran dunia internet membawa konsekuensi hukum di bidang perdata. Masalah yang patut diajukan adalah apakah KUH Perdata masih relevan untuk mengatur kontrak bisnis siber? Pertanyaan ini berkaitan dengan adagium het recht hinkt achter de feiten aan, artinya ada dua hal yang saling berkaitan antara unsur idealistik hukum dan unsur realistik hukum. Realistik hukum sebagai dinamika perkembangan ekonomi global yang tidak terpikirkan oleh pembentuk KUH Perdata, merupakan hal yang dapat mempengaruhi daya kerja idealistik hukum dari norma dan asas hukum yang terdapat dalam KUH Perdata. Dapat dikatakan bahwa KUH Perdata sudah ketinggalan dari perkembangan kontrak bisnis siber. Namun bukan berarti prinsip-prinsip hukum dalam KUH Perdata menjadi irrelevan bagi kontrak bisnis siber. Dilihat dari sisi KUH Perdata, figur hukum kontrak melalui media internet belum diatur. Kontrak dagang siber ini merupakan kebutuhan hukum (legal needs) di era perdagangan global yang memiliki karakteristik tertentu dan kehadirannya tidak bertentangan dengan suatu sebab yang terlarang. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract, contract vrijheid), kontrak dagang siber termasuk salah satu jenis kontrak tidak bernama (innominaat contracten, onbenoemde overeenkomst). Sebagai kontrak tidak bernama, maka terhadap kontrak dagang siber dapat diberlakukan asas-asas hukum kontrak yang terdapat dalam KUH Perdata. Sehubungan dengan ini, Mariam Darus (2000) mengatakan: sama halnya dengan kontrak melalui paper (kontrak konvensional), maka asas-asas yang berlaku di dalam kontrak konvensional juga berlaku di dalam kontrak dagang elektronik. Asas-asas itu adalah sebagai berikut: Asas kebebasan berkontrak, Asas konsensual, Asas itikad baik, Asas keseimbangan, Asas kepatutan, Asas kebiasaan, Asas ganti rugi, Asas keadaan memaksa, Asas kepastian hukum, Asas kepercayaan, Asas kekuatan mengikat, Asas persamaan hukum, Asas moral, Asas kepatutan, Asas internasional (global), Asas yurisdiksi di dalam ruang maya (cyberspace), Asas informasi, Asas kerahasiaan, Asas pengamanan, Asas standar kontrak, Asas elektronik, Asas domain, Asas kuasa, Asas penyerahan. Dari pandangan guru besar di atas, terlihat bahwa asas-asas hukum kontrak bisnis siber merupakan perpaduan dari asas-asas hukum kontrak dalam KUH Perdata dengan asas-asas hukum dalam bisnis siber. Menurut hemat saya, kontrak dagang siber meliputi 3 (tiga) fase, mulai dari awal penawaran produk oleh perusahaan sampai dilaksanakan kontrak tersebut oleh para pihak (penjual dan pembeli) yaitu fase pra kontrak, fase kontrak dan fase post kontrak. Pada tahap pra kontrak, pelaku usaha bisnis siber menawarkan profil dan produknya kepada konsumen internet dengan memberikan informasi yang jelas. Pelaku usaha berusaha menjaring konsumen sebanyak-banyaknya dengan menampilkan daya tarik sehingga konsumen mau membeli produk yang dijual. Informasi dapat dilakukan dua arah melalui misalnya e-mail. Pada tahap kontrak, di sini yang dipersoalkan secara teoritis adalah bila terjadi kontrak bisnis siber. Dalam sistem common law, a contract is an agreement that is enforceable by a court and equity. A contract is a promise ar a set of promises for the breach of which the law gives a remedy or the performance of which the law in some way recognizes a duty. Every contract involves at least two parties. The offeror is the party who makes an offer to enter into a contract. The offeree is the party to whom the offer is made. Agreement is the manisfestation by two or more persons of the substance of a contract. It requires an offer and an acceptance (Cheesman, 2003). Menurut hukum kontrak Australia, dijelaskan bahwa an offer may be described as the indication by one person to another of his willingness to enter into a contract with him on certain terms. Mengenai acceptance dijelaskan where an offer has been made, a contract binding the parties will result when, and only when, the offeree has clearly accepted the offer (Lindgren. 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa the offer and acceptance must pricely correspond; that which has been proposed by the offeror must be accepted in toto, no more and no less. 3
Tan Kamello: Aspek Perlindungan Hukum dalam Transaksi Melalui Media Internet
Berdasarkan uraian di atas dikaitkan dengan kontrak siber, bahwa janji di dunia internet yang ditawarkan oleh pihak yang membuat penawaran (offeror) harus diterima secara utuh oleh pihak yang menerima (offeree), demikian juga sebaliknya pihak penerima mengirimkan pesan (message) secara utuh kepada pihak penawar. Penawaran dan penerimaan itu dapat dilakukan melalui e-mail atau kombinasi dengan komunikasi elektronik lain seperti faks, telex. Menurut hemat saya, momentum kesepakatan dalam kontrak dagang siber tercipta ketika offeree mengirim pesan itu kepada offeror. Jadi asas yang dianut adalah konsensual bukan asas riil. Dijelaskan oleh Mieke Komar Kantaatmadja (2003) bahwa pada electronic contract, konsumen menerima penawaran dan mengisi/transmisi formulir yang terpampang di layar monitor. Selanjutnya dikatakan bahwa electronic documents shall be legally binding and recognized as proofs of evidence and shall have the legal effects as other written documents. Dalam ilmu hukum kontrak, kata sepakat yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat diinterpretasikan lisan, tertulis dan bersyarat. Kesepakatan tertulis meliputi 2 (dua) media yaitu media kertas (paper medium, paper document) dan media elektronik (electronic medium, paperless document) antara lain internet. Jadi menggunakan media internet dalam kontrak bisnis siber adalah sah dan mengikat para pihak dan karenanya harus memperoleh perlindungan hukum (legal protection, rechtsbescherming) dalam aspek hukum privat modern sebagaimana juga perlindungan hukum yang diberikan dalam transaksi konvensional. Jika dilihat dari segi hukum pembuktian, dokumen electronik dapat dijadikan sebagai bahan bukti di pengadilan. Dalam praktek pengadilan, pemberlakuan SEMA No.39/TU/88/102/ Pid, tanggal 14 Januari 1988 perihal microfilm sebagai alat bukti menegaskan bahwa microfilm atau microfiche dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dengan cacatan bahwa baik microfilm atau microfiche itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara (Panggabean, 2002). Mengenai hal ini perlu disikapi dengan hati-hati sehubungan dengan adanya UU No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Dalam undangundang ini dinyatakan bahwa dokumen kertas dapat dialihkan ke dalam microfilm atau media lainnya seperti paperless document. Dokumen yang dialihkan harus berupa naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan sah. Pengalihan dokumen wajib diverifikasi dan dilegalisasi selanjutnya ditandatangani. Jadi apabila tidak diverifikasi dan dilegalisasi, dokumen yang dialihkan ke dalam data elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti di pengadilan. Dalam hukum kontrak dagang siber, dokumen elektronik bukan merupakan pengalihan dari dokumen fisik, melainkan dapat secara langsung dijadikan alat bukti. Yang menjadi persoalan, apakah data elektronik itu tidak diverifikasi kebenarannya oleh lembaga tertentu, karena dapat saja terjadi manipulasi data oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Apakah tidak diperlukan aturan tentang pengubahan data elektronik ke dalam bentuk print-out, sehingga kekuatan bukti data elektronik menjadi otentik dan sah. Pada tahap post kontrak, yang harus dilihat adalah pelaksanaan dari kontrak dagang siber. Apakah pihak penjual produk memiliki itikad baik jika produk yang diserahkan ternyata cacat atau tidak sesuai dengan apa yang dipesan oleh pembeli. Di sini juga diperlukan perlindungan hukum bagi konsumen internet untuk mendapatkan konpensasi sehingga pembeli tidak dirugikan. Jika dalam pelaksanaan kontrak siber terjadi perselisihan hukum, maka dapat diselesaikan dengan pilihan hukum (choice of law) yang telah disepakati para pihak dan lembaga yang akan dipilih untuk menyelesaikannya. Selain bidang hukum kontrak, kontrak bisnis siber juga berkaitan dengan hukum benda. Kontrak bisnis siber tidak dapat diterapkan untuk keseluruhan jenis benda. Di Indonesia, misalnya terhadap benda tidak bergerak seperti tanah dan rumah dan benda bergerak yang tidak berwujud seperti surat-surat berharga. Di Amerika kontrak bisnis siber terhadap benda tidak bergerak (immovables thing) dapat dibenarkan. Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) Dalam kontrak konvensional yang memakai kertas atau paper based transaction, lazimnya suatu kontrak ditandatangani oleh para pihak, dengan tujuan bahwa isi dokumen yang ditandatangani benar berasal dari para pihak. Berbeda dengan kontrak bisnis siber, tidak mungkin para pihak membubuhkan tanda tangannya seperti dalam kontrak konvensional. Apa sebenarnya digital signature atau elektronic signature? Menurut Sjahdeini (2002), kata ‘signature’ adalah menyesatkan karena bukan merupakan tanda tangan yang dibubuhkan oleh seseorang dengan tangannya di atas dokumen kertas seperti yang lazim dilakukan. Signature diperoleh dengan terlebih dahulu menciptakan suatu message digest atau hash yaitu mathematical summary dari dokumen yang akan dikirimkan melalui cyberspace. Menurut Sangal (2001) yang dimaksud dengan digital signature adalah a transformation of a message using an asymmetric cryptosystem such that a person having the initial message and the signer’s public key can accurately determine wheter the transformation was created using the private key that corresponds to the signer’s public key; and wheter the message has been altered since the transformation was made. Dari pengertian di atas, selanjutnya ada 5 hal yang penting untuk dipahami yaitu: pertama, message means a digital representation of information; kedua, asymmetric cryptosystem means an algorithm or series of algorithms, which provide a secure key pair; ketiga, key pair means a private key and its corresponding public key in asymmetric cryptosystem, where the public key can verify a digital signature that the private key creates; keempat, private key means the key of a key pair used to create a digital signature; kelima, public key means the key of e key pair used to verify a digital signature. Dalam kontrak siber, pembubuhan tanda tangan itu dapat dipecahkan dengan teknik cryptography, yang berfungsi untuk menggantikan tanda tangan konvensional. Cryptography adalah seni untuk menulis dan memecahkan sandi (the 4
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
art of writing or solving codes). Ada dua tahap untuk melakukan hal tersebut yakni tahap enkripsi dan dekripsi. Enkripsi merupakan proses untuk membuat informasi atau pesan yang dikirimkan oleh pengirim menjadi tidak dapat dipahami (unintelligible) oleh pembaca yang tidak berhak. Pesan asli yang belum dienkripsi disebut Original Plaintext. Dekripsi merupakan proses untuk membalik informasi atau pesan yang sudah dibuat tidak dapat dipahami melalui proses enkripsi tersebut menjadi informasi atau pesan yang dapat dipahami atau dapat dibaca seperti sebelum mengalami enkripsi. Ada dua jenis cryptosystem yaitu symmetric criptosystem (secret key criptosystem) dan asymmetric criptosystem (public key criptosystem). symmetric criptosystem adalah cryptosystem yang mendasarkan pada single secret key yang dipakai oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam suatu hubungan komunikasi. Dengan kata lain, dipergunakan kunci yang sama oleh kedua belah pihak, yaitu pengirim memakai kunci untuk melakukan enkripsi dan penerima juga memakai kunci tersebut untuk dekripsi. Asymmetric criptosystem adalah cryptosystem yang mendasarkan pada pemakaian sepasang kunci yaitu private key dan public key, yang digunakan oleh masing-masing pihak dalam berkomunikasi. Private key tertentu hanya berpasangan dengan public key tertentu. Public key criptosystem akan dapat bekerja lebih baik jika ada suatu otoritas yang diberi tugas untuk melakukan verifikasi identitas dari orang yang memiliki public key. Otoritas itu adalah pihak ketiga yang independen, disebut Certification Authorities (CA). Public key ini dibagikan dalam bentuk sertifikat yang diterbitkan oleh CA. Sertifikat itu ditandatangani oleh CA, yang secara yuridis mengikat sebagai bukti kemilikan dari pemilik yang sebenarnya (Sjahdeini, 2000). Jadi dapat dikatakan bahwa CA merupakan sistem pengamanan atau perlindungan bagi pemegang digital signature. PERLINDUNGAN HUKUM TRANSAKSI SIBER MELALUI UNDANG-UNDANG Persoalan ini diajukan karena dalam beberapa kali pertemuan ilmiah dan diskusi tentang cyberlaw selalu dipertanyakan oleh para peserta: apakah perlu transaksi siber diatur dalam undang-undang? Terdapat dua paham yang pro dan kontra, yang satu mengatakan perlu diatur sedangkan yang lain tidak perlu diatur dalam undang-undang. Jawaban atas pertanyaan ini, penting sehubungan dengan tujuan hukum siber yaitu untuk menciptakan perlindungan hukum melalui nilai kepastian hukum. Menurut Sjahdeini, sistem pengamanan terhadap komunikasi elektronik harus dapat memberikan perlindungan dalam 2 (dua) hal yakni: pertama, pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap data dan informasi baik selama dalam penyimpanan maupun selama proses transmisi oleh pengirim kepada penerima; kedua, perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk dapat memperoleh informasi yang dirahasiakan, baik diperoleh langsung dari penyimpanannya maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada penerima (upaya penyadapan). Perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam komunikasi lewat internet lazimnya disebut dengan hacking, yaitu upaya pihak luar (hacker) untuk memasuki suatu situs atau file dengan cara menerobos sistem pengamanan situs tersebut. Hacker yang melakukan pengubahan halaman depan situs orang lain berupa gambar porno, lucu, halaman hitam disebut defacing. Secara umum, upaya perlindungan hukum yang harus diberikan melalui media internet adalah: pertama, kepastian tentang subjek yang bertransaksi, maksudnya para pihak harus jelas identitas dirinya sehingga pesan yang dikirim dan diterima adalah benar berasal dari orang yang dikenal, dan juga sebaliknya bahwa yang menerima pesan harus diketahui; kedua, keaslian substansi pesan, artinya pesan yang dikirim harus dapat dipastikan kebenarannya dan bersifat asli, bukan yang sudah diubah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab; ketiga, adanya kerahasiaan data dan informasi, artinya data dan informasi yang dikirim harus dapat dijaga kerahasiaannya terhadap orang-orang yang tidak berhak. Dengan kata lain, data dan informasi tidak boleh bocor dalam mekanisme pengiriman; keempat, pembuktian adanya komunikasi, artinya para pihak yang bertransaksi harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum tertentu; kelima, registrasi pesan maksudnya setiap pesan yang dikirim dan diterima harus dicatat sedemikian rupa oleh para pihak. KESIMPULAN Dalam era informasi, penggunaan media internet merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar, apalagi dalam transaksi bisnis ekonomi global. Konsekuensinya adalah diperlukan sistem pengamanan untuk perlindungan hukum bagi para pelaku bisnis khususnya dalam kontrak bisnis siber. Perlindungan hukum yang ada sudah tidak memadai lagi sehingga perlu pembentukan hukum di bidang teknologi informasi yang di dalamnya diatur masalah pemakaian media internet. Pengaturannya harus disikapi dengan hati-hati dalam pendekatan sistem, sehingga tidak memudahkan persoalan kontrak bisnis siber. Prinsip-prinsip hukum kontrak dalam KUH Perdata masih dapat dipakai ditambah dengan prinsip hukum baru yang terdapat dalam dunia internet.
DAFTAR PUSTAKA Cheesemen, Henry. R, 2003, Contemporary Business and E-Commerce Law, New Jersey. Prentice Hall. Badrulzaman, Mariam Darus. 2000, Kontrak Dagang Elektronik Tinjauan Dari Aspek Hukum Perdata, Makalah Dalam Seminar Antisipasi Hukum Cyber Terhadap Kejahatan E-Commerce, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sumataera Utara, Medan. Endeshaw, Assafa, 2001, Internet and E-Commerce Law With A Focus On Asia-Pacific, Singapore. Printice Hall. 5
Tan Kamello: Aspek Perlindungan Hukum dalam Transaksi Melalui Media Internet
Fuady, Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung. Citra Aditya Bakti. Kamello, Tan, 1998, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Hukum Perusahaan, Medan. Fakultas Hukum USU. Komar Kantaatmadja, 2003, Mieke, E-Commerce (CF Draft Law On Information Technology), Center of Cyber Law Studies Faculty of Law Padjadjaran University Bandung-Indonesia. Lindgren, K.E, cs, 1996, Contract Law In Australia, Sydney. Butterworth). Naisbitt, John & Partricia Abuderne, Megatrend 2000, terjemahan: FX Budijanto, 1990.Jakartta. Binarupa Aksara. Naisbitt, John, Mega Trends Asia, 1996, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Panggabean, H.P, 2000, Hukum Pembuktian Sebagai Bahasan Terhadap Bukti Non Signed (Cyber Law), Makalah Dalam Seminar Antisipasi Hukum Cyber Terhadap Kejahatan E-Commerce, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sumataera Utara, Medan. Sangal, P.S, 2001, Cyber laws and IT-Rich Society, Malaysian Journal of Law and Society, Jilid Volume 5, Selangor. Universiti Kebangsaan Malaysia. Sjahdeini, Remy. St, 2002, Sistem Pengamanan E-Commerce, Makalah Dalam Seminar Antisipasi Hukum Cyber Terhadap Kejahatan E-Commerce, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sumataera Utara, Medan. Soepraptomo, Heru, 2002, Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya Di Indonesia, Makalah Dalam Seminar Antisipasi Hukum Cyber Terhadap Kejahatan E-Commerce, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sumataera Utara, Medan. Stone, Richard, 2002, The Modern Law of Contract, London. Cavendish Publishing Limited. Suherman, Ade Maman, 2000, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta. Ghalia Indonesia.
6