BAB IV ANALISIS Meskipun belum dimanfaatkan di Indonesia, tetapi di masa mendatang kerangka CORS dapat menjadi suatu teknologi baru yang secara konsep mampu memenuhi kriteria teknologi yang dibutuhkan dalam suatu survey kadaster. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu teknologi untuk kadaster adalah [Rahmadi, 1997] : •
Kecepatan (waktu pengukuran yang relative pendek),
•
Dapat dipenuhi dengan biaya minimum,
•
Densifikasi (kerapatan) titik ikat yang minimal,
•
Lebih baik daripada metode tradisional yang biasa digunakan,
•
Ketelitian yang memenuhi persyaratan. Secara umum, pemanfaatan kerangka CORS dalam pemetaan bidang tanah di
Indonesia dapat dikaji dari berbagai aspek yaitu aspek ekonomi, prospek masa mendatang bagi perkembangan dunia pertanahan Indonesia, mendukung percepatan sertifikasi di Indonesia, dan aspek teknis untuk memperlihatkan bahwa GPS CORS dapat digunakan sebagai titik ikat dalam pengukuran bidang tanah. 4.1
Analisis Cakupan Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa cakupan CORS bervariasi, bahkan
bisa mencapai cakupan lebih dari 100 km. Dalam pengamatan dan pengukuran bidang tanah yang dilakukan dalam penelitian ini baseline yang digunakan termasuk pendek, yaitu sekitar 9 km dari stasiun CORS. Dengan melihat jumlah titik kerangka CORS yang harus dibangun (Tabel 3.1) dan disesuaikan dengan cakupan CORS tersebut, cakupan 100 km memiliki jumlah yang paling minimal, yaitu 95 titik kerangka untuk seluruh Indonesia. Tetapi bukan berarti cakupan 100 km menjadi pilihan terbaik bagi pengukuran bidang tanah yang mengacu pada titik CORS. Dalam membangun sebaran titik-titik kerangka perlu diperhatikan kepadatan penduduk dan infrastruktur wilayah cakupan. Sebagai contoh untuk wilayah perkotaan, kerangka CORS yang dibangun harus cukup banyak dan
rapat karena mempertimbangkan tingginya aktivitas transaksi pertanahan di daerah perkotaan, serta mempertimbangkan banyaknya pemukiman dan gedung-gedung bertingkat yang dapat menjadi obstruksi dalam pengukuran dengan metode satelit yang diikatkan ke titik CORS. Sedangkan untuk wilayah urban, cakupan CORS yang digunakan dapat lebih dari 100 km karena obstruksi yang ada masih dapat diatasi dan jumlah pemukiman yang ada tidak terlalu rapat sehingga kebutuhan kerangka CORS di wilayah urban tidak terlalu penting. Selain itu perlu diperhatikan juga mengenai metode pengukuran yang akan dilakukan di daerah perkotaan padat, apakah mempertahankan metode diferensial atau cukup dengan memanfaatkan metode kombinasi GPS, ETS, dan CORS untuk memperoleh hasil yang maksimal dan waktu yang efisien. Dengan demikian jumlah 95 titik untuk cakupan 100 km masih bersifat kasar dan belum cukup representatif untuk diterapkan di seluruh wilayah Indonesia serta belum tentu mewakili kondisi geografis Indonesia. Masih harus ditelaah lagi mengenai pemanfaatan GPS CORS yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan luas masing-masing wilayah di Indonesia. Pemanfaatannya dapat diadakan melalui kerjasama antar kantor wilayah administratif maupun kerjasama antar instansi yang berkepentingan. Dari Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa cakupan 50 km dapat menutup hampir seluruh area wilayah Jawa Barat, hanya sebagian kecil saja daerah yang tidak tercakup, itupun pada daerah pesisir dan laut dimana aktivitas transaksi pertanahan di daerah tersebut sedikit. Dengan demikian, keberadaan titik-titik CGPS ini dianggap telah mampu mencakup wilayah Jawa Barat dan jika dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam pengukuran bidang tanah. Untuk area yang belum tercakup titik CGPS dapat dilakukan kerjasama antara BPN sebagai penyelenggara pengukuran bidang tanah dengan pihak Bakosurtanal dalam menyiasati area yang belum tercakup ini. Dilihat dari pemanfaatannya, sebaran titiktitik CGPS ini sudah cukup merepresentasikan cakupan area yang dapat dijangkau oleh CORS. Sebagai titik-titik yang merupakan bagian dari Tsunami Early Warning System, keberadaan CGPS sudah mencukupi kebutuhan tersebut, dan jika dijadikan
sebagai titik ikat bagi pengukuran bidang tanah, titik-titik ini sudah memenuhi, bahkan melebihi dari apa yang dibutuhkan. 4.2
Analisis Aspek Ekonomi Dalam pembangunan dan pengadaan pilar titik dasar teknik di seluruh
Indonesia dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi mengingat wilayah daratan non-hutan Indonesia yang sangat luas, mencapai 95 juta hektar. Bisa dibayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membangun pilarpilar titik dasar sampai dengan orde 4 dengan spasi setiap 200 m. Dengan adanya kerangka CORS, biaya untuk pengadaan titik dasar dapat dihemat seperti yang ditunjukkan pada tabel perbandingan antara kerangka klasik dan kerangka CORS, yaitu Tabel 3.2. Dari perbandingan biaya pada Tabel 3.2, jika diambil biaya maksimum untuk pengukuran dan pengadaan CORS yaitu 190 milyar, maka dapat menghemat biaya pengadaan titik dasar klasik sebesar 187,5 kali lipat. Angka yang fantastis jika dibandingkan dengan biaya pengadaan titik dasar klasik yang meskipun murah per titiknya, tetapi karena jumlah yang dibangun harus banyak maka biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Dengan biaya yang lebih murah ini BPN dapat mengalokasikan anggaran pengadaan titik dasar teknik yang telah direncanakan sebelumnya untuk hal lain, misalnya untuk biaya pemeliharaan sistem GPS CORS. Dalam Tabel 3.2 disebutkan biaya-biaya yang dibebankan pada pengadaan masing-masing titik kerangka, baik titik dasar berorde maupun titik kerangka CORS. Biaya ini merupakan biaya asumsi yang dibebankan untuk setiap titik. Untuk titik kerangka klasik pada bagian biaya pengadaan dan instalasi per titik maksudnya disini adalah biaya pemasangan dan pembuatan pilar, yang dihitung sampai pengukuran dan koordinat posisi pilar tersebut diperoleh. Setelah dikalikan dengan banyaknya pilar yang harus dibangun, diperoleh angka 35,625 trilyun rupiah. Biaya pengadaan untuk satu titik CORS berkisar antara 300 sampai 500 juta rupiah. Untuk kasus ini diambil nilai terbesar yaitu 500 juta dengan asumsi menghasilkan titik dengan kualitas baik. Biaya 500 juta ini sudah termasuk biaya
instalasi perangkat keras CORS dengan perangkat lunaknya. Dengan demikian, jika diambil biaya maksimum total pengadaan CORS yaitu 190 milyar, maka dapat menghemat anggaran BPN untuk pengadaan titik dasar sebesar 187,5 kali lipat. Biaya yang dihitung disini adalah biaya asumsi untuk pengadaan saja. Sebenarnya masih ada biaya yang harus dipertimbangkan, yaitu biaya pemeliharan, terutama untuk pemeliharan titik kerangka CORS. Biaya pemeliharaan satu titik CORS diasumsikan sebesar 3 juta rupiah, dengan rincian kegiatan yang dilakukan antara lain pemeliharaan perangkat lunak agar tetap dapat dimanfaatkan dan berfungsi dengan baik, keperluan back-up data, dan pemeliharaan fisik antena. Biaya pemeliharaan ini dibebankan setiap bulannya atau setiap tiga bulan sekali kepada instansi yang mengelola CORS. Meskipun diadakan pemeliharaan dengan biaya tambahan setelah dilakukan pengadaan titik CORS, biaya pemeliharaan ini tidak akan lebih besar daripada biaya pengadaan dan pemeliharaan titik-titik dasar orde 4. Biaya yang diusulkan dalam penelitian ini adalah biaya untuk pengadaan, pengukuran, dan pemeliharaan titik-titik kerangka CORS nya saja, belum termasuk biaya untuk pengukuran batas-batas bidang tanahnya. Dalam pengukuran batas bidang tanah, diperlukan receiver GPS yang akan dibawa ke lapangan sebagai rover. Sebagai penanggung biaya dari pengadaan rover ini adalah pelaksana pengukuran bidang tanah, misalnya pihak swasta yang bekerjasama dengan BPN. Dengan adanya CORS ini dapat memberikan keuntungan bagi pihak swasta yang akan melakukan pengukuran, karena jumlah perangkat receiver GPS yang harus disediakan lebih sedikit, dimana hanya diperlukan satu receiver saja dalam satu kali pengukuran bidang tanah, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat lebih murah. 4.3
Analisis Prospek Masa Mendatang Dengan adanya pemanfaatan kerangka CORS dalam kegiatan pengukuran dan
pemetaan bidang tanah di Indonesia, dunia pertanahan Indonesia semakin ramai oleh teknologi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Hal ini dapat menjadi pendukung bagi terwujudnya program-program masa depan yang terkait dengan bidang pertanahan di Indonesia. Salah satu program yang dapat diwujudkan dengan
adanya kerangka CORS ini adalah kadaster tiga dimensi dan dynamic cadastre di Indonesia. Saat ini di Indonesia titik-titik pengukuran bidang tanah masih dicantumkan dalam koordinat dua dimensi, baik titik kerangka maupun titik batas bidang tanah. Meskipun sudah digunakan sejak kadaster diterapkan di Indonesia, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, saat ini dirasa perlu adanya teknologi yang menyatakan posisi suatu objek dalam tiga dimensi, termasuk posisi titik-titik batas bidang tanah. Terlebih dengan perkembangan infrastruktur di kota-kota besar yang mulai banyak memanfaatkan ruang-ruang bawah tanah, ruang diatas infrastruktur yang telah ada sebelumnya, dan ruang kolom bawah air. Terwujudnya kadaster tiga dimensi akan memberikan banyak manfaat dan dukungan bagi kegiatan pertanahan di Indonesia. Salah satunya yaitu terpenuhinya kepentingan tiga dimensi dari pemegang hak atas suatu bidang tanah dan memberikan informasi spasial dari suatu bangunan infrastruktur yang dibangun diatas bidang tanah. Selain mewujudkan kadaster tiga dimensi di darat, sistem ini memungkinkan pengembangan kadaster tiga dimensi di ruang laut (pengelolaan marine cadastre). Pembangunan dan pemanfaatan titik-titik kerangka CORS di Indonesia juga dapat menjadi pendukung berkembangnya dynamic cadastre di negara ini. Mencontoh negara-negara yang sudah menerapkan dynamic cadastre di negaranya, CORS dapat dimanfaatkan sebagai kerangka geodetik yang dinamis dan memiliki akurasi homogen. Sebagai referensi yang dinamis, titik-titik kerangka CORS dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari efek geodinamika. Dengan mengembangkan dynamic cadastre, banyak keuntungan yang dapat diperoleh, salah satunya posisi suatu titik akan berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di tempat tersebut. 4.4
Analisis Percepatan Sertifikasi di Indonesia Pemanfaatan CORS dalam kadaster di Indonesia dapat mendukung
penyelesaian target BPN dalam memetakan bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia, dalam rangka sertifikasi bidang-bidang tanah tersebut. Sertipikat ini
diperlukan sebagai jaminan hukum yang kuat bagi seseorang atas suatu bidang tanah. Dengan adanya sertipikat sebagai salinan sah dari buku ukur suatu bidang tanah, kekuatan hukum seseorang atas suatu bidang tanah menjadi kuat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada negara. Untuk dapat memetakan seluruh bidang tanah di seluruh Indonesia dibutuhkan waktu 100 tahun dengan menggunakan metode terestris4. Untuk itu diajukan alternatif pengukuran yang dibantu dan dikombinasikan dengan teknologi satelit GPS. Melihat kasus rekonstruksi batas persil di Aceh beberapa waktu yang lalu, dimana digunakan alat GPS dan ETS, terlihat beda waktu yang diperlukan masing-masing alat dalam memetakan satu bidang tanah. Secara umum, produktivitas lapangan dari metode GPS adalah sekitar 4-5 kali lebih besar dibandingkan metode pengukuran terestris [Abidin et al, 2005]. Dengan menggunakan sistem GPS CORS yang merupakan teknologi berbasis satelit, produktivitas lapangan dalam pengukuran bidang tanah diharapkan dapat lebih baik. Dalam Bab III bagian 3.3 mengenai Aspek Waktu disebutkan bahwa untuk mencapai target 18 tahun sertifikasi seluruh bidang tanah di Indonesia, dalam satu tahun BPN harus dapat melakukan pengukuran untuk 3 juta bidang tanah, sementara saat ini BPN menargetkan untuk dapat mendaftar 4 juta bidang tanah per tahun [Soemarto, 2008, komunikasi personal]. Jika target tersebut tercapai maka untuk pengukuran 50 juta bidang tanah diperlukan waktu 13 tahun saja, lima tahun lebih cepat dibandingkan waktu yang ditargetkan oleh BPN. Dengan demikian, dalam satu hari BPN harus dapat melakukan pengukuran untuk 2000 bidang tanah di seluruh Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, BPN dapat bekerjasama dan berbagi tugas dengan kantor-kantor pertanahan di wilayah administratif di seluruh Indonesia.
4
202.51.30.138/gwan/MAKALAH/Kris%20Sunarto.pdf
Karena pekerjaan mendaftar 4 juta bidang tanah per tahun bukanlah perkara yang mudah, maka dalam hal ini kerjasama antar kantor pertanahan, antar instansi pemerintah dan lembaga pemerintah sangat dibutuhkan. Kerjasama ini dapat diwujudkan dalam bentuk pengadaan pilar stasiun CORS yang layak dan memadai untuk digunakan bersama. Dengan estimasi waktu pengukuran yang lebih cepat 5 tahun dan didukung dengan adanya kerangka CORS, cita-cita dan target BPN dalam memetakan bidang tanah di seluruh Indonesia besar kemungkinan dapat terwujud dalam waktu yang cukup singkat. Dengan jumlah titik kerangka yang lebih sedikit dibandingkan pilarpilar kerangka klasik yang harus dibangun di Indonesia, waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan, instalasi, sampai pengukuran batas bidang tanah lebih singkat dibandingkan pengukuran yang mengacu pada kerangka klasik. Dengan adanya percepatan dalam hal pengadaan pilar sampai pengukuran bidang tanah, proses pemetaan bidang tanah dan pembuatan sertipikat pun menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya sistem GPS CORS, proses pembuatan sertipikat atas tanah seseorang yang semula tersendat karena perolehan data bidang tanah yang cukup lama, kini dapat diatasi. Segera setelah data dan informasi bidang tanah diperoleh, pihak pembuat sertipikat dapat langsung menuangkan data dan informasi tersebut dalam peta pendaftaran tanah yang kemudian mencantumkannya dalam buku tanah dan diterbitkan sertipikatnya. Pemanfaatan sistem CORS untuk mendukung percepatan sertifikasi di Indonesia dapat mencegah adanya sertipikat ganda untuk suatu bidang tanah, sehingga dalam hal ini sistem CORS berfungsi sebagai pencegah timbulnya konflik yang dapat muncul dari status dan hak atas suatu bidang tanah. 4.5
Analisis Penerapan GPS CORS untuk BPN Untuk membangun dan mengimplementasikan sistem ini di BPN, BPN dapat
melakukan kajian awal mengenai sistem CORS untuk pengukuran bidang tanah. Diawali dengan adanya studi kelayakan mengenai teknologi-teknologi pengukuran yang ada di BPN saat ini, khususnya teknologi berbasis satelit yang sama seperti
sistem GPS CORS ini. Dilakukan pertimbangan dari berbagai literatur mengenai segala kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem, bahkan diwacanakan juga kemungkinan BPN membangun sistem serupa jika sistem dan teknologi yang ada kurang mampu memenuhi spesifikasi pengukuran BPN. Selanjutnya setelah ditentukan satu teknologi yang dianggap sebagai teknologi yang terpilih, dilakukan suatu pilot project kegiatan pengukuran bidang tanah dengan memanfaatkan teknologi terpilih tersebut, misalnya teknologi CORS dengan spesifikasi tertentu yang memenuhi kriteria BPN. Setelah dilakukan kegiatan pengukuran bidang tanah, dapat diketahui lebih jelas seberapa efektif sistem tersebut diterapkan dalam kinerja BPN. Di sisi lain, pemanfaatan dan implementasi sistem CORS mendatangkan pengaruh bagi sektor sumber daya manusia dan struktur organisasi di BPN. Karena CORS bukanlah teknologi yang sederhana, maka diperlukan orang-orang yang mampu menguasai ilmu geodesi dan konsep teknologi informasi untuk dapat memanfaatkannya. Apalagi untuk menghasilkan suatu data berkualitas baik, diperlukan pemahaman dan kemampuan menganalisis perangkat lunak agar strategi yang digunakan sesuai dan dapat mengeliminir berbagai kesalahan dari kondisi yang ada saat pengukuran. Dari segi sumber daya manusia, saat ini BPN belum banyak memiliki SDM yang ahli dan mampu mengolah serta memanfaatkan data dari CORS untuk keperluan pengukuran bidang tanah. Untuk mengatasi hal ini dapat diadakan semacam pelatihan berkala bagi setiap pegawai BPN yang akan dilibatkan dalam pemanfaatan sistem CORS ini. Sektor lain yang tak kalah penting dalam pemanfaatan sistem CORS dalam BPN adalah sektor keuangan dan masalah pendanaan. Dengan melihat segala kekurangan dan kelebihan CORS yang disesuaikan dengan anggaran BPN, hal ini menjadi sorotan utama penerapan sistem CORS dalam pengukuran bidang tanah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan pemanfaatan CORS dapat menghemat biaya yang semula dianggarkan untuk pengadaan titik dasar berorde. Dengan demikian anggaran yang semula direncanakan untuk pembangunan titik-titik
kerangka klasik dapat dialokasikan untuk kepentingan BPN yang lain, seperti pemeliharaan titik-titik kerangka CORS. Terkait target BPN untuk memetakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia, perlu diperhatikan lagi ketentuan-ketentuan dan peraturan yang mengatur tentang Pendaftaran Tanah, khususnya pengukuran batas bidang tanah. Perlu dikaji kembali apakah teknologi yang akan digunakan sesuai dengan aturan dan spesifikasi yang disyaratkan dalam aturan yang dimaksud, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sebagai contoh, pasal yang berbunyi tentang titik dasar dan spesifikasi yang disyaratkan, apakah sistem CORS sudah dapat memenuhi hal ini atau belum. Jika belum, perlu dipikirkan suatu langkah bagaimana penyesuaian kedua hal ini. Apakah peraturan yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi atau teknologi yang mengikuti standar baku yang telah ditetapkan dalam peraturanperaturan pemerintah tersebut. Jika suatu saat BPN membangun sistem CORS atau sistem sejenis yang digunakan sebagai titik acuan bagi pengukuran bidang tanah, sistem ini tidak hanya dapat digunakan oleh BPN, tetapi dapat dilakukan kerjasama dengan instansi pemerintah atau pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama, misalnya Departemen Kehutanan yang dapat memanfaatkan sistem ini untuk pengukuran dan pemetaan area hutan di Indonesia. BPN dapat membagi data dan mengambil keuntungan finansial dari setiap data yang diberikan kepada pengguna. 4.6
Analisis Aspek Teknis Dalam pengukuran lapangan yang dilakukan dan telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, disebutkan bahwa dilakukan pengukuran jarak horizontal antar titik-titik yang dicari posisinya. Pengukuran jarak horisontal dengan pita ukur dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi nilai jarak horizontal dengan jarak dari hasil pengukuran posisi dengan GPS. Data hasil ukuran pengukuran bagian persil tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak ilmiah Bernese 5.0. Pengolahan data dilakukan dengan strategi untuk pengolahan data baseline pendek. Perangkat lunak Bernese ini
selanjutnya dijadikan sebagai referensi untuk pengolahan data dengan perangkat lunak komersil, karena dalam melakukan pengolahan data posisi umumnya orang menggunakan perangkat lunak komersil. Dengan mengacu pada perangkat lunak ilmiah yang mampu menghasilkan kualitas data yang lebih baik, dapat diketahui sejauh mana kualitas yang dihasilkan oleh perangkat lunak komersil. Hasil pengolahan data yang berupa nilai koordinat tiga dimensi ditunjukkan pada Tabel 3.2. Secara umum nilai koordinat pengolahan data GPS dapat dianggap cukup baik, sehingga jarak ruang yang diperoleh pun dapat dianggap baik. Adanya selisih yang cukup besar mencapai angka 8 dm kemungkinan datanya adalah data blunder. Nilai selisih yang lain bervariasi, mulai dari nilai maksimum 2 dm (jika data blunder dihilangkan), dan nilai minimum 5 mm. Sewaktu dilakukan pengukuran titik 1 sampai titik 6, kondisi pengukuran dapat dikatakan berada pada kondisi yang ideal, dengan kondisi cuaca yang cukup cerah dan lama pengukuran cukup, yaitu sekitar 30 menit. Sedangkan pada pengukuran yang dilakukan pada titik 7, kondisi cuaca sudah berubah menjadi sedikit mendung dan pengukuran dilakukan hanya selama 15 menit. Tabel 4.1 memperlihatkan perbandingan dan selisih antara jarak horizontal pita ukur dengan jarak ruang dari koordinat geosentrik GPS. Secara teori jarak ruang dari GPS dapat dianggap sama dengan jarak ukuran pita ukur karena dalam kasus ini pengukuran dilakukan di daerah yang dapat dikatakan relatif datar. Meskipun secara teori dianggap sama, selisih yang ada antara kedua nilai ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya pengaruh kesalahan alat GPS yang digunakan, kurang tegangnya pita ukur saat dilakukan pengukuran, dan salah membaca skala bacaan pita ukur. Pencantuman aspek teknis sebenarnya bukan fokus utama dari penulisan tugas akhir ini. Data yang dicantumkan hanya sebagai sampel atau contoh untuk memperlihatkan kualitas data hasil pengukuran bidang tanah yang mengacu pada stasiun CORS.
Tabel 4.1 Perbandingan Jarak Horisontal dengan Jarak Ruang JARAK (m) JARAK
pita ukur
GPS
Selisih (m)
d1
30,141
30,126
0,015
d2
28,821
28,785
0,036
d3
29,581
29,576
0,005
d4
29,810
29,786
0,024
d5
40,413
40,495
-0,082
d6
42,930
43,091
-0,161
d7
18,880
18,051
0,829
d8
16,270
16,457
-0,187
d9
15,220
14,983
0,237
d10
14,900
15,148
-0,248
d11
24,553
24,835
-0,282
d12
20,482
20,581
-0,099