BAB III TAFSIR MIMPI IBNU SIRIN DENGAN SIGMUND FREUD
A. Metodologi Tafsir Mimpi Ibnu Sirin Ibnu Sirin adalah seorang muslim generasi awal sekaligus perawi hadits. Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Ibnu Sirin. Ia dilahirkan di kota Bashrah, Irak pada 33 H. (653 M.) dan wafat pada tahun 110 H. (730 M.) (Purwanto, 2003: 288). Dimasa hidupnya, Ibnu Sirin adalah seorang penulis termasyhur dan ulama terhormat. Ia hidup di abad pertama kekhalifahan Islam dan belajar fikih serta hadits dari tangan pengikut pertama shahabat-shahabat Rasulullah saw. Di antara tokoh-tokoh yang sezaman dengannya adalah Imam Anas Ibn Malik, al-Hasan ibn al-Hasan al-Bashri, Ibnu Awn al-Fudhayl ibn ‘Lyadh dan banyak lainnya. Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu ialah orang yang diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak lahir. Pembawaan sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap aneka perkara gaib.
Pemilik
daya
ini
mampu
mengendalikan
ruhaniahnya
untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan. Ia dapat menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki keistimewaan hanya dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).
50
51 Kemanakah sekarang ini manusia mena’wilkan mimpi? Pertanyaan ini mengguncang akal manusia sepanjang masa. Al-Qur’an mengabadikan pertanyaan ini sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 60 sebagai berikut:
ﺱ ِ ﺎﻨ ﹰﺔ ﻟِﻠﻨﺘ ﻙ ِﺇ ﱠﻻ ِﻓ ﺎﻳﻨﺭ ﺎ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﺃﺅﻳ ﺮ ﺎ ﺍﻟﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﺎﻭﻣ ﺱ ِ ﺎﻁ ﺑِﺎﻟﻨ ﺎ ﹶﻚ ﹶﺃﺣ ﺑﺭ ﻚ ِﺇ ﱠﻥ ﺎ ﹶﻟﻭِﺇ ﹾﺫ ﹸﻗ ﹾﻠﻨ :ﺍ )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀﺎ ﹶﻛِﺒﲑﺎﻧﻐﻴ ﻢ ِﺇ ﱠﻻ ﹸﻃ ﻫ ﺪ ﻳﺰِﻳ ﺎﻢ ﹶﻓﻤ ﻮﻓﹸﻬ ﺨ ﻭﻧ ﺁ ِﻥﻧ ﹶﺔ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﻮﻤ ﹾﻠﻌ ﺮ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ ﺠ ﺸ ﺍﻟﻭ
(60
Artinya: “Dan ingatlah ketika kami wahyukan kepadamu: “sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi gejala manusia”. Dan kami tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagian ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan kami menakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka” (QS. al-Isra’: 60) (Depag RI, 1985: 433). Pada kondisi tidur, ruh manusia seolah naik vertikal, tetapi tidak dilepaskan dari jasad manusia, kemampuannya berkomunikasi dengan makhluk dan alam lain tergantung pada kualitas ruh tersebut. Kualitas ruh tersengat ditentukan oleh makanannya, yakni makanan ruhaniah, amal shaleh dan dzikrullah. Semakin suci amal seseorang dari perbuatan dosa, maka semakin mampu pula ruh berkomunikasi dengan bahasa siapa dan harus memilih bahasa siapa (Allah, manusia, setan dan benda) sangat ditentukan energi ruhani ketika dalam keadaan sadar. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa sesungguhnya ruh saling bertemu diangkasa, saling mengenal atau saling mengingat. Malaikat mimpi mendatangi ruh itu dan menampakkan gambaran yang baik atau yang buruk. Allah telah mengutus seorang malaikat untuk mendatangi
52 mimpi yang benar, memberitahukan atau mengilhamkan pengetahuan tentang setiap jiwa, nama dan berkaitan dengan agama, dunia dan tidak ada yang meleset. Malaikat itu membawa kebaikan dan keburukan orang itu, dalam agama dan dunianya. (Purwanto, 2004: 2005). Mimpi sebagai produk ingatan atau proses mental bisa dijadikan sebagai alat bantu atau indikator untuk menganalisa jenis gangguan fisik atau psikis seseorang. Sirin (2003: x) dalam kitabnya Ta’wil Mimpi al-Qur’an dan Sunnah memberikan solusi dalam mena’wilkan mimpi sebagai berikut: 1. Mimpi jamaniah. Mimpi ini tidak penting dan disebabkan oleh fungsi faali otak yang terganggu, baik disebabkan sakit dan penyakit seperti demam, migran, minum dan makan obat yang menyebabkan efek terhadap fungsi khayal, imajinasi, fantasi dan halusinasi. Karena kesakitan, seperti penyalahgunaan ramua dan obat. Mimpi yang demikian tidak bersifat meramalkan, bermakna baik, melainkan berupa hayalan atau higauan. 2. Mimpi subjektif yang berdasarkan pada pandangan sendiri. Mimpi ini penuh lambang-lambang dan bermakna tertentu. Bisa meramalkan, membenarkan, menunjukkan sesuatu yang berarti. Namun untuk mengenalinya, perlu keahlian tertentu, karena tersembunyi di balik lambang dan kiasan atau simbol-simbol. 3. Mimpi ini dilaksanakan oleh ruh sendiri dan meramalkan, menunjukan, menggambarkan dan membenarkan. Ini merupakan hasil perjalanan jiwa ke alam ruhaniah dan merupakan mimpi tingkat tinggi yang melampaui keterikatan fisik.
53 Sayyid Qutb menjelaskan bahwa batas waktu dan tempat itulah yang menjadi penghalang manusia antara mimpi dan kejadian yang telah berlalu dan akan datang, atau masa kini yang terhalang. Masa lalu dan masa datang terhalang oleh pergerakan masa kini sebagaimana kita terhalang oleh masa kini, peredaran tempat. Indra manusia tidaklah bisa disebut sebagai pengetahuan, tetapi hanya sebatas hanya merasa. Kita tidak tahu sampai di mana kepekaannya, hanya terlihat oleh kita, mimpi bergambar yang jelas, suram, abstrak dan tidak jelas. Imam Muhammad al-Safari mengatakan bahwa setan menampakkan sesuatu yang menakutkan dalam tidur, memasukkan kegelisahan, kebencian dan bercambur baur segala macam dalam mimpi. Dia sedang bermain-main, yaitu segala macam dalam mimpi yang tidak mendatangkan manfaat dan hikmah. Sedangkan Fahd bin Saud al-Ushaimy menganggap bahwa mimpi yang benar dari Allah dan bunga mimpi dari setan. Yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan keyakinan ilmu yang mendatangkan kemudahan tanpa campur tangan setan dan Allah menciptakan ilmu yang mendatangkan celaka dengan campur tangan setan. Campur tangan setan hanyalah sebagai kiasa, karena setan tidak berbuat apa-apa. Kadang mimpi tidak membawa berita gembira, tetapi membawa peringatan yang sesungguhnya. Adapun menggunakan kata al-Mubasyirah (berita-berita gembira) tidak lebih adalah untuk menunjukkan kejadian mayoritas. Karena terkadang mimpi tersebut justru menjadi peringatan bagi
54 orang mukmin, sehingga ia bersiap-siap sebelum peristiwa datang (al-Uraini, 2003: 41). Sedangkan Imam Ja’far Shadiq menganggap bahwa hakikat mimpi merupakan naiknya ruh ke langit dengan kehendak Allah SWT. Jika ajalnya telah tiba, maka Allah menyimpannya dalam rahmatnya, di dalam surganya. Jika belum datang waktu ajalnya, maka Allah menyuruh malaikatnya untuk mengembalikan ke jasadnya semula (Shadiq, 2003: 28). Ibnu Sirin memandang bahwa Allah SWT., menciptakan mimpi benar dengan menghadirkan malaikat yang diwakilkan, sehingga mimpi yang demikian ini dinisbatkan kepada malaikat. Allah SWT. menciptakan mimpi palsu atau bathil dengan kehadiran setan, maka mimpi seperti ini dinisbatkan kepada setan tersebut. Mimpi yang batil selalu mendustakan ajaran Allah atau berakibat melanggar ketentuan Allah yang diperintahkannya (Sirin, 2003: viii). Mimpi kabar gembira dari Allah adalah semua mimpi yang disajikan manusia dalam tidur baik maupun buruk. Sedangkan mimpi petakut dari setan adalah semua mimpi yang menyebabkan mandi wajib, sehingga mimpi tersebut dinisbatkan kepadanya. Mimpi yang disertai dengan rasa lapar atau terlalu kenyang juga tidak benar sebagaimana orang yang sedang jaga mengimpikannya, karena mimpi itu tidak menunjukkan hikmah. Dalam menginterpretasikan mimpi, Ibnu Sirin berpandangan bahwa penafsiran mimpi dapat dilakukan oleh struktur kalbu. Kalbu mampu menangkap pesan, simbol dan kenyataan mimpi. Walaupun mimpi tersebut
55 irasional, namun maknanya dapat dirasakan dan ditangkap oleh kalbu manusia. Gejala-gejala mimpi yang irasional menunjukkan adanya relativitas otak manusia (Sirin, 2004: 3). Makna mimpi hanya dapat dijadikan analogi, pengambilan pelajaran, penyerapan dan dugaan. Mimpi tidak dapat dijadikan pertimbangan dan dianggap benar, kecuali jika kebenarannya terwujud di dunia nyata atau tandatanda yang menunjukkan kebenaran itu sendiri. Setan tidak dapat menyerupai Nabi saw. di dalam mimpi. Barangsiapa yang bermimpi melihat beliau, berarti dia melihat beliau secara nyata (Sirin, 2004: 2). Selanjutnya Ibnu Khaldun melihat, bahwa dalam kehidupan seharihari manusia sebenarnya seringkali berada dalam situasi “tidak sadarnya”, di dalam tidur. Dalam keadaan ini, jiwa dapat membuka takbir pengetahuan, kegaiban sebagaimana diperlihatkan dalam mimpi. Sebab dalam jiwa itu terbebaskan dari benda-benda jasmaniah dan batas-batas persepsi jasmaniah. Semua organ tubuh yang melahirkan persepsi istirahat, sedangkan kekuatan batinya tetap bergerak, jiwa leluasaanya mencapai dalam bidang kerohanian (Thaha, 1987: 84). Dalam menafsirkan mimpi, Ibnu Sirin memiliki beberapa karakteristik simbol mimpi seseorang. Di antaranya: 1. Mimpi yang ditakbirkan dengan al-Qur’an 2. Mimpi yang ditakbirkan dengan hadits 3. Mimpi yang ditakbirkan dengan perumpamaan (amtsal) 4. Mimpi yang ditakbirkan dengan arti sebuah nama (tekstual)
56 5. Mimpi yang ditakbirkan dengan pengertian kontekstual 6. Mimpi yang ditakbirkan dengan makna sebaliknya 7. Mimpi yang ditakbirkan dengan melihat perbedaan perilaku dan kebiasaan orang yang mengalami (Jumantoro, 2003: 292). Perubahan ta’wil mimpi dari masa ke masa yang harus dipahami bahwa ilmu-ilmu dasar teori ta’wil mimpi lama tidak akan pernah berubah, namun yang berubah adalah adat kebiasaan manusia, gaya hidup masyarakat, etika, akhlak atau moral mereka, cita-cita hidup mereka dan tingkat prioritas perhatian mereka terhadap urusan dunia dibandingkan dengan urusan akhirat (Sirin, 2003: xxii). Begitu juga dengan mimpi dalam menafsirkan harus memiliki beberapa sifat yang dipandang wajib bagi Sirin, di antaranya: 1. Kehati-hatian, yaitu sikap yang menjadi syarat ilmuwan di manapun. Hal ini tidak adakan mendorong seseorang tergesa-gesa pada keyakinan sesaat. 2. Keluasan dan kedalaman analisis, yakni bekal pengetahuan yang disyaratkan pada penafsir mimpi, tidak terbatas pada satu sisi pengetahuan, bahkan bukan seorang spesialis ilmu. 3. Kualitas pena’wil serta persyaratan yang harus dimiliki oleh pena’wil yang meliputi: kode moral, tujuan, kesucian, keimanan, kesederhanaan dan kemanusiaan (Sirin, 2003: xx). Mimpi yang terjadi di bawah alam sadar sebenarnya memperlihatkan suatu transformasi dari kesadaran manusia ke tingkat rohaniah yang lebih tinggi, yang berbeda-beda macamnya sesuai dengan tingkat kesiapan jiwa.
57 Sebagian manusia, mempunyai kesiapan jiwa untuk menerima dan masuk ke dunia malaikatan yang karenanya iapun mengetahui sesuatu pengetahuan kemalaikatan, sehingga manusia memperoleh wahyu atau kebenaran melalui mimpi yang shalih (Thaha, 1987: 85). Tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi dengan jelas dan benar. Orang yang mimpi melakukan hal itu ialah orang yang diberi karunia oleh Allah SWT. sebagai pembawaan sejak lahir. Pembawaan sejak lahir merupakan daya melihat dengan mata hati terhadap aneka perkara gaib.
Pemilik
daya
ini
mampu
mengendalikan
ruhaniahnya
untuk
mena’wilkan mimpi secara tepat dan sesuai dengan kenyataan. Ia dapat menampilkan hal-hal gaib. Orang yang tidak memiliki keistimewaan hanya dapat memberikan ta’wil yang bohong (Sirin, 2004: xvi).
B. Metodologi Tafsir Mimpi Sigmund Freud Banyak aliran psikologi terkemuka dewasa ini berkembang dari psikoanalisa. Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud dan sering dinamakan aliran Freud (Freudian School). Freud adalah seorang neurolog (ahli syaraf) yang hidup dan membuka praktek di Wina, Austria. Dia memantapkan dirinya sebagai seorang peneliti dan dokter yang cakap, mengembangkan teknik-teknik laboratorium yang digunakan dalam penelitian otak dan juga teknik pembiusan yang digunakan untuk mengoperasi mata. Karena keahliannya itulah, maka banyak dokter-dokter Eropa mengirim pasien dengan kasus penyakit syaraf ke Freud (Poduska, 1990: 77).
58 Freud berpendapat bahwa kunci dalam bidang psikoanalisisnya yaitu perbuatan dan perasaan dapat ditentukan oleh motivasi yang tidak disadari. Proses psikis ditentukan oleh kadar kekuatannya, sedang motivasi yang menggerakkan kita adalah kekuatan emosional (Crapps, 1985: 61). Pemikiran Freud tentang kepribadian terdiri dari sistem yang saling berhubungan, secara tradisional sistem itu disebut dengan Id, ego dan superego (Poduska, 1990: 78). Id bersifat hedonistic (mencari ketenangan melulu) ialah berupa penghindaran kesakitan dan pencarian kesenangan. Id juga tidak membedakan antara pikiran dan perbuatan, antara yang nyata dan yang khayalan. Ego juga tidak membedakan antara pikiran dan perbuatan nyata dan hanya khayalan, ego hanya berperan mensensor pengalaman dalam otak, sedangkan superego memainkan peranan yang penting dalam mimpi, yang berkenaan dengan perkembangan dan fungsi kepribadian (Poduska, 1990: 84). Metode untuk menafsirkan mimpi secara dunia ilmu pengetahuan non ilmiah menerapkan metode dasar yang yang berupa; Pertama, melihat isi mimpi secara keseluruhan dan mencoba menggantinya dengan yang lain, yang dapat dimengerti dan dapat disamakan dalam beberapa hal (tafsir simbolik). Kedua, adalah sama sekali membuang tuntutan semacam itu. Ia bisa digambarkan sebagai metode sandi rahasia, karena dalam memperlakukan mimpi sebagai semacam kode rahasia. Setiap tanda diterjemahkan ke dalam tanda lain yang diketahui artinya, sesuai dengan kunci yang telah ditetapkan (Freud, 2001: 118).
59 Penerapan konsep dari unsur tunggal dalam mimpi secara keseluruhan menunjukkan bahwa mimpi secara menyeluruh diganggu oleh sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak disadari, dan tugas interpretasi mimpi ialah menemukan pemikiran-pemikiran bawah sadar. Dalam hal interpretasi mimpi Freud (2002) memberikan tiga peraturan yang penting yang harus diperhatikan yaitu: 1) Tidak membedakan makna yang muncul dari mimpi, apakah beralasan atau absurd, jelas atau membingungkan, sebab tak ada kasus yang menunjukkan bahwa makna tersebut adalah pemikiran “bawah sadar” yang dicari.1 2) Membatasi untuk membangkitkan
ide-ide
pengganti
dari
setiap
unsur
dan
tidak
mempertimbangkannya terlalu dalam untuk melihat apakah ide-ide itu berisi sesuatu yang sesuai dengan harapan, dan juga tidak perlu mempersulit diri dengan mengikuti seberapa jauh ide-ide itu membawa kita menuju unsur mimpi. 3) Menunggu sampai pemikiran bawah sadar yang tersembunyi muncul dengan sendirinya. Mimpi yang diingat banyak ataupun sedikit tidak ada bedanya sama sekali, hanya berupa substitusi pengganggu yang dimunculkan lewat ide-ide pengganti, dan memberi sarana pendekatan pemikiran yang tepat serta untuk membangkitkan pemikiran bawah sadar yang mendasari mimpi ke dalam kesadaran.
1
Perlu dicatat bahwa dalam menggunakan kata “bawah sadar” (unconscious), terjemahan dari bahasa Jerman “Unbewusst”, ia berarti “ketiadaan kesadaran” misalnya dalam frase “dia terbaring tak sadarkan diri”, “sebuah batu tak sadar”, dan sebagainya. Unbewusst lebih berarti “tidak sadarkan diri”, sesuatu yang tidak dimengerti pelaku. Dari sini, dua pernyataan mungkin bisa diprediksikan, bukan saja bahwa ia tidak sadarkan diri dalam dirinya atau tentang dirinya, tetapi juga bahwa pelaku (subjek) tidak sadar tentang keberadaannya (Freud, 2002: 112).
60 1. Mimpi sebagai Pemenuhan Harapan Di antara situasi yang cocok untuk menimbulkan kegiatan bawah sadar, adalah situasi di mana kesadaran terbius dengan jalan menggunakan obat-obatan bius atau yang memabukkan (El-Quussy, 1974: 171). Gulen (1994: 63) ketika dalam alam bawah sdar (yaitu pikiran dan kemauan kita, dorongan dan pengalaman masa lalu) terbuka secara tidak sadar. Dalam kondisi sakit atau lapar bahkan menghadapi permasalahan yang tidak dapat terpecahkan, imajinasi memberikan bentuk penyimpangan watak jelek, atau pikiran masih ingat peristiwa menarik masa lampau dan memberikan bentuk baru yang berbeda. Semua bentuk mimpi seperti itu bercampur, mereka memiliki makna, tetapi tidak dapat diinterpretasikan. Biasanya mimpi dirangsang oleh suatu rangsangan luar, seperti halnya berita, pikiran, penyaksian waktu bangun, perangsang yang terasa waktu tidur (El-Quussy, 1974: 171). Sehingga di antara usaha mimpi adalah pemadatan (icondensation)2 dengan itu tercapailah sekaligus dua atau lebih keinginan. Ternyata bahwa pada tidur yang nyenyak, mimpi itu terjadi dalam bentuk sungguh-sungguh, akan tetapi pada keadaan tidur yang kurang nyenyak, mimpi itu terjadi sering diketahui sendiri bahwa dirinya bermimpi. Hubungan antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan dengan apa yang dinamakan ramalan yang tidak dapat disadari, artinya, bahwa ada
2
Pengaruh pemadatan itu tampak dalam usaha yang tidak disadari dalam kehidupan sehari-hari, ada orang yang banyak bicara dengan dua dorongan yang berlawanan, Pertama, dorongan untuk menyatakan diri dan Kedua, pembelaan diri, sehingga pendengar tidak mengajukan pertanyaan atau membantah
61 petunjuk-petunjuk yang lewat pada pikiran untuk dipegang terhadap apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974: 177). Schepner (1861) mendukung pandangan bahwa mimpi berasal dari stimuli organik dan memberi sumbangan atas hubungan isi mimpi dengan kondisi rangsangan organ seksual ternyata sangat kuat (freud, 2002: 92). Mimpi bukan saja memproduksi stimulus tapi juga memberi tambahan, memainkan, menyesuaikan dengan konteks lain atau bahkan merubah menjadi sesuatu yang lain. Aristoteles (1881) mendefinisikan mimpi merupakan kelanjutan proses berfikir dalam tidur, lalu ketika saat sadar pikiran kita menampilkan prosesproses psikis (penilaian, penyimpulan, jawaban atas keberatan, pengharapan, keinginan dan sebagainya) (Freud, 2001: 515). Harapan yang direalisasikan dalam mimpi itu berasal dari: 1) Mimpi dibangkitkan sejak hari sebelumnya, namun karena keadaan-keadaan eksternal ia belum terpuaskan, sehingga di malam hari pertanyaan dan harapan-harapan tak terpuaskan itu muncul, 2) Mimpi muncul di hari sebelumnya hanya untuk kemudian ditolak atau dibuang, sehingga di malam hari akan tersisa harapan tak terpuaskan dan ditekan, 3) mimpi tidak memiliki hubungan dengan hidup keseharian, namun mimpi adalah harapan-harapan yang hanya bisa dibangkitkan di malam hari sebagai materi-materi yang tertekan dalam diri manusia. Jika kembali pada pola apartus psikis, maka manusia bisa melokalisir harapan pada urutan pertama dalam system prasadar. Bisa diasumsikan bahwa harapan pada urutan kedua telah dilempar kembali dari
62 system prasadar menuju sistem bawah sadar, di mana harapan itu sebenarnya bisa mempertahankan dirinya sendiri (Freud, 2001: 516). Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan alam sadar akan dipindahkan ke latar belakang, sehingga mimpi tak memainkan peran apapun, kecuali peran-peran yang diberikan pada materi-materi sensasi aktual selama tidur dalam hubungan dengan isi mimpi, sesuai dengan jalur pikiran.
2. Distorsi dalam Mimpi Robert (1911) menyatakan bahwa mimpi berfungsi untuk membuang ingatan-ingatan kita tentang kesan-kesan tidak berguna yang diterima pada hari itu dan tidak bisa lagi dipertahankan ketika ingatan-ingatan remeh dari masa kanak-kanak juga muncul dalam mimpi dengan frekuensi tertentu (Freud, 2004: 328). Distorsi menyebabkan mimpi tampak aneh dan tidak jelas. Ada beberapa hal yang ingin diketahui dari distorsi: 1) darimana asalnya, 2) bagaimana melakukannya. Kita bisa mengatakan bahwa distorsi adalah hasil kerja mimpi (Freud, 2001: 139). Mendeskripsikan kerja mimpi menurut Van Hug dan Hellmuth (ahli psikoanalisa) bahwa mimpi yang dialami oleh seorang wania tua juga membutuhkan interpretasi karena mimpi yang dialami mempunyai hubungan dengan lamunan. Mimpi itu hanya mendapat sedikit distorsi. hal yang paling menarik adalah terjadinya kekosongan, bukan dalam mengingatnya, tapi pada
63 isinya. Ada tiga tempat yang hilang yaitu saat pembicaraan di sela gumaman, isi mimpi yang berupa gumaman yang tidak jelas, sesuatu yang hilang atau ditutup-tutupi. Menyadari bahwa faktor-faktor kejutan juga tidak mendorong ditutup-tutupi elemen mimpi (Freud, 2001: 142).
3. Psikologis dalam Proses Mimpi Freud mengambil makna mimpi sebagai obyek studinya. Salah satu alasan ialah persamaan yang ditemukan antara reaksi-reaksi para pasien dalam keadaan hipnosa dengan mimpi biasa. Alasan lain ialah bahwa cerita tentang mimpi menjadi suatu unsur penting dalam pengobatan psikoanalisis sejak ia pindah ke metode asosiasi bebas dan alasan yang paling menentukan ialah pengalaman tentang mimpi-mimpinya memungkinkan Freud melakukan psikoanalisa terhadap dirinya (Bertens, 1991: xxv). Salah satu aktivitas psikologis yang terjadi disaat tidur adalah mimpi. Mimpi merupakan keadaan kesadaran yang berubah di mana citra dan fantasi yang teringat secara sementara dikacaukan oleh realitas eksternal (Mujib dan Mudzakir, 2001: 304). Freud memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh masa lalu ketidaksadaran, dan dorongan-dorongan biologis (nafsu-nafsu), yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi (Baharuddin, 2004: 175). Kajian komparatif dari seluruh fenomena tentang asumsi-asumsi psikologis yang didasarkan pada analisis mimpi harus menggabungkan penelitian-penelitian lain (dari titik pangkal lain) yang juga mencoba masuk ke
64 dalam permasalahan yang sama, sehingga mimpi dapat mudah diketahui faktor-faktor psikologisnya (Freud, 2001: 474). Freud (2004: 475) mengkategorikan faktor-faktor psikologis dalam proses mimpi meliputi: a. Pelupaan Mimpi Hasil yang diingat kembali dari mimpi, dengan apa yang kemudian dijadikan subjek dari metode tafsir mimpi, pada awalnya dirusak oleh faktor inkonsistensi ingatan (yang terutama sekali tak mampu untuk menyimpan mimpi) dan mungkin justru telah mengabaikan bagian-bagian paling signifikan dari isi mimpi tersebut. Ketika mencoba mengingat mimpi dengan lebih seksama, acap kali muncul pikiran bahwa telah memimpikan lebih banyak dari apa yang bisa diingat, bahkan ingatan tentang satu kepingan mimpi inipun tampak sangat tidak jelas (Freud, 2004: 475). Fenomena melupakan mimpi juga tetap tak akan bisa dipahami, hingga dalam menjelaskannya dalam ruang lingkup proses sensor psikis. Perasaan atau sensasi yang muncul dalam mimpi seseorang secara berkalikali sepanjang malam dan hanya sebagian kecil saja yang tetap tersimpan, mungkin masih mempunyai arti lain pada sejumlah persoalan, mungkin bisa berarti bahwa kerja mimpi berjalan sepanjang malam dalam cara-cara yang bisa dipahami, tapi kemudian hanya meninggalkan satu mimpi singkat. Meskipun demikian, tidak terdapat keraguan bahwa mimpi akan semakin terlupakan setelah terjaga, meskipun upaya-upaya yang kadang
65 menyakitkan harus dilakukan untuk mengingatnya kembali (Freud, 2004: 481). Mimpi berbeda dengan kesalahan pengucapan karena terdiri dari banyak unsur. Mempertimbangkan beberapa tehnik, sebaiknya membagi mimpi berdasarkan variasi unsur dan mempelajarinya secara terpisah, kemudian baru membangun kembali analogi dengan keseleo lidah. Orang yang bermimpi apabila ditanyai salah satu unsur mimpinya akan menjawab dia tidak mengetahuinya, karena ia tidak ingat akan mimpinya (Freud, 2001: 103). Biarpun dalam keadaan tidur respresi pihak ego memang kurang ketat, namun tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama sekali. Juga waktu tidur keinginan yang direpresi tidak lolos dari sensor. Tetapi keinginan itu mencari akal untuk menipu sensor, yaitu dengan mengubah bentuknya atau dengan kata lain dengan menggunakan kedok. Dengan demikian batasan yang diberikan Freud tentang mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi yang berfungsi melindungi tidur. Psikologi menggambarkan kepada kita bahwa factor utama yang menentukan dalam proses pembentukan mimpi ialah kondisi pasif jiwa yakni pembentukan mimpi tetap berjalan dengan mengurangi proses sensor endopsikis (Freud, 2004: 491). b. Regresi Dalam penelitian psikologis yang telah lama meringkas hasil-hasil utama dalam penelitian yang telah dilakukan. Mimpi adalah aktivitas
66 psikis yang penuh dengan kepentingan, kekuatan motifnya selalu pemenuhan harapan, dan begitu banyaknya keanehan serta absurditas di dalamnya adalah pengaruh dari proses sensor psikis yang bekerja selama pembentukan mimpi (Freud, 2004: 497). Di samping kebutuhan agar terhindar dari proses sensor, factor-faktor yang berperan dalam pembentukan mimpi ialah: 1) Proses kondensasi materi-materi psikis, 2) Berkenaan tentang kelayakan untuk mewakili rangsangan inderawi (representabilitas), 3) Tidak kontinue faktor eksterior struktur mimpi yang rasional dan jelas. Albertus Magnus (1895) mendeskripsikan unsur regresi bermula dari imajinasi membangun mimpi di luar objek-objek nyata yang disimpannya. Proses ini berkebalikan dengan yang terjadi pada alam sadar. Sedangkan Hobbes mengartikan regresi mimpi adalah kebalikan dari imajinasi kita. Gerakan disaat terjaga dimulai dari satu sisi misalnya, dalam mimpi akan dimulai dari sisi yang lain (Freud, 2004: 599). Dalam pendapat lain, Maeder (1950) berusaha mencari fungsi mimpi yang lain. Ia mulai dari sebuah pengamatan bahwa banyak mimpi berisi usaha untuk memberikan solusi konflik, yang setelahnya benarbenar bisa diterapkan. Sehingga mereka bertindak seperti sedang mengemas persiapan bagi aktivitas sadar. Dia kemudian menarik garis sejajar antara bermimpi dan peran binatang serta anak-anak, yang dibayangkan sebagai suatu latihan bagi naluri mereka dan persiapan bagi kehidupan mereka kelak, sehingga justru menghasilkan fungsi mimpi yang
67 terkesan menggelikan. Sedangkan Adler (1905) juga menekankan fungsi berpikir mendahului mimpi. Analisisnya berupa mimpi yang dipahami sebagai mimpi solusi yang terus menerus muncul beberapa malam, hingga akhirnya menghilang setelah solusi tersebut benar-benar diterapkan (Freud, 2004: 601). c. Pemenuhan Harapan Mimpi tak lain akan berisi sebuah pemenuhan harapan, jelas akan tampak aneh bagi kita semua, karena adanya kontradiksi yang diberikan dalam
kegelisahan.
Analisis
sesungguhnya
mampu
memberikan
pencerahan dan makna dan nilai psikis tersembunyi di belakang mimpi, dan tanpa terduga sama sekali ternyata determinasi makna tersebut adalah satu kesatuan (Freud, 2004: 515). Menurut Aristoteles (1881) mimpi merupakan kelanjutan proses berpikir dalam tidur. Lalu ketika (pada saat sadar) pikiran kita menampilkan proses-proses psikis (penilaian, penyimpulan, jawaban atas keberatan, pengharapan, keinginan), yang di sisi lain mimpi menampilkan aktivitas psikis yang berlainan (misalnya rasa cemas). Dalam pembentukan mimpi, rangsangan harapan yang diabaikan alam sadar akan dipindahkan ke latar belakang, masalah-masalah yang belum terpecahkan, perhatian yang mengusik, kesan-kesan yang berlimpah, terus bekerja dalam pikiran kita selama tidur. Mempertahankan proses psikis dalam system yang kita sebut prasadar. Pikiran yang dilanjutkan dalam tidur dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok
68 berikut 1) Rangsangan yang belum diselesaikan di siang hari, karena satu dan lain hal 2) Rangsangan yang dibiarkan tidak selesai, karena kekuatan mental kita gagal menyelesaikannya, 3) Rangsangan yang diabaikan dan ditekan, 4) Rangsangan yang dibangkitkan di bawah sadar oleh kerja sistem prosedur (di siang harinya), 5) Kesan-kesan biasa di siang hari yang kemudian dibiarkan tanpa kapasitas akan maknanya (Freud, 2004: 520). Agar tidak terjadi mimpi jasmaiah yang menakutkan oleh Khalil A. Khavari memberikan pandangannya, Tips for Going to Sleep is: 1. Find out about your circadian rhythm 2. Arranges your work rest schedule 3. Establish a routire (Khavari, 1999: 258). Sedangkan waktu mimpi ada yang cepat dan ada yang lambat sebagaimana Josie Hadley and Carol Staudacher mengatakan bahwa the voice for the basic induction of dream is usually one of two types: monoton or rhythmic (Hadley and Staudacher, 1989: 29). Mimpi waktu tidur adalah sama dengan mimpi waktu bangun, yaitu pikiran-pikiran dan khayalan di mana seseorang menerawang, ketika ia menyatakan sedang ngelamun. Dalam mimpi sedang bangun itu, banyak keinginan-keinginan yang tercapai, seperti ingin terlepas dari bapak, dari ibu, sekolah, keadaan membujang, memikul tanggung jawab, mencapai kekayaan, kepuasan, perkawinan, syahwat, atau lain-lainnya, yang diinginkan oleh jiwa, yang kadang-kadang tidak mudah mencapai dalam kenyataan (El-Quussy, 1974: 175).
69 Antara mimpi dan hari depan, dapat ditafsirkan dengan apa yang dinamakan ramalan yang tidak disadari, artinya bahwa ada petunjukpetunjuk yang lewat pada pikiran untuk dipegang terhadap apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (El-Quussy, 1974: 177).