AGAMA DAN PSIKOANALISA SIGMUND FREUD Maghfur Ahmad ∗
Abstrak: Sigmund Freud mengkonstruksi teori agama secara berbeda dari aliran psikologi behavioristik dan humanistik. Freud mengkaji persoalan kepribadian dan agama seseorang dari perspektif psikoanalisa. Menurut Freud, kepribadian manusia dibangun melalui tiga sistem: id, ego, superego. Ketiga sistem itu, berada dalam tiga struktur kepribadian, yaitu alam sadar, alam pra-sadar, dan alam tak sadar. Menurut Freud, bagian terbesar dari jiwa manusia berada dalam alam ketidaksadaran, bukan alam sadar. Dan perilaku manusia dikendalikan oleh alam bawah sadar; seperti insting, hasrat, dan libido. Melalui tesis ini, teori agama diproduksi dan dikembangkan sedemikian rupa. Agama bagi Freud adalah dorongan libido yang muncul dari alam ketidaksadaran tersebut. Sebab itu, Freud punya keyakinan bahwa agama tidak akan dapat mampu berbicara banyak dalam kehidupan, karena agama adalah sikap kegilaan yang infantil. Freud merekomendasikan agar manusia meninggalkan agama. Makalah ini secara detail akan mengkaji teori tersebut serta bagaimana Freud membangun argumentasinya. Sigmund Freud constructed religious theory different from behaviorist and humanistic psychology. He examined personal and religious problem of a person from psychoanalyst perspective. This paper studies on this theory
∗
Jurusan Syari’ah STAIN Pekalongan, jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan. email:
[email protected]
278 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296 and how he constructed his arguments. According to him, human personality is constructed by three systems: idea, ego, and super ego. These three systems are in the threepersonality structure: conscious; subconscious; and unconscious. To him, the main part of human’s soul is in the unconscious, not in conscious. Human behavior is controlled by subconscious like instinct, desire and libido. By this thesis, religious theory is produced and improved in such a manner. Religion, for him, is libido desire that appears from unconscious. Therefore, he believed that religion could not talk much about life, because it was an infantile madness. He recommended that human beings should leave their religion. Kata Kunci: Neurostik, Unconscious, Id, Ego, totemisme dan Supergego.
PENDAHULUAN “Agama merupakan ekspresi kegilaan umat manusia,” demikian salah satu simpulan kontroversial studi yang dilakukan oleh Sigmund Freud. Tentu, masih banyak daftar kontroversi pemikiran Freud yang lain. Bukan rahasia lagi, bahwa teori dan pernyataan tokoh aliran psikoanalisa ini, sejak awal hingga sekarang, masih menimbulkan kegaduhan di kalangan para ahli. Bukan hanya dari sisi metodologis, melainkan juga sisi substansi, bahkan dampak dari pemikiran Freud bagi kehidupan sosial juga selalu ‘menganggu tidur umat manusia’. Ide-ide Freud telah menjadi kosa kata harian dan menyusup dalam relung kesadaran dan perilaku manusia. Agama bagi Freud tidak dapat dilepaskan dari kondisi alam bawah sadar manusia. Agama juga berkaitan dengan sistem kejiawaan seseorang yang meliputi id, ego, superego. Dalam konteks ini ada relasi konsep agama yang digagas oleh Freud dengan teori psikoanalisanya. Freud mencari titik temu kondisi kejiwaan pasien neurostik dengan mitos-mitos antropologis budaya di masyarakat primitif. Dengan kata lain, memahami agama dalam pandangan Freud tidak dapat dipisahkan dengan teori dasar psikoanalisanya. Perhatian Freud yang sangat besar terhadap kondisi psikologis pasien-pasien neurostik pada gilirannya mempengaruhi cara pandang terhadap agama. Melalui meja praktik diagnostik
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 279
inilah Freud memulai mengkonstruksi ide-ide tentang alam ketidaksadaran manusia, dan segi tiga sistem personality; id, ego, dan superego. Teori Freud yang paling populer adalah adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Dalam pandangan Freud, perilaku manusia, termasuk dalam hal beragama, dilandasi oleh hasrat seksualitas, yang muncul sejak masih kanakkanak. Bagi masyarakat yang ‘normal’ dan ‘shaleh,’ tentu pandangan seperti ini sangat menganggu imajinasi dan kesadaran bersama. Penekanan pada seksualitas anak-anak merupakan salah satu penghalang diterimanya teori Freud. Oleh sebab itu, barangkali wajar jika hingga saat ini gagasan-gagasan Freud tentang psikoanalisa selalu menarik untuk dikaji dengan berbagai pendekatan, termasuk dalam konteks agama. Tulisan ini akan mengkaji secara mendalam relasi teori psikoanalisa dan konsep agama dalam pandangan Freud. Kajian psikoanalisa Freud diawali dengan pertanyaan penting, bagaimana konsep kepribadian (personality) menurut Sigmund Freud. Mengapa Freud melahirkan pandangan bahwa struktur jiwa manusia ada tiga tingkatan; alam sadar, alam pra-sadar, dan alam tak-sadar. Bagaimana kaitan struktur jiwa dengan sistem kepribadian; id, ego dan super-ego. Tulisan ini juga akan mengkaji bagaimana konsep agama serta bagaimana kaitan teori psikoanalisa dengan konsep agama (religion) menurut Freud? PEMBAHASAN A. Biografi Sigmund Freud Sigmund Freud, lahir 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia, sekarang dikenal sebagai bagian dari Republik Ceko. Ia adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisa. Ayahnya pedagang wool dengan pikiran maju dan memiliki rasa humor yang tinggi. Sekalipun orang tua Freud beridentitas Yahudi, tetapi dalam hal agama mereka acuh tak acuh, terutama dalam aturan hukum makanan (Pals, 2006: 55). Freud mendapatkan benih rasa benci terhadap agama karena situasi saat itu yang anti-semitik. Freud tinggal di lingkungan Kristen. Pengalaman-pengalamannya dengan ritual Katolik diperoleh dari perawatnya, seorang perempuan Ceko yang mengasuhnya sejak usia kanak-kanak. Kaitan dengan ini, Hans Kung (1990) mempertanyakan tentang kebencian Freud terhadap
280 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
doktrin Kristen.Waktu Freud berusia 4 atau 5 tahun keluarganya pindah ke Wina, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana (Boeree, 2008: 407). Konon, migrasi ini dilakukan karena faktor ekonomi. Freud pada dasarnya seorang developmentalis. Ia percaya bahwa perubahan psikologis diatur oleh kekuatan batin, khususnya kedewasaan biologis. Kedewasaan juga membawa dampak energi seksual dan agresif tak terkendali, dimana kontrol sosial sangat menentukan (Crain, 2007: 383). Karenanya, kekuatan sosial juga memiliki pengaruh dalam teori Freud. Freud termasuk kategori anak yang cerdas. Ia selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya (Pals, 2006: 55). Freud melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran. Jurusan kedokteran merupakan pilihan bergengsi bagi anak sekolah di Wina pada saat itu, persis seperti sekarang fakultas kedokteran juga sangat prestisius. Ketika kuliah, Freud terlibat berbagai penelitian di bawah bimbingan Ernst Brucke, seorang fisiolog (Boeree, 2008: 407). Freud sangat serius dalam melakukan riset. Fokus dan minat utamanya di bidang neurofisiologi. Atas bantuan Brucke, Freud mendapat akses melanjutkan pendidikan dan belajar kepada psikiatris terkenal Charcot di Paris. Freud juga belajar dengan lawan Brucke, Bernheim di Nancy. Kedua ahli ini sama-sama sedang melakukan penyelidian dan riset metode hipnotis untuk pengidap histeria (Boeree, 2008: 408). Pada tahun 1881, setelah ia lulus kedokteran, Freud mulai bekerja di Vienna General Haspital. Di Wina, ia juga membuka praktik neurologi dan menjadi direktur sekolah taman kanak-kanak, pada saat ini pula ia menikah dengan Martha Bernays. Freud membuka praktik dengan bantuan Joseph Breuer (Boeree, 2008: 408). Masa inilah awal Freud dan Breuer melakukan kerjasama riset bersama, yang dikemudian hari lahir buku kolaborasinya berjudul Studies on Hysteria (1895). Minat utama Freud adalah penanganan ganguan-ganguan neurotik, khususnya histeria. Freud sangat terkesan dengan banyak pasien yang menutup-nutupi ingatan yang menyedihkan. Freud menamakan suasana ini sebagai ‘resistensi’ dan ia percaya betul bahwa pasiennya tengah merepresikan ingatan yang penting. Tugas
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 281
ia selanjutnya adalah memeriksa ketidaksadaran serta menguak alasan resistensi pasien tersebut (Sobur, 2009: 115). Freud menemukan pengalaman traumatik pasien pada masa kanak-kanak. Freud sangat terkejut ketika menemukan bahwa ingatan-ingatan tersebut ternyata berhubungan dengan dengan pengalaman seksual. Penemuan ini kemudian melahirkan teori libido. Freud, waktu melakukan asosiasi bebas, juga sering menjumpai banyak pasien yang menyebutkan mimpi-mimpinya. Dari situlah Freud mengambil kesimpulan bahwa mimpi memiliki arti penting dan membuka rahasia ketidaksadaran. Pada tahun 1900, kepakaran Freud di bidang psikoanalisa mulai diakui, setelah sebelumnya mendapatkan berbagai kritik, cacian, dan hinaan yang sangat tajam. Selama itu, Freud tetap gigih mempertahankan setiap jengkal ide-idenya. Momen pengakuan itu berawal dari undangan Stanley Hall, agar Freud memberikan kesempatan ceramah pada peringatan 20 tahun Universitas Clark di Amerika Serikat. Pada kesempatan itu pula Freud menerima penghargaan doctor honoris causa atas usaha, komitmen dan dedikasinya dalam memperjuangkan psikoanalisa, yang akhirnya mendapat pengakuan internasional. Selama menekuni karir akademis dan profesional, Freud telah melahirkan beberapa karya, di antaranya adalah Studies on Hysteria (1895), bersama Josef Breuer, (1895); The Complete Letters of Sigmund Freud to Wilhelm Fliess, 1887-1904, (1986). Karya yang terkenal yang mengantarkan dia terkenal sebagai psikoanalis, yaitu The Interpretation of Dreams (1899/1900); The Psychopathology of Everyday Life (1901); Three Essays on the Theory of Sexuality (1905); Jokes and their Relation to the Unconscious (1905). On Narcissism (1914); Introduction into Psychoanalyze (1917); Beyond the Pleasure Principle (1920); The Ego and the Id (1923); Civilization and Its Discontents (1930); An Outline of Psycho-Analysis (1940); A Phylogenetic Fantasy: Overview of the Transference Neuroses translated by Axel Hoffer by Peter Hoffer, Harvard University Press; On Creativity and the Unconscious: The Psychology of Art, Literature, Love, and Religion, (2009) (http://id.wikipedia.org/wiki/Sigmund_Freud). Sementara, perhatian Freud dalam bidang religi dibuktikan dengan karya berikut: “Obsessive Acts and Religious Practices”
282 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
(1907); Totem and Taboo (1913); The Future of an Illusion (1927); Moses and Monotheism (1939). Ide dan gagasan inti Freud tentang agama dapat ditemui dalam karya tersebut. Freud termasuk psikolog yang kurang ramah dengan persoalan agama. Freud punya keyakinan, untuk dapat membangun peradaban yang lebih baik, manusia harus dibersihkan dari delusi, dan agama tak akan dapat menjadi solusi bagi perbaikan hidup. Babak senja kehidupan Freud berada tepat seiring dengan berakhirnya Perang Dunia I. Perang ini ternyata sangat membekas dan mempengaruhi pemikiran dan penelitian Freud. Fakta pembunuhan massal dan penderitaan sangat menekan jiwa Freud, yang kemudian pengalaman ini disebut sebagai death instink, insting kematian universal dalam hidup manusia. Pada tahun 1930-an di saat Adolf Hitler berkuasa, buku-buku Freud dibakar di Berlin dan ia dipindahkan oleh sahabat-sahabatnya ke Wina. Di saat Nazi melakukan invasi ke Austria tahun 1938, Freud lantas pindah ke London. Saat itu, Freud sudah mengalami sakit-sakitan, menderita kanker mulut dan diopresi hingga 30 kali dan meninggal pada tahun 1939 di London. A. Psikoanalisa dan Personality Menurut pengakuan Freud, ia sebetulnya bukan pencetus pertama teori psikoanalisa. Menurutnya, pada saat itu sudah ada dokter yang menggunakan metode psikoanalisa untuk menerapi pasien histeria, yaitu Dr. Josep Breuer. Freud, dalam salah satu ceramahnya di hadapan civitas akademika Clark University mengakui itu, berikut tuturnya: “kalau Anda beranggapan bahwa orang yang pertama kali menemukan psikoanalisa patut dipuji, maka janganlah memberi pujian itu kepada saya. Pada awalnya, saya tidak ambil bagian. Saya masih mahasiswa dan mempersiapkan ujian terakhir, ketika seorang dokter lain, Dr. Josep Breuer untuk pertama kali menggunakan metode ini untuk mengobati seorang wanita muda menderita penyakit histeria” (Freud, 1979: 3). Namun demikian, karena Freud mampu mengembangkan lebih dinamis, memiliki kesempatan dan konsisten untuk menyampaikan
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 283
gagasan-gagasannya, maka pada akhirnya psikoanalisa identik dengan Sigmund Freud. Artinya menyebut nama Freud sama artinya berbicara tentang psikoanalisa. Freud berhasil mempopulerkan teori psikoanalisa. Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Tesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak observer yang dapat memetakan ketidaksadaran manusia. Ide tentang alam sadar (conscious mind), alam pra sadar (pre-conscious mind) dan alam bawah sadar (unconscious mind) menjadi bagian penting dalam struktur studi Freud. Alam sadar adalah apa yang menjadi kesadaraan pada saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, perasaan yang dimiliki seseorang. Ada kaitan dengan alam sadar ini adalah alam pra-sadar. Alam pra-sadar, yaitu apa yang disebut dengan ‘kenangan yang sudah tersedia’ (available memory). Yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat dipanggil kembali ke alam sadar, kenangan yang tak diingat waktu berpikir, tetapi dapat mudah dipanggil lagi. Dalam pandangan Freud, kedua alam ini merupakan bagian terkecil dari pikiran (Boeree, 2008: 409). Menurut Freud, bagian terbesar dalam pikiran seseorang adalah alam bawah sadar. Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar. Di antaranya adalah segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu, insting dan segala sesuatu yang masuk di dalamnya dan sulit dijangkau, seperti kenangan atau emosi traumatik. Freud menyatakan bahwa alam bawah sadar adalah sumber motivasi dan dorongan terhadap hasrat seseorang, baik yang sederhana, seperti makan, seks, maupun kreativitas seperti berkarya. Insting dimaknai sebagai perwujudan psikologis dari sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir. Perwujudan psikologisnya disebut hasrat, sedangkan rangsangan jasmaniahnya dari mana hasrat itu muncul disebut kebutuhan. Hasrat berfungsi sebagai motif tingkah laku seseorang. Misalnya, orang lapar mencari makanan. Di sini insting menjadi faktor pendorong kepribadian. Insting tidak hanya mendorong, tetapi juga
284 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
mengarahkan tingkah laku (Hall dan Lindzey, 1993: 69). Dengan demikian, insting, yang berada di bawah alam sadar, menjalankan kontrol selektif perilaku dengan meningkatkan kepekaan orang terhadap jenis-jenis stimulus. Misalnya, orang lapar lebih peka terhadap stimulus makanan. Orang yang sedang birahi, lebih mudah merespon rangsangan erotis. Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id merupakan sistem kepribadian yang asli. Id merupakan tempat dan sumber ego dan superego berkembang. Bagi Freud, manusia adalah makhluk yang berenergi. Keseluruhan perilakunya ditentukan oleh tenaga-tenaga yang menguasai zona ketidaksadaran (Kluytmans, 2006: 64). Id berada di bawah alam tak sadar. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, melalui sistem kerja dengan prinsip kesenangan, “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. Kajian Hall dan Lindzey (1993) tentang teori kepribadian Freud, menunjukkan bahwa setiap bagian dari kepribadian mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lain, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instinkinstink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan sistem kepribadian manusia (Hall dan Lindzey, 1993: 64-65). Inti perbedaan antara id dan ego adalah bahwa id hanya mengenal kenyataan subyektif-jiwa, sedangkan ego membedakan antara sesuatu yang ada dalam batin dengan sesuatu yang terdapat dalam dunia luar (Hall dan Lindzey, 1993: 65). Sedangkan, superego adalah wasit yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma dan moral masyarakat. Dengan
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 285
kata lain, superego merupakan aspek sosiologis kepribadian, sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan yang sifatnya evaluatif. Terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan dari significant others. Menurut Freud superego mengandung dua bagian penting, yaitu suara hati (nurani) dan ego ideal (Freud, 1960: 24-25). Suara hati adalah bagian superego yang bersifat menghukum, negatif dan kritis, yang melarang sesuatu dan menghukum dengan rasa bersalah jika kita melanggar aturannya. Sedang bagian lain superego adalah ego ideal, yaitu ide atau aspirasi-aspirasi positif yang dilakukan dan dapat imbalan hadiah atas perbuatannya (Cair, 2007: 411). Fungsi pokok superego dalam sistem kerja psikoanalisa Freud adalah: pertama, pengendali id; Kedua, mengarahkan ego pada tujuan yang berorientasi pada moralitas, bukan pada realitas-pragmatis; Ketiga, mendorong individu ke arah kesempurnaan (Hall dan Lindzey, 1993: 67). Untuk lebih memudahkan memahami ide Freud, lihat berikut:
Gambar: id, ego, dan superego Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidaksadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Bukti klinis, yang sering digunakan oleh Freud membuktikan bahwa alam unconscious mind manusia dapat dilihat dari hal berikut,
286 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
seperti: 1). mimpi yang merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri; 2). salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya; 3). sugesti pasca hipnotik, (4) materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan (5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik. Beda dari ketidaksadaran, alam kesadaran manusia merupakan suatu bagian terkecil dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es (tidak sadar) itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan (sadar). Begitu juga kondisi kepribadian manusia. B. Agama Menurut Freud Teori Freud tentang agama dapat dijumpai di antaranya dalam karya Totem and Taboo (1913). Kemudian diungkap kembali dan dikembangkan lebih detail dalam The Future of an Illusion (1927). Gagasan teori agama Freud secara lebih gamblang diterapkan dalam kasus khusus agama Yahudi dalam bukunya Moses and Monotheism (1939). Freud berkeyakinan agama bermula dari totem. Berbeda dari teori animisme E. B. Tylor dan teori naturalisme F. Max Muller yang berpendapat bahwa masyarakat percaya dewa-dewi, karena mereka berusaha menjelaskan fenomena alam yang dahsyat, seperti matahari, langit, bitang, badai, banjir. Begitu juga Tylor, ia menyatakan gagasan beragama masyarakat muncul dan berawal dari ide-ide tentang ruh. Menurut Freud, totemisme dapat mengantarkan seseorang menuju agama. Totemisme adalah suatu sistem sosio-religius yang terdapat pada suku-suku primitif di Australia, Amerika, dan Afrika. Dalam sistem ini terdapat unsur penting, yaitu totem, biasanya seekor binatang yang dianggap keramat, tidak boleh dibunuh atau dimakan. Bagi mereka, totem dipandang sebagai nenek moyang klen bersangkutan. Istilah klen dalam kajian Freud dipakai untuk menunjukkan suatu kelompok sosial yang elementer terdiri dari sejumlah keluarga. Klen-klen bersama-sama membentuk suku. Salah satu ciri khas klen adalah para anggotanya tidak diperbolehkan menikah satu dengan yang lainnya (Freud, 1979: xxviii).
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 287
Sungguh menarik, seorang dokter yang biasa mengobati pasien neurotik memasuki wilayah antropologi budaya. Dalam konteks ini rupanya Freud berkesimpulan bahwa produk psikis pasien-pasien neurotis mirip dengan produk-produk psikis seperti mitos-mitos yang ada pada suku bangsa primitif. Melalui cara berpikir seperti itu, Freud melihat asal-usul hidup sosial-agama melalui interpretasi psikoanalisa. Dalam pengantar buku Ueber Psychoanalyse, edisi Indonesia, dengan mereferensi dari Freud, K. Bertens menjelaskan: “Pada orang primitif, rasa jijik terhadap incest menimbulkan tabu-tabu yang ketat, terutama dua, yaitu larangan untuk membunuh binatang totem dan larangan menikahi wanita dari klen yang sama. Nah, pada anak yang dihinggapi fobia terhadap binatangbinatang kita menyaksikan tingkah laku yang mirip dengan totemisme orang primitif, sehingga tingkah laku anak dapat dianggap sebagai semacam regresi kepada totemisme. Binatang yang menimbulkan ketakutan pada si anak adalah substitut bagi ayah yang mengancam dalam situasi kompleks Oidipus” (Freud, 1979: xxviii). Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Freud, ada kesamaan antara totemisme dan situasi kompleks Oedipus. Bagi Freud, pembunuhan ayah harus dipandang sebagai sebagai fondamen totemisme dan karena itu titik tolak lahirnya agama-agama. Sistem totem adalah semacam perjanjian dengan ayah dimana totem ini memberikan segala keinginan anak, perlindungan, kasih, dan toleransi, sebagai ganti dari janji yang telah anak berikan untuk menghormati kehidupan ayahnya. Agama totem lahir dari perasaan bersalah anak laki-laki yang kemudian berusaha untuk meredakan perasaan ini dan membuat perdamaian dengan ayahnya yang telah mati (dibunuh) dengan cara mematuhinya. Freud secara meyakinkan berujar: “totemic religion arose from the filial sense of guilt, in an attempt to allay that feeling and appease the father by deferred obedience to him. All later
288 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
religion are seen to be attempts at solving the same problem” (Pals, 2006: 70). Dengan kata lain, Freud memahami bahwa kejahatan beserta akibat-akibatnya merupakan asal usul susunan masyarakat, agama dan moral. Pandangan tentang Tuhan, menurut Freud disusun menurut model ayah yang terbunuh akibat kejahatan yang dilakukan sang anak. Mengapa totemisme dapat mengantarkan menuju ke wilayah agama. Freud menjelaskan, bahwa totemisme muncul berawal pada rasa cemburu anak laki-laki kepada ayahnya. Ayah dilihat sebagai sosok sempurna yang memiliki segala hal yang tidak dimiliki anak, termasuk seorang istri yaitu ibu dari anak itu sendiri. Rasa cemburu yang teramat dalam berakhir dengan konspirasi jahat anak laki-laki dari suatu klen untuk membunuh ayahnya. Pasca kematian sang ayah, maka istri ayah bebas dimiliki oleh sang anak. Freud memperkenalkan sindrom ini sebagai Oedipus Complex, cinta ibu yang berkonotasi erotis (Pals, 2006: 63). Dalam studinya Religion and Personality: Sigmund Freud, Daniel L. Pals mengatakan “If we want to find the origin of religion, he insists, we need look no further than these grim events and deep psychological tensions. The birth of belief is to be found in the Oedipus complex” (Pals, 2006: 70). Di sini, Pals mengabarkan bahwa Freud mengkaitkan munculnya agama melalui situsi kompleks Oedipus. Pasca kematian sang ayah, semula timbul rasa girang dan euforia pada diri anak laki-laki, namun lambat laun berubah menjadi rasa bersalah yang amat sangat. Timbul rasa sesal pada diri anak. Sang anak berusaha untuk menghidupkan kembali figur ayah dengan sesuatu yang lain. Maka dipilihlah totem, dari satu jenis binatang tertentu untuk dijadikan ‘pengganti’ ayah. Binatang totem ini disucikan dan ada pelarangan yang disepakati oleh semua anggota klen untuk tidak memakan binatang totem ini. Inilah salah satu tabu yang melingkupi masyarakat selain larangan untuk berhubungan seks sesama saudara (incest) (Freud, 1979: xxviii). Agama lahir dari keinginan manusia dan karena itu merupakan ilusi. Agama adalah penghiburan yang dibutuhkan manusia karena bengisnya hidup di dunia ini. Begitulah Freud. Nampaknya Freud dan Marx sama-sama memiliki kesimpulan
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 289
tentang agama yang merupakan candu. Menurut Freud dan Marx, agama tak lain sekedar pelarian manusia dari dunia yang tidak berpengharapan (Sharf, 1995: 119). Ketika manusia menghadapi konflik, depresi, stres, dan cemas dalam hidupnya maka ia membutuhkan ‘obat’ untuk meredakan ‘rasa sakit’ itu. Dalam buku The Future of an Illusion, Freud menulis: “Religion would thus be the universal obsessional neurosis of humanity; like the obsessional neurosis of children, it arose out of Oedipus Complex, out of the relation to the father. If this view is right, it is to be supposed that a turning-away from religion is bound to occur with the fatal inevitability of a process of growth, and that we find ourselves at this very juncture in the middle of that phase of development” (Freud, 1961: 41; Pals, 2006: 73). Freud berpikir bahwa agama hanyalah suatu pelampiasan kekecewaan dan pelarian dari kenyataan. Freud juga ‘menyarankan’ untuk membentuk sikap kritis-rasional dan membuang segala ilusi serta penipuan dari pada menerima suatu kepercayaan yang tidak punya dasar rasional. Di sini Freud meyakini bahwa perilaku keberagamaan seseorang berada dalam alam bawah sadar. Dalam artikel pertamanya, "Obsessive Actions and Religious Practices” (1907), Freud menyebut kegilaan obsesif sebagai bagian ‘patologi bentuk agama’ dan agama sendiri merupakan bagian ‘kegilaan obsesi universal.’ Argumen Freud dibangun dari kenyataan bahwa segala macam ritual dan upacara keagamaan adalah bentuk kegilaan obsesif manusia semata. Karena manusia tidak sadar ketika melakukan ritual-ritual agama. Jika dilihat dalam kenyataan seharihari, barangkali teori Freud ada benarnya. Faktanya, moyoritas kaum agamawan sering beribadah tidak muncul dari kesadaran mereka. Sungguh sayang, jika perilaku ritual agama muncul tanpa kesadaran. Sering hanya untuk mengurangi rasa cemas, bersalah, ancaman, atau bahkan dengan motif-motif hasrat destruktifnya. Dalam konteks inilah teori Freud menemukan relevansinya dengan realitas keberagaan di Indonesia.
290 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
C. Catatan Kritis Layaknya seorang intelektual, konstruksi pemikiran Freud bukanlah hal yang sempurna. Seperti halnya teori yang lain, psikoanalisa adalah suatu konstruksi cara pandang terhadap eksistensi manusia. Freud telah berupaya memahami kehidupan manusia yang kompleks. Kompleksitas tersebut mustahil dapat disusun menjadi satu sistem komprehensif, yang dapat menjelaskan secara paripurna. Tak dapat dipungkiri bahwa gagasan Freud telah menjadi kosa kata harian. Walau awal kehadirannya dicaci-maki, ditolak, namun pada akhirnya diagungkan. Siapa yang tak kenal konsep kepribadian, ketidaksadaran, represi, sublimasi, defensi, kecemasan, ambivalensi dan kompleks Oedipus (Beilharz, 2005: 180). Kritik terhadap metode ilmiah yang digunakan Freud untuk mengkonstruksi teori psikoanalisa menjadi penting dilakukan. Freud menggunakan metode tidak baku, subyektif dan jumlah klien sedikit dan semuanya pasien klinis. Penentang teori Freud tidak bisa menerima bahwa analisa dari pada pasien sakit jiwa dapat digeneralisasikan. Kritikus-kritikus keberatan dengan metode yang digunakan Freud. Freud dinilai menerima begitu saja, tanpa proses seleksi dan standar ilmiah, dan tanpa berusaha membuktikannya dengan cara membandingkan dengan data lainnya. Freud juga tidak melakukan observasi-observasi secara terkontrol, serta prosedur-prosedur yang dapat menjamin validitas data (Hall and Lindzey, 1993: 109). Atas dasar ‘kualitas data’ inilah, para kritikus Freud meragukan hasil kerja ilmiah teori psikoanalisa Freud. Fokus kritik yang lain adalah di bidang teori seksual. Teori seks Freud yang tersebar dalam Three Essays on the Theory of Sexuality (1905) terkesan mereduksi realitas kehidupan yang sangat kompleks. Freud mengatakan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id (libido seksualitas). Dengan libido seseorang berusaha mempertahankan eksistensinya karena bermaksud memenuhi instingnya, yang berorientasi pada kesenangan. Seksualitas bagi Freud merupakan daya hidup. Libido, bagi Freud, merupakan life instinct yang memberi motivasi manusia untuk makan, minum, beristirahat dan prokreasi, termasuk beragama.
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 291
Pandangan Freud di atas, jelas mendapat berbagai serangan dari aliran psikologi yang lain. Dalam perspektif humanistik, teori Freud hanya mampu menjelaskan adanya kebutuhan yang paling mendasar dari manusia, yaitu fisiologis dan tak mampu menjelaskan empat kebutuhan manusia yang lain, seperti rasa aman (safety needs), cinta dan rasa memiliki-dimiliki (belongingness and love needs), kebutuhan penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri (self-actualization needs) (Maslow, 1954; Goble, 1987: 71-75). Psikoanalisa Freud dinilai tidak mampu menjawab berbagai kebutuhan dan problem manusia. Begitu juga, fokus perhatian Freud pada ‘ketidaksadaran,’ di tengah-tengah maintream psikologi yang sangat memperhatian aspek ‘kesadaran,’ kehadiran Freud bagai petir di siang bolong. Banyak pakar yang tersentak dengan gagasan Freud. Menurut Freud “kesadaran hanyalah sebagai kecil saja dari kehidupan mental, sebagian yang terbesar adalah justru ketidaksadaran atau alam bawah sadar” (Sobur, 2009: 113). Agar teorinya mudah dipahami, Freud mengilustrasikan ‘consciousness-preconsciousnessunconsciousness’ seperti fenomena gunung es. Ibarat gunung es yang mengapung, dimana bagian yang muncul ke permukaan air (alam sadar) tampak kecil, sementara yang tidak muncul (alam bawah sadar) lebih besar, lebih lebar dan tentu lebih dalam. Ide ‘unconsciousness’ Freud jelas membuat dunia psikologi gaduh. Situasi demikian dapat dimaklumi, sebab paham psikologi yang dominan pada saat itu lebih memperhatikan pada perilaku yang disadari. Dengan pendekatan perilaku, psikolog mempelajari individu dengan cara mengamati pelakunya (Atjinson, 2005: 7-15). Menurut kelompok ini, hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia, memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang obyektif. John B. Watson dan B.F. Skinner berada dibalik aliran ini. Teori psikoanalisa yang dikembangkan melalui cara mendengarkan pasien dan interpretasi subyektif atas aneka neurosis juga tidak luput dari kritik. Pendekatan Freud dinilai tidak ilmiah, karena sangat subyektif, tak dapat diukur, diamati dan diverivikasi. Freud menempatkan rangsangan dan dorongan (hasrat, libido) yang berada di alam bawah sadar sebagai sumber motivasi. Aspek inilah yang mendapat kecaman dari psikologi behavioristik. Kaum behavioris lebih mementingkan kekuatan-kekuatan luar yang berasal
292 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
dari lingkungan, bukan dari dalam, apalagi, di bawah alam sadar. Bagi aliran behavioris, segala yang barbau subyektif sama sekali diabaikan. Manifesto Watson berbunyi: ‘kaum behavioris, mencoret dari kamus ilmiah mereka, semua peristilahan yang bersifat subyektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi, sejauh pengertian tersebut dirumuskan secara subyektif” (Goble, 1987: 23). Bahkan lebih vulgar dikatakan: “irresponsible and unscientific to talk about psychology solely in terms of subjective events, that is, events that supposedly occurred in the mind but could not be observed or measured (for example, id, ego and superego functions)” (Calhoun and Acocella, 1990: 22) Tudingan tersebut jelas diarahkan kepada teori Freud. Mereka dengan jelas mengatakan: “tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah membicarakan psikologi hanya semata-mata didasarkan pada kejadian-kejadian subyektif, yaitu kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi di dalam pikiran, tetapi tidak dapat diamati atau diukur (seperti, fungsi id, ego, dan superego). Menyebut ‘id, ego, dan superego’ jelas menohok secara telak pada konsep yang paling vital dalam sistem teori psikoanalisa. Siapa lagi kalau bukan Freud yang ditembak? Lebih dari itu, teori Freud belakangan juga dikritik karena terlalu mengikuti pandangan yang mekanistik dan determenistik dari ilmu pengetahuan abad IX, karenanya pandangan Freud dirasa kurang humanistik. Postulat-postulat Freud sering melukai orang normal, beragama, shaleh, dan sopan. Pendapat Freud bahwa bayi memiliki dorongan-dorongan birahi dan destruktif, bahwa semua manusia memiliki nafsu incest dan jahat; serta kesimpulannya tentang bahwa perilaku manusia bersumber dari insting seksual (Hall and Lindzey, 1993: 108), membuat rasa simpati terhadap Freud menurun. Tidak ketinggalan, para pejuang hak-hak wanita juga menentang keras pandang-pandangan Freud terutama tentang psikologi wanita. Mereka merasa geli dikatakan ‘iri’ terhadap penis (penis envy). Freud seperti tidak ada kerjaan, selalu mengurusi persoalan libido, seks, penis, incest dan yang sejenisnya.
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 293
Begitu juga tentang kompleks Oedipus. Secara ilmiah, teori kompleks Oedipus sulit dibuktikan kebenarannya. Teori kompleks Oedipus Freud yang sangat populer ini mungkin banyak dipengaruhi oleh dongeng Oedipus yang membunuh ayahnya untuk dapat menikahi ibunya. Dongeng ini ditulis oleh penyair Yunani. Mengapa demikian, sebab pada faktanya kecil sekali kejadian ada anak lakilaki yang demikian menyimpan hasrat seksual terhadap ibu mereka sendiri. Yang banyak terjadi justru bapak yang ‘makan’ anak sendiri. Dari sisi argumentasi, teori Freud sangat rapuh. Dasar lahirnya agama, yang menurut Freud merupakan ‘kompensasi peristiwa pembunuhan ayah’ menjadi sulit diterima akal sehat. Apalagi kesimpulan Freud yang mengatakan bahwa ‘religion would thus be the universal obsessional neurosis of humanity.’ Agama merupakan kegilaan kolektif umat manusia, demikian kata Freud. Dengan demikian, Freud meyakini bahwa agama merupakan gejala neurotis serta pelarian manusia dari kenyataan. Menurut Freud, disebabkan rasa takut berhadapan dengan realitas serta konsekuensi menanggung resiko-resikonya, manusia mencari kedamaian dengan menciptakan Tuhan, yang sebenarnya tidak nyata dan tidak kelihatan. Manusia dengan penuh rasa ngeri, tunduk terhadap resiko-resiko dunia, dan kemudian menyembah Tuhan sebagai pelariannya. Sikap ini, menurut Freud adalah sikap seorang neurotik, sekaligus seseorang yang tidak dewasa (infantil). Dengan bahasa lain, agama merupakan simbol dari sikap neurotis dan infantil dari manusia. Sebagai solusinya, Freud menyarankan “apabila manusia hendak serius mampu menghadapi tantangan realitas yang sesungguhnya, maka manusia harus membebaskan dirinya dari neurotis kolektif tersebut.” Artinya, manusia harus lepas dan keluar dari agama. Pemikiran dan sikap seperti ini yang belum bisa diterima oleh kaum agamawan, baik dari dalam perspektif rasionalirrasional, sadar-tidak sadar, maupun segi sosial. Dari sisi kajian tentang humanitas, Freud mengungkap bahwa kreativitas kaum agama lebih rendah karena insting-insting libidonya sebagai penggerak kehidupan sosial mendapat tekanan yang amat sangat. Dalam pandangan mendasar mengenai kemanusiaan, Freud berbeda dengan Marx. Namun dalam menerapkan teorinya terhadap agama antar mereka terdapat
294 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
kesamaan. Freud sependapat dengan Marx bahwa tatanan-tatanan dan komunitas sosial yang lebih rendah memiliki kepentingan yang lebih besar terhadap agama. Mereka mengalami derita lebih besar dibanding dengan kelompok yang berkuasa. Agama bagi rakyat kecil lebih banyak berfungsi sebagai mencegah mereka brontak, karena mereka menuntut kesamaan untuk memenuhi keinginankeinginan mereka. Kesamaan lain pendapat Freud dengan Marx adalah bahwa masyarakat yang tidak agamis adalah masyarakat yang lebih banyak melakukan eksperimen sosial, dari pada kaum agamis. Freud berpendapat agama lebih banyak mengontrol keinginan-keinginan naluri manusia (Sharf, 1995: 119). Dengan demikian, agama menurut Freud sebagai bentuk ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Layaknya, anak kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hasratnya, kemudian ia mengidolakan bapaknya, sebagai ‘Tuhan’ yang bisa mencarikan solusi, merespon dan membenuhi harapan anak. Dengan kata lain, beragama hanya sikap kekanak-kanakan (infantil) manusia demi terpenuhinya hasrat libido. KESIMPULAN Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwa: Pertama, struktur personality manusia mencakup tiga hal; id, ego dan superego. Id merupakan sistem kepribadian yang otentik dan sebagai sumber ego dan superego berkembang. Bagi Freud, manusia adalah makhluk yang berenergi. Keseluruhan perilakunya ditentukan oleh tenaga-tenaga yang menguasai zona ketidaksadaran. Id merupakan komponen personalitas yang berisi impuls agresif dan libinal, melalui sistem kerja dengan prinsip kesenangan. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas menilai realitas dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedang superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter, alat sensor yang menentukan sesuatu itu baik- buruk, atau salah-benar. Kedua, Freud memiliki pemahaman bahwa bagian terbesar dalam pikiran seseorang adalah alam bawah sadar. Wilayah ini meliputi sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar. Di antaranya adalah segala hal yang asalnya memang berada di alam ketidaksadaran, seperti nafsu, insting dan termasuk juga kenangan
Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud (Maghfur Ahmad) 295
atau emosi traumatik. Freud menyatakan bahwa alam bawah sadar adalah sumber motivasi dan dorongan terhadap hasrat seseorang, baik yang sederhana, seperti makan, seks, maupun kretivitas tingkat tinggi Ketiga, totemisme dapat mengantarkan ke wilayah agama. Kajian Freud menunjukkan bahwa totemisme muncul berawal pada rasa cemburu anak laki-laki kepada ayahnya, berakhir dengan konspirasi jahat anak-anak laki-laki dari suatu klen untuk membunuh ayahnya. Pasca kematian sang ayah, maka istri ayah bebas dimiliki oleh sang anak. Pasca kematian sang ayah, semula timbul rasa girang dan euforia pada diri anak laki-laki, namun lambat laun berubah menjadi rasa bersalah. Freud memperkenalkan sindrom ini sebagai Oedipus Complex. Untuk mengobati rasa bersalah, sang anak berusaha untuk menghidupkan kembali figur ayah dengan sesuatu yang lain. Maka dipilihlah totem, dari satu jenis binatang tertentu untuk dijadikan ‘pengganti’ ayah. Binatang totem ini disucikan dan ada pelarangan yang disepakati oleh semua anggota klen untuk tidak memakan binatang totem ini, selain larangan untuk berhubungan seks sesama saudara (incest). Keempat, menurut Freud, agama hanyalah suatu pelampiasan kekecewaan dan pelarian dari kenyataan. Freud meyakini bahwa perilaku keberagamaan seseorang dikendalikan oleh hasrat seksual yang bersumber dari alam ketidaksadaran. Freud menyebut agama sebagai sikap kegilaan obsesif umat manusia. Sebab itu, Freud juga berharap agar seseorang memiliki sikap kritis dan rasional serta membuang segala ilusi dan penipuan, termasuk menihilkan agama yang kata Freud tidak logis. Demikian kajian pemikiran Freud tentang agama dan keperibadian manusia. Tentunya, sebagai perintis psikoanalisa, Freud menggunakan pendekatan-pendekatan dalam aliran psikoanalisa. Akhirnya, kajian ini tentu masih tentatif dilihat dari segi apapun. Sebab itu saran, masuk, dan kritik sangat penting untuk kesempurnaan kajian lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, Rita L., dkk., Introduction to Psychology, Jilid I, terj. Nurdjannah Taufiq dan Rukmini Barhana, (Jakarta: Erlangga, 2005).
296 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 277-296
Beilharz, Peter, Social Theory: A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Boeree, C. George, General Psychology, Jogjakarta: Prismasphie, 2008. Calhoun, James F. and Acocella, Joan Ross, Psychology of Adjustment and Human Relationship, New York: McGrawHill Publishing Company, 1990. Crain, William, Theories of Development, Concepts and Applications, terj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Freud, Sigmund, “The Future of an Illusion”, in The Standar Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, London: Hogarth Press, 1961. Freud, Sigmund, The Ego and the Id, New York: W. W. Norton & Co, 1960. Freud, Sigmund, Totem and Taboo, terj. Kurnawan Adi Saputro, Yogyakarta: Jendela, 2002. Freud, Sigmund, Ueber Psychoanalyse, terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia, 1979. Goble, Frank G., Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A. supratinya, Yogyakarta: Kanisius, 1987. Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, Theories of Personality, terj. Yustinus, Yogyakarta: Kanisius, 1993. http://id.wikipedia.org/wiki/Sigmund_Freud/diunduh 4 Oktober 2011. Kluytmans, Frits, Perilaku Manusia: Pengantar Singkat tentang Psikologi, terj. Samsunuwiyati Mar’at dan Lieke Indieningsih Kartono, Bandung: Refika Aditama, 2006. Kung, Hans, Freud and the Problem of God, New Heaven: Yale University Press, 1990. Maslow, Abraham, Motivation and Personality, New York: Harper & Row, 1954. Pals, Daniel L., Eight Theories of Religion, Oxford University Press: 2006. Sharf, Betty R., The Sociological Study of Religion, terj. Mahnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995. Sobur, Alex, Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2009.