26
BAB III SAYYID SABIQ: PEMIKIRAN DAN PENDAPATNYA TENTANG JI’ALAH
A. Sekilas Tentang Biografi Dan Cara Istimbat Sayyid Sabiq Nama lengkapnya Sayyid Sabiq, adalah Sayyid Sabiq Muhammad AtTihamiy. Beliau lahir di desa Istanha, distrik Al-Baghur, propinsi AlMunufiah, Mesir pada tahun 1915 M. Beliau adalah
ulama kontemporer
Mesir yang memiliki reputasi internasional dalam bidang fiqh dan dakwah Islam, terutama lewat karya monumentalnya Fiqh As-Sunnah (fiqh berdasarkan sunah Nabi).1 Buku inilah yang menjadi rujukan utama oleh penulis dalam skripsi yang berjudul studi analisis pendapat Sayyid Sabiq tentang ji’alah. Sayyid Sabiq wafat pada tanggal 28 Februari 2000.2 1. ASAL NASABNYA Sayyid Sabiq lahir dari pasangan keluarga terhormat, Sabiq Muhammad At-Tihamiy dan Husna Ali Azeb di desa Istanha (sekitar 60 km dari utara Kairo), Mesir. At-Tihamiy adalah gelar keluarga yang menunjukkan
daerah
asal
leluhurnya,
Tihamah
(dataran
rendah
semenanjung Arabia bagian barat) Silsilahnya berhubungan dengan khalifah ketiga, Usman bin Affan (576-656 ). Mayoritas warga desa
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh H. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: 1987, cet-I, hlm sampul belakang 2 YMOUK (Young Muslim Organisation United Kingdom), Shaykh Sayyid Sabiq, internet sites : YMOUK (Young Muslim Organisation United Kingdom), 2005, hlm 1
26
27
Istanha, termasuk keluarga Sayyid Sabiq sendiri, menganut madzhab Syafi’i.3 2. PENDIDIKANNYA Sesuai dengan tradisi keluarga Islam di Mesir pada masa itu, Sayyid Sabiq menerima pendidikan pertamanya pada Kuttab (tempat belajar pertama tajwid, tulis, baca, dan hafal Al-Qur’an). Pada usia antara 10 dan 11 tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an dengan baik. Setelah itu, ia langsung memasuki perguruan Al-Azhar di Kairo dan disinilah ia menyelesaikan seluruh pendidikan formalnya mulai dari tingkat takhassus (kejuruan). Pada tingkat akhir ini ia memperoleh Asy-Syahadah AlAlimyyah (1947), ijasah tertinggi di universitas Al-Azhar ketika itu, kurang lebih sama dengan ijasah doktor.4 Meskipun datang dari keluarga penganut madzhab Syafi’I, Sayyid Sabiq menganut madzhab Hanafi di Universitas Al-Azhar. Para mahasiswa Mesir ketika itu cenderung memilih madzhab ini karena beasiswa lebih besar dan peluang untuk menjadi pegawai pun lebih terbuka lebar. Ini merupakan pengaruh kerajaan Turki Usmani (Ottoman), penganut madzhab Hanafi, yang de facto menguasai Mesir hingga tahun 1914. Namun demikian, Sayyid Sabiq mempunyai kecenderungan suka membaca dan menelaah madzhab-madzhab lain.5
3
Abdul Azis Dahlan [et al], Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, hlm 1614 4 ibid 5 ibid
28
3. GURU-GURUNYA Guru-guru Sayyid Sabiq anatara lain adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Tahir Ad-Dinari, keduanya dikenal sebagai ulama besar di Al-Azhar ketika itu. Ia juga belajar kepada Syekh Mahmud Khattab, pendiri Al-Jam’iyyah Asy-Syar’iyyah Li Al-‘amilin Fi Al-Kitab Wa AsSunnah (perhimpunan syariat bagi pengamal Al-Qur’an dan sunah Nabi). Al-Jam’iyyah ini bertujuan mengajak umat kembali mengamalkan AlQur’an dan sunah Nabi saw tanpa terikat pada madzhab tertentu.6 4. TUGAS DAN JABATANNYA Sejak usia muda, Sayyid Sabiq di percayakan untuk mengemban berbagai tugas dan jabatan, baik dalam bidang administrasi maupun akademi. Ia pernah bertugas sebagai guru pada departemen pendidikan dan pengajaran Mesir. Pada tahun 1955, ia menjadi direktur lembaga santunan Mesir di mekah selama dua tahun. Lembaga ini berfungsi menyalurkan santunan para dermawan Mesir untuk honorarium imam dan guru-guru masjidil haram, pengadaan Kiswah Ka’bah, dan bantuan kepada fakir miskin serta berbagai bentuk bantuan sosial lainnya. Ia juga pernah menduduki berbagai jabatan pada Kementerian Wakaf Mesir. Di Universitas Al-Azhar Kairo ia pernah menjadi anggota dewan dosen.7 Kesibukannya dengan dunia fiqh melebihi apa yang pernah diperbuat para ulama Al-Azhar yang lain. Ia mulai menekuni dunia tulis menulis melalui beberapa majalah yang eksis waktu itu, seperti majalah 6 7
ibid Ibid, hlm 1614
29
mimgguan “Al-Ikhwan Al-Muslimun”. Di majalah ini, ia menulis artikel ringkas mengenai fiqh Thaharah. Dalam penyajiannya, beliau berpedoman pada buku-buku fiqh hadits yang menitikberatkan pada masalah hukum seperti kitab Subulussalam karya Ash-Shan’ani, Syarah Bulughul Maram, dan lain lainnya.8 Sejak tahun 1974 hingga akhir hayatnya beliau mendapat tugas di Universitas Jam’iyah Umm Al-Qura, Mekah. Pada mulanya, ia menjadi dewan dosen, kemudian diangkat sebagai ketua jurusan peradilan Fakultas Syariat (1397-1400 H) dan direktur Paska Sarjana (1400-1408 H). Sesudah itu, ia kembali menjadi anggota dewan dosen Fakultas Ushuluddin dan mengajar di tingkat Paska Sarjana sampai beliau wafat.9 Sejak muda, ia juga aktif berdakwah melalui ceramah di masjidmasjid, pengajian khusus, radio, dan tulisan di media massa. Ceramahnya di radio dan tulisannya di media massa sedang di himpun oleh putranya, Muhammad Sayyid Sabiq, untuk di bukukan dalam bentuk kumpulan fatwa.10 Beliau tetap bergabung dengan Al-Jam’iyyah Asy-Syar’iyyah Li Al‘amilin Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah. Pada organisasi ini, ia mendapat tugas untuk
menyampaikan
khutbah
Jum’at
dan
mengisi
pengajian-
pengajiannya. Ia pun berusaha mengembangkan organisasi tersebut, termasuk di desanya sendiri, Istanha. Ia juga dipercayakan oleh Syekh Hasan Al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwanul Muslimin (suatu 8
Indrayogi, Tokoh - tokoh Islam, internet : indra’s multiply site, 2004, hlm 1-2 Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 1614 10 Ibid 9
30
organisasi gerakan Islam di Mesir) untuk mengajarkan fiqh Islam kepada anggotanya. Bahkan, karena menyinggung persoalan politik dalam dakwahnya, ia sempat di penjarakan bersama sejumlah ulama Mesir di masa pemerintahan Raja Farouk (1936-1952) pada tahun 1949 dan di bebaskan 3 tahun kemudian.11 Di desa Istanha ia mendirikan sebuah pesantren yang megah. Gurugurunya diangkat dan di gaji oleh Universitas Al-Azhar. Karena jasanya dalam mendirikan pesantren ini dan sekaligus penghargaan baginya sebagai putra desa, Al-Jam’iyyah Asy-Syar’iyyah Li Al-‘amilin Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, pengelola pesantren, menamakan pesantren ini Ma’had As-Sayyid Sabiq Al-Azhari (pesantren Sayyid Sabiq ulama Al-Azhar). Di tingkat internasional, ia turut berpartisipasi dalam berbagai konferensi dan diundang memberikan ceramah ke berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.12 5. KARYA-KARYANYA Sayyid Sabiq menulis sejumlah buku yang sebagiannya beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia, antara lain: 1. Al-Yahud Fi Al-Qur’an (Yahudi Dalam Al-Qur’an) 2. ‘Anasir Al-Quwwah Fi Al-Islam (Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam) 3. Al-‘aqa’id Al-Islamiyyah (Akidah Islam) 4. Ar-Riddah (kemurtadan) 5. As-Salah Wa At Taharah Wa Al-Wudu’ (Salat, Bersuci, dan Berwudu) 11 12
Ibid, hlm 1614-1615 Ibid, hlm 1615
31
6. As-Siyam (Puasa) 7. Baqah Az-Zahr (Karangan Bunga) 8. Da’wah Al-Islam ( Dakwah Islam) 9. Fiqh As-Sunnah (Fiqh Berdasarkan Sunnah Nabi) 10. Islamuna (keislaman Kita) 11. Khasa’is
Asy
Syari’h
Al-Islamiyyah
Wa
Mumayyizatuha
(Keistimewaan dan Ciri Syariat Islam) 12. Manasik Al-Hajj Wa Al ‘umrah (Manasik Haji dan Umrah) 13. Maqalat Islamiyyah (Artikel-artikel Islam) 14. Masadir At-Atasyri’ Al-Islami (Sumber-sumber Syariat Islam) 15. dan, Taqalid Yajib ‘an Tazul Munkarat Al-Afrah (Adat Kebiasaan: Wajib Menghilangkan Berbagai Kemungkaran Sukaria).13 Sebagian dari buku-buku ini telah di terjemahkan dalam bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Namun, yang paling populer di antaranya adalah Fiqh As-Sunnah. Buku ini telah di cetak ulang oleh berbagai percetakan di Mesir, Arab Saudi, dan Libanon. Buku ini juga di terjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Prancis, Urdu, Turki, Swawahili, dan Indonesia.14 Fiqh Sunnah adalah buku yang pertama beliau tulis, yang dimulai pada tahun 1940.15 Juz pertama pada kitab ini merupakan riasalah dalam ukuran kecil dan hanya memuat fiqh Taharah. Pada mukadimahnya, diberi sambutan oleh Syaikh Imam Hasan Al-Banna yang memuji manhaj 13
Ibid Ibid 15 YMOUK (Young Muslim Organisation United Kingdom), Op.cit, hlm 1 14
32
(metode) Sayyid Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang bagus dan upayanya agar orang mencintai bukunya.16 Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis dan dalam waktu tertentu ia mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang pertama sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya hingga akhirnya diterbitkan 14 juz. Kemudian menjadi 3 juz besar. Beliau terus mengarang bukunya itu hingga mencapai selama 20 tahun seperti yang dituturkan salah seorang muridnya, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi.17 Banyak ulama yang memuji buku karangan beliau ini yang dinilai telah memenuhi hajat perpustakaan Islam akan Fiqh Sunnah yang dikaitkan dengan madzhab fiqh. Karena itu, mayoritas kalangan intelektual yang belum memiliki
komitmen pada madzhab tertentu atau fanatik
terhadapnya begitu antusias untuk membacanya. Jadilah bukunya tresebut sebagai sumber yang memudahkan mereka untuk merujuknya setiap mengalami kebuntuan dalam beberapa permasalahan fiqh.18 Buku itu kini sudah tersebar di seluruh pelosok dunia Islam dan dicetak sebagian orang tanpa seizin pengarangnya. Tetapi ada kalanya fanatisan madzhab mengkritik buku Fiqh Sunnah dan menilainya menjadi jembatan ketidak “beragamaan.”19 Sebagian ulama menilai Sayyid Sabiq bukanlah termasuk kepada “tidak bermadzhab” sekali pun beliau sendiri tidak berkomitmen pada madzhab tertentu. Alasannya, karena beliau tidak
16
Indrayogi, Op.cit, hlm 2 Ibid 18 Ibid 19 Ibid, hlm 3 17
33
pernah mencela madzhab-madzhab fiqh yang ada dan tidak mengingkari keberadaannya.20 Sementara sebagian ulama lain, mengkritik buku tersebut menilai syaikh Sayyid Sabiq senagai orang yang terlalu bebas dan tidak memberikan
fiqh
perbandingan sebagaimana
mestinya
di
dalam
mendiskusikan dalil-dalil naqli dan aqli serta melakukan perbandingan ilmiah diantaranya, lalu mana yang lebih rajih (kuat) berdasarkan ilmu. Apa yang dinilai para penentangnya tersebut tidak pada tempatnya. Sebenarnya buku yang dikarang Sayyid Sabiq itu harus dilihat dari sisi untuk siapa ia menulis buku itu. Beliau tidak menulisnya untuk kalangan para ulama tetapi untuk mayoritas kaum pelajar yang memerlukan buku yang mudah dan praktis, baik dari sisi format ataupun dari content (isi).21 Diantara ulama yang mengkritik buku tersebut adalah seorang ulama hadits yang terkenal, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang kemudian menulis buku “Tamaamul Minnah Bitta’liq ‘ala Fiqhissunnah.”22. Ia mengkritik sebagian haditsnya, namun ia juga menganjurkan untuk memiliki serta mengambil manfaat buku ini, karena menurutnya buku tersebut terbaik dari segi sistematika penulisan dan bahasanya.23 Ahli fiqh Mesir, Yusuf Al-Qardawi juga mengakui keutamaan buku ini. Menurut keterangannya, ketika bagian “salat dan bersuci” baru
20
Ibid, Ibid 22 Ibid 23 Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 1615 21
34
tertib, buku ini telah memberikan pengaruh besar untuk menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw secara langsung. Di Indonesia buku ini termasuk sumber di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Buku ini juga menjadi salah satu rujukan Komisi Fatwa dan Hukum MUI, Kompilasi Hukum Islam dan para penceramah. 24 Sebagai penghargaan atas sumbanganya di bidang dakwah pada tahun 1409 Hijriah / 1989 M ia memperoleh Nut Al-Intiyaz Min At Tabaqah Al-Ula (surat penghargaan tertinggi bagi ulama, kemudian, sebagai penghargaan atas sumbangannya dibidang fiqh dan kajian Islam, pada tahun 1414 H / 1994 M ia bersama beberapa ulama, pakar, dan ilmua tingkat internasional dianugerahi pula hadiah internasioanal Raja Faisal oleh Yayasan Raja Faisal di Riyad Arab Saudi. 25
B. Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Ji’alah Menurut Sayyid Sabiq, ji’alah adalah jenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh. Misalkan orang yang di-ji’alah-kan untuk suatu pekerjaan; dapat mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya yang menghilang, atau pembuatan dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau menghafalkan anak seseorang dengan Al-Qur’an, atau
24 25
Ibid Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 1615
35
diminta menyambuhkan (mengobati) orang sakit sampai sembuh, atau ia dapat menang dalam kompetisi tertentu dan selanjutnya. 26 Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan. Karena itu didalam ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk yamg lainnya.27 Dalam ji’alah ini dibolehkan pekerjaannya tidak diketahui, dan tidak disyaratkan hadirnya dua belah pihak yang berakad seperti yang disyaratkan pada akad-akad lainnya. 28 Ji’alah adalah jenis akad jaiz, yang kedua belah pihak boleh memfasakhnya. Adalah menjadi haknya si pemegang (pelaksana) ji’alah untuk memfasakh, sebelum ia menyukseskan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakan hanya gugur.29 Adapun
bagi
orang
yang
menyuruh
(ja’il),
ia
tidak
berhak
memfasakhkan jika si pelaksana sudah menyukseskan / menyelesaikan pekerjaan. 30 Dalam kaitan ji’alah ini, sebagian ulama ada yang melarangnya, diantaranya Ibnu Hazm. Di dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm mengatakan: “tidak diperbolehkan men-ji’alah-kan seseorang, siapa yang berkata kepada orang lain: “jika kau dapat mengembalikan kepadaku, budakku yang melarikan diri, maka aku berkewajiban membayarmu sekian dinar. Atau berkata: “jika kau melakukan ini dan ini, kau akan kuberikan kepadamu
26
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III, Kairo : Daar Al Fikr, 1983, hlm 292 Ibid 28 Ibid 29 Ibid 30 Ibid 27
36
sekian dirham”.31 Dan kalimat-kalimat yang lain yang serupa dengan itu, lalu benar-benar terjadi (berhasil), maka orang tadi tidak berkewajiban membayar apa pun, tetapi ia disunahkan menepati janjinya.32 demikian pula bagi orang yang dapat mengembalikan
budak yang melarikan diri, ia tidak berhak
mendapatkan sesuatu. Baik si penyuruh itu tahu bahwa orang yang datang itu benar-benar membawa budaknya yang kabur (melarikan diri), atau tidak. Kecuali, jika ia disewa untuk memenuhi tugas tertentu dalam waktu tertentu, atau untuk tugas membawanya dari tempat tertentu.
Maka, si pelaksana
berhak mendapat bayaran.” 33
C. Landasan hukum yang digunakan Sayyid Sabiq dalam akad ji’alah ini Pada prinsipnya Sayyid Sabiq menolak paham yang mengatakan tertutupnya pintu ijtihad. Ijtihad selamanya perlu di lakukan untuk mengantisipasi perkembangan zaman, taklid hanyalah penghalang bagi akal untuk maju. Melalui penulisan Fiqh As-Sunnah, ia berharap dapat memberikan gambaran yang benar tentang fiqh Islam yang disertai dengan dalil dalil sahih, menghapuskan rasa fanatisme madzhab dikalangan umat Islam dan menghilangkan anggapan tertutupnya pintu ijtihad. 34 Menurutnya, setiap orang bebas beramal menurut ijtihad dan madzhabnya masing-masing. Seseorang yang mampu berijtihad wajib melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syariat dari sumbernya tanpa
31
Ibn Hazm, Al Muhalla (al-Juz-VI), Beirut : Dar- Fikr : hlm 204 Ibid 33 Ibid 34 Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 1615 32
37
terikat kepada madzhab tertentu. Taklid hanya boleh bagi orang yang tidak mampu melakukan ijtihad. Orang awam boleh bertaklid terhadap salah satu dari keempat madzhab (Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki) atau mengikuti pendapat seseorang mujtahid (ahli ijtihad) yang dapat diterimanya.35 Syaikh Sayyid Sabiq mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab tetapi tidak menjelek-jelekannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari Kitabullah, As-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk pembaca, menghindari istilah-istilah yang runyam, tidak memperlebar dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka cinta agama dan menerimanya. Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani AlQur’an dalam memberikan alasan hukum.36 Namun demikian, ia bersifat terbuka terhadap pendapat lain sehingga tidak jarang ia mengemukakan pendapat para ulama yang disertakan dengan dalilnya tanpa melakukan tarjih (menguatkan salah satu dari dua dalil). Lebih dari itu menurutnya, setiap orang boleh memilih pendapat dan pemahaman yang lebih mudah dan ringan bagi dirinya. 37 Sayyid Sabiq merupakan sosok yang
selalu mengajak agar umat
bersatu dan merapatkan barisan. Beliau mengingatkan agar tidak berpecah belah yang dapat menyebabkan umat menjadi lemah. Beliau juga mengajak agar membentengi para pemudi dan pemuda Islam dari upaya-upaya musuh 35
Ibid Indrayogi, Op.cit, hlm 2 37 Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 1615 36
38
Allah dengan membiasakan mereka beramal Islami, memiliki kepekaan, memahami segala permasalahan kehidupan serta memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini agar mereka terhindar dari perangkap-perangkap musuhmusuh Islam.38 Prinsip-Prinsip Yang Dianut Oleh Sayyid Sabiq Didalam Beristimbat Adalah: a. Larangan untuk membahas suatu peristiwa atau kejadian sehingga betul betul terjadi b. Menghindari dari banyak pertanyaan dan meremehkan masalah c. Menjauhi dari perselisihan dan perpecahan dalam agama d. Mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Sunah (Al-Hadits). Selanjutnya Sayyid Sabiq mengatakan bahwasannya selama yang dibahas adalah masalah-masalah keagamaan, maka keempat jalan itulah yang harus menjadi tujuan, dan selama sumber yang dijadikan asal hukum telah dimaklumi, maka tidak ada artinya dipersoalkan dan tidak ada tempat untuk berbuat yang demikian (perselisihan).39
Sebagai dasar landasan hukumnya tentang diperbolehkannya akad ji’alah ini Sayyid Sabiq mengambil dalil dari firman Allah yang berbunyi:
38 39
Indrayogi, Op.cit, hlm 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1, Kairo : Daar Al Fikr, 1983, hlm 11-12
39
Artinya :“Dan barang siapa dapat mengembalikannya, ia akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta. Dan aku menjaminnya.” (Q.S:12 ayat 72)40 Selain itu, Rasulullah memperbolehkan pengambilan upah atas pengobatan dengan mempergunakan bacaan Al-Qur’an yaitu dengan surat AlFatihah, seperti yang telah kita bahas dalam bab ijarah.41 Dan tidak disyaratkan hadirnya dua belah pihak yang berakad seperti yang disyaratkan pada akad-akad lainnya. Hal ini berdalil kepada firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Dan siapa yang dapat mengembalikannya, ia akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta.” (Q.S.:12 ayat 72) 42 Menurut Sayyid Sabiq, bahwa bagi kaum yang mewajibkan pembayaran upah atas pekerjaan yang telah dilakukan tersebut, yang di lain pihak menurut Ibnu Hazm tidak diwajibkan membayar upah, maka kaum tersebut berdalil pada firman Allah yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu.” (Q.S. 5 ayat 1) Dan didalam Al-Qur’an surat Yusuf:
40
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, Jakarta : PT Bhakti Wakaf, 1995, hlm 24 41 Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm 292 42 Tim Tashih Departemen Agama, Loc.cit
40
Artinya: “Mereka berkata: kami kehilangan piala raja. Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta. Dan aku menjamin terhadapny”. (Q.S. 12 ayat 72)43 Dan bagi kaum yang mewajibkan pembayaran upah tersebut, mereka mengambil dalil dari haditst yang menceritakan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara ji’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati seseorang dengan cara membaca surat Al-Fatihah. Ketika mereka menceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw karena takut kalau hadiah itu tidak halal, Rasulullah saw tertawa sambil bersabda:
Artinya : “tahukan Anda bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif) ? Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian” (HR. Al-Jama’ah [mayoritas ahli haditst] kecuali Nasa’i). Sayyid Sabiq sendiri dalam hal ini tidak memberikan landasan hukum dalam menentukan kewajiban pembayaran upah atas pekerjaan dengan akad ji’alah ini.
43
Ibid